Anda di halaman 1dari 12

Available at http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.

php/jie
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 51-62

Fatwa dan Problematika Pentapan Hukum Halal Di Indonesia

Muchamad Fauzi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islamm Universitas Islam Negeri Walisongo, Indonesia
*Email korenpondensi: mfuz73@gmail.com

Recieved 06-12-2017 | Revised 17-03-2018 | Accepted 28-03-2018

Abstrak
Sebagai konsekwensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan, maupun aktifitas baru sebagi produk
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimanakah
kedudukan hal tersebut dalam pandangan ajaran dan hukum Islam. Salah satu persoalan yang cukup
mendesak yang dihadapi umat adalah membanjirnya perusahaan yang memproduksi makanan
minuman olahan yang belum jelas kehalalanya, disamping itu ditemukanya perusahaan yang telah
mendapatkan sertifikasi halal namun tidak mematuhi prosedur yang telah ada, Umat, dengan sejalan
ajaran Islam, menghendaki agar produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin kehalanya dan
kesucianya. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah
agama dan hukumnya adalah wajib. Tulisan ini difokuskan untuk membahas beberapa hal: 1)
konsepsi hukum halal haram, 2) Konsepsi pangan halal dalam perundangan Indonesia, 3) lembaga-
lembaga fatwa dalam penetapan hukum halal-haram

Kata Kunci: Hukum, Penetapan halal, Fatwa Halal.

Saran sitasi: Fauzi, M. (2018). Problematika penentuan fatwa hukum halal Di indonesia. Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 51-62. doi:http://dx.doi.org/10.29040/jiei.v4i1.141

DOI: http://dx.doi.org/10.29040/jiei.v4i1.141

1. Pendahuluan sebagian besar ajaran agama bersumber dari fikih,


seperti bagaimana tata cara bersuci, salat yang
Reaktualisasi hukum Islam dapat dilakukan
sah, berpuasa, berhaji, maupun bagaimana sehar-
melalui pemberdayaan fikih dengan memahami
usnya seorang muslim mengkonsumsi makanan,
bahwa fikih merupakan hasil produk pemikiran
obat-obatan, minuman dan bagaimana seorang
para ulama yang dipengaruhi oleh aspek sosio-
muslim bertransaksi sesuai tuntunan syariat.
kultural yang menyertainya. Produk pemikiran
Fatwa merupakan salah satu produk pemi-
itu dijadikan sebagai suatu perangkat untuk
kiran hukum Islam yang merupakan respon dari
mengatasi persoalan-persoalan keagamaan yang
suatu permasalahan Sedangkan permasalahan
berdimensi ibadah, muamalah. hukum keluarga,
terus bertambah seiring berkembangnya kehi-
politik, ketatatnegaraan, perdata dan pidana.
dupan manusia di segala bidang. Oleh karena itu
sebab dapat dikatakan bahwa kajian kitab-kitab
banyak persoalan baru yang memerlukan
fikih berkutat pada aspek-aspek ini. Umumnya
keputusan hukumnya atas dasar syari’ah, atau
kalangan umat muslim cenderung berasumsi
dengan kata lain memerlukan fatwa. Jaminan
bahwa produk pemikiran fikih dianggap sebagai
mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan
agama, karena pengamalan dan penerapan
sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepas-
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 52
tian hukum, akuntabilitas dan transparansi, “Barang siapa yang terjerumus ke dalam
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram.”
Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Maka, wajarlah jika umat Islam sangat berke-
Produk Halal bertujuan memberikan kenya- pentingan untuk mendapat ketegasan tentang
manan, keamanan, keselamatan, dan kepastian status hukum produk-produk tersebut, sehingga
ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat apa yang akan mereka konsumsi tidak menim-
dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, bulkan keresahan dan keraguan. Dengan demi-
serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku kian, Tulisan ini difokuskan untuk membahas
Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk beberapa hal: 1) konsepsi hukum halal haram, 2)
Halal (www. hukumonline.com, 2017). Konsepsi pangan halal dalam perundangan
Tujuan tulisan penelitian tersebut menjadi Indonesia, 3) lembaga-lembaga fatwa dalam
penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan penetapan hukum halal-haram.
dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan
2. Metode Penelitian
kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu
berpengaruh secara nyata pada pergeseran Metode yang digunakan dalam penelitian ini
pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk adalah sebagai berikut: penelitian pustaka (lib-
makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta rary research), yaitu jenis penelitian yang
produk lainnya dari yang semula bersifat seder- mengkaji berbagai kepustakaan yang berkaitan
hana dan alamiah menjadi pengolahan dan dengan pokok pembahasan tentang konsepsi
pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu fatwa yang berlaku dan beberapa kaidah penen-
pengetahuan. Pengolahan produk dengan tuan fatwa. penelitian ini bersifat deskriptif-
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan analitik, yakni suatu bentuk penelitian yang
teknologi memungkinkan percampuran antara meliputi proses pengumpulan dan penyusunan
yang halal dan yang haram baik disengaja data, kemudian data yang telah terkumpul dan
maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk tersusun tersebut dianalisis dengan menggunakan
mengetahui kehalalan dan kesucian suatu produk, teori-teori yang mendasari penulisan dalam
diperlukan suatu kajian khusus yang membutuh- penelitian ini, sehingga diperoleh pengertian data
kan pengetahuan multidisiplin, seperti pengeta- yang jelas. Adapun pendekatan yang dipakai
huan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik adalah pendekatan sUshul fiqih, yaitu suatu ilmu
industri, biologi, farmasi, dan pemahaman ushul fiqih diposisikan sebagai the way to think,
tentang syariat. artinya ushul fiqih dijadikan cara atau metode
Produk-produk olahan, baik makanan, minu- untuk menggali suatu hukum terhadap proses
man, obat-obatan, maupun kosmetika, kiranya penelitian atau ushul fiqih sebagai kaca mata
dapat dikategorikan ke dalam kelompok musy- untuk melihat data, kemudian data tersebut
tabihat (syubahat), apalagi jika produk tersebut dianalisis dengan kaca mata ushul fiqih.
berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas 3. Hasil dan Pembahasan
nonmuslim, sekalipun bahan bakunya berupa 3.1 Konsepsi hukum halal haram
barang suci dan halal. Sebab, tdak tertutup Islam adalah agama yang toleran, tidak
kamungkinan dalam proses pembuatanya ter- memberatkan umatnya. Oleh karena itu semua
campur atau menggunakan bahan-bahan yang jenis makanan dan minuman pada dasarnya
haram atau tidak suci. adalah halal, kecuali hanya beberapa saja yang
Dengan demikian, produk-produk olahan diharamkan. Menurut Dahlan et. al. (1996),
tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan dalam ensiklopedi hukum islam dikatakan bahwa
persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan “yang haram itupun bisa menjadi halal dalam
besar dan serius. Terlebih lagi jika mengingat keadaan darurat. Sebaliknya, yang halal pun bisa
lanjutan hadits diatas yang menyatakan bahwa
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 53
menjadi haram bila dikonsumsi melampaui batas agama. Jika menimbulkan larangan dari agama,
(israf)”. engertian halal dan haram ini sesung- contohnya seperti daging babi, darah, dan bang-
guhnya bukan hanya menyangkut kepada kai, maka itu adalah makanan yang diharamkan.
masalah makanan dan minuman saja, tetapi juga Kemudian dalam hal ini, diperintahkan juga
menyangkut perbuatan. Dari sinilah, baik halal bahwa janganlah mengikuti langkah-langkah
maupun haram, dibagi menjadi dua, yaitu: setan. Sebab setan akan menjerumuskan manusia
a. Dzat atau Substansi Barangnya sedikit demi sedikit (Shihab, 2002).
Makanan yang dimaksud halal dzatnya Sayyid Quthb menjelaskan makanan yang
adalah segala makanan yang secara material atau diperbolehkan atau yang halal dari apa-apa yang
fisik adalah halal. Contohnya: nasi, sayuran dan ada di bumi kecuali yang sedikit dilarang karena
lain sebagainya (Dahlan et. al., 1996). Demikian berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
juga, makanan yang haram adalah segala hal- hal yang membahayakan dan telah dite-
makanan yang secara material adalah haram. gaskan dalam nash syara‟ adalah terkait dengan
Seorang muslim yang taat sangat memperhatikan akidah, sekaligus bersesuaian dengan fitrah alam
makanan yang dikonsumsinya. Islam membe- dan fitrah manusia. Allah menciptakan apa-apa
rikan tuntunan agar setiap muslim hanya makan yang ada di bumi bagi manusia. Oleh sebab itu,
dan minum yang halal dan thoyyib atau baik Allah menghalalkan apa yang ada di bumi, tanpa
untuk tubuhnya artinya makanan yang sehat pembatasan tentang halal ini kecuali masalah
secara spiritual dan juga higienis. khusus yang berbahaya. Apabila yang di bumi ini
Mengkonsumsi makanan yang diperoleh tidak dihalalkan maka hal ini melampaui daerah
dengan cara yang tidak halal, itu berarti tidak keseimbangan dan tujuan diciptakannya bumi
halal secara spiritual dan sangat berpengaruh untuk manusia (Quthb, 2004).
negatif terhadap kehidupan spiritual seseorang. Al-Qardhawi (2013) telah menggariskan
Darah yang mengalir dalam tubuhnya menjadi beberapa prinsip dalam penentuan halal haram,
sangar, sulit memperoleh ketenangan, hidupnya yaitu:
menjadi beringas, tidak pernah mengenal puas, 1) Asal segala sesuatu adalah harus (mubah)
tidak pernah tahu bersyukur, ibadah dan do‟anya 2) Penentuan halal dan haram adalah hak Allah
sulit diterima Allah (Al- Asyhar, 2003). 3) Mengharamkan yang halal dan menghalalkan
b. Cara Mendapatkanya. yang haram sama dengan syirik
Halal dalam mendapatkanya maksudnya 4) Perkara yang halal menafikan keperluan
adalah benar dalam mencari dan memperolehnya. kepada yang haram
Tidak dengan cara yang haram dan tidak pula 5) Wasilah atau helah untuk melakukan yang
dengan cara yang bathil (Al- Asyhar, 2003). haram adalah haram
Halal dalam mendapatkanya inilah yang nanti 6) Niat yang baik tidak dapat menghalalkan
pada waktu kiamat akan ditanya atau dimintakan yang haram
pertanggungjawabanya. Makanan yang pada 7) Menghindari syubhat agar tidak jatuh ke
dasarnya dzatnya halal, namun cara mempe- dalam yang haram
rolehnya dengan cara haram seperti: hasil riba, 8) Halal dan haram itu adalah bersifat universal
mencuri, menipu, hasil judi, hasil korupsi dan 9) Keadaan darurat membolehkan yang haram
perbuatan haram lainya, maka secara otomatis Islam merupakan agama yang sangat meni-
berubah status hukumnya menjadi makanan tikberatkan perkara yang baik dan buruk.
haram. Dalil–dalil tentang makanan dan minu- Timbulnya halal dan haram di dalam Islam
man halal diantaranya Al-Baqarah ayat 168. adalah sebagai panduan bagi manusia untuk
Quraish Shihab memaparkan makanan yang mengenal pasti sesuatu yang baik ataupun buruk.
halal adalah makanan yang tidak haram, artinya Namun begitu Islam bukanlah sebuah agama
ketika dimakan tidak menimbulkan larangan oleh yang rigid, dalam sesetengah keadaan, sesuatu
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 54
perkara yang dicegah akan dibenarkan untuk belum semua terjamin kehalalannya. Sementara
melakukannya demi meraih kemaslahatan manu- itu, berbagai peraturan perundang-undangan
sia dan menjaga maqasid al-syariah. Walau yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan
bagaimanapun kelonggaran kepada yang haram Produk Halal belum memberikan kepastian dan
tidak boleh dilakukan dengan sewenang- jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh
wenangnya. Ini kerana kewajiban di dalam karena itu, pengaturan mengenai Jaminan Produk
mencari sesuatu yang halal merupakan kefarduan Halal perlu diatur dalam satu undang-undang
bagi umat Islam. yang secara komprehensif mencakup produk
3.2 Konsepsi pangan halal dalam perunda- yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait
ngan Indonesia dengan makanan, minuman, obat, kosmetik,
Produk- produk olahan, baik makanan, produk kimiawi, produk biologi, dan produk
minuman, obat-obatan, maupunkosmetika, kira- rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipa-
nya dapat dikategorikan dalam kelompok muta- kai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh
syabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut masyarakat (www. hukumonline.com, 2017).
berasal dari negeriyang penduduknya mayoritas Penetapan kehalalan produk pangan halal
nonmuslim, sekalipun bahan bakunya berupa- telah dijelaskan pada pasal 33. Berikut pene-
barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup tapannya (www. hukumonline.com, 2017):
kemungkinan dalam proses pembuatannya ter- a. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh
campur atau menggunakan bahan-bahan yang MUI.
haram atautidak suci. b. Penetapan kehalalan Produk sebagaimana
Dengan demikian, produk-produk olahan dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan Sidang Fatwa Halal.
persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan c. Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana
besar. Maka wajarlah jika umat Islam sangat dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan
berkepentingan untuk mendapatkan ketegasan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau
tentang status hukum produk-produk tersebut, instansi terkait.
sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak d. Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud
menimbulkan keresahan dan keraguan. Untuk itu pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk
di Indonesia, dengan mayoritas umat Islam, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
mereformulasikan undang-undang mengenai pro- MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau
duk halal dan layak dikonsumsi, yaitu: pengujian Produk dari BPJPH.
1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 e. Keputusan Penetapan Halal Produk sebagai-
Tentang Jaminan Produk Halal mana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani
Undang-Undang Dasar Negara Republik oleh MUI.
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara f. Keputusan Penetapan Halal Produk
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
untuk memeluk agamanya masing-masing dan disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi
untuk beribadah menurut agamanya dan keper- dasar penerbitan Sertifikat Halal.
cayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk 2. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang
agama beribadah dan menjalankan ajaran Pangan
agamanya, negara berkewajiban memberikan Pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
pelindungan dan jaminan tentang kehalalan ini menjelaskan bahwa yang dimaksud pangan
Produk yang dikonsumsi dan digunakan masya- adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
rakat. hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan
banyak produk yang beredar di masyarakat atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 55
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik
bahan lain yang digunakan dalam proses yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi
penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan manusia, hewan yang dimakan manusia, dan
makanan atau minuman. Lebih lanjut lingkungan; dan pada pasal 110, Setiap orang
menjelaskan panganan olahan, yaitu makanan dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
atau minuman hasil proses dengan cara atau mempromosikan produk makanan dan minuman
metode tertentu dengan atau tanpa bahan tam- dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan
bahan. dan minuman hasil olahan teknologi dilarang
Undang-undang Pangan ini memiliki tujuan, menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau
yaitu: a). tersedianya pangan yang memenuhi yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan
persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kebenarannya. Pasal 111 ayat (1) Makanan dan
kepentingan kesehatan manusia; b). terciptanya minuman yang dipergunakan untuk masyarakat
perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung harus didasarkan pada standar dan/atau persya-
jawab; dan c). terwujudnya tingkat kecukupan ratan kesehatan. Hal ini mensyaratkan bahwa
pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau makanan dan minuman hanya dapat diedarkan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. setelah mendapat izin edar sesuai dengan
Selanjutnya, pada pasal 6 UU Pangan ini ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat
mensyaratkan pada setiap orang yang bertang- 2).
gung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan Pada ayat 3 pasal 111 menyatakan bahwa
atau proses produksi, penyimpanan, pengang- setiap makanan dan minuman yang dikemas
kutan, dan atau peredaran pangan wajib: a). wajib diberi tanda atau label yang berisi: a).
memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan Nama produk; b). Daftar bahan yang digunakan;
atau keselamatan manusia; b). Menyeleng- c). Berat bersih atau isi bersih; d). Nama dan
garakan program pemantauan sanitasi secara alamat pihak yang memproduksi atau mema-
berkala; dan c). menyelenggarakan pengawasan sukan makanan dan minuman kedalam wilayah
atas pemenuhan persyaratan sanitasi. Bagi Indonesia; dan e). Tanggal, bulan dan tahun
produsen makanan maupun minuman di kadaluwarsa. Kemudian disyaratkan lagi pada
Indonesia dituntut, tidak hanya memenuhi rasa ayat 4, pemberian tanda atau label sebagaimana
aman bagi masyarakat muslim, melainkan secara dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara
medis dan layak dikonsumsi sesuai dengan benar dan akurat.
peraturan perundangan Indonesia. 4. Undang-undang Perlindungan Konsumen
3. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Menurut UU No.8 Tahun 1999 tentang
Kesehatan perlindungan konsumen, yang dimaksud dengan
Menurut UU No. 36 Tahun tentang perlindungan konsumen adalah segala upaya
Kesehatan pasal 47 menyatakan upaya kesehatan yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan memberi perlindungan kepada konsumen. Seba-
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan gaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 1
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pe-
menyeluruh, dan berkesinambungan. Selanjutnya, ngertian konsumen adalah setiap orang pemakai
dirinci pada pasal 48, salah satu kegiatan upaya barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam
kesehatan adalah pengamanan makanan dan masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
minuman. Lebih lengkap lagi pada pasal 109, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
pengamanan ini berlaku pada setiap orang dan tidak untuk diperdagangkan (Team
dan/atau badan hukum yang memproduksi, Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang,
mengolah, serta mendistribusikan makanan dan 2008).
minuman yang diperlakukan sebagai makanan
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 56
Dalam bukunya, Pengantar Hukum Bisnis, (mengizinkan) umatnya untuk mengikuti sunnah
Munir Fuady mengemukakan bahwa konsumen mereka (para sahabat dan Khulafaur Rasyidin)
adalah pengguna akhir (end user) dari suatu (al‐Qardawi , 1996).
produk yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa Hal tersebut, menjadikan umat Islam harus
yang tersedia dalam masyarakat.Baik bagi mengkaji ulang peryataan‐peryataan dan penda-
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, pat‐pendapat lama mengenai hukum‐hukum
maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk (kemasyarakatan) yang telah ditetapkan para
diperdagangkan. Selanjutnya dalam pasal 1 muftii terdahulu, karena boleh jadi pendapat‐
Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang pendapat yang sesuai dengan suatu zaman dan
dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap kondisi, disebabkan adaya perubahan yang
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang terjadi kemudian, menjadikan pendapat tersebut
berbentuk badan hukum maupun bukan badan tidak sesuai lagi untuk zaman dan kondisi
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau setelahnya (al‐Qardawi , 1996).
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum 2. Fatwa bersifat meringankan, tidak
Republik Indonesia, baik sendiri maupun memberatkan; memudahkan dan tidak
bersama-sama melaui perjanjian, menyeleng- mempersulit.
garakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang Di antara pemberian kemudahan yang
ekonomi (Team Administrasi Niaga Politeknik dituntut dalam hal fatwa ini adalah pengakuan
Negeri Semarang, 2008). terhadap kebutuhan hidup yang mendesak, baik
3.3 Konsepsi fatwa dalam sistem hukum keperluan individual maupun sosial. Untuk
nasional keperluan ini, syari’ah menurunkan hukum‐
Fatwa merupakan salah satu produk hukumnya yang spesifik. Dengan hukum‐hukum
pemikiran hukum Islam yang merupakan respon itu pula, sesuatu yang pada hakikatnya diharam-
dari suatu permasalahan Sedangkan perma- kan dapat dihalalkan. Misalnya, dalam kondisi
salahan terus bertambah seiring berkembangnya darurat, makanan, pakaian, perjanjian dan
kehidupan manusia di segala bidang. Oleh muamalah tertentu yang diharamkan menjadi
karena itu banyak persoalan baru yang memer- diperbolehkan. Adapun dasar pemberian kemu-
lukan keputusan hukumnya atas dasar syari’ah, dahan tersebut adalah Q.S. al-Baqarah (2): 173,
atau dengan kata lain memerlukan fatwa. yang menyatakan bahwa kemudahan diperun-
Dalam fatwa, berlaku beberapa kaidah. tukkan bagi orang yang memakan makanan yang
Beberapa kaidah fatwa yang antara lain diin- diharamkan karena keadaan terpaksa sementara
trodusir Yusuf al‐Qardawi dalam Fiqih Prioritas‐ ia sendiri sebenamya tidak menginginkannya,
nya adalah: dan tidak melebihi batas keperluan.
1. Fatwa berubah sejalan dengan perubahan 3. Fatwa harus memperhatikan hukum
situasi dan kondisi; penahapan.
Salah satu karakteristik fatwa adalah adanya Di antara pemberian kemudahan yang
pengakuan terhadap perubahan yang terjadi pada dituntut dalam menetapkan fatwa adalah mam-
manusia, apakah hal itu disebabkan perubahan perhatikan hukum penahapan, sejalan dengan
zaman, perkembangan masyarakat ataupun sunatullah dalam penciptaan makhluk, serta
karena munculnya berbagai tuntutan baru. metode penetapan syari’at Islam seperti dalam
Dengan demikian perubahan fatwa diperboleh- menetapkan: kewajiban salat, puasa, dan lainya,
kan karena perubahan ruang dan waktu, ataupun larangan‐larangan. Fatwa dapat diartikan
kebiasaan‐kebiasaan, dan kondisi masyarakat. sebagai jawaban atas permasalahan‐permasa-
Perubahan fatwa ini didasarkan pada perbuatan‐ lahan syari’ah ataupun perundang‐ undangan
perbuatan para Sahabat dan Khulafaur Rasyidin, yang belum jelas.
karena pada dasamya Nabi SAWmemerintahkan
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 57
Sedangkan menurut Yusuf al‐ Qardawi, produk hukum Islam memegang peranan pen-
pengertian fatwa dalam istilah ada1ah: ʺmene- ting, karena berusaha menangkap aspirasi hukum
rangkan hukum syara’ tentang suatu persoalan masyarakat yang tumbuh dan berkembang,
sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik bukan hanya yang bersifat kekinian melainkan
penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik juga sebagai acuan dalam mengantisipasi
perorangan maupun kolektifʺ (al-Dardawi, 1999). perkembangan sosial, ekonomi dan politik di
Fatwa sendiri merupakan salah satu metode masa depan, dengan tetap berpegang pada nilai‐
dalam al‐ Qur’an al‐Karim dan as‐Sunnah ketika nilai ajaran Islam.
menerangkan hukum‐ hukum syara’. Kadang‐ 3.4 Lembaga-lembaga fatwa dalam
kadang penjelasan tersebut diberikan tanpa menetapkan hukum halal-haram
adanya pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara 3.4.1 Epistimologi penetapan hukum halal
ini merupakan yang dominan terdapat dalam al‐ Muhammadiyah
Qur`an baik Indonesia belum dapat berperan Sumber fatwa di kalangan Muhammadiyah
secara menyeluruh. adalah al-Qur’an, hadits dan ijma’ sahabat.
Padahal, selain dibentuk oleh masyarakat, Proses ijtihadi kalangan Muhammadiyah dapat
hukum juga membentuk masyarakat. Secara melalui metode qiyas, istihsan, istishlah dan saad
sosiologis hukum merupakan refleksi tata nilai al-dzarai’ (Hooker, 2003). Sumber utama fatwa
yang diyakini sebagai suatu pranata dalam Muhammadiyah adalah al-Qur’an dan Hadits
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini shohih. Hadits diposisikan sebagai penjelas
berarti muatan hukum selayaknya mampu terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian,
menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh Hadits harus sejalan dan tidak boleh berten-
dan berkembang, bukan hanya yang bersifat tangan dengan al-qur’an. Persoalan baru yang
kekinian melainkan juga sebagai acuan dalam tidak masuk dalam kategori ibadah mahdlah dan
mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi tidak terdapat hukumnya pada nash sharih,
dan politik di masa depan. dilakukan proses ijtihad dan istimbath hukumdari
Pemikiran di atas menunjukkan bahwa nash melalui proses qiyas dan istihsan. Muham-
hukum bukan sekedar norma statis yang mengu- madiyah juga mengadopsi metode istishlah
tamakan kepastian dan ketertiban, melainkan mazhab maliki dengan mengkopsepsikan masla-
juga norma‐norma yang harus mampu mendina- hat umat sebagai sesuatu yang harus diwujudkan.
misasikan pemikiran dan merekayasa perilaku Metode lain yang juga digunakan oleh
masyarakat dalam mencapai cita‐citanya (Amrul- Muhammadiyah adalah saddu al-zari’ah.
lah, 1996). Jadi hukum merupakan sarana untuk Metode ini dimaksudkan untuk menghindari
ketertiban dan kesejahteraan, atau hukum harus fitnah dan mafsadah. Uraian di atas meng-
mencerminkan apa yang dianggap baik serta indikasikan bahwa epistemologi fatwa di kala-
harus mengindikasikan suatu perencanaan, reka- ngan Muhammadiyah menempuh tiga jalur :
yasa atau perakitan masyarakat yang dicita‐ 1. Ijtihad bayani yakni menjelaskan hukum yang
citakan, atau dalam istilah Rescoe Pound “law as kasusnya terdapat dalam nash al-qur’an dan
tool of social engineering” (Wahjono, 1992). hadits.
Dalam menjawab aspirasi masyarakat 2. Ijtihad qiyasi yakni menyelesaikan kasus baru
terhadap kebutuhan akan hukum Islam yang dengan cara penganalogian kasus tersebut
tidak terjawab dengan hukum positif, terutama dengan kasus yang telah dihukumi dalam al-
bagi golongan yang masih memiliki aspirasi qur’an dan hadits.
teokratis, fatwa ulama menjadi salah satu 3. Ijtihad istilahi yakni menyelesaikan kasus-
jawabannya. Dengan demikian dalam konteks kasus kontemporer yang tidak terdapat dalam
hukum di Indonesia, fatwa sebagai salah satu dua sumber di atas dengan cara menggunakan

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 58
penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan Secara umum dapat dikemukakan bahwa
(Djamil, 1995). sistem pengambilan keputusan dalam Bahtsul
3.4.2 Epistimologi penetapan hukum halal Masa’il dirumuskan melalui tiga cara. Pertama,
Nahdhotul Ulama’ (NU) taqrir jama’i yakni mencari jawaban atas
Secara ideal, hirarkis sumber ajaran pokok permasalahan dengan mengutip fatwa dari kitab-
dalam NU adalah :Al-Qur’an, sunnah, Ijma’, kitab mu’tabarah. Sistem pengambilan keputusan
Qiyas, istihsan, maslahah mursalah, saad al- ini menimbulkan efek hirarkis fatwa yaitu :
zari’ah dan ‘urf. Namun dalam prakteknya, a. Kesepakatan Nawawi dan Rafi’i
komunitas NU terkadang lebih cenderung b. Pendapat Imam Nawawi
menggunakan produk-produk hukum hasil ijma’ c. Pendapat Imam Rafi’i
dan qiyas para ulama-ulamanya dari pada d. Pendapat yang didukung mayoritas Ulama
pengambilan hukum langsung dari dua sumber e. Pendapat ulama terpandai
pertama, al-Quran dan hadits. Hal ini nampak f. Pendapat ulama yang paling wara’.
dari kecenderungan tradisi komunitas NU untuk Kedua, ilhaq al-Masa’il bi nadza’iriha,
lebih merujuk kepada kitab-kitab kuning karya dalam SKPBMNU dengan jelas dinyatakan
ulama. Kitab-kitab yang menjadi rujukan untuk bahwa metode ilhaq dilakukan dengan memper-
memproduksi fatwa di kalangan NU selanjutnya hatikan mulhaq bih, mulhaq ‘alaih dan wajh al-
dinamakan kitab mu’tabarah berdasarkan ilhaq oleh para mulhiq yang ahli. Ketiga,
keputuan MUNAS ALIM ULAMA di Situbondo. istinbath dengan istilah lain melakukan ijtihad
Kitab mu’tabarah di kalangan NU ditentukan secara manhajiy (Rahmat, 2002). sejauh ini tidak
melalui faktor sosiologis bukan berdasarkan ada perkembangan yang signifikan dalam
keotentikan kitab tersebut. Namun sejauh mana epistemologi fatwa dalam BahtsulMasa’il.
kitab-kitab tersebut diakrabi di pesantren- Sistem bermazhab masih mengakar kuat bahkan
pesantren tradisional. mengerucut pada dua sosok Imam Nawawi dan
Dalam lembaga BahtsulMasa’il istilah istim- Imam Rafi’i.
bath hukum sangat jarang digunakan. Bagi pakar Para intelektual muda Nu lebih condong
BahtsulMasa’il term ini lebih dikonotasikan pada metode ketiga yakni fiqh manhaji
dengan pada istikhraj al-hukmi min al-nushush (epistemologi kiri) untuk memompa perkem-
(mengeluarkan hukum dari teks normatif, al- bangan BM agar tetap dapat merespon
Qur’an dan Hadits) yang hanya dilakukan oleh perkembangan dan isu-isu kontemporer. Mereka
mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU ini ini mencoba merekonstruksi metode pengam-
sangat berat untuk dilakukan. Mereka lebih bilan keputusan BM namun juga mengem-
sepakat untuk menyebutnya dengan ittifaq bangkan dan menyempurnakan mawashid
hukum (Rahmat. 2002). Secara definitif, NU syari’ah dengan menambahkan keadilan,
mendefinisikan istimbath hukum sebagai suatu moderasi, menjaga lingkungan, upaya dialogis
upaya mengeluarkan hukum syara’ dengan dan toleransi. Pengembangan beberapa kaidah
kaidah-kaidah fiqh (the general principle of law) ushuliyah dan kaidah fiqh antara lain (Miri,
dan kaidah-kaidah ushuliyyah (islamic legal law) 2004):
baik berupa dalil ijmali, dalil tafshili dan adillatul ‫حمل المقيد على المطلق‬
ahkam (Mahfudz, 1994). Kaidah fiqh lebih ‫العبرة بعموم المقاصد ال بخصوص النص‬
diprioritaskan daripada kaidah ushul karena ‫المصلحة دليل شرعي مستقل عن النصوص‬
mempertimbangkan fiqh yang hidup ditengah- ‫استقالل العقول بادراك المصالح و المفاسد دون العلق النص‬
tengah masyarakat Indonesia adalah fiqh syafi’i ‫المصلحة اقوى دليل شرعي‬
sehingga operasionalisasi kaidah fiqh akan lebih ‫مجال العمل بالمصلحة هو المعاملة و العادة دون العبادات‬
efektif untuk merespon gejala-gejala fiqh di ‫الثابت بالعرف كالثابت بالنص‬
masyarakat. ‫تصرف االمام منوط بالمصلحة‬
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 59
‫حكم الوسائل بمقاصدها‬ a) Masalah keagamaan yang bersifat
‫المحافظة على القديم الصالح و االخذ بالجديد‬ umum dan berkaitan dengan masya-
‫االصلح‬ rakat Islam Indonesia secara umum.
3.4.3 Epistimologi penetapan hukum halal b) Masalah keagamaan yang relevan
MUI dengan wilayah tertentu yang dianggap
Mengenai Statuta MUI tentang metode dapat diterapkan di wilayah lain.
pembuatan Fatwa pertamakali pada tahun 1975 2) MUI tingkat propinsi berkaitan dengan
dan tampak kemudian dalam himpunan Fatwa masalah keagamaanyang sifatnya lokal
MUI 1995 dan 1997. Aturan saat ini dimulai dan kasus kesederhanaan, tetapi telah
dengan memperhatikan bahwa pada periode berkonsultasi dengan MUI pusat dan
1975-1980 dan 1980-1985, fatwa-fatwa MUI Komisi Fatwa.
tetapka oleh Komisis Fatwa MUI pada 18 januari f. Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri para
1986, perubahan dalam prosedur itu diputuskan: anggota Komisi Fatwa yang telah diangkat
keputusan yang berkaitan dengan fatwa dari pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat
Komisi Fatwa selanjutnya diambil alih oleh MUI propinsi dengan kemungkinan mengun-
pimpinan pusat MUI dalam bentuk “Sertifikat dang para ahli jika dianggap perlu.
Keputusan Penetapan Fatwa” yang dipimpin oleh g. Sidang Komisi Fatwa harus diselenggarakan
Ketua Umum dan Sekretaris Umum bersama- ketika:
sama dengan Komisi Fatwa MUI. Petunjuk 1. Ada permintaan atau kebutuhan yang
prosedur penetapan fatwa adalah sebagai berikut: dianggap MUI memerlukan fatwa.
a. Dasar-dasar Fatwa adalah: 2. Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa
1) Al-Qur’an dari pemerintah, lembaga-lembaga sosial,
2) Sunnah (tradisi kebiasaan Nabi) dan masyarakat atau MUI sendiri.
3) Ijma’ (kesepakatan pendapat Ulama) h. Sesuai dengan aturan Sidang Komisi Fatwa,
4) Qiyas (penarikan kesimpulan dengan bentuk fatwa yang berkaitan dengan masalah
analogi). tertentu harus diserahkan Ketua Komisi
b. Pembahasan masalah yang memerlukan Fatwa kepada Ketua MUI nasional dan
fatwa harus mempertimbangkan propinsi.
1) Dasar-dasar fatwa merujuk keatas i. Pimpinan pusat MUI nasional/propinsi akan
2) Pendapat para imam mazhab mengenai merumuskan kembali fatwa itu ke dalam
hukum Islam dan pendapat para ulama bentuk Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa.
terkemuka diperoleh melalui penelitian Jelaslah dari ringkasan di atas bahwa
terhadap penafsiran Al-Qur’an. sumber-sumber fatwa diatur secara hierarkis,
c. Pembahasan yang merujuk keatas adalah seperti dalam Komisi Fatwa nasional dan
metode untuk menentukan penafsiran mana propinsi. Sebagaimana akan kita lihat, pada prak-
yang lebih kuat dan bermanfa’at sebagai tinya, fatwa MUI bersandar terutama kepada
fatwa bagi masyarakat Islam. nash Al-Qur’an dan hadis yang disertakan dalam
d. Ketika suatu masalah yang memerlukan beberapa kasus, tetapi tidak semuahnya dengan
fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur rujukan kepada teks-teks fiqh. Teks-teks tersebut
diatas, maka harus ditetapkan dengan penaf- selalu berasl dari mazhab Syafi’i. Namun
siran dan pertimbangan (ijtihad). demikian , kadang-kadang kita menemukan
e. Mereka yang mempunyai otoritas untuk rujukan kepada karya-karya Timur tengah (Mesir)
mengenai fatwa adalah sebagai berikut: kontemporer, khususnya karya-karya Syaltut dan
1) MUI berkaitan dengan: beberapa karya lain yang kurang dikenal (Hooker,
2002).

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534


Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 60
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa mengetahui pendapat para pakar di bidang
yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan
(MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan dalam penetapan fatwanya.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U- Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus
596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah
Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa digariskan, sebagaimana yang tercantum pada
dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang bagian ketiga pasal 3 sampai dengan pasal 5
berbunyi: dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama
a. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai Indonesia yang berbunyi:
dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang Pasal 3
mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan 1. Setiap masalah yang disampaikan kepada
kemaslahatan umat. Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari
b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan dengan seksama oleh para anggota komisi
Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada atau tim khusus sekurang-kurangnya seeming-
pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah gu sebelum disidangkan.
tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang 2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya
mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, (qath’iy) hendaklah komisi menyampaikan
seperti istihsan, maslahah mursalah, dan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi
saddu al-dzari’ah. gugur setelah diketahui nashnya dari Al-
c. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, Qur’an dan Sunnah.
hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para 3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di
imam madzhab terdahulu, baik yang kalangan madzhab, maka yang difatwakan
berhubungan dengan dalil-dalil hukum adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih
maupun yang berhubungan dengan dalil muqaran (perbandingan) dengan meng-
yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda gunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran
pendapat. yang berhubungan dengan pentarjihan.
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang Pasal 4
masalah yang akan diambil Keputusan Fat- Setelah melakukan pembahasan secara
wanya, dipertimbangkan (Ditjen-Bimas- mendalam komprehensif, serta memperhatikan
Islam dan Penyelenggaran haji, 2003). pendapat dan pandangan yang berkembang
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dalam sidang, Komisi menetapkan fatwa.
dengan metode istinbath hukum yang digunakan Pasal 5
oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode 1. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan
istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan
salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya 2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang
memikirkan kemaslahatan umat ketikan mene- dapat dipahami dengan mudah oleh masya-
tapkan fatwa, di samping itu juga perlunya rakat luas.
memperhatikan pendapat para ulama madzhab 3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-
fikih, baik pendapat yang mendukung maupun dasarnya disertai uraian dan analisis secara
yang menentang, sehingga diharapkan apa yang ringkas, serta sumber pengambilannya.
diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua 4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan
ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah rumusan tindak lanjut dan rekomendasi
antara dua pendapat yang bertolak belakang dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai
tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh konsekuensi dari SKF tersebut.
MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 61
Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada Penulis ingin menyampaikan ucapan terim
dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang kasih kepada kepada semua pihak yang telah
berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama membantu selesainya penelitian ini.
Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia
6. Daftar Pustaka
Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai
permasalahan keagamaan yang bersifat umum Dahlan, Abdul Aziz, et.al. (1996). Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta: Iktiar Baru
dan menyangkut permasalahan umat Islam
VanHoeve.
Indonesia secara nasional dan/atau masalah-
masalah keagamaan yang terjadi di daerah, Quthb, Sayyid (2004). Tafsir Fi Dzilalil-Qur‟an,
Juz 1, Cet. II, Jakarta: Gema Insani.
namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah
lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa Al-Dardawi, Yusuf (1999) Fatwa Antara
Ketelitian dan Kecerobohan. Jakarta: Gema
menasional.
Insani Press.
Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan
MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan Al-Qardawi, Yusuf (1996). Fikih Prioritas:
Urutan Amal Yang Terpenting Dari Yang
kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya
Penting. Jakarta: Gema Insani Press.
bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan
Amrullah Ahmad, dkk. (ed. ). (1996). Dimensi
fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri
Hukum Islam dalam Sistem Hukum
sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr.
Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI H. Bustanul Arifin, S.H., Jakarta: Gema
Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, Insani Press.
maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut dan Penyelenggaraan Haji Depag RI [Ditjen-
tidak membingungkan umat Islam (Ditjen- bimas-islam dan . Penyelenggaraan Haji
Bimas-Islam dan Penyelenggaran haji, 2003). Depag]. (2003). Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat
4. Kesimpulan Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Kesimpulannya Islam adalah agama yang Penyelenggaraan Haji Depag RI.
toleran, tidak memberatkan umatnya. Oleh Djamil, Fathurrahman. (1995). Metode Ijtihad
karena itu semua jenis makanan dan minuman Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:
pada dasarnya adalah halal, kecuali hanya Logos.
beberapa saja yang diharamkan. Yang haram Hooker, M. B. (2003). Islam Mazhab Indonesia,
itupun bisa menjadi halal dalam keadaan darurat. cet. II, Jakarta : TERAJU.
Sebaliknya, yang halal pun bisa menjadi haram Hooker, M.B. (2002).Islam Mazhab Indonesia;
bila dikonsumsi melampaui batas (israf); untuk fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Jakarta :
menentukan hukum halal maupun haram, dapat TERAJU.
dilihat dari dua hal: a) Dzat atau Substansi https://www. hukumonline.com/Undang-Undang
Barangnya dan b). Cara Mendapatkanya; Fatwa Penetapan Produk Halal, diunduh tanggal 20
merupakan salah satu produk pemikiran hukum oktober 2017 , pukul 20: 27 WIB
Islam yang merupakan respon dari suatu Mahfudz, Muhammad Ahmad Sahal. (1994).
permasalahan Sedangkan permasalahan terus Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta : LKIS.
bertambah seiring berkembangnya kehidupan Miri, Djamaludin. (2004). Solusi Problematika
manusia di segala bidang. Oleh karena itu Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar,.
banyak persoalan baru yang memerlukan Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
keputusan hukumnya atas dasar syari’ah, atau Surabaya: LTN NU.
dengan kata lain memerlukan fatwa. Rahmat, M. Imdadun (2002). Kritik Nalar Fiqh
5. Ucapan Terimakasih NU Transformasi Paradigma Bahtsul
Masail. Jakarta: Lakpesdam.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 2018, 62
Shihab, M. Quraish (2002). Tafsir al-Mishbah: Wahjono, Padmo (1992) Asas Negara Hukum
Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran, Vol. dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum
I, Jakarta:Lentera Hati. Nasional, dalam Muhammad Busyro
Team Administrasi Niaga Politeknik Negeri Muqaddas, dkk. (ed. ), Politik pembangunan.
Semarang, (2008). Modul Hukum Bisnis, Padang: Angkasa Raya Padang.
Semarang. Al-Qardhawi, Yusuf (2013). Halal dan Haram
Al- Asyhar, Thobieb (2003) Bahaya Makanan dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia.
Haram bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani. Jakarta: PT. Almawardi
Prima.

Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN: 2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534

Anda mungkin juga menyukai