Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mengajarkan kepada para umatnya untuk berusaha mendapatkan kehidupan
yang baik di dunia dan di akhirat dengan tujuan agar mendapatkan kesejahteraan lahir dan
batin, oleh sebab itu dapat dikatakan Islam juga sebagai agama pemberdayaan karena
berupaya memberdayakan umat untuk hidup seimbang antara kebutuhan dunia maupun di
akhirat (Hasniati, et al, 2021: 17-18). Agar bisa mencapai itu semua diperlukan adanya
pemberdayaan yang sejalan dengan paradigma yang ada di agama Islam itu sendiri.
Pada tahun 1988 masyarakat sempat dihebohkan dengan munculnya isu mengenai
makanan yang mengandung babi beredar di pasaran. Seorang peneliti dari Universitas
Brawijaya melaporkan bahwa beberapa produk makanan dan minuman yang beredar di
masyarakat mengandung babi (Hayyun, 2019: 71). Dengan adanya peristiwa ini membuat
sadar masyarakat dan Pemerintah tentang urgensi sertifikasi halal. Melihat dari mayoritas
umat Islam di Indonesia diharuskan adanya jaminan makanan halal di Indonesia.
Islam merupakan agama gerakan membawa perubahan bahkan juga sebagai
kekuatan pemembasa terutama dari permasalahan ketertinggalan dan ketertindasan
ekonomi Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal membuat masyarakat merasa lebih lega khususnya bagi masyarakat yang
percaya serta mengamalkan syariat agama Islam dalam kesehariannya, tidak hanya itu
pemerintah menegaskan lagi dengan peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (Kemenag, 2003: 41). Hal ini tentunya
membawa dampak positif bagi masyarakat dikarenakan setelah sekian lama dihantui
dengan rumor beredarnya produk-produk yang tidak jelas kehalalannya, sejak 2019 lalu
pemerintah lebih memproteksi terhadap produkj yang beredar di Indonesia dengan
mewajibkan adanya sertifikat halal pada produk yang disebarkan.
Hal ini didukung juga karena mengkonsumsi produk halal merupakan ketentuan.
Dalam Al’Qur’an sebagaimana yang tertera di Q.S Al-Baqarah: 168 sebagai berikut :

1
Yang artinya: “Wahai manusia! Makanlah dari makanan yang halal dan baik
yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh,
setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Sertifikasi Halal merupakan sebuat fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan tentang kehalalan suatu produk. Dikeluarkan melalui lembaga
pengkajian pangan, obat-obatan, kosmetika (LP-POM) (Tondi, 2022: 30). Dengan adanya
sertifikasi halal tentunya dapat lebih membawa perlindungan diri bagi para konsumen
untuk terhindar dari produk yang tidak sesuai dengan syariat dalam agama Islam terutama
lagi di Indonesia yang mayoritasnya adalah umat muslim. Selain itu dengan adanya
sertifikasi halal dapat membuka peluang pasar yang lebih luas yang berguna untuk
kesejahteraan ekonomi umat.
Istilah pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan potensi yang
telah dimiliki oleh masyarakat. Sedangkan pemberdayaann umat merupakan suatu usaha
yang dapat dilakukan guna mengembangkan potensi dan memotivasi umat untuk dapat
mandiri.
Sertifikasi halal dalam pemberdayaan ekonomi umat memiliki korelasi yang kuat
dikarenakan dengan diwajibkan adanya sertifikasi halal maka akan meningkatkan peluang
pasar yang lebih luas sehingga dapat meningkatkan ekonomi umat. Berdasarkan uraian di
atas maka penulis merasa perlu mengangkat tema Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui
Implementasi Sertifikasi halal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sertikasi halal dalam pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan tafsir Q.S
Al-Baqarah: 168?
2. Apa tantangan dan peluang yang di dapat dalam implementasi sertfikasi halal?
C. Tujuan
1. Mengetahui sertikasi halal dalam pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan tafsir Q.S
Al-Baqarah: 168.
2. Mengetahui tantangan dan peluang yang di dapat dalam implementasi sertfikasi halal.
2
D. Definisi Judul
1. Sertifikasi halal merupakan pengakuan resmi dari Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sesuai
dengan syariat islam.
2. Pemberdayaan merupakan sebuah proses dengan mana orang bisa menjadi lebih kuat
untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan terhadap kejadian-kejadian yang
mempengaruhi kehidupannya.
3. Ekonomi umat merupakan sistem yang mengelola ekonomi untuk kesejahteraan umat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sertifikasi Halal


Kata halal berasal dari bahasa Arab yang artinya “melepaskan dan tidak terikat”.
Secara terminologi halal merupakan hal-hal yang dapat dilakukan karena bebas tidak
terikat dengan ketentuan yang melarangnya (Tondi, 2022: 31).
Halal merupakan segala sesuatu yang dapat dan dibolehkan karena terbebas dari
berbagai aturan serta larangan. (Anisa dan Ahmad. 2023: 200). Arti halal berarti sesuatu
yang dapat terbebas dari ancaman baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan Thayyib
adalah segala sesuatu yang dianggap baik secara fitrah maupun akal, selain itu Thayyib
juga berarti unsur-unsur kebaikan yang bermanfaat bagi jasmani.
Halal adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariat sedangkan haram adalah
sesuatu yang diharamkan oleh syariat. Kata Thayyib menjadi shifah muakkidah (sifat yang
berfungsi sebagai penguat) yang artinya enak dan baik (Zuhaili, 2013: 328).
Sertifikasi halal merupakan bentuk perlindungan diri bagi konsumen untuk
terhindar dari jenis makanan yang tidak layak atau tidak sesuai dengan syariat Islam
khususnya di wilayah Indonesia yang mayoritasnya adalah umat muslim (Tondi, 2022:
31). Sertifikasi halal memiliki tujuan tidak hanya pada makanan dan minuman tetapi juga
produk obat-obatan, kosmetik dan lain-lain. Dengan adanya sertifikasi halal ini maka akan
memberikan kepastian kepada para konsumen tentang produk yang yang terbukti aman
dan halal.
B. Sertifikasi Halal dalam Konteks Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 168
1. Pelajaran dari Q.S Al-Baqarah: 168:

4
Artinya: ”Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh,setan itu musuh
yang nyata bagimu.”
Dari tafsir Al-Qurthubi, dikatakan bahwa ayat ini diturunkan pada Tsaqaf, suku
Khuza’ah dan suku Bani Mudlij karena mereka mengharamkan diri mereka sendiri untuk
memakan beberapa hewan (makanan) yang dihalalkan (Abu’ Abdullah, 2009: 480).
Dari tafsir Fathul Qadir ( ) adalah maf’ul (objek) atau hal (keterangan
kondisi). Yang halal disebut halaal karena terlepasnya (inhilal) ikatan bahaya darinya.
Sedangkan Ath-Thayyib disini adalah yang dinikmati sebagaimana yang dikatakan oleh
Asy-Syafi’i dan yang lainnya. Sementara Malik dan yang lainnya berkata “yaitu yang
halal”. Sehingga (dengan pengertian ini) menjadi penguat kata (Asy-Syaukani,
2013: 650). Dalam Al-Qur’an disebutkan kata halal sebanyak 6 kali dan kata thayyibat
sebanyak 18 kali.
Dari tafsir Al-Qurthubi, Imam Malik berpendapat bahwa kata (yang baik)
pada ayat ini maknanya adalah yang dihalalkan juga, kata ini hanya penekanan pada arti
halal saja. Oleh karena itu, kata ini berguna untuk memperbanyak faedah penghalalannya
(Abu’ Abdullah, 2009: 480).
Dari tafsir lain dikatakan bahwa Allah menyuruh manusia untuk makan makanan
yang baik yang terdapat di bumi yaitu planet yang dikenal sebagai tempat tinggal
makhluk hidup seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan lainnya. Sedangkan
makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan
peraturan yang mereka buat sendir halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan
makanan itu (Departemen Agama RI, 2008: 248). Allah menyuruh kita umatnya untuk
hanya memakan yang halal dan meninggalkan yang haram dimana itu termasuk tipu daya
setan untuk mengajak kita kepada perbuatan keji dan jahat. Para pengikut setan itu tidak
mau mengikuti perintah Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Dari tafsir Al-Misbah dikatakan bahwa makanan halal adalah makanan yang tidak
haram yakni memakannya tidak dilarang oleh agama. Makanan haram ada dua macam
yaitu yang haram karena zatnya seperti babi, bangkai, darah, dan yang haram karena
sesuatu bukan dari zatnya seperti makanan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk
dimakan atau digunakan. Makanan halal adalah yang tidak termasuk dari kedua macam
ini (Quraish, 2002: 380). Pada ayat ini Allah menegaskan untuk kita mengikuti
5
perintahnya yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Namun perlu diketahui bahwa
tidak semua makanan yang halal otomatis baik karena halal meliputi empat jenis yaitu
wajib, sunnah, mubah dan makruh. Seperti yang kita ketahuyi bahwa makanan atau
aktivitas yang berkaitan dengan jasmani sering dimanfaatkan oleh setan untuk
memperdaya iman manusia di muka bumi. Oleh sebab itu dalam ayat ini juga ditegaskan
untuk tidak mengikuti langkah-langkah setan.
Dalam tafsir Al-Munir, dikatakan bahwa seruan dalam ayat ini memakai ungkapan
( ) agar mencakup orang beriman dan orang kafir (Wahbah. 2013: 329).
Dari kalimat tersebut dapat dikatakan bahwa Allah SWT menyeru melalui ayat di atas
bukan hanya tertuju kepada umat muslim melainkan juga kepada umat non-muslim agar
mereka hanya memakan makanan halal yang ada di muka bumi dan dan tidak
berhubungan dengan hak milik orang lain.
2. Relevansi Sertifikasi Halal
Kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan UU JPH mulai dilaksanakan tanggal 17
Oktober 2019 adapun pelaksanaan sertifikasi ini dilakukan secara bertahap dimana pada
tahap awal ini sertifikasi lebih difokuskan pada makanan dan minuman terlebih dahulu.
Sertifikasi halal adalah etika bisnis yang harus dilakukan oleh produsen sebagai
jaminan halal bagi para konsumen. Selain menjadi bagian dari jaminan halal bagi
konsumen dengan adanya sertifikasi halal juga dapat memberikan beberapa keuntungan
bagi para produsen seperti dapat meningkatkan kepercayaan konsumen karena telah
terjamin halal, mampu menembus pasar global, meningkatkan marketability produk di
pasar (Hayyun, 2015: 69). Melihat dari banyaknya keuntungan yang didapat oleh
produsen tentu juga dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian umat
dengan adanya sertifikasi halal yang juga menjadi ketetapan Allah SWT dalam Al-
Qur’an.
Adapun proses untuk bisa tersertifikasi halal akan melalui beberapa tahapan
pemeriksaan agar bisa membuktikan bahwa bahan baku, proses serta jaminan halal
produk pada suatu perusahaan sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang (Hayyun, 2015: 72). Proses sertifikasi ini dilakukan melalui
beberapa proses yang dilakukan oleh para auditor yang kompeten di bidangnya. Setelah

6
melalui proses tersebut maka akan ditetapkan status kehalalannya sehingga tercipta fatwa
tertulis tentang pernyataan kehalalan produk yaitu dalam bentuk sertifikat halal.
Adanya sertifikasi halal ini akan menambah nilai tambah bagi perusahaan dalam
menjual serta memproduksi produknya (Hayyun, 2015: 72-73). Dengan adanya undang-
undang jaminan produk halal (UU JPH) diharapkan agar semua produk yang diedarkan di
Indonesia memiliki sertifikat halal. Badan penyelenggara jaminan produk halal (BPJPH)
bekerjasama dengan lembaga lainnya yaitu lembaga pemeriksa halal (LPH) untuk
melakukan audit terhadap produk. Penetapan fatwa BPJPH bekerjasama dengan MUI
untuk mengeluarkan Keputusan Penetapan Halal Produk melalui Sidang Fatwa Halal
(Suparto, et al, 2016: 427-438). Berdasarkan perjalanan sejarah pemberlakuan halal di
Indonesia LPPOM MUI adalah lembaga yang memolopori pemberian sertifikat halal yang
pertama dan satu-satunya.
C. Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Sertifikasi Halal
Saat ini tren pangan halal sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Sebuah gerakan sadar halal kini bukan hanya berasal dari masyarakat Indonesia
melainkan juga masyarakat dunia (Cameli, 2016). Adanya sertifikasi di berbagai negara
kini bukan hanya sebatas perlindungan atas produk halal dan haram tetapi telah melebar
menjadi komoditas dagang, setifikasi halal dapat menjadi nilai utama dalam
menumbuhkan pasar global pangan halal.
Menurut Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, nilai industri halal
diperkirakan mencapai US2.8 triliun pada tahun 2025. Dalam menghadapi persaingan
globalisasi yang kini makin pesat maka Indonesia berusaha untuk memperkuat daya saing
melalui strategis yang dicanangkan pemerintah yaitu pendirian Global Halal Indonesia
(GHHI). Pelaksanaan kebijakan GHHI didasarkan pada Hak Cipta Kementrian Pertanian
Republik Indonesia Nomor: 468/Kpts/SR.130/12/2018 tentang Rencana Aksi Strategis
Kementrian Pangan dan Pertanian untuk mendorong pangan halal sekaligus mengakuisisi
pasar halal domestik dan luar negeri.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia,
Indonesia sudah melakukan berbagai strategi memperbaharui Potensi ekonomi halal serta
membuka jalan untuk bisa mencapai keberhasilan pada pasar global (Fais, 2023: 75).

7
Pendekatan dalam membangun global halal hub indonesia berhasil menarik para investor
dan pedagang dalam negeri memajukan industri halal khususnya pada bidang ekonomi.
Pasar global halal kini telah menjadi salah satu sektor ekonomi yang makin
berkembang dengan semakin tingginya permintaan produk halal di seluruh dunia,
indonesia dengan populasi muslim terbesar membuka peluang besar menjadi pusat halal
hub global.
Sebuah laporan The World Bank Tahun 2019 menunjukkan bahwa ekspor produk
halal Indonesia sejak tahun 2012 hingga 2017 meningkat sebanyak 91% (Fais, 2023:77).
Dengan laporan ini menunjukkan bahwa Indonesia kini telah mencapai sebagian besar
dari potensialnya di pasar internasional, hal ini juga dapat menjadi sebuah dasar perluasan
perdagangan halal ke pasar lainnya.
Industri halal dapat meningkatkan pendapatan (ekonomi) serta kualitas hidup
masyarakat melalui perdagangan serta memperluas pasar untuk produk bersertifikat halal.
Dampak positif dari sertifikasi halal juga sampai ke masyarakat non-muslim, contohnya
pada pelaku UMKM non-muslim di daerah NTB lebih kreatif dalam memproduksi produk
pangan dikarenakan para konsumen yang amat teliti dan detail ketika produk pangan yang
dikonsumsi berasal dari para pelaku usaha yang non-muslim terutama terkait kepastian
kehalalan produk yang dibuatnya. Hal tersebut menuntut para pelaku non-muslim untuk
memproduksi produknya sesuai standar kehalalan dari BPOM MUI meliputi bahan baku
yang berlabel halal, alat dan bahan yang diproduksi, tidak ada binatang peliharaan seperti
anjing dan babi.
Adapun survei serta hasil wawancara penelitian tersebut menunjukkan bahwa para
pelaku usaha non-muslim setelah memproduksi produk sesuai standar halal serta telah
bersertifikat halal terjadi peningkatan omset penjual serta laba usaha yang disebabkan
konsumen yang merasa yakin dan nyaman dalam mengkonsumsi produk pangan yang
dibuat oleh para pelaku usaha non-muslim (Armiani, 2021: 24).
D. Tantangan dan peluang dalam Implementasi Sertifikasi Halal
Tantangan yang dihadapi dalam proses implementasi sertifikasi halal yaitu yang
pertama: kebijakan sertifikasi halal memberikan tuntutan bagi para pelaku usaha untuk
produknya tersertifikasi halal. Sebagaimana yang tercantum pada UU JPH yang mana
artinya semua pelaku usaha atau semua produk yang beredar sudah harus bersertifikasi
8
halal yang tertuang pada pasal 4 UU No.33 Tahun 2014 serta pasal 2 ayat (1) PP No. 31
Tahun 2019. Kebijakan juga memberikan sanksi administratif bagi mereka yang
melanggar sesuai dengan pasal 27 UU No. 33 Tahun 2014, sedangkan pada pasal PP UU
No. 31 Tahun 2019 sebagai peraturan pejelas atau peraturan pelaksana tidak ada
penterjemahan sanksi. Melainkan hanya diterangkan pada pasal 2 ayat 1-4 PP No. 31
Tahun 2019 sebagai berikut: 1). Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, 2). Produk yang berasal dari bahan yang
diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal, 3). Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan keterangan tidak halal, 4). Pelaku usaha wajib
mencantumkan keterangan tidak halal pada produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(Muhamad, 2020: 17-18).
Berdasarkan pasal tersebut maka konsekuensinmya yaitu setiap produk harus
bersertifikat halal dan yang belum bersertifikat apakah menjadi tidak halal belum
dijelaskan detail mengenai hal tersebut. Dengan adanya ketentuan ini memberikan
tekanan pada pelaku usaha yang belum bersertifikat halal, para pelaku usaha tersebut
wajib mencantumkan keterangan bahwa produk tidak halal. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Kementrian Agama bahwa semua produk yang diedarkan harus
bersertifikat baik itu halal ataupun tidak halal.
Tantangan kedua yaitu mengenai masalah-masalah yang dihadapi para pelaku
usaha dalam proses sertifikasi halal. Contohnya masalah belum memenuhi persyaratan
lengkap (dokumen) yang meliputi data pelaku usaha (Izin Usaha atau kelegalan dari usaha
yang sedang dijalankan dan penyelia halal yang telah tersertifikasi); nama dan jenis
produk yang tidak melanggar atau menggunakan nama yang berhubungan dengan sesuatu
yang diharamkan; semua bahan yang digunakan dalam produksi harus halal serta
pengolahan yang tidak melibatkan dengan zat yang diharamkan.
Tantangan selanjutnya yaitu modal yang dimiliki para pelaku usaha masih minim
dalam proses sertifikasi halal maupun proses perpanjangan yang cukup memberatkan para
pelaku usaha khususnya pelaku usaha mikro-kecil.
Tantangan berikutnya yaitu mengenai pemenuhan kriteria halal yang masih
menjadi kendala bagi pelaku usaha dalam proses sertifikasi. Yaitu terkait proses
bagaimana pelaku usaha mempersiapkan bahan, produk, fasilitas produk, prosedur tertulis
9
untuk aktivitas kritis serta kemampuan telusur (kemampuan untuk memverifikasi lokasi
asal produk ke titik penjualan).
Tantangan terakhir yaitu masalah dalam internal UMKM yang menjadikan easa
malas dan rasa tidak antusias terhadap implementasi sertifikasi halal. Hal ini berkaitan
dengan pelaku usaha yang masih menunggu adanya fasilitas atau dorongan dari
pemerintah sehingga membuat para pelau usaha kurang tergerak mandiri.
Sedangkan peluang yang dapat dimanfaatkan para pelakus usaha dengan adanya
implementasi sertifikasi halal yaitu yang pertama dengan adanya sertifikasi halal
meberikan kenyamanan pada pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dikarenakan
produk yang telah bersertifikasi halal lebih diminati oleh para konsumen sehingga dapat
meningkatkan penjualan.
Peluang kedua yaitu dengan adanya sertifikasi halal juga membuat para pelaku
usaha khususnya UMKM mampu bersaing dengan produk-produk yang diproduksi
perusahaan besar.
Peluang ketiga yaitu terdapat potensi atau peluang pasar yang besar bagi pelaku
usaha apalagi saat ini pasar makanan halal menjadi salah satu bagian industri terbesar di
dunia dari keseluruhan industri pangan dan pertanian global.
Peluang berikutnya yaitu pelatihan dan fasilitas sertifikasi halal yang dilakukan
sebagai bentuk penguatan sektor UMKM menjadi pendorong pelaku usaha mengurus
sertifikasi halal.
Peluang selanjutnya yaitu bagi para pelaku usaha yang sudah menggunakan bahan
halal perolehan seperti hasil pertanian, penyembelihan yang sesuai dengan syariat Islam,
prngolahan hingga menghasilkan suatu produk yang halal juga menjadi sebuah peluang
besar untuk keikutsertaan pengurusan sertifikasi halal dikarenakan telah memenuhi point
penting dalam proses penyediaan produk halal bagi konsumen.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sertifikasi halal dalam pemberdayaan ekonomi umat Islam berdasarkan QS. Al-
Baqarah:168 memiliki dampak yang sangat baik dalam peran peningkatan ekonomi
umat dengan adanya sertifikasi halal membuka peluang pasar yang lebih luas sehingga
terjadi peningkatan ekonomi umat di Indonesia.
2. a. Tantangan dalam Implementasi Sertifikasi Halal yaitu: kebijakan sertifikasi halal
memberikan tuntutan bagi pelaku usaha agar tersertifikasi halal, persyaratan
kelengkapan dokumen yang harus dilengkapi, modal yang minim yang dimiliki oleh
pelaku usaha, pemenuhan kriteria halal terkait bagaimana pelaku usaha mempersiapkan
bahan, produk, fasilitas produksi, prosedur tertulis, dan kemampuan telusur.
b. Peluang dalam implementasi Sertifikasi Halal yaitu: sertifikasi halal memberi
kenyamanan kepada pelaku usaha dalam menjalankan usaha, adanya kebijakan
implementasi sertifikasi halal adalah melalui produk yang tersertifikasi sehingga
UMKM dapat bersaing dengan perusahaan besar, melalui produk yang telah
tersertifikasi terdapat potensi pasar yang besar untuk pelaku usaha, pelatihan dan
fasilitas sertifikasi halal yang dilakukan sebagai bentuk penguatan sektor UMKM
menjadi pendorong pelaku usaha mengurus sertifikasi, pelaku usaha yang telah
menggunakan bahan halal untukselanjutnya pelaku usaha mempersiapkan kelengkapan
lainnya.
B. Saran
Untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat Islam melalui implementasi
sertifikasi halal diharapkan untuk :
1. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi halal
2. Menanamkan pada diri bahwa dengan adanya sertifikasi dapat membantu
kesejahteraan ekonomi umat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Armiani,et al.(2021).Sertifikat Halal menjadi Strategi Pemasaran bagi UMKM


Nonmuslim dalam Meningkatkan Penjualan. Prosiding Seminar Stiami. Vol. 8 No.
1. 24
Asy-Syaukami.(2013).Tafsir Fathul Qadir.Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Qurhubi, Abu Abdullah.(2009).Tafsir Al-Qurthubi.Jakarta: Pustaka Azzam
Az-Zuhaili, Wahbah.(2013).Tafsir Al-Munir.Jakarta: Gema Insani
Cameli, Rida.(2016).Perspekstif Halal.Artikel diakses pada
(https://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/perspektif-halal)
Dalimunthe, Tondi Parlauangan.(2022).”Zakat, Pemberdayaan Umat, Hubungan Zakat
dan Pajak serta Sertifikasi dan Label Halal”.Journal of Islamic Studies.Vol.1 No.
1. 27-28
Departemen Agama RI.(2008).Al-Qur’an dan Tafsirnya.Jakarta: Widya Cahaya
Hasniati, et al.(2021).Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Peningkatan Produksi
dalam Sistem Ekonomi Islam”.Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam. Vol.3 No.1. 17-
18
Hayyun.(2019).Sertifikasi Halal di Indonesia: Sejarah, Perekmbangan dan
Implementasi.Journal of Halal Product and Research.Vol.2 No.2.69-76
Ilmiah, Anisa dan Ahmad Hasan, Ridwan.(2023).Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 168 dan
Korelasinya dengan UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.Jurnal
Ilmiah Managemen.Vol.4 No.2. 194-200
Istiqlal, Fais.(2023).Membangun Global Halal Hub Indonesia: Strategi dan Peluang
untuk Mencapai Kompetitif di Pasar Global.Halal Research.Vol.3 No.3.72-77
Kementrian Agama RI.(2003).Al-Qur-an dan Terjemahnya.Jakarta: PT. Putra Sejati Raya
Muhamad.(2020).Tantangan dan Peluang Penerapan Kebijakan Mandatory Sertifikasi
Halal (Studi Implementasi UU No. 33 Tahun 2014 dan PP No. 31 Tahun
2019.Jurnal Ilmu Ekonomi dan Bisnis Islam. Vol. 2 No. 1. 17-21
Shihab, Quraish.(2002).Tafsir Al-Misbah.Jakarta: Lentera Hati

12
Suparto,S, et al.(2016).Harmonisasi dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan
Sertifikasi Halal terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia.Mimbar
Hukum. 427-438

13

Anda mungkin juga menyukai