Anda di halaman 1dari 12

Menakar Kehalalan Obat Medis Yang Mengandung Alkohol

Syamsul Bakhri

Universitas Muslim Indonesia

Abstrak
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia, kurang lebih 80%
penduduknya adalah Muslim. Setiap muslim diinstruksikan hanya mengkonsumsi makanan dan
minuman yang halal dan bermanfaat bagi tubuh, termasuk obat-obatan medis yang menjadi topik
pembahasan dalam tulisan ini. Obat medis adalah obat yang berasal dari zat atau bahan kimia dan
kimia, yang berguna dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau gangguan jasmani dan rohani pada manusia
atau hewan, termasuk memperindah badan atau tubuh. bagian. manusia. Kebutuhan akan obat halal
masih menjadi isu yang menarik untuk terus diperbincangkan mengingat banyaknya permintaan dan
juga banyaknya obat-obatan yang mengandung zat-zat yang dilarang oleh Islam. Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk melihat halal atau tidaknya mengkonsumsi obat-obatan medis yang
mengandung alkohol. Pendekatan yang dibahas dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan dasar
Al-Qur'an, Hadits, dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kehalalan obat kesehatan meliputi
tiga faktor yaitu bahan yang digunakan, proses produksi dan penyimpanan produk. Berdasarkan fatwa
MUI, minuman (termasuk jenis sirup obat) yang mengandung alkohol lebih dari 1% haram
dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Maksud keadaan darurat adalah keadaan dimana tidak
tersedia obat medis jenis lain di daerah tersebut kecuali obat medis yang mengandung alkohol.
Berkaitan dengan hal tersebut, muncul polemik yaitu apakah saat ini terdapat situasi dan kondisi yang
disebut darurat, mengingat saat ini begitu banyak ahli di bidang kefarmasian dan kecanggihan
teknologi. Hasil pembahasan makalah ini adalah jika ada obat medis yang tidak mengandung alkohol,
maka obat medis yang mengandung alkohol haram dikonsumsi oleh umat Islam.
Kata Kunci : Alkohol, Halal, Obat

Abstarct
Indonesia is a country that has the largest number of Muslims in the world, approximately 80% of
the population is Muslim. Every Muslim is instructed only to consume foods and drinks that are
halal and beneficial to the body, including medical drugs which are the topic of discussion in this
paper. Medical medicine is a drug originating from substances or chemicals and chemically, which
is useful in determining diagnosis, preventing, reducing, eliminating, curing diseases or symptoms
of diseases, wounds or physical and spiritual disorders in humans or animals, including beautifying
the body or body parts. human. The need for halal medicine is still an interesting issue to continue
to be discussed considering the large number of requests and also many medicines that contain
substances that are prohibited by Islam. The purpose of this paper is to see whether it is halal or haram
to consume medical drugs that contain alcohol. The approach discussed in this paper is to use the
basis of the Al-Qur'an, Hadith, and Fatwas of the Indonesian Ulema Council (MUI). The halalness
of medical drugs includes three factors, namely the materials used, the production process and
product storage. Based on the MUI fatwa, that drinks (including medical syrup types) that contain
more than 1% alcohol are haram to consume, except in emergencies. The purpose of an emergency
is a situation in which there are no other types of medical drugs available in the area except for
medical drugs that contain alcohol. In this regard, a polemic has emerged, namely whether there is
currently a situation and condition which is called an emergency, considering that currently there
are so many experts in the field of pharmacy and technological sophistication. The result of the
discussion of this paper is that if there is a medical drug that does not contain alcohol, then a medical
drug that contains alcohol is haram for consumption by Muslims.
Keywords: Alcohol, Halal, Medicine

PENDAHULUAN
Manusia memiliki beberapa kebutuhan primer. Salah satu kebutuhan primer manusia adalah
makan dan minum. Kehidupan manusia akan terancam jika tidak makan dan minum dalam jangka
waktu tertentu. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan manusia akan makanan dan minuman erat
kaitannya dengan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs), pemeliharaan akal (hifz al-'aql) dan pemeliharaan
harta (hifz al-mal) di maqasid. al-syari'ah (Yanggo, 2013). Dalam ajaran Islam, makanan dan
minuman yang dikonsumsi manusia khususnya umat Islam tidak bebas tetapi harus selektif, yaitu
halal sesuai petunjuk Allah dalam Al-Qur'an dan penjelasan Nabi Muhammad SAW dalam hadits,
serta baik, sehat (thayyib) . Ayat yang digunakan Al-Qur'an dan hadits dalam menjelaskan makanan
dan minuman yang diharamkan berupa lafaz 'amm. Sehingga semua jenis makanan dan minuman
yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadits memiliki illat yang sama dengan makanan dan
minuman yang dilarang dalam Al-Qur'an dan hadits, dapat dikategorikan haram berdasarkan metode
qiyas (Yanggo, 2013). Karena jenis makanan dan minuman mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan dan kemajuan peradaban manusia akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Meskipun keragaman makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia berbeda antara satu
daerah/negara dengan daerah/negara lainnya, namun standar halal/tidak makanan dan minuman dapat
mengacu pada istilah-istilah yang diperkenalkan oleh Allah dan Rasul-Nya (Yanggo, 2013). Menurut
MUI, masyarakat saat ini dalam mengkonsumsi produk makanan lebih memperhatikan label kadaluarsa
daripada label halal. Kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih awam dengan halal dan
haram dalam makanan cenderung acuh tak acuh dalam mengkonsumsi berbagai macam produk yang
ada di pasaran. Apalagi sosialisasi tentang produk berlabel halal masih kurang, artinya hanya sebagian
orang yang sadar akan pentingnya label halal yang akan mengetahui status kehalalan produk yang
mereka konsumsi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar untuk mengembangkan
industri halal. Tentu potensi besar ini merupakan implikasi dari besarnya jumlah penduduk muslim
di Indonesia. Indonesia menyumbang 12,7% dari populasi Muslim dunia. Jika dilihat dari jumlahnya,
pada tahun 2020 diperkirakan sebanyak 229 juta penduduk muslim tinggal di Indonesia. Menurut
World Population Review 2020, jumlah penduduk di Indonesia diperkirakan mencapai 273 juta jiwa,
sehingga jumlah penduduk muslim setara dengan 87,2% dari total penduduk di Indonesia (Fatthon &
Syahputri, 2020). Kehalalan suatu produk di Indonesia menjadi syarat utama. Kehalalan suatu produk
merupakan syarat wajib bagi setiap konsumen, khususnya konsumen muslim. Baik itu produk berupa
makanan, obat-obatan atau barang konsumsi lainnya (Charit, 2017). Dalam ajaran (hukum) Islam,
halal dan haram merupakan persoalan yang sangat penting dan dipandang sebagai inti agama, karena
setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, dan mengkonsumsi sesuatu sangat dituntut
untuk terlebih dahulu memastikan halal dan haramnya (Rahmadani, 2015). Sungguh miris mengingat
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, bahkan terbesar
di dunia, namun nyatanya masih lebih mengutamakan label kadaluarsa daripada label halal. Padahal
dalam Islam, umat Islam wajib mengkonsumsi makanan halal, karena setiap makanan yang kita
konsumsi akan mendarah daging di dalam tubuh dan menjadi sumber energi yang penting bagi
kehidupan. Rasulullah s.a.w bersabda: “Daging tidak tumbuh dari makanan haram, kecuali baginya
neraka lebih utama" (HR At Tirmidhi). Keengganan masyarakat muslim untuk mengkonsumsi
produk haram akan meningkatkan kejelian dalam proses pemilihan produk (keterlibatan tinggi).
Sehingga akan ada produk yang dipilih untuk dikonsumsi dan produk yang ditinggalkan. Konsumen
kini disuguhi banyak pilihan produk, salah satunya produk makanan kemasan.

Industri halal menjadi trend dunia saat ini. Hal ini terlihat dari prospek industri halal yang terus
berkembang dari tahun ke tahun (Fatthon & Syahputri, 2020). Gaya hidup halal yang identik dengan
umat Islam tersebar ke berbagai negara, bahkan ke negara-negara dengan populasi Muslim minoritas
(Waharini & Purwantini, 2018). Bagi umat Islam sendiri, mengkonsumsi makanan halal merupakan
kewajiban untuk memenuhi perintah Allah, yang tertuang dalam Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 88
yang artinya "Makanlah makanan yang halal dan itu baik". Namun, di era globalisasi, menentukan
kehalalan suatu produk pangan tidak semudah ketika teknologi belum berkembang. Dengan
demikian, perlu adanya jaminan dan kepastian kehalalan produk pangan yang dikonsumsi umat Islam.
Jaminan kehalalan suatu produk pangan dapat diwujudkan dalam bentuk sertifikat halal yang
menyertai suatu produk pangan sehingga produsen dapat mencantumkan logo halal pada kemasannya
(Nur, 2021).

Dalam Kimia, yang dimaksud dengan alkohol adalah senyawa organik yang dalam struktur
molekulnya memiliki gugus hidroksil (OH-) (Mursyidi, 2002). Alkohol adalah zat alami yang
dihasilkan dari proses fermentasi yang biasa ditemukan dalam bentuk bir, anggur, minuman
beralkohol dan sebagainya (Santi, 2008). Alkohol yang beredar di masyarakat adalah alkohol jenis
ethanol. Etanol adalah molekul yang larut dalam air dan cepat diserap di saluran pencernaan. Bahaya
mengonsumsi alkohol adalah salah satu dari lima faktor risiko utama penyakit, kecacatan, dan
kematian di seluruh dunia. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan berbagai risiko kesehatan seperti
ketergantungan alkohol, sirosis hati, kanker dan cedera akibat efek langsung atau tidak langsung dari
keracunan alkohol (Tritama, 2015). Penggunaan alkohol secara berlebihan pada kulit, juga akan
merusak jaringan kulit, sebagaimana diketahui bahwa kesehatan kulit merupakan idaman dan
dambaan seluruh manusia normal di dunia (Bakhri, et al., 2022).
Obat-obatan medis yang mengandung alkohol adalah obat batuk. Obat batuk yang mengandung
alkohol bisa didapatkan di toko dan apotek dengan berbagai merek. Namun, tidak selamanya aman
dikonsumsi oleh umat Islam, terutama menyangkut aspek kehalalannya. Obat batuk yang beredar di
pasaran saat ini cukup beragam, mulai dari obat batuk berbahan kimia hingga obat batuk alami atau
herbal. Jenisnya pun beragam mulai dari sirup, tablet, kapsul hingga bubuk (jamu). Semua jenis obat
batuk memiliki kesamaan yaitu sama-sama mengandung bahan aktif yang berfungsi sebagai pereda
batuk. Namun ada juga perbedaannya yaitu pada penggunaan bahan campuran/penolong. Salah satu
zat yang sering ditemukan dalam sirup obat batuk adalah alkohol. Temuan di lapangan menunjukkan
bahwa sebagian besar sirup obat batuk mengandung alkohol. Sebagian besar produsen obat batuk,
baik dalam maupun luar negeri, menggunakan bahan ini dalam produk mereka.

Penggunaan alkohol dalam obat batuk menjadi polemik tersendiri, terutama di kalangan umat
Islam. Bisakah alkohol digunakan dalam obat batuk? Apakah statusnya sama dengan alkohol dalam
minuman keras ? Berdasarkan latar belakang di atas maka diperoleh rumusan masalah yaitu
mengkonsumsi obat-obatan medis yang mengandung alkohol, apakah bertentangan dengan syariat
Islam atau bolehkah dikonsumsi dalam keadaan darurat ? Tujuan Penelitian adalah Untuk
mengetahui halal atau haramnya mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung alcohol.

METODE PENELITIAN
Tahapan perancangan yang dilakukan dijelaskan dalam diagram alir berikut:

Mulai

Identifikasi Masalah

Penyelesaian Masalah

Studi Literatur

Analisis

Menulis Artikel

Selesai

Gambar 1. Diagram Metode Penelitian

1. Identifikasi Masalah
Tahap awal adalah berdiskusi dengan supervisor kita tentang masalah-masalah yang saat ini
sangat penting untuk kita ketahui yang erat kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari.

2. Penyelesaian Masalah
Setelah tahap identifikasi masalah, kami kemudian membahas penulisan makalah ini sebagai
saran untuk menemukan solusi yang tepat untuk masalah.

3. Studi Literatur
Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang kita tulis
melalui penelusuran literatur dan sumber sekunder lainnya.

4. Analisis
Selanjutnya, menganalisis literatur yang kemudian dibaca, dipelajari dan ditelaah untuk
mendapatkan ringkasan inti dari data. Hingga sampai pada konsep penyelesaian masalah secara
tuntas dan tuntas.
5. Menulis Artikel
Penyusunan makalah ini menggunakan studi literature review yang berasal dari analisis
berbagai referensi. Kami memasukkan beberapa kata kunci ke mesin pencari, yaitu alkohol, halal
dan obat-obatan. Berdasarkan jurnal yang diperoleh, kami memilih jurnal teks lengkap yang
terkait dengan topik penulisan. Referensi diperoleh dari jurnal yang dapat diakses melalui google
Scholar. Kemudian dilakukan analisis dan sintesa dari beberapa jurnal dan sumber referensi
sesuai topik penulisan, kemudian makalah ini disusun.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Obat tidak diperbolehkan
Menurut (Hakiki, 2019) dalam Islam memang tidak secara spesifik menyebutkan obat apa
yang tidak boleh, namun dalam hal ini ada beberapa bahan yang tidak diperbolehkan dalam Islam,
diantaranya :

1.1. Kandungan Babi


Ada beberapa obat dengan merek tertentu, jika diteliti lebih lanjut menggunakan unsur babi.
Salah satu merek obat suntik khusus dibuat dari hormon insulin babi yang digunakan untuk
mengobati diabetes. Ini jelas haram karena masih banyak obat lain yang bisa digunakan tanpa
daging babi.
Dalam QS. an-Nahl: 115 yang artinya, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, babi dan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi
barang siapa yang dipaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak melampaui batas,
maka sesungguhnya Allah Maha Pengasih. Pemaaf, Maha Penyayang. .

1.2. Plasenta
Plasenta adalah jaringan yang tumbuh di rahim wanita saat hamil. Plasenta digunakan sebagai
krim yang dioleskan pada kulit yang dipercaya berfungsi untuk meregenerasi kulit. Namun, tidak
jelas sumber kehalalannya karena kita tidak tahu apakah plasenta tersebut berasal dari hewan
seperti babi atau lainnya.
1.3. Urin
Minum air seni termasuk dalam pengobatan tradisional namun masih kontroversial karena
masih belum jelas khasiatnya. Namun, segala bentuk alasan selama tidak darurat tidak
diperbolehkan karena air seni adalah benda yang najis dalam Islam
Dalam majmu'atul fatwa 21; 16 bahwa segala sesuatu yang najis dilarang untuk dimakan,
tetapi tidak semua yang haram untuk dimakan adalah najis.

1.4. Alkohol
Jenis bahan obat ini masih dianggap darurat. Minuman beralkohol di atas 1% berpotensi
memabukkan, tetapi banyak obat mengandung alkohol di atas 1%.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud itu dan aku melarang kamu dari sesuatu
yang memabukkan (Hakiki, 2019).
2. Obat-obatan medis yang mengandung alkohol dalam islam
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009, Obat adalah bahan atau kombinasi
bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologis atau keadaan patologis dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi bagi manusia (Raheem,
2018).

Dalam penjelasan Rahem (2018) bahwa penemuan obat baru atau metode baru yang
berkaitan dengan pengobatan suatu penyakit atau penyembuhan merupakan upaya atau upaya
di bidang farmasi untuk mengurangi kesenjangan antara munculnya penyakit baru dan
kebutuhan obat untuk masing-masing. penyakit.
Minuman beralkohol atau minuman yang berbahaya bagi kesehatan dilarang dalam Islam
bahkan bisa menjadi dilarang. Dan diketahui bahwa minum alkohol berbahaya bagi kesehatan.
Kemudian Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa kandungan alkohol dalam
minuman tidak boleh lebih dari 1%, padahal fatwa MUI tahun 2009 menyatakan bahwa obat-
obatan beralkohol masih diperbolehkan jika ada keadaan darurat atau tidak ada pilihan lain, dan
secara medis tidak diperbolehkan. berbahaya bagi kesehatan.
Seiring dengan perkembangan zaman diperkirakan pada tahun 2030 penduduk muslim akan
meningkat sebesar 27%, hal ini berkaitan dengan peningkatan permintaan masyarakat terhadap
produk halal seperti obat-obatan, kosmetika dan produk lainnya. Tentunya hal ini terkait dengan
kebutuhan industri penghasil produk halal. Dimana tentunya tantangan yang harus mereka hadapi
dalam praktek di industri, apakah sudah sesuai dengan syariah atau tidak, yang terkait dengan
pengetahuan para pekerja mengenai syarat-syarat produksi menurut syariat Islam (Raheem, 2018).
Kebutuhan obat halal masih menjadi isu yang menarik untuk terus dibahas mengingat
banyaknya permintaan dan juga banyak obat-obatan yang mengandung haram. Kehalalan obat
meliputi tiga faktor yaitu bahan yang digunakan, proses produksi dan penyimpanan produk.
Perbedaan persepsi yang terjadi di masyarakat sebagian besar obat non herbal (sirup)
mengandung alkohol yang kadarnya lebih dari 1%. Karena berdasarkan fatwa MUI bahwa
minuman dilarang mengandung alkohol lebih dari 1%, sedangkan obat berupa sirup juga diminum.
Mengenai narkoba, fatwa MUI mengatakan boleh jika dalam keadaan darurat, maka akan muncul
polemik apakah kondisi saat ini masih dalam keadaan darurat, mengingat semakin banyak ahli
farmasi dan teknologi yang semakin canggih. Dikabarkan pula bahwa obat cair non-herbal yang
telah mendapat label bebas alkohol masih mengandung alkohol, meski pernyataan tersebut belum
teruji secara ilmiah (Raheem, 2018).

3. Fatwa MUI Tentang Penggunaan Alkohol atau Etanol Untuk Obat


3.1. MUI (Majelis Ulama Indonesia) adalah lembaga pemerintah sebagai wadah para ulama dalam
mengatur atau membimbing umat Islam di Indonesia. Selain itu, MUI juga dapat bergerak dalam
mengatur kehalalan suatu makanan sebelum dipasarkan. Untuk itu, Fatwa MUI tentang
penggunaan alkohol untuk bahan obat, yaitu:
a) Ajaran Islam bertujuan untuk menjaga keselamatan agama, jiwa, pikiran, keturunan, dan
harta benda, dan oleh karena itu, segala sesuatu yang bermanfaat untuk pencapaian tujuan itu
diperintahkan, dianjurkan atau diizinkan untuk dilakukan, sedangkan apa yang merugikan.
pencapaian tujuan ini dilarang atau dianjurkan untuk Dijauhi (MUI, 2018).
b) Untuk mencapai tujuan ini, Islam membutuhkan perawatan kesehatan dan pengobatan ketika
sakit. Namun, saat ini banyak obat-obatan yang beredar di pasaran tidak diketahui
kehalalannya.
c) Padahal saat ini alkohol/etanol banyak digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan,
dan/atau bahan penolong dalam produksi obat-obatan, khususnya obat-obatan cair yang
dikonsumsi dengan cara diminum.
d) Karena itu iimbul pertanyaan, bagaimana hukum penggunaan alkohol/etanol untuk produk
obat khususnya obat cair.
e) Karena itu dipandang perlu adanya fatwa tentang Penggunaan Alkohol/Etanol Untuk Bahan
Obat sebagai pedoman.
3.2. Firman Allah dan hadits tentang khamar atau alkohol, yaitu :
a) Surah Al-Maidah ayat 10 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya
(minum) khamar, judi, (mengorbankan) berhala, dan menggambar takdir dengan panah adalah
rijs dan termasuk perbuatan setan. bahwa Anda akan mendapatkan keuntungan.".
b) Surah Al-Baqarah ayat 168 yang artinya: “Hai manusia, makanlah yang halal dan baik dari
apa yang ada di bumi…”.
c) Surah Al-syu'ara ayat 80 yang artinya : Dan ketika aku sakit, Dialah yang menyembuhkan
aku.
d) Dapatkan obat, karena Allah tidak menjadikan suatu penyakit kecuali dengan obatnya, kecuali
satu penyakit, yaitu kepikunan (tua)”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I dan Ibnu Majah)
(MUI, 2018).
e) “Padahal Thariq bin Suwaid al-Ju’fiy R.A bertanya kepada Nabi tentang Khamr, lalu Nabi
melarangnya membuatnya. Kemudian beliau menjawab: sebenarnya saya membuatnya untuk
obat. Kemudian Nabi SAW bersabda: “Sebenarnya (khamar) bukanlah obat, melainkan
penyakit.” (HR.Muslim).
f) “Allah melaknat anggur, peminum, penyaji, pedagang, pembeli, pengekstrak dari bahan-
bahan, penampung atau penyimpanan, pembawa, dan penerimanya.” (HR. Ahmad dan
Thabrani dari Ibnu Umar, seperti dalam Kitab Musnad Ahmad, bab 2 halaman 97, hadits
nomor 5716 dan kitab al-Mu' jam alAusath juz 8 halaman 16 hadits nomor 7816.
g) “Semua yang memabukkan adalah alkohol dan segala yang memabukkan adalah haram. (HR
Muslim dan Ibnu Umar, seperti dalam Kitab Sahih Muslim, bab 3 halaman 1587, hadits nomor
2003).
h) Sesuatu yang jika banyak memabukkan, maka meskipun sedikit adalah haram." (Ahmad, Abu
Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban. Para perawi dalam hadis ini dapat
dipercaya, dan di Tirmidzi menganggap mereka hasan).
i) “Rasulullah saw pernah membuat kismis yang direndam (infused water) dalam mangkuk, lalu
dia meminumnya pada hari itu dan keesokan harinya dan keesokan harinya. Pada sore hari
ketiga, jika ada yang tersisa, dia melihat. membuangnya. .” (H.R. Muslim, dari Ibnu 'Abbas
ra).
j) Dari Abdillah bin Umar R.A dari ayahnya dari Nabi SAW bersabda: Dari gandum bisa
dijadikan khamr, dari kurma bisa dijadikan khamr, dari jelai bisa dijadikan khamr, dari kismis
bisa dijadikan khamr, dan dari madu ada. khamr". (HR.Ahmad).
k) Dari Aisyah ra dia berkata: Rasulullah SAW ditanya tentang alBit” yaitu rasa buah kurma,
sedangkan orang Yaman sering meminumnya, lalu beliau berkata: “Minuman yang
memabukkan adalah haram”. (HR. Muslim dan Ahmad) (MUI, 2018).
3.3. Menurut aturan fiqhiyyah penggunaan alkohol dalam pengobatan, yaitu:

a) "Jangan merugikan diri sendiri dan orang lain”.


b) "Jika halal dan haram (bahan) dicampur, maka (hukum) yang haram akan menang".
c) “Mencegah mafsadat (kerusakan) lebih diutamakan daripada mengambil keuntungan”.
3.4. Pendapat para ulama tentang miras dapat dijadikan pertimbangan mengenai batasan maksimal
penggunaan alkohol dalam obat-obatan, yaitu:
a) Pendapat Ibnu Abbas tentang miras, yaitu: “Ibnu Abbas RA. Bersabda: khamr diharamkan
karena zatnya, dan memabukkan dari setiap minuman”. Menurut ketentuan syara 'khamr
adalah setiap minuman yang memabukkan, baik yang terbuat dari kurma, tebu, madu atau
lainnya. (al-Majmu') (MUI, 2018).
b) Pendapat Syaikh Khathib as-Syarbaini dalam Mughni al-Muhtaj bahwa Arti Rijs tidak bersih.
Kata “rijs” dalam terminologi syariah umumnya “najis”, sebagaimana ijma” para ulama
cenderung berpendapat demikian. Syekh Abu Hamid al-Ghazali berdasarkan (pendapatnya)
bahwa khamr itu najis berdasarkan ijma' para ulama, bahkan ada kemungkinan ijma' seorang
sahabat. Disebutkan dalam kitab al-Majmu' bahwa imam Rabi'ah, guru Imam Malik,
berpendapat bahwa khamr tidak najis (suci), dan sebagian ulama telah mengemukakan
pendapat tentang najis khamar dari al-Hasan dan al- Lait. Dan orang-orang yang mengatakan
khamr itu najis memiliki alasan untuk mengatakan bahwa jika khamr itu suci maka keraguan
akan hilang, karena minuman surga harus suci”.
c) Pendapat dalam kitab al-Majmu' yang menjelaskan pandangan najis khamr: “Khamr najis
menurut pendapat kami, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan ulama lainnya,
kecuali pendapat yang dikutip oleh Qadhi Abu. Thayyib dan lain-lain berdasarkan pendapat
Imam Rabi'ah, guru Imam Malik, dan Imam Daud adz-Dhohiri yang menyatakan bahwa
khamar tidak najis meskipun tetap haram, seperti racun dari tumbuh-tumbuhan, seperti ganja
yang memabukkan. alGhazali melontarkan pendapat bahwa kenajisan khamar adalah ijma”.

4. Keputusan MUI Tentang Kandungan Alkohol dalam Narkoba


Keputusan MUi tentang penggunaan alkohol sebagai bahan obat didasarkan pada keyakinan
Allah, Hadits tentang alkohol, fatwa Mui sebelumnya, sehingga memutuskan, yaitu:

4.1. Ketentuan Umum


a) Obat adalah suatu zat atau kombinasi bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau keadaan patologis dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan
kontrasepsi. (UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).
b) Makanan adalah barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman, tidak termasuk
obat-obatan.
c) Khamr adalah segala minuman yang memabukkan, baik yang berasal dari anggur maupun
yang lainnya, baik yang dimasak maupun yang tidak.
d) Alkohol adalah etil alkohol atau etanol, suatu senyawa kimia dengan rumus (C2H5OH).
e) Minuman beralkohol adalah :
 Minuman yang mengandung etanol atau senyawa lain, termasuk metanol,
asetaldehida, dan etil asetat yang merupakan rekayasa fermentasi dari berbagai jenis
bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat(MUI, 2018), atau
 Minuman yang mengandung ethanol dan/atau methanol ditambahkan dengan sengaja.
4.2. Ketentuan Khusus

a) Pada dasarnya pengobatan wajib menggunakan cara yang tidak melanggar syariat, dan obat
yang digunakan wajib menggunakan obat yang halal dan halal.
b) Obat cair berbeda dengan minuman. Obat digunakan untuk pengobatan sedangkan minuman
digunakan untuk konsumsi. Dengan demikian, ketentuan hukumnya berbeda dengan
minuman.
c) Obat-obatan cair atau tidak cair yang berasal dari khamr adalah haram.
d) Penggunaan alkohol/etanol yang bukan berasal dari industri khamr (baik hasil sintesis kimia
[dari petrokimia] maupun produk dari industri fermentasi non-khamr) untuk sediaan farmasi
cair atau non-cair diperbolehkan secara hukum pada kondisi berikut:
 Tidak membahayakan kesehatan.
 Tidak ada penyalahgunaan.
 Aman dan sesuai dosis
 tidak sengaja digunakan untuk mabuk-mabukan(MUI, 2018).
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, sebelumnya telah ada peraturan mengenai alkohol dalam obat-
obatan terlarang, yaitu Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2013 tentang Narkoba dan Obat-obatan.
Supremasi hukum:
1. Islam membutuhkan obat karena merupakan bagian dari perlindungan dan pemeliharaan
kesehatan yang merupakan bagian dari pemeliharaan Al-Dharuriyat Al-Kham.
2. Dalam berobat wajib menggunakan cara pengobatan yang tidak melanggar syariat.
3. Obat yang digunakan untuk tujuan pengobatan harus menggunakan bahan yang suci dan halal.
4. Penggunaan zat najis atau haram dalam obat-obatan adalah haram.
5. Penggunaan obat yang terbuat dari bahan yang najis atau haram untuk pengobatan adalah haram
kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Sebuah. digunakan dalam kondisi paksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi paksaan yang jika
tidak yang dilakukan dapat mengancam nyawa manusia, atau suatu keadaan urgensi yang
disamakan dengan keadaan darurat (al-hajat allati tanzilu manzilah al-dlarurat), yaitu suatu
keadaan urgensi yang jika tidak dilakukan maka akan dapat mengancam eksistensi manusia.
jiwa di masa depan.
b) tidak ditemukan bahan yang halal dan suci.
c) Ada rekomendasi dari paramedis yang kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat yang
halal.
d) Penggunaan obat-obatan yang terbuat dari bahan najis atau haram untuk pengobatan ilegal
dapat dikenakan untuk pemurnian.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Mursyidi (2002). Alkohol dalam Kedokteran dan Kosmetik. TARJIH, 7(4). Pp 26-36.
Charit, May Lim (2017). Jaminan Produk Halal Di Indonesia. Jurnal LEGISLASI INDONESIA,
14(1). Pp 99-108.
Fatimah Nur (2021). Jaminan Produk Halal di Indonesia untuk Konsumen Muslim. BIKUID Jurnal
Ekonomi Industri Halal, 1(1). Pp 43-54.
Fatthon, Muhammad Amwar; Syahputri, Tasya Hadi (2020). Potret Industri Halal Indonesia:
Peluang dan Tantangan. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(03). Pp 428-435.
Gema Rahmadani (2015). Halal dan Haram Dalam Islam. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 2(1).
Pp 20-36.
Hakiki N (2019). " Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Penjualan Bebas Obat Daftar G Di Satuan
Reserse Narkoba Polres Madiun," Tesis, Pp. 1–83.
MUI (2018). “Majelis Fatwa Ulama Indonesia,” Komisi Fatwa Ulama Indonesia, Pp.
1–11.
Raheem A (2018). " Identifikasi Kandungan Alkohol Pada Obat Di Apotik Melalui Pengamatan Pada
Kemasan Sekunder," J. Halal Prod. Res., 1(2), Pp. 44–49.
Sintha Soraya Santi (2008). Pembuatan Alkohol Menggunakan Proses Fermentasi Buah Mete Dengan
Ragi Saccharomyces Cerevisiae. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik, 8(2). Pp 104-111.
Syamsul Bakhri, Amirullah, Muhammad Ridha Kasim (2022). Pembuatan Sabun Cair Berbasis
Minyak Kelapa Dengan Penambahan Minyak Zaitun Untuk Menghambat Pertumbuhan
Bakteri. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia (JTIPI), 14(01). Pp. 34-38.
Topaz Kautsar Tritama (2015). Konsumsi Alkohol dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. Jurnal
Kedokteran Universitas Lampung, 4(8). Pp 7-10.
Waharini, Faqiatul Mariya; Purwantini, Anissa Hakim (2018). Model Pengembangan Industri
Makanan Halal di Indonesia. Jurnal MUQTASID, 9(1). PP 1-12.
Yanggo, Huzaemah Tahido (2013). Makanan Dan Minuman Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal
TAHKIM, IX(2). Pp 1-21.

Anda mungkin juga menyukai