Anda di halaman 1dari 8

TUGAS UAS

Artikel Tentang Nilai Islam Dalam Profesi Apoteker

Judul : Peran apoteker sebagai penjaga distribusi terkait halal dan haram bahan obat

Penulis : winartiana (15670076)

Abstrak

Obat adalah alat bantu sebagai penyembuh suatu penyakit. Obat sudah dikenal sejak
zaman sebelum masehi, namun penggunaanya masih bercampur dengan opini
masyarakat tentang adanya ruh jahat yang masuk kedalam tubuh, sehingga fungsi obat
disini adalah untuk mengusir roh jahat. Seiring berkembangnya zaman tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi begitupun dengan ilmu farmasi yang berkembang
sehingga menjadikan produk obat menjadi beraneka ragam dengan bahan-bahan dasar
yang berbeda. Perkembangan ilmu kefarmasian ini menjadikan perbedaan tipis antara
kehalal dan haraman bahan yang akan dibuat obat. Banyak oknum-oknum yang tidak
menggunakan syariat islam mengambil keuntungan dengan bahan yang haram
menjadikan obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit. Peran apoteker islam
disini sangat penting sebagai distributor obat yang nantinya akan memberikan obat
tersebut kepada pasien, maka peran apoteker disini sebagai penjaga agar tetap terjadi
kestabilan antara produk obat yang menggunakan bahan halal. Apoteker dituntut
untuk selalu mengembangkan ilmu pengetahuan dan menemukan hal-hal baru terkait
bahan obat sehingga semakin banyak bahan obat halal yang digunakan, apoteker
disini juga harus meminimalisir adanya penggunaan bahan-bahan haram untuk obat.
Apoteker juga harus mempunyai pedoman agama sehingga dapat membedakan
bahan-bahan halal dan haram yang akan digunakan sebagai obat. Bahan-bahan obat
harus tetap halal dan mempunyai sertifikasi sehingga menimbulkan kenyamanan
konsumsi oleh masyarakat. Obat-obat yang haram hanya diperuntukkan dalam
keadaan darurat yang mana tidak ada lagi bahan obat halal yang ditemukan.

Kata kunci : obat, peran apoteker, bahan obat halal dan haram, obat dalam islam.
Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, hal ini juga
dialami oleh ilmu farmasi. Sampai kurun waktu 4.500 tahun ilmu pengetahuan masih
dilakukan berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun temurun.
Orang-orang zaman dahulu beranggapan bahwa penyakit disebabkan oleh roh jahat
yang masuk ke dalam tubuh sehingga pengobatan-pengobatan bertujuan untuk
menghilanhkan roh jahat degan mantera, bunyi-bunyian dan tumbuh-tumbuhan.
Pengobatan itu kemudian berkembang dengan ditemukannya papyrus ebers sekitar
1500 tahun sebelum masehi. Dunia farmasi kemudian terus berkembang, semakin
berkembangnya ilmu kefarmasian di dasarkan oleh adanya alquranul karim, yang
akhirnya banyak mengaatur pengobatan secara islam.

Metode pengobatan islam yang terkenal sampai kini adalah ath-thibb-an-nabawy


yaitu berpedoman pada pengobatan pada Al-quran yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW yaitu dengan tanaman-tanaman yang tercantum didalam Al-Quran. Karakter
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi di negara-negara islam
memiliki karakter yang unik karena berpedoman terhadap agama islam yang
mengatur banyak hal tentang pengobatan yang tercantum di dalam Al-quran sebagai
pedoman untuk pengobatan. Al-quran dan Hadist mempunyai batasan yang tegas
tentang larangan untuk menggunakan bahan haram sebagai obat hal itu banyak
didukung oleh penelitian barang-barang haram itu nantinya justru akan menimbulkan
berbagai penyakit.

Obat adalah suatu alat yang digunakan untuk proses penyembuhan. Obat memang
erat kaitanya denngan profesi apoteker karena pembuatan obat harus sesuai dengan
ilmu kefarmasian. Obat yang bermacam-macam dengan berbagai sediaan ini
mempunyai bahan yang berbeda-beda disesuaikan dengan tujuan terapi yang akan
digunakan. Obat dengan banyak variasi ini harus mempunyai standar keamanan dan
juga keefektifan terhadap suatu penyakit, dalam perspektif islam obat harus
mempunyai bahan halal yang sesuai dengan kaidah-kaidah islam tentang halal dan
haram.

Bumi dan isinya adalah sumber dari bahan-bahan berkhasiat yang dapat menjadi
obat. Allah SWT mengkaruniakan kepada manusia kekayaan alam yang dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya tetapi juga harus mengikuti aturan yang menjadi
batasan-batsan yang ada di dalam Al-quran dan hadist. Salah satunya adanya batasan
halal dan haram untuk makanan yang dikonsumsi begitupun juga dengan obat terkait
dengan halal dan haram bahan baku obat. oleh karena itu perlu adanya kajian
keislaman terkait profesi apoteker dalam hal berperan sebagai penjaga jalur distribusi
obat terkait bahan baku obat yang selama ini masih banyak digunakan yang belum
terdapat kejelasan halal dan haramnya.

Tujuan dari pembuatan artikel ini adalah untuk membahas profesi apoteker dalam
perspektif islam terkait peranya sebagai penjaga distribusi obat terkait halal dan
haram bahan obat.

Metode

Analisa beberapa produk-produk obat yang mempunyai bahan aktif dan bahan
tambahan yang berbeda serta bentuk sediaan yang berbeda. Bahan-bahan obat ini
mempunyai kandungan yang diperdebatkan terindikasi mengandung bahan-bahan
yang dilarang di dalam islam. Beberapa kajian keislaman membahas tentang
pro-kontra bahan-bahan yang dipercaya mengandung bahan-bahan yang dilarang
didalam islam. Pembuatan obat harus sesuai dengan perspektif halal dan haram islam
hal ini dilakukan agar pengobatan yang dilakukan tidak menyalahi aturan agama dan
juga menghindari dampak buruk yang ditimbulkan akibat bahan obat yang ternyata
berbahaya bagi tubuh. Hal ini disampaikan dalam hadist untuk tidak menggunakan
obat yang haram “Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat penyakit (melainkan) dengan
obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat untuk setiap penyakit. Karena itu hendaklah
kamu berobat dan jangan berobat dengan yang haram” (H.R. Abu Ad Darda’).

Hasil dan pembahasan

Hasil analisa dari berbagai produk farmasi ditemukan beberapa sediaan yang
diragukan terkait halal dan haramnya yaitu :
1. Sediaan topikal berbahan najis seperti apabila digunakan dalam sediaan losio,
krim, plester maka ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumya adalah najis
ketika digunakan.

2. Penggunaan bahan dari babi dalam kefarmasian. Komisi fatwa MUI telah
menfatwakan bahwa babi dan komponen-komponenya haram dikonsumsi baik
sebagai pangan maupun obat serta kosmetik. Bahan obat dan kosmetik yang
berpotensi haram adalah yang terbuat dari bagian organ babi seperti kolagen sebagai
pelembab dan gelatin yang biasanya digunakan untuk cangkang kapsul, serta
beberapa hormon insulin, heparin, dan enzim tripsin dari babi karena insulin babi
secara medis lebih mirip dengan insulin manusia dibandingkan dengan insulin sapi.
Vaksin polio juga dilaang apabila terbuat dari enzim proteolitik dari pacreas babi.

3. Penggunaan alkohol dalam kefarmasian. Sebagian ulama mengqiyaskan


alkohol dengan khamr dan sama sekali menolak penggunaan alkohol dalam berbagai
produk baik obat, kosmetik, maupun antiseptik. Tetapi sebagian ulama memfatwakan
bahwa alkohol tidak selalu dari bahan khamr dan tidak memabukkan, maka alkohol
boleh digunakan apabila dalam produk kadarnya tidak lebih dari 1%. Hal ini karena
penggunaan alkohol dalam farmasi tidak dapat terhindarkan maka alkohol yang bukan
dari khamr boleh digunakan tetapi tidak lebih dari 1%.

4. Bahan memabukkan yang jelas tidak boleh digunakan yaitu morfin, opium, dan
obat psikotropika.

5. Penggunaan plasenta dan cairan amniotik yang digunakan sebagai kosmetik


yang digunakan untuk pembaharuan sel. Penggunanaan amniotik ini terbatas pada
pelembab, lotion, rambut dan perawatan kulit kepala serta shampoo. Tetapi dalam
fatwa MUI menjelaskan bahwa penggunaan organ tubuh seperti ari-ari, air seni, bagi
kepentingan obat-obatan adalah haram.

6. Bahan-bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan seperti menyebabkan


kanker, stroke, diabetes, liver juga diharamkan.

Pembahasan

Produk farmasi terkait halal dan haram merupakan bagian dari tinjauan kritis
produk farmasi bagi seorang muslim, karena hal ini menyangkut tentang keamanan
dari segi ruhaniah bagi seseorang yang mengkonsumsinya seperti mempengaruhi
terkabulnya doa seseorang. Titik kritis itu terkait banyak hal antara lain

Obat, titik kritis obat yaitu terkait bahan yang digunakan untuk obat misal bahan
yang diisolasi dari hewan maka hewan tersebut bukanlah hewan yang haram, selain
itu cara penyembelihan juga menjadi parameter kritis karena apabila hewanya adalah
halal namun cara penyembelihan tidak sesuai dengan aturan islam maka hewan
tersebut akan jadi haram. Produk metabolit mempunyai titik kritis kehalalan medium
serta enzim pertumbuhan yang digunakan. Bahan ekstraksi metabolit aktifpun harus
diperhatikan apakah menggunakan alkohol murni atau produk sampingan industri.

Zat aktif seperti hormon, enzim, vitamin ,juga perlu dicermati. Hal ini terkait
tentang bioteknologi apakah produk berasal dari mikrobil yang haram, media
perbanyakan, media penyegaran. Pada tingkatan teknologi lagi yang perlu
diperhatikan adalah mikroba rekombinan genya berasal dari hewan yang haram atau
halal.

Bahan pembantu juga harus diperhatikan yaitu penggunaan laktosa, adeps lanae.
Sebagian bahan baku laktosa terdapat produk samping dari enzim babi, maka perlu
diperhatikan pakah laktosa tersebut tidak mengandung enzim babi, karena apabila
mengandung enzim babai maka laktosa tersebut adalah bahan pembantu yang haram
digunakan. Etanol yang biasa digunakan untuk pelarut ataupun bahan tambahan yang
masuk kedalam produk harus dieprhatikan agar tidak elbih adri 1% dan sumber
produksinya apakah berhubungan dengan khamr atau tidak.

Pembuatan obat dari bahan alam juga harus diperhatikan karena bahan alam
tersebut bisa saja diisolasi dari hewan maka harus dipastikan bahwa hewan tersebut
adalah hewan yang halal. Produk kosmetik juga harus memperhatikan titik kritis
tentang halal dan haram walaupun kosmetik tidak masuk kedalam tubuh. Kosmetik
tidak hanay terkait halal dan haram namun juga terkait dengan najis dan dapat
membayakan tubuh. Bahan kosmetik memiliki potensi banyak menggunakan bahan
yang haram maupun subhyat terutama produk isolasi hewan seperti kolagen, alkohol,
plasenta yang berasal dari babi dan cairan amniotik.

Pemilihan bahan produknya harus dari bahan yang halal. Maka untuk
menghindari penggunaan bahan yang haram dilakukan sertifikasi halal. Hal ini
didasarkan pada hadist “Menuntut yang halal itu wajib atas setiap muslim” (H.R.
Ibnu Mas’ud).

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat yang
pantas baginya” (H.R. At-Tirmidzi).

Adanya label halal ini akan memudahkan masyarakat untuk menentukan obat
ataupun kosmetik yang akan digunakan. Sertifikat halal ini merupakan fatwa MUI
yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat islam. Tujuan
sertifikasi ini adalah memastikan kehalalan suatu prosuk sehingga dapat menetramkan
batin konsumen.

Namun beberapa kendala yang terjadi adanya sulitnya pendeteksian kehalalan


suatu prosuk karena produk banyak yang diimpor. Selain itu regulasi dan pola
pengawasan produk halal masing-masing negara berbeda karena parameter penentuan
kehalalan dan lembaga serta ijtihad para ulama fiqh lokal berbeda. Oleh karena itu
pentingnya pihak ketiga yang independen atas kehalalan produk pangan, obat,
maupun kosmetika.

Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan dengan


penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat, makanan maupun
kosmetik. Hal itu disebabkan farmasis merupakan suatu profesi yang konsen,
komitmen dan kompeten dalam bidang pengobatan. Untuk dapat mewujudkannya,
dibutuhkan tenaga farmasis muslim yang benar-benar mengerti dibidangnya dan
memiliki sikap sesuai profesi yang disandangnya.

Sebagai farmasis muslim maka dituntut untuk memiliki kepekaan pada kebutuhan
umat islam. Mengkonsumsi obat dan makanan yang berstatus halal adalah kewajiaban
bagi muslim. Islam menghendaki kehati-hatian kita dalam membuat serta
mengkonsumsi segala sesuatu termasuk obat. Tujuan kehati-hatian ini untuk
mengahantakan manusia kepada kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki.
Aturan-aturan dalam islam telah terbukti secara etis meningkatkan kualitas hakiki
kehidupan manusia.

Beberapa pengecualian yaitu terkait konsep darurat pengobatan yaitu apabila


terdapat bahaya jika tidak menggunakan obat itu, tidak ada obat lain sebagai
pengganti selain obat yang diproduksi dari bahan haram. Salah satu contoh konsep
darurat adalah vaksin menginitis untuk calon hamaah haji tang berasal dari enzim babi.
Begitupun dengan vaksin lain yang berbahan haram selama belum ada bahan
pengganti yang halal maka diperbolehkan sesuai kaidah darurat.

Pembahsan tentang kehalal haraman suatu bahan obat memang mempunyai


prinsip-prinsip tersendiri maka apoteker disini harus memahami tentang
hukum-hukum islam dan juga mampu mengaplikasikanya pada pembuatan obat.
Pengetahuan tentang keislaman oleh apoteker sangat diperlukan agara kedepanya
kualitas obat semakin baik dan mempunyai pengaruh baik tanpa mengurangi
keberkahan dalam pengonsumsian obat tersebut. Apoteker juga sebisanya harus
mengasah tentang keilmuan agar semakin banyak bahan-bahan halal yang dapat
digunakan sebagai bahan obat, dengan begitu penggunaan bahan obat haram akan
semakin mudah dihindari dan menjadikan kualitas kesehatan semakin baik tanpa
mengurangi unsur-unsur keislaman dalam upaya pencapaian arti sehat itu.

Kesimpulan

Kesimpulan dari artikel ini yaitu peran apoteker sebagai penjaga distribusi obat
adalah menjaga bahan obat yang digunakan agar tetap menggunakan bahan yang halal
dan sesuai syariat islam. Apoteker harus mampu menghindari penggunaan
bahan-bahan obat yang haram yang jelas dilarang didalam al-Quran, maka apoteker
disini bertanggung jawab menjaga kestabilan agar bahan-bahan yang digunakan
dalam pembuatan obat adalah bahan yang halal. Apoteker juga harus selalu mengasah
ilmu tentang kefarmasian agar ditemukan bahan-bahan halal sebagai pengganti bahan
haram yang terpaksa digunakan dalam keadaan darurat.

Daftar pustaka

An-Nawawi, 2007, Terjemah Hadits Arba’in: An-Nawawiyah, Cetakan V,


Penerjemah: Tim Sholahuddin, Jakarta: Sholahuddin Press.

Departemen Agama RI, 2005, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syamil Cipta Media,
Indonesia.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 1996,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 7 tahun 1996 Tentang
Pangan, DirJen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Putriana, N.A. 2016. “Apakah Obat yang Kita Konsumsi Saat Ini Sudah halal?”
Departemen Farmasetika dan TeknologiFarmasi, Fakultas
Farmasi,Universitas Padjadjaran, Sumedang,Indonesia

Wasito, H. dan D. Herawati, 2008, Etika Farmasi dalam Islam, Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai