Anda di halaman 1dari 142

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia memiliki beberapa kebutuhan primer, salah satu kebutuhan primer manusia adalah
makanan dan minuman. Pemenuhan kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman
berkaitan erat dengan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs), pemeliharaan akal (hifz al-‘aql), dan
pemeliharaan harta (hifz al-mal), dalam maqasid al-syari’ah.1

Setiap muslim meyakini bahwa Islam adalah agama yang membawa petunjuk bagi manusia serta
memberi kesejahteraan bagi manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut umumya
bersifat global, sehingga tidak pada tempatnya menuntut dari sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an
dan Hadis tentang petunjuk- petunjuk praktis dan terperinci yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan.

Para ulama Islam sepakat bahwa ajaran agama Islam bertujuan untuk memelihara lima pokok
yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan dan kesehatan. Setiap usaha yang mendukung tercapainya
salah satu diantara tujuan tersebut walaupun belum ditemukan dalam kitab suci al-Qur’an dan
Hadis, mendapat dukungan penuh dari ajaran Islam.

Kesehatan seseorang merupakan kewajiban setiap orang untuk

memeliharanya, kehidupan yang sehat jasmani merupakan modal utama untuk bisa melaksanakan
pengabdian yang terbaik kepada Allah SWT, selaku hamba Allah

1 Huzaemah Tahido Yanggo, “Makanan dan Minuman dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal

Tahkim, Vol. IX, No. 2, Desember 2013, hal. 1.


2

maupun insan sosial, guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kehidupan yang
sehat jasmani dan rohani tersebut bisa diwujudkan antara lain dengan memanfaatkan secara
optimal hasil ciptaan Allah SWT berupa buah- buahan dan sayuran alam sebagai konsumsi
tubuh, sekaligus penyembuh dan pengembali kondisi serta energi untuk beramal shaleh. Di dalam
al-Qur’an cara memperoleh rezeki yang halal dan baik yang disebut “halālan ṭhoyyiban” itu penulis
paparkan empat ayat, yaitu pada QS. Al-Baqarah: 168, QS. al-Maidah: 88, QS. al-Anfal: 69, QS. an-
Nahl:114. Dari empat surah tersebut kata halālan ṭhoyyiban mengandung berbagai macam
makna dalam menafsirkannya.2

Pertama, perintah memakan makanan yang halal dan larangan mengikuti

langkah-langkah setan3 dalam QS. al-Baqarah/2 :168.

ٌّ‫مم ْاولُك ُساَّنال اَ ُّه َيٰٓا ي‬ ُ ٰ ْ ٰ ۗ


ِ َّ‫وُ دَ ع ْمكل ٗهَّنم ِامنطيَّشال متوُ طخ ْاوُ عم َّب َتت الَّ ۖواًبم َيط اللَح ضْ َراال ىمف ا‬

‫ ٌ ْنيمبُّم‬١٦٨
Terjemahnya : “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halāl dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata
bagimu”.4 (QS. al-Baqarah/2 : 168).

Kedua, larangan mengharamkan makanan yang halal, sebagaimana firman

Allah5 dalam QS. al-Maidah/5 : 88.

‫مم ْاولُ َكو‬ ‫اّٰل‬ ‫اّٰل‬ ْٓ


ِ َّ‫ْْٓيمذال َّل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬8 ‫ َ ْنوُ نم ْمؤُ م ٖهمب ْ ُم ْتنا‬٨٨

2 Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufarras lil Alfadzi al-Qur’anul al-Karim, (Kairo:

Darul Kutub, 1945), hal. 216.

3 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsinya, Jilid 1, Juz I-II-III, (Jakarta: UII, 1990), hal. 282.

4 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

5 Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid III, Juz VII-VIII-IX, hal. 6
3

Terjemahnya : “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang
halāl dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.6 (QS. al-Maidah/5 :
88).

Ketiga, masalah harta tawanan perang7 sebagaimana firman Allah dalam

QS. al-Anfal/8 : 69.

‫مم ْاولُ َكف‬ ‫َّۗ اّٰل‬ ‫اّٰل‬


ِ َّ ‫ ل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ْ ُم ْتمم َنغا‬8َّ‫ ٌ ْميمحَّ رٌرْ وُ َفغ ل نم ِِۗا‬٦٩

Terjemahnya : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu,
sebagai makanan yang halāl lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang”.8 (QS. al-Anfal/8 : 69).

Keempat, masalah makanan yang halal dan haram, sebagaimana firman


Allah dalam QS. an-Nahl/16 : 114.

‫مم ْاولُ َكف‬ ‫اّٰل‬ ‫اّٰل‬


ِ َّ‫ َ ْنوُ ُد ْب َعت ُهاَّيما ْ ُم ْتن ْكنما ل َ َت ْمعمن ْاوُ ر ْكشا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬١١٤

Terjemahnya : “Maka makanlah yang halāl lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”.9 (QS. an-
Nahl/16 : 114).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, peneliti tertarik mengkaji bagaimana makna halālan ṭhoyyiban lebih
dalam. Hal tersebut tidak terlepas dari apakah halalan thooyyiban hanya terbatas pada konteks
makanan saja dan bagaimana jika makanan tersebut halāl dan thoyyib secara dzatnya tetapi tidak
dengan cara memperolehnya. Hal tersebut merupakan keunikan tersendiri yang mendorong peneliti
melakukan penelitian ini.

6 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

7 Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid IV, Juz X-XI-XII, hal. 38.

8 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

9 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
4

Allah menjelaskan bahwa Dia maha pemberi rezeki kepada seluruh makhluk-Nya. Dia
menganugerahkan kepada mereka kebolehan memakan makanan yang halal lagi baik, serta
melarang mereka memakan makanan yang diharamkan kepadanya. Allah menyuruh hamba-Nya
beriman memakan yang baik- baik dari rezeki yang telah dianugerahkan kepada mereka. Oleh
karena itu, hendaklah mereka bersyukur kepada-Nya jika mereka mengaku sebagai hamba Nya.
Memakan makanan halal merupakan sarana untuk diterimanya doa dan ibadah.10

Makanan yang diciptakan Allah SWT dimuka bumi sangat bervariasi bentuknya, demikian juga
dengan kadar gizi yang dikandungnya. Banyak makanan yang sederhana bentuknya, namun memiliki
mutu gizi yang tinggi. Oleh karena itu perlu diperhatikan dalam memilih makanan yang sehat dan
bergizi tinggi tanpa harus terkecoh dengan bentuk atau kemasan yang bagus tetapi tidak memiliki
kandungan gizi, apalagi sampai tidak memenuhi kriteria makanan halal dan baik.

Kehalalan makanan merupakan persyaratan mutlak bagi setiap muslim dalam mengkonsumsi
makanan, begitu pula sebaliknya keharaman makanan persyaratan mutlak bagi setiap muslim
untuk tidak mengkonsumsinya. Dikarenakan makanan yang haram akan berdampak negatif pada
mental manusia.11

Pandangan masyarakat terhadap makanan selama ini cenderung

memperhatikan rasanya dan tren saja. Padahal selama ini tidak cukup, harus dijaga pula kehalalan
gizinya. Kesehatan merupakan nikmat Allah yang terpenting dalam

10Abdurrohman Kasdi, “Tafsir Ayat-Ayat Konsumsi dan Implikasi Terhadap Pengembangan

Ekonomi Islam”, Jurnal Equilibrium, Volume 1, Nomor 1, Juni 2013, hal. 21.

11Ahmad Dhea Satria, Strategi Penerapan Konsep Halalan Thoyyiban Pada Rumah Makan Wong

Solo Kota Palangka Raya, (Skripsi Strata 1, Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, 2018), hal. 3 .
5

kehidupan manusia di dunia, meskipun terkadang manusia selalu mengabaikan. Menurut hadis yang
sampaikan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih
disayangi Allah ketimbang mukmin yang lemah”.12 Berdasarkan hadis tersebut
menunjukkan bahwa Islam sangat

memperhatikan kesehatan jasmani.

Persoalan halālan ṭhoyyiban bukan melulu mengenai bagaimana menjaga makanan atau minuman
agar tidak terkandung bahan-bahan yang diharamkan. Akan tetapi halālan ṭhoyyiban telah menjadi
etika muslim dalam menentukan standar kualitas dan mutu makanan yang baik, memenuhi standar
kesehatan, serta standar bagi sistem pengemasan serta etika lingkungan produsen penghasil
makanan.

Isu halal hanyalah menjadi topik segelintir orang di Indonesia. Kebutuhan akan standardisasi halālan
ṭhoyyiban belum menjadi perhatian dari masyarakat sebagai konsumen dan perusahaan sebagai
produsen. Sebagai contoh, data dari Persatuan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) menyebutkan
bahwa dari 744 perusahaan kosmetik di seluruh Indonesia, baru 23 perusahaan yang
mendaftarkan sertifikasi halal dari BPOM-MUI atau hanya tiga persen saja. Sisanya 97 persen
kosmetik yang beredar di pasaran tidak jelas.13

Pada level masyarakat dan keluarga di Indonesia, produk yang halal dan

thoyyib belum menjadi perhatian, bahkan di tingkat kesadaran saja belum. Dengan
12 Aplikasi Lidwa Pustaka (Hadis 9 Imam), Versi 1.2.0. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Hadis No.

8436.

13 Tamimah, (dkk), Halalan Thayyiban: The Key Of Succesgul Halal Food Industry Development,

(Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Volume 4, Nomor 2, Desember 2018), hal. 171.

penduduk muslim mayoritas di Indonesia, masyarakat seolah merasa aman dan tentram asalkan
tidak memakan daging babi dan daging anjing.

Masyarakat muslim di pedesaan dan perkotaan dalam wilayah-wilayah padat penduduk tanpa
disadari banyak mengonsumsi makanan yang halal namun belum tentu thoyyib. Standar thoyyib
sendiri sangat sulit diterapkan tanpa adanya kesadaran diri akan apa-apa yang baik maupun buruk
bagi tubuh manusia.

Sebagai contoh, seorang yang badannya fit dan berusia muda masih bisa makan soto betawi. Lain
halnya dengan penderita jantung dan hipertensi, mengonsumsi soto betawi dengan kuah santan
kental dan daging jeroan ditambah kerupuk emping bisa menjadi ancaman bagi pengonsumsinya
yang kemudian membuat makanan tersebut jatuh dalam hukum makhruh sampai haram.14 Inilah
yang membuat penulis ingin menggunakan fokus penelitian Halālan Ṭhoyyiban menggunakan
pendekatan Ma‘nā cum Maghzā.
Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā merupakan pendekatan yang digunakan ketika seseorang ingin
menggali makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma’na) dan pesan utama/signifikansi
(maghza), kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian dan
kedisinian. Dengan demikian, ada tiga hal penting yang seyogyanya dicari oleh seorang penafsir,
yakni (1) makna historis (al-ma’na al-tarikhi), (2) signifikasi fenomenal historis (al-maghza al-

14 Lihat : https://republika.co.id/berita/q9k2ut423/menyoal-halalan-thayyiban-dan-
kesadaran-

masyarakat-indonesia, diakses pada tanggal 28 September 2020, pukul 21:39 WIB.

tarikhi), dan (3) signifikasi fenomenal dinamis (al-maghza al-mutahharik) untuk kontek ketika teks al-
Qur’an ditafsirkan.15
Alasan penulis menggunakan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā karena

menurut penulis pendekatan ini sesuai dan mampu merespon tantangan jaman. Dillihat dari ada
banyak problematika di era kontemporer ini yang perlu menjawab jawaban dari Islam, sementara
teks al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad jumlahnya terbatas. Oleh karena itu penulis
menggunakan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā ini agar bisa meneliti makna Halālan Ṭhoyyiban
dalam al-Qur’an.

Berdasarkan pemaparan di atas makanan halālan ṭhoyyiban sangatlah penting bagi manusia baik
secara jasmani dan rohani. Sedangkan saat ini yang lebih difokuskan oleh masyarakat muslim
hanyalah makanan yang halal dan yang berlabel halal bukan makanan yang halālan ṭhoyyiban
tanpa mengetahui komposisi dari makanan tersebut serta mendahulukan keinginan daripada
kebutuhan dan kesehatan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana Al-Qur’an
menjelaskan tentang “Makna Halālan ṭhoyyiban dalam al-Qur’an (Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini
ialah bagaimana makna Halālan ṭhoyyiban dalam al-Qur’an (Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā) ?

15 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia 2020), hal. 9.
8

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
makna Halālan ṭhoyyiban dalam al-Qur’an dengan menggunakan Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā.

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik

secara teorits maupun praktis maupun bagi peneliti.

1. Manfaat Bidang Teoritis

Penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu memberikan manfaat kepada peneliti maupun
pembaca agar dapat mengetahui dan memahami makna Halālan ṭhoyyiban dalam al-Qur’an
(Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā). Penelitian ini juga diharapkan sebagai penambah wawasan dan
pembanding terhadap beragam penelitian yang serupa. Dengan demikian penelitian ini mampu
menjadi jembatan penghubung bagi masyarakat akademik yang ingin mempelajari tema yang
serupa.

2. Manfaat Bidang Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis bagi peneliti maupun pembaca ialah mampu menerapkan
penggunaan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā dalam memahami makna Halālan ṭhoyyiban dalam
al-Qur’an.

3. Manfaat Bagi Peneliti

Dengan adanya kajian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti sebagai petunjuk
atau arahan, acuan serta bahan pertimbangan bagi seorang peneliti yang akan mengkaji selanjutnya.
9

D. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah karya ilmiah sehingga dalam
penelitian ini penulis memaparkan beberapa variabel sehingga dasar pokok dalam penjelas data
ini dengan menyertakan gambaran umum terkait dengan penelitian ini agar mudah dipahami. Maka
dari itu diperoleh definisi operasional yang berkenaan dengan Halālan dan Thoyyiban. Untuk
mengetahui maksud dari judul ini maka penulis akan menguraikan maksud dalam garis besar yang
terdapat 2 istilah yakni “halal”, dan “thoyyib ”.

1. Halal

Halal berasal dari kata: hall, yahalla, hallan yang berarti dihalalkan atau diizinkan dan dibolehkan.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia disebutkan kata halal berarti diizinkan (tidak dilarang oleh
syarat).16 Sedangkan Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat halal ialah sesuatu yang mubah
(diperkenankan), yang terlepas dari ikatan larangan, dan diizinkan oleh pembuat syariat untuk
diakukan.17

Halal berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan dan

membolehkan. Dalam dengan hukum syara’, ia memiliki dua pengertian.18


‫هالمعتس اب هيلع بقاعي ال ءيش لك‬

Dan

‫لحال نم ذوخأم هلعف عرشال قلطأ ام‬

16 Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Indonesia Arab, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hal.

201.

17 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: Robbani Press, 1993), hal. 13.

18 Al-Jurjani, ‘Ali bin Muhamad, Kitab al-Ta’rifat, Cet III, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut , 1998,

hal. 92.

10

Pengertian pertama menunjukkan bahwa kata halal menyangkut kebolehan menggunakan


benda-benda atau apa saja untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasukk di dalamnya
makanan, minuman, obat-obatan. Pengertian kedua berkaitan dengan kebolehan memanfaatkan
memakan, meminum dan mengerjakan sesuatu yang kesemuanya ditentukan berdasarkan nash.19

2. Thoyyib

Thoyyib dalam bahasa Arab adalah masdar dari akar kata taba yang terdiri dari tiga huruf yakni ta,
alif, dan ba yang bermakna halal, suci, lezat, subur, memperkenankan, dan membiarkan. Menurut
M. Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan Thoyyib adalah makanan dan minuman yang tidak memberi
mudharat kepada badan dan akal, maksudnya adalah makanan dan minuman yang memenuhi
standar kesehatan, yaitu yang mengandung gizi dan tidak memudharatkan.20

Adapun ayat-ayat yang digunakan, peneliti kali ini membatasi pemahaman makna Halālan
ṭhoyyiban pada QS. al-Baqarah: 168, QS. al- Maidah: 88, QS. al-Anfal: 69, QS. an-Nahl: 114
menggunakan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā.

E. Kajian Terdahulu

Kajian terdahulu atau kajian kepustakaan adalah suatu tinjauan yang

menjelaskan dan mengkaji buku-buku, karya-karya, pemikiran-pemikiran dan

19Jalaluddin Abdul al-Rahman, Ghayah al-Wusul ila Daqaiq Ilm al-Ushul, (Matba’ah al-Sa’adah,

1979), hal.127.

20 Nuraini, “Halalan Thayyiban Alternatif Qur’an untuk Hidup Sehat”, Jurnal Al-Mu’ashirah,

Volume 8, Nomor 1, Januari, 2018, hal. 87.


11

penulisan-penulisan ataupun peneliti terdahulu yang terkait dengan pembahasan skripsi.21 Sejauh
ini sudah ada beberapa peneliti yang mengkaji tentang makanan halālan ṭhoyyiban yakni, sebagai
berikut:

Kajian Pertama, jurnal yang ditulis oleh Waharjani yang berjudul Makanan yang Halāl lagi Baik dan
Implikasinya Terhadap Kesalehan Seseorang, jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Volume 4,
Nomor 2 pada tahun 2015. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis makanan apa
saja yang dianjurkan untuk dikonsumsi dilihat dari sumbernya, dan mengetahui apakah makanan itu
berimplikasi terhadap kesalehan seseorang.22

Pada penelitian yang ditulis oleh Waharjani dengan penelitian ini tentu memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaannya adalah penelitian ini sama- sama menganalisis makna Halālan ṭhoyyiban.
Akan tetapi yang menjadi perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang ditulis oleh Waharjani
adalah penelitian ini menggunakan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā dan metode yang digunakan
adalah tematik (maudhu’i), sedangkan penelitian Waharjani menggunakan metode analisis yang
berfokus pada QS. al-Baqarah: 168.

Kajian Kedua, jurnal yang ditulis oleh Huzaemah Tahido Yanggo yang berjudul Makanan dan
Minuman dalam Perspektif Hukum Islam, jurnal Tahkim, Volume IX, Nomor 2 pada tahun 2013.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

21 Cici Afridawati, Respon Al-Qur’an terhadap Difabilitas : Kajian Tematik terhadap Ayat-Ayat

Difabel, (Skripsi Strata 1, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018), hal.7.

22 Wajarjani, “Makanan yang Halal lagi Baik dan Implikasinya terhadap Kesalehan Seseorang”,

Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Volume 4, Nomor 2, Desember 2015.


12

mengetahui hukum Islam melalui al-Qur’an dan Hadis yang telah menetapkan beberapa jenis
makanan dan minuman yang haram dikonsumsi umat Islam.23

Adapun persamaan penelitian yang ditulis oleh Huzaemah Tahido Yanggo dengan penelitian ini
adalah penelitiannya sama-sama membahas ayat-ayat yang berkaitan dengan Halālan ṭhoyyiban.
Adapun yang membedakannya adalah penelitian ini dari awal sudah menjelaskan apa yang
dimaksud dengan Halālan ṭhoyyiban beserta alasannya, sedangkan penelitian Huzaemah Tahido
Yango ini lebih berfokus pada hukum-hukum Islam mengenai makanan dan minuman yang halal dan
haram.

Kajian Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Andriyani yang berjudul Kajian Literatur pada Makanan dalam
Perspektif Islam dan Kesehatan, jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 15, Nomor 2 pada tahun
2019. Penelitian ini membahas mengenai Islam telah mengatur sedemikian rupa baik dalam al-
Qur’an maupun Hadis mengenai makanan. Islam dan kesehatan berjalan bersama-sama dengan
menjaga keberlangsungan hidup manusia melalui makanan dan yang sehat, lagi halal dan thoyyib.24

Adapun persamaan penelitian yang ditulis oleh Andriyani dengan penelitian ini adalah sama-sama
menggunakan jenis kepustakaan dan menjelaskan mengenai makanan Halālan ṭhoyyiban.
Adapun yang membedakannya adalah pada pembahasan ayat, pada penelitian Waharjani
ayat-ayat dibahas lebih spesifik

23 Huzaemah Tahido Yanggo, “Makanan dan Minuman dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal

Tahkim, Volume IX, Nomor 2, Desember 2013.

24 Andriyani, “Kajian Literatur pada Makanan dan Minuman dalam Perspektif Islam dan
Kesehatan”, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 15, Nomor 2, Juli 2019.

13

sedangkan penelitian ini hanya membatasi pada QS. al-Baqarah: 168, QS. al- Maidah: 88, QS. al-
Anfal: 69, QS. an-Nahl: 114.

Kajian Keempat, skripsi yang ditulis oleh Kasmawati yang berjudul Makanan Halāl dan Tayyib
Perspektif Al-Qur’an, dari Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar pada
tahun 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hakikat makanan halāl dan
tayyib, mengetahui analisis tekstual QS. al-Baqarah: 168 dan mengetahui unsur-unsur yang
terkandung dalam QS. al-Baqarah: 168.25

Adapun persamaan penelitian yang ditulis oleh Kasmawati dengan penelitian ini adalah sama-
sama menggunakan penelitian kepustakaan (library reearch) dan sama-sama mengungkapkan
makna Halālan ṭhoyyiban dalam al- Qur’an. Perbedaanya adalah pada metode penelitian yang
ditulis Kasmawati menggunakan metode tahlili yang hanya berfokus pada QS. al-Baqarah: 168,
sedangkan penelitian ini menggunakan metode tematik (maudhu’i) dan pendekatan Ma‘nā cum
Maghzā.

Kajian KeIima,, dalam sebuah buku karangan M. Quraih Shihab yaitu Wawasan al-Qur’an, pada sub
pokok berbicara masalah makanan yang dijelaskan dengan petunjuk al-Qur’an bahwa al-Qur’an
memerintahkan kepada manusia untuk makan yang halal dan thoyyib , serta yang lezat tetapi baik
akibatnya, buku ini memberikan gambaran landasan teori untuk mencari makna Halālan ṭhoyyiban
akan tetapi buku ini lebih umum membahas makanan.
25 Kasmawati, Makanan Halal dan Tayyib Perspektif Al-Qur’an, (Skripsi Strata 1, Universitas Islam

Negeri Alauddin Makasar, 2014).

14

Kajian Keenam, dalam sebuah buku karangan Muhammad Yusuf Qardhawi yang telah diterjemahkan
dalam Indonesia oleh H. Mu’amal Hamidy, “Halal dan Haram dalam Islam” yang membahas bahwa
awal segala adalah halal (mubah). Dalam Islam yang membahas bahwa asal segala yang tidak secara
nyata kita pahami halal atau haramnya. Sebagai dari hal-hal tersebut adalah syubhat, yaitu daerah
abu-abu, antara putih (halal) dan hitam (haram)nya perbuatan materi tersbut dalam Islam. Buku ini
lebih mengarahkan kepada karakter-karakter halal serta ayat- ayat dalam al-Qur’an atau Hadis untuk
dijadikan landasan.

F. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah teori Ma‘nā cum Maghzā, yang
pertama kali dikenalkan oleh Sahiron Syamsuddin dengan memodifikasi teori Fazlur Rahman dan
Abu Zayd. Teori Ma‘nā cum Maghzā menjelaskan bahwa seorang pembaca harus mencari makna
awal teks (makna objektif) yang dipahami oleh pendengar atau penerima al-Qur’an. Selanjutya
dari makna itu dicari makna signifikansinya dengan konteks masa kini.

Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā merupakan pendekatan yang digunakan ketika seseorang ingin
menggali makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma’na) dan pesan utama/signifikansi
(maghza) yang dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, kemudian
mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian dan kedisinian. Dengan demikian,
ada tiga hal penting yang seyogyanya dicari oleh seorang penafsir, yakni (1) makna historis (al- ma’na
al-tarikhi), (2) signifikasi fenomenal historis (al-maghza al-tarikhi), dan (3) signifikasi fenomenal
dinamis (al-maghza au-mutahharik) untuk konteks ketika
15

teks al-Qur’an ditafsirkan.26 Adapun langkah metodis dalam penafsiran berbasis Ma’na Cum Magha
terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Untuk mendapatkan makna dan signifikansi historis seseorang harus melakukan analisis
bahasa teks, intratektual analisa konteks historis turunnya ayat, dan tekonstruksi siginifikansi/pesan
utama historis ayat.

b. Untuk membentuk siginifikansi dinamis dari ayat, seseorang harus menempuh langkah
menentukan kategori ayat, reaktualisasi dan kontekstualisasi, menangkap makna hisitoris
ayat dan memperkuat konstruksi signifikansi dinamis ayat.27

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.28 berdasarkan cara analisis data,
dan menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan sumber data. Adapun
metode yang digunakan adalah metode tematik (maidhu’i) dan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā.
Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk memahami makna dan keunikan objek yang diteliti.
Sedangkan jenis penelitian library research bertujuan untuk menghimpun data-data dari
beberapa literatur seperti buku, tafsir, artikel, jurnal serta sumber yang relevan dengan penelitian
ini.

26 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia 2020), hal. 9.
27 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia 2020), hal. 17.

28 Penelitian Kualitatif digunakan untuk memperoleh data yang kaya, informasi yang mendalam
tentang isu atau masalah yang akan dipecahkan. Lihat Sugiono, Metode Penelelitian Kualitatid,
(Bandung, Alfabeta: 2018), hal.3.

16

2. Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama)
atau data yang berasal dari sumber pertama yaitu al-Qur’an dan Tafsir Ilmi Makanan dan Minuman
dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains terbitan Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Tahun 2013
cetakan pertama. Selain itu, peneliti juga mengguankana tafsir-tafsir dari era klasik hingga
kontemporer sebagai data primernya.

1) Tafsir Klasik
➢Tafsir ath-Thabari atau Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya

Ibnu Jarir ath-Thabari

➢Tafsir al-Samarqandi karya Nasr ibn Muhammad al-Samarqandi

➢Tafsir Mafatih al-Ghaib karya al-Razi

2) Tafsir Pertengahan

➢Tafsir Jalalain karya Jalaludin al-Mahalli dan Jalaludin al-Suyuti

➢Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi

➢Tafsir Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim karya al-Alusi

➢Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu Katsir

3) Tafsir Modern

➢Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Rida

➢Tafsir fi Zilal al-Qur’an karya Sayyid Qutb

➢Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi


➢Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili

17

4) Tafsir Kontemporer

➢Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab

➢Tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Bin Abdul Karim Amrullah

(Hamka)

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber lain yang diperoleh dari
sumber primer. Data sekunder ini berfungsi sebagai pelengkap dari data primer, data ini berisi
tentang tulisan-tulisan yang berhubungan dengan materi yang dikaji. Dalam skripsi ini sumber
sekunder yang dimaksud adalah buku-buku penunjang selain dari sumber primer yaitu:

1) E-book, Halal dan Haram dalam Islam karya Yusuf Qardhawi


2) E-bool, Ensiklopedia Halal dan Haram dalam Islam karya Syaikh

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

3) E-book, Kiat Memilih Hidangan Halal, Aman, dan Sehat Bagi Keluarga

Muslim karya DR. H. Nanung Danar Dono

4) E-book, Wawasan al-Qur’an karya Muhammad Quraish Shihab

5) Ebook, Halal Haram Makanan karya Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar

as-Sidawi

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai untuk

mengumpulkan informasi atau fakta-fakta yang dipakai. Metode ini merupakan


18

langkah yang paling strategis dalam melakukan suatu penelitian, karena tujuan utama dalam sebuah
penelitian adalah mendapatkan data.

Pada penelitian ini metode pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi. Cara
pengumpulan data dengan metode ini adalah dengan cara mengumpulkan peninggalan tertulis,
yaitu berupa arsip-arsip yang termasuk didalamnya buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-
hukum dan lain- lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Metode studi dokumentasi
dalam penelitian ini merujuk pada dokumentasi utama yaitu al-Qur’an, penguraian ayat-ayat al-
Qur’an yang dipilah dan disesuaikan pada term-term pokok penelitian yang dibahas, yaitu tentang
makna Halālan ṭhoyyiban dengan mengacu pada sumber data-data primer dan dengan menelaah
penafsiran ayat- ayat yang disesuaikan pada pokok pembahasan.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan kaidah penelitian yang wajib dilakukan oleh semua peneliti, karena sebuah
penelitian tanpa analisis hanya akan melahirkan sebuah data mentah yang tidak mempunyai arti.29
Untuk memperoleh makna yang lebih tepat, data yang terkumpul terlebih dahulu diinterpretasi
dengan menggunakan analisis deskriptif.30 Pada penelitian ini analisis deskriptif digunakan
untuk memberikan gambaran umum tentang Halālan ṭhoyyiban dalam al-Qur’an. Kemudian,
digunakan juga untuk mengetahui bagaimana penjelasanan surah dan ayat dalam al-Qur’an yang
terkait dengan Halālan

29Albi Anggito dan Johat Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Sukabumi: CV. Jejak, 2018),

hal. 235.

30Emawati, dkk, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Studi Etnografi Tarekat Sufi di Indonesia,

Cet.1 (Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2015, hal. 26


19

ṭhoyyiban menurut beberapa mufasir dengan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā, dan selanjutnya akan
ditinjau lagi sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini.

Selanjutnya, prosedur analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis tematik atau
maudhu’i. Al-Farmawi mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk
menerapkan metode maudhu’i (tematik).31 Adapun langkah-langkah tersebut sebagai berikut:

a. Menentukan masalah yang akan dibahas.

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.

c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan kronologis turunnya, disertai

pengetahuan tentang asbab al-nuzul.

d. Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.

e. Menyusun kerangka pembahasan yang sempurna.

f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok

bahasan.

g. Meneliti ayat-ayat tersebut secara keseluruhan.


h. Menyusun kesimpulan.32

31Didi Junaedi, “Mengenal Lebih Dekat Metode Tafsir Maudhu’i”, Jurnal Diya al-Afkar, Volume

04, Nomor 1, 2016, hal. 2.

32Moh. Tulus Yamani, “Memahami Al-Qur’an dengan Metode Tafsir Maudhu’i” Jurnal J-PAI,

Volume 01, Nomor 02, 2015, hal. 20.


20

H. Kerangka Fikir

Halalan Tayyiban dalam al-

Qur’an

QS. al-Baqarah/2 : 168, QS. al- Maidah/5 : 88, QS. al-Anfal/8 :

69, dan QS. an-Nahl/16 : 114


Analisis Deskriftif

Analisis Maudhu’i / Tematik

Pendekatan Ma’na Cum

Maghza
Kesimpulan

I. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab, untuk memudahkan pemahaman dan memberikan penjelasan
tentang isi penelitian ini, maka penelitiannya dilakukan berdasarkan sistematika pembahasan
sebagai berikut:
Bab I : bab ini merupakan pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional, kajian pustaka, metode penelitian,
sistematika penulisan.

21

Bab II : tinjauan umum tentang makna Halālan ṭhoyyiban dalam al-Qur’an yang meliputi penjelasan
tentang halāl, dasar hukum makanan halāl, dan pengertian thoyyib .

Bab III : tinjauan umum tentang pendekatan Ma‘nā cum Maghzā dan cara kerja

Ma‘nā cum Maghzā dalam menafsirkan ayat.

Bab IV : pada bab ini menganalisis terhadap QS. al-Baqarah: 168, QS. al-Maidah: 88, QS. al-Anfal:
69, QS. an-Nahl: 114 mengenai makna Halālan ṭhoyyiban menggunakan pendekatan Ma‘nā cum
Maghzā.

Bab V : bab terakhir merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban d
ari rumusan masalah penelitian ini, saran-saran dan rekomendasi akhir dari peneliti.
22

BAB II

MAKNA HALĀLAN ṬHOYYIBAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN

A. Ayat-ayat Halālan ṭhoyyiban

Adapun ayat-ayat yang membahas mengenai halālan ṭhoyyiban dalam al-

Qur’an adalah :

Pertama, perintah memakan makanan yang halal dan larangan mengikuti


langkah-langkah setan33 dalam QS. al-Baqarah/2 :168.

ٌّ‫مم ْاولُك ُساَّنال اَ ُّه َيٰٓا ي‬ ُ ٰ ْ ٰ ۗ


ِ َّ‫وُ دَ ع ْمكل ٗهَّنم ِامنطيَّشال متوُ طخ ْاوُ عم َّب َتت الَّ ۖواًبم َيط اللَح ضْ َراال ىمف ا‬

‫ ٌ ْنيمبُّم‬١٦٨

Terjemahnya : “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halāl dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata
bagimu”.34 (QS. al-Baqarah/2 : 168).

Kedua, larangan mengharamkan makanan yang halal, sebagaimana firman

Allah35 dalam QS. al-Maidah/5 : 88.

‫مم ْاولُ َكو‬ ‫اّٰل‬ ‫ْٓ َّ اّٰل‬


ِ َّ‫ْٓيمذال ل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬8ْ ‫ َ ْنوُ نم ْمؤُ م ٖهمب ْ ُم ْتنا‬٨٨

Terjemahnya : “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang
halāl dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.36 (QS. al-Maidah/5 :
88).
33 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsinya, Jilid 1, Juz I-II-III, (Jakarta: UII, 1990), hal. 282.

34 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

35 Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid III, Juz VII-VIII-IX, hal. 6

36 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

23

Ketiga, masalah harta tawanan perang37 sebagaimana firman Allah dalam

QS. al-Anfal/8 : 69.


‫مم ْاولُ َكف‬ ‫َّۗ اّٰل‬ ‫اّٰل‬
ِ َّ ‫ ل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ْ ُم ْتمم َنغا‬8َّ‫ ٌ ْميمحَّ رٌرْ وُ َفغ ل نم ِِۗا‬٦٩

Terjemahnya : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu,
sebagai makanan yang halāl lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang”.38 (QS. al-Anfal/8 : 69).

Keempat, masalah makanan yang halal dan haram, sebagaimana firman

Allah dalam QS. an-Nahl/16 : 114.

‫ِمَِّم ْاولُ َكف‬8َّ ‫ َ ْنوُ ُد ْب َعت ُهاَّيما ْ ُم ْتن ْكنما لاّٰل َ َت ْمعمن ْاوُ ر ْكشا َّ ۖواًبم َيط اللَح لاّٰل ُم َك َق َزر ا‬١١٤

Terjemahnya : “Maka makanlah yang halāl lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”.39 (QS. an-
Nahl/16 : 114).

Allah menjelaskan bahwa Dia maha pemberi rezeki kepada seluruh makhluk-Nya. Dia
menganugerahkan kepada mereka kebolehan memakan makanan yang halal lagi baik, serta
melarang mereka memakan makanan yang diharamkan kepadanya. Allah menyuruh hamba-Nya
beriman memakan yang baik- baik dari rezeki yang telah dianugerahkan kepada mereka. Oleh
karena itu, hendaklah mereka bersyukur kepada-Nya jika mereka mengaku sebagai hamba Nya.
Memakan makanan halal merupakan sarana untuk diterimanya doa dan ibadah.40
37 Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid IV, Juz X-XI-XII, hal. 38.

38 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

39 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

40Abdurrohman Kasdi, “Tafsir Ayat-Ayat Konsumsi dan Implikasi Terhadap Pengembangan

Ekonomi Islam”, Jurnal Equilibrium, Volume 1, Nomor 1, Juni 2013, hal. 21.

24

Untuk lebih mudah dalam mengetahui ayat-ayat yang berbicara mengenai

halālan ṭhoyyiban, maka peneliti membuat tabel sebagai berikut :

No. Lafadz Surah Ayat Ke-

1. ‫اًبم َيط اللَح‬

al-Baqarah/2
168

2. ‫اًبم َيط اللَح‬

al-Maidah/5

88

3. ‫اًبم َيط اللَح‬

al-Anfal/8

69

4. ‫اًبم َيط اللَح‬

an-Nahl/16

114

B. Pengertian Halāl dan Thoyyib

1. Pengertian Halāl

Kata “halāl” berasal dari akar kata yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Sesuatu yang halāl
adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata “halāl” juga berati
“boleh”. Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik
kebolehan itu bersifat sunnah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran untuk ditinggalkan)
maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh),
tetapi tidak dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh.41 Halal merupakan suatu
pembolehan hukum yang diperoleh melalui
41 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung, Mizan Pustaka, 2013), hal. 195

25

penghancuran simpul permasalahan yang dilarang, dan syariat memerintahkan untuk


melakukannya.42

Pengertian halal menurut bahasa Arab yang asal katanya berasal dari halla-yahullu-hallan wa
halālan wa hulalan yang berarti dihalalkan atau diizinkan dan dibolehkan.43 Secara etimologi
makanan adalah memasukkan sesuatu melalui mulut.44 Dalam bahasa Arab makanan berasal dari
kata at- ta’am (‫ )ماعطال‬dan jamaknya al-atimah (‫ )ةمطألا‬yang artinya makan-makanan.45 Sedangkan
dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang
menghilangkan lapar.46 Halal berasal dari bahasa Arab (‫ )لالحال‬yang artinya membebaskan,
memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam
yaitu: segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya, atau
sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’. Sedangkan menurut buku petunjuk teknis sistem
produksi halal yang diterbitkan oleh DEPAG menyebutkan bahwa; makanan adalah: barang
yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum oleh manusia, serta bahan yang digunakan
dalam
42 Yusuf Qardhawi, Al Halal Wal Ahrom Fii Al Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), hal. 15.

43 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-

Qur’an, 1973), hal. 101.

44 Proyek Perguruan Tinggi Agama /IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama

Islam, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Perguruan Tinggi Agama Islam, 1982), hal. 525.

45 Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Indonesia Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hal.

201.

46 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 506.

26
produksi makanan dan minuman. Sedangkan halal adalah: sesuatu yang boleh menurut ajaran
Islam.47

Dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfadh Al-Qur’an Al-Karim, Al-Raghib al-Isfahani mengatakan bahwa
kata halāl, secara etimologi berasal dari kata halla-yahullu-hallan wa halālan wa hulalan yang
berarti melepaskan,

menguraikan, membubarkan, memecahkan, membebaskan dan

membolehkan.48 Sedangkan secara terminologi, kata halāl mempunyai arti hal- hal yang boleh dan
dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya
atau segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.

Al-Jurjani dalam kitab At-Ta’rifat menjelaskan bahwa pada dasarnya, kata halāl merujuk kepada dua
arti. Pertama, kebolehan menggunakan benda- benda atau apa yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan jasmani seperti makanan, minuman dan obat-obatan. Kedua, kebolehan
memanfaatkan, memakan, meminum dan mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan
bedasarkan ketetapan nash.

Dalam Al-Qur’an, halāl adalah sesuatu yang boleh dikerjakan, atau boleh dimakan, dengan
pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak dapat sanksi dari Allah.49 Kata halāl
disebutkan untuk menjelaskan beberapa

permasalahan seperti masalah muamalah, kekeluargaan, perkawinan dan terkait

47 Imam Masykoer, Bunga Rampai Jaminan produk Halal Di Negara Anggota MABIMS, (Jakarta:
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama R.I, 2003), hal. 21.

48 Roqib As-Sofyan, Mu’jam Al Lafdzi Al-Qur’an, (Darul Fikri, t.th).

49 Ahsin W. Al-Hafidz, M.A, Kamus Al-Qur’an, (Jakarta: AMZAH, 2005), hal. 90.
27

dengan masalah makanan ataupun rezeki. Namun demikian, kata halāl tersebut lebih banyak
digunakan dalam menerangkan masalah makanan, minuman dan rezeki. Keterangan tersebut antara
lain kita dapati dalam QS. al-Baqarah: 168, QS. al-Maidah: 88, QS. al-Anfal: 69, QS. al-Nahl: 114.

Jadi pada intinya makanan halal adalah: makanan yang baik yang dibolehkan memakannya
menurut ajaran Islam , yaitu sesuai dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan pengertian makanan
yang baik yaitu segala makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan
nafsu makan dan tidak ada larangan dalam al-Qur’an maupun hadis. Tetapi dalam hal yang lain
diperlukan keterangan yang lebih jelas berdasarkan ijma’ dan qiyas (ra’yi/ijtihad) terhadap
sesuatu nash yang sifatnya umum yang harus digali oleh ulama agar kemudian tidak menimbulkan
hukum yang syubhat (menimbulkan keraguraguan). Dan para ulama telah ijma’ tentang halalnya
binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, dan kambing serta diharamkannya segala sesuatu yang
bisa menimbulkan bahaya baik dalam bentuk keracunan, timbulnya penyakit atau adanya efek
samping (side-effect). Dengan demikian sebagian ulama’ memberikan keterangan tentang hukum-
hukum makanan dan minuman.50

2. Pengertian Thoyyib

Pengertian tayyib dalam bahasa Arab tayyib adalah masdar dari akar kata taba yang terdiri dari tiga
huruf yakni ta, alif dan ba yang bermakna halal, suci, lezat, subur, memperkenankan, dan
membiarkan. Menurut kalamuddin Nurdin

50 Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1981), hal. 303.
28

dalam kamus Syawarifiyyah menjelaskan kata tayyib yakni: kebaikan, kebajikan, kemuliaan
nikmat, berkah, kehalusan.51

Kata thoyyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menentramkan, dan paling utama. Pakar-
pakar tafsir ketika menjelaskan ini dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ia berarti
makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau dicampuri benda najis. Ada
juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya
dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Kita dapat berkata bahwa kata thoyyib dalam
makanan adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya sebelum itu adalah
halal.52

Kata thoyyib menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benar- benar baik. Bentuk jamak dari
kata ini adalah thoyyib at yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thoyyib -thoyyib ah dengan
beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza
(enak), dan halal (halal).

Thoyyiban berasal dari bahasa Arab thaba yang artinya baik, lezat, menyenangkan, enak, dan
nikmat atau berarti pula bersih atau suci. Oleh sebab itu, kata Thoyyiban mempunyai bermacam arti
yaitu baik, enak, lezat, nikmat, bersih atau suci.53

51 Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-Indonesia,

(Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), hal. 401.


52 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung, Mizan Pustaka, 2013), hal. 196.

53 Mahmud Yunus, Kamus Arab –Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan

Penafsir Al-Qur’an, 1990), hal. 276.

29

Menurut al-Isfahani, pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra
dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikan. Sedangkan menurut Ibnu
Taimiyah menerangkan dalam kitab Majmu’ Fatawa bahwa yang dimaksud dengan thoyyib adalah
yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia. Menurutnya, lawan dari kata thoyyib
adalah khabits (bentuk jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikan dan dapat merusak
fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang.

Thoyyib juga menunjukkan kepada sesuatu makanan yang terhindar dari penyakit, kotoran dan
merujuk kepada makanan yang mengandung kemanfaatan bagi tubuh, agama serta dihalalkan
oleh Allah Swt.54 Dalam al Qur’an istilah thoyyib dihubungkan dengan perintah untuk memakan
yang halal.

Dalam al-Qur’an, kata thoyyib ini disebutkan beberapa kali dalam

bentuk yang berbeda. Terkait dengan makanan, al-Qur’an menyebutkan kata Thoyyiban dengan
diawali kata halalan dalam bentuk mufradad mudzakkar (laki-laki tunggal) sebanyak empat kali
untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah
168, Surah Al- Maidah 88, Surah Al-Anfal 69, dan Surah An-Nahl 114.

Sedangkan yang tidak ada kaitannya dengan makanan, al-Qur’an


menyebutkan kata Thoyyiban dalam bentuk mufrad muannats (perempuan

54 Hani Manshur Almazeedi, Arabic Halal Vertion Brasil Tsaqofatul Halal, (Kuwait: Kuwait

Institute for Scientific Research), hal. 11.

30

tunggal) sebanyak sembilan kali dalam QS. al-Imran: 38, QS. al-Taubah: 72, QS. Yunus: 22, QS.
Ibrahim: 24 (dalam ayat ini disebut dua kali), QS. an-Nahl: 97, QS. an-Nur: 61, QS. Saba: 15, dan QS.
ash-Shaff: 12 dan sebanyak dua kali dalam mufrad mudzakkar yaitu pada QS. an-Nisa: 43 dan QS. al-
Maidah: 6.55

Al-Ghazali menyatakan secara umum setiap halal itu baik, akan tetapi bentuk kebaikannya
mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lain.56 Imam Al-Ghazali memberikan makna
Halālan ṭhoyyiban yaitu sesuatu dikatakan halālan ṭhoyyiban dari segi zat bendanya sendiri itu
diperoleh dengan cara yang baik, tidak berbahaya, tidak memabukkan dan dikerjakan menurut
syariat agama.57

Dalam menguraikan kaitan antara halāl dan thoyyib, Al-Razi menjelaskan bahwa kata al-
thoyyib dari segi bahasa berarti bersih dan halāl, disifatkan baik. Sedangkan makna asalnya
menunjukkan kepada apa yang melezatkan dan mengenakkan sesuai dengan selera.58 Wahbah
Al-Zuhayli mengatakan kata Thoyyiban yang dirujuk pada makanan, tidak mempunyai unsur syubhat,
tidak berdosa (jika mengambilnya) dan tidak memiliki kaitan dengan hak orang lain.59 Pendapat ini
tidak saja menekankan pada aspek materi

55 Azharuddin Sahil, Indeks Al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1997), hal. 69.

56 Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Vol. 3, (Kairo: Maktabah Mishr, 1998), hal. 122.

57 Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Cet 1, (Surabaya: Purta Pelajar, 2002),

hal. 45.

58 Fakhr al-Din al- Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 4.

59 Wahbah al-Zuhayli, Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: al-

Fikr al-Mu’asir, 1991), hal. 73.

31
makanan, tapi juga menghukumi persoalan dari mana ia didapat atau dengan

kata lain berkaitan dengan sumbernya.

Ibnu Katsir60 dan al-Shabuni61 mengatakan halālan ṭhoyyiban merujuk kepada apa yang telah
dihalalkan oleh Allah SWT dan Thoyyiban sesuatu yang halal itu sesuai dengan harkat diri seseorang
yang tidak mendatangkan bahaya pada tubuh dan akalnya. Penafsiran ini menekankan bukan saja
soal halal tapi juga soal kesesuaian dan keselamatan diri dari penggunaan barang atau makanan
yang halal. Kesimpulannya halālan ṭhoyyiban adalah makanan atau minuman yang dihalalkan dan
mendatangkan kebaikan kepada manusia, tetapi tahap kebaikan tersebut bergantung kepada
kesesuaiannya dengan diri individu yang bisa memberikan kesehatan tubuh dan akal. Disamping itu
mesti dijamin kebersihan dan kesuciannya dan tidak boleh mengandung unsur-unsur syubhat dan
dosa (termasuk cara mendapatkannya). Pesan penting yang bisa diambil dari penafsiran diatas,
seorang muslim diperhatikan agar senantiasa berhati-hati dalam soal konsumsi pangan dengan
melihat dua unsur penting halālan ṭhoyyiban.

C. Dasar Hukum Makanan Halal

Halal berarti boleh dimakan, boleh dipergunakan, (menurut aturan agama).62 Makanan bahasa
Arabnya adalah tha’am. Adapun pengertian tha’am secara istilah berarti segala sesuatu yang bisa
dimakan yang dijadikan sebagai

60 Abu Fida’ Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Juz 1 (Mesir: Dar al-Kalimah, 1998), hal. 280.

61 Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah Al-Tafsir, Juz 1 (Kairo Dar al-Shabuni, 1997), hal. 135.

62 Samsuri hamzah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Surabaya Greisinda Press, tt), hal.

252.
32

bahan makanan pokok, seperti gandum kasar, gandum halus, dan kurma. Termasuk dalam
pengertian ini segala sesuatu yang tumbuh dari bumi yang berupa tanam-tanaman, buah-buahan,
serta hewan-hewan yang boleh dimakan, baik hewan darat maupun hewan laut. Sedang minuman
dalam bahasa Arabnya adalah syarab. Sementara syarab adalah sebutan untuk segala yang diminum
dari jenis apapun, baik air maupun selainnya, dan dalam keadaan bagaimana pun. Setiap sesuatu
yang tidak dikunyah untuk menelannya maka disebut sebagai minuman.63

Makanan secara keilmuan dan kesehatan tidak memandang apakah makanan tersebut halal atau
tidak, sebab yang dijadikan sebagai tolak ukurnya ialah unsur gizi dari bahan makanan dan produk
makanan. Apabila suatu bahan makanan memiliki unsur gizi yang baik dan di dalamnya mengandung
bahan mineral makro dan mikro seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin yang dapat
mendukung kinerja tubuh lebih baik, serta terbukti secara klinis, maka makanan tesrebut sehat dan
baik untuk dikonsumsi tanpa melihat asal dari makanan dan bagaimana cara memperolehnya.64

Makanan higienis merupakan makanan yang tidak mengandung racun yang membahayakan
kesehatan dan tidak mengandung kuman penyakit. Sedangkan makanan bergizi adalah makanan
yang megandung unsur gizi yang

63 Fida’ Yazid Abu, Ensiklopedi Halal Haram Makanan, (Solo: Pustaka Arafah, 2014), hal. 21

64 Maftuhah, “Halal Food in the Perspective of al-Qur’an, Science and Heath”, Jurnal Bimas Islam,

Vol. 7, No. II, 2014, hal. 390.


33

lengkap, yaitu terdiri atas karbohidrat, protein, mineral, lemak, vitamin, dan air.65

Makanan halal adalah makan yang memenuhi tiga kriteria halal. Pertama, halal dzatnya merujuk
kepada bahan dasar makanan itu tidak mengandung unsur yang dilarang. Kedua, halal dari cara
memperolehnya maksudnya adalah rizki yang digunakan untuk memperoleh makanan tersebut dari
perkerjaan yang dibolehkan dan tidak diharamkan. Ketiga, halal dari cara pengolahannya. Hal ini
berarti bahwa dalam proses pengolahan makanan tidak menggunakan unsur zat yang diharamkan
oleh agama.66

Prinsip pertama yang ditetapkan Islam, pada asalnya adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah itu
halal. tidak ada yang haram, kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatannya)
dan shahih (jelas maknanya) yang mengharamkannya.67

Pada asalnya, segala sesuatu itu mubah (boleh) sebelum ada dalil yang mengharamkannya.68
Para ulama, dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asal hukumnya boleh, merujuk pada
beberapa ayat dalam QS. al-Baqarah/2 : 29.

‫اًعْ يم َمج ضْ َراال ىمف اَّمْمكل َقلَخ ْيمذال ََّوُ ه‬


65 N. Hanifa Luthfeni, Makanan yang Sehat, (Bandung: Azka Press, 2006), hal. 56.

66 Maftuhah, “Halal Food in the Perspective of al-Qur’an, Science and Heath”, Jurnal Bimas Islam,

Vol. 7, No. II, 2014, hal. 377.

67 Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, (Solo: Era Intermedia, 2003), hal. 36.

68 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet.1, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal.127.

34

Terjemahnya : “Dialah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu dibumi...”.69 (QS. al-Baqarah/2
: 29).

Dari sinilah maka wilayah keharaman dalam sysriat Islam sesungguhnya sangatlah sempit, sebaliknya
wilayah kehalalan terbentang sangat luas, jadi selama segala sesuatu belum ada nash yang
mengharamkan atau menghalalkannya, akan kembali pada hukum asalnya, yaitu boleh yang berada
diwilayah kemaafan Tuhan.

Dalam hal makanan, ada yang berasal dari binatang dan ada pula yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan. Ada binatang darat dan ada pula binatang laut. Ada binatang suci yang boleh
dimakan dan ada pula binatang najis dan keji yang terlarang memakannya. Demikian juga makanan
yang berasal dari bahan-bahan tumbuhan. untuk seterusnya marilah mempelajari keterangan dari
al-Qur’an dan hadis yang menyatakan makanan dan minuman yang halal dan yang haram dan
kesimpulan hukum yang diambil dari pada keduanya.70

Kepedulian Allah SWT sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas makan untuk makhluknya.
Hal ini tercermin dari firmannya dalam al-Qur’an mengenai kata ta’am berarti ”makanan” yang
terulang sebanyak 48 kalid alam berbagai bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang
berarti ”makan” sebagai kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai derivasinya,
termasuk perintah ”makanlah” sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan yang

69 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

70 H.M.K. Bakri, Hukum Pidana Dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 2003), hal. 143.

35
berhubungan dengan makan yaitu ”minum” yang dalam bahasa al-Qur’an disebut

syariba terulang sebanyak 39 kali.71

Betapa pentingnya makanan untuk kehidupan manusia, maka Allah SWT mengatur bahwa aktifitas
makan selalu diikuti dengan rasa nikmat dan puas, sehingga manusia sering lupa bahwa makan itu
bertujuan untuk kelangsungan hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan.

Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh- tumbuhan sayur-sayuran,
buah-buahan dan hewan adalah halal kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa
manusia.72 Dasar hukum al-Qur’an tentang makanan halal diantaranya yaitu:

‫مم ْاولُ َكو‬ ‫اّٰل‬ ‫اّٰل‬ ْٓ


ِ َّ‫ْٓيمذال َّل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬8ْ ‫ َ ْنوُ نم ْمؤُ م ٖهمب ْ ُم ْتنا‬٨٨

Terjemahnya : “Dan makanlah makanan yang halāl lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.73 (QS. Al-Maidah/5 :
88).

Ayat-ayat diatas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya wajib karena
merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan juga hal tersebut merupakan salah satu bentuk
perwujudan dari rasa syukur dan keimanan
71Tiench Tirta Winata, Makanan dalam Perspektif al-Qur’an dan Ilmu Gizi, (Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 2006), hal. 1.

72Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003), hal. 7.

73 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

36

kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandangsebagai mengikuti ajaran
setan.

Sebenarnya dalam al-Qur’an makanan yang di haramkan pada pokoknya

hanya ada empat yaitu dalam Q.S. al-Baqarah/2 :173.

ْ ْ‫ُطضا م َن َمف ۚلاّٰل مرْ َيغمل ٖهمب لم َّه ا ْٓاَ َمو مر‬
ْ ‫يمزنمخال َمْحلَو َمَّدالَو َ َة ْت َيمال‬
‫ُمكيلَع َم ََّرح اَمَّنما‬ ْ ‫غاَب َرْ َيغ َّر‬
‫ ٌ ْميمحَّ رٌرْ وُ َفغ لاّٰل نما َّ ِۗمهْيلَع َ ْمثما ْٓالَف ٍداَع الَّو‬١٧٣

Terjemahnya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.74 (Q.S. al-Baqarah/2 :173).

Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan

diantaranya:

1. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih;
termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan
buas, kecualiyang sempat menyembelihnya, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh
dimakan.

2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah

darah yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang
74 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

37

tersisa setelah penyembelihan yanga da pada daging setelah dibersihkan

dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa.

3. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya,

dagingnya, maupun tulangnya.

4. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.


Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal menurut

syariat Islam adalah:

1. Halal dzatnya

2. Halal cara memperolehnya

3. Halal dalam memprosesnya

4. Halal dalam penyimpanannya

5. Halal dalam pengangkutannya

6. Halal dalam penyajiannya.75


75 Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat

Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Poduki Halal, (Jakarta: tp, 2003), hal. 17

38
BAB III

TINJAUAN UMUM PENDEKATAN MA‘NĀ CUM MAGHZĀ SAHIRON

SYAMSUDDIN

A. Biografi Sahiron Syamsuddin

Sahiron Syamsuddin dilahirkan di kota Cirebon pada 11 Agustus 1968, saat ini beliau berstatus
sebagai dosen Ushuluddin di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Selain menjadi pengajar di UIN Sunan
Kalijaga beliau juga menjalankan aktivitas mengajar di beberapa tempat diantaranya pondok
pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta. Latar belakang keagamaan keluarga Sahiron adalah
penganut aliran sunni tradisional yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh
penduduk Indonesia. Sebelum melanjutkan studinya ke Kanada dan Jerman untuk belajar studi
Islam dan hermeneutika, Sahiron memperoleh pendidikan tradisional dan modern secara formal
dan informal dari bangku SD hingga SMA.

Saat beliau menginjak masa perkuliahan, pertama kali yang harus

dilakukannya ialah mengembangkan intelektualnya, sehingga ia ingin

mengkombinasikan ilmu tradisional yang ia peroleh dengan ilmu modern. Sehingga menjadi
keinginannya untuk mempelajari keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang lebih mendalam dengan
meneruskan studinya ke Negara Kanada dan Jerman pada Universitas McGill Kanada dan
Universitas Bamberg Jerman. Di universitas pertama, ia memperoleh pendidikan tentang kajian
Islam dan berhasi meriah gelar Master dalam bidang interpretasi sedangkan untuk universitas
kedua ia
39

memperoleh pendidikan tentang kajian Islam, Orientalisme, Filsafat Barat, dan

Sastra Arab.

Semasa belajar di Barat, Sahiron banyak bertemu dengan pemikir Barat yang mengkaji Islam dari
berbagai perpektif. Selain belajar studi ke-Islaman di Barat, ia juga tertarik untuk mempelajari
hermeneutika. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan in tidak lepas dari latar belakang
kehidupannya sebagai seorang penafsir yang kental dengan metodologi penafsiran teks. Dari sikap
komitmen dan konsistennya tersebut, Sahiron Syamsuddin mencoba mengangkat topik besar yang
menjadi obsesinya yaitu Islam dengan visi al-Quran; suatu gagasan untuk mewujudkan cita-cita
Alquran yang senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan ulang oleh setiap generasi guna menemukan
makna ideal dalam setiap teks al-Qur’an, karena kemahiran dan sepak terjang dan keseriusannya di
dunia keilmuan sehingga namnya menjadi mashur dan diperhitungkan di dunia internasional.76

B. Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā

Teori Ma‘nā cum Maghzā pertama kali dikenalkan oleh Sahiron Syamsuddin dengan
memodifikasi teori Fazlur Rahman dan Abu Zayd. Teori Ma‘nā cum Maghzā menjelaskan bahwa
seorang pembaca harus mencari makna awal teks (makna objektif) yang dipahami oleh pendengar
atau penerima al-Qur’an. Selanjutya dari makna itu dicari makna signifikansinya dengan konteks
masa kini.77
76 Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin Tahun

1990-2013), (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN SUKA, 2013), hal. 12.

77 Adi Fadilah, “Ma’na-Cum-Maghza Sebagai Pendekatan Kontekstual dalam Perkembangan


Wacana Hermeneutika Aquran di Indonesia”, Jurnal Of Qur’an And Hadith Studies, Vol. 8, No. 1,
2019, hal. 12.

40

Sahiron Syamsudin membagi aliran hermenetika dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran
menjadi tiga aliran, yaitu aliran obyektivis,78 aliran obyektivis79 cum subyektivis.80 Menurutnya
dengan melihat kecenderungan dari aliran-aliran umum tersebut, bahwa di sana terdapat kemiripan
dengan aliran dalam penafsiran al-Quran saat ini. Sehingga ia pun membagi tipologi penafsiran
konteporer menjadi tiga yaitu quasi obyektivis tradisionalis,81 pandangan quasi obyektivis
modernis82 dan pandangan subyetivis. 83 Dari ketiga pandangan di atas,

78 Aliran Obyektivis, yaitu aliran hermeneutika yang lebih menekankan pada pencarian makna asal
dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan dll). Jadi,
penafsiran disini adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Di antara yang
bisa digolongkan dalam aliran ini adalah Friedrich D. E. Schleirmacher dan Wiliam Dilthey. Lihat,
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 26.

79 Aliran Subyektivis, yakni aliran yang lebih menekankan pada peran para pembaca/ penafsir dalam
pemaknaan terhadap teks. Menurutnya, pemikiran-pemikiran dalam aliran ini terbagi menjadi tiga.
Ada yang sangat subjektivis, yaitu ‘dekonstruksi’ dan readerresponse critism. Ada yang agak
subjektivis seperti post- strukturalisme dan ada yang kurang subjektivis, yakni strukturalisme.
Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 26.

80 Aliran objektivis-cum-subjektivis, yakni aliran yang memberikan keseimbangan antara pencarian


makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah Hans
Georg Gadamer dan Jorge J.E. Gracia. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan
Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 27.

81 Pandangan quasi objektivis tradisionalis, yaitu suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an
harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa sekarang, sebagaimana ia dipahami,
ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Menurut Sahiron, bagi kelompok ini, esensi
pesan Tuhan adalah yang tertera secara tersurat dan pesan itulah yang harus diaplikasikan di
manapun dan kapanpun. Di antara yang tergolong kelompok ini, menurutnya, seperti Ikhwanul
Muslimin dan kaum salafi. Lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 73.

82 Pandangan quasi-objektivis modernis, yang memandang makna asal literal sebagai pijakan awal
untuk memahami makna dibalik pesan literal yang merupakan pesan utama Al-Qur’an. Makna di
balik pesan literal inilah yang menurut mereka harus diimplementasikan pada masa kini dan akan
datang. Menurut Sahiron, contoh dari kelompok ini antara lain; Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu
Zayd dan Muhammad al- Thalibi. Lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan
Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 73.

83 Pandangan subjektivis adalah pandangan yang menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya
merupakan subjektivitas penafsir, sehingga kebenaran interpretatif itu bersifat relatif. Atas dasar ini,
maka menurut kelompok ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan Al-Qur’an
sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat Al-Qur’an ditafsirkan. Yang termasuk
kelompok ini menurut Sahiron adalah Muhammad Syahrur. Lihat Sahiron Syamsuddin,
Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press,
2017), hal. 73.
41

menurut Sahiron yang paling dapat diterima adalah pandangan quasi obyektivis modernis, sebab di
sana terdapat keseimbangan hermenutika, dalam artian memberi perhatian yang sama terhadap
makna asal literal dan pesan utama di balik makna literal. Dengan memberikan penjelasan tambahan
tentang signifikansi, kemudian ia mengistilahkan teori pembacaannya tersebut dengan
pembacaan Ma‘nā cum Maghzā. Jadi teori penafsiran hermeneutika yang paling sesuai adalah
pembacaan Ma‘nā cum Maghzā yaitu, penafsiran yang menjadikan makna asal literal (makna
historis, tersurat) sebagai pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi, makna
terdalam, tersirat). Menurutnya sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan makna literal teks,
karena ia monositik, objektiv, dan historis- statis. Sementara pemaknaan terhadap signifikansi teks
bersifat pluralis, subjektiv (juga intersubjektiv) dan historis-dinamis sepanjang peradaban
manusia. Pendekatan seperti ini, menurut mereka merupakan gabungan antara wawasan teks dan
wawasan penafsir antar masa lalu dengan masa kini, antara aspek ilahi dengan aspek manusiawi.
Maka, menurut mereka teori penafsiran yang didasarkan pada perhatian yang sama terhadap
makna dan signifikansi terdapat balanced hermeneutics.84

Sahiron menegaskan bahwa teori penafsiran Ma‘nā cum Maghzā ini

sejatinya merupakan elaborasi teori aplikasi Gadamer.85 Menurutnya teori ini persis

84 Asep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya”; Telaah atas Teori Ma’na Cum Maghza
dalam Penafsiran al-Quran”, Jurnal Studi Ilmu al-Quran dan Hadis, Vol. XVII, No. 1, Januari 2016, hal.
84.

85 Teori aplikasi (Anwendung) yang digagas oleh Gadamer adalah teori yang menegaskan bahwa
setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu
muncul, dia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/ reinterpretasi dengan
tetap memperhatikan

42

sebagaimana konsep al-Ghazali yang membedakan antara al-ma’na al-zahir dan al-ma’na al-batin.
Nasr Hamid Abu Zayd menamakannya dengan ma’na dan maghza,86 Hirch menyebutnya meaning
dan significance, dan Gadamer87 yang mengistilahkannya dengan sinn dan sinnesgenaph. Gadamer
menyatakan bahwa sejarahlah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh
sejarah. Ia mengistilahkan teorinya tersebut dengan teori kesadaran sejarah (effective- historical
conciousness). Secara umum dapat dijelaskan bahwa inti dari teori kesadaran sejarah tersebut
dan teori pra pemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus hati-hati dalam menafsirkan teks
dan tidak menfasirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari pra
pemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah (pengetahuan awal, pengalaman dll.) Adapun
dengan teori the fusion of horizons, ia menyatakan bahwa dalam proses penafsiran, terdapat dua
horison utama yang harus diperhatikan dan diasimilisasi, yaitu horison teks dan horison penafsir.
Sedangkan teori aplikasi (Anwendung) adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang
penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu muncul, ia lalu
melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi / reinterpretasi dengan tetap
memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Penafsiran ini
menurut mereka dilakukan dengan memperhatikan konteks tekstual dengan analisis
kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Lihat, Sahiron Syamsuddin,
Hermeneutika

dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 85.

86 Ahmad Rasyuni, Nazariyah al-Maqasid ‘ind al-Imam al-Syatibi, (Virginia: The Internasional of

Islamic Thought and Civilization, 1997), hal. 57.

87 E. Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger,

and Gadamer, (Evanston: Nortwestern University Press, 1967), hal. 12.

43

bahasa sebagai basis dan konteks sejarah di mana teks itu muncul dengan analisis

historis sebagai instrumentnya.

Sahiron Samsuddin menyatakan bahwa teori Ma‘nā cum Maghzā sejalan dengan dengan teori
takwil Nasr Hamid Abu Zayd yang membedakan antara keterkaitan makna asli (ma’na) dan makna
baru (maghza).88 Nasr Hamid sendiri, mengikuti gagasan hermeneutika E. D. Hirsch.89 Menurut
Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna
adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tanda-tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa
yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau
sesuatu yang bisa dibayangkan.
Jika diperhatikan, teori penafsiran Ma‘nā cum Maghzā tersebut juga, terpengaruh oleh teori
double movement dan konsep ideal morallegal formal Fazlur Rahman. Dalam teori gerak
gandanya, Rahman menerangkan bahwa, gerakan pertama diawali dari pemahaman situasi
sekarang menuju ke masa turunnya al- Qur’an, yakni memahami konteks mikro dan makro pada saat
itu. Pemahaman tersebut akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di
tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi
dunia yang lebih luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan menghasilkan rumusan narasi atau
ajaran Alquranyang koheren tentang prinsip-

88 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta:

Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 86.

89 Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron
Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yoyakarta: Islamika, 2003), hal. 105.
Lihat juga Lailatu Rohmah, “Hermeneutika al-Qur’an: Studi atas Metode Penafsiran Nasr Hamid Abu
Zaid”, Hikmah: Jurnal Hermeneutika al-Qur’an, Vol. XII, No. 2, 2016, hal. 229.

44

prinsip umum dan sistematik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-
perintah yang bersifat normatif.

Berkaitan dengan teori Ma‘nā cum Maghzā seperti yang telah disebutkan di atas, dimana merupakan
elaborasi dari berbagai konsep fan teori hermenutika Gadamer, Nasr Hamid Abu Zayd, Hirch
termasuk juga Fazlur Rahman yang kesemuanya berpedoman bahwa makna literal merupakan
pijakan awal untuk memahami pesan utama teks ( signifikansi). Oleh karena itu, di sini akan
diketengahkan kritik atas teori hermenutika para tokoh yang dijadikan sebagai sumber teori Ma‘nā
cum Maghzā tersebut.

Menurut Sahiron, signifikansi terbagi menjadi dua yaitu; signifikansi fenomenal dan signifikansi
ideal. Pertama, yang dimaksud dengan signifikansi fenomenal adalah pesan utama yang dipahami
dan diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa Nabi hingga saat ia ditafsirkan
pada periode tertentu. Ia terbagi menjadi dua yaitu signifikansi fenomenal historis dan
signifikansi fenomenal dinamis, dimana signifikansi fenomenal historis adalah pesan utama sebuah
ayat yang dipahami dan didefinisikan pada masa pewahyuan. Sementara signifikansi fenomenal
dinamis adalah pesan al-Qur’an yang dipahami dan didefinisikan pada saat ayat tersebut
ditafsirkan dan setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk memahami signifikansi fenomenal
histori maka yang diperlukan pemahaman terhadap konteks makro dan mikro90 sosial keagaman
masyarakat yang hidup pada masa pewahyuan. Informasi-informasi historis terkandung dalam asbab

90 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta:

Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 87.

45
al-nuzul menjadi sangat penting. Sementara itu, untuk memahami signifikansi fenomenal dinamis
diperlukan pemahaman terhadap perkembangan pemikiran dan logika zaman pada saat penafsiran
teks.

Kedua, adapun yang dimaksud dengan signifikansi ideal adalah akumulasi ideal dari pemahaman-
pemahaman signifikansi ayat. Akumulasi ini akan diketahui pada akhir tujuan atau setelah diketahui
maksud dari kehendak Allah yang tertuang pada sebuah makna teks. Sehingga dari hal ini dapat
diketahui bahwa sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan terletak pada pemaknaan teks
meliankan pada pemaknaan terhadap signifikan (pesan utama) teks.91

C. Langkah-langkah Metodis Penafsiran Berbasis Ma‘nā cum Maghzā

Sebelum langkah-langkah metodis diuraikan, penulis terlebih dahulu menegaskan kembali bahwa
pendekatan ma‘nā cum maghzā adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau
merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan pesan
utama/signifikansi (maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh
audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian
dan kedisinian. Dengan demikian, ada tiga hal penting yang seyogyanya dicari oleh seorang
penafsir, yakni (1) makna historis (al-ma‘nā al-tārīkhī), (2) signifikansi fenomenal historis (al-maghzā
al-tārikhī), dan (3) signifikansi fenomenal dinamis (al-maghzā

91 Asep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya” (Telaah atas Teori Ma’na Cum
Maghza dalam Penafsiran al-Quran)”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 17. No. 1,
Januari 2016, hal. 85.
46

al-mutaḥarrik) untuk konteks ketika teks Al-Qur’an ditafsirkan.92 Adapun langkah

metodis dalam penafsiran berbasis Ma’na Cum Magha terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Untuk mendapatkan makna dan signifikansi historis seserang harus melakukan analisis bahasa
teks, intratektual analisa konteks historis turunnya ayat, dan tekonstruksi siginifikansi/pesan utama
historis ayat.

2. Untuk membentuk siginifikansi dinamis dari ayat, seseorang harus menempuh langkah
menentukan kategori ayat, reaktualisasi dan kontekstualisasi, menangkap makna hisitoris
ayat dan memperkuat konstruksi signifikansi dinamis ayat.93

Lebih jelasnya, untuk menggali makna historis (al-ma‘nā al-tārikhī) dan signifikansi fenomenal
historis (al-maghzā al-tārikhī), seorang penafsir melakukan langkah-langkah berikut ini :

➢Penafsir menganalisa bahasa teks al-Qur’an, baik kosakata maupun strukturnya. Dalam hal ini,
dia harus memperhatikan bahwa bahasa yang digunakan dalam teks al-Qur’an adalah bahasa
Arab abad ke-7 M. yang mempunyai karakteristiknya sendiri, baik dari segi kosa kata
maupun struktur tata bahasanya. Al-Syāṭibī, misalnya, menegaskan bahwa untuk memahami Al-
Qur’an seseorang harus mencermati bagaimana bahasa Arab saat itu digunakan
92 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 9

93 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 17.

47

oleh bangsa Arab.94 Pernyataan senada dikemukakan juga oleh Friedrich Schleiermacher, salah
seorang ahli hermeneutika umum: “Everything in a given utterance which requires a more precise
determination may only be determined from the language area which is common to the author and
his original audiences”95 (Segala hal yang ada dalam ungkapan tertentu yang menuntut penentuan
(makna) yang lebih tepat hanya dapat ditetapkan melalui bidang bahasa yang telah diketahui oleh
pengarang dan audiens orisinal/aslinya). Hal ini sangat ditekankan karena, menurut para ahli
bahasa, bahasa apapun, termasuk Bahasa Arab itu mengalami diakroni (perkembangan dari masa
ke masa), baik dalam hal struktur maupun makna lafal. Karena itu, ketika menerjemahkan atau
menafsirkan kosakata dari al-Qur’an, seseorang harus memperhatikan penggunaan dan makna
kosakata tersebut saat diturunkannya.

➢Untuk mempertajam analisa ini penafsir melalukan intratektualitas, dalam arti membandingkan
dan menganalisa penggunaan kata yang sedang ditafsirkan itu dengan penggunaannya di ayat-ayat
lain.

➢Apabila dibutuhkan dan memungkinkan, penafsir juga melakukan analisa


intertekstualitas, yakni analisa dengan cara menghubungkan dan

membandingkan antara ayat al-Qur’an dengan teks-teks lain yang ada di sekitar al-Qur’an. Analisa
intertekstualitas ini biasa dilakukan dengan cara membandingkannya dengan hadis Nabi, puisi
Arab, dan teks-teks dari Yahudi

94 Abu Ishaq Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hal. 255.

95 Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, and Other Writings, terj. Andrew Bowie
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hal. 30. Lihat juga Sahiron Syamsuddin,
Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press,
2017), hal. 66.

48

dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup pada masa pewahyuan al-Qur’an. Dalam hal ini, dia
menganalisa sejauh mana makna sebuah kosa kata dalam al- Qur’an bisa diperkuat oleh teks di
luar Al-Qur’an. Selain itu, penafsir seyogyanya menganalisa apakah ada perbedaan arti dan konsep
kata/istilah yang ada dalam al-Qur’an dengan arti dan konsep kata/istilah yang digunakan di sumber-
sumber lain. Hal yang penting juga, meskipun tidak harus, adalah bahwa penafsir juga memberikan
keterangan apakah konsep Qur’ani itu mengalami dinamisasi atau tidak di masa-masa setelah
diturunkannya Al- Qur’an (pasca-Qur’ani/post-Qur’anic).
➢Penafsir memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat-ayat AlQur’an, baik itu yang bersifat
mikro ataupun bersifat makro. Konteks historis makro adalah konteks yang mencakup situasi dan
kondisi di Arab pada masa pewahyuan Al- Qur’an, sedang konteks historis mikro adalah kejadian-
kejadian kecil yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang biasa disebut dengan sabab al-
nuzūl.96 Tujuan utama memperhatikan konteks historis penurunan ayat tertentu adalah, selain
memahami makna historis dari kosa kata dalam ayat tertentu, juga menangkap apa yang disebut
dengan “signifikansi fenomena historis”, atau maksud utama ayat (maqṣad al-āyah) itu ketika
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

➢Penafsir mencoba menggali maqṣad atau maghzā al-āyah (tujuan/pesan utama ayat yang sedang
ditafsirkan) setelah memperhatikan secara cermat ekspresi

96 Waliallah al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabīr fi Uṣūl al-Tafsīr, (Daru al-Shohwah, 1984), hal. 31.

49

kebahasaan dan atau konteks historis ayat al-Qur’an. Maqṣad atau maghzā al- āyah ini terkadang
disebutkan secara eksplisit di dalam ayat dan sering sekali tidak disebutkan. Apabila ia disebutkan
secara eksplisit, maka penafsir melakukan analisa terhadapnya. Adapun apbila ia tidak disebutkan
dalam ayat, maka konteks historis, baik mikro maupun makro, kiranya dapat membantu penafsir
untuk menemukan maqṣad atau maghzā al-āyah. Sekali lagi, pada tahapan metodis ini, yang dicari
adalah maqṣad atau maghzā al-āyah yang ada pada masa Nabi Saw. Terkait dengan ayat hukum,
maksud utama ayat disebut oleh al-Syāṭibī dengan maqāṣid al-syaī‘ah dan oleh Fazlur Rahman
dengan ratio legis (alasan penetapan hukum). Adapun selain ayat hukum, kita bisanya menyebutnya
dengan al-maghzā.97

Selanjutnya, untuk Kontruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis penafsir mencoba


mengkontekstualisasikan maqṣad atau maghzā al-āyah untuk konteks kekinian, dengan kata lain
seorang penafsir berusaha mengembangkan definisi dan kemudian mengimplementasi signikansi
ayat untuk konteks ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Adapun langkah-langkah metodisnya adalah
sebagai berikut:

➢Penafsir menentukan kategori ayat. Sebagian ulama membagi kategori ayat menjadi tiga bagian
besar, yakni: (1) ayat-ayat tentang ketauhidan, (2) ayat-ayat hukum, dan (3) ayat-ayat tentang kisah-
kisah nabi dan umat terdahulu.98 Terkait dengan ayat-ayat hukum, Abdullah Saeed membaginya ke
dalam lima hirarki

97 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 12.

98 Badr al-Dīn Muḥammd ibn ‘Abd Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār

al-Ma‘rifah, 1972), hal. 18.

50

nilai: (1) obligatory values (nilai-nilai kewajiban), seperti ayat-ayat tentang shalat, puasa, zakat dan
haji, (2) fundamental vealues (nilai-nilai dasar kemanusiaan), seperti ayat-ayat tentang perintah
menjaga kehormatan manusia, menjaga jiwa dan harta, menunaikan keadilan dan berbuat baik
kepada sesama,
(3) protectional values (nilai-nilai proteksi), yakni ayat-ayat yang berisi proteksi atas nilai-nilai
fundamental, seperti ayat-ayat tentang larangan membunuh orang, larangan mengurangi
timbangan ketika berjualan, larangan mengkonsumsi makanan dan minuman yang merusak akal
pikiran dan lain-lain,

(4) implementational values (nilai-nilai yang implementasikan), yakni ayat-ayat yang berisi tentang
pelaksanaan hukuman tertentu ketika seseorang itu merusak atau melanggar nilai-nilai dasar
kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang hukuman qisas bagi pembunuh, hukuman potong tangan
bagi pencuri, hukuman rajam bagi orang yang melakukan perzinaan, dan (5) instructional values
(nilai- nilai instruksi), yakni ayat-ayat yang berisi instruksi Allah kepada Nabi Muhammad Saw
dan Sahabatnya dalam rangka menyelesaikan problem tertentu, seperti ayat poligami diturunkan
untuk mengatasi problem anak yatim dan problem ketidakadilan dalam keluarga.99 Tiga hirarki yang
pertama (yakni obligatory values, fundamental values dan protectional values) bersifat universal
dan tidak memerlukan kontekstualisasi, sedangkan dua nilai terkahir (yakni implementational
values dan instructional values) membutuhkan

99 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London and New
York: Routledge, 2006), hal. 126. Lihat juga Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza
atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer,
(Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 14.

51

reaktualisasi dan kontekstualisasi dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, karena kedua macam nilai
ini terkait erat dengan aspek budaya Arab dan situsi serta kondisi yang ada saat itu. Kategorisasi
ini sangat penting dalam rangka menentukan sejauh mana seseorang bisa melakukan
kontekstualisasi dan merekonstruksi ‘signifikansi fenomenal dinamis’.

➢Penafsir mengembangkan hakekat/definisidan cakupan “signifikansi

fenomenal historis” atau al-maghzā al-tārikhī untuk kepentingan dan kebutuhan pada
konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), di mana/ketika teks Al-Qur’an itu
ditafsirkan. Sebagai contoh, seorang menafsirkan Q.S. al-Mā’idah: 51 yang berisi larangan
mengangkat kaum Yahudi dan Kristiani sebagai awliyā’ (teman setia) untuk membela dan
mempertahankan Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw. Dia menganalisa aspek-aspek bahasa
pada ayat tersebut dan memperhatikan konteks sejarah diturunkannya. Singkat kata, ia menemukan
bahwa alasan larangan tersebut adalah bahwa karena sekelompok Yahudi mengkhiyanati
kesepakatan bersama penduduk Madinah saat itu, yakni “Piagam Madinah”.100 Peristiwa

pengkhiyanan Yahudi yang menjadi dasar pelarangan menjadikan mereka sebagai “teman setia”
atau “pembela Madinah” adalah “signifikasi fenomenal historis”. Hal ini lalu dikonstruksi secara lebih
luas untuk konteks kekinian dan kedisinian, sebagai berikut: (1) semua orang tidak boleh
mengkhiyanati

100 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 131.

52
kesepakan bersama, baik dalam bidang politik, kemasyarakatan maupun bisnis, dan (2) siapapun
yang melakukan pengkhiyatan harus siap untuk tidak dipercaya lagi oleh orang yang dikhiyanati.
Kedua poin inilah kita sebut dengan “signifikansi fenomenal dinamis.” Dalam mengembangkan
“signifikansi fenomenal dinamis”, seseorang memperhatikan perkembangan nilai sosial (yang
sudah menjadi kesepatakan bersama dalam komunitas tertentu atau bahkan masyarakat dunia)
pada saat teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Dengan demikian, signifikansi fenomenal dinamis ini akan
terus berkembang pada setiap masa dan bisa saja bervariasi implementasinya. Di sinilah terdapat sisi
subyektivitas penafsir dalam mengkomunikasikan apa yang terdapat di dalam teks al-Qur’an dengan
realita kehidupan dan nilai sosial yang ada. Yang pasti adalah bahwa hal ini dilakukan untuk
menunjukkan bahwa teks al-Qur’an itu ṣāliḥ li kulli zamān wa makān (sesuai untuk segala zaman dan
tempat) dan kitab suci ini diturunkan untuk kemaslahatan manusia dan alam semesta.

➢Penafsir menangkap makna-makna simbolik ayat Al-Qur’an. Sebagian ulama berpandangan


bahwa makna lafal dalam Al-Qur’an itu memiliki empat level makna: (1) ẓāhir (makna
lahiriah/literal), (2) bāṭin (makna batin/simbolik), (3) ḥadd (makna hukum), dan (4) maṭla‘ (makna
puncak/spiritual).21 Ketiga level makna yang disebutkan terakhir (yakni: bāṭin, ḥadd dan maṭla‘)
merupakan makna-makna simbolik yang di maksud di sini.

➢Penafsir mengembangkan penafsiran dengan mengunakan perspektif yang lebih luas. Agar
bangunan “siginifikansi fenomenal dinamis” yang merupakan pengembangan dari maghzā
(signifikansi) atau maksud utama ayat untuk

53

konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat) lebih kuat dan meyakinkan, maka seorang
penafsir selanjutnya memperkuat argumentasinya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu lain,
seperti Psikologi, Sosiologi, Antroplogi dan lain sebagainya dalam batas yang cukup dan tidak terlalu
berpanjang lebar.101
101 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 16.
54

BAB IV

ANALISIS MAKNA HALĀLAN ṬHOYYIBAN DALAM AL-QUR’AN DENGAN

PENDEKATAN MA’NĀ CUM MAGHZĀ

Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kitab
konkordansi al-Qur’an karya Ali Audah, maka diketahui bahwa ayat yang menggunakan kalimat
halālan ṭhoyyiban dalam konteks makan dan minuman ada empat ayat dalam empat surah,102 yakni
surah al-Baqarah/2 : 168, surah al-Maidah/5 : 88, surah al-Anfal/8 : 69 dan surah an-Nahl/16 : 114.

A. Penggalian Makna Historis (Al-Ma‘nā Al-Tārikhī) Dan Signifikansi

Fenomenal Historis (Al-Maghzā Al-Tārikhī)

1. Analisis Bahasa
Halālan ṭhoyyiban terdiri dari dua kata, yakni halālan dan thoyyiban. Halālan atau halāl berasal dari
akar kata yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Sesuatu yang halāl adalah yang terlepas dari
ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata “halāl” juga berati “boleh”. Dalam bahasa
hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat
sunnah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran untuk ditinggalkan) maupun mubah
(netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi tidak
dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh.103 Halāl merupakan suatu pembolehan
hukum yang diperoleh melalui

102 Ali Audah, Konkordansi al-Qur’an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat al-Qur’an (Jakarta:

Litera AntarNusa, 1991).

103 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung, Mizan Pustaka, 2013), hal. 195

55

penghancuran simpul permasalahan yang dilarang, dan syariat memerintahkan untuk


melakukannya.104

Pengertian halal menurut bahasa Arab yang asal katanya berasal dari halla-yahullu-hallan wa
halālan wa hulalan yang berarti dihalalkan atau diizinkan dan dibolehkan.105 Secara etimologi
makanan adalah memasukkan sesuatu melalui mulut.106 Dalam bahasa Arab makanan berasal dari
kata at- ta’am (‫ )ماعطال‬dan jamaknya al-atimah (‫ )ةمطألا‬yang artinya makan-makanan.107 Sedangkan
dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang
menghilangkan lapar.108 Halāl adalah sesuatu yang boleh dikerjakan, atau boleh dimakan, dengan
pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak dapat sanksi dari Allah.109

Kata halal juga mengandung arti segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Dengan
pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah Swt.110 Yang
berhak atau berwenang menentukan kehalalan segala sesuatu adalah Allah Swt. Tidak ada
seorangpun yang berhak melarang sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah, demikian pula
sebaliknya.111

104 Yusuf Qardhawi, Al Halal Wal Ahrom Fii Al Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), hal. 15.

105 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-

Qur’an, 1973), hal. 101.

106 Proyek Perguruan Tinggi Agama /IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama

Islam, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Perguruan Tinggi Agama Islam, 1982), hal. 525.

107 Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Indonesia Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999),

hal. 201.

108 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 506.

109 Ahsin W. Al-Hafidz, M.A, Kamus Al-Qur’an, (Jakarta: AMZAH, 2005), hal. 90.

110 M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, Cet.I, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994), hal. 97.

111 Akyunul Jannah, Gelatin Tinjauan Kehalalan dan Alternatif Produksi, (Malang: Uin Malang

Press, 2008), hal. 200.


56

Lebih lanjut Al-Raghib al-Isfahani mengatakan bahwa kata halāl, secara etimologi berasal dari
kata halla-yahullu-hallan wa halālan wa hulalan yang berarti melepaskan, menguraikan,
membubarkan, memecahkan,

membebaskan dan membolehkan.112 Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin

Makram (Ibnu Manzur) menambahkan dan memaknai halāl sebagai :

‫مناكمالمب َل َّح *للح‬: ‫مموقال لوُ ُزن َكملَ َذو‬


َ 8‫ٍ َّةلَ َحممب‬، ‫*مالح ْترماال ُضيقن َوُ َهو‬

113. ‫ ُ َّهلَتحاَو‬: ‫مهب لَ َزن‬

Terjemahnya : “Halal : berada di tempat : dan itu menetapnya orang-orang, berlawanan dengan
bepergian : menempatinya : menetap”.

Dalam Al-Qur’an, Halal adalah sesuatu yang boleh dikerjakan, atau boleh dimakan, dengan
pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak dapat sanksi dari Allah.114 Kata halal disebutkan
untuk menjelaskan beberapa permasalahan seperti masalah muamalah, kekeluargaan, perkawinan
dan terkait dengan masalah makanan ataupun rezeki. Namun demikian, kata halal tersebut lebih
banyak digunakan dalam menerangkan masalah makanan, minuman dan rezeki. Keterangan
tersebut antara lain kita dapati dalam Surah Al-Baqarah 168, Surah Al-Maidah 88, Al-Anfal 69, dan
Al-Nahl 114.
Sedangkan Thoyyiban atau Thoyyib dalam bahasa Arab adalah masdar dari akar kata taba yang
terdiri dari tiga huruf yakni ta, alif dan ba yang bermakna halal, suci, lezat, subur,
memperkenankan, dan membiarkan.

112 Roqib As-Sofyan, Mu’jam Al Lafdzi Al-Qur’an, (Darul Fikri, t.th).

113 Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Makram, Lisan al-‘Arabi, (Beirut: Dar Shader, 1997),

hal. 972.

114 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Al-Qur’an, (Jakarta: AMZAH, 2005), hal. 95.

57

Menurut kalamuddin Nurdin dalam kamus Syawarifiyyah menjelaskan kata tayyib yakni: kebaikan,
kebajikan, kemuliaan nikmat, berkah, kehalusan.115 Suhaiza Zailani menambahkan thoyyib mamiliki
arti: lezat, baik, sehat, dan menentramkan.116 Muhammad Yunus mengartikan Thoyyiban sebagai
sesuatu yang baik, lezat, menyenangkan, enak, dan nikmat atau berarti pula bersih atau suci. Oleh
sebab itu, kata Thoyyiban mempunyai bermacam arti yaitu baik, enak, lezat, nikmat, bersih atau
suci.117

Kata thoyyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menentramkan, dan paling utama. Pakar-
pakar tafsir ketika menjelaskan ini dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ia berarti
makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau dicampuri benda najis. Ada
juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya
dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Kita dapat berkata bahwa kata thoyyib dalam makanan
adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya sebelum itu adalah halal.118 Dalam
tafsir yang disusun oleh kemenag RI, pada QS. al-Baqarah/2 : 168, thoyyiban dimaknai sebagai
makanan yang berkhasiat bagi tubuh manusia dan menjadikan tubuh manusia sehat dan
kuat.119

115 Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-Indonesia,

(Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), hal. 401.

116 Suhaiza Zailani, Kanagi Kanapathy and Mohammad Iranmanesh,” Drivers of halal orientation

strategy among halal food firms”, British Food Journal, Vol. 117 No. 8, 2015, hal. 2143.

117 Mahmud Yunus, Kamus Arab –Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan

Penafsir Al-Qur’an, 1990), hal. 276.

118 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan Pustaka, 2013), hal. 196.

119 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kesehatan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Aku

Bisa, 2012), hal. 224.

58
Kata thoyyib menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benar- benar baik. Bentuk jamak dari
kata ini adalah thoyyibat yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thoyyib-thoyyib ah dengan
beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza
(enak), dan halal (halal).

Menurut al-Isfahani, pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra
dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikan. Sedangkan menurut Ibnu
Taimiyah menerangkan dalam kitab Majmu’ Fatawa bahwa yang dimaksud dengan thoyyib adalah
yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia. Menurutnya, lawan dari kata thoyyib
adalah khabits (bentuk jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikan dan dapat merusak
fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang.

Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Makram (Ibnu Manzur)

memaknai thoyyib sebagai :

120،‫ُبيطال *بيط‬، ‫ حاحمصال ىم َفو ٌ ْت َعن ُبميَّطال َو‬: ‫*مثيم َبخال فالمخ ُبميَّطال‬

Terjemahnya : “Thoyyib : thoyyib adalah kata sifat dan pada yang benar : yang baik adalah kebalikan
dari yang buruk”.

Thoyyib juga menunjukkan kepada sesuatu makanan yang terhindar dari

penyakit, kotoran dan merujuk kepada makanan yang mengandung

120 Abi al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Makram, Lisan al-‘Arabi, (Beirut: Dar Shader,
1997), hal. 2731.

59

kemanfaatan bagi tubuh, agama serta dihalalkan oleh Allah Swt.121 Dalam al Qur’an istilah thoyyib
dihubungkan dengan perintah untuk memakan yang halal.

Al-Ghazali menyatakan secara umum setiap halal itu baik, akan tetapi bentuk kebaikannya
mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lain.122 Imam Al-Ghazali memberikan makna
Halālan ṭhoyyiban yaitu sesuatu dikatakan halālan ṭhoyyiban dari segi zat bendanya sendiri itu
diperoleh dengan cara yang baik, tidak berbahaya, tidak memabukkan dan dikerjakan menurut
syariat agama.123

Dalam menguraikan kaitan antara halāl dan thoyyib, Al-Razi menjelaskan bahwa kata al-
thoyyib dari segi bahasa berarti bersih dan halāl, disifatkan baik. Sedangkan makna asalnya
menunjukkan kepada apa yang melezatkan dan mengenakkan sesuai dengan selera.124 Wahbah Al-
Zuhayli mengatakan kata Thoyyiban yang dirujuk pada makanan, tidak mempunyai unsur syubhat,
tidak berdosa (jika mengambilnya) dan tidak memiliki kaitan dengan hak orang lain.125 Pendapat ini
tidak saja menekankan pada aspek materi makanan, tapi juga menghukumi persoalan dari mana ia
didapat atau dengan kata lain berkaitan dengan sumbernya.

121 Hani Manshur Almazeedi, Arabic Halal Vertion Brasil Tsaqofatul Halal, (Kuwait: Kuwait

Institute for Scientific Research), hal. 11.


122 Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Vol. 3, (Kairo: Maktabah Mishr, 1998), hal. 122.

123 Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Cet 1, (Surabaya: Purta Pelajar, 2002),

hal. 45.

124 Fakhr al-Din al- Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 4.

125 Wahbah al-Zuhayli, Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: al-

Fikr al-Mu’asir, 1991), hal. 73.

60

Ibnu Katsir126 dan al-Shabuni127 mengatakan halālan ṭhoyyiban merujuk kepada apa yang telah
dihalalkan oleh Allah SWT dan Thoyyiban sesuatu yang halal itu sesuai dengan harkat diri seseorang
yang tidak mendatangkan bahaya pada tubuh dan akalnya. Penafsiran ini menekankan bukan saja
soal halal tapi juga soal kesesuaian dan keselamatan diri dari penggunaan barang atau makanan
yang halal. Kesimpulannya halālan ṭhoyyiban adalah makanan atau minuman yang dihalalkan dan
mendatangkan kebaikan kepada manusia, tetapi tahap kebaikan tersebut bergantung kepada
kesesuaiannya dengan diri individu yang bisa memberikan kesehatan tubuh dan akal. Disamping itu
mesti dijamin kebersihan dan kesuciannya dan tidak boleh mengandung unsur-unsur syubhat dan
dosa (termasuk cara mendapatkannya). Pesan penting yang bisa diambil dari penafsiran diatas,
seorang muslim diperhatikan agar senantiasa berhati-hati dalam soal konsumsi pangan dengan
melihat dua unsur penting halālan ṭhoyyiban.

Menurut Jawad Alzeer, Ulrike Rieder, dan Khaled Abu Hadee, dalam Jurnal Trens in Food Science &
Technology yang berjudul “Aspek Rasional dan Praktis Halalan Thoyyiban dalam Konteks
Keamanan” bahwa pada prinsispnya segala sesuatu yang bisa dimakan adalah halal akan tetapi bisa
dikatakan haram apabila makanan atau benda tersebut berpotensi racun dan membahayakan
terhadap kesehatan manusia.128 Islam sangat menekankan

126 Abu Fida’ Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Juz 1 (Mesir: Dar al-Kalimah, 1998), hal. 280.

127 Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah Al-Tafsir, Juz 1 (Kairo Dar al-Shabuni, 1997), hal. 135.

128 Jawad Alzeer, Ulrike Rieder, dan Khaled Abou Hadeed, “Rational and practical aspects of Halal

and Tayyib in the context of food”, Jurnal Trends in Food Science & Technology Vol. 71, 2015, hal.
264

61

terhadap keamanan pangan dan menganjurkan manusia untuk mengkonsumsi makanan yang
bermanfaat bagi manusianya sendiri, fisik, maupun mentalnya, dan makanan itu tidak busuk dan
tidak diharamkan, bersih, enak, dan lezat. Dari hal ini Allah menetapkan beberapa kewajiban dan
batasan yang harus menjadi sumber acuan bagi manusia dalam segala aspek kehidupan. Batasan-
batasannya yaitu tentang halal dan haram yang telah di tetapkan di dalam Al-Qur’an.

Lebih lanjut menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, disebutkan bahwa halālan
ṭhoyyiban mengandung beberapa makna yaitu membebaskan, melepaskan, memecahkan,
membubarkan, dan membolehkan. Artinya segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak
dihukum jika menggunakannya dan sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’.129
Pada QS. al-Baqarah/2 : 168, di awali dengan kalimat ,

kalimat ini merupakan nida’ (seruan) untuk manusia. Hal tersebut memberikan perintahkan untuk
semua manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik. Bukan hanya kepada orang- orang
beriman saja, tetapi untuk seluruh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa bumi disiapkan Allah untuk
seluruh manusia, mukmin atau kafir. Setiap upaya dari siapa pun untuk menopoli hasil- hasilnya, baik
ia kelompok kecil maupun besar, keluarga, suku, bangsa atau kawasan, dengan merugikan yang
lain, itu bertentangan dengan ketentuan

129 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 506
62

Allah. Karena itu, semua manusia diajak untuk makan yang halal yang ada di bumi.130

Perintah memakan makanan yang halal juga haruslah thoyyib. Artinya tidak semua makanan yang
halal otomatis thoyyib dan tidak semua makanan yang halal sesuai dengan konsisi masing-masing.
Ada yang halal dan baik untuk seseorang yang memilii konsisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang
kurang baik untuknya, walaupun baik untuk yang lain. Ada makanan yang baik tetapi tidak bergizi
dan ketika itu menjadi kurang baik.131 Karena itu, makanan yang sangat dianjurkan adalah makanan
yang halāl dan thoyyib.

Maksud dari ‫ ْاوُ لُك‬dari keempat ayat di atas secara bahasa artinya memakan, atau lebih
spesifiknya segala sesuatu yang dimasukan keperut melalui mulut dinamakan makan. Jika ada
seorang yang ludahnya tertelan berarti orang itu telah memakan air ludah meski ia tidak sengaja
memakanya. Dan juga jika ada seseorang memasukkan roti kemulutnya dan kemudian ditelan
dan masuk keperut maka ia telah makan, namun jika ia hanya mengunyah dan tidak
memasukanya ke dalam perut maka orang itu tidak makan. Inilah makna dari ‫ ْاوُ لُك‬dalam arti sempit.
‫ ْاوُ لُك‬maknanya tidak hanya makan atau memakan saja namun bisa dimaknai mengkonsumsi sebab
semua barang yang ada dimuka bumi sifatnya tidak hanya barang yang hanya bisa dimakan semata
namun banyak barang yang bisa dinikmati, dan kesemuanya

130 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), hal. 456.

131 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), hal. 236.


63

bersifat kearah makna konsumsi. Seperti menaiki kendaraan, memakai pakaian dan perhiasan maka
juga harus bersifat halal dan baik oleh sebab semua itu adalah barang yang sifatnya barang konsumsi
manusia. Maka yang disifatkan Allah atas manusia yang halal dan baik tidak hanya makanan semata
melainkan semua barang yang dikonsusmi haruslah halal dan baik sifatnya, entah itu kendaraan,
makanan, pakaian, perhiasan dan sawah ladang semuanya harus berstatus halal dan baik.132

Kata kulu merupakan perubahan pola kata dari kata akala. Akala dalam

Maqayis al-Lugah bermakna al-Tanaqqus133(mengurangi). Louis

menerjemahkan kata tersebut dengan “mengambil makanan kemudian menelannya setelah


dikunyah,134 sedangkan Asfahani memaknainya tanawul al-Mat’am (mengambil makanan) dan
segala hal yang menyerupai perbuatan tersebut.135 Kata ini berulang sebanyak 109 kali dalam
segala bentuknya yang tersebar di 39 surah yang memiliki berbagai macam makna.136 Kata kulu
yang berulang sebanyak 29 kali di 12 surah dalam al-Qur’an semuanya tidak bermakna makan
sebagaimana yang difahami oleh masyarakat secara luas, akan tetapi memiliki beragam makna.

132 http://www.com.tafsir-QS-al-Baqarah-168-Tidak-Cukup-hanya-halal diakses pada 26 Juli 2021.

133 Abu al-Husain Muhammad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz I, (Beirut:

Dar al-Fikr, 1979), hal. 128.

134 Louis Ma’luf, Qamus al-Munjid fi al-Lugah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1997), hal. 15

135 Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Ma’ruf bi al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat
Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal. 15.

136 Muhammad Fu'ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur'an al-Karim (Kairo: Dar al-

Hadis, 2007), hal. 43.

64

Setelah melakukan analisis bahasa terhadap keempat ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
makna halālan ṭhoyyiban adalah makanan atau minuman yang dibolehkan dan baik serta
mendatangkan kebaikan kepada manusia.

2. Analisis Intratektualitas Ayat

Untuk mempertajam analisis ini peneliti melalukan intratektualitas, dalam arti membandingkan
dan menganalisa penggunaan kata yang sedang ditafsirkan itu dengan penggunaannya di ayat-ayat
lain.

ْ‫مم ْاولُك ُساَّنال اَ ُّه َيٰٓا ي‬ ُ ٰ ْ ٰ


ِ َّ‫مكل ٗهَّنما ِۗمنطيشال متوُ طخ ْاوُ عم َّب َتت الَّ ۖواًبم َيط اللَح ضْ َراال ىمف ا‬

‫ ٌ ْنيمبُّم ٌّوُ َدع‬١٦٨


Terjemahnya : “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halāl dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata
bagimu”.137 (QS. al-Baqarah/2 : 168).

Surah al-Baqarah/2: 168 di atas merupakan salah satu ayat yang memuat perintah untuk “makan”
(kulu). Dalam perintahnya ayat ini sangat mengedepankan kualitas ketika melakukan
aktivitas (makan), begitupula sesudahnya. Salah satu kelebihan ayat ini dibanding dengan yang
lainnya adalah ia berbicara secara universal.138

137 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

138 Kualitas yang ditekankan adalah halal dan thayyib, kedua kata tersebut adalah standar
kesehatan

(ilmu pengetahuan modren) dan keberkahan (dalam agama atau al-Qur’an), al-Qur’an digital versi
2.1.

65
Dalam al-Baqarah 168-169 dikatakan makanan yang diperbolehkan atau yang halal dari apa-apa
yang terdapat di bumi kecuali yang sedikit yang dilarang karena berkaitan dengan hal-hal yang
membahayahan dan telah ditegaskan dalam nash syara’ adalah terkait dengan akidah,
sekaligus bersesuaian dengan fitrah alam dan fitrah manusia. Allah menciptakan apa-apa yang ada di
bumi tanpa ada pembatasan tentang yang halal ini, kecuali masalah khusus yang berbahaya. Dan
apabila yang di bumi ini tidak dihalalkan maka hal ini melampaui daerah keseimbangan dan tujuan
diciptakannya bumi untuk manusia. Jadi, umumnya keterangan tentang penghalalan dari Allah ini,
yang manusia bisa menikmati dari apa-apa yang baik dan sesuai dengan fitrah manusia, tanpa
harus menerima apa yang halal dan menjauhi apa yang haram dari apa-apa yang direzkikan Allah.
Pada ayat ini selanjutnya ditujukan kepada kaum manusia saja supaya menikmati rezki Allah
yang bermanfaat dan diarahkannya untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Serta dijelaskan kepada
mereka apa yang diharamkan atas mereka, yaitu apa-apa yang tidak baik dan tidak dihalalkan bagi
mereka. Kemudian diancamnya orang-orang Yahudi yang menyanggah mereka mengenai makanan
yang baik-baik dan yang haram ini, yang semuanya sudah termaksud dalam kitab mereka.

Pada tiga ayat sebelumnya bercerita tentang kecintaan orang-orang kafir terhadap sesembahan
mereka di dunia dan sangat mencintainya sebagaimana orang-orang beriman cinta kepada Allah swt.
Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa cintanya orang kafir, orang munafik pada dirham dan dinar
mereka tidak sebanding dengan cinta orang yang beriman kepada Allah swt. Karena cinta

66
orang yang beriman kepada Allah adalah abadi. Sedangkan pada ayat ini menerangkan tentang
halal dan baiknya makanan (tumbuhan dan hewan).139 Adapun persamaan dari keduanya ialah
tidak boleh menentang Allah sedikitpun, mulai dari hal yang sangat kecil apalagi yang menyangkut
akidah (Musyrik). Sungguh luar biasanya al-Qur’an mengajarkan hal yang sangat kecil dan sederhana
untuk memahamkan sesuatu yang sangat besar dan pokok (tauhid).

Dengan mengkonsumsi makanan halal berarti kita konsisten dengan garis kesepakatan yang pernah
terjadi didalam kandunga ibu kita (alam arwah) yang berisi persetujuan bahwa Allah adalah Tuhan
kita yang mengatur segala urusan. Perintah untuk selalu menjaga kehalalan makanan seiring dengan
amal shaleh yang akan dilakukan untuk menjaga keeimbangan fitrah manusia seiring dengan maksud
ayat:

‫ِِۗ ٌۗمْ يملَع َ ْنولَ ْم َعت اَممب ْيمنم ۗ ِااًحالَص ْاولَمْعاَو ٰمتبميَّطال َنمم ْاولُك لُسُّرال اَ ُّه َيٰٓا ي‬8ٌ ٥١

Terjemahnya : “Allah berfirman, “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan
kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.140 (QS. al-
Mu’minun/23 : 51)

Ayat tersebut sangat menganjurkan manusia untuk selalu mencermati dengan sungguh-sungguh
terhadap konsumsinya sebelum ia melakukan perbuatan-perbuatan yang segaris dengan nilai-nilai
fitrah.

139 Abu Tahir bin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Tanwir Miqbas min Tafsir ibn ‘Abbas,

ter. Ubaidillah Syaiful Akhyar, Tafsir Ibnu ‘Abbas, Juz I, (Bandung: Pustaka Darul Ilmi, 2008), hal. 109.

140 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
67

Semua jenis makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian dan buah-buahan atau yang
diolah dari keduanya adalah halal. Kecuali yang mengandung unsur yang merusak tubuh dan akal.
Demikian pula dengan makanan yang berupa hewan darat, semuanya halal kecuali jenis hewan
tertentu yang dijelaskan pengharamannya dalam al-Qur’an dan Al-hadits. Adapun hewan laut
semuanya halal tanpa kecuali. Kaidah ini merujuk kepada dua hal. Dalil-dalil umum tentang
kebolehan mengkonsumsi apa saja yang baik dan bermanfaat serta tidak mengandung madharat,
sebagaimana dijelaskan dalam dua kaidah sebelumnya. Ayat al-Qur’an yang menunjukkan kehalalan
seluruh makhluk laut, seperti surah Al-Maidah ayat 96:

ْ‫ُم ْتمُد اَم َربال ُْد َيص ْم ْكيلَع َممر َُح ۚوم َةراَّيَّسلملَو ْم َّكل اًعا َ َتم ٗهُما َ َع َطو مرْ َحبال ُْد َيص ْمكل لم َّح ا‬

٩٦

َّ

َ‫ مهْيلما ْٓيمذال لاّٰل اوُ َّقتا َ ۗ ِواً ُمرُح‬8‫ْنوُ َر ْشحت‬

Terjemahnya : “Dihalālkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang- orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu
(menangkap) hewan darat, selama kamu sedang ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang
kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali)”.141 (QS. al-Maidah/5 : 96)

Dalam sebuah hadits shahih diterangkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyatakan halalnya hewan laut. Bahkan meskipun sudah menjadi bangkai. Rasulullah Saw
bersabda :

141 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

68

َّ ‫ اَ َن‬8‫ ْ َنع ٍمْ يلُس ُ ْنب ُنا َ ْو َفص يم َن َّث َدح َسنأ ُ ْنب ُكمالَم اَ َنث َدح ٍراَّ َمع ُ ْنب ُماَشمه‬8‫مديمعس‬
‫ث‬ َ
‫مد َبع يم َنب ْنمم َوُ َهو َة َْدرُب يمبأ َ ْنب َةَريم ُغمال َّنأ م َقرْ زأال م ْنبا مآل ْنمم َوُ ه َةَملَس م ْنب‬
ْ ‫مراَّدال‬

‫لوُ َقي َةَرْ َيرُه اَبأ َعم َمس ُهَّنأ ُ َه َّث َدح َملَ َس َّو‬ ‫ََُّّ ََّىص لاّٰل َّم ملوُ َسر ىلمإ لُ َجر َءاَج‬8 ‫مهْيلَع لُاّٰل‬

‫ض َوت ْنمإَف مءاَمال ْنمم ليملَقال اَ َن َعم لممْح َنو َرْ َحبال ُب ْك َرن اَّنمإ لاّٰل َّم لوُ َسر اَي الَ َقف‬
َ َّ ‫مهمب اَنأ‬

‫اّٰل‬ ‫ُاّٰل‬
َ َّ‫َُّ َّىلَص ل َّم لوُ َسر الَ َقف مرْ َحبال مءاَم ْنمم أ‬8َّ ‫مهْيلَع ل‬
َ ‫ض َو َت َنفأ اَ ْن‬
َ‫شمطع وُ ه َملَ َس َّو‬

ُ‫ُه َت ْت َيم لمحال ُهُؤاَم ُروُ هَّطال‬

(IBNUMAJAH - 380) : Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Malik bin Anas berkata, telah menceritakan kepadaku Shafwan bin
Sulaim dari Sa'id bin Salamah -dari keluarga Ibnu Al Azraq- bahwa Al Mughirah bin Abu Burdah -dari
bani Abdu Ad Dar- mendengar Abu Hurairah berkata; "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam seraya bertanya; "Wahai Rasulullah, kami berlayar di lautan dan kami
hanya membawa sedikit air, jika kami berwudlu dengannya maka kami akan kehausan. Bolehkah
kami berwudlu dengan air laut?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Laut itu suci
airnya dan halāl bangkainya." (HR. Ibnu Majah Hadis No. 380)

Maksud hadis di atas adalah hewan yang hidup dilaut halal dikonsumsi.
Kehalalan suatu makanan haruslah komprehensif tidak hanya dipandang pada satu faktor
saja, haruslah substansi integratif dari berbagai faktor dan sektor. Syarat-syarat dalam kriteria
kehalalan harus mencakup halal

69

pada zatnya, cara memperolehnya, cara memprosesnya, kemudian dalam penyimpanannya,


pengangkutannya dan penyajiannya.142

Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang halalnya makanan yang
baik dan haramnya makanan yang kotor. Diantara ayat tersebut terdapat di dalam QS. al-A’rāf/7 :
157:

َ ‫ٕث ٰۤى َبخال ُممهْيلَع‬8ِِٕ َ ..…١٥٧….


‫ُممرح َيو ٰمتبميَّطال ُمُهل لمح َيو‬

Terjemahnya : “dan yang menghalālkan segala yang baik bagi mereka

dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka”.143 (QS. al-A’rāf/7 : 157).
Pada ayat di atas yang dimaksud dengan kata ‫ بيطال‬di sini adalah semua makanan atau hidangan yang
dianggap baik menurut selera manusia normal dan bermanfaat bagi agama dan badannya. Dan
termasuk juga dalam pengertian ini yakni harta yang diperoleh dengan jalan yang hak.144

Seperti yang telah dijelaskan bahwa ruang lingkup halal sangat luas dan haram sempit. Dan pada
dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh tumbuhan sayur-sayuran, buah-
buahan dan hewan adalah halal, kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa manusia.145
Makanan yang diharamkan pada pokoknya hanya ada empat, Allah.swt berfirman:

142 Aisjah Ginindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, (Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2008),

hal. 17.

143 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

144 Fairuzah Tsabit, Makanan Sehat Dalam Al-Qur’an Kajian Tafsir Bi Al-Ilm Dengan Pendekatan

Tematik, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hal. 23.

145 Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003), hal. 7.

70
ْ ْ‫ُطضا م َن َمف ۚلاّٰل مرْ َيغمل ٖهمب لم َّه ا ْٓاَ َمو مر‬
َ‫يمزنمخال َمْحلَو َمَّدالَو َ َة ْت َيمال ُم ْكيلَع َم ََّرح اَمَّنما‬ ْ ‫رْ َيغ َّر‬

‫ ٌ ْميمحَّ رٌرْ وُ َفغ لاّٰل نما َّ ِۗمهْيلَع َمْ ثما ْٓالَف ٍداَع الَّو غاَب‬١٧٣

Terjemahnya : “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan
(daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa
(memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.146 (QS. al- Baqarah/2 : 173).

Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan

diantaranya:

a. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih,
termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan
buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh
kita makan.

b. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah yang keluar
pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang
ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung
dan limpa.

c. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya,

dagingnya, maupun tulangnya.


146 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

71

d. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.

Dalam hal makanan sebenarnya ada dua pengertian yang bisa kita kategorikan kehalalannya yaitu
halal dalam mendapatkannya dan halal dzat atau subtansi barangnya. Halal dalam
mendapatkannya maksudnya adalah benar dalam mencari dan memperolehnya. Tidak dengan cara
yang haram dan tidak pula dengan cara yang batil. Jadi, makanan yang pada dasar dzatnya halal
namun cara memperolehnya dengan jalan haram seperti; mencuri, hasil korupsi dan perbuatan
haram lainnya, maka secara otomatis berubah status hukumnya menjadi makanan haram.147
Penjelasan lain mengatakan bahwa makanan halal menurut hukum islam yaitu makanan yang
halal pada dzatnya, halal dalam pengadaannya, ataupun cara memperolehnya, dan halal dalam
proses pengolahannya. Dengan kata lain makanan tersebut harus halal mutlak.148 Hal ini
sesuai firman Allah.swt :

‫ ْم َك ْن َيب ْمكالَ ْوما ْْٓاولُكأَت ال ْاوُ َنما َ ْنيمذال َّاَ ُّه َيٰٓا ي‬8‫ضا َ َرت ْ َنع ًةَراَجت َ ْنو َكت ْنا ْٓالَّما ملمطاَبالمب‬

‫م ْكنمم‬8ِْْۗۗ ‫م َك ُس ْفنا ْْٓاولُ ْت َقت الَو‬8ِْْۗۗ َّ ‫ َناَك لاّٰل نما‬8‫يمحر ْمكمب‬


َ ‫ اً ْم‬٢٩

Terjemahnya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu”.149 (QS. an-Nisa/4 : 29).

147 Ṭabīb Al-ashar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani, (Jakarta:

alMawardi Prima, 2003), hal. 125.

148 Masthu, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan

Pangan Republik Indonesia, 1995), hal. 55.

149 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

72
Dari ayat diatas dapat diketahui bahwasanya Allah menganjurkan kepada umat islam untuk
memakan segala sesuatu yang halal, yang perolehannyapun dengan cara halal bukan dengan
cara bathil, salah satu cara untuk mendapatkannya yaitu dengan cara perdagangan.

Seperti penjelasan diatas, mengenai syarat-syarat makanan halal

memenuhi kehalalannya dalam pandangan hukum Islam yaitu:

a. Tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi.

b. Tidak mengandung khamar dan produk turunannya.

c. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang disembelih

menurut tata cara shari’at Islam.

d. Tidak mengandung bahan-bahan lain yang diharamkan atau tergolong najis seperti: bangkai,
darah, bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, kotoran dan lain sebagainya.

e. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan alat transportasi untuk
produk halal tidak boleh digunakan untuk babi atau barang tidak halal. Jika pernah digunakan untuk
babi atau tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal, maka terlebih
dahulu harus dibersihkan sesuai dengan cara yang diatur menurut syari’at Islam. Penggunaan
fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal secara bergantian tidak diperbolehkan.150
150 Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI, 1998), hal. 124.

73

Jadi makna halālan ṭhoyyiban berdasarkan analisis intratektualitas ayat mengandung makna
makanan itu dikatakan halālan ṭhoyyiban apabila sesuatu itu diperbolehkan oleh Allah atau ada
ketentuan dalam hukum Islam dan diperoleh dengan cara yang baik dalam arti sehat, proporsional,
aman.

3. Analisis Intertekstualitas

Analisis intertekstualitas adalah analisis dengan cara menghubungkan dan membandingkan antara
ayat Al-Qur’an dengan teks-teks lain yang ada di sekitar Al-Qur’an. Analisa intertekstualitas ini biasa
dilakukan dengan cara membandingkannya dengan hadis Nabi, puisi Arab, dan teks-teks dari Yahudi
dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup pada masa pewahyuan Al- Qur’an.151

ْ‫مم ْاولُك ُساَّنال اَ ُّه َيٰٓا ي‬ ُ ٰ ْ ٰ


ِ َّ‫مكل ٗهَّنما ِۗمنطيَّشال متوُ طخ ْاوُ عم َّب َتت الَّ ۖواًبم َيط اللَح ضْ َراال ىمف ا‬

‫ ٌ ْنيمبُّم ٌّوُ َدع‬١٦٨


Terjemahnya : “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halāl dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata
bagimu”.152 (QS. Al-Baqarah/2 : 168)

Dalam konteks ayat ini Ibn Katsier mengutip hadist Qudsi Nabi

Muhammad Saw :

151 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 12.

152 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

74
ُ ‫يم َن َرمأ يم َبر نمإ َّ األ مهم َتب‬
‫ْطخ يمف ٍمْ َوي َتاَذ الَق َملَ َس َّو‬ ‫ََُّّ َّىلَص َّم لوُ َسر َّنأ‬8 ‫مهْيلَع لُاّٰل‬

ُ
ِ َّ‫يمنمإَو اللَح اً ْد َبع ُهُتلَحن ٍالَم لك اَ َذه ي ْم َوي يم َنملَعَّ ا‬
‫ أ ْنأ‬8‫مم ْمُتلم َهج اَم ْم َكمم‬

َّ ُ‫ممهمنيمد ْ َنع ْ ُمهْتالَ ْتجاَف ُنيمطاَيَّشال ْ ُم ْه َتتأ ْ ُمهَّنمإَو ْمُهل‬


ْ‫ك َءاَ َف ُنح يمداَبمع ُ ْتقلَخ‬

ْ ‫شي ْنأ ْ ُم ْه َت َرمأَو ْمُهل‬


‫ُتللحأ اَم ْممهْيلَع ْ َتم ََّر َحو‬ ْ 8‫اًناَطلُس مهمب‬
ُ ْ‫لمزنأ ْمل اَم يمب اوكمر‬

Terjemahnya : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda pada suatu hari dalam khutbah
beliau: "Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang
Ia ajarkan padaku pada hari ini: 'Semua harta yang Aku berikan pada hamba itu halāl, sesungguhnya
Aku menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus semuanya, mereka didatangi oleh setan
lalu dijauhkan dari agama mereka, setan mengharamkan yang Aku halālkan pada mereka dan
memerintahkan mereka agar menyekutukanKu yang tidak Aku turunkan kuasanya”.153 (HR.
Muslim Hadis No. 5109).
Makanan yang halal itu merupakan nikmat Allah. Oleh karena itu, orang-orang mukmin
diperintahkan mesyukuri nikmat tersebut. Mensyukuri nikmat merupakan bukti kemapanan iman
dan ketauhidan terhadap Allah. Ibnu katsir menjelaskan bahwa memakan makanan yang halal
merupakan syarat terkabulnya doa dan diterimanya ibadah. Demikian pula sebaliknya memakan
makanan yang haram menjadi sebab ditolaknya doa dan ibadah.154 Memakan makanan yang
haram tidak hanya sekedar perbuatan dosa tetapi ia dapat pula

153 Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hal. 316.

154 Jamaluddin Abu Fida Ismail, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Jilid I, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah),

hal. 205

75

berdampak terhadap keturunan pemakannya. Sebab makanan yang dimakan seseorang akan
diproses menjadi bibit keturunannya.155
Ajaran Allah yang mengharuskan kita untuk selalu menjaga kehalalan pangan yang kita konsumsi
sudah pasti mengandung berbagai maksud dan manfaat. Disamping karena alasan yang
bersifat lahir (yaitu menjaga keseimbangan kesehatan dan tubuh), juga mengandung hikmah-
hikmah batin yang tidak semuanya bisa disentuh oleh kemampuan akal manusia. Demikan juga Allah
memberikan ruang-ruang kepatuhan sebagai hamba untuk dijadikan tolak ukur keimanan dan
ketakwaan, sejauhmana manusia yang mengaku dirinya beriman mau dan mampu menjalankan
Syari’at-Nya.156

Memakan makanan yang di halalkan Allah dapat menumbuhkan sikap yang juang yang tinggi dalam
menegakkan ajaran Allah dan Rasul-Nya dibumi. Bagi orang yang selalu mengusahakan untuk
menjaga makanannya dari yang haram berarti ia telah berjuang dijalan Allah dengan derajat yang
tinggi. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang berusaha atas keluarganya
dari barang halālnya, maka ia seperti orang-orang yang berjuang dijalan Allah. Dan barangsiapa
menuntuk dunia akan barang halāl dalam penjagaan, maka ia berada didalam derajat orang-orang
yang mati syahid.” (H.R. Thabrani dari Abu Hurairah).

155 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, (Jakarta: AMZAH, 2011),

hal. 98.

156 Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram, (Jakarta: PT Al Mawardi Prima), hal. 83.
76

Selanjutnya pada QS. al-Maidah/5 : 88, QS. al-Anfal:8 : 69 dan QS. an-

Nahl/16 : 114:

‫مم ْاولُ َكو‬ ‫اّٰل‬ ‫اّٰل‬ ْٓ


ِ َّ‫ْٓيمذال َّل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬8ْ ‫ َ ْنوُ نم ْمؤُ م ٖهمب ْ ُم ْتنا‬٨٨

Terjemahnya : “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu

sebagai rezeki yang halāl dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya”.157 (QS. Al-Maidah/5 : 88).

‫مم ْاولُ َكف‬ ‫َّۗ اّٰل‬ ‫اّٰل‬


ِ َّ ‫ ل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ْ ُم ْتمم َنغا‬8َّ‫ ٌ ْميمحَّ رٌرْ وُ َفغ ل نم ِِۗا‬٦٩

Terjemahnya : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu,
sebagai makanan yang halāl lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang”.158 (QS. Al-Anfal/8 : 69)

‫مم ْاولُ َكف‬ ‫اّٰل‬ ‫اّٰل‬


ِ َّ‫ َ ْنوُ ُد ْب َعت ُهاَّيما ْ ُم ْتن ْكنما ل َ َت ْمعمن ْاوُ ر ْكشا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬١١٤
Terjemahnya : “Maka makanlah yang halāl lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”.159 (QS. an-Nahl/16 : 114).

Ibn Kathir menulis, ayat di atas (QS. al-Maidah/5 : 88) turun terkait dengan keadaan suatu kaum
(sekelompok) dari sahabat Nabi yang mencontoh pola hidup para Rahib (pendeta kristen) yang
memutus kejantanannya (tidak beristri), tidak berkeinginan terhadap keduniaan, sehingga kabar itu
sampai kepada Rasulullah, Beliau bersabda:160

157 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

158 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

159 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

160 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz 3,(Mesir: Maktabah ash-Shofa), hal. 169.

77
‫رطفأو موصأ ينكل يتنسب‬، ‫مانأو يلصأو‬، ‫ءاسنال حكنأو‬، ‫يِّنم وهف ي َّت ُن سب ذخأ نمف‬، ‫ذخأي مل نمو‬

161‫نم سيلف‬

Terjemahnya : “tetapi aku puasa, berbuka, sholat, tidur dan menikahi wanita, maka barangsiapa
yang mengamalkan sunnahku (tuntunanku) berarti dia termasuk golonganku, dan barangsiapa
yang tidak mengamalkan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku”

Abu Ja’far al-Tabari menulis, bahwa ayat di atas mengandung makna umum. Segala yang umum
wajib dihukumi dengan keumumannya, sehingga ada nas yang mengkhususkan (membatasinya).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, Allah SWT melarang menghalalkan makanan yang diharamkan dan
begitu pula sebaliknya.162

Setiap keluarga hendaknya memperhatikan prinsip “halal dan baik ( ‫ )الالح ابيط‬dalam memilih
makanan dan minuman, karena makanan dan minuman itu tidak hanya berpengaruh kepada
jasmani, tetapi juga berpengaruh terhadap rohani dan kehidupan di akhirat, sebagaimana sabda
Rasulullah saw : “Setiap jasad yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih baik
baginya” (HR. Al-Tirmidzi, al-Thabarany dan Abu Nu'aim dari Abu Bakar).163

Jadi berdasarkan analisis intertektualitas dengan memperhatikan hadis-

hadis di atas, maka dapat simpulkan makanan halālan ṭhoyyiban adalah


161 Imam Muslim, Sahih Muslim, (Beirut: Dar AL-Kutub al-Ilmiah), hadis nomor 1404.

162 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kathir bin Ghalib al-Amaliy, Abu Ja’far al-Tabariy, Jami’

al-Bayani fi Ta‘wil al-Qur‘an, Juz 10, Cet. 1, (tanpa kota: Muasasah al-Risalah, 2000), hal. 522.

163 Jalaluddin al-Suyuthy, Al-Jami al-Shaghir, Jilid I Cet. IV (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyah), hal.

92.

78

makanan yang tidak haram dan tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap

jasmani, rohani dan kehidupan akhirat.

4. Konteks Historis Pewahyuan (Mikro dan Makro)

Salah satu ulama alim bernama Abu al-Qasim al-Nisaburiy pernah berkata, “Ilmu-ilmu al-Qur’an
yang paling mulia adalah mengenai sababun nuzul dan pembahasan Makkiyah dan Madaniyah.164
Secara kronologis, periode turunya al-Qur’an dibagi menjadi dua, yakni: periode Makkah (Makkiyah)
dan periode Madinah (Madaniyah). Salah satu ulama yang memberikan penjelasan tentang
kronologis Makkiyah dan Madaniyah adalah Manna’ Al-Qattan yang tertulis dalam Mabahits fi
‘Ulum al-Qur’an. Ada tiga pandangan yang disampaikan oleh beliau, yakni: (1) Dari segi turunnya.
Segi turun-nya al- Qur’an dimaknai pengkategorian Makkiyah adalah pemaknaan sebelum
hijrahnya Nabi. Sedangkan Madaniyah dikategorikan sesudah hijrahnya Nabi;

(2) Dari segi tempat turunya. Makkiyah dimaknai kota Makkah dan sekitarnya, sedangkan
Madaniyah dimaknai kota Madinah dan sekitarnya; (3) Dari segi sasarannya. Makkiyah ditujukan
pada penduduk Makkah, sedangkan Madaniyah ditujukan pada penduduk Madinah.165

ْ‫مم ْاولُك ُساَّنال اَ ُّه َيٰٓا ي‬ ُ ٰ ْ ٰ


ِ َّ‫مكل ٗهَّنما ِۗمنطيَّشال متوُ طخ ْاوُ عم َّب َتت الَّ ۖواًبم َيط اللَح ضْ َراال ىمف ا‬

‫ ٌ ْنيمبُّم ٌّوُ َدع‬١٦٨

164 Acep Hermawan, Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2016), hal. 65.

165 Manna’ Al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir. Studi Ilmu-ilmu Qur’an.

(Bogor: Litera Antar Nusa, 2019) ,hal. 70.

79
Terjemahnya : “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halāl dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata
bagimu”.166 (QS. Al-Baqarah/2 : 168).

Surah al-Baqarah turun setelah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayatnya berjumlah 286 ayat.167
Kecuali ayat 281 yang turun di Mina ketika Nabi Muhammad saw sedang menjalankan
hujjatulwada’ (penutup haji).168 Surah ini tergolong Madaniyah yang diturunkan pada tahun-tahun
permulaan periode Nabi Muhammad saw di Madinah. Ia merupakan surah yang terpanjang dan
terbanyak ayat-ayatnya di antara surah yang ada di dalam al-Qur’an.169

Surah ini begitu banyak persoalan yang dibicarakannya, tidak heran, karena masyarakat Madinah
ketika itu sangat heterogen, baik dalam suku, agama, maupun kecenderungan. Disisi lain, ayat-
ayat surah ini berbicara menyangkut peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa yang cukup
panjang. Kalaulah peristiwa pengalihan kiblat170 atau perintah puasa171, dijadikan

166 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

167 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, Vol. I (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), hal. 81.

168 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid I, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974),

hal. 55.

169 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, Vol. I, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), hal. 8.

170 Lihat QS. al-Baqarah/2 : 142:

‫ُممهمتلبمق ْ َنع ْمُهىلَو اَم مساَّنال َنمم ُۤءاَ َه ُّفسال ْلوُ َق َيس‬
ْ َّ‫ِِۗيبمرْ غَمالَو ُقمرْ َشمال ل ٰ ّل لُق ِۗاَهْ يلَع ْاوُ ناَك ْيمتال‬8ُُۗ ‫ْيمد َه‬
ْ ‫۞ ىلما ُۤءاَ َّشي ْ َنم‬
‫ ٍ ْميم َق ْتسُّم طاَرمص‬١٤٢ Terjemahnya : “Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan
berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (Muslim) dari kiblat yang dahulu mereka
(berkiblat) kepadanya?” Katakanlah

(Muhammad), “Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki

ke jalan yang lurus”. (QS. al-Baqarah/2 : 142).

171 Lihat QS. al-Baqarah/2 : 183:

ْ
َّ ‫ْمكمل َبق ْنمم َ ْنيمذال َّ َىلَع َبمتك اَمك ُماَيمصال‬ ‫ل‬

‫ََۙ ْنوُ َّق َتت ْمكلَع‬8َۙ ١٨٣

ُ‫مكيلَع َبمتك ْاوُ َنما َ ْنيمذال َّاَ ُّه َيٰٓا ي‬


ْ

80

sebagai awal masa turunnya surah ini, dan ayat 281 sebagai akhir ayat al-Qur’an yang diterima Nabi
Muhammad saw, Sebagaimana disebut dalam sejumlah riwayat maka ini berarti bahwa surah al-
Baqarah secara keseluruhan turun dalam masa sepuluh tahun. Karena perintah pengalihan kiblat
terjadi sekitar 18 bulan Nabi Muhammad Saw berada di Madinah, sedang ayat terakhir turun
beberapa saat/hari sebelum beliau wafat, 12 rabiul awal tahun 13 Hijriah.172
Surah ini dinamai “al-Baqarah” yang berarti “seekor sapi”, karena di dalamnya disebutkan kisah
penyembelian sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Isra’il. Dalam pelaksanaan
penyembelian sapi betina itu tampak dengan jelas sifat dan watak orang-orang Yahudi pada
umumnya. 173 Surah ini tema pokoknya adalah inti ayat-ayat yang menguraikan kisah al-Baqarah,
yakni kisah Bani Isra’il dengan seekor sapi. Ada seseorang yang terbunuh dan tidak diketahui siapa
pembunuhnya, masyarakat Bani Isra’il saling mencurigai, bahkan tuduh-menuduh, tentang pelaku
pembunuhan tanpa ada bukti, sehingga mereka menolak kepada Nabi Musa as. Meminta beliau
berdoa agar Allah menunjukkan siapa pembunuhnya. Maka, Allah memerintahkan mereka
menyembeli seekor sapi. Dari sini dimulai kisah al-Baqarah. Akhir dari kisah itu adalah mereka
menyembelinya setelah dialog tentang sapi berkepanjangan dan dengan memukulkan bagian sapi
itu kepada mayat yang terbunuhnya.

Terjemahnya : “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah/2 : 183).

172 . Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, Vol. I, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), hal. 8.

173 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1 juz 1,2,3 (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
hal. 31.

81
Menurut Al-Maraghy, Ibnu Abbas mengatakan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kaum yang
terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sha'sha'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan
makanan menurut kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti “Bahirah”
yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya,
dan “Washilah” yaitu domba beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina, lalu anak yang jantan
tidak boleh di makan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah, tidak mengharamkan
makanan jenis binatang itu.174

Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang Quraisy pada waktu dahulu mengharamkan barang yang
halal dan menyembelih binatang tidak menyebut asma Allah.175 Dengan adanya peristiwa itu, ayat
tersebut turun berlaku untuk semua orang baik Islam maupun non muslim. Haram di sini ada dua;
(1) haram zatnya; (2) haram Arid (haram mendatang karena sesuatu sebab).176 Dari

penafsiran ayat di atas, bahwa halāl berarti zatnya (yang telah ditetapkan oleh Allah), sedangkan
thoyyiban berarti cara memperolehnya.

Jadi turunnya surah Al-Baqarah ayat 168 ini disebabkan karena adanya sikap bani Saqif, Bani Amri
bin Sa’sa’ah, Huza’ah dan Bani Mudli yang menyatakatan haram berbagai jenis makanan seperti
daging ternak, ikan laut

174 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,

1974), hal. 42.

175 Abu Ja’far Muhammad Jarir At-Tabari, Tafsir At-Tabari (Jamiul Bayan Fî Ta’willul Qur’an),

Jilid III, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), hal. 80-81.

176 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,

1974), hal. 71.


82

dan lain-lain untuk mereka makan. Padahal makanan tersebut tidak diharamkan

oleh Allah.

Selanjutnya QS. al-Maidah/5 : 88

‫مم ْاولُ َكو‬ ‫اّٰل‬ ‫اّٰل‬ ْٓ


ِ َّ‫ْْٓيمذال َّل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬8 ‫ َ ْنوُ نم ْمؤُ م ٖهمب ْ ُم ْتنا‬٨٨

Terjemahnya : “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang
halāl dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.177 (QS. Al-
Maidah/5 : 88).

Sama seperti QS. al-Baqarah, surat al-Maidah juga termasuk tergolong kedalam surat Madaniyah
yang terdiri dari 120 ayat. Sekalipun ada surat yang turun di Mekah namun ayat tersebut turun
ketika Nabi Muhammad saw, hijrah ke Madinah yaitu pada waktu haji wada’. Surat ini dinamakan
dengan Al- Maidah karena mempunyai sebuah arti “hidangan” karena menurut sebuah kisah yaitu
pada waktu pengikut-pengikut Nabi Isa as agar Allah menurunkan kepadanya sebuah surat al-
Maidah “hidangan makanan” dari langit.178 Dan dinamakan dengan “al-uqud” artinya adalah
perjanjian. Karena kata tersebut terdapat pada ayat pertama dan surat ini, maka Allah menyuruh
pada hamba-
177 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

178 Lihat QS. al-Maidah/5 : 112:

ۤ ِ‫ْنيمنم ْمؤُّ م ْ ُم ْتنك ْنما لاّٰل اوُ َّقتا الَ ۗق‬


َ ‫ٕد ۤىاَم اَ ْنيلَع‬8ِِٕ ‫مءاَمَّسال َنمم ً َة‬
َ‫لمز ُّني‬

ٰ ْ‫نا َ ُّك َبر ُعْ يم َط ْت َسي لَه َ َمي َْرم َ ْنبا َىس‬
ْ‫يمعي َ ْن ُّويمراَ َوحال‬

‫الَق ْذما‬

١١٢ Terjemahnya : “(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa yang setia berkata, “Wahai Isa putra
Maryam! Bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab,
“Bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman”. (QS. al-Maidah/5 : 112).
83

hambanya untuk memenuhi perjanjian persetia mereka kepada Allah dan perjanjian-perjanjian
yang mereka buat selama ini.179

Asbabun nuzul QS. al-Maidah/5 : 88 ini adalah pada zaman dahulu ada kehidupan suci yang
dilakukan oleh rahib kristen. Rahib itu bertempat tinggal di daerah terpencil. Di tempat itu
mereka mendirikan biara-biara untuk beribadah. Rahib itu memakai pakaian dari bulu kambing
seperti pakaiannya nabi Yahya. Dan Rahib tersebut tidak kawih selama-lamanya.

Pada suatu hari, Abu Thalib pergi ke Syam bersama Nabi Muhammad SAW, ketika itu nabi
Muhammad berusia 12 tahun, dan diperjalanan itu Abu Thalib bertemu Rahib Bukhaira. Ketika itu
Rahib Bukhaira melihat tanda tanda kenabian pada diri nabi Muhammad sehingga rahib
menyarankan pada Abi Thalib untuk menjaga diri Muhammad dengan baik. Ada sebagian sahabat
nabi yang tertarik dengan kehidupan rahib, diantaranya yang terkenal bernama Usman bin
Mazh’un, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Middad bin Aswad dan Salim Maula Abu
Hudzaifah. Sebagaian dari mereka tertarik dengan keterangan Rasulullah tentang bahaya akan
keterperdayaan nafsu-nafsu dan keterperdayaan syaitan iblis.

Sehubungan dengan keterangan Rasulullah SAW tersebut, dalam riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu
Mudzir dan Abu Syaih, sebagian sahabat tersebut mulai bermufakat untuk duduk saja di rumah,
tidak makan-makanan yang baik, dan pada waktu malam mereka bangun untuk beribadah.

179 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,

1991), hal. 695.


84

Dalam riwayat Ibnu Jarir juga dijelaskan bahwa Usman bin Muzh’un sudah sampai berbulan-bulan
lamanya tidak tidur dengan istrinya yang bernama al-Haula, sehingga rupanya al-Haula itu sampai
kusut, rambutnya tidak disisir dan wajahnya tidak dihiasi, ketika itu mereka bertandang kepada
Aisyah istri Rasul, Aisyah bertanya kepada Al-Haula apa sebab wajahmu kusut. Dia menjawab
bahwa suamiku sudah sekian bulan tidak meniduriku lagi. Rasulullah SAW segera menegur
gejala yang buruk itu, sebab kehidupan yang demikian tidak dalam diamalkan dalam hidup ini.
Manusia hidup di dunia ini adalah untuk menanam amal bagi akhirat, bukan untuk memberi
kehidupan yang sedang dijalani.180

Berdasarkan beberapa riwayat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa turunnya QS. al-Maidah/5 : 88
ini disebabkan adanya perilaku sebagian sahabat rasul yang mulai tertarik bahkan menjadi
kehidupan seperti rahib yaitu meninggalkan kehidupan dunia. Padahal dalam ajaran Islam hal
itu tidak diperbolehkan, karena dunia itu jalan untuk sampai pada kehidupan akhirat atau dengan
kata lain turun surah Al-maidah ayat 88 itu merupakan teguran bagi orang yang mengharamkan
barang baik yang dihalalkan Allah. Seperti makan daging, pernikahan, puasa dan barang-barang yang
telah dianugerahkan Allah untuk keperluan manusia

Ibnu Abbas menambahkan sebagaimana yang dikutib oleh Ibn Katsir

dalam tafsirnya bahwa ayat ini turun berkenaan dengan beberapa sahabat nabi

180 Abi Hasan Al-Ibin Ahmad, Asbabun Nuzul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi), hal. 166.
85

yang melampaui batas dalam beribadah, sehingga mereka meninggalkan yang telah Allah halalkan
bagi mereka. Beberapa sahabat nabi tidak lagi menggauli istrinya dan tidak makan daging, dengan
alasan jika makan daging maka hasrat kepada wanita akan muncul, hal ini dilakukan sahabat agar
mereka dapat dengan puas beribadah siang dan malam.181

Hamka menambahkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan adanya seorang sahabat Nabi yang
melakukan zuhud sehingga mereka mengharamkan barang yang halal seperti tidak makan
daging, menjauhi istrinya, dengan peristiwa itu maka ayat ini turun ditujukan kepada orang
mu’min. Untuk menuju kehidupan dunia, harus memakan dengan cara yang halal dan yang baik.
Sehingga dapat beribadah dengan sempurna.182

Selanjutnya QS. al-Anfal:8 : 69:

‫مم ْاولُ َكف‬ ‫َّۗ اّٰل‬ ‫اّٰل‬


ِ َّ ‫ ل اوُ َّقتا َّ ۖواًبم َيط اللَح ْ ُم ْتمم َنغا‬8َّ‫ ٌ ْميمحَّ رٌرْ وُ َفغ ل نم ِِۗا‬٦٩

Terjemahnya : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu,
sebagai makanan yang halāl lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang”.183 (QS. Al-Anfal/8 : 69)

Ayat ini turun berkenaan dengan kemenangan dalam perang badar dimana dalam perang badar
tersebut 70 orang musyrikin mati terbunuh dan 70 orang menjadi tawanan kaum muslimin.184
Disamping itu banyak harta
181 Salim Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hal. 155.

182 Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Jilid IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1983), hal. 1845.

183 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

184 Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Jilid IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1983), hal. 2807.

86

rampasan yang diperoleh kaum muslimin sehingga hal ini menjadi persoalan atau perselisihan
diantara kaum muslimin. Untuk mengatasi hal tersebut maka Rasulullah mengajak para sahabat
untuk bermusyawarah tentang harta rampasan tawanan itu. Sahabat-sahabat itu diantara lain Abu
Bakar dan Umar.

Dalam musyawarah tersebut, Abu Bakar berpendapat bahwa tawanan tersebut hendaknya menebus
dirinya dengan uang, sebab mereka itu masih mempunyai pertalian darah dengan kaum muhajirin.
Sehingga melalui tebusan itu masih terbuka jalan bagi mereka untuk insaf dan memeluk Islam. Oleh
karena itu mereka tidak perlu diperlukan dengan keras.

Sedangkan menurut Umar tawanan itu hendaknya dibunuh. Meskipun mereka masih mempunyai
hubungan darah dengan kaum muslimin, karena mereka telah menguusir Rasulullah dan
menerangi Islam. Dari pendapat tersebut, ada sebagian sahabat yang memihak umar dan lagi yang
memihak Abu Bakar. Sehingga Rasulullah mengambil satu keptusan yang menyutujui usul Abu Bakar
dengan memberikan kesempatan pada tawanan menebus dirinya.185

Ayat tersebut di atas turun pada masa perang badar. Allah Swt telah menghalalkan ghanimah (harta
rampasan perang) yang pada sebelumnya telah diharamkan untuk Nabi dan Rasul sebelum
Rasulullah, serta menghalalkan pula tebusan (al-fida') dari tawanan.

Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi menambahkan,

ayat 69 ini dikelompokkan dengan ayat 67-69, karena ayat 69 masih dalam

185 Abi Hasan Al-Ibin Ahmad, Asbabun Nuzul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi), hal. 194.

87

konteks persoalan tawanan perang dalam perang Badar. Diceritakan bahwa

setelah selesai perang Badar maka terjadi dialog antara ummat muslim
mengenai orang-orang yang ditawan apakah harus dibunuh, dilepaskan atau

dimintai tebusan. Setelah terjadi dialog maka Rasulullah SAW mengambil

keputusan dengan menerima usul Abu Bakar untuk mengambil tebusan maka

turun ayat 68 surah al-Anfal ini. Selanjutnya Allah SWT membolehkan ummat

Islam untuk memakan harta tersebut sebagai harta yang halal lagi baik (ayat

69).186

Terakhir, QS. an-Nahl/16 : 114:

‫مم ْاولُ َكف‬ ‫اّٰل‬ ‫اّٰل‬


ِ َّ‫ َ ْنوُ ُد ْب َعت ُهاَّيما ْ ُم ْتن ْكنما ل َ َت ْمعمن ْاوُ ر ْكشا َّ ۖواًبم َيط اللَح ل ُم َك َق َزر ا‬١١٤

Terjemahnya : “Maka makanlah yang halāl lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”.187 (QS. an-Nahl/16 : 114).

Sebab turunnya surah an-Nahl ayat 114 ini menurut kerangan al-Aufi didahului dengan adanya
bencana atau azab yang menimpa penduduk Makkah. Kota Makkah dahulu sangat subur, aman,
tentram dan penduduknya makmur. Namun setalah mereka melakukan penyiksaan terhadap Nabi
Muhammad SAW dan pengikutnya, mendustakan nabi Saw bahkan mengusir nabi dari kota
Makkah. Maka Allah mendatangkan azab kepada penduduk Makkah yang memusuhi nabi Saw. Azab
tersebut berupa Allah menjadikan kota Makkah
186 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,

1974), hal. 58.

187 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.

88

sebagai kota yang kering, binatang ternak semuanya mati, tanaman tiada tumbuh dan akhirnya
mereka menderita kelaparan.188

Adapun Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin yang dahulu dimusuhi ini semakin makmur
hidupnya hingga dapat menaklukkan kota Makkah hal itu terjadi karena Allah selalu
melindungi nabi SAW dan pengikutnya dengan diturunkannya surah an-Nahl ayat 114.

Berdasarkan keterangan diatas, dengan memperhatikan konteks historis pewahyuan (mikro dan
makro) maka dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang halālan ṭhoyyiban di atas
mengandung pengertian bahwa makanan dan minuman yang tidak dilarang oleh agama seperti tidak
memakan bangkai, darah, daging babi dan tidak memakan makanan yang disembelih bukan karena
Allah, semuanya itu telah dinyatakan haram.

5. Menggali maqsad atau maghza al-ayah


Berdasar pada analisa teks secara bahasa maupun analisa konteks dari QS. al-Baqarah/2 : 168, QS.
al-Maidah/5 : 88, QS. al-Anfal/8 : 69 dan QS. an- Nahl/16 : 114, maka terdapat beberapa pesan
utama yang dapat di ambil dari ayat tersebut yang bekenaan dengan halālan ṭhoyyiban.

Al-Qur’an membolehkan untuk memanfaatkan rezki yang terdapat di bumi sebagai rezki yang halal
dan baik, Allah melarang mengikuti langkah- langkah setan.189 Termasuk mengikuti pemimpin yang
tidak bertanggung jawab

188 Abi Hasan Al-Ibin Ahmad, Asbabun Nuzul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi), hal. 232.

189 Lihat QS. al-Baqarah/2 : 168:

‫مم ْاولُك ُساَّنال اَ ُّه َيٰٓا ي‬ ُ ٰ ْ ٰ ۗ


ِ َّ‫ ٌ ْنيمبُّم ٌّوُ دَ ع ْمكل ٗهَّنم ِامنطيَّشال توُ طخ ْاوُ عم َّب َتت الَّ ۖواًبم َيط اللَح ضْ َراال ىمف ا‬١٦٨

89

yang berani mengharamkan beberapa jenis makanan menurut keinginan dan hawa nafsu mereka
sendiri. Dalam ayat ini, diulangi lagi perintah makan makanan yang baik-baik, dan bersyukur
kepada Allah karena memang dialah yang berhak disembah dan menerima syukur. Ditegaskan lagi
bahwa makanan yang diharamkan Allah hanya empat macam saja yaitu: bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Adapun makanan lain
seperti yang diharamkan oleh pemimpin-pemimpin kaum musyrikin itu adalah halal dan baik.190

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa seruan kehalalan makanan dan minuman pada ayat ini
ditujukan kepada seluruh manusia apakah ia beriman kepada Allah atau tidak, namun demikian,
tidak semua makanan dan minuman yang halal otomatis baik. karena yang halal terdiri dari empat
macam yaitu: wajib, Sunnah, Mubah dan Makruh. Selanjutnya, tidak semua yang halal sesuai dengan
kondisi masing-masing. Ada halal yang baik untuk si A yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan
ada juga yang kurang baik untuknya, walau baik buat yang lain. Ada makanan yang baik tetapi tidak
bergizi, dan ketika itu menjadi kurang baik. Karena itu, M. Quraish Shihab yang dianjurkan adalah
makanan dan minuman yang halal lagi baik.191

Terjemahnya : “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata
bagimu. (QS. al- Baqarah/2 : 168).

190 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,

1991), hal. 251.

191 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera

Hati, 2002), hal. 355.

90

Setiap orang beriman diperintahkan Allah swt. untuk senantiasa mengkonsumsi makanan yang
halal dan baik (mengandung gizi dan vitamin yang cukup). Jadi bagian ayat yang berbunyi halal dan
baik tersebut di atas mengandung makna dua aspek yang akan melekat pada setiap rezeki makanan
yang dikonsumi manusia. Aspek pertama, hendaklah makanan didapatkan dengan cara yang
halal yang sesuai dengan syariat Islam yang dicontohkan Rasul. Dalam hal ini mengandung makna
perintah untuk bermuamalah yang benar. Jangan dengan cara paksa, tipu, curi, atau dengan
cara-cara yang diharamkan dalam syariat Islam. Sementara dalam aspek baik atau thoyyib adalah
dari sisi kandungan zat makanan yang dikonsumi. Makanan hendaknya mengandung zat yang
dibutuhkan oleh tubuh, baik mutu maupun jumlah. Makanan gizi berimbang adalah yang
dianjurkan. Ada makanan yang halal tapi tidak thoyyib, misalnya Rasul mencontohkan kepala, kulit
dan jeroan binatang sembelihan dibuang. Bahkan beliau bersabda jangan makan tulang karena
tulang adalah makanan untuk saudaramu dari bangsa jin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bagian-bagian tersebut ternyata banyak mengandung zat penyebab kadar kolestrerol darah dalam
tubuh manusia cepat meningkat. Rasulullah telah memberikan suri teladan tentang kesederhanaan
ini. Dalam segala segi kehidupannya, beliau senantiasa bersifat sederhana, padahal jika beliau mau
niscaya beliau dapat saja menikmati segala macam kenikmatan itu sepuas hati. Akan tetapi beliau
tidak berbuat demikian, karena sebagai seorang

91

pemimpin, beliau memimpin dan memberi teladan kepada umatnya, pola hidup sederhana, tetapi
tidak menyiksa diri.192

B. Konstruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis

1. Kategori Ayat

Sebagian ulama membagi kategori ayat menjadi tiga bagian besar, yaitu:
(1) ayat-ayat tentang ketauhidan, (2) ayat-ayat hukum, dan (3) ayat-ayat tentang kisah-kisah Nabi
dan umat terdahulu.193 Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti terhadap penafsiran QS. al-
Baqarah/2 : 168, QS. al-Maidah/5 : 88, QS. al-Anfal/8 : 69 dan QS. an-Nahl/16 : 114 maka ayat-ayat
tersebut termasuk dalam kategori ayat ayat-ayat hukum kerena membahas hukum halal dan
haramnya suatu makanan yang dikonsumsi.

2. Pengembangan Al-Maghza Al-Tarikhi

Pada al-maghzā al-tārikhī atau pengembangan signifikansi fenomenal historis gunanya untuk
kepentingan dan kebutuhan pada konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), di
mana/ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan.194

Berdasarkan penafsiran makna halālan thoyyiban sebelumnya, jika

dikorelasikan dengan kehidupan masyarakat sekarang ini maka pengaruhnya

192 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur′an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan),

Jilid III, Juz 7, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 7.

193 Sahiron Syamsuddin (ed), Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Bantul: Lembaga Ladang Kata,
2020), h. 13.

194 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 14.
92

sangat besar dalam mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, jika melihat fenomena
yang ada dizaman modern ini, nampaknya penafsiran halālan thoyyiban yang ada dalam al-
Qur’an kurang mendapatkan perhatian atau kurang teraplikasikan dengan baik dalam masyarakat.
Hal itu terjadi karena perkembangan teknologi yang semakin canggih tanpa diimbangi dengan
iman. Tuntutan keutuhan ekonomi yang semakin meningkat, pola hidup konsuntif dan gaya
hidup yang mengikuti budaya Barat. Dengan kondisi demikian bagi mereka yang tidak dibekali
dengan iman yang kokok maka ia akan mudah melakukan sesuatu dan menghalalkan segala cara
demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kekaburan penafsiran halālan thoyyiban itu
dapat dilihat dalam fenomena yang banyak terjadi sekarang ini seperti tuntutan ekonomi banyak
orang mencari rizki tanpa memperhatikan halal dan tidaknya baik melalui pencurian, perampokan,
pembunuhan bahkan pemerkosaan. Ada juga yang bangga dengan mengikuti pola-pola hidup
orang Barat dengan memakan makanan yang belum dikethui apakah makanan itu dari segi zatnya
maupun cara memperolehnya telah diperbolehkan dalam Islam. Kondisi yang demikian itu banyak
terjadi pada masyarakat yang tidak memahami kaidah- kaidah agama Islam khususnya tentang
penafsiran halālan thoyyiban , karena sifat halāl, haram, thoyyib (baik dan tidaknya itu berkaitan
dengan kaidah- kaidah agama (keimanan) Islam.

Namun bagi orang yang beriman setiap perjalanan hidupnya selalu memperhatikan apakah yang
dilakukan itu halālan thoyyiban atau sebaliknya. Karena dalam pandangan orang mukmin segala
sesuatu yang dimakan dan
93

segala rezeki yang diperoleh itu mempunyai pengaruh dunia dan pertanggungjawaban di
akhirat. Sehingga mereka dalam hal makanan melihat apakah yang dimakan itu termasuk makanan
yang diperbolehkan dalam Islam baik dari segi zatnya maupun cara memperolehnya.

Penafsiran halālan thoyyiban yang ada dalam al-Qur’an umumnya membahas masalah makanan,
rezeki. Dalam hal makanan di Indonesia sendiri sangat diperhatikan sebagai bukti adanya peraturan
pemerintah yang mengatur masalah makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi masyarat Indonesia
harus melalui izin pemerintah dan dinas kesehatan adanya ilmu gizi. Hal itu menunjukkan
bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam hal makanan, sehingga apabila ada perusahaan
makanan yang memproduksi makanan yang mengandung unsur-unsur membahayakan kesehatan
dan berasal dari bahan yang telah diharamkan dalam Islam maka ia akan berurusan dengan
pemerintah. 195

Berkembangnya zaman dan pesatnya kemajuan tekhnologi, para produsen memproduksi produk
makanan dalam bentuk kemasan yang tidak menutup kemungkinan mencampurkan bahan olahan
pangan dengan bahan yang dilarang agama. Sehingga kehalalan produk olahan tersebut diragukan.
Bisa saja terjadi, bahan-bahan yang haram dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan atau
bahan penolong pada berbagai produk olahan, karena dianggap lebih ekonomis.

195 Maimunah Hasan, Al-Qur’an dan Ilmu Gizi, (Yogyakarta: Madani Pustaka, 2001), hal. 67.
94

Persepsi masyarakat tentang keharaman sebuah produk masih sangat sederhana sebelum teknologi
pengolahan pangan pesat berkembang seperti sekarang. Masalah halal haramnya makanan atau
minuman bahkan kosmetik maupun obat-obatan hanya terkait dengan ada atau tidaknya produk
yang mengandung babi atau mengandung alkohol. Jika makanan atau minuman yang bebas dari
kedua bahan tersebut, otomatis dianggap halal. Namun kini, teknologi pengolahan pangan
telah mengubah persepsi tersebut. Sebab produksi makanan untuk keperluan konsumsi tidak lagi
hanya mengandalkan bahan utama saja, tetapi juga memerlukan bahan tambahan.196

Pada era pandemi Covid-19 ini, vaksin merupakan sesuatu yang diwajibkan pemerintah
Indonesia. Kandungan vaksin menurut beberapa sumber berasal dari bahan yang haram. Majlis
Ulama Indonesia menetapkan bahwa salah satu dari tiga vaksin adalah halal, yakni vaksin Sinovac,
sedangkan untuk Vaksin AstraZeneca dan Sinopharm, Majlis Ulama Indonesia menetapkan
keduanya haram. Namun demikian, penggunaaan keduanya diperbolehkan karena kondisi yang
mendesak, adanya resiko fatal jika tidak dilakukan vaksinasi.197

Menurut M. Quraish Shihab, ajakan untuk mengkonsumsi makanan

halālan ṭhoyyiban ditujukan untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk orang-

196 Muhammad Syarif Hidayatullah, “Sertifikasi dan Labelisasi Halal Pada Makanan Dalam
Perspektif Hukum Islam (Perspektif Ayat Ahkam) “, Jurnal Yudisia : Jurnal Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam, Vol. 11, No. 2, Desember 2020, hal. 255.

197 Ismi Khoerun Nisa, “Apa Status Kehalalan Vaksin Pfizer dan Moderna”, dalam

https://mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/31316/apa-status-kehalalan-vaksin-pfizer-dan-moderna/
di akses pada 27 September 2021.
95

orang beriman, ini menunjukkan bahwa bumi disiapkan untuk seluruh manusia, mukmin atau kafir.
Setiap upaya dari siapa pun untuk memonopoli hasil- hasilnya, baik ia kelompok kecil, maupun
besar, keluarga, suku, bangsa atau kawasan, dengan merugikan yang lain, maka itu bertentangan
dengan ketentuan Allah karena itu, semua manusia diajak untuk makan yang halal yang ada di bumi.
Tidak semua yang ada didunia otomatis halal dimakan atau digunakan. Allah menciptakan ular
berbisa bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan bisanya sebagai obat. Ada burung-
burung yang diciptakannya untuk memakan serangga yang merusak tanaman. Dengan demikian,
tidak semua yang ada di bumi menjadi makanan yang halal, karena bukan semua yang diciptakannya
untuk dimakan manusia, walau semua untuk kepentingan manusia. Karena itu, Allah
memerintahkan untuk makan makanan yang halal.198

Dalam tafsir ilmi makanan dan minuman yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Al-Qur’an
memaparkan kriteria baik (thoyyib) terkait kebutuhan fisik manusia, seperti kebutuhan energi dan
kesehatan. Makanan yang baik adalah yang memberikan cukup energi (kalori) dan mampu menjaga
kesehatan dan pertumbuhan serta tidak menimbulkan penyakit, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.199 Hamka menjelaskan bahwa dalam kata-kata baik itu terkandung makna
kesehatan jiwa dan rasa yang terdapat dari barang tersebut.

Misalnya daging, buah-buahan, sayuran dan lain-lain yang mengandung berbagai gizi, protein,
vitamin, calori dll yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Hamka menegaskan bahwa syarat untuk
bisa mengkonsumsi makanan dan minuman tidak hanya halal tetapi juga harus baik.200 Hal ini juga
sesuai dengan buku yang di editori oleh Abuddin Nata dalam buku yang berjudul Kajian Tematik Al-
Qur’an tentang kemasyarakatan yang menyatakan bahwa makanan yang baik adalah makanan
yang sehat mengandung unsur-unsur yang diperlukan oleh tubuh.201

Persyaratan makanan yang thoyyib menurut ilmu gizi ialah yang dapat

memenuhi fungsi-fungsi sebagai berikut:202


a. Memenuhi kepuasan jiwa

1) Memberi rasa kenyang

2) Memenuhi kebutuhan naluri dan kepuasan jiwa

3) Memenuhi kebutuhan sosial-budaya.

b. Memenuhi fungsi fisioligik

1) Memberi tenaga

2) Mendukung pembentukan sel-sel baru untuk pertumbuhan badan

3) Mendukung pembentukan sel-sel atau bagian-bagian sel untuk

menggantikan yang rusak

200 Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1983), hal. 19.

201 Abuddin Nata, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan, (Bandung: Angkasa

Bandung, 2008), hal. 331.

202 Achmad Djaeni Sediaoetama, Ilmu Gizi Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Dian Rakyat,
1990), hal. 90.

97

4) Mengatur metabolisme zat-zat gizi dan keseimbangan cairan serta asam

basa

5) Berfungsi dan pertahanan tubuh.

Selanjutnya Quraish Shihab mengatakan, makanan halal adalah makanan yang tidak
haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama memakannya. Makanan haram ada dua macam,
yaitu yang haram karena zatnya seperti babi, bangkai dan darah. Sedangkan yang haram karena
sesuatu bukan dari zatnya seperti makanan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk dimakan
atau digunakan. Makanan yang halal adalah yang bukan termasuk kedua macam ini. Perintah
dalam ayat tersebut ditujukan kepada seluruh manusia, percaya kepada Allah atau tidak.
Seakan-akan Allah berfirman :”Wahai orang-orang kafir, makan yang halal, bertindaklah sesuai
dengan hukum, karena itu bermanfaat untuk kalian dalam kehidupan dunia kalian.”203

Dalam ilmu gizi kandungan nutrisi dalam makanan yang diperlukan manusia terdiri dari enam
macam yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Keenam zat makanan tersebut
mutlak diperlukan dan harus dikonsumsi dalam jumlah yang optimal. Semua jenis zat makanan
tersebut bersumber dari tanaman atau nabati maupun dari hewan atau hewani. Hal tersebut telah
dibahas dalam Al-Qur’an yang mana membagi makanan bersumber dari hewan menjadi dua,
yaitu bersumber dari hewan laut yang dihalalkan secara mutlak walaupun menjadi bangkai halal
hukumnya. Dan yang

203 M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, Vol. I (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), hal. 354.

98

lainnya bersumber dari darat maka Al-Qur’an menghalalkan secara eksplisit dengan lafadz al-an’ām
(unta, sapi, kambing dan lain sebagainya) dan mengharamkan secara tegas babi.204

Di sini disebut dua pokok yang terpenting, yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang
oleh agama. Sedangkan memakan daging babi, memakan atau meminum darah, memakan bangkai
dan memakan makanan yang disembelih bukan karena Allah. Semuanya itu telah dinyatakan haram.
Kemudian disebut pula makanan yang baik yaitu diterima oleh selera, yang tidak menjijikkan.
Misalnya anak kambing yang telah disembelih adalah halal dimakan, tetapi kalau tidak dimasak
terlebih dahulu, langsung saja dimakan daging mentah itu, mungkin sekali tidak baik, lantaran itu
maka kata-kata yang baik atau dalam asal kata thoyyib, adalah ukuran dari kebiasaan sendiri-sendiri
atau kemajuan masyarakat.205

Penekanan pada yang baik untuk seseorang ini disesuaikan dengan kondisi kesehatan seseorang.
Misalnya: gulai daging kambing itu halal dan baik untuk orang yang memiliki tekanan darah rendah
atau normal, tetapi, menjadi tidak baik bagi seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi.
Dengan demikian makanan yang halal mudah diketahui dengan adanya pembahasan makanan dan
minuman yang haram. Sedangkan untuk makan dan minuman yang baik membutuhkan penyesuaian
dengan kondisi kesehatan seseorang.

204 Aisjah Ginindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, (Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2008),

hal. 56.

205 Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Jilid V, (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1983), hal. 3977.

99

Dengan kata lain makanan dan minuman yang baik tidak hanya harus mengandung gizi.
Tetapi, juga harus memperhatikan kondisi kesehatan seseorang.

Sains dan teknologi pada saat ini terbukti bahwa mengalami perkembangan, daya pikir
manusia juga telah mampu diimbangi oleh hadirnya penemuan-penemuan baru dalam bidang
tekhnologi. Kecenderungan untuk selalu mencari dan mendapatkan lebih dari apa yang sudah ada.
Sehingga tekhnologi dan sains menjadi mampu menjadi pendorong majunya kehidupan manusia
dalam berbagai aspek seperti dalam proses pembuatan produk makanan halal teknonolgi dan
sainspun menjadi sangat penting206 dan standart halal digunakan untuk memenuhi perkembangan
ilmu dan tekhnologi saat ini pada bidang pangan, obat-obatan, dan kosmektika serta barang gunaan
lainnya, sehingga dengan adanya teknologipun perlu dilihat adanya kehalalan dari produk yang
diciptakan karena terkadang bahan dasar dari penciptaan produk halal akan tetapi campuran-
campuran dari pdoduk lainnya tidak halal, maka dari itu tekhnologi berperan sebagai pendorong
bahwa makanan itu termasuk halal ataupun tidak.

Memakan makanan yang halāl dan toyyib memiliki dampak bagi orang yang beriman, baik itu
jasmani maupun rohani. Orang yang memakan makanan yang haram doa permohonannya tidak di
dengar apalagi dikabulkan Allah. Hal itu berdasarkan informasi Rasulullah saw. Dalam hadist Qudsi
yang artinya:

206 Maryono dan Patmi Istiana, Tekhnolgi dan Komonikasi, (Bandung: Yudhistira, 2008), hal. 57.

100

“sesungguhnya Allah itu baik tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah
memerintahkan pada orang-orang mu’min (serupa) dengan apa yang telah diperintahkan pada para
Rasul, maka Allah telah berfirman : Hai Rasul-rasul makanlah dari segala sesuatu yang baik, dan
bekerjalah kamu dengan pekerjaan yang baik. Dan telah berfirman : Hai orang-orang yang beriman!
Makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami rizekikan padamu. Kemudian beliau menceritakan
seorang laki-laki yang telah jauh perjalananya, berambut kusut penuh dengan debu. Dia
mengadakan tangannya ke langit dan berkata: wahai Tuhan, wahai Tuhan, sedang makananya
haram, maka bagaimana ia akan diterima do’a permohonannya?”(H.R Muslim dari Abu
Hurairah).207
Selain itu makanan haram juga berdampak pada pendidikan pranatal dan postnatal. Allah
memerintahkan untuk memakan makanan yang halal dan thayyibat (makanan yang baik-baik). Harus
makan makanan yang halal, karena makanan yang haram yang dimakan oleh seorang menghalangi
do’a orang itu kepada Allah. Di dalam hidup, seseorang bekerja, berusaha, tetapi kesuksesan itu ada
pada kekuasaan Allah semata. Al-Asy’ats, seorang ilmuwan muslim pada akhir abad IV (390 H) telah
mengadakan penelitian terhadap makanan halālan thayyiban yang dilaporkan hasilnya dalam
buku Al-Hidza’wal Muhtady, bahwa jenis makanan itu ada yang membesarkan tubuh jasmani dan
ada yang menumbuhkan kecerdasan, seperti halnya dalam ilmu gizi karbohidrat menumbuhkan fisik,
sedangkan protein akan menumbuhkan kecerdasan. Orang Barat, seperti di Amerika untuk protein
diambil dari daging sapi, daging sapi rentan terhadap kolesterol yang dapat membahayakan jantung,
maka orang Jepang dengan mengkonsumsi ikan untuk kecukupan asupan protein.208 Juga

207 Imam Nawawi, Hadits Arba’in An Nawawiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1959), hal.

41.

208 Waharjani, “Makanan yang halal lagi baik” dalam Risalah Jum’at edisi 21 tahun 2009

101
tentang pengaruh makanan itu, seorang ulama kontemporer, Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya
Child Between Heredity and Education menguatkan pendapatnya dengan mengutip Alexis Carrel
pemenang hadiah Nobel Kedokteran. Carrel mengutip dalam bukunya Man the Unknouwn lebih
kurang sebagai berikut: “Pengaruh dari campuran (senyawa) yang dikandung oleh makanan
terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum lagi
diadakan eksperimen secara memadahi. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia
dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan209

Berdasarkan pemaparan di atas maka makna halālan ṭhoyyiban pada konteks kekinian dapat
diartikan sebagai makanan yang halal dan baik bagi tubuh, bergizi, tidak menjijikan dan disesuaikan
dengan kondisi kesehatan seseorang yang mengkonsumsi makanan tersebut.

3. Mengungkap Makna Simbolik

Tahap selanjutnya adalah menentukan makna-makna simbolik al- Qur’an. Seperti yang termuat
dalam buku Sahiron Syamsuddin, bahwasanya sebagaian ulama membagi makna lafal dalam al-
Qur’an menjadi empat level, yaitu: (1) zahir (makna lahiriah atau literal), (2) batin (makna simbolik),
(3) had (makna hukum), dan (4) matla’ (makna puncak atau spiritual).210 Berdasarkan Analisis yang
dilakukan peneliti terhadap tafsiran para muffasir terkait makna

209 Waharjani, “Makanan yang Halal Lagi Baik dan Implikasinya Terhadap Kesalehan Seseorang”,

Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol. 4, No. 2, Desember 2015, hal. 203.

210 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-
Indonesia, 2020), hal. 16.

102
halālan ṭhoyyiban pada QS. al-Baqarah/2 : 168, QS. al-Maidah/5 : 88, QS. al- Anfal/8 : 69 dan QS. an-
Nahl/16 : 114 maka ayat-ayat tersebut termasuk dalam makna had (makna hukum), hal ini
didasarkan pada penafsiran-penafsiran yang membahas tentang hukum mengkonsumsi makanan
yang halal dan haram.

103

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Makna halālan ṭhoyyiban dengan menggunakan pendekatan Ma‘nā cum Maghzā secara bahasa
dapat diartikan sebagai makanan atau minuman yang dibolehkan dan baik serta mendatangkan
kebaikan kepada manusia.

2. Al-Maghza atau pesan utama dari ayat yang berbicara tentang halālan ṭhoyyiban
mengandung pengertian bahwa makanan dan minuman yang tidak dilarang oleh agama seperti tidak
memakan bangkai, darah, daging babi dan tidak memakan makanan yang disembelih bukan karena
Allah, semuanya itu telah dinyatakan haram.

3. Pengembangan al-maghza al-tarikhi makna halālan ṭhoyyiban dapat diartikan sebagai makanan
yang halal dan baik bagi tubuh, bergizi, tidak menjijikan dan disesuaikan dengan kondisi kesehatan
seseorang yang mengkonsumsi makanan tersebut. Selain itu, makanan yang dikonsumsi haruslah
halāl dan ṭhoyyib secara keseluruhan, baik itu berasal dari dzatnya, cara memperolehnya maupun
bahan-bahannya.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian makna halālan ṭhoyyiban dengan pendekatan Ma’nā Cum
Maghzā, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Namun dalam penulisan skripsi ini sumber yang diperoleh penulis sangat sedikit. Untuk itu penulis
menyarankan bagi para

104
pembaca yang ingin memperdalam diharapkan agar membaca dari sumber referensi lainnya dan
penulis berharap makna halālan ṭhoyyiban ini perlu diteliti lagi menggunakan analisis atau
pendekatan lainnya agar wawasan mengenai kajian ini dapat berkembang dan lebih berguna untuk
masyarakat islam maupun masyarakat umum lainnya.

Anda mungkin juga menyukai