Anda di halaman 1dari 11

KRITIS PRODUK FARMASI DALAM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Islam Teknologi

Oleh

Nama : Rani Safitamah

NIM : (201851229)

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL

Jl. Raya Al-kamal No. 2 Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11520

2020
KRITIS PRODUK FARMASI DALAM ISLAM

1. Apa peran dan kompetensi apoteker ?

2. Bagaimana pandangan islam terhadap produk produk farmasi ?


PEMBAHASAN

1. Peran dan Kompetensi Apoteker

Peran profesional yang mencakup laporan kompetensi, unit, dan

elemen yang menggambarkan pengetahuan profesional, atribut, dan

diharapkan kinerja farmasi diperluas dan diatur peran profesional. Framing

kompetensi ini : profil keselamatan pasien, penyediaan perawatan yang

optimal, undang-undang, profesional dan kolaboratif hubungan, berpikir kritis,

pengambilan keputusan dan keterampilan pemecahan masalah, dan

professional penilaian. Profil ini menggambarkan pengetahuan khusus,

keterampilan, kemampuan, dan sikap yang diperlukan untuk performa yang

kompeten dan mencerminkan peran farmasi dalam situasi yang beragam dan

Pengaturan praktik farmasi.

1. Kompetensi Pernyataan: Sebuah komponen pekerjaan besar yang

membutuhkan aplikasi dan integrasi pengetahuan yang relevan,

keterampilan, kemampuan, sikap, dan / atau penilaian.

2. Kompetensi Unit: Sebuah segmen utama dari suatu kompetensi secara

keseluruhan yang menggambarkan kunci kegiatan yang diperlukan untuk

melaksanakan kompetensi itu.

3. Elemen Kompetensi: Sebuah sub-bagian dari unit kompetensi yang

menggambarkan atau memerinci indikator kinerja kunci aktivitas yang

diharapkan.
Etika, Hukum dan Tanggung Jawab Profesional

Apoteker praktek dalam persyaratan hukum, menunjukkan integritas

profesional dan bertindak untuk menegakkan standar profesional praktek dan

kode etik. Elemen Kompetensi: persyaratan Terapkan hukum dan etika,

Menegakkan dan bertindak atas prinsip etika yang akuntabilitas utama seorang

apoteker adalah pasien, Menunjukkan integritas pribadi dan professional,

Menunjukkan pemahaman tentang sistem perawatan kesehatan dan peran apoteker

dan profesional kesehatan lain di dalamnya, Menunjukkan pemahaman tentang

pentingnya dan proses pengembangan profesional yang berkelanjutan.

Unusuall Learning Profession

Dimensi baru pekerjaan kefarmasian sekarang antara lain : Asuhan

Kefarmasian (Pharmaceutical Care), Farmasi Berdasarkan Bukti, Kebutuhan

Menemui Pasien, Kepedulian Pada Pasien Kronis, Pengobatan Sendiri,

Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, Farmasi Klinis, Kewaspadaan Farmasi.

Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu

alam; Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika. Sedangkan ilmu farmasi

ditinjau dari objek formalnya merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan.

Secara historis ilmu farmasi dikembangkan dari medical sciences, yang

berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya pemisahan ilmu farmasi sebagai

ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang diagnosis.


Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis.

Farmasi secara teoritis dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang

secara garis besarnya terdiri dari farmasi fisika, kimia farmasi,

farmasetika, dan farmasi sosial. Selanjutnya farmasi praktis terdiri dari dua bagian

besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.

Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu

farmasi teoritis, dan tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang

berorientasi pada produksi bahan baku obat, dan obat jadi, dan perkembangan

selanjutnya juga meliputi kosmetika dan makanan-minuman.

Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi

(farmasis/apoteker) pada unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit,

badan pengawasan, dan unit-unit kesehatan lainnya). Peranan

farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi sangat penting, dan

berorientasi pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat yang

tepat dosis, tepat pasien, tepat indikasi, dan harga terjangkau

Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara

farmasis/apoteker dengan pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh

wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan yang paripurna dan hedonistik,

produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang ekologis, bernuansa

pada kesejakteraan yang universal.

Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah

menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan


profesinya. Setiap keputusan yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian

yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika.

2. Pandangan islam terhadap produk-produk farmasi

Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan lengkap.

Semua permasalahan hidup termasuk mengenai pengobatan terhadap penyakit

yang diderita oleh manusia. Ajaran Islam mendorong kita untuk tetap

mengobati penyakit yang kita derita dengan cara yang Islami, tentunya dengan

obat dan terapi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an dan Nabi saw.

Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai hikmah yang

amat besar dan apa yang dilarang atau diharamkan sesungguhnya demi

manusia itu sendiri.

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya

dan Dia telah menjadikan setiap penyakit ada abatnya, maka berobatlah kalian

dan jangan berobat dengan barang yang haram” (H.R. Abu Dawud).

“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu

yang ia haramkan atasmu” (H.R. Bukhari).

Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan bagian pokok dari

tinjauan kritis produk farmasi bagi seorang muslim, karena hal ini
menyangkut keamanan dari segi ruhaniah bagi seorang yang

mengkonsumsinya seperti mempengaruhi terkabulnya doa di sisi Allah swt.

“Perbaikilah makananmu, maka Allah akan mengabulkan doa-doamu”

(H.R. Ath-Thabrani).

1. Obat

Titik kritis untuk obat yang diisolasi dari hewan adalah ketika hewan bisa

berasal dari ular, babi atau hewan lain yang diharamkan. Selain itu cara

penyembelihan hewanpun harus benar-benar dipertimbangkan. Sementara

untuk produk metabolit mikroba titik kritis kehalalan medium serta enzim

pertumbuhan yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Bahan untuk

ekstraksi metabolit aktif pun harus dipertimbangkan apakah menggunakan

alkohol murni atau produk sampingan dari industri khamr.

Beberapa zat aktif obat yang harus dicermati adalah kelompok hormon, enzim,

dan vitamin. Produk hasil bioteknologi ini bisa berasal dari produk mikrobil

yang haram, media penyegaran dan perbanyakan dari bahan yang haram, atau

bahan penolong yang haram. Pada tingkat teknologi yang lebih tinggi harus

dipertimbangkan juga apakah mikroba rekombinan gennya berasal dari hewan

yang haram atau tidak.

Bahan pembantu atau eksipien titik kritis perhatikan pada penggunaan laktosa,

etanol, adeps lanae serta magnesium stearat. Sebagian bahan baku laktosa

ditemukan sebagai produk samping pembuatan keju dan susu yang


ditambahkan enzim dari babi. Etanol perhatikan batas kadar 1% dan sumber

produksinya apakah bersinggungan dengan kamr atau tidak. Adeps lanae

sebagia bahan untuk meningkatkan viskositas juga beresiko diisolasi dari

hewan yang diharamkan.

2. Obat bahan alam

Bahan dasar obat bahan alam tidak sepenuhnya berasal dari bahan

tumbuh-tumbuhan. Kenyataannya produk-produk hewan pun juga masuk

dalam ramuan obat bahan alam. Ramuan tradisional itu juga mengenal bahan-

bahan hewani, seperti kuda laut, bagian organ dari ayam, bagian organ ular

(empedu, darah, lemak, serta otaknya), buaya, kalajengking, laba-laba,

dan ekstrak berbagai bagian dari jenis binatang. Jadi, perlu kehati-hatian

dalam memilihnya sebab penggunaan hewan ini harus dilihat dari segi jenis

hewannya halal atau tidak.

Pembuatan obat dari bahan alam yang halal dari hewan hendaklah dari hewan

yang halal dikonsumsi. Bagi produsen yang menggunakan hewan sebagai

bahan pembuatan obat, dapat menanyakan hukum hewan yang digunakannya

apakah halal atau haram.

3. Kosmetik

Produk kosmetik memang tidak dimakan dan masuk ke dalam tubuh. Oleh

karena itu, penggunaan kosmetik biasanya dikaitkan dengan masalah suci dan

najis. Unsur kosmetik haruslah terdiri dari zat yang halal, tidak najis atau

menjijikkan daa tidak membahayakan tubuh pemakainya serta jangan sampai


kosmetik menjadi sarana tabarruj yakni berdandan yang berlebihan dan bukan

pada tempatnya.

Sediaan kosmetik ini terdapat peluang digunakannya bahan aktif atau bahan

pembantu dari bahan yang haram atau diragukan/subhat. Status kehalalan ini

kritis terutama pada produk dengan bahan hasil isolasi dari hewan (kolagen,

dll), menggunakan alkohol, menggunakan bagian dari manusia seperti

plasenta dan cairan amniotik.

Kenyataan dalam dunia farmasi saat ini terdapat beberapa sediaan farmasi

yang dipertanyakan halal dan haramnya, di antaranya:

1. Sediaan topikal berbahan najis seperti sediaan losio, krim, atau plester.

Para ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumnya adalah najis ketika

digunakan.

2. Penggunaan bahan dari babi dalam kefarmasian. Sesuai dengan nash Al-

Qur’an, pada tahun 1994 komisi Fatwa MUI telah menfatwakan bahwa babi

dan komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai pangan

maupun obat dan kosmetika. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi haram

karena umumnya dibuat dari bagian organ babi adalah: kolagen sebagai

pelembab dan bahan dasar gelatin yang biasa digunakan dalam pembuatan

cangkang kapsul, gelatin, cerebroside; serta beberapa golongan hormon

seperti insulin, heparin dan enzim tripsin yang biasa digunakan dalam

pembuatan vaksin polio sebagai enzim proteolitik berasal dari pancreas babi.

Salah satu tantangan bagi kalangan ilmuwan muslim adalah masalah


kemiripan hormon insulin manusia dengan insulin babi sehingga dari sudut

pandang medis lebih menguntungkan daripada menggunakan hormon insulin

sapi yang tidak mirip insulin manusia.

3. Penggunaan alkohol dalam kefarmasian. Sebagian ulama mengqiyaskan

alkohol dengan khamr dan sama sekali menolak penggunaan alkohol dalam

berbagai produk baik obat, kosmetik, maupun antiseptik. Tetapi dengan

logika bahwa alkohol tidak selalu dihasilkan dari produksi khamr dan tidak

memabukkan, maka Dewan Fatwa MUI menfatwakan bahwa alkohol boleh

ada dalam produk akhir dengan kadar tidak lebih dari 1%. Penggunaan

alkohol dalam beberapa produk farmasi tidak dapat terhindarkan sehingga

perlu kearifan untuk membedakan antara alkohol dan khamr. Bahkan dalam

setiap sari buah alami yang diekstrak secara sederhana tanpa proses fermentasi

tetap terkandung alkohol dalam jumlah rendah. Kandungan alkohol secara

alami ada dalam mayoritas produk pangan misalnya roti yang dibuat dengan

bantuan yeast (gist/ragi) biasanya mengandung alkohol antara 0,3-0,4%.

Asam cuka yang biasa digunakan dimasyarakat juga mengandung alkohol

kurang dari 1%.

4. Bahan memabukkan lainnya seperti morfin, opium dan obat psikotropika.

5. Penggunaan plasenta dan cairan amniotik dalam kefarmasian. Plasenta

sebagai kosmetik mengagumkan dalam meningkatkan pembaharuan sel

(regenerasi sel). Amniotik liquid terbatas pada penggunaan pelembab, lotion

rambut dan perawatan kulit kepala serta sampo.


Ketentuan halal dan haram merupakan salah satu hak Allah yang harus ditaati

oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan haram umat Islam

berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sumber utama yang harus dijadikan

patokan pertama adalah Al-Qur’an, kemudian sumber kedua adalah hadist.

Apabila tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci dan tegas dalam Al-Qur’an

dan Hadist maka diperbolehkan ijtihad.

Bagaimana status darurat dalam pengobatan? Rasulullah saw.

Memerintahkan umatnya untuk berobat dengan menggunakan obat yang halal dan

melarang menggunakan obat yang haram. “Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia

berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat

penyakit (melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat untuk setiap

penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang

haram” (H.R. Abu Ad Darda’).

Dalam Al-Qur’an juga diperintahkan untuk memakan makanan yang Halal

dan Thoyyib (baik). Beberapa rambu-rambu yang membatasi adalah makanan

yang diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak

wajar dan binatang yang disembelih tanpa nama Allah. Meskipun penggunaan

produk halal hukumnya wajib bagi setiap muslim, namun para ulama

memperbolehkan obat yang haram dalam keadaan darurat. Imam Nawawi

menjelaskan bahwa para ulama fiqih pendukung madzhab Syafi’i

menegaskan standar darurat ialah timbulnya kekhawatiran akan kematian jika

tidak dilakukan. Demikian pula Imam Suyuthi mendefinisikannya sebagai kondisi

yang jika tidak dilakukan akan mati atau dekat kematian.

Anda mungkin juga menyukai