Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Produk Farmasi dalam Pandangan Islam

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin berkembang

juga produk-produk farmasi yang beredar di masyarakat yang menuntut masyarakat untuk lebih

selektif dalam memilih produk farmasi tersebut. Diantara produk farmasi yang banyak beredar

dan digunakan oleh masyarakat adalah obat dan kosmetik yang jumlah dan jenisnya semakin

bertambah dari tahun-ketahun. Untuk menghasilkan produk farmasi yang bermanfaat bagi

ummat, selain mutu dan kegunaannya juga perlu diperhatikan persyaratan keamanannnya

termasuk juga keamanan dalam hal kehalalan produk yang dihasilkan, sehingga diperlukan

pemilihan bahan-bahan yang halal dalam komposisi obat tersebut. Segala macam bahan yang

digunakan dalam pembuatan produk farmasi yang diharamkan, selain adanya hikmah yang

belum diketahui manusia juga dikarenakan ada berbagai macam bahaya yang ditimbulkan akibat

bahan tersebut seperti mengakibatkan sakit bertambah parah atau bahkan kematian bagi yang

mengkonsumsinya.

Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan bagian pokok dari tinjauan

kritis produk farmasi bagi seorang muslim, karena hal ini menyangkut keamanan dari segi

ruhaniah bagi seseorang yang mengkonsumsinya seperti mempengaruhi terkabulnya doa di sisi

Allah swt.

” Perbaikilah makananmu, maka Allah akan mengabulkan doa-doamu” (HR Ath-Thabrani)

Dari abu Hurairah r.a. yang berkata : Rosulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya Allah Ta’ala itu

Thayyib (bersih dari kekurangan dan kotoran) dan tidak menerima kecuali yang thayyib.

1
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan apa yang

diperintahkannya kepada rasul. Allah Ta’ala berfirman : ‘Hai para rasul, makanlah dari

makanan-makanan yang thayyib dan kerjakanlah amal saleh. Allah Ta’ala juga berfirman : “Hai

orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezki-rezki yang thayyib yang Kami berikan

kepadamu.” Kemudian beliau menyebut tentang seseorang laki-laki yang menempuh perjalanan

yang panjang, badannya kusut dan berdebu, ia mengangkat tanggannya ke langit sambil berdoa :

‘Rabbi, Rabbi!’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia

dikenyangkan dengan hal-hal yang haram, maka mana mungkin doanya terkabulkan ?” (HR.

Muslim).

Beberapa produk farmasi yang banyak beredar di masyarakat dan perlu mendapatkan

perhatian kita antara lain obat-obatan baik yang berupa obat sintetik maupun obat dengan bahan

alam seperti obat tradisional dan kosmetik.

1.1.1 Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau

menyelidiki sistem fisiologi tubuh atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.

Untuk membuat obat diperlukan bahan aktif serta bahan tambahan lainnya seperti bahan

pembawa, pengisi, pengemulsi, pensuspensi, pewarna, perasa, enkapsulasi, pelarut, penyalut,

pemanis, pengawet, antioksidan dan bahan tambahan lainnya. Bahan aktif obat dapat berasal dari

tumbuhan, hewan, mikroba, bahan kimia sintetik serta dapat juga dari bagian tubuh manusia.

Bahan berkhasiat obat adalah bahan aktif yang berkhasiat sebagai obat karena memiliki fungsi

farmakologis untuk mempengaruhi fisiologi tubuh atau reseptor baik secara sistemik maupun

2
lokal sehingga diperoleh efek yang dikehendaki. Bahan- bahan ini pada umumnya aman dan

halal untuk digunakan baik bahan yang berasal dari alam seperti tumbuhan dan hewan maupun

senyawa hasil sintesis secara kimiawi, namun juga terdapat bahan-bahan yang syubhat bahkan

haram untuk dikonsumsi. Pemanfaatan babi dan unsur-unsurnya atau turunan-turunannya mutlak

tidak boleh dilakukan. Jika suatu proses produksi obat memanfaatkan babi dan unsur-unsurnya

maka produknya menjadi haram dimakan, seperti penggunaan insulin babi dan produk-produk

protein farmasetik dengan pemanfaatan gen dari babi dalam rekayasa genetika.

Bahan aktif yang berasal dari tumbuhan dapat berasal dari sebagian atau keseluruhan

bagian tumbuhan itu, atau diisolasi dari sebagian atau keseluruhan bagian tumbuhan itu dengan

cara ekstraksi pelarut atau diproses dengan cara fermentasi. Kehalalan obat tersebut tentunya

akan tergantung dari kehalalan bahan tambahan atau bahan penolong yang digunakan dalam

penyediaan bahan aktif obat dari tanaman tersebut. Bahan aktif yang berasal dari hewan pada

umumnya tergolong dalam senyawa protein, asam amino, vitamin, mineral, asam lemak dan

turunannya, enzim, dan jenis bahan aktif hewani lainnya. Kehalalan bahan aktif dari hewan

tersebut tentunya tergantung dari jenis dan tata cara penyembelihan hewan tersebut. Bila berasal

dari hewan haram, jelas haram begitu pula dalam penyembelihannya yang tidak sesuai dengan

kaidah hukum islam. Sedangkan jika hewan tersebut halal dikonsumsi serta penyembelihannya

sesuai dengan standar penyembelihan hewan secara hukum islam maka halal obat tersebut.

Untuk bahan aktif yang berasal dari mikroba seperti golongan statin, beberapa antibiotik, asam

amino, hormon dan bahan lainnya sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa

untuk produk mikrobial perlu kajian dari kehalalan bahan-bahan media, mulai dari media

penyegaran, perbanyakan, dan media produksi atau fermentasinya. Selain itu juga perlu kajian

mengenai bahan penolong fermentasi dan pasca fermentasi. Untuk bahan aktif yang berasal dari

3
bagian tubuh manusia seperti sistein dari rambut manusia, plasenta manusia, atau albumin dari

darah manusia, jelaslah haram. Sedangkan untuk bahan aktif yang berasal dari bahan kimia

sintesis pada umumnya halal, namun perlu kajian lebih lanjut terutama bila dicampur dengan

bahan yang haram.

Untuk membuat sediaan obat biasanya diperlukan bahan tambahan baik bentuk sediaan

obat dalam seperti tablet, serbuk, dragee, kaplet, kapsul, suspensi, larutan, emulsi, dan obat

pemakaian injeksi maupun untuk pemakaian luar tubuh seperti salep, krim, pasta, lotion, salep,

obat tetes, supositoria, aerosol dan bentuk sediaan farmasi lainnya. Dalam pembuatan tablet

biasanya digunakan bahan tambahan seperti magnesium stearat yang merupakan garam dari

asam lemak, monogliserida yang merupakan turunan asam lemak, yang mungkin berasal dari

lemak atau minyak hewan. Maka perlu kajian lebih lanjut mengenai kehalalan asal hewannya

serta kehalalan proses penyembelihannya. Untuk bentuk sediaan obat dalam kapsul perlu ditinjau

kehalalan dari cangkang kapsul yang digunakan. Cangkang kapsul biasanya dibuat dari gelatin

yang dapat berasal dari tulang atau kulit babi, sapi atau ikan dan gliserol yang merupakan hasil

hidrolisis lemak. Obat berbentuk cair sering ada penambahan etanol untuk pelarut bahan

aktifnya. Selain itu juga ada penambahan perasa atau flavor seperti perasa buah-buahan yang

mungkin berasal bukan dari sari buah, melainkan dari senyawa civetton yang berasal dari

kelenjar hormon binatang civet atau costorium (berang-berang). Untuk pembuatan pil terdapat

bahan tambahan yang perlu ditinjau kehalalannya seperti penggunaan gliserin, gelatin dan

shellac yang biasanya dilarutkan dalam alkohol. Sedangkan untuk obat injeksi yang perlu

diperhatikan adalah penggunaan pelarut seperti etanol, gliserin dan juga biasanya juga

ditambahkan zat pembawa yang dapat berasal dari albumin manusia. Yang perlu diperhatikan

dalam komposisi obat luar diantaranya seperti penggunaan gliserin sebagai zat pembawa pada

4
obat luar bentuk pasta, lotio, dan tetes telinga; gelatin sebagai zat pembawa suppositoria dan

ovulae; span, tween, atau senyawa turunan asam-asam lemak sebagai pengemulsi obat luar

dalam bentuk krim atau pasta. Selain itu juga penggunaan plasenta dari hewan atau manusia

untuk obat luka bakar atau operasi juga perlu kajian lebih lanjut.

1.1.2 Kosmetika

Kosmetik dalam bahasa Arab modern diistilahkan dengan alatuj tajmil atau sarana untuk

mempercantik diri. Kosmetik merupakan sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan

pada bagian luar badan seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin luar serta gigi

dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan,

melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan namun tidak dimaksudkan

untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit. Produk kosmetik memang tidak dimakan dan

masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu penggunaan kosmetik biasanya dikaitkan dengan

masalah suci dan najis. Unsur kosmetik haruslah terdiri dari zat yang halal, tidak najis atau

menjijikan (khabitsaat), dan tidak membahayakan tubuh pemakaiannya serta jangan sampai

kosmetik menjadi sarana tabarruj yakni berdandan yang berlebihan dan bukan pada tempatnya.

Aspek kehalalan dan ketoyiban perlu diperhatikan dalam pemilihan dan penggunaan

kosmetik. Bila kosmetik tersebut digunakan di luar tubuh, tetapi bahan-bahan untuk membuat

kosmetik ada yang tergolong najis bahkan tergolong najis berat seperti bahan dari babi maka

kosmetik tersebut tidak layak atau haram digunakan oleh konsumen muslim.

Sumber bahan untuk membuat kosmetik hampir sama dengan obat-obatan yaitu dapat berasal

dari tumbuhan, hewan, mikroba, bahan sintetik kimia, bahkan bisa dari bahan bagian dari

manusia sehingga perlu memperhatikan sisi hehalalannya. Plasenta manusia banyak digunakan

5
sebagai bahan kosmetik sejak 1940, plasenta dapat digunakan sebagai perawatan intensif tubuh,

placenta lactogen, placenta shampoo, bioactive dermal cream, amniotic collagen cream, hair

conditioner, facial tonic, serta bioactive dermal soap. Cairan amniotik yang berada di sekitar

janin memiliki keuntungan yang sama dengan plasenta serta penggunaannya terbatas pada

penggunaan pelembab, lotion rambut dan perawatan kulit kepala serta shampoo.

Kolagen dalam produk kosmetik bisa berasal dari sapi ataupun babi, bahan ini memiliki efek

melembabkan karena bersifat tidak larut dalam air. Selain itu juga cerebroside yang digunakan

dalam kosmetik dapat bersumber dari sapi, lembu jantan, sel otak babi atau jaringan-jaringan

sistem syarafnya.

Selain kehalalan juga perlu diperhatikan sisi keamanan sehingga baiik (thoyib) untuk

digunakan oleh manusia. Diantara bahan berbahaya yang biasa terdapat pada kosmetik antara

lain seperti penggunaan air raksa/merkuri dan Hidrokinon yang lebih dari 2 % yang sering

ditambahkan pada pemutih, Rhodamin B yang biasa terdapat pada lipstik, Methanil

yellow/pewarna kuning dan merah K3 yang terdapat pada bedak, serta penggunaan methanol

lebih dari 5 % pada beberapa sediaan spray. Bahan-bahan tersebut dapat mengakibatkan

kerusakan pada tubuh bahkan sampai dapat menimbulkan kanker bagi tubuh.

Bahan tambahan pada sediaan kosmetik seharusnya menggunakan bahan-bahan yang

telah terdaftar dan boleh digunakan secara farmasetik, karena penggunaan bahan tambahan yang

tidak diperbolehkan dan dalam jumlah yang besar dapat mengakibatkan racun dan kerusakan

bagi tubuh ketika digunakan. Racun dan segala yang membahayakan jiwa telah diharamkan oleh

Islam.

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu (sendiri), sesungguhnya Allah Mahamengasihimu.”

(QS. An Nisa’ :29)

6
“Rasulullah saw bersabda : “ Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh

membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

1.2 Mengenai Halal dan Haramnya Makanan, Obat, atau Kosmetik

Dalam prinsip dasar Islam, seorang muslim wajib mengikatkan perbuatannya dengan

hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak

sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa

(Islam).” (HR. Al-Baghawi) (Haqqi, 2003:40).

Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui halal-

haramnya perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi

kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya makanan, obat, dan kosmetik. Akan

tetapi, penentuan status halal haramnya suatu makanan, obat, atau kosmetik kadang bukan

perkara mudah. Di satu sisi, para ulama mungkin belum seluruhnya menyadari betapa

kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik dewasa ini. Asal usul bahan bisa melalui jalur

yang berliku-liku, banyak jalur. Bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya.

Di sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan metodologi

penentuan halam haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah, relatif minimal. Dengan

demikian seharusnya para ulama mencoba memahami kompleksnya produk pangan, obat, dan

kosmetik. Sedangkan ilmuwan muslim, sudah seharusnya menggali kembali pengetahuan

syariahnya, di samping membantu ulama memahami kompleksitas masalah yang ada.

(Apriyantono, Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan,

www.indohalal.com).

7
Berkaitan dengan itu, penting sekali dikemukakan metode penentuan status hukum, baik

penentuan hukum untuk masalah baru (ijtihad) maupun sekedar penerapan hukum yang sudah

ada pada masalah baru (tathbiq al-hukm ‘ala mas`alah al-jadidah). Berdasarkan metode

Taqiyuddin An-Nabhani (1994:201; 2001:74), terdapat 3 (tiga) langkah yang harus ditempuh

dalam menetapkan satus hukum :

Pertama, memahami fakta/problem secara apa adanya (fahmul musykilah al-qa`imah). Fakta ini

dalam ilmu ushul fiqih dikenal dengan istilah manath (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, III/24) . Di

sinilah para ulama wajib memahami masalah yang ada, dibantu oleh para ilmuwan muslim.

Kedua, memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang berkaitan dengan

fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami hukum-hukum syara’ (fahmul ahkam

asy-syar’iyah) yang telah ada yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),

Ketiga, mengistinbath hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta; atau menerapkan hukum

yang telah ada pada fakta.

Makalah ini bertujuan terutama menjelaskan hukum alkohol dalam makanan, obat, dan

kosmetik. Sebelum itu, akan dijelaskan lebih dulu beberapa prinsip dasar dalam fiqih Islam

dalam penentuan status hukum. Prinsip ini pula yang secara spesifik digunakan dalam makalah

ini untuk meninjau hukum alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik.

8
BAB II

ISI

2.1 Beberapa Prinsip Dasar dalam Fiqih Islam

Prinsip-prinsip dasar berikut ini ada yang berupa suatu hukum syara’ (al-hukm al-syar’i),

dan ada pula yang berupa kaidah syara’ (al-qa’idah asy-syar’iyah) yaitu kaidah umum yang

dapat diterapkan untuk berbagai kasus. Berikut penjelasan sekilas prinsip-prinsip tersebut.

2.1.1 Hukum Asal Benda Adalah Mubah

Prinsip ini dalam rumusannya yang lengkap berbunyi Al-Ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah

maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil

yang mengharamkannya). (‘Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid

Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48; Al-Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-

15). Yang dimaksud asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan

manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di

dalamnya (Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 15). Kaidah ini disimpulkan dari

berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi

adalah diperuntukkan bagi manusia, yaitu telah dihalalkan oleh Allah (misalnya QS Al-Baqarah

[2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 13, QS Luqman [31] : 20).

Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan yang tidak ada

keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini, ditetapkan hukum asalnya, yaitu mubah.

As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya halal, berdasarkan prinsip ini (Abdul Hamid Hakim,

Mabadi` Awwaliyah, hal. 48).

9
2.1.2 Hukum Asal Benda Yang Berbahaya Adalah Haram

Prinsip ini berbunyi : Al-Ashlu fi al-madhaar at-tahrim (hukum asal benda yang

berbahaya [mudharat] adalah haram) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah,

III/451). Prinsip ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, sementara tidak

terdapat nash syar’i tertentu yang melarang, memerintah, atau membolehkan, maka hukumnya

haram. Sebab, syariat telah mengharamkan terjadinya bahaya. Misalnya, ecstasy dan segala

macam narkoba lainnya hukumnya haram karena menimbulkan bahaya bagi penggunanya.

Dasar dari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW, di antaranya sabda Nabi SAW, “Laa

dharara wa laa dhirara.” (Tidak boleh menimpakan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi

orang lain) (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan lain-lain) (An-Nawawi, 2001:214).

2.1.3 Setiap Kasus dari Perbuatan/Benda Yang Mubah, Jika Berbahaya atau Membawa pada

Bahaya, Maka Kasus Itu Saja Yang Haram, Sedang Hukum Asalnya Tetap Mubah

Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah

idzaa kaana dhaaran aw mu`addiyan ila dharar hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-

amru mubahan (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Kaidah ini

berarti, suatu masalah (berupa perbuatan atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus

tertentu darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang

diharamkan. Sementara hukum asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya boleh.

Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah, mandi bisa berbahaya baginya. Maka

mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri tetap mubah

hukumnya. Contoh lain, daging kambing, hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang

10
menderita hipertensi, daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging

kambing hukumnya haram. Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.

Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits (Abdullah, 1996:141). Antara lain, Rasul SAW pernah

melarang para sahabat untuk meminum air dari sumber air di perkampungan kaum Tsamud

(kaum Nabi Salih AS), karena air tersebut berbahaya. Padahal air hukum asalnya mubah (Lihat

Sirah Ibnu Hisyam, IV/164).

2.1.4 Segala Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang Haram, Hukumnya Haram

Prinsip di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi al-wasilah ila al-haraam

haraam (segala perantaraan [berupa perbuatan atau benda] yang membawa kepada yang haram,

hukumnya haram). Jadi, meskipun hukum asal perantara itu adalah mubah, tapi akan menjadi

haram jika membawa kepada yang haram. Syarat penerapan kaidah ini ada dua; Pertama, bahwa

perantara itu diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan membawa pada yang haram. Kedua, bahwa

akibat akhir dari adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil syar’i (An-

Nabhani, 2001:92).

Kaidah tersebut berasal dari firman Allah SWT (artinya) :

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena

mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu pengetahuan.” (QS Al-

An’aam [6] : 108)

Memaki tuhan-tuhan sembahan orang kafir, hukum asalnya mubah. Tapi kalau itu akan

menimbulkan makian kepada Allah SWT, maka hukumnya menjadi haram. Dari sinilah muncul

kaidah al-wasilah ila al-haraam haraam.

11
Contoh penerapannya adalah haramnya menjual anggur atau perasan (jus) anggur –dan

yang semacamnya– yang diketahui akan dijadikan khamr. Padahal jual beli itu hukum asalnya

mubah. Tapi kalau jual beli ini akan mengakibatkan keharaman, yaitu produksi khamr, maka jual

beli itu menjadi haram hukumnya, berdasarkan kaidah di atas. Apalagi, dalam masalah ini

(menjual perasan anggur yang diketahui akan dibuat khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan

keharamannya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ahmad RA, bahwa Rasulullah SAW

bersabda,”"Barang siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia

menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya menjadi khamr,

maka sungguh ia akan masuk neraka” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih

oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy).

Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur

kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr (Nailul Authar, V/234). Asy-Syaukani

tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai khamr, tetapi juga

mengharamkan setiap jual-beli yang akan menimbulkan keharaman, dikiaskan dengan hadits

tersebut.

2.1.5 Hukum Makanan/Minuman Tidak Didasarkan Pada Illat (Motif Penetapan Hukum)

Prinsip ini lengkapnya berbunyi Inna al-‘ibadat wa al-math’umat wa al-malbusat wa

al-masyrubat wa al-akhlaq laa tu’allalu wa yaltazimu fiihaa bi al-nash. (Sesungguhnya

[hukum] ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq, tidaklah didasarkan pada illat

[motif/alasan penetapan hukum], melainkan didasarkan pada nash semata) (Abdul Qadim

Zallum, 1985 : 51).

12
Kaidah tersebut diperoleh dari penelaahan induktif (istiqra`) terhadap hukum-hukum

syara’ dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq. Kesimpulannya, hukum-

hukum tersebut tidak mempunyai illat tertentu. Misalkan, puasa disyariatkan karena ada nash

yang memerintahkannya, bukan karena alasan supaya orang yang berpuasa menjadi sehat.

Khamr diharamkan karena ada nash yang mengharamkannya, bukan didasarkan pada alasan

bahwa khamr itu memabukkan bagi yang meminumnya.

Kesimpulan tentang khamr ini lebih dipertegas oleh penjelasan Nabi SAW yang

diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Diharamkannya khamr itu

karena bendanya, banyak maupun sedikit. Juga (diharamkan) yang memabukkan dari setiap

minuman” (HR An-Nasa’i dengan sanad hasan, Sunan An-Nasa’i VIII/320-321). Ibnu Umar RA

juga meriwayatkan, ketika surat An-Nisaa’ ayat 43 turun (larangan mabuk pada waktu shalat),

Rasulullah SAW berkata,”Diharamkan khamr karena zatnya.” (HR Abu Dawud).

Dua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa khamr itu diharamkan karena zatnya itu

sendiri, bukan karena ada illat tertentu. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai,

hukumnya haram bukan karena ada illat tertentu, tapi karena kedua benda itu diharamkan karena

zatnya (berdasarkan nash).

2.1.6 Maslahat Bukan Dalil Syar’i (Sumber Hukum)

Maslahat artinya identik dengan manfaat (utility), yaitu suatu kemampuan yang terdapat

pada benda (barang) atau perbuatan (jasa) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maslahat bukan

dalil syar’i atau sumber hukum. Posisi maslahat jika dikaitkan dengan suatu ketetapan hukum

syara’, dirumuskan dalam kaidah : haitsuma yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah (di mana

ada penerapan syariah, maka di sana akan ada maslahat). Itulah yang benar, bukan aynama

13
wujidat al-maslahah fa tsamma syar’ullah (dimana ada maslahat maka di sana ada hukum

Allah). (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958).

Karena itulah, kita akan dapat memahami, mengapa khamr itu tetap diharamkan

walaupun khamr itu mempunyai beberapa maslahat (manfaat) (lihat QS Al-Baqarah [2] : 219).

Manfaat khamr misalnya menghasilkan kalori. Setiap 1 gram etanol diketahui menghasilkan

energi sebesar 7 kalori (Mustaha KS, 1983:24). Belum lagi manfaat-manfaat khamr dari segi

ekonomi. Namun khamr tetap haram karena maslahat itu memang bukanlah dalil syar’i yang

menjadi dasar untuk menetapkan halalnya sesuatu. Maslahat hanyalah dampak atau efek yang

muncul setelah adanya penerapan hukum syara’, bukan dasar atau alasan penetapan hukum.

2.1.7 Perkara Syubhat Sebaiknya Ditinggalkan

Syubhat artinya ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal

haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan

status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham

Al-Ijtima’i fil Islam, hal. 100)

Ketidakjelasan status hukum, misalkan tentang hukum kura-kura atau penyu. Masalah ini

belum bisa difatwakan oleh MUI karena faktanya masih kabur. Dalam situs www.

halalmui.or.id, MUI menyatakan, “Masalah kura-kura di-pending. Memanggil pakar tentang

kura-kura (penyu).” Selain itu, syubhat bisa juga muncul karena ketidakjelasan fakta sesuatu itu

sendiri. Meskipun status hukumnya sudah jelas. Mie goreng misalnya jelas status hukumnya

mubah. Tapi terkadang di restoran tertentu ditambahkan arak (khamr) untuk untuk menambah

selera pada mie goreng yang dimasak. Ini bisa terdapat pada mie goreng ayam, mie goreng sea

food, mie goreng udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan ini biasanya

14
adalah khamr putih, arak merah, atau mirin (www.halal.mui.or.id ). Jadi, meski status mie

goreng itu mubah, tapi penambahan zat yang haram ini lalu menimbulkan syubhat, apakah mie

goreng di restoran tertentu itu halal atau haram?

Maka, sikap yang terbaik adalah meninggalkan perkara yang syubhat, sebagai suatu sikap

wara’ yang sudah selayaknya dimiliki setiap muslim. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW :

“…barangsiapa meninggalkan yang syubhat, berarti ia telah menjaga kebersihan agama dan

kehormatan dirinya…” (Muttafaqun ‘alaihi, Lihat Subulus Salam, IV/171). Rasulullah SAW

berkata pula,”"Tinggalkan apa yang meragukanmu [menuju] kepada apa yang tidak

meragukanmu.” (HR At-Tirmidzi).

2.1.8 Keadaan Darurat Membolehkan Yang Haram

Darurat (adh-dharurat) menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa an-Nazha`ir hal.

61 adalah sampainya seseorang pada batas ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa

(mati) atau mendekati binasa. Semakna dengan ini, darurat menurut Syaikh Taqiyuddin An-

Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/477 adalah keterpaksaan yang sangat

mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirar al-mulji`

alladzi yukhsya minhu al-halak).

Itulah definisi darurat yang membolehkan hal yang haram, sebagaimana termaktub dalam

kaidah fiqih termasyhur : adh-dharuratu tubiihu al-mahzhuuraat (keadaan darurat membolehkan

apa yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 59). Kaidah itu berasal dari ayat-

ayat yang membolehkan memakan yang haram seperti bangkai dan daging babi dalam kondisi

terpaksa. Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 173 dan QS Al-Maidah [5] : 3.

15
Contoh penerapannya, misalnya ada orang kelaparan yang tidak memperoleh makanan

kecuali daging babi, atau tidak mendapat minuman kecuali khamr, maka boleh baginya

memakan atau meminumnya, karena darurat.

2.1.9 Memanfaatkan Benda Najis Hukumnya Haram

Memanfaatkan (intifa’/isti’mal) benda-benda najis (an-najasat) adalah masalah

khilafiyah. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun pendapat yang rajih (kuat)

adalah yang mengharamkan. Dalilnya antara lain firman Allah SWT :

““Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,

dan mengundi dengan anak panah itu adalah rijsun (najis) termasuk perbuatan syetan, maka

jauhilah najis itu agar kamu mendapatkan keberuntungan…” (QS Al-Maaidah [5] : 90)

Dalam firman Allah “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu) terkandung perintah untuk

menjauhi rijsun yang berarti kotoran atau najis. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram,

sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.

Maka, haram hukumnya memanfaatkan kotoran binatang untuk pupuk, memanfaatkan

bahan dari babi, dan semua benda najis lainnya, sebab itu semua adalah najis yang wajib dijauhi,

bukan didekati atau dimanfaatkan. Namun mengenai alkohol, terdapat sedikit isykal (kerancuan) di

antara kita, apakah alkohol (yang termasuk salah satu bentuk khomr) najis ataukah tidak. Sehingga apakah

kita boleh menggunakan alkohol (selain untuk diminum), seperti digunakan untuk campuran parfum dan

obat-obatan atau yang lainnya terdapat perbedaan pendapat antar para ulama.

Namun pendapat yang lebih rajih (kuat) dalam hal ini adalah yang berpendapat bahwa

alkohol tidaklah najis. Dari dalil QS al-Maidah : 90 di atas sebagian fuqaha mengatakan bahwa

kata rijsun pada ayat tersebut adalah najis secara maknawi (atau najis hukmi, yakni najis secara

hukum), bukan najis dzati (atau najis aini, yakni najis secara materi/zat). Karena kata rijsun tidak

16
hanya khabar (keterangan) bagi khamr, tetapi juga keterangan bagi perbuatan berjudi, berkorban

untuk berhala, dan mengundi nasib, yang semuanya jelas tidak bisa disifati dengan najis dzati.

Mereka berdalil dengan firman Allah SWT (artinya) : “Maka jauhilah berhala-berhala yang

najis itu” (QS Al Hajj [22] : 30). Berhala yang disebut najis pada ayat tersebut adalah najis

maknawi, bukan najis dzatii. Contoh lain najis maknawi terdapat pada surat At Taubah ayat 28

(artinya) :“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS At Taubah [9] : 28). Yang

dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzati (tubuh) mereka, tetapi najis maknawi,

yaitu aqidah yang mereka peluk adalah aqidah syirik yang harus dijauhi, sebagaimana yang

dipahami oleh jumhurul fuqaha’.

Dengan demikian kata rijsun dalam surat Al Maidah 90 tersebut, adalah najis secara

maknawi, bukan najis dzati. Implikasinya, khamr itu suci, bukan najis. Alkohol pun lalu adalah

suci dan bukan najis. Pandangan tersebut diperkuat oleh bunyi ayat selanjutnya min ‘amal asy-

syaithan (dari perbuatan syetan).. Itu berarti, yang dimaksud dengan najis (rijsun) dalam QS Al-

Maidah ayat 90 adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati (Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah,

I/28; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 2003:205-206).

2.1.10 Memanfaatkan Benda Najis dan Haram dalam Pengobatan Hukumnya Makruh

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada pendapat yang

mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauyziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama

Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Dan

ada pula yang memakruhkannya. Di sini dicukupkan dengan menjelaskan pendapat yang rajih

(kuat), yakni yang menyatakan bahwa berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan memanfaatkan

benda najis dan haram hukumnya makruh, bukan haram.

17
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/109-

110 telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits

yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-

hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW

bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan.”

(HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban). Rasulullah SAW bersabda

pula,“Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit

ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang

haram.”(HR Abu Dawud).

Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram.

Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air kencing unta.

Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah

yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit

perut Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta

dan meminum air susu dan air kencingnya… (HR Muslim) (Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul,

hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M.

Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu

najis (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).

Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah)

kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit

gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin,

I/623). Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram

18
dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari,

Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.

Dalam menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut Syaikh

Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut An-Nabhani,

sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram (”janganlah kamu berobat dengan

sesuatu yang haram”) tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan

tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada

adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas

(jazim) —sehingga hukumnya haram– atau tidak tegas (ghairu jazim) -sehingga hukumnya

makruh–, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut.

Dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani

dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan

tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah

makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).

Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram

untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan kata lain,

memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya makruh. (Patut

dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu najis, seperti sutera dan termasuk alkohol

(pendapat jumhur ulama). Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan).

2.1.11 Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram

Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih “Kullu maa hurrima ‘ala al-ibaad

fabay’uhu haram.” (Segala sesuatu yang diharamkan Allah atas hamba-Nya, maka

19
memperjualbelikannya adalah haram juga) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-

Islamiyah, II/248). Karena itu, memperjualbelikan babi, darah, khamr, dan patung adalah haram.

Karena syariah telah mengharamkan memakan daging babi, memakan darah, meminum khamr,

dan membuat patung.

Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya sabda Nabi SAW, “Dan

sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram

pula bagi mereka harga hasil penjualannya.” (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud).

Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,”Sesungguhnya setiap yang

diharamkan Allah kepada hamba, maka menjuabelikannya pun haram, disebabkan karena

haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali

yang telah dikhususkan oleh dalil.” (Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221).

Berdasarkan hal ini, memperjualbelikan benda yang najis dan haram untuk kepentingan

pengobatan, tidaklah haram. Sebab berobat dengan benda najis dan haram hukumnya makruh,

tidak haram.

2.2 Hukum Syara‘ Seputar Alkohol

2.2.1 Pengertian Khamr

Khamr dalam pengertian bahasa Arab (makna lughawi) berarti “menutupi”. Disebut

sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan menurut pengertian ‘urfi

(menurut adat kebiasaan) pada masa Nabi SAW, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang

terbuat dari perasan anggur (Asy-Syaukani, Nailul Authar, IV/57).

Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr adalah setiap minuman yang memabukkan (kullu

syaraabin muskirin). Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja, tetapi semua minuman

20
yang memabukkan, baik dari bahan anggur maupun lainnya. Pengertian ini diambil berdasarkan

beberapa hadits Nabi SAW. Di antaranya adalah hadits dari Nu’man bin Basyir RA bahwa

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr, dari jewawut itu terbuat khamr, dari kismis

terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu terbuat khamr” (HR Jama’ah, kecuali

An-Nasa’i).

Dari Jabir RA, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada Rasulullah SAW

tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuat

dari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah minuman itu

memabukkan?” “Ya” jawabnya. Kemudian Rasulullah SAW menjawab :

“Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang yang meminum

minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari thinah al-khabal.

Mereka bertanya, apakah thinah al-khabal itu? Jawab Rasulullah,”Keringat ahli neraka atau

perasan tubuh ahli neraka.” (HR Muslim, An Nasa’i, dan Ahmad).

Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa ia berkata,

“Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau memberikan fatwanya tentang dua jenis

minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al bit’i dan al murir. Yang pertama terbuat dari madu

yang kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa memabukkan). Yang kedua terbuat dari bijii-

bijian dan gandum dibuat minuman hingga keras. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW

telah lengkap dan sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda,”“Setiap yang memabukkan

itu haram.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW juga

bersabda,”“Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram.“ (HR Muslim dan

Daruquthni).

21
Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan

anggur saja, sebagaimana makna urfi, tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan

memabukkan. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal disebut khamr, baik

terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. Berarti itu merupakan pengertian

syar’i tentang khamr yang disampaikan Rasul SAW dalam hadits-haditsnya (Abdurrahman Al-

Maliki, Nizhamul Uqubaat, hal. 49-50). Dalam keadaan demikian, yakni setalah adanya makna

syar’i –makna baru yang dipindahkan dari makna aslinya oleh syara’– yang berbeda dengan

makna lughawi dan makna ‘urfi, maka makna syar’i tersebut harus didahulukan daripada makna

lughawi dan makna urfi.

Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa

“setiap yang memabukkan itu khamr”, berarti itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang

melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka

untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya adalah dengan meneliti

zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.

Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian fakta), oleh para kimiawan, dapat

diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan dalam khamr adalah etil

alkohol atau etanol. Zat inilah yang memiliki khasiat memabukkan. Minuman yang

mengandung alkohol ini, dikenal dengan terminologi “minuman beralkohol”. Walaupun

bermacam-macam namanya dan kadar alkoholnya, semuanya termasuk kategori khamr yang

haram hukumnya (Lihat Tabel 1).

22
2.2.2 Sekilas Fakta Alkohol

Alkohol yang dimaksud dalam pembahasan di sini ialah etil alkohol atau etanol, suatu

senyawa kimia dengan rumus C2H5OH (Hukum Alkohol dalam Minuman, www.mui.or.id).

Berikut dicantumkan beberapa nama minuman dan kadar alkoholnya (Sumber : Mustafa KS,

Alkohol Dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan, Bandung : PT Alma’arif, 1983 : 23) :

1. Bir Putih, 1 - 5 %

2. Bir Hitam, 15 %

3. Samsu, 20 %

4. Macam-Macam Anggur, 15 %

5. Ryn & Moezelijn, 10 %

6. Anggur Malaga, 15-17 %

7. Tokayer, 15 %

8. Sherry, 20 %

9. Likeuren, 30-50 %

10. Anggur Perancis, 9-11 %

11. Champagne, 10-12 %

12. Anggur Spanyol, 15-20 %

13. Anggur Hongaria, 15-20 %

14. Rhum & Brandy, 40-70 %

15. Jenever, 40 %

16. Bols, 40 %

17. Hulskamp, 40 %

18. Whiskey, 30-40 %

23
19. Cognac, 30-40 %

20. Tuak & Saguer, 11-15 %

21. Macam-Macam Anggur Obat, 15-20 %

22. Shake, 10 %

Minuman beralkohol dibuat dari proses fermentasi karbohidrat (pati) melalui 3 (tiga)

tahapan, yaitu : (1) pembuatan larutan nutrien, (2) fermentasi, (3) destilasi etanol. Adapun bahan-

bahan yang mengandung gula tinggi, tidak memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda

dengan bahan yang yang berasal dari bahan pati dan selulosa, yang memerlukan penambahan

asam (perlakuan kimia) dan penambahan enzim untuk menghidrolisisnya menjadi senyawa yang

lebih sederhana. Jika bahan untuk fermentasi berasal dari biji-bijian seperti jagung dan sereal

lainnya, maka bahan tersebut harus direndam dalam air (soaking) hingga berkecambah, lalu

direbus dan diprose menjadi mash dan dipanaskan. Di samping penggunaan mikroorganisme

pada proses fermentasi, kondisi optimal fermentasi harus dijaga, seperti aerasi, pH, suhu, dan

lain-lain (Tabloid Dialog Jumat, Jumat 18 Pebruari 2005, hal. 6).

Dalam dunia kimia, farmasi dan kedokteran, etanol banyak digunakan. Di antaranya :

1. Sebagai pelarut.

Sesudah air, alkohol merupakan pelarut yang paling bermanfaat dalam farmasi. Digunakan

sebagai pelarut utama untuk banyak senyawa organik (Ansel, 1989:313,606).

2. Sebagai bakterisida (pembasmi bakteri).

Etanol 60-80 % berkhasiat sebagai bakterisida yang kuat dan cepat terhadap bakteri-bakteri.

Penggunaannya adalah digosokkan pada kulit lebih kurang 2 menit untuk mendapat efek

maksimal. Tapi alkohol tidak bisa memusnahkan spora (Tjay & Rahardja, 1986:170;

Mutschler, 1991:612).

24
3. Sebagai alkohol penggosok.

Alkohol penggosok ini mengandung sekitar 70 % v/v, dan sisanya air dan bahan lainnya.

Digunakan sebagai rubefacient pada pemakaian luar dan gosokan untuk menghilangkan rasa

sakit pada pasien yang terbaring lama (Ansel,1989:537).

4. Sebagai germisida alat-alat (Ansel, 1987:537).

5. Sebagai pembersih kulit sebelum injeksi (Ansel, 1987:537; IONI 2000:423).

6. Sebagai substrat, senyawa intermediat, solven, dan pengendap (Apriantono,

www.indohalal.com)

2.2.3 Alkohol Tidaklah Najis

Sebagian kaum muslimin berdalil tentang najisnya alkohol dari firman Allah yang

artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi, (berkurban

untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis termasuk perbuatan syaitan. Maka

jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al Maa’idah: 90).

Yaitu dari perkataan ‘adalah najis’.

Pendapat yang benar, makna kata najis di atas bukanlah najis secara hakiki tetapi najis

secara maknawi (najis pada makna di dalamnya). Dimaknakan demikian karena judi, berhala,

undian pada ayat tersebut tidaklah dikatakan najis secara hakiki. Maka alkohol (khomr) boleh

disentuh (tidak najis), sebagaimana juga berhala dan lainnya. Bahkan terdapat dalil tentang

sucinya alkohol dalam hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ketika ayat pelarangan

khomr itu turun, para sahabat menumpahkan khomr-khomr mereka di jalan-jalan kota Madinah

(HR. Muslim).

25
Syaikh Al Albani rohimahulloh mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat faedah penting

yaitu isyarat tentang sucinya khomr sekalipun haram hukumnya. Sebab seandainya khomr tidak

suci, tentu para sahabat tidak akan menuangkannya di jalan-jalan dan tempat lewat banyak

orang, tetapi mereka akan membuangnya ke tempat yang jauh sebagaimana layaknya barang-

barang najis lainnya. (Lihat Irwa’ul Gholil).

Dari kaidah fiqhiyyah dapat juga dibuktikan bahwa alkohol tidaklah najis. Sebagaimana

Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan

najisnya dzat khomr. Dan jika tidak ada dalil yang menunjukan demikian maka dzat khomr

adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci dan tidak setiap yang

haram itu najis, sebagaimana racun itu haram namun tidak najis.” (Fatawa Syaikh Utsaimin, no

210). Jika telah jelas bahwa dzat alkohol tidaklah najis, maka tidaklah wajib untuk mencuci

sesuatu yang terkena alkohol.

2.2.4 Alkohol Sebagai Campuran Dalam Obat

Adapun mencampurkan sebagian obat dengan sedikit alkohol maka hal ini tidaklah

menjadikan haramnya obat-obat tersebut jika campurannya sedikit, di mana tidak tampak

bekasnya setelah tercampur. Hal ini merupakan pendapat para ulama. Alkohol juga begitu

penting dalam bidang farmasi dan pengobatan, sebagaimana perkataan Syaikh Muhammad

Rosyid Ridho rohimahulloh dalam fatawa beliau -yang dinukil oleh Syaikh Ibnu Utsaimin

rohimahulloh- mengatakan, “Kesimpulannya bahwasanya alkohol adalah dzat yang suci dan

mensucikan dan merupakan dzat yang sangat penting dalam bidang farmasi dan pengobatan,

kedokteran, serta pabrik-pabrik. Dan alkohol menjadi campuran dalam obat-obatan yang sangat

banyak sekali. Pengharaman penggunaan alkohol bagi kaum muslimin (sebagai campuran obat -

26
pen) akan menghalangi mereka untuk menjadi ahli (pakar) pada bidang ilmu dan proyek. Dan hal

ini merupakan sebab terbesar keunggulan orang-orang kafir atas kaum muslimin dalam bidang

kimia, farmasi, kedokteran, pengobatan, dan industri. Dan pengharaman penggunaan alkohol

bisa jadi merupakan sebab terbesar meninggalnya orang-orang yang sakit dan yang terluka atau

menyebabkan lama sembuhnya penyakit mereka atau semakin parah sakit mereka.”

Syaikh Utsaimin mengomentari fatwa ini, “Ini adalah perkataan yang sangat kokoh,

semoga Allah merahmati beliau, adapun mencampurkan sebagian obat dengan sedikit alkohol

maka hal ini tidaklah menjadikan haramnya obat-obat tersebut jika campurannya sedikit di mana

tidak nampak bekasnya setelah tercampur yang hal ini merupakan pendapat para ulama. Ibnu

Qudamah berkata di Al-Mugni, 8/306, “Jika ia mencampur adonan tepung dengan khomr untuk

dijadikan roti (dengan meletakkan adonan tersebut di atas pembakaran -pen) lalu ia

memakannya, maka ia tidak diberi hukum had karena api telah membakar seluruh bagian khomr

tersebut sehingga tidak tersisa bekasnya.” (Ibnu Qudamah) juga berkata di Al-Iqna’ dan

syarahnya (4/71 penerbit Muqbil), “Jika ia mencampurkan khomr dengan air sehingga hilang

bekas khomr tersebut dalam air kemudian ia meminumnya maka ia tidaklah diberi hukuman had

karena dengan lebur dan hilangnya bekas khomr tersebut dalam air tidaklah merubah nama air

tersebut (masih dinamakan air -pen), atau ia mengobati lukanya dengan khomr maka ia pun tidak

diberi hukuman had karena ia tidak menggunakannya dengan meminumnya atau yang

semisalnya.” Dan ini adalah sesuai dengan dalil dan logika. Adapun dalil maka telah

diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

‫الماء طهور ال ينجسه شيء إال إن تغير ريحه أو طعمه أو لونه بناجسة تحدث فيه‬

27
“Air itu suci dan mensucikan dan tidak bisa dinajisi oleh sesuatu pun kecuali jika berubah

baunya atau rasanya atau warnanya dengan najis yang mengenainya.”

Walaupun pengecualian dalam hadits ini (yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“kecuali jika berubah baunya…” -pen) lemah (sanadnya) hanya saja para ulama bersepakat untuk

mengamalkannya. Sisi pendalilan dari hadits ini yaitu jika jatuh dalam air sesuatu yang najis

yang tidak merubah kondisi air tersebut maka air tersebut tetap pada kesuciannya. Maka

demikianlah pula dengan khomr jika dicampur dengan cairan yang lain yang halal kemudian

tidak mempengaruhi kondisi cairan tersebut maka cairan tersebut tetap pada keadaan asalnya.

Dalam shahih Al-Bukhari, Abu Darda’ berkata

‫وقال أبو الدرداء في المري ذبح الخمر النينان والشمس‬

“Al-Mury adalah penyembelihan ikan paus dengan khomr dan matahari.” (Diriwayatkan oleh

Al-Bukhari dalam shahihnya secara ta’liqon, 5/2092)

Al-Mury adalah makanan yang terbuat dari ikan yang diolesi dengan garam kemudian diberi

khomr lalu dijemur di bawah terik matahari, maka berubahlah rasa khomrnya. Maksud dari atsar

Abu Darda’ di atas adalah ikan paus yang ada garamnya dan di letakan di bawah terik matahari

sehingga menghilangkan bekas khomr maka hukumnya adalah halal (untuk dimakan) (Lihat

Umdatul Qori, 21/107). Adapun jika ditinjau dari logika, maka khomr itu hanyalah diharamkan

karena sifat yang dikandungnya yaitu memabukkan, maka jika telah hilang sifat tersebut maka

hilanglah pengharamannya karena hukum itu berputar bersama ‘illahnya (sebabnya), jika

sebabnya ada maka hukumnya ada dan jika hilang sebabnya maka hilanglah hukumnya jika

‘illahnya (sebabnya) diketahui dengan pasti berdasarkan nash atau ijma’ sebagaimana dalam

28
permasalahan kita ini (yaitu sebab pengharaman khomr diketahui dengan nash karena sifatnya

yang memabukan -pen).

Sebagian orang menyangka bahwa sesuatu yang tercampur dengan khomr hukumnya

haram secara mutlak meskipun presentasi khomr tersebut kecil dan tidak nampak lagi bekas-

bekasnya, dan mereka menyangka bahwa inilah makna dari sabda Nabi:

‫ما أسكر كثيره فقليله حرام‬

“Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya haram.”

Lalu mereka berkata, “Dalam obat ini ada sedikit khomr yang jika banyak akan memabukkan

maka hukumnya adalah haram”. Maka dijawab bahwasanya khomr yang sedikit ini telah lebur

dan hilang bekasnya dalam cairan lain, baik sifatnya maupun hukumnya, maka hukumnya

dikembalikan kepada yang mendominasinya (yaitu cairan lain yang dicampuri khomr tersebut -

pen). Adapun makna hadits tersebut adalah jika suatu minuman diminum banyak oleh seseorang

mengakibatkan ia mabuk dan jika ia meminum sedikit saja tidak mabuk, maka walaupun

meminum sedikit hukumnya adalah haram, karena meminum sedikit merupakan sarana untuk

meminum yang banyak. Hal ini dijelaskan oleh hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫كل مسكر حرام وما أسكر الفرق منه فملء الكف منه حرام‬

“Seluruh yang memabukkan adalah haram, dan apa saja yang jika diminum seukuran farq

memabukkan maka meminum seukuran telapak tangan juga haram.”

29
Dan farq adalah suatu volume yang cukup untuk 16 ritl, artinya jika ada sebuah minuman yang

tidak bisa memabukkan kecuali jika diminum seukuran farq maka meminum seukuran telapak

tangan juga haram dan inilah makna dari hadits:

‫ما أسكر كثيره فقليله حرام‬

“Apa yang jika banyak memabukkan maka sedikitnya haram…”

“Aku ingin mengingatkan suatu permasalahan yang rancu pada sebagian para penuntut

ilmu yaitu mereka menyangka bahwa makna hadits di atas adalah jika dicampurkan sesuatu yang

sedikit dari khomr dengan sesuatu cairan lain yang banyak maka hukumnya otomatis adalah

haram, hal ini bukanlah makna hadits ini. Namun makna dari hadits ini adalah jika suatu

minuman hanya memabukkan jika diminum dalam jumlah yang banyak maka meminum

sedikitpun dari minuman tersebut juga haram hukumnya (meskipun tidak memabukkan).

Contohnya jika ada suatu minuman jika seseorang meminumnya sepuluh botol ia akan mabuk

dan jika hanya meminum sebotol tidak mabuk, maka sebotol minuman ini meskipun tidak

memabukkan namun hukumnya haram inilah makna hadits, “Apa yang jika banyaknya

memabukkan maka sedikitnya juga haram.” ” (Fatawa Syaikh Utsaimin, pertanyaan no. 211)

2.2.5 Parfum yang Mengandung Alkohol

Bagaimana hukum menggunakan parfum yang mengandung alkohol? Syaikh Utsaimin

ditanya tentang hukum penggunaan parfum yang mengandung kolonia (yang mengandung

alkohol) dan bagaimana hukum shalat dengan menggunakan baju yang tersentuh parfum

tersebut. Beliau menjawab, “Jika persentase alkoholnya besar maka yang lebih utama adalah

30
meninggalkan pemakaian parfum tersebut, dan jika persentasenya kecil maka tidaklah mengapa.

Adapun hukum shalat dengan pakaian yang tersentuh parfum tersebut maka adalah sah.”

Syaikh Albani berkata, “Parfum-parfum yang mengandung alkohol yang bukan minyak

tidaklah najis, namun bisa jadi hukumnya adalah haram. Hukumnya haram jika persentase

alkohol pada parfum-parfum tersebut besar hingga menjadikan parfum-parfum tersebut suatu

cairan yang memabukkan, maka jika demikian jadilah parfum tersebut memabukkan (khomr)

dan masuklah ia dalam keumuman hadits-hadits yang melarang dari jual beli dan pembuatan

khomr. Maka tidaklah boleh bagi kaum muslimin jika demikian untuk menggunakan parfum

tersebut karena jenis penggunaan apapun terhadap parfum ini telah masuk dalam keumuman

firman Allah

ِ ‫اْلثأ ِم َو أالعُد َأو‬


‫ان‬ ِ ‫َوال تَ َع َاونُوا َعلَى أ‬

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.“ (QS. al-Maidah [5]: 2)

Dan sabda Nabi: “Allah melaknat khomr pada sepuluh perkara, peminumnya, penuangnya, yang

meminta untuk dituangkan, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menjualnya,

yang membelinya.”

Oleh karenanya, kami menasihati untuk menjauhi perdagangan parfum-parfum yang

mengandung alkohol, terlebih lagi jika tertulis dalam labelnya bahwa kandungan alkoholnya 60

persen atau 70 persen, maknanya yaitu memungkinkan untuk mengubah parfum tersebut menjadi

minuman yang memabukkan.”

31
Dan di antara kaidah-kaidah dalam syariat adalah bab saddud dzariah (menutup sarana-

sarana yang mengantarkan kepada keharaman). Pengharaman syariat terhadap sesuatu yang

sedikit dari minuman yang memabukkan termasuk dalam bab ini, maka Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya haram.”

Kesimpulannya adalah tidaklah boleh jual beli parfum beralkohol jika persentasenya tinggi.

(Fatawa Al-Madinah Al-Munawwaraoh, hal 60, soal no. 23)

Cara penyembuhan yang benar dengan taat kepada Allah… dan hal ini tertancap di hati para

sahabat radhiyallahu ‘anhu.

Dalam riwayat yang lain dari hadits Abi Burdah, ia berkata:

‫قال وكان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قد أعطى جوامع الكلم بخواتمه فقال أنهى عن كل مسكر أسكر عن الصالة‬

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberikan (oleh Allah) “Jawami’ul kalim bi

khowatimihi (Jawami’ul kalim adalah perkataan yang ringkas namun luas maknanya)” lalu ia

bersabda, “Aku melarang dari setiap yang memabukkan dari shalat.” (HR Muslim, 3/1586 no.

1733)

Ketahuilah sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha mengetahui segala sesuatu,

sesungguhnya Allah mengetahui akan ada hamba-hambaNya yang memiliki kecenderungan

kepada hal-hal yang bersifat kesetanan, akan ada dari hamba-hambanya yang mempermainkan

dalil-dalil yang berkaitan dengan pengharaman khomr. Akan ada hambanya yang mengikuti

hawa nafsunya (bukan karena hasil ijtihad sebagaimana ijtihadnya para imam kaum muslimin)

yang mengatakan bahwa khomr yang diharamkan hanyalah yang berasal dari anggur. Oleh

karena itu Allah mewahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan

32
jawami’ul kalim dengan sabdanya, “Setiap yang memabukkan adalah khomr dan semua khomr

haram.”

Allah mengetahui bahwasanya akan ada dari kaum muslimin yang mempermainkan dalil-

dalil pengharaman khomr yang mereka berkata “Khomr hanya diharamkan kalau diminum

hingga mabuk, adapun jika diminum sedikit namun tidak sampai mabuk maka tidak

diharamkan”, maka Allah pun mewahyukan kepada Rasul-Nya untuk bersabda,

‫كل مسكر حرام وما أسكر الفرق منه فملء الكف منه حرام‬

“Seluruh yang memabukkan adalah haram, dan apa saja yang jika diminum seukuran farq

memabukkan maka meminum seukuran telapak tangan juga haram))

Allah juga mengetahui bahwasanya akan ada dari kaum muslimin yang mempermainkan

dalil, mereka meminum khomr namun mereka menggantikan nama khomr dengan nama yang

lain, kemudian mereka berkata, “Yang diharamkan hanyalah khomr adapun yang saya minum ini

namanya bukan khomr tapi minuman jiwa, atau jamu kesehatan, atau minuman kesehatan”,

maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya untuk bersabda,

‫ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها‬

“Sungguh akan ada golongan dari umatku yang meminum khomr lalu mereka menamakan

khomr dengan nama yang lain.” (HR. Abu Dawud, 3/329 no. 3688, Ibnu Majah, 2/1123 no.

3384, Ibnu Hibban, Al-Ihsan, 15/160 no. 6758))

33
BAB III

PENUTUP

Khomr (segala sesuatu yang memabukkan) adalah haram sebagaimana yang telah

ditegaskan oleh Alloh dan Rosul-Nya, namun ia tidaklah najis. Alkohol pada obat-obatan dan

parfum tidak bisa samakan dengan alkohol pada minuman keras. Alkohol dalam parfum

fungsinya sebagai pelarut karena unsur-unsur dalam pewangi hanya bisa larut dalam alkohol dan

bukan dalam air.

Mencampurkan sebagian obat dengan sedikit alkohol tidaklah menjadikan haramnya

obat-obat tersebut. Jika campurannya sedikit alkohol dalam obat-obatan yang masih rendah

kadarnya (seperti dalam obat sirup), maka seperti ini tidaklah mengapa karena tidak sampai

derajat memabukkan. Demikian pula campuran alkohol pada kosmetik tidak pula menjadikan

kosmetik tersebut haram jika dilihat dari sisi kesuciannya. Kosmetik dan parfum-parfum yang

mengandung alkohol tidaklah najis, namun bisa jadi hukumnya adalah haram. Hukumnya haram

jika persentase alkohol pada parfum-parfum tersebut besar hingga menjadikan parfum-parfum

tersebut suatu cairan yang memabukan, maka jika demikian jadilah parfum tersebut memabukan

(khomr) dan masuklah ia dalam keumuman hadits-hadits yang melarang dari jual beli dan

pembuatan khomr.

34
DAFTAR PUSTAKA

http://syabab1924.blog.friendster.com/alkohol-dalam-makanan-obat-dan-kosmetik-tinjauan-

fiqih-islam-bagian-2-selesai/.28/10/09

http://syabab1924.blog.friendster.com/alkohol-dalam-makanan-obat-dan-kosmetik-tinjauan-

fiqih-islam-bagian-1/.28/10/09

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menjawab-kerancuan-seputar-alkohol.html.28/10/09

http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bahaya-minuman-memabukkan-khomr-4.html.29/10/09

http://hendriapt.blogspot.com/.28/10/09

http://www.almanhaj.or.id/content/389/slash/0.29/10/09

35

Anda mungkin juga menyukai