Anda di halaman 1dari 9

EKONOMI ISLAM

“Prinsip Konsumsi Islam”

Di Susun

Kelompok BO

Semester I PS Unggulan

Ø Dwi Adinda

Ø Firmansyah Yudi

Ø Heriyanti

Ø Husna

Ø Khairun Naziha

Ø Muhammad Fajar Syahbani

Ø Muhammad Ridho Nst

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

JAMAIYAH MAHMUDIYAH

TANJUNG PURA

LANGKAT

T.A 2016
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Konsumsi

Konsumsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to consume yang berarti memakai atau menghabiskan,
dan dari bahasa Belanda, consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau
menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan secara langsung.[1]

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.[2] Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan),
maka dia disebut pengecer atau distributor.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Konsumsi adalah Pemakaian sumber
daya yang ada untuk mendapatkan kepuasan atau utility. Dan konsumen adalah orang yang
melakukan kegiatan konsumsi.

2.2. Tujuan konsumsi

Tujuan utama konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada
Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam
ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bernilai ibadah yang dengannya
manusia mendapatkan pahala.

Konsusmsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan
dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat
kemampuannya dalam mengkonsusmsi.

Konsep konsumen adalah raja menjadi arah bahwa aktifitas ekonomi khususnya produksi untuk
memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan kadar relatifitas dari keinginan konsumen, dimana
Al-Qur ‘an telah mengungkapkan hakekat tersebut dalam firman-Nya:

Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka
Makan seperti makannya binatang. Dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka. (Muhammad: 12)
[3]

Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di
konsumsinya. Para fuqaha’ menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan, yaitu:
[4]

1. Wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan
tidak mengkonsusmsi kadar ini padahal mampu yang berdampak pada dosa.

2. Sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari
kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa.
3. Mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang.

4. Konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada
yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram.

2.3. Dasar Hukum Perilaku Konsumen

Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusi dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat
melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan
hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan
membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.

Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang
khalifaf agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan
yang telah diberikan kepada sang khalifah adalah kegiatan ekonomi dan lebih sempit lagi kegiatan
konsumsi. Islam mengajarkan kepada sang khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapat
keridhaan dari Allah SWT.

Adapun dasar hokum konsumsi dalam Islam antara lain;[5]

a. Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an yang menjadi dasar hokum konsumsi adalah surat Al-A’raaf ayat 31 yang artinya:
“….makan dan minumlah,namun janganlah berlebih-lebih,sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.” Dalam ayat tersebut jelah bahwa Allah memerintahkan kita untuk
makan dan minum. Namun dalam melakukan konsumsi islam melarang untuk bersikap berlebihan,
karana sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

b. As-Sunnah

Dari Abu Said Al-chodry berkata; “ketika kami bepergian bersama Nabi SAW, mendadak dating
seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan dan kekiri seolah-olah mengharapkan bantuan
makanan, maka, Nabi bersabda; “siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan
pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus
dibantukan kepada orang yang tak berbekal.” Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis
kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan
hajatnya. (H.R. Muslim). Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa kita boleh melakukan
konsumsi, namun tidak boleh lebih dari apa yang kita butuhkan. Dan kita harus berbagi dengan
orang lain yang tak punya.

c. Ijtihad para Ahli Fiqh

Ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu
persoalan syariat.
2.4. Prinsip Konsumsi Dalam Islam

Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan materi yang luar biasa sekarang ini,
untuk mengurangi energy manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan batiniah
yang bukan perluasan lahiriah telah dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi
semangat modern dunia barat sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan
batin, namun rupanya mengalihkan tekanan kea rah perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material.
Dalam ekonomi Islam, konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar, antara lain;

1. Prinsip Keadilan

Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari reaeki secara halal dan tidak
dilarang hokum. Dalam soal makanan dan minuman, yang dilarang adalah darah,daging binatang
yang telah mati sendiri,daging babi dan daging binatang yang ketika disembelih tidak disebutkan
nama selain Allah, seperti yang tertulis dalam al-Qur’an surat Albaqarah ayat 173. Tiga golongan
pertama yang dilarang karena hewan-hewan itu berbahaya bagi tubuh, sebab yang berbahaya bagi
tubuh juga berbahaya bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung
membahyakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan Allah.
Kelonggaran diberikan kepada orang-orang yang terpaksa dan bagi orang-orang yang pada suatu
ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu
sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhan saat itu juga.

2. Prinsip Kebersihan

Syarat yang ke dua ini tercantum dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang makanan. Makanan
yang akan dikonsumsi haruslah baik dan cocok untuk dimakan, yang berarti tidak kotor ataupun
menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan
dan diminum dalam semua keadaan.

Prinsip ini memiliki manfaat bagi kesehatan, karena bila semua orang menerapkan prinsip ini denga
baik maka akan kecil kemungkinan tubuhnya terkena penyakit. Dengan makan makanan yang bersih
badan akan menjadi sehat dan tentunya akan tumbuh jiwa yang kuat. Dengan tubuh dan jiwa yang
kuat tentunya orang muslim tidak akan terhalang dalam melakukan ibadah sehari-hari. Selain itu
kebersihan juga merupakan sebagian dari iman.

3. Prinsip Kesederhanaan

Prinsip ini mengatur perilaku manusia dalam melakukan konsumsi. Dalam prinsip ini diajarkan
bahwa tidak baik bila seseorang itu berlebihan. Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat Al-
Maidah ayat 87, yang artinya; “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas”. Arti penting
dalam ayat ini adalah kurang maka adalah dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh,
demikian juga bila perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya bagi perut. Maka
hendaklah orang-orang muslim hidup sederhana saja. Baik itu dalam makanan ataupun dalam
belanja sehari-hari. Karena dengan hidup sederhana tidak akan menjadikan seseorang bersikap
sombong terhadap yang lain. Hendaklah kebutuhan hidup dipenuhi sesuai dengan tingkat
kebutuhannya, yang berarti tidak membelanjakan harta untuk barang-barang yang tidak perlu.

4. Prinsip Kemurahan Hati


Dengan menaati perintah Islam yang tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan
meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hatinya. Selama maksudnya
adalah untuk kelangsungan hidup dan dan kesehatan yang lebih baik, dengan tujuan untuk
menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya. Kemurahan hati Allah
tercermin dari Qs.Almaidah ayat 93, yang artinya; “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan
makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam
perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.
Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan. Dari ayat ini dapat
diambil kesimpulan bahwa, hendaknya seseorang senantiasa bersyukur atas kemmurahan hati Allah.
Karena dengan kemurahannya kita dapat makan dan minum makanan yang lezat, dimana itu
merupakan kebutuhan pokok dalam hidup. Dan dengan prinsip ini tidak akan menjadikan manusia
lupa bahwa semua kenikmatan yang didapat adalah berasal dari Allah karena kemurahan hati-Nya.

5. Prinsip Moralitas

Prinsip ini menekankan pada tujuan akhir dalam konsumsi, yaitu bukan hanya sekedar terpenuhinya
kebutuhan tubuh, melainkan untuk peningkatan nilai-nilai moral dan spiritual. Seseorang muslim
diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan, dan berterimakasih kepada-Nya setelah
makan. Dengan demikian ia akan measakan kehadiran Tuhan pada waktu memenuhi keinginan-
keinginan fisiknya. Hal ini sangat penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup
material dan spiritual yang seimbang.

2.5. Teori Konsumsi Dalam Islam

Barang-barang kebutuhan dasar dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang mampu
memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan
yang nyata dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat didefinisikan sebagai
semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri ataupun untuk sesuatu yang
sebenarnya tidak memberikan peubahan yang berarti bagi kehidupan konsumen.

Lebih lanjut Chapra mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki proporsi
kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda, dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu
kebutuhan tidak bergantung pada proporsi sumberdaya yang dialokasikan kepada masing-masing
konsumsi. Semakin banyak sumberdaya masyarakat yang digunakan untuk konsumsi dan produksi
barang barang dan jasa mewah, semakin sedikit sumberdaya yang tersedia untuk pemenuhan
kebutuhan dasar. Dengan demikian, meski terjadi peningkatan pada konsumsi agregat, ada
kemungkinan bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk miskin, jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari
ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebuuhan barang-barang mewah.

Fungsi konsumsi dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak memperhitungkan komponen-


komponen konsumsi agreget ini. Yang lebih banyak dibicarakan dalam ilmu ekonomi konvensional
terutama mengenai pengaruh dan tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat
memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran
yang substansi dalam menentukan konsumsi agregat. Ada sejumlah factor moral, social ,politik,
ekonomi dan sejarah yang mempengaruhi pengalokasiannya pada masing-masing konsumen.
Dengan demikian faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi pendapatan dan
kekayaan, perkembanga sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tetunya tidak dapat
diabaikan dalam analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom muslim, diantarnya; Zarqa, monzer Kahf, M.M Metwallay, Fahim khan, M.A.
Manan, M.A choudury, munawar iqbal, dan lain-lain telah beruha memformalisaikan fungsi
konsumsi yan g mencerminkan factor- factor tambahan ini meskipun tidak seluaruhnya, mereka
beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup mengurangi tingkat konsumsi barang mewah
yang dilakukan oleh orang kaya. Diperlukan cara untuk mengubah sikap, selera preferensi,
memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan social yang memandang buruk
konsumsi sseperti itu. Disamping itu perlu juga untuk menyediakan sumberdaya bagi penduduk
miskin guna meningkatkan daya beli atas barang dan jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar. Hal
inilah yang mencoba dipenuhi oleh paradigm religious, khusunya Islam, dengan menekankan
perubahan individu dan social melaui reformasi moral dan kelembagaan.

Norma konsumsi Islami mungkin dapat memmbantu memberikan orientasi prefensi individual yang
menentang konsumsi barang-barang mewah. Dan bersama denga jaringan pengaman social, zakat,
serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumberdaya yang dapat
meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar. Produsen kemudian
mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan kepada
produksi barang-baranng yang terkait dengan kebutuhan dasar.

2.6. Prinsip Konsumsi menurut Islam

Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan
sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa
mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak
atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur`an Allah
SWT mengutuk dan membatalkan argument yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena
ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[6]

Bila dikatakan kepada mereka, “ belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu,”
orang-orang kafir itu berkata, “ apakah kami harus member makan orang-orang yang jika Allah
menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.” ( QS 36 : 47 )

Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi
dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen
untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akherat.[7]

Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut :

1. Prinsip Keadilan.

Syarat ini mengandung arti ganda bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak
dilarang hukum. Misalnya dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging
binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan
nama selain nama Allah, ( Q.S Al- Baqarah 2 : 173 ). Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-
hewan ini berbahaya bagi tubuh sebab yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa.
Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahayakan moral dan
spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan tuhan. Kelonggaran diberikan
bagi orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan
untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk
kebutuhannya ketika itu saja.

2. Prinsip Kebersihan.

Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor,
tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia.

3. Prinsip Kesederhanaan.

Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip
tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi
sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak
permintaan maka semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan,
penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi
permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang
moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar dan
proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk semua bisa tercipta.

4. Prinsip kemurahan hati.

Makanan, minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti
kemurahanNya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan kesehatan
yang lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus
dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan
makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita
berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.

5. Prinsip moralitas.

Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual.
Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan menyatakan
terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi
kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup
material dan spiritual yang berbahagia.[8]

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi
dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen
untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akherat.

Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut :

1. Prinsip keadilan.

2. Prinsip Kebersihan.

3. Prinsip Kesederhanaan.

4. Prinsip kemurahan hati.

5. Prinsip moralitas.

Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan
keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan
Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral,
ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama.

Dapat kita simpulkan Perilaku konsumen dalam ekonomi islam diantaranya harus meliputi :

1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, Prinsip ilmu, Prinsip amaliah.

2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat
Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan
harta,

3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar
tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, Sekunder, dan Tersier,

4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta


keharmonisan hidup dalam masyarakat,

DAFTAR PUSTAKA

· Asmuni Solihan ,Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, Jakarta, Khalifa, 2010.

· Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005.

· Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Solo, PT. Era Adicitra Intermedia, 2011.

· Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2010.

· Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

· Muhammad, Drs.. Ekonomi Mikro (Dalam Persfektif Islam). Yogyakarta : BPFE. 2005

· Mannan, M.A. Teori dan Prakrtek Ekonomi Islam (Edisi Terjemahan). Jakarta : Erlangga. 2000.
Kahf, Monzer, Ph. D. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam),
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1995 ogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1997

· Suprayitno, Eko Ekonomi islam (Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan


Konvensional,Yogyakarta. : Graha Ilmu . 2005

· Chapra. DR. M. Umer Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta : Gema Insani Press : 2000

· Depag, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, Surabaya, CV. Penerbit Fajar Mulya,1998

· Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Yogyakarta, Ekonosia, 2003

· Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Jakarta, Erlangga, 2000

· Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE, 2005

· Muhammad Nejetullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1991

[1] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (Yogyakarta: BPFE, 2005), 162

[2] Ibid, 164

[3] Depag, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Surabaya: CV. Penerbit Fajar Mulya,1998), 503

[4] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), 57

[5] Muhammad, Drs.. Ekonomi Mikro (Dalam Persfektif Islam). Yogyakarta : BPFE. 2005

[6] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005, hlm 92

[7] Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 44.

[8] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2005, hlm 93-94

Anda mungkin juga menyukai