Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib merupakan bagian dari
perintah agama. Demikian juga meninggalkan makanan yang haram adalah kewajiban yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kesadaran masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini
tak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi suatu pedoman hidup. Sebagai
konsumen produk pangan, sudah seharusnya umat Islam mendapatkan jaminan dari para
produsen atas kehalalan produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim.
Faktanya, Konsumen sulit untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan
haram ataukah tidak, kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga
berwenang di dalam atau di luar negeri. Meski begitu, tidaklah berarti produk tak bersertifikat
halal semuanya mengandung bahan haram. Selain produk pangan, ada produk lainnya yang
status kehalalannya belum menjadi perhatian masyarakat yaitu produk obat-obatan,
khususnya obat yang digunakan dengan cara ditelan atau diminum. Hingga saat ini penulis
belum pernah melihat obat resep dokter yang berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang
ditelan pada hakekatnya adalah makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para
perintis ilmu kedokteran seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah
makanan dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal
yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status kehalalan obat-obatan
terutama yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum muslim. Sekarang ini untuk produk
minuman dan makanan olahan, sertifikasi kehalalannya sudah diatur melalui Peraturan
Menteri Kesehatan tahun 1996. Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan
diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya, komponen
campurannya maupun proses produksinya. Namun, sayang sekali pada prakteknya
sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada tiap produsen, tetapi hanya
bersifat sukarela bergantung kepada kemauan produsen apakah mau ataukah tidak untuk
mendapatkan sertifikat halal. Dan yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal
ini belum menyentuh kepada produk obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat kita
sampai saat ini masih sangat-sangat permisif terhadap status halalnya obat-obatan,
meskipun di dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang berasal dari barang yang haram,
misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena adanya pemahaman tentang Hukum
Darurat yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu ada batasannya.
Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan yang
sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging babi yang bisa
halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat Al-Baqarah : 173). Namun dalam
kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini kesannya terlalu diperlebar dan berlebihan,
sehingga bahan obat apapun akan dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik
tameng darurat. Kalau kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-
Qur’an maupun Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan
yang sangat terpaksa saja. Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai hewan,
yaitu bilamana minimal dalam sehari semalam (misalnya di tengah gurun pasir) tidak
menemukan makanan apapun, kecuali hanya bangkai binatang itu saja satu-satunya. Namun
mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi sekedar untuk bisa bertahan hidup.
Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan semakin majunya bidang farmasi,
maka banyak sekali variasi dan jenis obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan yang
tidak haram. Dengan demikian masyarakat ataupun para dokter mempunyai banyak pilihan
atau alternatif dalam menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk diresepkan bagi
pasiennya.
Namun, apa pun khasiat yang bisa ditemukan di dalam air kencing ini, bagi umat
Islam tak ada alasan darurat untuk meminumnya selama masih ada obat lainnya
yang bisa digunakan. Apalagi kalau meminum air seni dari tubuhnya sendiri ini hanya
sekedar untuk mencoba-coba saja, maka harus dihindarkan oleh kaum muslim.
Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama menyoroti masalah
pengobatan tradisional dengan air seni maupun tentang penggunaan plasenta
manusia pada obat dan kosmetika. Untuk memberikan kejelasan kepada
masyarakat luas dan menghindari kesalah pahaman, secara khusus MUI dalam
Munas tahun 2000 yang lalu telah membahas masalah plasenta manusia dan terapi
urine ini. Dalam Keputusan Fatwa MUI nomor: 2/Munas /VI/ MUI/ 2000 ditetapkan
bahwa :
2. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ tubuh
manusia, hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan diduga kuat
dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli terpercaya.
3. Penggunaan air seni manusia hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan
darurat dan diduga kuat dapat menyembuhkan menurut keterangan dokter ahli
terpercaya.
4. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ
manusia hukumnya adalah haram. Kecuali setelah masuk ke dalam proses Istihalah.
5. Menghimbau kepada semua pihak agar sedapat mungkin tidak memproduksi dan
menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ
manusia atau berobat dengan air seni manusia.
Dengan adanya fatwa MUI tersebut, maka jelaslah bahwa pemakaian air kencing
manusia dan plasenta manusia ini bila tidak dalam status darurat, maka hukumnya
adalah haram bagi umat Islam. Apalagi bila masih ada obat-obat lain yang masih
bisa digunakan, maka penggunaan air kencing maupun plasenta manusia sebagai
obat, tidak ada dasar kedaruratannya. Kalaupun memang darurat, maka ukuran
kedaruratannya ini tidak bisa hanya berdasarkan perasaan seseorang belaka, tetapi
harus berdasarkan pertimbangan obyektif dari beberapa orang ahli kesehatan yang
berkompeten, sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang ahli.
Jadi, kondisi darurat ini tidak bisa hanya berdasarkan kepada pertimbangan satu
orang ahli saja. Adapun ukuran darurat ini menurut pakar hukum Syariah adalah
ancaman nyawa atau kematian. Artinya bila menurut pertimbangan dari minimal 3
orang dokter ahli, misalnya dinyatakan bahwa seorang pasien akan berisiko
meninggal dunia bila tidak segera meminum air kencingnya atau obat berplasenta,
sementara tidak ada satu pun obat lainnya yang bisa digunakan, maka status air
kemih atau plasenta ini akan menjadi halal bagi orang tersebut pada saat itu.
Namun bila ternyata masih ada obat lainnya yang bisa digunakan, maka sifat
kedaruratan air seni atau obat berplasenta ini menjadi batal atau tidak syah secara
hukum Syariah alias haram. Bagi kaum muslim, sudah seharusnya saat ini untuk
berhati-hati dalam membeli produk-produk yang kemungkinan mengandung
plasenta manusia, minimal dengan membaca komposisi bahan-bahan yang tertulis
di dalam kemasannya. Tentunya hal ini akan menambah kewaspadaan agar tidak
terjebak oleh produk yang haram untuk dikonsumsi.
Menurut seorang pakar farmasi yang juga staf ahli di LPPOM-MUI, sekarang ini di
pasaran ada beberapa obat pil atau kapsul merk tertentu yang bahan aktifnya
terbuat dari plasenta manusia. Di antaranya adalah obat perangsang atau pelancar
air susu ibu (ASI). Penggunaan obat ini yaitu untuk menstimulasi aktifitas kelenjar air
susu ibu, agar setelah melahirkan produksi ASI-nya meningkat. Namun perlu juga
diketahui bahwa masih ada obat jenis lain yang khasiatnya serupa tapi tidak
mengandung plasenta manusia.
Sesungguhnya obat-obatan yang dijual bebas maupun obat resep dokter itu banyak
sekali jenis dan variasinya. Dengan demikian maka banyak sekali alternatif yang bisa
dipilih oleh masyarakat atau oleh dokter dalam menuliskan resepnya. Oleh karena itu
sekarang ini tidak ada alasan darurat bagi umat Islam untuk meminum air
kencingnya sendiri maupun menggunakan bahan yang mengandung plasenta
manusia dengan dalih untuk pengobatan.
Terlebih lagi karena obat-obatan itu umumnya adalah produk dari luar negeri yang
belum dijaminan kehalalannya, maka perlu sekali adanya perlindungan bagi kalangan
konsumen umat Islam agar tidak terjebak mengkonsumsi produk yang haram.
Kalaulah produk makanan dan minuman bisa diberikan label halal, mengapa produk
obat-obatan yang diminum atau ditelan tidak diberi sertifikat halal? Padahal pada
hakekatnya obat itu adalah makanan dan makanan pun adalah obat. Obat dan
makanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Oleh karena itu kepastian dan jaminan halalnya produk pangan khususnya obat-
obatan di Indonesia yang mayoritas muslim ini, sudah selayaknya diprioritaskan oleh
produsen dan diatur oleh pemerintah. Penulis sebagai muslim sekaligus sebagai
tenaga medis, secara pribadi sangat mengharapkan sekali dan menantikan hadirnya
obat-obatan yang bersertifikat halal atau ada jaminan kehalalannya. Bila hal ini
terealisasi maka tidak akan ada lagi keraguan ketika menuliskan resep obat apapun.
Semoga saja sertifikasi halal bagi obat-obatan, khususnya jenis obat yang diminum
atau ditelan, baik obat resep dokter maupun obat bebas, akan menjadi kenyataan di
kelak kemudian hari.