Anda di halaman 1dari 92

KONSEP SYUKUR DALAM AL-QUR’AN

(STUDI QS. IBRAHIM [14]:7 DENGAN PENDEKATAN


MA’NA CUM MAGHZA)

SKRIPSI
Diajukan kepada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Palangka Raya
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Oleh:
Amelia Dewi
NIM. 1703130049

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PALANGKARAYA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terima kasih adalah kata yang sangat akrab dalam keseharian

masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Ia sering kali dipadankan

dengan kata syukur yang dapat diartikan positif sebagai makna terimakasih

kepada seseorang dan kepada Sang Yang Maha Pengasih. Syukur juga

terkadang diseret ke dalam makna negatif dengan istilah “syukurin”. Karena

itu, perlu kembali dipahami apa sebenarnya hakikat berterima kasih dengan

menelaah makna syukur, dan bagaimana mengaplikasikannya dalam

kehidupan sehari-hari.

Benarkah syukur hanya perlu dipahami sebagai ungkapan

berterimakasih kepada Tuhan jika seorang hamba mendapat Rezeki1 atau

cukupkah memahami syukur sebatas ucapan terima kasih dengan ucapan

Alhamdulillah, padahal bentuk penghambaan kita kepada Allah swt, bukan

hanya sebagai ta’abbud semata tetapi juga sebagai bentuk tasyakkur2.

Sementara begitu banyak nikmat yang Allah limpahkan kepada hamba-Nya

termasuk rasa syukur itu sendiri.

Kepekaan rasa syukur umat manusia dewasa ini, tampaknya mulai

mengalami penurunan secara drastis dan salah satu dampak negatif terhadap

1
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 290.
2
Hidayat (dkk), “Makna Syukur Berdasarkan Kajian Tematik Digital Alquran dan
Implikasinya dalam Pendidikan Akhlak Di Sekolah Dasar”, Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan
Dasar, 2019, hal. 98.

1
2

hilangnya rasa syukur adalah manusia mulai bringas dengan berbagai

macam materi yang dapat memberikan kehidupan secara individualistik

semata dan tidak peduli terhadap orang lain 3. Hal itu tampak pada pola

kehidupan tidak pernah puas dengan apa yang telah dianugrahkan oleh

Tuhan. Jangan sampai syukur itu hanya sebatas lidah saja, dan mungkin

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan manusia tentang makna dan

manfaatnya. Karena itu, dorongan untuk melakukan syukur dengan

pemaknaan yang lebih dalam menjadi urgent untuk dikedepankan dalam era

serba materialistis ini.

Problematika pemahaman syukur bukan sesuatu yang baru dibahas.

Namun, ibarat seumur manusia, pembahasan syukur telah ada mulai dari

adanya manusia hingga hari ini dan nanti. Informasi ini bisa didapat dari

berbagai sumber, khususnya dalam al-Qur’an yang secara nyata

menjelaskan dan membuktikan kepada semua manusia tentang syukur dari

satu masa ke masa yang lain.4

Fakta bahwa syukur itu penting, salah satunya karena bersyukur tidak

hanya memiliki efek langsung pada kualitas hidup, melainkan juga memiliki

efek tidak langsung yaitu melalui stres yang dirasakan serta kesehatan

mental, hal ini dipertegas dalam sebuah penelitian. Di Indonesia,

berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018),

memperlihatkan dari 181 orang yang menghadiri Layanan Kesehatan Jiwa

3
Muh. Subair, “Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning”,
Pusaka: Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Mei 2020, hal. 98.
4
Choirul Mahfud, “The Power Of Syukur (Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam al-
Alquran)”, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya: Jurnal Episteme, Vol. 9, No. 2,
Desember 2014, hal. 379.
3

Bergerak (Mobile Mental Health Services/MMHS), sejumlah 49%

mengalami masalah kesehatan jiwa Sedangkan Di eropa, Komisi Statistik

Eropa (EUROSTAT) memperkirakan bahwa lebih dari 90% kunjungan

pasien ke dokter disebabkan oleh masalah kesehatan yang sebagiannya

dipengaruhi oleh stres. Yang mana dalam dunia kesehatan disebut dengan

penyakit psikosomatik yaitu kelainan yang mempengaruhi tubuh dan

pikiran. Gangguan psikosomatik merupakan hal yang sebenarnya telah

umum terjadi namun seringkali tidak disadari. Penyakit ini memiliki dasar

emosional yang menyebabkan gejala fisik dan stres berat bertanggung jawab

atas 90% dari penyakit ini.5

Dengan demikian bersyukur menunjukkan korelasi positif yang

signifikan dengan kualitas hidup orang yang mengalami gangguan

psikosomatik. yang berarti jika seseorang yang mengalami psikosomatik

semakin mampu bersyukur maka semakin meningkat pula kualitas

hidupnya. Individu dapat melatih diri dengan bersyukur dalam menyikapi

setiap pengalaman hidup sehari-hari sehingga stressor pemicu psikosomatik

dapat diatasi secara bertahap.

Syukur adalah sebuah praktik.6 Oleh karena itu syukur tidak cukup

hanya dengan hati dan lisan, tetapi harus direalisasikan dengan tindakan

nyata. Dalam Islam syukur juga merupakan bentuk ketaatan kepada Allah.

Untuk itu sebagai hamba-Nya yang beriman wajib mensyukuri berbagai hal

5
Ila Nurlaila Hidayat dan Witrin Gamayanti, “Dengki, Bersyukur dan Kualitas Hidup
Orang yang Mengalami Psikosomatik”, PSYMPATHIC : Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 7, No. 1,
2020, hal. 79.
6
Afandi, Nur Kholik. Konsep Syukur, (Disertasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) Kampus Terpadu UMY Program Studi Psikologi Pendidikan Islam, 2019), hal. 37.
4

yang Allah berikan kepada kita. Contohnya rasa syukur atas segala karunia

yang Allah berikan kepada seorang petani tidak hanya sekedar

mengucapkan alhamdulillah karena bisa panen tetapi dalam artian yang

lebih luas, yaitu bagaimana hasil panen mereka bisa bermanfaat bagi banyak

orang. Bentuk pertanggungjawaban kepada Allah-lah perwujudan dari rasa

syukur yang sebenarnya.

Adapun salah satu ayat syukur terdapat dalam QS. Ibrahim [14] : 7.

٧ ‫َواِ ْذ تَاَذَّ َن َربُّ ُك ْم ل َِٕى ْن َش َك ْرتُ ْم اَل َ ِزيْ َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕى ْن َك َف ْرتُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِديْ ٌد‬
Terjemah Kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku
akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.7

Ayat di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya orang yang sibuk

mensyukuri nikmat Allah maka akan ditambah nikmat tersebut, sebaliknya

apabila mengingkarinya maka siksa Allah sangatlah pedih. Ketika

menjelaskan pahala bagi orang yang bersyukur, jelas dikatakan bahwa

nikmat yang diberikan akan ditambah. Namun, ketika berbicara tentang

kufur nikmat, tidak disebutkan secara jelas hukuman atau siksa yang akan

diterima, hanya disebutkan bahwa siksa Allah sangat pedih. Di antara

banyak ayat yang terdapat kata syukur, hanya surat Ibrahim ayat 7 yang

disandingkan dengan kata kufur. Tentu memiliki daya tarik tersendiri untuk

dikaji lebih jauh lagi menjadi sebuah penelitian.

Berdasarkan penjebaran diatas, penulis tertarik untuk meneliti

bagaimana makna kata syukur yang berarti “terima kasih” yang juga
7
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
5

merupakan lawan kata dari adalah kufr yang artinya “menutup” atau “tidak

tahu terima kasih”. Penelitian kali ini akan lebih menarik ketika dianalisis

menggunakan pendekatan baru yang dikembangkan oleh Sahiron

Syamsuddin yaitu teori Ma’na Cum Maghza. Teori ini merupakan hasil

modifikasi teori Hermeneutika Fazlu Rahman dan Abu Zayd yang mana

selama ini hanya dipraktekan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang

hukum sementara Ma’na Cum Maghza diharapkan mampu diterapkan untuk

penafsiran seluruh teks al-Qur’an.8

Alasan peneliti menggunakan teori Ma’na Cum Maghza adalah teori

ini merupakan teori yang berusaha untuk memahami makna dasar sebuah

teks saat teks tersebut pertama kali diciptakan/diturunkan dipahami,

sehingga makna teks atau signifikansi ayat tersebut dapat dikembangkan

dan diimplementasikan ke konteks kekinian. Oleh karena itu, dalam skripsi

ini penulis akan mencoba mendeskripsikan mengenai Konsep Syukur

Dalam Al-Qur’an Studi QS. Ibrahim [14] : 7 berdasarkan Pendekatan

Ma’na Cum Maghza.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan

dibahas pada penelitian ini ialah Bagaimana Konsep Syukur dalam Surah

Ibrahim [14] : 7 berdasarkan Pendekatan Ma’na Cum Maghza?

8
Adi Fadilah, “Ma’na-Cum-Maghza Sebagai Pendekatan Kontekstual dalam
Perkembangan Wacana Hermeneutika Aquran di Indonesia”, Jurnal Of Qur’an And Hadith
Studies, Vol. 8, No. 1, 2019), hal. 12.
6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan

atau orientasi yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan Konsep Syukur dalam Al-Qur’an Studi QS. Ibrahim [14] :

7 berdasarkan Pendekatan Ma’na Cum Maghza.

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka hasil dari penelitian ini

diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun secara

praktis.

1. Manfaat Secara Teoritis

Penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu memberikan

manfaat kepada peneliti maupun pembaca agar dapat mengetahui dan

memahami makna hak hidup dalam al-Qur’an menggunakan

pendekatan Ma’na Cum Maghza. Penelitian ini juga diharapkan

sebagai penambah wawasan dan pembanding terhadap beragam

penelitian yang serupa. Dengan demikian penelitiaan ini mampu

menjadi jembatan penghubung bagi masyarakat akademik yang ingin

mempelajari tema yang serupa.

2. Manfaat Bidang Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis bagi peneliti maupun

pembaca ialah mampu menerapkan penggunaan pendekatan Ma’na

Cum Maghza dalam memahani Konsep Syukur dalam Al-Qur’an.


7

3. Manfaat Bagi Peneliti

Dengan adanya kajian ini diharapkan mampu memberikan

manfaat bagi peneliti sebagai petunjuk atau arahan, acuan serta bahan

pertimbangan bagi seorang peneliti yang akan mengkaji selanjutnya.

D. Kajian terdahulu

Kajian Terdahulu atau kajian kepustakaan adalah suatu tinjauan yang

menjelaskan dan mengkaji buku-buku, karya-karya, pemikiran-pemikiran

dan penulisan-penulisan ataupun penelitian terdahulu yang terkait dengan

pembahasan skripsi. Pembahasan mengenai Konsep Syukur memang

bukanlah hal yang baru lagi dalam dunia akademis. Begitu pula dengan

pembahasan peran al-Qur’an dalam membantu memberikan konsep

mengenai hal tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya-karya

yang telah membahas al-Qur’an dan hubungannya dengan Konsep Syukur.

Namun pada penelitian kali ini peneliti hanya berfokus pada Konsep Syukur

dalam al-Qur’an menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza.

Untuk mengetahui letak kebaruan dalam penelitian ini, peneliti ingin

mencoba menyebutkan beberapa karya yang berkaitan dengan Konsep

Syukur yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini, peneliti membaginya

menjadi dua kategori berdasarkan dua variabel yang ada dalam judul

penelitian ini. Variabel pertama yaitu Konsep Syukur yang ada dalam al-

Qur’an, sedangkan variabel kedua yaitu pendekatan Ma’na Cum Maghza.


8

1. Konsep Syukur dalam al-Qur’an

Kajian pertama, yaitu skripsi yang disusun oleh Nur Falihatun,

Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2017 dengan

judul “Penafsiran Ayat-ayat Syukur (Kajian Terhadap Kitab al-Ibriz

Li Ma’rifati Tafsir Alquran al-‘Aziz Karya Bisyri Mustafa”.

Kedua, yaitu Skripsi yang disusun oleh Cucu Yulianti, Jurusan

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung

Djati Bandung tahun 2018, dengan judul “Makna syukur dan ciri-

cirinya dalam tafsir Al-Munir” (Analisis terhadap tafsir Al-Munir

karya Wahbah Zuhaili).

Ketiga, Jurnal Episteme Vol. 9, No. 2, Desember 2014,

Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya, disusun oleh

Choirul Mahfud dengan judul “The Power Of Syukur (Tafsir

Kontekstual Konsep Syukur dalam Alquran)”. Jurnal ini menjelaskan

tentang problematika syukur yang dialami dan dirasakan manusia.

Keempat, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1,

Mei 2020, disusun oleh Muh. Subair dengan judul “Rekonstruksi

Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning”.

2. Pendekatan Ma’na Cum Maghza

Kajian pertama, dalam Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an

dan Tafsir Volume 14 Nomor 01 Tahun 2020 dengan judul

“Interpretasi Ma’na Cum Maghza terhadap Relasi Suami Istri dalam


9

QS. Al-Mujadalah/58: 1-4” karya Althaf Husein Muzakky. Karya ini

menjelaskan bahwa QS. al-Mujadalah/58: 1-4 mengajarkan tentang

semangat emansipatoris. Emansipatoris merupakan persamaan hak,

menghargai kehidupan baik itu perempuan maupun laki-laki,

semuanya mendapatkan perlakuan yang sama disisi Allah, yang

membedakan hanya ketaqwaannya.9 Artikel ini bertujuan untuk

menawarkan gagasan baru tentang wawasan gender, khususnya relasi

antara suami dan istri yang dikaji dari teks dan konteks.

Kajian kedua, dalam Jurnal Al Tadabbur: Jurnal Ilmu Alquran

Dan Tafsir Vol: 05 No. 02 November 2020 dengan judul “Pemaknaan

Ma’na Cum Maghza Atas Qs. (6): 108 Dan Implikasinya Terhadap

Toleransi Antar Umat Beragama” karya Faisal Haitomi dan Anisa

Fitri. Artikel ini menjelaskan bahwa dalam QS. 6: 108 menunjukkan

bahwa al-Qur’an dari jauh-jauh hari telah melarang pemeluknya untuk

menjelek atau menghina sesembahan orang lain, karena selain

berakibat pada hilangnya rasa toleransi antar umat beragama, ia juga

berakibat pada umpatan melampaui batas yang dilakukan oleh orang

non muslim. Nabi Muhammad juga mengajarkan untuk saling

menghormati orang yang berbeda keyakinan dengan kita sebagaimana

hal itu termanifestasi di dalam piagam Madinah.

Kajian ketiga, dalam Jurnal Ijougs, Volume 1 No. 1 Tahun 2020

dengan judul “Reinterpretasi Kata Jilbab Dan Khimar Dalam Al-


9
Althaf Husein Muzakky, “Interpretasi Ma’na Cum Maghza terhadap Relasi Suami Istri
dalam QS. Al-Mujadalah/58: 1-4” Jurnal Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Volume
14 Nomor 01 Tahun 2020.
10

Quran; Pendekatan Ma’na Cum Maghza Sahiron Syamsuddin” karya

Siti Robikah. Dengan melihat pemaknaan kata jilbab dan khimar

dengan menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza maka akan

melajirkan pemaknaan baru mengenai kata jilbab dan khimar yang

tidak hanya berhenti pada pemaknaan penutup aurat secara fisik

namun juga menutup aurat yang dilihat secara non fisik. Kewajiban

menutup aurat non fisik tidak hanya dibebankan kepada perempuan

namun juga kepada laki-laki.

Dari kajian pustaka yang telah penulis paparkan diatas, belum

ada penelitian mengenai Konsep Syukur yang menggunakan

pendekatan Ma’na Cum Maghza. Oleh karena itu penulis akan

melakukan penelitian terhadap Konsep Syukur dalam Alquran

menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza. Adapun fokus

penelitiannya yaitu pada Konsep Syukur dalam al-Qur’an Studi QS.

Ibrahim [14] : 7 dengan Pendekatan Ma’na Cum Maghza.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan pendekatan penelitian


11

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif 10

berdasarkan cara analisis data, dan menggunakan jenis penelitian

kepustakaan (library research) berdasarkan sumber data. Penelitian

kualitatif ini bertujuan untuk memahami makna dan keunikan objek

yang diteliti. Sedangkan jenis penelitian library research bertujuan

untuk menghimpun data-data dari beberapa literatur seperti buku,

tafsir, artikel, jurnal serta sumber yang relevan dengan penelitian ini.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan Ma’na Cum Maghza.

2. Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti

secara langsung (dari tangan pertama) atau data yang berasal

dari sumber pertama yaitu al-Quran.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber-sumber yang

diambil dari sumber lain yang diperoleh dari sumber primer. 11

Data sekunder ini berfungsi sebagai pelengkap dari data primer,

10
Penelitian kualitatif digunakan untuk memperoleh data yang kaya informasi dan
mendalam tentang isu dan masalah yang akan dipecahkan. Lihat Sugiono, Metode Penelitian
Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2018), hal. 3. Penelitian kualitatif juga dimaksudkan untuk
mengungkap gejala secara holistic-konstektual (secara menyeluruh dan sesua dengan konteks / apa
adanya) melalui pengumpulan data dari latar alami sebagai sumber langsung dengan instrument
kunci penelitian itu sendiri. Lihat Ahmad Tanzeh dalam bukunya Metodologi Penelitian Praktis,
(Yogyakarta : Teras, 2011), hal. 64. Ada juga yang mendefinisikan kualitatif sebagai proses
penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan
gambar holistik yang dbentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci
dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Lihat Hamid Patilima dalam bukunya Metode Penelitian
Kualitatif, (Bandung : Alfabeta, 2011), hal. 3.
11
Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998), hal. 91.
12

data ini berisi tentang tulisan-tulisan yang berhubungan dengan

materi yang akan dikaji. Dalam skripsi ini sumber sekunder

yang dimaksud adalah buku-buku penunjang selain dari sumber

primer yaitu buku-buku mengenai ‘syukur’, kamus, kitab-kitab

tafsir, jurnal/artikel yang berkaitan dengan pembahasan ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai untuk

mengumpulkan informasi atau fakta-fakta yang terdapat dalam

penelitian ini. Teknik ini merupakan langkah yang paling strategis

dalam melakukan suatu penelitian, karena tujuan utama dalam sebuah

penelitian adalah mendapatkan data.12

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, maka teknik

mengumpulkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan cara dokumentasi. Cara pengumpulan data dengan metode ini

adalah dengan cara mengumpulkan peninggalan tertulis, yaitu berupa

arsip-arsip yang termasuk didalamnya buku-buku tentang pendapat,

teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti.13

4. Analisis Data

Analisis data merupakan kaidah penelitian yang wajib dilakukan

oleh semua peneliti, karena sebuah penelitian tanpa analisis hanya

12
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif (Dalam Perspektif Rancangan Penelitian),
(Yogyakarta: ArRuzz Media, 2016), hal. 208.
13
Aunu Rofiq Djaelani, “Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif”, Jurnal
Pawiyatan, Vol. XX, No. 1, Maret 2013, hal.84.
13

akan melahirkan sebuah data mentah yang tidak mempunyai arti 14.

Untuk memperoleh makna yang lebih tepat, data yang terkumpul

terlebih dahulu diinterpretasi dengan menggunakan analisis

deskriptif.15 Pada penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk

memberikan gambaran umum tentang Syukur dalam al-Qur’an.

Kemudian, digunakan juga untuk mengetahui bagaimana penjelasan

surah dan ayat dalam al-Qur’an yang terkait dengan Syukur atau yang

terkait dengan term tersebut menurut beberapa mufasir dengan

pendekatan Ma’na Cum Magza, dan selanjutnya akan ditinjau lagi

sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini.

Selanjutnya, prosedur analisis data dalam penelitian ini

dilakukan dengan analisis tematik atau maudhu’i. Al-Farmawi

mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendaknya

ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i.16 Adapun langkah-

langkahnya sebagai berikut:

a. Menentukan masalah yang akan dibahas, yaitu tentang

pandangan al-Qur’an tentang Syukur;

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan Syukur dalam al-

Qur’an;

14
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: CV
Jejak, 2018), hal. 235.
15
Emawati, dkk, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Studi Etnografi Tarekat Sufi di
Indonesia, Cet. 1 (Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2015), hal. 26.
16
Didi Junaedi, “Mengenal lebih dekat Metode Tafsir Maudhu’I”, Diya al-Afkar, Volume
4, Nomor 1, 2016, hal. 2.
14

c. Menyusun runtutan ayat-ayat tentang Syukur sesuai dengan

kronologis turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-

nuzul;

d. Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut;

e. Menyusun kerangka pembahasan yang sempurna (outline);

f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan

dengan pokok bahasan;

g. Meneliti ayat-ayat tentang Syukur secara keseluruhan dengan

cara menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian

sama atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan

yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang

pada lahirnya bertentangan sehingga kesemuaannya bertemu

dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan;

h. Menyusun kesimpulan.17

F. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dibuat untuk mempermudah dalam memahami alur

penyelesaian penelitian ini. Maka dari itu, peneliti membuat sebuah

kerangka pikir dalam penelitian ini agar inti dari permasalahan yang akan

dibahas lebih fokus dan terarah sesuai dengan maksud dan tujuan peneliti.

Untuk mempermudah dalam memahami hal tersebut, peneliti membuat

sketsa sebagai berikut :

17
Moh. Tulus Yamani, “Memahami Al-Qur’an dengan Metode Tafsir Maudhu’I”, J-PAI,
Volume 1, Nomor 2, 2015, hal. 280-281.
15

Dalam penelitian ini akan mencari pandangan al-Qur’an tentang

Syukur dalam QS. Ibrahim [14]: 7. Adapun teori yang digunakan guna

mencapai hasil penelitian adalah teori Ma’na Cum Maghza sebagai pisau

analisis dengan metode tematik untuk menghimpun ayat-ayat yang

berkaitan dengan Syukur, kemudian dijabarkan melalui metode deskriptif

untuk memberikan gambaran tentang Syukur dalam QS. Ibrahim [14]: 7.

G. Sistematika Penelitian

Penelitian ini terdiri dari empat bab. Untuk memudahkan pemahaman

dan memberikan penjelasan tentang isi penelitian ini, maka penelitiannya

dilakukan berdasarkan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama, Pendahuluan, meliputi : latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian terdahulu, landasan

teori, metode penelitian, kerangka pikir, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, yakni tinjauan umum tentang Syukur dalam Al-Qur’an

yang meliputi : himpunan ayat-ayat tentang syukur dalam Al-Qur’an, term-

term syukur dan analisisnya, definisi syukur, wujud syukur, bentuk-bentuk

syukur dan manfaat syukur.

Bab Ketiga, yakni membahas tentang gambaran umum pendekatan

Ma’na Cum Maghza Shahiron Syamsuddin yang meliputi : biografi Shahiron


16

Syamsuddin, pendekatan Ma’na Cum Maghza dan Langkah-langkah

metodis penafsiran berbasis Ma’na Cum Maghza.

Bab Keempat, yakni analisis mengenai Konsep Syukur menggunakan

pendekatan Ma’na Cum Maghza.

Bab Kelima, Penutup, yang di mana dari bab-bab sebelumnya ditarik

kesimpulan dari hasil penelitian sebagai jawaban singkat atas permasalahan

yang dikemukakan dalam penelitian ini dan saran.


17
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SYUKUR DALAM AL-QUR’AN

A. Definisi Syukur
Istilah syukur terambil dari kosa kata bahasa Arab, yaitu al-syukur (

‫كور‬RR‫ ) الش‬atau al-syukru (‫كر‬RR‫) الش‬. Kata al-syukur merupakan isim mashdar

(kata benda) yang berasal dari kata ‫ شكر يشكر شكرا و شكورا‬, kata ini terambil

dari madah ( ‫) ش ك ر‬18 artinya berterima kasih atau ucapan/pernyataan

terima kasih.19

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah syukur

diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah

(menyatakan lega, senang dan sebagainya).20 Dalam Kamus Lengkap

Inggeris Indonesia-Indonesia Inggeris karya S. Wojowasito, juga

mengemukakan pengertian yang senada dan seirama dengan definisi di atas,

yaitu terima kasih. Dalam bahasa inggerisnya, kata ini disebut dengan

thank.21 Dalam Mu’jam al-Wasith, kata al-syukru diartikan dengan

mengakui nikmat kemudian memperlihatkannya dengan cara memuji.22

Varian makna syukur juga dimainkan dalam beberapa kamus lainnya

yang pengertiannya relevan dengan makna-makna yang sudah disebutkan.

18
Ahmad bin Faaris, Maqaayis al-Lughah, (Cairo : Daar al-Sya’b, 1969), hal. 208.
19
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,
2010), hal. 201.
20
Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3, (Jakarta: Bali Pustaka,
2002), hal. 1115.
21
S. Wojowasito, dkk, Kamus Lengkap Inggeris Indonesia-Indonesia Inggeris, (Bandung:
HASTA Penerbit), h. 232.
22
Majamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasiith, (Cairo: Maktabah al-
Syuruuq al-Arabiyyah, 2005), hal. 490.

17
18

Mengakui kebaikan atau nikmat dan menyebarkannya. Syukur tidak bisa

diwujudkan kecuali dengan aksi, aksi dapat berupa lisan dengan

menyampaikan pujian, dan dengan perbuatan atau melakukan sesuatu

sebagai ekspresi syukur.

Sedangkan menurut istilah al-Syukur antara lain berarti upaya yang

sungguh-sungguh dari manusia untuk melaksanakan seluruh perintah Allah

dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang, baik tersembunyi

maupun terang-terangan.

Menurut pakar bahasa al-Qur’an seperti al-Kafawi adalah :

‫تصىر النعمة و إظهارها‬


“Gambaran dalam fikiran tentang suatu nikmat, kemudian
memperlihatkan nikmat tersebut ke permukaan”

Sementara dalam kitab al-Mufradaat fi Ghariib al-Qur’an karangan al-

Raghib al-Ishfahani, dijelaskan bahwa menurut sebagian ulama kata syukur

adalah musytaq dari pada kata syakara yang artinya adalah membuka.

Sehingga kata syukur tersebut merupakan antonim dari pada kata kafara

(kufur) yang artinya adalah menutup, yang mana di antara maknanya adalah

melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

B. Himpunan Ayat-ayat Tentang Syukur dalam Al-Qur’an

Kata syukur di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 75 kali tersebar

dalam 35 surat dan terbagi dalam 18 bentuk (derivasi). Term syukur paling

banyak ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah sebanyak 8 kali

kemudian, disusul dengan al-Qur’an surat an-Naml, al-‘Araf dan Luqman


19

sebanyak 5 kali disetiap suratnya, selanjutnya disusul dengan surat An-Nahl

sebanyak 4 kali dalam suratnya, disusul dengan surat Ibrahim, Ali Imran,

Fatir, Saba’ dan al-Insan sebanyak 3 kali disetiap suratnya, disusul dengan

surat an-Nisa, az-Zumar, al-Maidah, Yunus, Yasin, al-An’am, asy-Syura’,

dan al-Isra’ sebanyak 2 kali disetiap suratnya, dan disusul dengan surat al-

Hajj, al-Qamar, al-Ahqaf, al-Anfal, al-Mu’minun, al-Qasas, ar-Rum, as-

Sajdah, al-Jatsiyah, al-Waqiah, al-Mulk, Yusuf, Gafir, al-Ankabut, al-

Furqan, al-Anbiya, dan at-Tagabun sebanyak 1 kali disetiap suratnya.

Karya tulis ini menggunakan kitab Mu’jam Mufahras Li al-fadzi Al-

quran al-Karīm karya dari Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam

menghimpun ayat-ayat yang mengandung kata Syukur dalam al-Qur’an.

Pada sub bab ini penulis akan mencantumkan pengklasifikasian mana surat

yang termasuk katagori makiyyah dan madanniyah. Untuk lebih jelasnya

akan dipaparkan dalam sebuah tabel berikut:

No Kata Surah Kategori


َ َ
1 ‫شك َر‬ An-Naml (27): 40 Makiyyah
َ َ
2 ‫شك َر‬ Al-Qomar (54): 35 Makiyyah
ُ َ َ
3 ‫شك ْرت ْم‬ An-Nisa’ (4): 147 Madanniyah
ُ َ َ
4 ‫شك ْرت ْم‬ Ibrahim (14): 7 Makiyyah
ُ ْ َ
5 ‫اشك َر‬ An-Naml (27): 19 Makiyyah
ُ ْ َ
6 ‫اشك َر‬ An-Naml (27): 40 Makiyyah
ُ ْ َ
7 ‫اشك َر‬ Al- Ahqaf (46): 15 Makiyyah
ُ ْ َ
8 ‫تشك ُر ْوا‬ Az-Zumar (39): 7 Makiyyah
َ ُ ْ َ
9 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Baqarah (2): 52 Madanniyah
َ ُ ْ َ
10 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Baqarah (2):56 Madanniyah
20

َ ُ ْ َ
11 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Baqarah (2):185 Madanniyah
َ ُ ْ َ
12 ‫تشك ُر ْون‬ Ali Imran (3): 123 Madanniyah
َ ُ ْ َ
13 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Maidah(5): 6 Madanniyah
َ ُ ْ َ
14 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Maidah(5): 89 Madanniyah
َ ُ ْ َ
15 ‫تشك ُر ْون‬ Al-A’raf (7): 10 Makiyyah
َ ُ ْ َ
16 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Anfal (8): 26 Madanniyah
َ ُ ْ َ
17 ‫تشك ُر ْون‬ An-Nahl (16): 14 Makiyyah
َ ُ ْ َ
18 ‫تشك ُر ْون‬ An-Nahl (16): 78 Makiyyah
َ ُ ْ َ
19 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Hajj (22): 36 Madanniyah
َ ُ ْ َ
20 ‫تشك ُر ْون‬ Al-mu’minun (23): 78 Makiyyah
َ ُ ْ َ
21 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Qasas (28): 73 Makiyyah
َ ُ ْ َ
22 ‫تشك ُر ْون‬ Ar-Rum (30): 46 Makiyyah
َ ُ ْ َ
23 ‫تشك ُر ْون‬ As-Sajdah (32): 9 Makiyyah
َ ُ ْ َ
24 ‫تشك ُر ْون‬ Fatir (35): 12 Makiyyah
َ ُ ْ َ
25 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Jatsiyah (45): 12 Makiyyah
َ ُ ْ َ
26 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Waqiah (56): 70 Makiyyah
َ ُ ْ َ
27 ‫تشك ُر ْون‬ Al-Mulk (67): 23 Makiyyah
ُ ْ
28 ‫َيشك ُر‬ An-Naml (27): 40 Makiyyah
ُ ْ
29 ‫َيشك ُر‬ Al-Luqman (31): 12 Makiyyah
ُ ْ
30 ‫َيشك ُر‬ Al-Luqman (31): 12 Makiyyah
َ ُ ْ
31 ‫َيشك ُر ْون‬ Al-Baqarah (2): 243 Madanniyah
َ ُ ْ
32 ‫َيشك ُر ْون‬ Al-A’raf (7): 58 Makiyyah
َ ُ ْ
33 ‫َيشك ُر ْون‬ Yunus (10): 60 Makiyyah
َ ُ ْ
34 ‫َيشك ُر ْون‬ Yusuf (12): 38 Makiyyah
َ ُ ْ
35 ‫َيشك ُر ْون‬ Ibrahim (14): 37 Makiyyah
َ ُ ْ
36 ‫َيشك ُر ْون‬ An-Naml (27): 73 Makiyyah
َ ُ ْ
37 ‫َيشك ُر ْون‬ Yasin (36): 35 Makiyyah
َ ُ ْ
38 ‫َيشك ُر ْون‬ Yasin (36): 73 Makiyyah
21

َ ُ ْ
39 ‫َيشك ُر ْون‬ Gafir (40): 61 Makiyyah
ُ ْ
40 ‫اشك ْر‬ Luqman (31): 12 Makiyyah
ُ ْ
41 ‫اشك ْر‬ Luqman (31): 14 Makiyyah
ُ ْ
42 ‫اشك ُر ْوا‬ Al-Baqarah (2): 152 Madanniyah
ُ ْ
43 ‫اشك ُر ْوا‬ Al-Baqarah (2): 172 Madanniyah
ُ ْ
44 ‫اشك ُر ْوا‬ An-Nahl (16): 114 Makiyyah
ُ ْ
45 ‫اشك ُر ْوا‬ Al-‘Ankabut (29): 17 Makiyyah
ُ ْ
46 ‫اشك ُر ْوا‬ Saba’ (34): 15 Makiyyah
ْ ُ
47 ‫شك ًرا‬ Al-Baqarah (2): 13 Madanniyah
ُ ُ
48 ‫شك ْو ًرا‬ Al-Furqan (25): 62 Makiyyah
ُ ُ
49 ‫شك ْو ًرا‬ Al-Insan (76): 9 Madanniyah
َ
50 ‫ش ِاك ٌر‬ Al-Baqarah (2): 158 Madanniyah
َ
51 ‫ش ِاك ًرا‬ An-Nisa (4): 147 Madanniyah
َ
52 ‫ش ِاك ًرا‬ An-Nahl (16): 121 Makiyyah
َ
53 ‫ش ِاك ًرا‬ Al-Insan (76): 3 Madanniyah
َ َ
54 ‫ش ِاك ُر ْون‬ Al-Anbiya’ (21): 80 Makiyyah
ّٰ
55 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Ali Imran (3): 144 Madanniyah
ّٰ
56 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Ali Imran (3): 145 Madanniyah
ّٰ
57 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Al-An’am (6): 53 Makiyyah
ّٰ
58 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Al-An’am (6): 63 Makiyyah
ّٰ
59 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Al-‘Araf (7): 17 Makiyyah
ّٰ
60 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Al-‘Araf (7): 144 Makiyyah
ّٰ
61 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Al-‘Araf (7): 189 Makiyyah
ّٰ
62 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Yunus (10): 22 Makiyyah
ّٰ
63 ‫الش ِك ِر ْي َن‬ Az-Zumar (39): 66 Makiyyah
ُ َ
64 ‫شك ْو ٍر‬ Ibrahim (14): 5 Makiyyah
ُ َ
65 ‫شك ْو ٍر‬ Luqman (31): 31 Makiyyah
ُ َ
66 ‫شك ْو ٍر‬ Saba’ (34): 13 Makiyyah
22

ُ َ
67 ‫شك ْو ٍر‬ Saba’ (34): 19 Makiyyah
ُ َ
68 ‫شك ْو ٍر‬ Fatir (35): 30 Makiyyah
ُ َ
69 ‫شك ْو ٍر‬ Fatir (35): 34 Makiyyah
ُ َ
70 ‫شك ْو ٍر‬ Asy- Syura’ (42): 23 Makiyyah
ُ َ
71 ‫شك ْو ٍر‬ Asy- Syura’ (42): 33 Makiyyah
ُ َ
72 ‫شك ْو ٍر‬ At-Tagaabun (64): 17 Madanniyah
ُ َ
73 ‫شك ْو ًرا‬ Al-Isra’ (17): 3 Makiyyah
ُ ْ
74 ‫َّمشك ْو ًرا‬ Al-Isra’ (17): 19 Makiyyah
ُ ْ
75 ‫َّمشك ْو ًرا‬ Al-Insan (76): 22 Madanniyah

Setelah penulis analisis dapat ditentukan bahwa kata Syukur lebih

banyak terdapat pada golongan surah makiyyah, yang sebagaimana

jumlahnya adalah 54 ayat, sedangkan surah madanniyah hanya 21 ayat.

Ayat-ayat diatas berbicara tentang kata syukur yang mana mimiliki makna

yang berbeda-beda. Jika diteliti lebih mendalam maka akan dijumpai ayat-

ayat di atas menjelaskan beberapa hal baik secara eksplisit maupun implsit,

hal ni menjelaskan di antaranya tentang orang (subjek) yang bersyukur,

objek, cara bersyukur, hal-hal yang patut di syukuri, serta manfaat

bersyukur.23 Namun letak kata syukur sendiri ada yang terletak di bagian

tengah ada juga yang di akhir pada ayat.

23
Desri Ari Enghariano, Syukur Dalam Perspektif Alquran, Jurnal Fakultas Syariah dan
Ilmu Hukum, IAIN Padangsdimpuan, Hal. 273.
23

C. Kaidah syukur

Ibnul Qayyim Rahimahullah Ta’ala berkata, syukur dilandasi oleh

lima kaidah:24

1. Tunduknya orang yang bersyukur kepada yang disyukuri.

2. Mencintainya.

3. Mengakui nikmatnya.

4. Menyanjungnya dengan nikmat itu.

5. Tidak menggunakan kenikmatan itu dalam hal yang tidak disukai

olehnya.

Ibnul Qayyim meneruskan, “Lima kaidah ini adalah pondasi syukur

dan bangunannya. Jika satu kaidah tidak ada maka syukur kehilangan satu

kaidahnya.” Setiap orang yang berbicara mengenai syukur dan

mendefinisikannya, pastilah perkataannya kembali kepada kaidah tersebut

dan seputarnya.

D. Wujud Syukur

Rumusan wujud syukur dalam Al-Qur’an disusun berdasarkan ayat-

ayat yang merupakan ekspresi manusia terhadap nikmat yang diterimanya.

Ekspresi tersebut kemudian diwujudkan dalam ungkapan terima kasih

dalam hati, dalam kata dan dalam perbuatan. Ungkapan syukur

diekspresikan oleh subjek syukur kepada objek syukur yang berbeda antara

bentuk syukur manusia sebagai subjek dan Allah sebagai subjek. Karena itu,
24
Abdullah Bin Shalih Al-Fauzan, Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur, Terj.
Muhammad
Suhadi (Solo: PT Aqwam Media Profetika, 2017). Hal. 15.
24

bagi manusia disiapkan ancaman bagi yang tidak bersyukur dan sebaliknya

disediakan pula ganjaran bagi orang yang bersyukur. Ayat yang melandasi

wujud syukur ini adalah QS. An-Naml [27]: 40.

‫ك فَلَ َّما َر ٰاهُ ُم ْستَقِ ًّرا ِع ْند َٗه قَا َل ٰه َذا ِم ْن‬
َ ۗ ُ‫طرْ ف‬
َ ‫ك‬ َ ‫ب اَن َ۠ا ٰاتِ ْي‬
َ ‫ك بِ ٖه قَ ْب َل اَ ْن يَّرْ تَ َّد اِلَ ْي‬ ِ ‫قَا َل الَّ ِذيْ ِع ْند َٗه ِع ْل ٌم ِّمنَ ْال ِك ٰت‬
٤٠ ‫فَضْ ِل َرب ۗ ِّْي لِيَ ْبلُ َونِ ْٓي َءاَ ْش ُك ُر اَ ْم اَ ْكفُ ۗ ُر َو َم ْن َش َك َر فَاِنَّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ٖ ۚه َو َم ْن َكفَ َر فَا ِ َّن َرب ِّْي َغنِ ٌّي َك ِر ْي ٌم‬
Terjemah kemenag 2019: “Seorang yang mempunyai ilmu dari kitab 25
suci berkata, “Aku akan mendatangimu dengan membawa
(singgasana) itu sebelum matamu berkedip.” Ketika dia (Sulaiman)
melihat (singgasana) itu ada di hadapannya, dia pun berkata, “Ini
termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur
atau berbuat kufur. Siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Siapa yang berbuat kufur,
maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia”.26

Penafsiran tentang kata syukur di sini sebagai ungkapan terima kasih

atas nikmat Allah dengan cara berlaku taat kepadaNya, pemaknaan ini

banyak dilakukan oleh para mufassir dengan berbagai bentuk penjelasan.27

E. Bentuk-Bentuk Syukur dalam al-Qur’an

Nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia sangat

banyak dan bentuknya bermacam-macam. Setiap detik yang dilalui manusia

di dalam hidupnya tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT. Nikmat-Nya

sangat besar dan banyak, sehingga bagaimanapun juga manusia tidak akan

dapat menghitungnya.28 Sejak manusia lahir ke dunia tidak tahu apa-apa,

Yang dimaksud kitab suci pada ayat ini adalah kitab yang diturunkan sebelum Nabi
25

Sulaiman a.s., yaitu Taurat dan Zabur. Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tafsir
Lengkap Kemenag QS. An-Naml/27 : 40, Tahun 2019, Versi 1.0.
26
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
27
Muh. Subair, Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning,
Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2020, hlm. 102
28
Lihat QS. An-Nahl/16 : 18.
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫َواِ ْن تَ ُع ُّدوْ ا ِن ْع َمةَ ِ اَل تُحْ صُوْ هَا ۗاِنَّ َ لَ َغفُوْ ٌر‬
١٨ ‫رَّح ْي ٌم‬
Terjemahnya : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu
menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
25

kemudian diberi Allah SWT. pendengaran, penglihatan dan hati29 sampai

meninggal dunia menghadap Allah SWT di akhirat kelakia tidak akan lepas

dari nikmat Allah SWT.

Secara garis besar nikmat itu dibagi menjadi dua, yaitu nikmat yang

menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi alat untuk mencapai tujuan.

Nikmat dan tujuan utama yang ingin dicapai oleh umat Islam ialah

kebahagiaan di akhirat. Adapun ciri-ciri nikmat ini adalah: 1) kekal, 2)

diliputi oleh kebahagiaan dan kesenangan, 3) sesuatu yang mungkin dapat

dicapai, 4) dapat memenuhi segala kebutuhan manusia. Sementara nikmat

yang kedua meliputi: 1) kebersihan jiwa dalam bentuk iman dan akhlak

yang mulia, 2) “kelebihan tubuh” seperti kesehatan dan kekuatan, 3) hal-hal

yang membawa kesenangan jasmani, seperti harta, kekuasaan, dan keluarga,

4) hal-hal yang membawa sifat-sifat keutamaan, seperti hidayah, petunjuk

pertolongan dan lindungan Allah SWT.30 Secara operasional bentuk syukur

ada tiga yaitu:

1. Syukur dengan hati

Syukur adalah mengantar orang selalu tulus dan menyadari

betapa besar kemurahan dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya,

sehingga selalu muncul dihatinya untuk mengingat Allah dan

Lihat Q.S. an-Nahl/16 : 78.


29

٧٨ َ‫ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬Rِِٕ‫ار َوااْل َ ْفٕـ‬ َ ‫ ۙا و‬Rًًٔ‫م اَل تَ ْعلَ ُموْ نَ َش ْئـ‬Rْ ‫َوهّٰللا ُ اَ ْخ َر َج ُك ْم ِّم ۢ ْن بُطُوْ ِن اُ َّم ٰهتِ ُك‬
َ ‫َّج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َوااْل َب‬
َ ‫ْص‬
Terjemahnya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar
kamu bersyukur”.
30
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), hal. 17.
26

merasakan kedekatan dengan-Nya. Demikian dalam Q.S Al Baqarah

[2]: 152

ࣖ ‫ْي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬Rٓ ِ‫فَ ْاذ ُكرُوْ ن‬
Terjemah kemenag 2019: “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan
ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu
ingkar kepada-Ku.31

Ayat tersebut diawali dengan perintah Allah untuk berzikir

(ingat kepada Allah) artinya keihlasan jiwa dan ketundukan kepada-

Nya bahwa Dialah yang maha segalanya. Kemudian Allah

memerintahkan lagi untuk bersyukur, hal ini menunjukkan bahwa

antara dzikir dan Syukur keduanya sangat relevan, karena keduanya

mengandung makna pengakuan dan penerimaan sepenuh hati atas

segala nikmat dan karunia-Nya. Dapat juga dikatakan bahwa salah satu

bentuk syukur adalah dengan berzikir kepada-Nya. Adapaun makna

kufur dalam ayat ini adalah meliputi empat hal: 1) tidak mengakui dan

tidak mengenal Allah, 2) Kufur dalam arti tidak berterima kasih atau

tidak syukur, 3) Beriman kepada Allah dalam hati tetapi tidak

mengakuinya dengan lisan sebagaiamana yang dilakukan oleh Iblis, 4)

Kufur nifak, yaitu mengakui dengan lidah tetapi tidak dengan hati.32

2. Syukur dengan lidah

Syukur denngan lisan adalah mengakui dengan ucapan bahwa

sumber nikmat adalah Allah seraya memuji-Nya denngan ucapan di

31
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
32
Muh. Subair, “Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab
Kuning”, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2020, hal. 103.
27

antaranya Tahmid dan Tasbih. Bersyukur dengan lidah diajarkan oleh

Allah Swt, seperti terdapat dalam QS. Fathir/35: 34.

‫َب َعنَّا ْال َح َز ۗنَ اِ َّن َربَّنَا لَ َغفُوْ ٌر َش ُكوْ ۙ ٌر‬ ْٓ ‫ ْال َح ْم ُد هّٰلِل ِ الَّ ِذ‬R‫َوقَالُوا‬
َ ‫ي اَ ْذه‬
Terjemah kemenag 2019: “Mereka berkata, “Segala puji bagi
Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami.
Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Mensyukuri.”33 (QS. Fathir/35: 34).

Ayat di atas memberikan pelajaran kepada manusia bahwa

ucapan Alhamdulillah merupakan salah satu bentuk bersyukur dengan

lisan. Dan yang dimaksud al Hamdu (pujian) adalah memuji Allah,

oleh karena sifat-sifat yang terdapat pada Allah dan kebaikan-

kebaikan-Nya bukanlah kebaikan Ghair Ikhtiyari. Kita memuji Allah

karena Allah berbuat baik kepada kita, karena sesuatu yang ikhtiyari.

Allah sudah memilih untuk berbuat baik kepada kita, dengan

demikian kita mengucapkan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.34

Karena itu, syukur juga menjadi salah satu sifat Allah dengan

bentuk yang diteladani manusia dengan kalimat hamdalah.

Sebagaimana disebutkan Ibn Mandzur, adanya syakur sebagai sifat

Allah dan bentuk syukurnya diterjemahkan dengan cara memberi

ampunan kepada hambanya.35

Dalam hal ini, sejalan pula QS. Al Duha/93 : 11.

ْ ‫َواَ َّما بِنِ ْع َم ِة َربِّكَ فَ َحد‬


‫ِّث‬

33
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
34
Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hal. 381
35
Ibn Mandzur al-Afriqy al-Misr, Lisanul Arab-Ibnu Mandzur, (Beirut: Dar Shadir, 1996),
hal. 424.
28

Terjemah kemenag 2019: Terhadap nikmat Tuhanmu,


nyatakanlah (dengan bersyukur)”.36

3. Syukur dengan perbuatan

Bersyukur dengan perbuatan maksudnya adalah membalas

kenikmatan sesuai dengan haknya. Hal ini dapat dilakukan dengan

melalui perbuatan ketaatan dan menggunakan kenikmatan tersebut

untuk taat kepada Allah dan tidak memaksiati Allah. Di antara

bentuknya adalah memberikan banyak kebaikan kepada orang lain.

Bersyukur sangat dituntut dilakukan dalam keseharian. Perilaku yang

baik, santun, jujur, ramah tamah dalam bagian bagian dari rasa syukur

itu sendiri. Hal ke tiga inilah yang paling penting dalam kehidupan

kita sekarang ini. Sehingga Allah memerintahkan keluarga Dāwūd

untuk beramal sebagai wujud syukurnya. Bersyukur dengan perbuatan

dijelaskan oleh Allah berfirman dalam QS. Saba [34] : 13

ٍ ۗ ‫ ٰي‬R ‫ب َوقُ ُدوْ ٍر ٰ ّر ِس‬


‫وا‬Rْٓ Rُ‫ت اِ ْع َمل‬ ِ ‫ان َك ْال َج َوا‬ ۤ
ٍ َ‫ْب َوتَ َماثِ ْي َل َو ِجف‬
َ ‫اري‬ ِ ‫يَ ْع َملُوْ نَ لَهٗ َما يَ َشا ُء ِم ْن َّم َح‬
١٣ ‫ر‬Rُ ْ‫ي ال َّش ُكو‬ َ ‫ٰا َل د َٗاو َد ُش ْكرًا َۗوقَلِ ْي ٌل ِّم ْن ِعبَا ِد‬
Terjemah kemenag 2019: “Mereka (para jin) selalu bekerja
untuk Sulaiman sesuai dengan kehendaknya. Di antaranya
(membuat) gedung-gedung tinggi, patung-patung, piring-piring
(besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (di atas
tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur.
Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur”.37

Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat

yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau

penganugerahannya. Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh

menuntut penerimanya agar mempelajari tujuan diciptakannya segala


36
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
37
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
29

sesuatu oleh Allah, karena segala yang ada di dunia tidak ada yang

sia-sia. Oleh karenanya, pelajarilah mengapa lautan, angin, bumi dan

ciptaan-ciptaan lainnya diadakan di muka bumi ini, tidak lain hanya

untuk manusia itu sendiri.

Meski demikian, kita harus berusaha menyempurnakan rasa

sukur kita kepada Allah swt. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

menyebutkan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah

karena Dialah pemilik karunia dan pemberi sehingga hati mengakui

bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT. Kemudian

direalisasikan dengan anggota badan dengan merasa tunduk kepada

pemberi nikmat itu. Yang disebut tunduk adalah tunduk dan patuh

karena seseorang tidak disebut tunduk, kecuali jika dia mentaati

perintah Allah dan patuh kepada syari’at-Nya. Dengan demikian

syukur merupakan pekerjaan hati dan anggota badan.

F. Manfaat Bersyukur.

Dalam al-Qur’an secara eksplisit dinyatakan bahwa manfaat dari

bersyukur itu kembali kepada pelakunya, sementara Allah tidak

memperoleh sama sekali bahkan Dia tidak butuh sedikit pun syukurnya

makhluk. Mengenai manfaat bersyukur, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah

(2): 152, Al-Sya’rawi menyatakan bahwa dengan mengingat Allah, yakni

mengingat nikmat-Nya, pemberian-Nya, ampunan-Nya, rahmat-Nya dan

taubah-Nya serta bersyukur kepada Allah akan menjadikan Allah


30

menambahi nikmatnya kepada manusia. Secara terperinci, ada banyak

manfaat dan faidah dari bersyukur, di antaranya :

1. Salah satu sebab untuk menjaga nikmat bahkan bisa bertambah

sebagaimana dinyatakan dalam surat Ibrahim ayat 7;

2. Memperoleh ridha dan kasih sayang Allah SWT;

3. Sebagai salah satu tanda kemuliaan seorang hamba.38

Dalam sebuah hadis Qudsi juga disebutkan maanfaat syukur. Hadis

tersebut adalah:39

َ‫ح ع َْن أَبِي هُ َري َْرة‬ ٍ ِ‫صال‬َ ‫ْت أَبَا‬ ُ ‫ص َح َّدثَنَا أَبِي َح َّدثَنَا اأْل َ ْع َمشُ َس ِمع‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا ُع َم ُر بْنُ َح ْف‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل هَّللا ُ تَ َعالَى أَنَا ِع ْن َد‬ َ ‫ال النَّبِ ُّي‬
َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬
Rَ ‫ض‬
ِ ‫َر‬
‫ظَنِّ َع ْب ِدي بِي َوأَنَا َم َعهُ إِ َذا َذ َك َرنِي فَإِ ْن َذ َك َرنِي فِي نَ ْف ِس ِه َذكَرْ تُهُ فِي نَ ْف ِسي َوإِ ْن‬
‫ْت إِلَ ْي ِه‬
ُ ‫ْر تَقَ َّرب‬Rٍ ‫ي بِ ِشب‬ َ ‫ فِي َمإَل ٍ َذكَرْ تُهُ فِي َمإَل ٍ َخي ٍْر ِم ْنهُ ْم َوإِ ْن تَقَر‬R‫َذ َك َرنِي‬
َّ َ‫َّب إِل‬
ً‫ْت إِلَ ْي ِه بَاعًا َوإِ ْن أَتَانِي يَ ْم ِشي أَتَ ْيتُهُ هَرْ َولَة‬ ُ ‫ي ِذ َراعًا تَقَ َّرب‬ َّ َ‫َّب إِل‬
َ ‫ِذ َراعًا َوإِ ْن تَقَر‬

Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Hafs telah menceritakan


kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A'masy aku
mendengar Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu'anhu berkata,
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku berada dalam
prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-
Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya
dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka
Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada
mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku
mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri
kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia
mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya
dalam keadaan berlari."

38
Hendra Gunawan, “Karakteristik Hukum Islam” pada Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu
Kesyariahan dan Keperdataan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, Volume
4 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2018, h. 105.
39
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Shohih Bukhari, Kitab al-Tauhid, Bab
Qaulullah Ta’ala wa yahzarukumulallah nafsahu, No. Hadist : 6856
31

Dengan hadis tersebut, al-Sya’rawi tampaknya ingin menyatakan

bahwa Allah akan selalu membalas secara lebih kepada hambanya yang

mengingat dan bersyukur kepada-Nya. Pernyataan yang seperti ini sering

muncul dari penafsiran al-Sya’rawi ketika menafsirkan kata syukur,

terutama pada Q.S. Ibrahim (14):7. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Sya’rawi

bertolak pada kata taazzana. Setiap kata yang terdiri dari huruf alif, zal dan

nun terambil dari kata al-uzunu. Al-uzunu adalah alat pendengaran.

Sedangkan al-azan itu berarti i’lam (pemberitahuan). Sedangkan kata

ta’azzana berarti ‘ketahuilah’ (i’lam) dengan penekanan (taukid). Sehingga

ayat tersebut, menurut al-Sya’rawi, kira-kira maknanya (taqdiruhu) seperti:

Aku memberitahu kalian dengan tegas dari Tuhanmu bahwa sesungguhnya

jika kalian bersyukur maka Tuhanmu niscaya akan menambahkan nikmat

dan pemberiannya. Sesungguhnya syukur merupakan bukti hubungan

dengan sang pemberi. Sesungguhnya kalian itu telah mempersenjatai diri

kalian berupa ketahanan dengan apa yang telah diberikan kepada kalian dan

ketahuilah bahwa Dia adalah satu-satunya Sang Maha Pemberi. Sehingga

jikalau manusia itu berhubungan dengan Allah maka ketika Allah

memberikan nikmatnya, maka manusia selalu terus menerus menyebut atau

ingat kepada-Nya yang telah memberinya beberapa nikmat. Oleh karena itu

al-Sya’rawi mengatakan: Takutlah kalian untuk melalaikan nikmat dari sang

pemberi nikmat, karena nikmat adalah pemberian untuk kalian sedangkan

dzat itu bukan milikmu.40


40
Hamam Faizin, KONSEP SYUKUR MENURUT AS-SYA’RAWI, dalam tulisannya
pada
https://www.academia.edu/30157347/Konsep_Syukur_Menurut_As_Syarawi_The_Concept_of_S
32

yukur_according_to_As_Syarawi_. [accessed 05 October 2021]. Hal. 7.


BAB III

TINJAUAN UMUM PENDEKATAN MA’NĀ CUM MAGHZĀ

SHAHIRON SYAMSUDDIN

A. Biografi Shahiron Syamsuddin

Sahiron Syamsuddin dilahirkan di kota Cirebon pada 11 Agustus

1968, saat ini beliau berstatus sebagai dosen Ushuluddin di Pascasarjana

UIN Sunan Kalijaga. Selain menjadi pengajar di UIN Sunan Kalijaga beliau

juga menjalankan aktivitas mengajar di beberapa tempat diantaranya pondok

pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta. Latar belakang keagamaan

keluarga Sahiron adalah penganut aliran sunni tradisional yang memang

menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk Indonesia.

Sebelum melanjutkan studinya ke Kanada dan Jerman untuk belajar studi

Islam dan hermeneutika, Sahiron memperoleh pendidikan tradisional dan

modern secara formal dan informal dari bangku SD hingga SMA.41

Saat beliau menginjak masa perkuliahan, pertama kali yang harus

dilakukannya ialah mengembangkan intelektualnya, sehingga ia ingin

mengkombinasikan ilmu tradisional yang ia peroleh dengan ilmu modern.

Sehingga menjadi keinginannya untuk mempelajari keilmuan Islam dan

keilmuan Barat yang lebih mendalam dengan meneruskan studinya ke

Negara Kanada dan Jerman pada Universitas McGill Kanada dan

Universitas Bamberg Jerman. Di universitas pertama, ia memperoleh

41
Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin
Tahun 1990-2013), (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN SUKA, 2013), hal. 12.

33
34

pendidikan tentang kajian Islam dan berhasi meriah gelar Master dalam

bidang interpretasi sedangkan untuk universitas kedua ia memperoleh

pendidikan tentang kajian Islam, Orientalisme, Filsafat Barat, dan Sastra

Arab. 42

Semasa belajar di Barat, Sahiron banyak bertemu dengan pemikir

Barat yang mengkaji Islam dari berbagai perpektif. Selain belajar studi ke-

Islaman di Barat, ia juga tertarik untuk mempelajari hermeneutika.

Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar

belakang kehidupannya sebagai seorang penafsir yang kental dengan

metodologi penafsiran teks. Dari sikap komitmen dan konsistennya tersebut,

Sahiron Syamsuddin mencoba mengangkat topik besar yang menjadi

obsesinya yaitu Islam dengan visi al-Quran; suatu gagasan untuk

mewujudkan cita-cita Alquran yang senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan

ulang oleh setiap generasi guna menemukan makna ideal dalam setiap teks

al-Qur’an, karena kemahiran dan sepak terjang dan keseriusannya di dunia

keilmuan sehingga namnya menjadi mashur dan diperhitungkan di dunia

internasional.43

B. Pendekatan Ma’nā Cum Maghzā

Sahiron Syamsudin membagi aliran hermenetika dari segi pemaknaan

terhadap obyek penafsiran menjadi tiga aliran, yaitu aliran obyektivis,44


42
Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer, ...... hal. 14.
43
Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer, ...... hal. 17.
44
Aliran Obyektivis, yaitu aliran hermeneutika yang lebih menekankan pada pencarian
makna asal dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan
dll). Jadi, penafsiran disini adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Di
antara yang bisa digolongkan dalam aliran ini adalah Friedrich D. E. Schleirmacher dan Wiliam
35

aliran obyektivis45 cum subyektivis.46 Menurutnya dengan melihat

kecenderungan dari aliran-aliran umum tersebut, bahwa di sana terdapat

kemiripan dengan aliran dalam penafsiran al-Quran saat ini. Sehingga ia pun

membagi tipologi penafsiran konteporer menjadi tiga yaitu quasi obyektivis

tradisionalis,47 pandangan quasi obyektivis modernis48 dan pandangan

subyetivis. 49 Dari ketiga pandangan di atas, menurut Sahiron yang paling

dapat diterima adalah pandangan quasi obyektivis modernis, sebab di sana

terdapat keseimbangan hermenutika, dalam artian memberi perhatian yang

Dilthey. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2,
(Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 26.
45
Aliran Subyektivis, yakni aliran yang lebih menekankan pada peran para pembaca/
penafsir dalam pemaknaan terhadap teks. Menurutnya, pemikiran-pemikiran dalam aliran ini
terbagi menjadi tiga. Ada yang sangat subjektivis, yaitu ‘dekonstruksi’ dan readerresponse
critism. Ada yang agak subjektivis seperti post-strukturalisme dan ada yang kurang subjektivis,
yakni strukturalisme. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 26.
46
Aliran objektivis-cum-subjektivis, yakni aliran yang memberikan keseimbangan antara
pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran. Yang termasuk dalam aliran ini
adalah Hans Georg Gadamer dan Jorge J.E. Gracia. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal.
27.
47
Pandangan quasi objektivis tradisionalis, yaitu suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran al-
Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa sekarang, sebagaimana ia
dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Al Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Menurut Sahiron, bagi
kelompok ini, esensi pesan Tuhan adalah yang tertera secara tersurat dan pesan itulah yang harus
diaplikasikan di manapun dan kapanpun. Di antara yang tergolong kelompok ini, menurutnya,
seperti Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi. Lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 73.
48
Pandangan quasi-objektivis modernis, yang memandang makna asal literal sebagai
pijakan awal untuk memahami makna dibalik pesan literal yang merupakan pesan utama Al-
Qur’an. Makna di balik pesan literal inilah yang menurut mereka harus diimplementasikan pada
masa kini dan akan datang. Menurut Sahiron, contoh dari kelompok ini antara lain; Fazlur
Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad al-Thalibi. Lihat Sahiron Syamsuddin,
Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press,
2017), hal. 73.
49
Pandangan subjektivis adalah pandangan yang menegaskan bahwa setiap penafsiran
sepenuhnya merupakan subjektivitas penafsir, sehingga kebenaran interpretatif itu bersifat relatif.
Atas dasar ini, maka menurut kelompok ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan
Al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat Al-Qur’an ditafsirkan.
Yang termasuk kelompok ini menurut Sahiron adalah Muhammad Syahrur. Lihat Sahiron
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren
Nawasea Press, 2017), hal. 73.
36

sama terhadap makna asal literal dan pesan utama di balik makna literal.

Dengan memberikan penjelasan tambahan tentang signifikansi, kemudian ia

mengistilahkan teori pembacaannya tersebut dengan pembacaan Ma’na

Cum Maghza. Jadi teori penafsiran hermeneutika yang paling sesuai adalah

pembacaan Ma’na Cum Maghza yaitu, penafsiran yang menjadikan makna

asal literal (makna historis, tersurat) sebagai pijakan awal untuk memahami

pesan utama teks (signifikansi, makna terdalam, tersirat). Menurutnya

sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan makna literal teks, karena ia

monositik, objektiv, dan historis-statis. Sementara pemaknaan terhadap

signifikansi teks bersifat pluralis, subjektiv (juga intersubjektiv) dan

historis-dinamis sepanjang peradaban manusia. Pendekatan seperti ini,

menurut mereka merupakan gabungan antara wawasan teks dan wawasan

penafsir antar masa lalu dengan masa kini, antara aspek ilahi dengan aspek

manusiawi. Maka, menurut mereka teori penafsiran yang didasarkan pada

perhatian yang sama terhadap makna dan signifikansi terdapat balanced

hermeneutics.50

Sahiron menegaskan bahwa teori penafsiran Ma’nā Cum Maghzā ini

sejatinya merupakan elaborasi teori aplikasi Gadamer.51 Menurutnya teori

ini persis sebagaimana konsep al-Ghazali yang membedakan antara al-

50
Asep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya”; Telaah atas Teori Ma’na
Cum Maghza dalam Penafsiran al-Quran”, Jurnal Studi Ilmu al-Quran dan Hadis, Vol. XVII, No.
1, Januari 2016, hal. 84.
51
Teori aplikasi (Anwendung) yang digagas oleh Gadamer adalah teori yang menegaskan
bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks
itu muncul, dia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/ reinterpretasi dengan
tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Lihat, Sahiron
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren
Nawasea Press, 2017), hal. 85.
37

ma’na al-zahir dan al-ma’na al-batin. Nasr Hamid Abu Zayd

menamakannya dengan ma’na dan maghza,52 Hirch menyebutnya meaning

dan significance, dan Gadamer53 yang mengistilahkannya dengan sinn dan

sinnesgenaph. Gadamer menyatakan bahwa sejarahlah yang membentuk

kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Ia mengistilahkan

teorinya tersebut dengan teori kesadaran sejarah (effective-historical

conciousness). Secara umum dapat dijelaskan bahwa inti dari teori

kesadaran sejarah tersebut dan teori pra pemahaman adalah bahwa seorang

penafsir harus hati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menfasirkannya

sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari pra pemahaman

yang telah terpengaruh oleh sejarah (pengetahuan awal, pengalaman dll.)

Adapun dengan teori the fusion of horizons, ia menyatakan bahwa dalam

proses penafsiran, terdapat dua horison utama yang harus diperhatikan dan

diasimilisasi, yaitu horison teks dan horison penafsir. Sedangkan teori

aplikasi (Anwendung) adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang

penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks

itu muncul, ia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi /

reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’

dengan makna asal sebuah teks. Penafsiran ini menurut mereka dilakukan

dengan memperhatikan konteks tekstual dengan analisis bahasa sebagai

52
Ahmad Rasyuni, Nazariyah al-Maqasid ‘ind al-Imam al-Syatibi, (Virginia: The
Internasional of Islamic Thought and Civilization, 1997), hal. 57.
53
E. Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Nortwestern University Press, 1967), hal. 12.
38

basis dan konteks sejarah di mana teks itu muncul dengan analisis historis

sebagai instrumentnya.

Sahiron Samsuddin menyatakan bahwa teori Ma’nā Cum Maghzā

sejalan dengan dengan teori takwil Nasr Hamid Abu Zayd yang

membedakan antara keterkaitan makna asli (ma’na) dan makna baru

(maghza).54 Nasr Hamid sendiri, mengikuti gagasan hermeneutika E. D.

Hirsch.55 Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang

berubah adalah signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan

oleh teks dan tanda-tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa yang menamai

sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau

sesuatu yang bisa dibayangkan.

Jika diperhatikan, teori penafsiran Ma’nā Cum Maghzā tersebut juga,

terpengaruh oleh teori double movement dan konsep ideal morallegal

formal Fazlur Rahman. Dalam teori gerak gandanya, Rahman menerangkan

bahwa, gerakan pertama diawali dari pemahaman situasi sekarang menuju

ke masa turunnya al-Qur’an, yakni memahami konteks mikro dan makro

pada saat itu. Pemahaman tersebut akan dapat melahirkan makna original

yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era

kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih

luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan menghasilkan rumusan narasi

54
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2,
(Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 86.
55
Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an” dalam
Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yoyakarta: Islamika,
2003), hal. 105. Lihat juga Lailatu Rohmah, “Hermeneutika al-Qur’an: Studi atas Metode
Penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid”, Hikmah: Jurnal Hermeneutika al-Qur’an, Vol. XII, No. 2,
2016, hal. 229.
39

atau ajaran Alquranyang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan

sistematik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang

bersifat normatif.

Berkaitan dengan teori Ma’nā Cum Maghzā seperti yang telah

disebutkan di atas, dimana merupakan elaborasi dari berbagai konsep fan

teori hermenutika Gadamer, Nasr Hamid Abu Zayd, Hirch termasuk juga

Fazlur Rahman yang kesemuanya berpedoman bahwa makna literal

merupakan pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi).

Oleh karena itu, di sini akan diketengahkan kritik atas teori hermenutika

para tokoh yang dijadikan sebagai sumber teori Ma’nā Cum Maghzā

tersebut.

Menurut Sahiron, signifikansi terbagi menjadi dua yaitu; signifikansi

fenomenal dan signifikansi ideal. Pertama, yang dimaksud dengan

signifikansi fenomenal adalah pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan

secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa Nabi hingga saat ia

ditafsirkan pada periode tertentu. Ia terbagi menjadi dua yaitu signifikansi

fenomenal historis dan signifikansi fenomenal dinamis, dimana signifikansi

fenomenal historis adalah pesan utama sebuah ayat yang dipahami dan

didefinisikan pada masa pewahyuan. Sementara signifikansi fenomenal

dinamis adalah pesan al-Qur’an yang dipahami dan didefinisikan pada saat

ayat tersebut ditafsirkan dan setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan.

Untuk memahami signifikansi fenomenal histori maka yang diperlukan


40

pemahaman terhadap konteks makro dan mikro56 sosial keagaman

masyarakat yang hidup pada masa pewahyuan. Informasi-informasi historis

terkandung dalam asbab al-nuzul menjadi sangat penting. Sementara itu,

untuk memahami signifikansi fenomenal dinamis diperlukan pemahaman

terhadap perkembangan pemikiran dan logika zaman pada saat penafsiran

teks.

Kedua, adapun yang dimaksud dengan signifikansi ideal adalah

akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman signifikansi ayat. Akumulasi

ini akan diketahui pada akhir tujuan atau setelah diketahui maksud dari

kehendak Allah yang tertuang pada sebuah makna teks. Sehingga dari hal

ini dapat diketahui bahwa sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan

terletak pada pemaknaan teks meliankan pada pemaknaan terhadap

signifikan (pesan utama) teks.57

C. Langkah-langkah Metodis Penafsiran Berbasis Ma‘nā cum Maghzā

Sebelum langkah-langkah metodis diuraikan, penulis terlebih dahulu

menegaskan kembali bahwa pendekatan ma‘nā cum maghzā adalah

pendekatan di mana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan

pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan pesan utama/signifikansi

(maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh

audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut

56
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2,
(Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 87.
57
Asep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya” (Telaah atas Teori Ma’na
Cum Maghza dalam Penafsiran al-Quran)”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 17.
No. 1, Januari 2016, hal. 85.
41

untuk konteks kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, ada tiga hal

penting yang seyogyanya dicari oleh seorang penafsir, yakni (1) makna

historis (al-ma‘nā al-tārīkhī), (2) signifikansi fenomenal historis (al-maghzā

al-tārikhī), dan (3) signifikansi fenomenal dinamis (al-maghzā al-

mutaḥarrik) untuk konteks ketika teks Al-Qur’an ditafsirkan.58 Adapun

langkah metodis dalam penafsiran berbasis Ma’na Cum Magha terbagi

menjadi dua, yaitu:

1. Untuk mendapatkan makna dan signifikansi historis seserang harus

melakukan analisis bahasa teks, intratektual analisa konteks historis

turunnya ayat, dan tekonstruksi siginifikansi/pesan utama historis

ayat.

2. Untuk membentuk siginifikansi dinamis dari ayat, seseorang harus

menempuh langkah menentukan kategori ayat, reaktualisasi dan

kontekstualisasi, menangkap makna hisitoris ayat dan memperkuat

konstruksi signifikansi dinamis ayat.59

Lebih jelasnya, untuk menggali makna historis (al-ma‘nā al-tārikhī)

dan signifikansi fenomenal historis (al-maghzā al-tārikhī), seorang penafsir

melakukan langkah-langkah berikut ini :

1. Penafsir menganalisa bahasa teks al-Qur’an, baik kosakata maupun

strukturnya. Dalam hal ini, dia harus memperhatikan bahwa bahasa

58
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 9
59
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 17.
42

yang digunakan dalam teks al-Qur’an adalah bahasa Arab abad ke-7

M. yang mempunyai karakteristiknya sendiri, baik dari segi kosa kata

maupun struktur tata bahasanya. Al-Syāṭibī, misalnya, menegaskan

bahwa untuk memahami Al-Qur’an seseorang harus mencermati

bagaimana bahasa Arab saat itu digunakan oleh bangsa Arab.60

Pernyataan senada dikemukakan juga oleh Friedrich Schleiermacher,

salah seorang ahli hermeneutika umum: “Everything in a given

utterance which requires a more precise determination may only be

determined from the language area which is common to the author

and his original audiences”61 (Segala hal yang ada dalam ungkapan

tertentu yang menuntut penentuan (makna) yang lebih tepat hanya

dapat ditetapkan melalui bidang bahasa yang telah diketahui oleh

pengarang dan audiens orisinal/aslinya). Hal ini sangat ditekankan

karena, menurut para ahli bahasa, bahasa apapun, termasuk Bahasa

Arab itu mengalami diakroni (perkembangan dari masa ke masa), baik

dalam hal struktur maupun makna lafal. Karena itu, ketika

menerjemahkan atau menafsirkan kosakata dari al-Qur’an, seseorang

harus memperhatikan penggunaan dan makna kosakata tersebut saat

diturunkannya.

60
Abu Ishaq Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah),
hal. 255.
61
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, and Other Writings, terj. Andrew
Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hal. 30. Lihat juga Sahiron Syamsuddin,
Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press,
2017), hal. 66.
43

2. Untuk mempertajam analisa ini penafsir melalukan intratektualitas,

dalam arti membandingkan dan menganalisa penggunaan kata yang

sedang ditafsirkan itu dengan penggunaannya di ayat-ayat lain.

3. Apabila dibutuhkan dan memungkinkan, penafsir juga melakukan

analisa intertekstualitas, yakni analisa dengan cara menghubungkan

dan membandingkan antara ayat al-Qur’an dengan teks-teks lain yang

ada di sekitar al-Qur’an. Analisa intertekstualitas ini biasa dilakukan

dengan cara membandingkannya dengan hadis Nabi, puisi Arab, dan

teks-teks dari Yahudi dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup

pada masa pewahyuan al-Qur’an. Dalam hal ini, dia menganalisa

sejauh mana makna sebuah kosa kata dalam al-Qur’an bisa diperkuat

oleh teks di luar Al-Qur’an. Selain itu, penafsir seyogyanya

menganalisa apakah ada perbedaan arti dan konsep kata/istilah yang

ada dalam al-Qur’an dengan arti dan konsep kata/istilah yang

digunakan di sumber-sumber lain. Hal yang penting juga, meskipun

tidak harus, adalah bahwa penafsir juga memberikan keterangan

apakah konsep Qur’ani itu mengalami dinamisasi atau tidak di masa-

masa setelah diturunkannya Al-Qur’an (pasca-Qur’ani/post-

Qur’anic).

4. Penafsir memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat-ayat Al-

Qur’an, baik itu yang bersifat mikro ataupun bersifat makro. Konteks

historis makro adalah konteks yang mencakup situasi dan kondisi di

Arab pada masa pewahyuan Al-Qur’an, sedang konteks historis mikro


44

adalah kejadian-kejadian kecil yang melatarbelakangi turunnya suatu

ayat, yang biasa disebut dengan sabab al-nuzūl.62 Tujuan utama

memperhatikan konteks historis penurunan ayat tertentu adalah, selain

memahami makna historis dari kosa kata dalam ayat tertentu, juga

menangkap apa yang disebut dengan “signifikansi fenomena historis”,

atau maksud utama ayat (maqṣad al-āyah) itu ketika diturunkan

kepada Nabi Muhammad Saw.

5. Penafsir mencoba menggali maqṣad atau maghzā al-āyah

(tujuan/pesan utama ayat yang sedang ditafsirkan) setelah

memperhatikan secara cermat ekspresi kebahasaan dan atau konteks

historis ayat al-Qur’an. Maqṣad atau maghzā al-āyah ini terkadang

disebutkan secara eksplisit di dalam ayat dan sering sekali tidak

disebutkan. Apabila ia disebutkan secara eksplisit, maka penafsir

melakukan analisa terhadapnya. Adapun apabila ia tidak disebutkan

dalam ayat, maka konteks historis, baik mikro maupun makro, kiranya

dapat membantu penafsir untuk menemukan maqṣad atau maghzā al-

āyah. Sekali lagi, pada tahapan metodis ini, yang dicari adalah

maqṣad atau maghzā al-āyah yang ada pada masa Nabi Saw. Terkait

dengan ayat hukum, maksud utama ayat disebut oleh al-Syāṭibī

dengan maqāṣid al-syarī‘ah dan oleh Fazlur Rahman dengan ratio

62
Waliallah al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabīr fi Uṣūl al-Tafsīr, (Daru al-Shohwah, 1984), hal.
31.
45

legis (alasan penetapan hukum). Adapun selain ayat hukum, kita

bisanya menyebutnya dengan al-maghzā.63

Selanjutnya, untuk Kontruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis

penafsir mencoba mengkontekstualisasikan maqṣad atau maghzā al-āyah

untuk konteks kekinian, dengan kata lain seorang penafsir berusaha

mengembangkan definisi dan kemudian mengimplementasi signikansi ayat

untuk konteks ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Adapun langkah-

langkah metodisnya adalah sebagai berikut:

1. Penafsir menentukan kategori ayat. Sebagian ulama membagi kategori

ayat menjadi tiga bagian besar, yakni: (1) ayat-ayat tentang

ketauhidan, (2) ayat-ayat hukum, dan (3) ayat-ayat tentang kisah-kisah

nabi dan umat terdahulu.64 Terkait dengan ayat-ayat hukum, Abdullah

Saeed membaginya ke dalam lima hirarki nilai: (1) obligatory values

(nilai-nilai kewajiban), seperti ayat-ayat tentang shalat, puasa, zakat

dan haji, (2) fundamental vealues (nilai-nilai dasar kemanusiaan),

seperti ayat-ayat tentang perintah menjaga kehormatan manusia,

menjaga jiwa dan harta, menunaikan keadilan dan berbuat baik kepada

sesama, (3) protectional values (nilai-nilai proteksi), yakni ayat-ayat

yang berisi proteksi atas nilai-nilai fundamental, seperti ayat-ayat

tentang larangan membunuh orang, larangan mengurangi timbangan

ketika berjualan, larangan mengkonsumsi makanan dan minuman

63
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 12.
64
Badr al-Dīn Muḥammd ibn ‘Abd Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān,
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972), hal. 18.
46

yang merusak akal pikiran dan lain-lain, (4) implementational values

(nilai-nilai yang implementasikan), yakni ayat-ayat yang berisi tentang

pelaksanaan hukuman tertentu ketika seseorang itu merusak atau

melanggar nilai-nilai dasar kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang

hukuman qisas bagi pembunuh, hukuman potong tangan bagi pencuri,

hukuman rajam bagi orang yang melakukan perzinaan, dan (5)

instructional values (nilai-nilai instruksi), yakni ayat-ayat yang berisi

instruksi Allah kepada Nabi Muhammad Saw dan Sahabatnya dalam

rangka menyelesaikan problem tertentu, seperti ayat poligami

diturunkan untuk mengatasi problem anak yatim dan problem

ketidakadilan dalam keluarga.65 Tiga hirarki yang pertama (yakni

obligatory values, fundamental values dan protectional values)

bersifat universal dan tidak memerlukan kontekstualisasi, sedangkan

dua nilai terkahir (yakni implementational values dan instructional

values) membutuhkan reaktualisasi dan kontekstualisasi dalam

menafsirkan ayat-ayat tersebut, karena kedua macam nilai ini terkait

erat dengan aspek budaya Arab dan situsi serta kondisi yang ada saat

itu. Kategorisasi ini sangat penting dalam rangka menentukan sejauh

mana seseorang bisa melakukan kontekstualisasi dan merekonstruksi

‘signifikansi fenomenal dinamis’.

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London


65

and New York: Routledge, 2006), hal. 126. Lihat juga Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na
Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era
Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 14.
47

2. Penafsir mengembangkan hakekat/definisi dan cakupan “signifikansi

fenomenal historis” atau al-maghzā al-tārikhī untuk kepentingan dan

kebutuhan pada konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), di

mana/ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Sebagai contoh, seorang

menafsirkan Q.S. al-Mā’idah: 51 yang berisi larangan mengangkat

kaum Yahudi dan Kristiani sebagai awliyā’ (teman setia) untuk

membela dan mempertahankan Madinah pada masa Nabi Muhammad

Saw. Dia menganalisa aspek-aspek bahasa pada ayat tersebut dan

memperhatikan konteks sejarah diturunkannya. Singkat kata, ia

menemukan bahwa alasan larangan tersebut adalah bahwa karena

sekelompok Yahudi mengkhiyanati kesepakatan bersama penduduk

Madinah saat itu, yakni “Piagam Madinah”.66 Peristiwa pengkhiyanan

Yahudi yang menjadi dasar pelarangan menjadikan mereka sebagai

“teman setia” atau “pembela Madinah” adalah “signifikasi fenomenal

historis”. Hal ini lalu dikonstruksi secara lebih luas untuk konteks

kekinian dan kedisinian, sebagai berikut: (1) semua orang tidak boleh

mengkhiyanati kesepakan bersama, baik dalam bidang politik,

kemasyarakatan maupun bisnis, dan (2) siapapun yang melakukan

pengkhiyatan harus siap untuk tidak dipercaya lagi oleh orang yang

dikhiyanati. Kedua poin inilah kita sebut dengan “signifikansi

fenomenal dinamis.” Dalam mengembangkan “signifikansi fenomenal

dinamis”, seseorang memperhatikan perkembangan nilai sosial (yang


66
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 131.
48

sudah menjadi kesepatakan bersama dalam komunitas tertentu atau

bahkan masyarakat dunia) pada saat teks Al-Qur’an itu ditafsirkan.

Dengan demikian, signifikansi fenomenal dinamis ini akan terus

berkembang pada setiap masa dan bisa saja bervariasi

implementasinya. Di sinilah terdapat sisi subyektivitas penafsir dalam

mengkomunikasikan apa yang terdapat di dalam teks al-Qur’an

dengan realita kehidupan dan nilai sosial yang ada. Yang pasti adalah

bahwa hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa teks al-Qur’an itu

ṣāliḥ li kulli zamān wa makān (sesuai untuk segala zaman dan tempat)

dan kitab suci ini diturunkan untuk kemaslahatan manusia dan alam

semesta.

3. Penafsir menangkap makna-makna simbolik ayat Al-Qur’an. Sebagian

ulama berpandangan bahwa makna lafal dalam Al-Qur’an itu

memiliki empat level makna: (1) ẓāhir (makna lahiriah/literal), (2)

bāṭin (makna batin/simbolik), (3) ḥadd (makna hukum), dan (4)

maṭla‘ (makna puncak/spiritual).21 Ketiga level makna yang

disebutkan terakhir (yakni: bāṭin, ḥadd dan maṭla‘) merupakan

makna-makna simbolik yang di maksud di sini.

4. Penafsir mengembangkan penafsiran dengan mengunakan perspektif

yang lebih luas. Agar bangunan “siginifikansi fenomenal dinamis”

yang merupakan pengembangan dari maghzā (signifikansi) atau

maksud utama ayat untuk konteks kekinian (waktu) dan kedisinian

(tempat) lebih kuat dan meyakinkan, maka seorang penafsir


49

selanjutnya memperkuat argumentasinya dengan menggunakan ilmu-

ilmu bantu lain, seperti Psikologi, Sosiologi, Antroplogi dan lain

sebagainya dalam batas yang cukup dan tidak terlalu berpanjang

lebar.67

67
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 16.
BAB IV

ANALISIS SYUKUR PADA Q.S. IBRAHIM [14] : 7 DENGAN

PENDEKATAN MA’NĀ CUM MAGHZA

A. Penggalian Makna Historis (Al-Ma‘nā Al-Tārikhī) Dan Signifikansi

Fenomenal Historis (Al-Maghzā Al-Tārikhī)

1. Analisis Bahasa

٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬
Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku
akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.68 (Q.S. Ibrahim [14] :
7).

a. ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم‬


Al-Mawardi menyebukan bahwa makna kata tersebut ada tiga

takwil, yaitu 1) ‫ وإذ مسع ربكم‬bermakna dan ketika \tuhan kalian

mendengar 2) ‫ وإذق ال ربكم‬artinya dan ketika Tuhan kalian

berkata/berfirman 3) ‫ و إذ أعلمكم ربكم‬yang artinya dan ketika

Tuhan kalian memberitahukan kalian. Dalam Qira’ah Ibnu

Mas’ud menggunakan ‫"وإذق ال ربكم‬ “. Maka maknanya adalah

“berkata/berfirman”69

68
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
69
Lihat Aplikasi Maktabah Syamilah, Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (Beirut: dar al-kutub
al-‘araby, 1407), hal. 541

50
51

b. ‫م‬Rْ ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك‬Rِ‫لَ ِٕٕى‬


(la’in shakartum la’azidannakum) Ahmad Musthafa al-Maraghi

menafsirkan : “Jika kalian mensyukuri nikmat penyelamatan

dan lain-lain yang Aku berikan kepada kalian, dengan mentaati-

Ku dalam segala perintah dan larangan-Ku, niscaya Aku

menambah nikmat yang telah Ku-berikan kepada kalian”.70

c. ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم‬Rِ‫َولَ ِٕٕى‬


Dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku). (Ibrahim: 7)

Maksudnya, jika kalian mengingkari nikmat-nikmat itu dan

kalian menyembunyikan serta tidak mensyukurinya.71

d. ‫اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬


Maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Ibrahim [14]: 7)

Yaitu dengan mencabut nikmat-nikmat itu dari mereka, dan

Allah menyiksa mereka karena mengingkarinya. Didalam

sebuah hadis disebutkan: “Sesungguhnya seorang hamba benar-

benar terhalang dari rizki (nya) disebabkan dosa yang

dikerjakannya”.72

Secara etimologi kata syukur terambil dari kosa kata bahasa

Arab, yaitu al-syukur (‫ ) الشكور‬atau al-syukru (‫) الشكر‬. Kata al-syukur

merupakan isim mashdar (kata benda) yang berasal dari kata ‫شكر يشكر‬

70
Ahmad Mustafa Al-Maragi,. Tafsir Al-Maragi, Juz VII, ter. Anshori Umar Sitanggal dkk,
(Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1987), hal. 242.
71
Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 13, ter. Bahrun Abu
Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), hal. 263.
72
Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 13, ter. Bahrun Abu Bakar,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), hal. 263.
52

‫ شكرا و شكورا‬, kata ini terambil dari madah ( ‫) ش ك ر‬73 artinya berterima

kasih atau ucapan/pernyataan terima kasih.74

Pada dasarnya, sebuah kata yang tersusunan dari ketiga huruf

tersebut memiliki empat kandungan makna. Aḥmad Ibn Faris al-

Qazwini dalam karyanya Mu’jam Maqaayis al-Lughah mengatakan

bahawa syukur memiliki empat makna dasar yang saling berkaitan,

antaranya

a. Ucapan terima kasih kepada manusia dengan baik (al-sana’‘ala

al-insan bi al-ma’ruf)

b. Penuh dan berlimpahnya sesuatu (al-imtila’ wa al-guzl fi al-

syai’)

c. Tunas tumbuhan (syakir min al-nabat), yang tumbuh di batang

pohon (huwa al-lazi yanbutu min saq al-syajarah)

d. Nikah (al-nikah)75

Syukur memiliki empat makna dasar yang sangat penting dalam

memahami nilai-nilai kebaikan yang terdapat dalam setiap jiwa

manusia. Pertama, syukur berarti pujian yang diucapkan karena

adanya sebuah kebaikan atau tambahan nikmat yang diperoleh.

Bersyukur berarti merasa cukup dan puas dengan apa yang sudah

diberikan Tuhan meskipun pemberian itu sangat sedikit. Para peneliti

73
Abu al-Husaini Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Maqaayis al-Lughah, (Cairo : Daar al-
Sya’b, 1969), hal. 208.
74
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,
2010), hal. 201.
75
Muhammad Irham A. Muin, Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 3
53

bahasa seringkali menggunakan kata syukur untuk kuda yang gemuk,

namun hanya membutuhkan sedikit rumput sebagai bahan makanan.

Kedua, syukur berarti kepenuhan dan ketabahan, seperti sebuah pohon

yang tumbuh subur dan dilukiskan dengan kalimat “syakarat asy-

syajarah”. Ketiga, sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon, yang

berarti ada tambahan nikmat yang dilimpahkan Tuhan di alam semesta

ini. Keempat, pernikahan atau alat reproduksi, diartikan bahwa

terdapat kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan

lahirnya seorang anak yang menjadi kebanggaan keluarga.76

Implikasinya adalah dengan bersyukur seseorang melakukan

perkembangbiakan iman, aqidah, tauhid, ibadah, dan muamalah dari

aspek kualiatas dan kuantitas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syukur dan derivasinya

diartikan sebagai berikut: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2)

untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya).77 Secara

sepintas, syukur dalam pembendaharaan kata bahasa Arab dan

Indonesia sama dari aspek berterima kasih akan tetapi dalam

pembendaharaan kata bahasa Arab lebih dalam yaitu makna kedua,

ketiga, dan keempat (sebagaimana yang telah dikemukakan). Hal

tersebut belum cukup karena definisi syukur semakin berbeda dan

berkembang (walaupun secara substantif sama) menurut ulama dan

76
Mohammad Takdir, Psikologi Syukur: Perspektif Psikologi Qurani dan Psikologi Positif
untuk Menggapai Kebahagiaan Sejati (Authentic Happiness), (Jakarta: PT Alex Media
Kompuutindo, 2018), hal. 14.
77
Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3, (Jakarta: Bali Pustaka,
2002), hal. 1115.
54

cendekiawan muslim tertentu. Oleh karena itu, dibutuhkan

terminologi syukur berdasarkan pandangan pelbagai cendekiawan

muslim.

Pemaknaan syukur dari berbagai sudut pandang memberikan

pesan penting bahwa setiap orang yang merasa cukup dan puas

dengan sedikit nikmat yang diberikan Tuhan, pada akhirnya akan

memetik buah yang banyak, lebat, dan subur, sebagaimana

digambarkan dengan bertambahnya tangkai di pohon atau pun

lahirnya seorang anak akibat dari sebuah pernikahan. Pemaknaan

syukur di sini sesuai dengan penegasan al-Qur’an dalam surah

Ibrahim ayat 7, yang memberikan kepastian bagi seorang hamba yang

pandai bersyukur, akan memperoleh tambahan nikmat yang sangat

melimpah.

Ibnu Manzhur dalam kitab Lisan al-‘Arab menjelaskan syukur


dengan:78

َ . ً ‫ وهُ َو ال ُّش ُك ُر أَيْضا‬، ُ‫ ِعرْ فانُ ا إلحْ سا ِن و نَ ْش ُره‬: ‫ ال ُش ْك ُر‬. ‫شكر‬


‫قال‬
‫ َو ْال َح ْم ُد يَ ُكونُ ع َْن يَ ٍد وع َْن َغي ِْر يَ ٍد‬،‫ ال ُش ْك ُر ال يَ ُكونُ إِالَّ ع َْن يَ ٍد‬: ٌ‫ ثَ ْعلَب‬،
‫ ْالمجازاةُ والثنا ُء ْال َج ِمي ُل‬: ِ‫ر ِمنَ هللا‬Rُ ‫ َوال ُش ْك‬. ‫ق بِ ْينَهُما‬ ُ ْ‫ فَهذا ْالفَر‬،
“Syukur adalah mengakui adanya kebaikan dan menyebarkannya,
tsa’lab berkata bahwa syukur harus dengan adanya perantara
(nikmat yang diterima) sedangkan tahmid dapat diucapkan baik
dengan atau tanpa adanya perantara (nikmat yang diterima), dan
inilah perbedaan antara keduanya. Syukur kepada Allah merupakan
bentuk pujian.”

ُ‫ك إِ َّن ال ُّش ْك َر َح ْب ٌل ِمنَ التُّقَى وما ُكلُّ َم ْن أَوْ لَ ْيتَه‬


Rَ ُ‫ َشكَرْ ت‬: َ‫قا َل أَبُو نُخَ ْيلَة‬
ِ ‫نِ ْع َمةً يَ ْق‬
‫ضى‬
78
Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1999), hal. 2305
55

Abu Nukhailah berkata : “Aku berterimakasih kepada Mu karena


sesungguhnya syukur adalah ikatan dari ketaqwaan, Dan tidak setiap
orang yang Engkau berikan nikmat akan memenuhinya”.

‫ َو ٰهذا يَدُلُّ َعلَى أَ َّن ال ُّش ْك َر ال يَ ُكونُ إِالَّ ع َْن يَ ٍد‬: ‫ قا َل ابْنُ ِسي َد ْه‬،
ُّ‫ْس ُكل‬ َ ‫ أَىْ لَي‬. ‫ضى‬ ِ ‫ وما ُكلُّ َم ْن أَوْ لَ ْيتَهُ نِ ْع َمةً يَ ْق‬: ‫قال‬ َ ُ‫أَالَ تَ َرى أَنَّه‬
Rَ ‫ َم ْن أَوْ لَ ْيتَهُ نِ ْع َمةً يَ ْش َك ُر‬.
‫ك َعلَ ْيهَا‬

Ibnu Sidah berkata : bahwa ini menunjukkan bahwa sesungguhnya


syukur harus dengan adanya perantara (nikmat yang diterima),
tidakkah kamu lihat perkataan Abu Nukhailah “Dan tidak setiap
orang yang Engkau berikan nikmat akan memenuhinya” maksudnya
“Tidak semua orang yang Engkau berikan nikmat akan bersyukur
padamu atas kenikmatan tersebut”.

Ar-Raqhib Al-Isfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran

mendefinisikan syukur dengan:79

ْ ِ‫ر النِّ ْع َم ِة وإ‬Rُ ‫ص ُّو‬


‫ظهَارُها‬ َ َ‫ ال ُّش ْك ُر ت‬:‫شكر‬
“Gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke
permukaan.”

Kata ini ditulis Ar-Raqhib menurut sementara ulama berasal dari

kata ‘Shakara’ yang berarti “membuka” sehingga ia merupakan lawan

dari kata ‘kafara’ (kufur) yang berarti menutup (salah satu artinya

adalah melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.80 Adapun dalam

Mu’jam al-Wasith, kata syukur diartikan dengan mengakui nikmat

kemudian memperlihatkannya dengan cara memuji.81

79
Ar-Raghib, Al-Ishfahani. Al Mufradat fi Gharib al Quran. (Beirut: Dar al Ma‘rifah), hal.
265
80
Abdul Wachid, “Makna Syukur dalam Surah Ibrahim Ayat 7”, Skripsi tidak diterbitkan
(Surabaya: Jurusan tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2006), hal. 16.
81
Majamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasiith, (Cairo: Maktabah al-
Syuruuq al-Arabiyyah, 2005), hal. 490.
56

Kata syukur dalam kamus Mahmud yunus, yang artinya

berterimakasih (kepadanya) mensyukuri dan memujinya.82 Hal ini

menunjukkan adanya keterlibatan hati, lisan dan aksi pisik. Syukur

tidak dapat terwujud kecuali ia harus dilakukan dalam bentuk aksi.

Ungkapan pujian boleh disebut sebagai aksi dan boleh jadi ia bukan

aksi. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari syukur Tuhan yang

berupa balasan dan pujian yang indah. Syukur juga merupakan

pengikat atau tali kesalehan dan ketakwaan, dan segala apa yang

dikaruniakan dari nikmatNya adalah fasilitas untuk mewujudkan rasa

syukur.83

Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa kamus, penulis

menyimpulkan bahwa kata syukur yang berada di luar maupun di

dalam konteks Alquran selalu diikuti dengan sesuatu yang bernilai

banyak, penuh, bertambah, lebih, sangat dan berlimpah. Berdasarkan

tinjauan diatas maka makna dasar kata syukūr adalah “balasan yang

banyak atas kebaikan yang sedikit”.

Al-Qurthubi menafsirkan, “kata syukran (untuk bersyukur) di-

nashab-kan (dengan bunyi fathah) layaknya maf’ul (objek).84 Artinya,

laksanakanlah suatu perbuatan, yaitu syukur. Seakan-akan sholat,


82
Mahmud Yunus, Kamus Khusus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2009), hal. 203.
83
Ibn Mandzur al-Afriqy al-Misr, Lisanul Arab-Ibnu Mandzur, (Beirut: Dar Shadir, 1996),
hal. 424.
84
kata syukran (untuk bersyukur) di-nashab-kan (dengan bunyi fathah) karena merupakan
sifat dari mashdar yang dibuang, atau aslinya adalah i’malu li asy-syukr’ (berbuatlah dalam rangka
bersyukur) karena ia merupakan maf’ul lahu, atau ia merupakan hal (keadaan), yaitu aslinya
syakirin (sebagai orang-orang yang bersyukur), atau ia merupakan maf’ul bih (objek), atau ia di-
nashab-kan (dengan bunyi fathah) ala mashdariyyah dengan kata kerja yang dianggap ada dari
jenisnya, yaitu usykuru syukran (bersyukurlah dengan sebenar-benarnya).
57

puasa, dan seluruh ibadah sejatinya adalah syukur, karena menempati

posisinya.” Ia meneruskan, “Makna lahir dari al-Qur’an dan as-

Sunnah adalah bahwa syukur dilakukan dengan perbuatan tubuh, tidak

terbatas pada perbuatan lisan saja.”85

Sementara menurut Zamakhsyari dalam kitab al-Kasysyaf:

Syukur menurut bahasa adalah memuji nikmat secara khusus, yaitu

dengan hati, lisan dan anggota tubuh.86

Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat

baik atas apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari

kufur.87 Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, sedangkan

hakikat ke-kufur-an adalah menyembunyikannya. Menampakkan

nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai

dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut

nikmat dan pemberinya dengan lidah.88

Sedangkan menurut istilah al-Syukur antara lain berarti upaya

yang sungguh-sungguh dari manusia untuk melaksanakan seluruh

perintah Allah dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang,

baik tersembunyi maupun terang-terangan89. Istilah syara’, syukur juga

diartikan sebagai pengakuan terhadap nikmat yang diberikan oleh

85
Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, hal. 277
86
Imam Al-Hafidz Abi Bakr Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Sahl Al-Samiry,
Fadlilati al-Syukri Lillahi ‘Ala ni’matihi wa ma yajibu min al-Syukri lilmun’ami ‘alaihi,
(Damsyiq: Darul Fikri, 1982), hal. 6.
87
Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Terj. Ija Suntana,
(Bandung: PT. Mizan Publika, 2004), hal. 90.
88
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 216
89
Al-Qurtubi, Al-Jami’li ahkam al-Qur’an, (Mesir: Maktabah Syamilah, 1997), hal. 397.
58

Allah swt dengan disertai ketundukan kepada-Nya dan

mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah swt.90

Lain halnya dengan Tantawi Jauhari, menekankan pada aspek

perkataan manusia melalui puji-pujian dalam merefleksikan

kesyukurannya terhadap karunia Allah. Di samping itu konsep syukur

tidak hanya terbatas pada Allah tetapi juga terhadap siapa saja yang

memberikan kebaikan.91 Pemahaman kata syukur ini cukup bervarasi

dengan interpretasi dan epistemologi dalam melakukan kontruksi ilmu

dalam pengkajian dalam Al-Qur’an.

Sepaham dengan Jalaluddin Rahmat, yang mengatakan bahwa

al-Syukur adalah kata yang digunakan untuk memuji, dan pujian itu

ditunjukkan kepada siapa saja yang memberikan kebaikan kepada

kita92. Dari pemahaman Jalaluddin di atas penulis memahami kata

syukur sebagai bentuk pujian kepada diri kita dan orang lain yang

dilakukan ikhlas untuk kemaslahan umat.

Menurut Rasyid Ridha, siapa yang tidak membentengi dirinya

dengan taqwa dan dia mengikuti hawa nafsunya, maka orang tersebut

tidak bisa diharapkan menjadi orang yang bersyukur93. Hemat penulis

orang yang mempertahankan sifat-sifat ketaqwaan dalam diri

90
Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, Dahsyatnya Syukur, (Jakarta: Qultum Media, 2009),
hal. 2.
Tantawi Jauhari, al-Jawhir Fi Tafsir al-Qur’an, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halaby wa
91

Awladuhu, 1999), hal. 133.


92
Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hal. 380.
93
Muhammad Rasyid Ridha, Al-Manar, (Beirut: Dar al Ma’arif, 1999), hal. 109.
59

seseorang dimana saja berada juga dapat digolongkan termasuk orang

yang mengimplementasikan sifat syukur dalam dirinya.

Kata syukur disandingkan dengan kata kufur sebagaimana

firman Allah swt. di dalam Q.S. al-Naml (27): 40. Terjemah kemenag

2019: berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku

akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip".

Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya,

iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku

Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan

Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk

(kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka

Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Beberapa uraian tentang pengertian syukur secara leksikal dan

terminologis mengarahkan suatu prinsip pemaknaan syukur secara

hakikat yaitu dengan menampakkan sesuatu berupa nikmat Allah

dalam kehidupan.

2. Analisis Intratektualitas Ayat

Untuk mempertajam analisis ini peneliti melakukan

intratektualitas, dalam arti membandingkan dan menganalisa

penggunaan kata yang sedang ditafsirkan itu dengan penggunaannya

di ayat-ayat lain.
60

Penggunaan kata al-syukur (‫ ) الشكور‬atau al-syukru (‫ ) الشكر‬dalam

al-Qur’an dengan berbagai derivasinya ditemukan dalam berbagai

surat di dalam al-Qur’an. Secara keseluruhan kata syukur dan

derivasinya digunakan sebanyak 75 kali dalam al-Qur’an. Dari

َ َ
jumlah tersebut, digunakan sebanyak 2 kali dalam bentuk 2 ,‫ شك َر‬kali

ُْ َ َ ُ ْ َ
dalam bentuk 3 ,‫ شك ْرتم‬kali dalam bentuk 1 ,‫ اشك َر‬kali dalam bentuk

ُ ْ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ
19, ‫ تشك ُر ْوا‬kali dalam bentuk 3 ,‫ تشك ُر ْون‬kali dalam bentuk 9 ,‫يشك ُر‬

َ ْ ُ ْ َ ُ ْ
kali dalam bentuk 2 ,‫ يش ك ُرون‬kali dalam bentuk 5 ,‫ اش ك ْر‬kali dalam

ْ ُ ْ
bentuk 1 ,‫ اش ك ُروا‬kali dalam bentuk 2 ,‫ ش ك ًرا‬kali dalam bentuk
ْ ُ

ُ ُ َ َ
1 ,‫ شك ْو ًرا‬kali dalam bentuk 3 ,‫اك ٌر‬
ِ ‫ ش‬kali dalam bentuk 1 ,‫ ش ِاك ًرا‬kali

َ ْ َ َ ْ ّٰ
dalam bentuk 9 ,‫اك ُرون‬
ِ ‫ ش‬kali dalam bentuk 9 ,‫ الش ِك ِرين‬kali dalam

ْ ُ َ
bentuk 1 ,‫ شكو ٍر‬kali dalam bentuk
ُ َ
‫شك ْو ًرا‬, dan 2 kali dalam bentuk ‫َّم‬

ُ ْ
‫ شك ْو ًرا‬.

Ayat-ayat tersebut membicarkan dengan memadai tentang

berbagai hal yang terkait dengan syukur. Jika ditelusuri secara

mendalam, maka akan ditemui bahwa pada ayat-ayat tersebut

dibicarakan beberapa hal, di antaranya tentang orang (subjek) yang


61

bersyukur, objeknya, cara bersyukur, hal-hal yang patut disyukuri, dan

manfaat bersyukur.94

Sebagaimana telah diuraikan diawal mengenai rasa syukur,

syukur dapat diwujudkan dengan pujian, sanjungan, cinta, rasa senang

dan lain sebagainya. Sanjungan itu diberikan oleh seseorang kepada

yang lain untuk mengungkapkan kata syukur. Allah telah memilihkan

kata syukur dengan kalimat:

٢ َ‫اَ ْل َح ْم ُد هّٰلِل ِ َربِّ ْال ٰعلَ ِم ْي ۙن‬


Terjemah kemenag 2019: “Segala puji95 bagi Allah, Tuhan seluruh
alam”.96 (QS. Al-Fatihah/1 : 2).

Salah satu ekspresi syukur manusia adalah mengakui kebaikan

seseorang dan membalasnya dengan kebaikan yang lebih. Balasan

kebaikan digambarkan dalam QS. Al-Baqarah/2 : 261 :

ْ ‫م فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة اَ ۢ ْنبَت‬Rُْ‫َمثَ ُل الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَه‬


‫ ۢ ْنبُلَ ٍة‬RR‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل فِ ْي ُك ِّل ُس‬
‫هّٰللا‬ ٰ ‫ِّمائَةُ َحبَّ ٍة ۗ َوهّٰللا ُ ي‬
٢٦١ ‫اس ٌع َعلِ ْي ٌم‬ ِ ‫ُض ِعفُ لِ َم ْن يَّ َش ۤا ُء َۗو ُ َو‬
Terjemah kemenag 2019: “Perumpamaan orang yang menginfakkan
hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh
tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan
bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui”.97

94
Desri Ari Enghariano, “Syukur dalam Perspektif al-Qur’an”, El-Qanuny: Jurnal Ilmu
Kesyariahan dan Pranata Sosial, Vol. 5, No. 2, Edisi Juli-Desember 2019, hal. 273.
95
Alhamdu (segala puji). Memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena
perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang
terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah
sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji. Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang
Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali
kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang
diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan,
alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
96
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
97
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
62

Selain pahala di akhirat, kebahagiaan di dunia juga akan

diperoleh oleh orang-orang yang suka bersyukur. Khususnya apabila

kesyukuran itu diekspresikan dalam bentuk memberikan harta atau

bersedekah kepada yang membutuhkannya. Bahwa kesyukuran

manusia bukan hanya dengan memberi balasan baik kepada orang

yeng memberinya nikmat. Tetapi juga dengan melakukan perbuatan

yang disukai oleh orang tersebut. Prinsip memberi sedekah juga

menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan dan menjaga manusia

dari masalah. Syukur dengan menginfakkan harta adalah sama halnya

dengan mengeluarkan masalah dari dirinya. Sehingga akan tercipta

keteraturan dan keseimbangan hidup yang membahagiakan.98

Sementara dalam ayat yang berbeda, yakni QS. Al-Baqarah/2 :

١٥٢ ࣖ ‫ْي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬Rٓ ِ‫فَ ْاذ ُكرُوْ ن‬
Terjemah kemenag 2019: “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan
ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
ingkar kepada-Ku”.99

Penjelasan ayat ini mengandung perintah untuk mengingat

Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodai-Nya

dengan kedurhakaan. Syukur yang demikian lahir dari keikhlasan

kepada-Nya dan karena itu, ketika setan mengatakan bahwa, “Demi

kemuliaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya”

(QS. Shaad: 82) dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian , yaitu

“Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash diantara mereka” (QS.

98
Muh. Subair, “Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab
Kuning”, PUSAKA: Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Mei 2020, hal. 108.
99
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
63

Shaad: 83). Dalam QS. Al-A’raf: 17 Iblis menyatakan “Dan Engkau

tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka (manusia) bersyukur”.

Kalimat “tidak akan menemukan” disini serupa maknanya dengan

pengecualian diatas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang

bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya).100

Selain itu orang yang tidak mau bersyukur (kufr) sesungguhnya

ia berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, seperti firman Allah :

‫َولَقَ ْد ٰاتَ ْينَا لُ ْقمٰ نَ ْال ِح ْك َمةَ اَ ِن ا ْش ُكرْ هّٰلِل ِ ۗ َو َم ْن يَّ ْش ُكرْ فَاِنَّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ٖ ۚه‬
١٢ ‫َو َم ْن َكفَ َر فَاِ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬
Terjemah kemenag 2019: “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah
kepada Lukman, yaitu,”Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa
bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka
sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji”.101 (QS. Luqman/31 :
12).

Pada ayat di atas, orang-orang yang mengingkari nikmat Allah

dan tidak bersyukur (kufr) kepada-Nya berarti ia telah berbuat aniaya

terhadap dirinya sendiri, karena Allah tidak akan memberinya pahala

bahkan menyiksanya dengan siksaan yang pedih. Allah sendiri tidak

memerlukan syukur hamba-Nya karena syukur hamba-Nya itu tidak

memberikan keuntungan kepada-Nya sedkit pun, dan tidak pula

menambah akan kemuliaan-Nya. Dia Maha Kuasa lagi Maha

Terpuji.102

100
M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1998), hal. 217.
101
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
102
Tim Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, al-Qur’an In MS. Word 2019, Tafsir Lengkap
Kemenag QS. Luqman/31 : 12.
64

Kata syukur pada QS. Ibrahim [14] : 7 yang disandingkan

dengan kata kufr merupakan suatu penekanan bahwa setiap perbuatan

ada sebab-akibatnya. Apabila manusia senantiasa bersyukur maka

nikmat, rezeki, serta pahala akan ditambah oleh Allah. Sedangkan bagi

yang tidak bersyukur atau kufr maka akan mendapatkan siksaan yang

pedih dari Allah. Semua itu sebagai balasan dari apa yang dilakukan.

Dari penjelasan mengenai syukur diatas, dapat disimpulkan

syukur adalah rasa terimakasih kepada Allah dengan menggambarkan

dalam benak tentang nikmat serta memanjatkan pujian kepada sang

pemberi nikmat atas keutamaan dan kebaikan yang dikaruniakan

kepada kita dan menampakkan kepermukaan disertai pengendalian diri

menerima dengan rela dan sabar atas apa yang digariskan Allah kepada

kita, walaupun itu bukan sesuatu yang menyenangkan karena hal itu

suatu ujian untuk mengetahui keimanan kita.

Hubungan syukur dengan bata yang bergandengan dengannya

a. Ibadah dan Syukur sebagaimana firman Allah Swt. di dalam

Q.S. al-Anbakut (29): 17.


‫انَّما تَ ْعبُ ُدوْ نَ م ْن ُدوْ ن هّٰللا اَوْ ثَانًا َّوت َْخلُقُوْ نَ ا ْف ًكا ۗا َّن الَّذ ْينَ تَ ْعبُ ُدوْ نَ م ْن ُدوْ ن هّٰللا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ
‫هّٰللا‬
َ ‫ ِع ْن َد ِ الر ِّْز‬R‫اَل يَ ْملِ ُكوْ نَ لَ ُك ْم ِر ْزقًا فَا ْبتَ ُغوْ ا‬
‫ق َوا ْعبُ ُدوْ هُ َوا ْش ُكرُوْ ا لَهٗ ۗاِلَ ْي ِه‬
َ‫تُرْ َجعُوْ ن‬
Terjemah Kemenag 2019: Sesungguhnya apa yang kamu
sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala dan kamu
membuat kebohongan. Sesungguhnya apa yang kamu sembah
selain Allah tidak mampu memberikan rezeki kepadamu. Maka,
mintalah rezeki dari sisi Allah, sembahlah Dia, dan
bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan
dikembalikan.103
103
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0
65

Ibadah terdiri dari tiga huruf dasar, yaitu al-‘ain, al-ba’,

dan aldal, mengandung dua makna yang saling bertentangan,

lemah lembut (layyin-zill) dan kasar (syiddah-galiz). Ibadah

merupakan sesuatu yang bersifat umum dan syukur bersifat

khusus. Sehingga, hubungan antara kedua term ini adalah umum

ke khusus. Dalam sastera Arab dikenal dengan sebutan zikr

al-‘am ba’d al-khas. Ketika Allah swt. memerintahkan untuk

beribadah dan menyembah-Nya, dapat dipahami bahwa Allah

swt. mempersilahkan kepada hamba-Nya untuk melakukan

segala macam ibadah yang disyariatkan untuk mendekatkan diri

kepadanya, seperti salat, puasa, dan termasuk bersyukur.

Kemudian Allah swt. melanjutkan perintahnya untuk

mengkhususkan ibadah syukur dalam mendekatkan diri

(taqarrub) kepada-Nya. Jadi, dalam ayat ini tersirat sekali

perintah bersyukur dan sekali tersurat perintah bersyukur.104

Dari aspek munasabah, penyebutan ibadah dan syukur

dalam kontek ayat ini, untuk beribadah kepada Allah swt. tanpa

mendua-Nya karena Allah swt. telah memberikan rezeki kepada

manusia maka sebuah kewajiban kepada manusia untuk

bersyukur kepada Allah swt. atas segala karunia dan anugerah-

Nya.

104
Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 8.
66

b. Syukur dan Iman sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Q.S.

al-Nisa’ (4): 147.

‫م َو ٰا َم ْنتُ ۗ ْم َو َكانَ هّٰللا ُ َشا ِكرًا َعلِ ْي ًما ۔‬Rُْ‫َما يَ ْف َع ُل هّٰللا ُ بِ َع َذابِ ُك ْم اِ ْن َشكَرْ ت‬
Terjemah Kemenag 2019: Allah tidak akan menyiksamu jika
kamu bersyukur dan beriman. Allah Maha Mensyukuri 105 lagi
Maha Mengetahui.106

Iman terdiri dari tiga huruf dasar, yaitu al-alif, al-mim, dan

alnun, mengandung makna terang dan stabilnya hati (sukun al-

qalb) dan pembenarannya (al-tasdiq). Iman merupakan sumber

sikap syukur seseorang. Semakin baik iman seseorang maka

semakin berkualitas rasa syukurnya. Dalam hal ini, hubungan

keduanya adalah relasi pengaruh secara langsung. Allah Maha

Mensyukuri adalah Allah mensyukuri hamba-hamba-Nya,

memberi pahala terhadap amal-amal hamba-hamba-Nya,

memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya.107

Dalam aspek munasabah, ayat ini berada dalam kelompok

ayat yang berkaitan tentang beberapa keburukan orang munafik.

Orang munafik melakukan sesuatu dengan kepura-puraan

karena ingin menipu umat Islam dan Allah swt. Padahal mereka

menipu dirinya sendiri. Sehingga, bagi mereka neraka yang

paling bawah (asfal). Allah swt. menutup kelompok ayat ini

105
Allah Maha Mensyukuri berarti memberi pahala terhadap amal hamba-Nya, memaafkan
kesalahannya, menambah nikmat-Nya, dan lain-lain. (An-Nisa'/4:147)
106
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0
107
Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 9.
67

dengan berfirman mereka tidak akan disiksa dengan neraka yang

paling bawah kalau mereka bersyukur dan beriman.

Jika syukur seseorang sebagai refleksi keimanannya.

Maka penulis berasumsi bahwa seseorang yang tidak bersyukur

maka keimanannya perlu diperbaiki. Hal inilah yang mesti

dilakukan oleh kalangan munafik, perbaikan iman, sehingga

mampu bersyukur dengan baik.

c. Tidak syirik dan syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam

Q.S. al-Nahl (16): 120-121

َ‫ك ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِك ْي ۙن‬ ُ َ‫اِ َّن اِب ْٰر ِه ْي َم َكانَ اُ َّمةً قَانِتًا هّٰلِّل ِ َحنِ ْيفً ۗا َولَ ْم ي‬
‫اط ُّم ْستَقِي ٍْم‬
Rٍ ‫ص َر‬ ِ ‫َشا ِكرًا اِّل َ ْن ُع ِم ِه ۖاجْ ت َٰبىهُ َوه َٰدىهُ اِ ٰلى‬
Terjemah Kemenag 2019: Sesungguhnya Ibrahim adalah imam
(sosok anutan) yang patuh kepada Allah, hanif (lurus), dan
bukan termasuk orang-orang musyrik. (Ibrahim) bersyukur atas
nikmat-nikmat-Nya (dan Allah) telah memilih serta
menunjukinya ke jalan yang lurus.108

Syirik terdiri dari tiga huruf dasar, yaitu al-syin, al-ra’, dan

al-kaf, mengandung makna pernbandingan (muqaranah) dan

ektensi istikamah (al-imtidad wa al-istiqamah). Hubungannya,

jika syirik berada pada diri seseorang maka akan mempengaruhi

rasa syukur yang selamanya ini dilakukannya. Artinya, semakin

banyak/ada syirik pada seseorang semakin sedikit syukurnya.

Sebaliknya, semakin minim –bahkan tidak ada- maka syukurnya

semakin berkualitas dan banyak.109

108
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0
109
Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 10.
68

Dalam konteks kedua ayatnya, Nabi Ibrahim a.s. telah

membuktikan bahwa dengan tidak menduakan-Nya sedikitpun

Nabi Ibrahim a.s. mampu menjadi orang yang bersyukur dan

rasa syukur itu telah meresap masuk ke jiwa Nabi Ibrahim a.s.

karena telah menjadi karakter dan wataknya.

Dari aspek munasabah, sebelum dan sesudah ayat ini

bercerita tentang keteladanan Nabi Ibrahim a.s. Oleh karena itu,

dengan senantiasa bersyukur dan tidak menduakan-Nya

merupakan langkah awal menjadi sosok teladan yang pandai

bersyukur.

d. Zikir dan syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S.

al-Baqarah (2): 152.

ࣖ ‫ْي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬Rٓ ِ‫فَ ْاذ ُكرُوْ ن‬
Terjemah Kemenag 2019: Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun
akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah
kamu ingkar kepada-Ku.110

Banyak cara untuk bersyukur kepada-Nya; hati, lisan, dan

perbuatan. Zikir identik dengan bersyukur secara lisan walaupun

terdapat pembagian yang sama bagi zikir, yaitu zikir hati, lisan,

dan perbuatan. Berdasarkan relasi tersebut dapat dipahaminya

diantaranya adalah syukur dan zikir memiliki hubungan yang

sangat erat tak terpisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Dengan

berzikir anda telah bersyukur dan dengan bersyukur anda telah

110
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0
69

berzikir. Adapun perbedaannya secara detail akan dijelaskan

berikutnya.111

e. Balasan dan Syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam

Q.S. al-Insan (76): 9.

R‫ط ِع ُم ُك ْم لِ َوجْ ِه هّٰللا ِ اَل نُ ِر ْي ُد ِم ْن ُك ْم َج َز ۤا ًء َّواَل ُش ُكوْ ًرا‬


ْ ُ‫اِنَّ َما ن‬
Terjemah Kemenag 2019: (Mereka berkata,) “Sesungguhnya
kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami
tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu.112

Dalam konteks dan munasabah ayat ini, jika seseorang

yang berlaku baik kepada anda maka sepatutnya anda membalas

(jaza’) perlakukan baik itu dengan lebih baik jika tidak mampu

minimal membalasnya dengan kebaikan yang sebanding. Hal ini

sebagai implementasi firman Allah swt. “iza huyyikum bi

tahiyyah fa hayyu bi ahsan minha aw rudduha”. Di sisi lain,

bagi yang tidak mampu kedua-duanya al-Qur’an memberikan

alternatif yaitu dengan mendoakannya. Hal ini sebagai

implementasi dan pemahaman kontekstual dari ayat “fa salli

‘alaihim” dan ayat ini menjelaskan sikap minimal seseorang dari

aspek etika ketika ada yang berbuat baik kepadanya yang

minimal berterima kasih kepadanya. Ucapan terima kasih adalah

balasan kebaikan paling minimal yang mesti dilakukan dan

dibiasakan.113

111
Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 11.
112
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0
113
Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 11.
70

f. Syukur dan kufur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S.

al-Naml (27): 40.

ُ‫ك فَلَ َّما َر ٰاه‬


َ ۗ ُ‫ك بِ ٖه قَب َْل اَ ْن يَّرْ تَ َّد اِلَ ْيكَ طَرْ ف‬ َ ‫ب اَن َ۠ا ٰاتِ ْي‬
ِ ‫قَا َل الَّ ِذيْ ِع ْند َٗه ِع ْل ٌم ِّمنَ ْال ِك ٰت‬
‫ُم ْستَقِ ًّرا ِع ْند َٗه قَا َل ٰه َذا ِم ْن فَضْ ِل َرب ۗ ِّْي لِيَ ْبلُ َونِ ْٓي َءاَ ْش ُك ُر اَ ْم اَ ْكفُ ۗ ُر َو َم ْن َش َك َر فَاِنَّ َما‬
‫يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ٖ ۚه َو َم ْن َكفَ َر فَاِ َّن َرب ِّْي َغنِ ٌّي َك ِر ْي ٌم‬
Terjemah Kemenag 2019: Seorang yang mempunyai ilmu dari
kitab suci berkata, “Aku akan mendatangimu dengan membawa
(singgasana) itu sebelum matamu berkedip.” Ketika dia
(Sulaiman) melihat (singgasana) itu ada di hadapannya, dia
pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku
apakah aku bersyukur atau berbuat kufur. Siapa yang
bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri. Siapa yang berbuat kufur, maka sesungguhnya
Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.”114

Hubungan yang amat jelas antara kedua terma adalah

antonym relation, hubungan lawan kata dan lawan substansi.

Jika syukur adalah menyikapi nikmat dengan menyadari bahwa

nikmat itu dari Allah swt. dan menampakkannya dengan berbuat

baik dan berbagi kepada sesama. Sedangkan kufur nikmat

adalah menyikapi nikmat dengan tidak menyadari bahwa nikmat

itu bukan dari Allah swt. dan menutupinya sehingga angkuh dan

enggan berbagi.115

g. Sabar dan Syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S.

Ibrahim (14): 5.

‫ت اِلَى النُّوْ ِر ەۙ َو َذ ِّكرْ هُ ْم بِا َ ٰيّ ِىم‬ Rَ ‫َولَقَ ْد اَرْ َس ْلنَا ُموْ ٰسى بِ ٰا ٰيتِنَٓا اَ ْن اَ ْخ ِرجْ قَوْ َم‬
ُّ َ‫ك ِمن‬
ِ ٰ‫الظلُم‬
‫َّار َش ُكوْ ٍر‬
Rٍ ‫صب‬ َ ِّ‫ت لِّ ُكل‬ ٍ ‫هّٰللا ِ ۗاِ َّن فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي‬

114
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0
115
Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 12.
71

Terjemah Kemenag 2019: Sungguh Kami benar-benar telah


mengutus Musa dengan (membawa) tanda-tanda (kekuasaan)
Kami (dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah
kaummu dari berbagai kegelapan kepada cahaya (terang-
benderang) dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah. 116”
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi
banyak bersyukur.117

Hubungan antara kedua terma tersebut, sabar dan syukur,

adalah complementary relation, yaitu hubungan yang saling

melengkapi. Ketika memperoleh nikmat dan sesuatu yang

diinginkan maka sikap yang tepat adalah syukur. Sedangkan

ketika tidak memperoleh nikmat dan sesuatu yang tidak

diinginkan maka sikap yang tepat adalah sabar.118

3. Analisis Intertekstualitas

Analisis intertekstualitas adalah analisis dengan cara

menghubungkan dan membandingkan antara ayat Al-Qur’an dengan

teks-teks lain yang ada di sekitar Al-Qur’an. Analisa intertekstualitas

ini biasa dilakukan dengan cara membandingkannya dengan hadis

Nabi, puisi Arab, dan teks-teks dari Yahudi dan Nasrani atau

komunitas lain yang hidup pada masa pewahyuan Al-Qur’an.119

116
Hari-hari Allah maksudnya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum-kaum
terdahulu serta nikmat dan siksaan yang mereka alami. (Ibrahim/14:5)
117
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0
118
Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5
Nomor 1 Tahun 2017, hal. 12.
119
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 12.
72

Makna dasar kata syukur pra-Quranik diambil dari bahasa yang

lahir sebelum al-Qur’an diturunkan, yaitu dapat ditemukan dalam

syair-syair Arab Jahiliyah. Kata syukur pra-Quranik disandingkan

dengan empat makna relasional di antaranya yaitu: kata syukur

direlasikan dengan kenikmatan, balasan, kesabaran dan terselamatkan

dari siksaan. Adapun salah satu contohnya dalam syair Arab Jahiliyah

yaitu syair Diwan Zuhair bin Abi Sulami,

‫ الرمح مو ضع ال ذلك خاذلدة‬،، ‫ خلف ما وال لبطء مسلم‬،،


‫ دفعت‬،، ‫ يكاد يغلب الحق باطله‬، ‫وذي نعمة تممتها وشرتها وخسم‬

“Tidak akan menarik senjatanya kembali seorang muslim untuk


mundur dari tempatnya. Maka tidak ada yang melakukan hal itu
kecuali seorang pengecut. Maka kamu memiliki kenikmatan yang
sangat sempurna. Wahai yang mendapat nikmat, sempurnakanlah
nikmat itu dan syukurilah. Sekali pun musuh terkadang mengalahkan
kebenaran dengan kebatilannya. Maka kamu harus membela
kebenaran dengan perkataan yang benar.”120

Syair di atas berbicara tentang seseorang yang berperang dalam

melawan kebatilan/kejahatan. Maka seakan-akan dia mendapatkan

kenikmatan yang sempurna, dan kenikmatan tersebut hendaknya ia

syukuri. Maka kata syukur diatas direlasikan dengan kenikmatan.

Setelah diturunkannya al-Qur’an dengan menggunakan bahasa

Arab memberikan sedikit banyak perubahan makna dari yang

sebelumnya. Setidaknya dengan adanya pergesekan dengan al-Qur’an,

makan syukur menjadi lebih banyak dan lebih kaya lagi.

120
Mila Fatmawati, dkk, Analisis Semantik Kata Syukur Dalam Alquran, Al-Bayan: Jurnal
Studi Al-Qur’an dan Tafsir 3, 1 (Juni 2018), hal. 95. Lihat Abdurrahmān Al-Mustawīl, Dīwān
Zuhair bin Abī Sulamī (Beirut: Dār Maerefah, 2004), Hlm,35.
73

Adapun dalam hadis, ditemukan banyak penjelasan tentang

bersyukur setelah ditelusuri menggunakan aplikasi Lidwa Pusaka i-

Software - Kitab 9 Imam Hadist diantaranya antaranya Kitab Bukhari

Ditemukan 15 Hadist, Kitab Muslim Ditemukan 8 Hadist, Kitab

Abudaud Ditemukan 8 Hadist, Kitab Tirmidzi Ditemukan 13 Hadist,

Kitab Nasai Ditemukan 3 Hadist, Kitab Ibnu Majah Ditemukan 14

Hadist, Kitab Ahmad Ditemukan 61 Hadist dan Kitab Darimi

Ditemukan 1 Hadist.

Salah satu hadisnya berbunyi:

‫ِّث‬
ُ ‫ي حُيَد‬ ً ِ‫َّاق َح َّدثَنَا َم ْع َمٌر َع ْن َر ُج ٍل ِم ْن بَيِن ِغ َفا ٍر أَنَّهُ مَسِ َع َسع‬
َّ ِ‫يدا الْ َم ْقرُب‬ ِ ‫الرز‬
َّ ‫َح َّدثَنَا َعْب ُد‬

‫الصائِ ِم‬
َّ ‫اع ُم الشَّاكُِر َك‬
ِ َّ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم الط‬
َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة قَ َال قَ َال َر ُس‬

‫الصابِ ِر‬
َّ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan
kepada kami Ma'mar dari seorang laki-laki dari bani Ghifar bahwa
ia mendengar Sa'id Al Maqburi menceritakan dari Abu Hurairah, dia
berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Orang
yang makan lalu bersyukur seperti orang yang berpuasa lalu
bersabar." 121

ُ ‫ت الْ ُمغِ َري َة َر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ َي ُق‬ ِ ٍ ِ


‫ول‬ ُ ‫َح َّد َثنَا أَبُو نُ َعْي ٍم قَ َال َح َّد َثنَا م ْس َعٌر َع ْن ِزيَاد قَ َال مَس ْع‬

ُ ‫صلِّ َي َحىَّت تَ ِر ُم قَ َد َماهُ أ َْو َساقَاهُ َفُي َق‬ ِ ‫إِ ْن َكا َن النَّيِب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم لَي ُق‬
ُ‫ال لَه‬ َ ُ‫وم لي‬
ُ َ َ َ َ َْ ُ َ ُّ

ً ‫ول أَفَاَل أَ ُكو ُن َعْب ًدا َش ُك‬


‫ورا‬ ُ ‫َفَي ُق‬

121
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Musnad Ahmad, Kitab Sisa Musnad
sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, Bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu, No.
Hadist : 7473. Dikuatkan oleh hadis Tirmidzi no 2410, Ibnu Majah no 1754 dan 1755, Ahmad no
18242 dan Darimi no 1938.
74

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata, telah


menceritakan kepada kami Mis'ar dari Ziyad berkata; aku mendengar
Al Mughirah radliallahu 'anhu berkata; "Ketika Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga
tampak bengkak pada kaki atau betis, Beliau dimintai keterangan
tentangnya. Maka Beliau menjawab: "Apakah memang tidak
sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?" 122

4. Konteks Historis Pewahyuan (Mikro dan Makro)

Salah satu ulama alim bernama Abu al-Qasim al-Nisaburiy

pernah berkata, “Ilmu-ilmu al-Qur’an yang paling mulia adalah

mengenai sababun nuzul dan pembahasan Makkiyah dan

Madaniyah.123 Secara kronologis, periode turunya al-Qur’an dibagi

menjadi dua, yakni: periode Makkah (Makkiyah) dan periode Madinah

(Madaniyah). Salah satu ulama yang memberikan penjelasan tentang

kronologis Makkiyah dan Madaniyah adalah Manna’ Al-Qattan yang

tertulis dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Ada tiga pandangan yang

disampaikan oleh beliau, yakni: (1) Dari segi turunnya. Segi turun-nya

al-Qur’an dimaknai pengkategorian Makkiyah adalah pemaknaan

sebelum hijrahnya Nabi. Sedangkan Madaniyah dikategorikan

sesudah hijrahnya Nabi; (2) Dari segi tempat turunya. Makkiyah

dimaknai kota Makkah dan sekitarnya, sedangkan Madaniyah

dimaknai kota Madinah dan sekitarnya; (3) Dari segi sasarannya.

122
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Shohih Bukhari, Kitab : Jum'at, Bab :
Lamanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam Mendirikan Shalat Malam Hingga Kedua Kaki Beliau
Bengkak-bengkak. No. Hadist : 1062. Dikuatkan oleh hadis Bukhari no 4459, 4460, 5990, Muslim
no 5044, 5045, 5046, Tirmidzi no 377, Ibnu Majah no 1409, 1410, Ahmad no17488, 17528.
123
Acep Hermawan, Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016), hal. 65.
75

Makkiyah ditujukan pada penduduk Makkah, sedangkan Madaniyah

ditujukan pada penduduk Madinah.124

Surah Ibrahim sendiri merupakan surah ke 14 dalam al-Qur’an

yang terdiri dari 52 ayat yang termasuk golongan surah Makkiyah

karena diturunkan di Mekkah sebelum Hijrah. Dinamakan surah

“IBRAHIM”, karena surah ini mengandung do’a Nabi Ibrahim As.

yaitu pada ayat 35 sampai dengan 41. Do’a ini isinya antara lain:

permohonan agar keturunannya mendirikan shalat, dijauhkan dari

menyembah berhala-berhala dan agar Mekkah dan daerah sekitarnya

menjadi daerah yang aman dan makmur. Do’a Nabi Ibrahim As. ini

telah diperkenankan oleh Allah Swt. sebagaimana telah terbukti

keamanannya sejak dahulu sampai sekarang. Do’a tersebut

dipanjatkan beliau ke hadirat Allah swt sesudah selesai membina

Ka’bah bersama puteranya Isma’il As., di daerah tanah Mekkah yang

tandus.125

Surat ini mengandung berbagai hakikat pokok dalam masalah

akidah, tetapi dua hakikat besar senantiasa menaungi suasana surat

secara keseluruhan, yang keduanya merupakan dua hakikat yang

berkaitan dengan bayang-bayang Nabi Ibrahim. Kedua hakikat

tersebut adalah sebagai berikut:

124
Manna’ Al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir. Studi Ilmu-ilmu
Qur’an. (Bogor: Litera Antar Nusa, 2019) ,hal. 70.
125
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha
Putra, 1989), hal. 378.
76

a. Hakikat kesatuan risalah dan para Rasul, kesatuan dakwah

tauhid. Hal ini sejalan dengan sosok Nabi Ibrahim yang dinilai

oleh pakar sebagai pengumandang tauhid serta bapak para Nabi.

b. Hakikat nikmat Allah (yang Dia anugerahkan) kepada umat

manusia dan semakin bertambahnya nikmat jika disyukuri. Juga

penyambutan kebanyakan manusia terhadap nikmat dengan

mengekspresikan pengingkarannya.126

Analisis syukur dalam QS. Ibrahim [14]: 7 dengan

memperhatikan konteks Historis Pewahyuan (Mikro dan Makro) :

٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬
Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya
Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.127

Melihat dari konteks historis ayat ini Al-Maraghi dalam

kitabnya Tafsir Al-Maraghi mengawali pembahasan ayat ini (QS.

Ibrahim [14] : 7) dengan perkataan “Dan ingatlah, hai Bani Israil,

ketika Allah memaklumkan janji-Nya kepada kalian dengan berfirman

jika kalian mensyukuri nikmat penyelamat dan lain-lain yang aku

berikan kepada kalian, dengan menaati-Ku dalam segala perintah

dan larangan, niscaya Aku akan menambah nikmat yang telah Aku

berikan kepada kalian”.

Beliau menganalogikan syukur sebagai berikut: “bila anggota

tubuh dilatih terus menerus untuk bekerja dan berbuat, maka dapat
126
M.Quraish Shiha>b, Alquran Dan Maknanya Cet. 1 (Tangerang: Lentera Hati, 2010),
127
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
77

dipastikan akan bertambah kuat dan sehat. Tetapi apabila

diberhentikan, maka akan melemahkan ia dan berkuranglah

tenaganya. Sama halnya dengan syukur nikmat, bila kita terus

menerus mensyukurinya, maka kita akan merasakan hal yang lebih

besar dan banyak. Tetapi bila kita berhenti, tidak bersyukur, maka ia

pun akan berkurang.128 Intinya bahwa barang siapa bersyukur kepada

Allah atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya, maka Allah akan

melapangkan rezekinya. Barangsiapa bersyukur atas nikmat

kesehatan, maka Allah akan menambah kesehatannya. Dan begitulah

seterusnya.

Tidak jauh berbeda dengan al-Maraghi, HAMKA menjelaskan

dalam Tafsir al-Azhar bahwa yang menjadi mukhatab (yang

dibicarakan) dari ayat di atas adalah Bani Israil setelah dibebaskan

dari penindasan Fir’aun. Kebebasan ini merupakan hal yang patut

disyukuri. Dalam bersyukur tetaplah berusaha guna mengatasi

kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hamka menyebutkan bahwa kaum

Bani Israil harus dapat bangkit kembali tanpa mengekluh atas nikmat

yang menurut mereka sangat sedikit dan terbatas. bila mengeluh “ini

kurang” “itu tidak cukup” maka itulah yang disebut dengan kufur

melupakan nikmat Tuhan, tidak mau berterima kasih.129

128
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz XIII, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-
Halabi,) hal. 130.
129
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983), hal. 122.
78

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa

Q.S. Ibrahim [14] : 7 merupakan ayat yang turun sebelum nabi hijrah

atau termasuk dalam golongan surah Makkiyah.

5. Menggali maqsad atau maghza al-ayah

Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan-Nya

merupakan keharusan manusia, baik dilihat dari sudut fitrahnya,

maupun berdasarkan nas syarak atau hukum Islam (Al Quran dan

hadis). Manfaat yang diperoleh dari tindakan bersyukur itu sebenarnya

dirasakan manusia yang bersangkutan, antara lain untuk mengekalkan

nikmat yang ada dan menambah nikmat itu dengan nikmat lain yang

berlimpah ruah. Allah berfirman:

٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬

Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu


memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku
akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.130 (Q.S. Ibrahim
[14] : 7).

Tujuan utama ayat ini turun adalah untuk memerintahkan Nabi

Muhammad SAW agar lebih jauh mengingat juga ucapan yang lain

yang disampaikan Nabi Musa As kepada umatnya agar beliaupun

menyampaikan kepada umat Islam. Nabi Musa As berkata kepada

kaumnya: “Dan ingat jugalah nikmat Allah kepada kamu semua

tatkala Tuhan Pemelihara dan Penganugerah aneka kebajikan kepada

kamu memaklumkan: “Sesungguhnya Aku, yakni Allah, bersumpah

130
Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
79

demi kekuasaan-Ku, jika kamu bersyukur pasti Aku tambah nikmat-

nikmat-Ku. Karena itu, berharaplah yang banya dari-Ku dengan

mensyukurinya dan jika kamu kufur, yakni mengingkari nikmat-

nikmat yang telah Aku anugerahkan dengan tidak menggunakan dan

memanfaatkannya sebagaimana Aku kehendaki maka akan Aku

kurangi nikmat itu bahkan kamu terancam mendapat siksa-Ku,

sesungguhnya siksa-Ku dengan berkurang atau hilangnya nikmat itu

atau jatuhnya petaka atas kamu akan kamu rasakan amat pedih”.131

Maksudnya, apabila bersyukur atas nikmat Allah SWT, orang

akan diberi-Nya tambahan nikmat. Sebaliknya, orang yang tidak mau

bersyukur (kufur nikmat) akan mendapat siksa yang pedih.132

Pada hakikatnya, sikap syukur adalah untuk keuntungan

manusia itu sendiri. Allah tidak akan beruntung dengan sikap yang

dilakukan oleh hamba-Nya. Sebaliknya, Tuhan juga tidak akan rugi

dengan sikap kufur dan ingkar yang ditunjukkan oleh manusia.

Karena itu, orang yang bersyukur jiwanya akan semakin bersih,

bertambah dekat dengan Tuhan, dan semakin sadar bahwa nikmat itu

adalah karunia ilahi yang harus dipergunakan untuk kebaikan terhadap

sesama umat manusia. Kekayaan yang diperoleh haruslah

dipergunakan untuk kebaikan, seperti halnya menyantuni fakir miskin,

menolong orang yang dalam keadaan kesususahan, mendirikan

131
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Vol. 6,
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 329.
132
Hafizh Anshari, Syukur: Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),
hal. 329.
80

lembaga-lembaga yang bermaksud melayani kepentingan umum, dan

sebagainya. meskipun menjadi orang berpangkat harus melakukan

kebaikan terhadap bawahannya, berlaku adil, bertindak berdasarkan

peraturan, dan tidak sewenang-wenang. Selain itu dengan bersyukur,

nikmat yang diperoleh akan semakin banyak dan bertambah.

B. Konstruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis


1. Kategori Ayat
Sebagian ulama membagi kategori ayat menjadi tiga bagian

besar, yaitu: (1) ayat-ayat tentang ketauhidan, (2) ayat-ayat hukum,

dan (3) ayat-ayat tentang kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu. 133

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti terhadap penafsiran

QS. Ibrahim [14] :7, maka dapat dikatakan bahwa kategori ayat ini

termasuk dalam kategori ayat tentang kisah-kisah Nabi dan umat

terdahulu. Ayat ini mengisahkan tentang Nabi Musa yang mengajak

umatnya untuk mengenang nikmat Allah yang telah dilimpahkan

kepada mereka, yakni ketika Allah menyelamatkan mereka dari

kekejaman Fir’aun beserta para pengikutnya, yang telah menyiksa

mereka dengan siksaan yang berat, menyembelih anak laki-laki

mereka dan membiarkan anak-anak perempuan mereka hidup.

Kemudian Nabi Musa mengingatkan kepada umatnya bahwa semua

pengalaman yang telah mereka lalui itu sebenarnya merupakan cobaan

133
Sahiron Syamsuddin (ed), Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Bantul: Lembaga Ladang Kata,
2020), h. 13.
81

yang amat berat dari Allah terhadap mereka, untuk menguji keimanan

dan ketaatan mereka kepada-Nya.134

2. Pengembangan Al-Maghza Al-Tarikhi

Pada al-maghzā al-tārikhī atau pengembangan signifikansi

fenomenal historis gunanya untuk kepentingan dan kebutuhan pada

konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), di mana/ketika teks

Al-Qur’an itu ditafsirkan.135

Menurut Ibnu ‘Alan, dalam kitab Dalil Al-Falihin, Asy-Syukru

huwa sharf al-‘abdi jami’a ma an ‘amallahu ‘alaihi liajlihi (Syukur

adalah pengelolaan seorang hamba atas berbagai nikmat yang

diberikan Allah kepadanya, untuk mencapai cinta-Nya).136 Jadi, semua

nikmat yang diperoleh harus disyukuri. Dari yang namanya hidup

sampai dengan segala sesuatu yang diberikan Allah selama hidup,

dikelola dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan petunjuk dan aturan-

Nya, agar Dia meridhoi. Jika tidak pandai bersyukur (kufur nikmat),

maka silahkan tanggung akibatnya. Sebagaimana dalam firman Allah

QS. Ibrahim [14]: 7.

٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬
Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya
Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu

134
Tim IT Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, Tafsir Tahlili in MS. Word: Tafsir Lengkap
Kementerian Agama RI, (Kementerian Agama RI, 2019), Versi 1.0.
135
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 14.
136
Rif’at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, hal. 101.
82

mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”. 137


(Q.S. Ibrahim [14] : 7).

Perlu dikemukakan, bahwa syukur tidak selalu ditujukan kepada

Allah, melainkan juga ditujukan kepada sesama manusia. Dalam

Bahasa Indonesia, syukur kepada sesama manusia ini disebut

terimakasih. Islam memerintahkan umatnya untuk membalas kebaikan

orang lain dengan berterimakasih atau bersyukur. Bahkan dinyatakan

bahwa keengganan untuk bersukur kepada manusia berarti

keengganan untuk bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda:

ٍ ‫اويَةَ ع َْن اب ِْن أَبِي لَ ْيلَى ح و َح َّدثَنَا ُس ْفيَانُ بْنُ َو ِك‬


‫يع‬ ِ ‫َح َّدثَنَا هَنَّا ٌد َح َّدثَنَا أَبُو ُم َع‬
‫َطيَّةَ ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ُح َم ْي ُد بْنُ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن الرُّ َوا ِس ُّي ع َْن ا ْب ِن أَبِي لَ ْيلَى ع َْن ع‬
‫اس لَ ْم يَ ْش ُكرْ هَّللا َ َوفِي‬
َ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن لَ ْم يَ ْش ُكرْ الن‬ َ ِ ‫ل هَّللا‬Rُ ‫ال َرسُو‬ َ َ‫قَا َل ق‬
ٍ ‫ث ب ِْن قَ ْي‬
‫س‬ ِ ‫ْالبَاب ع َْن أبِي ه َُر ْي َرةَ َوا ش َع‬
ْ َ ‫أْل‬ َ
‫ص ِحي ٌح‬َ ‫يث َح َس ٌن‬ ٌ ‫ال أَبُو ِعي َسى هَ َذا َح ِد‬ َ َ‫ير ق‬ ٍ ‫َوالنُّ ْع َما ِن ْب ِن بَ ِش‬
138

Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada


kami Abu Mu'awiyah dari Ibnu Abu Laila (dalam riwayat lain). Dan
telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan
kepada kami Humaid bin Abdurrahman Ar Ruwasi dari Ibnu Abu
Laila dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id ia berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah." Hadits semakna
juga diriwyakan dari Abu Hurairah, Al Asy'ats bin Qais dan An
Nu'man bin Basyir. Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih.

Berterimakasih atas kebaikan sesama manusia sangat penting

untuk menciptakan kebaikan hidup bersama. Ia dapat membangkitkan

semangat dan tekad para pelaku kebajikan yang ikhlas dalam beramal

Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.
137

Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Sunan Tirmidzi, Kitab : Berbakti dan
138

menyambung silaturrahim, Bab : Berterima kasih kepada orang yang berbuat baik, No. Hadist :
1878
83

untuk semakin giat. Mereka melihat bahwa amal kebajikan mereka

bermanfaat untuk orang lain.139

Dalam ayat ini, Tafsir Kementerian Agama menerangkan bahwa

salah satu cara mensyukuri nikmat adalah dengan bersedekah dan

berinfak. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita lihat bahwa orang-

orang yang dermawan dan suka menginfakkan hartanya untuk

kepentingan umum dan menolong orang, pada umumnya tak pernah

jatuh miskin ataupun sengsara. Bahkan rezekinya senantiasa

bertambah, kekayaannya makin meningkat, dan hidupnya bahagia,

dicintai serta dihormati dalam pergaulan. Sebaliknya, orang-orang

kaya yang kikir atau suka menggunakan kekayaannya untuk hal-hal

yang tidak diridhai Allah seperti judi atau memungut riba, maka

kekayaannya tidak bertambah, bahkan lekas menyusut. Disamping itu,

ia senantiasa dibenci dan dikutuk orang banyak dan diakhirat

memperoleh hukuman yang banyak.140 Maka dapat dikatakan bahwa

orang mensyukuri nikmat Allah dengan bersedekah dan berinfak

rezekinya akan senantiasa ditambah oleh Allah.

Sementara itu, Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam Tafsir Al-

Maragi menjelaskan bahwa didalam hidup ini manusia wajib selalu

berada antara sabar dan syukur. Sebab, didalam hidup ini berada

dalam suatu keadaan yang dibenci yang harus dia sabar atau dalam

139
Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), hal. 433.
140
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ), (Tafsir Ringkas Al-Qur'an in MS
Word), Versi 1.0.
84

keadaan yang dicintai yang harus dia syukuri. Waktu didalam hidup

ini adalah emas. Jika kita menyia-nyiakan suatu masa dari kehidupan

ini tanpa menggunakannya utuk berbakti kepada diri, agama dan

negara kita, berarti kita telah kufur kepada nikmat, menyia-nyiakan

kesempatan, dan tidak mengambil pelajaran dari apa yang telah

menimpa umat terdahulu sebelum kita. Maka, hendaklah setiap orang

takut menyia-nyiakan hidupnya tanpa beramal dan akan kehilangan

waktu secara sia-sia. Yang sesudah itu akan datang azab dengan

cepat.141 Sebagaimana Jawwad Magniyyah mengatakan bahwa salah

satu azab yang pedih adalah akibat dari tidak bersyukur akan nikmat

yang diberikan Allah.142

Nawawi Al-Bantani menjelaskan dalam kitabnya Marah Labid

Li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid atau yang lebih dikenal dengan Kitab

Tafsir Al-Nawawi bahwasanya yang dimaksud dengan nikmat dalam

ayat di atas adalah ketika mensyukuri nikmat maka akan bertambah

nikmatnya, itu artinya ada nilai esensi ketakwaan dalam diri manusia.

Nikmat menurut Nawawi Al-Bantani terbagi menjadi 2, yaitu nikmat

jasmaniyyah dan nikmat ruhaniyyah. Nikmat jasmaniyyah yaitu

sebuah kesibukan yang dilakukan oleh anggota badan yang terus

bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat yang kemudian nantinya

akan wushul (perantara) terhadap nikmat lain yang lebih banyak.

141
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Juz VII, ter. Anshori Umar Sitanggal dkk.
(Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1987), hal. 239.
142
Muhammad Jawwad Magniyyah, al-Tafsir al-Kasyif, Jilid IV, (Beirut: Dar al-'Ilm li al-
Malayin, 1969), hal. 426.
85

Sedangkan nikmat ruhaniyyah yaitu sebuah jiwa yang tersibukkan

untuk mengulas-ngulas macam-macam karunia Allah, keindahan dzat

Allah, dari kesibukan tersebut kemudian akan menguatkan kecintaan

seorang hamba terhadap Allah, semakin sering bersyukur maka

derajat kecintaan seorang hamba akan semakin tinggi, karena nilai

syukur adalah derajat yang mulia, maka wajiblah bagi orang yang

bersyukur akan merasakan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kemudian Nawawi Al-Bantani melanjutkan penjelasannya,

bahwa ketika tidak bersyukur (kufur nikmat) merupakan suatu

kebodohan, landasan definisi kufur dinamakan dengan kebodohan

karena itu adalah sebuah azab atau siksa secara perlahan, 143 walaupun

dalam redaksi ayat di atas azab yang akan diberikan ketika kufur

nikmat adalah azab yang pedih, namun siksa yang pedih tidak

dirasakan secara langsung, melainkan dengan cara perlahan. Dalam

hal ini terdapat dua peran yaitu syakir ( ‫ ) شاكر‬dan Al-Mun’im ( ‫)المنعم‬.

Syakir secara hakikat adalah hati, lisan, dan anggota tubuh yang

memperbanyak syukur dalam jangka waktu yang lama untuk

mendatangkan sebuah syukur lain yang berasal dari nikmat yang tiada

ujungnya.144

Kata syukur yang berlawanan dengan kata kufur di dalam al-

Qur’an surat Ibrahim: 7 mengalami perkembangan yang cukup luas

143
Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid (Surabaya: Al-
Hidayah), hlm. 433.
144
Hamdan Hidayat, Makna Syukur Dalam Al-Qur’an Pada Tradisi Babarit Di Kuningan,
Al-Dzikra Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, Volume 15, No. 1, Juni Tahun 2021, hal. 81.
86

dari waktu ke waktu. Dalam konteks terdahulu, “syakara” sebagai asal

mula kata syukur diartikan sebagai upaya “menampakkan nikmat”.

Sementara “kafara” yang juga disebut kufur adalah

“menyembunyikan nikmat”. Ditafsirkan bahwa menampakkan nikmat

antara lain berarti menggunakannya pada tempatnya dan sesuai

dengan yang dikehendaki oleh pemberinya. Intinya, para mufasir

menjelaskan bahwa ayat yang disebut terakhir ini mengandung

perintah untuk mengingat Allah tanpa melupakan, patuh kepada-Nya

tanpa menodai dengan kedurhakaan. Syukur yang demikian lahir dari

keikhlasan kepada-Nya.145

Sedangkan makna syukur pada konteks sekarang memiliki

makna yang cukup luas. Kata syukur berarti pujian yang diucapkan

karena adanya sebuah kebaikan atau tambahan nikmat yang

diperoleh146, ucapan terima kasih, dan diartikan juga sebagai

“untunglah” (menyatakan lega, senang dan sebagainya). 147 Hal

tersebut terlihat pada fenomena masyarakat yang mengucapkan

syukur apabila terhindar dari musibah, mendapatkan sesuatu dan

sebagainya.

3. Mengungkap Makna Simbolik

145
Choirul Mahfud, “The Power of Syukur : Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam al-
Qur’an”, Jurnal Episteme, Vol. 9, No. 2, Desember 2014, hal. 384.
146
Mohammad Takdir, Psikologi Syukur: Perspektif Psikologi Qurani dan Psikologi Positif
untuk Menggapai Kebahagiaan Sejati (Authentic Happiness), (Jakarta: PT Alex Media
Kompuutindo, 2018), hal. 14.
147
Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3, (Jakarta: Bali Pustaka,
2002), hal. 1115.
87

Tahap selanjutnya adalah menentukan makna-makna simbolik

al-Qur’an. Seperti yang termuat dalam buku Sahiron Syamsuddin,

bahwasanya sebagaian ulama membagi makna lafal dalam al-Qur’an

menjadi empat level, yaitu: (1) zahir (makna lahiriah atau literal), (2)

batin (makna simbolik), (3) had (makna hukum), dan (4) matla’

(makna puncak atau spiritual).148 Beradasarkan Analisis yang

dilakukan peneliti terhadap tafsiran para muffasir terkait QS. Ibrahim

[14] : 7 tentang syukur, maka makna ayat ini termasuk dalam kategori

matla’ (makna puncak atau spiritual).

148
Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-
Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 16.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Makna syukur dalam QS. Ibrahim [14] : 7 dengan pendekatan Ma’nā

Cum Maghzā secara bahasa bermakna rasa terima kasih, pujian dan upaya

yang sungguh-sungguh dari manusia untuk melaksanakan seluruh perintah

Allah. Intratektualitas syukur adalah rasa terimakasih kepada Allah dengan

menggambarkan dalam benak tentang nikmat serta memanjatkan pujian

kepada sang pemberi nikmat atas keutamaan dan kebaikan yang

dikaruniakan kepada kita dan menampakkan kepermukaan disertai

pengendalian diri menerima dengan rela dan sabar atas apa yang digariskan

Allah kepada kita.

Sedangkan Intertektualitas syukur memiliki tiga bentuk syukur yaitu

syukur hati, lidah dan anggota tubuh. Pada konteks historis pewahyuan

(mikro dan makro) ayat ini merupakan ayat yang turun sebelum nabi hijrah

atau termasuk dalam golongan surah Makkiyah. Berdasarkan maqsad atau

maghza al-ayah tujuan ayat ini turun adalah untuk senantiasa bersyukur atas

nikmat yang diberikan Allah. Ayat ini termasuk dalam kategori ayat-ayat

tentang kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu. Pengembangan al-maghzā al-

tārikhī ayat ini adalah mensyukuri nikmat salah satunya dengan bersedekah

dan berinfak. Terakhir, makna syukur dalam ayat ini termasuk dalam

kategori matla’ (makna puncak atau spiritual).

89
Penafsiran ayat-ayat syukur yang tersebar dalam al-Qur’an

menginspirasi pelakunya untuk menafsirkan secara kontekstual agar tidak

terjebak pada pemahaman yang sempit dan kaku. Syukur sudah seyogianya

ditafsiri lebih bermakna dan bermanfaat secara pribadi, sosial, spiritual dan

profesional. Secara pribadi, penafsiran syukur membuat pelakunya semakin

saleh di mata Allah. Secara sosial membuat orang semakin peduli dan peka

atas masalah sosial yang ada. Secara spiritual, ayat syukur membuat kita

semakin suka mengucapkan kalimat Allah dalam rangka beriman kepada-

Nya. Secara profesional, syukur dapat ditafsirkan sesuai dengan kerja dan

kinerja masing-masing demi kesuksesan hidupnya.

Konsep syukūr dalam Alquran berdasarkan yang telah dipaparkan

menghasilkan kesimpulan bahwa Allah memberikan balasan yang baik bagi

mereka yang bersyukur, dan balasan yang buruk bagi mereka yang tidak

mau bersyukur. Allah menjadikan pahala bagi mereka yang selalu bersyukur

dan berbuat kebaikan, Allah senantiasa mensyukuri hamba-hamba-Nya

yang berbuat kebaikan dan membalasnya dengan pahala yang berlipat dari

ketaatan hamba-Nya yang sedikit. Kemudian Allah membalas ketaatan yang

sedikit dengan derajat yang tinggidi sisi-Nya, dan balasan yang paling

utama bagi orang yang bersyukur adalah Surga dan segala kenikmatan yang

ada di dalamnya. Dan balasan yang buruk bagi orang-orang yang tidak mau

bersyukur kepada Allah yaitu berupa azab yang pedih.

2
B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian makna syukur pada QS. Ibrahim

[14] : 7 dengan pendekatan Ma’nā Cum Maghzā, penulis berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Namun dalam

penulisan skripsi ini sumber yang diperoleh penulis sangat sedikit. Untuk itu

penulis menyarankan bagi para pembaca yang ingin memperdalam

diharapkan agar membaca dari sumber referensi lainnya dan penulis

berharap makna syukur ini perlu diteliti lagi menggunakan analisis atau

pendekatan lainnya agar wawasan mengenai kajian ini dapat berkembang

dan lebih berguna untuk masyarakat islam maupun masyarakat umum

lainnya.

Anda mungkin juga menyukai