Anda di halaman 1dari 28

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Patofisiologi

Oleh

Nama : Rani Safitamah


NIM : (201851229)

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL


Jl. Raya Al-kamal No. 2 Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11520
2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 1
Latar Belakang ........................................................................................................

1.2 1
Rumusan Masalah ...................................................................................................

1.4 2
Manfaat Penelitian ..................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 3
GERD Secara Epidemiologi ..................................................................................

2.2 4
GERD Secara Patofisiologi ...................................................................................

2.3 5
Faktor-Faktor Anatomi GERD ..............................................................................
2.4 Klirens Esophageal, Resistensi Pada Mukosa, Pengosongan
5-9
Lambung, Komposisi Refluks, Komplikasi ............................................................
2.5 Presentasi Klinis GERD ........................................................................................
9

2.6 Treatment GERD ..................................................................................................


11

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 25

ii
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi yang senantiasa memberikan rahmat dan

karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah

yang berjudul “GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)”

Makalah ini sebagai tugas pada mata kuliah Patofisiologi, Dengan segala

keterbatasan yang ada, penulisi menyadari bahwa makalah ini belum lah dapat

dikatakan sempurna, masih banyak kekurangan di dalamnya, untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan dan

kemajuan di masa mendatang.

Serang, Juni 2020

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang biasa dikenal

sebagai penyakit lambung akibat refluks asam lambung, adalah masalah

kesehatan yang cukup umum. GERD merupakan gerakan membaliknya isi

lambung menuju esofagus. GERD juga mengacu pada berbagai kondisi gejala

klinis atau perubahan histologi yang terjadi akibat refluk gastroesofagus.

Ketika esofagus berulangkali kontak dengan material refluks untuk waktu

yang lama, dapat terjadi inflamasi esoagus (esofagitis refluks) dan dalam

beberapa kasus berkembang menjadi erosi esofagus (esofagitis refluks).

1.2 Rumusan Masalah

1. Jelaskan GERD Secara Epidemiologi?

2. Jelaskan GERD Secara Patofisiologi?

3. Jelaskan Faktor-Faktor Anatomi GERD?

4. Klirens Esophageal, Resistensi Pada Mukosa, Pengosongan

Lambung, Komposisi Refluks, Komplikasi?

5. Presentasi Klinis GERD?

6. Treatment GERD?

1
1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Bagi mahasiswa, meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan

logis dalam menerapkan konsep ilmu Patofisiologi.

1.3.2 Bagi Penulis

a. Melatih kemampuan penulis dalam merumuskan dan

memecahkan masalah.

b. Memperluas wawasan dan pengetahuan penulis yang

didapat selama mengikuti pendidikan di institusi dan

menerapkannya di lapangan mengenai ilmu kosmetologi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GERD Secara Epidemiologi

GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia

diatas 40 tahun. Walaupun kematian yang disebabkan ole GERD sangat

jarang terjadi, gejala dari GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan

terhadap kualitas hidup penderita. Dalam populasi barat, kisaran prevalensi

untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari populasi. Prevalensi dari GERD

bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi negara barat merupakan

wilayah dengan kasus GERD tertinggi. Kecuali selama kehamilan dan

kemungkinan NERD, tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus

antara pria dan wanita. NERD cenderung terjadi pada wanita dan pada pasien

sekitar 10 tahun lebih muda dari pasien yang mengalami erosi. Walaupun

jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada terjadinya

GERD, hal ini merupakan faktor penting pada terjadinya Barret esofagus,

komplikasi dari GERD dimana epitel squamous normal digantikan oleh epitel

kolumnar khusus. Barret esofagus sering terjadi pada pria dewasa berkulit

putih di negara barat.

3
2.2 GERD Secara Patofisiologi

Faktor utama terjadinya GERD adalah gangguan refluk asam lambung

dari lambung menuju esofagus. Pada beberapa kasus, refluks esofageal

dikaitkan dengan ketidaksempurnaan tekanan atau fungsi dari sfinkter

esofageal bawah (Lower Esophageal Spinchter/LES). Sfinkter secara normal

berada pada kondisi tonik (berkontraksi) untuk mencegah refluks materi

lambung dari perut dan berelaksasi saat menelan untuk membuka

jalan makanan ke dalam perut. Penurunan tekanan LES dapat disebabkan

oleh (a) relaksasi sementara LES secara spontan, (b) peningkatan sementara

tekanan intraabdominal, atau (c) LES atonik. Permasalahan pada mekanisme

pertahanan mukosa normal lainnya, seperti faktor anatomi, pembersihan

esofagus (waktu kontak asam dengan mukosa esofageal yang terlalu lama),

resistensi mukosal, pengosongan lambung, faktor pertumbuhan epidermis dan

pendaparan saliva, mungkin juga dapat menyebabkan refluk gastroesofageal.

Faktor agresif yang dapat mendukung kerusakan esofageal saat refluks ke

esofagus termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu dan enzim pankreas.

Dengan demikian komposisi, pH dan volume refluksat serta durasi pemaparan

adalah faktor yang paling penting pada penentuan konsekuensi refluks

gastroesofageal.

4
2.3 Faktor-Faktor Anatomi GERD

Gangguan hambatan anatomik normal dengan hernia hiatus dianggap

sebagai etiologi utama refluks gastroesofageal dan esofagitis. Faktor utama

dalam mendiskripsikan gejala pada pasien hernia hiatus adalah tekanan LES.

Ukuran hernia hiatus sebanding dengan frekuensi sementara relaksasi LES.

Pasien dengan hipotensi tekanan LES dan hernia hiatus besar memungkinkan

untuk mengalami refluks gastroesofageal, serta peningkatan mendadak

tekanan intraabdominal dibandingkan dengan pasien dengan hipotensi LES

dan tidak mengalami hernia hiatus.

2.4 Klirens Esophageal, Resistensi Pada Mukosa, Pengosongan Lambung,

Komposisi Refluks, Komplikasi

Klirens Esophageal

Masalah pada pasien GERD bukan karena memproduksi terlalu

banyak asam, tetapi asam yang dihasilkan menghabiskan terlalu banyak

waktu kontak dengan mukosa esofagus. Hal tersebut dikarenakan gejala

ataupun tingkat keparahan kerusakan yang dihasilkan oleh refluks

gastroesofageal yang sebagian besar tergantung pada durasi kontak antara

isi lambung dan mukosa esofagus. Waktu kontak tersebut tergantung pada

tingkat di mana esofagus mampu membersihkan bahan berbahaya, serta

frekuensi refluks. Menelan merupakan kontribusi klirens esofagus dengan

meningkatkan aliran liur. Air liur mengandung bikarbonat yang

5
merupakan buffer bahan sisa lambung pada permukaan esofagus. Produksi

air liur menurun dengan bertambahnya usia, sehingga lebih sulit untuk

mempertahankan pH netral intraesophageal. Oleh karena itu kerusakan

esofagus yang disebabkan oleh refluks terjadi lebih sering pada orang tua,

dan juga pada pasien dengan sindrom Sjogren atau xerostomia

Resistensi Pada Mukosa

Dalam mukosa esofagus dan submukosa ada lendir sekresi glands.

Lendir disekresikan oleh kelenjar berfungsi sebagai perlindungan

esofagus. Bikarbonat bergerak dari darah ke lumen dapat menetralkan

asam refluxate di kerongkongan. Bila mukosa berulang kali terkena

refluxate di GERD, atau jika ada cacat dalam pertahanan mukosa normal,

ion hidrogen akan berdifusi ke mukosa, menyebabkan pengasaman seluler

dan nekrosis, yang pada akhirnya menyebabkan esophagitis. Secara

teoritis, resistensi mukosa tidak hanya untuk lendir esofagus, tetapi juga

untuk sambungan erat epitel, perputaran epitelial sel, keseimbangan

nitrogen, aliran darah mukosa, jaringan prostaglandin, dan asam-basa

jaringan. Air liur juga sebagai faktor pertumbuhan epidermal untuk

merangsang pembaharuan sel.

Pengosongan Lambung

Waktu pengosongan lambung yang tertunda dapat menyebabkan

gastroesophageal reflux. Volume lambung berkaitan dengan volume

material yang tertelan, kecepatan sekresi lambung, kecepatan

6
pengosongan lambung serta jumlah dan frekuensi refluks duodenum ke

dalam lambung. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan

pengosongan lambung seperti merokok dan makanan tinggi lemak sering

dikaitkan dengan refluks gastroesophageal. Makanan berlemak dapat

meningkatkan postprandial refluks gastroesophageal dengan

meningkatnya volume lambung, tertundanya laju pengosongan lambung,

dan menurunnya tekanan LES. Tertundanya pengosongan lambung dapat

menyebabkan regurgitasi menyusui yang dapat mengakibatkan komplikasi

GERD pada bayi seperti gagal tumbuh dan aspirasi paru.

Komposisi Refluks

Komposisi, pH, dan volume refluxate adalah faktor agresif penting

dalam menentukan konsekuensi dari refluks gastroesophageal. Pada

hewan, asam memiliki dua efek utama ketikarefluks ke kerongkongan.

Pertama, jika pH refluxate kurang dari 2, esophagitis mengakibatkan

denaturasi protein. Pepsinogen diaktifkan menjadi pepsin pada pH ini dan

mungkin juga menyebabkan esofagitis. Duodenogastric reflux esophagitis,

atau "basa esophagitis, "mengacu pada esofagitis yang disebabkan oleh

refluks empedu dan cairan pankreas. Peningkatan konsentrasi empedu

lambung disebabkan oleh duodenogastric refluks sebagai hasil dari

gangguan motilitas umum, clearance lebih lambat dari refluxate atau

setelah surgery. Asam empedu memiliki efek langsung mengiritasi

mukosa esofagus dan efek tidak langsungnya yaitu meningkatkan

7
permeabilitas ion hidrogen dari mukosa. Presentase pH esofagus dibawah

4 lebih besar pada pasien komplikasi dibandingkan dengan pasien

berpenyakit ringan. Kombinasi dari asam, pepsin dan atau empedu

merupakan refluks poten dalam memproduksi kerusakan esofageal.

Komplikasi

Beberapa komplikasi dapat terjadi dengan gastroesophageal reflux,

termasuk penyempitan esofagus , esofagus Barrett , dan adenocarcinoma

esofagus. Penggunaan obat

antiinflamasi nonsteroid atau aspirin merupakan faktor risiko tambahan

yang dapat berkontribusi untuk memburuknya komplikasi GERD.

Makanan yang ditelan mungkin tersangkut dalam esofagus sekali

penyempitan menjadi cukup parah (biasanya ketika ia menyempitkan

lumen esofagus ke garis tengah dari 1 cm). Situasi ini mungkin

memerlukan pengangkatan makanan yang tersangkut secara endoskopi.

Kemudian, untuk mencegah makanan menempel, penyempitan harus

diregangkan (diperlebar). Lebih dari itu, untuk mencegah kekambuhan

dari penyempitan, refluks juga harus dicegah. PRGE/GERD yang sudah

berjalan lama dan/atau yang parah menyebabkan perubahan-perubahan

pada sel-sel yang melapisi esofagus pada beberapa pasien. Barrett

esophagus memiliki insiden lebih besar dari 30 % daripada penyempitan

esofagus. Risiko adenocarcinoma esofagus terjadi 30 sampai 60 kali lebih

tinggi pada pasien dengan Barrett esophagus. Patofisiologi refluks

8
gastroesophageal adalah proses siklik kompleks. Untuk menentukan yang

terjadi pertama: gastroesophageal reflux menyebabkan kerusakan

peristaltik dengan kliring yang tertunda, atau ketidakmampuan tekanan

LES menyebabkan refluks gastroesophageal.

2.5 Presentasi Klinis GERD?

Pasien dengan GERD menunjukkan gejala yang dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Gejala khas : Dapat diperburuk oleh kegiatan yang memperburuk

gastroesophageal reflux seperti posisi telentang , membungkuk , atau

makan makanan tinggi lemak .

• Mulas

• kurang Air ( hipersalivasi )

• bersendawa

• Regurgitasi

2. Gejala atipikal : Dalam beberapa kasus, gejala-gejala extraesophageal

mungkin satusatunya gejala yang hadir, sehingga lebih sulit untuk

mengenali GERD sebagai penyebabnya, terutama ketika studi

endoskopi yang normal.

• asma nonallergic

• Batuk kronis

• Suara serak

9
• Faringitis

• Nyeri dada

• erosi gigi

3. Gejala Peringatan : Gejala-gejala ini mungkin menunjukkan

komplikasi GERD seperti Barrett esophagus, striktur esofagus, atau

kanker kerongkongan.

• Nyeri terus menerus

• Disfagia

• odynophagia

• penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

• Tersedak

Uji yang berguna dalam mendiagnosis GERD meliputi: endoskopi ,

pemantauan refluks rawat jalan, dan manometri.

1. Endoskopi adalah teknik pilihan untuk menilai mukosa untuk

esophagitis , Barrett esophagus mengidentifikasi dan mendiagnosa

komplikasi. Hal ini memungkinkan visualisasi dan biopsi mukosa

esofagus . Meskipun endoskopi adalah tes yang sangat spesifik , tidak

sangat sensitif . Dalam kasus-kasus ringan dari GERD , mukosa

esofagus mungkin muncul relatif normal .

2. Dua perkembangan terakhir terkait dengan pemantauan reflux rawat

jalan meliputi ( a) penggunaan gabungan impedansi dan pengujian

10
asam dan ( b ) penggunaan metode tubeless dari monitoring asam.

Sedangkan pengujian pH rawat jalan hanya mengukur refluks asam ,

dikombinasikan impedansi dan langkah-langkah pengujian asam baik

asam dan nonacid refluks . Ini mungkin berguna ketika mengevaluasi

pasien pada terapi penekanan asam.

3. Manometry kerongkongan digunakan untuk memastikan penempatan

yang tepat dari probe pH esofagus dan untuk mengevaluasi peristaltik

esofagus dan motilitas sebelum operasi antireflux . Untuk melakukan

manometry , tekanan penginderaan tabung multilumen dilewatkan ke

dalam perut dan tekanan diukur sebagai tabung ditarik kembali

melintasi sphincter bagian bawah esofagus , kerongkongan , dan faring

2.6 Treatment GERD?

Tujuan pengobatan GERD secara umum yaitu:

a. Mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala yang dialami pasien

b. Mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi gastroesophageal

reflux

c. Mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka

d. Mencegah perkembangan komplikasi

Tujuan pengobatan GERD secara khusus yaitu:

a. mengurangi keasaman refluxate

b. mengurangi volume lambung tersedia untuk direfluks

11
c. meningkatkan pengosongan lambung

d. meningkatkan tekanan LES

e. meningkatkan pembersihan asam esophagus

f. melindungi mukosa esophagus

Terapi awal yang digunakan tergantung pada kondisi pasien (frekuensi

gejala, tingkat esofagitis, dan adanya komplikasi). Secara historis, pendekatan

yang digunakan, dimulai dengan modifikasi gaya hidup dan pengarahan terapi

kepada pasien dan mengembangkan manajemen farmakologi atau pendekatan

intervensi. Perubahan diet makanan dan gaya hidup dengan pendidikan

tentang faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala GERD harus

didiskusikan dengan pasien meskipun mereka tidak mungkin untuk

mengontrol gejala-gejala yang timbul. Pasien dengan gejala ringan atau

sedang dapat diobati dengan obat – obatan tanpa resep seperti H2-reseptor,

inhibitor pompa proton, antasida, atau asam alginate. Pada pasien dengan

GERD sedang sampai parah, terutama mereka dengan penyakit erosif,

pengobatan dimulai dengan inhibitor pompa proton sebagai terapi awal.

Pasien yang tidak melakukan modifikasi gaya hidup dan pengarahan terapi

setelah 2 minggu harus melakukan terapi medis dan biasanya dimulai pada

terapi empirik yang terdiri dari agen acid-suppression. Terapi pemeliharaan

umumnya diperlukan untuk mengontrol gejala dan mencegah komplikasi.

Pada pasien dengan gejala yang lebih berat (dengan atau tanpa erosi

12
kerongkongan), atau pada pasien dengan komplikasi lain, terapi pemeliharaan

dengan inhibitor pompa proton merupakan terapi yang paling efektif.

Penggunaan rutin terapi kombinasi tidak dapat digunakan sebagai terapi

pemeliharaan GERD. GERD yang refrakter terhadap penekanan asam yang

cukup jarang terjadi. Dalam kasus ini, diagnosis harus dikonfirmasi melalui

tes diagnostik lebih lanjut , terapi dosis tinggi atau pendekatan intervensi

(operasi antireflux atau terapi endoskopi) .

1. Terapi Non Farmakologi

1. Modifikasi gaya hidup yang paling umum dilakuakan anatara

lain :

a. Penurunan berat badan Berat badan yang berlebihan (obesitas)

dapat meningkatkan resiko GERD dan juga dapat meningktankan

tekanan abdominal. Konsumsi makanan tinggi protein dan rendah

lemak dapat meningkatakan tekanan LES akibatnya penurunan

berat dan diet rendah lemak dapat meningkatkan gejala GERD.

b. Elevasi kepala saat tidur Meninggikan alas kepala dibawah busa

kasur bukan sekedar tinggi bantal setinggi 6-8 inchi menurunkan

kontak asam esofagus saat malam hari.

c. Konsumsi makanan kecil dan tidak makan 3 jam sebelum tidur

Banyak makanan dapat memperburuk gejala GERD. Lemak dan

coklat dapat menurunkan tekanan LES, sedangkan jus jeruk, jus

tomat, kopi, dan lada mungkin mengganggu rusak endothelium.

13
d. Menghindari makanan atau obat yang memperburuk GERD

e. Hal ini penting untuk mengevaluasi profil pasien dan untuk

mengidentifikasi potensi obat yang dapat memperburuk gejala

GERD. Obat-obatan, seperti antikolinergik, barbiturat, calcium

channel blocker, dan teofilin menurunkan tekanan LES. Obat lain,

termasuk aspirin, zat besi, obat antiinflamasi nonsteroid,

quinidine, kalium klorida, dan bifosfonat dapat bertindak sebagai

iritasi kontak langsung pada mukosa esofagus. Pasien yang

memakai bifosfonat (misalnya, alendronate) harus diinstruksikan

untuk minum 6 sampai 8 ons air keran biasa dan tetap tegak selama

minimal 30 menit setelah pemberian. Pendidikan pasien yang

tepat dapat membantu mencegah disfagia atau ulserasi

esofagus.Pasien harus dimonitor untuk gejala memburuk ketika

salah satu dari ini obat dimulai. Jika gejala memburuk, terapi

alternatif dapat dibenarkan. Klinisi harus mempertimbangkan

risiko dan manfaat melanjutkan obat yang dikenal untuk

memperburuk GERD dan esophagitis.

f. Berhenti merokok. Merokok dapat menyebabkan aerophagia, yang

dapat meningkatkan sendawa dan regurgitasi. Masih belum ada

banyak data yang menyebabkan peningkatan keparahan GERD,

sehingga pasien GERD di rekomendasikan untuk menghindari

alkohol.

14
g. Berhenti alkohol Penggunaan alkohol dapat menurunkan LES

2. Pendekatan Intervensi

a. Bedah Antireflux

Bedah antireflux dilkukan jika : (a) bagi pasien yang gagal untuk

menanggapi farmakologis pengobatan (b) pasien yang memilih

untuk operasi meskipun pengobatan yang sukses pertimbangan

gaya hidup karena, termasuk usia, waktu, atau biaya obat (c) yang

memiliki komplikasi GERD (misalnya, Barrett esofagus, striktur),

(d) Pasien yang memiliki gejala atripikal Komplikasi dari operasi

adalah dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk bersendawa

atau muntah, disfagia, denervasi vagus, trauma limpa, dan kadang

menyebabkan kematian. Efektivitas jangka panjang dari operasi

antireflux tidak pasti.Pasien berusia lebih muda dari 50 tahun dan

orang-orang dengan gejala khas yang responsif terhadap terapi

medis memiliki hasil terbaik dengan pembedahan.

b. Terapi Endoskopi

Beberapa endoskopi baru digunakan untuk pengelolaan GERD

yaitu perangkat menjahit endoskopi dan aplikasi endoluminal dari

frekuensi radio energi panas yang mengakibatkan cedera jaringan

atau ablasi saraf (prosedur Stretta). Teknik ini disetujui FDA,

tetapi peran yang tepat dalam manajemen GERD belum

ditentukan. Sebuah perangkat menjahit endoskopik (EndoCinch)

15
dan NDO Bedah secara signifikan mengurangi gejala mulas dan

regurgitasi, dan meningkatkan kualitas-hiduppasien. Penggunaan

terapi penekanan asam dapat dikurangi sebanyak 70% selama

follow up 12 bulan. Perangkat Stretta memberikan energi frekuensi

radio melalui jarum khusus yang diletakkan ke dalam jaringan

submukosa esofagus sementara tetap dilkukan pemantauan suhu

permukaan mukosa esofagus, sehingga dalam peningkatan

penghalang refluks LES. Hasil utama memiliki telah pengurangan

gejala mulas dan perbaikan kualitas hidup. Karena kurangnya data

yang memadai,sehingga belum diketahui apa peran perangkat ini

akan menjadi dalam pengelolaan GERD.

2. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi terdiri dari (a) terapi pasien diarahkan dengan

antasid nonprescription, antagonis reseptor H2, atau proton pump

inhibitors dan (b) terapi kekuatan resep penekan asam atau promotility

obat.

(a). Terapi Pasien yang Diarahkan

Terapi Pasien diarahkan sesuai untuk penyakit yang ringan, gejala

intermiten. Pasien dengan gejala yang terus berlangsung lebih dari 2

minggu harus dilakukan pemeriksaan medis.

1. Antasida dan turunan Asam Alginat Antasida

16
Pasien harus dididik bahwa antasida adalah komponen yang tepat

untuk mengobati GERD ringan, meskipun dokumentasi keberhasilan

antasida dalam uji klinis terkontrol plasebo kurang. Meskipun literatur

agak kontroversial pada keunggulan antasida dengan plasebo , dokter

dan pasien jelas menganggap antasida efektif untuk segera mengurangi

gejala-gejala, dan antasida yang sering digunakan bersamaan dengan

terapi asam. Mempertahankan pH intragastrik > 4 mengurangi aktivasi

pepsinogen ke pepsin, enzim proteolitik. Produk kombinasi bisa lebih

baik dibanding antasida sendirian dalam mengurangi gejala GERD.

Produk kombinasi antasida atau antasida dapat menyebabkan efek

samping gastrointestinal ( diare atau sembelit, tergantung pada produk

), perubahan dalam metabolisme mineral, dan gangguan asam-basa .

Antasida yang mengandung aluminium dapat mengikat fosfat dalam

usus dan mengakibatkan demineralisasi tulang . Selain itu, antasida

berinteraksi dengan berbagai obat-obatan dengan mengubah pH

lambung, meningkatkan pH urin, menyerap obat untuk permukaan

mereka, memberikan penghalang fisik untuk penyerapan, atau

membentuk kompleks larut dengan obat lain. Antasida memiliki

interaksi obat yang signifikan secara klinis dengan tetrasiklin, besi

sulfat, isoniazid, quinidine, sulfonilurea, dan antibiotik kuinolon.

Interaksi antasida dengan beberapa obat dipengaruhi oleh komposisi,

dosis, jadwal dosis, dan perumusan antasid tersebut. Secara umum,

17
antasida memiliki durasi obat yang singkat sehingga memerlukan

administrasi sering sepanjang hari untuk memberikan netralisasi asam

terus menerus. Mengonsumsi antasida setelah makan dapat

meningkatkan durasi obat dari sekitar 1 jam sampai 3 jam, namun

penekanan asam pada malam hari tidak dapat dipertahankan dengan

dosis tidur.

2. Nonprescription H2-Receptor Antagonists dan Proton Pump

Inhibitors

Antagonis reseptor H2 nonprescription (simetidin, famotidin,

nizatidin, dan ranitidin) efektif dalam menurunkan asam lambung

ketika dikonsumsi sebelum makan dan saat gejala penurunan GERD

terkait dengan olahraga. Antasida mungkin memiliki onset sedikit

lebih cepat dari aksi obat, sedangkan antagonis reseptor H2 memiliki

durasi yang lebih lama dari aksi obat dibandingkan dengan antasida.

Proton-pump inhibitor omeprazole juga dapat digunakan sebagai

pengobatan GERD. Sebuah dosis 20 mg per hari diindikasikan untuk

jangka pendek (14 hari) pada pengobatan heartburn. Pasien yang tidak

mengubah gaya hidupnya dan pasien yang diarahkan terapi sampai 2

minggu, harus dilihat kondisinya oleh dokter mereka.

3. Terapi Penekanan Asam

Terapi penekan asam dengan kekuatan obat yang diresepkan berupa

antagonis reseptor H2 dan inhibitor pompa proton adalah andalan

18
pengobatan GERD. Antagonis reseptor H2 (Cimetidine, Famotidine,

nizatidine, dan Ranitidine) antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi

efektif dalam mengobati pasien GERD ringan sampai sedang.

Sebagian besar percobaan yang menilai efikasi dosis standar H2-

reseptor antagonis menunjukkan bahwa perbaikan gejala dicapai

dalam rata-rata 60% pasien setelah 12 minggu terapi. Namun, tingkat

penyembuhan endoskopik cenderung lebih rendah, rata-rata 50%.

4. Proton Pump Inhibitor ( Esomeprazole, lansoprazole,

Omeprazole, Pantoprazole, dan rabeprazole )

Inhibitor proton pump lebih unggul daripada antagonis reseptor H2

dalam mengobati pasien dengan GERD parah. Tidak hanya pasien

dengan esofagitis erosif atau komplikasi ( misalnya, Barrett esophagus,

striktur ), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosive yang memiliki

gejala sedang sampai berat. Dosis yang disetujui FDA ( per hari ) dari

proton pump inhibitor adalah omeprazole 20 mg, esomeprazole 20 mg,

lansoprazole 30 mg, 20 mg rabeprazole, dan pantoprazole 40 mg.

Mengurangi gejala-gejala pasien yang terlihat sekitar 83 % setelah 8

minggu pengobatan dengan inhibitor proton pump, sedangkan tingkat

penyembuhan endoskopik pada 8 minggu adalah 78 % . Inhibitor

proton pump memblokir sekresi asam lambung dengan menghambat

lambung H+ / K+ - triphosphatase adenosin dalam sel parietal

lambung. Menghasilkan profound, efek antisecretory tahan lama

19
mampu mempertahankan pH lambung diatas 4, bahkan selama asam

postprandial mengalami lonjakan. Suatu korelasi tampak antara

persentase waktu pH lambung tetap di atas 4 selama periode 24 jam

dan penyembuhan esofagitis erosif.

5. Promotility Agent

Sebagai tambahan terapi supresi asam pada pasien dengan cacat

motilitas misalnya: ketidakmampuan LES, penurunan pengosongan

esofagus, pengosongan lambung tertunda). Kelemahan : semua

promotility agent mempunyai efek samping yang tidak diinginkan dan

umumnya tidak seefektif terapi supresi asam. Efek ekstrapiramidal,

sedasi, dan lekas marah umumnya dengan bethanecol dan

metoclopramide.

6. Cisapride

Memiliki khasiat sebanding dengan antagonist H2-receptor dalam

mengobati pasien dengan esofangitis ringan. Kelemahan : tidak

tersedia untuk penggunaan rutin, karena bisa mengancam aritimia

jantung ketika dikombinasikan dengan obat tertentu dan penyakit

lainnya.

7. Metoclopramide

Metoclopramide , antagonis dopamin , meningkatkan tekanan LES

yang berhubungan dengan dosis , dan mempercepat pengosongan

lambung pada pasien gastro esophageal reflux . Tidak seperti

20
cisapride, metoclopramide tidak meningkatkan pengosongan esofagus

. Metoclopramide memberikan perbaikan gejala untuk beberapa pasien

dengan penyakit gastroesophageal reflux. Kelemahan : namun data

yang substansial menunjukkan metoclopramide yang kurang

menyediakan penyembuhan endoskopik. Selain itu, profil efek

samping metoclopramide dan kejadian tachyphylaxis dibatasi

pengguaannya dalam mengobati banyak pasien dengan GERD. Resiko

efek samping jauh lebih besar pada pasien usia lanjut dan pada pasien

dengan disfungsi ginjal karena obat ini terutama dieliminasi oleh ginjal

. Kontraindikasi meliputi penyakit Parkinson , obstruksi mekanik ,

penggunaan seiring antagonis dopamin lain atau agen antikolinergik ,

dan pheochromocytoma.

8. Bethanecol

Bethanecol, Obat promotility, mempunyai nilai yang sangat terbatas

dalam pengobatan GERD karena efek samping yang tidak diinginkan.

Bethanecol tidak dianjurkan untuk pengobatan GERD dalam

penggunaan rutin.

9. Mucosa protectants

Sukralfat, garam aluminium nonabsorbable dari octasulfate sukrosa ,

memiliki nilai yang sangat terbatas dalam pengobatan GERD .

Sukralfat tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam pengobatan

GERD.

21
10. Terapi kombinasi

Terapi kombinasi dengan agen supresi asam dan agen promotility atau

agen pelindung mukosa merupakan terapi yang logis. Namun data

yang memadai mengenai kombinasi ini sangat terbatas dan pendekatan

ini tidak hrus secara rutin dianjurkan kecuali pasien memiliki GERD

dengan disfungsi motororik. Penambahan antagonis H2-reseptor pada

waktu tidur untuk pompa proton inhibitor telah dievaluasi untuk

pengobatan gejala nokturnal.

11. Terapi pemeliharaan

Meskipun penyembuhan atau perbaikan gejala mungkin dicapai

melalui berbagai cara terapi yang berbeda, sebagian besar pasien

dengan gastroesophageal reflux akan terjadi kambuh dan berusaha

untuk melakukan penghentian terapi, terutama mereka dengan

penyakit yang lebih parah. Tujuan pemeliharaan terapi adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup dengan mengontrol gejala pasien dan

mencegah komplikasi. Tujuan ini tidak bisa secara umum dicapai

dengan mengurangi dosis terapi yang digunakan untuk penyembuhan

awal. Kebanyakan pasien akan memerlukan dosis standar untuk

mencegah kekambuhan. Pasien harus diberi konseling tentang

pentingnya mematuhi perubahan gaya hidup dan terapi pemeliharaan

jangka panjang untuk mencegah terulangnya atau memburuknya

penyakit. Antagonis reseptor H2 mungkin terapi pemeliharaan yang

22
efektif untuk pasien dengan. Inhibitor pompa proton adalah obat

pilihan untuk pengobatan pemeliharaan sedang sampai parah

esophagitis atau gejala. Meskipun tidak diteliti dengan baik, banyak

pasien dengan hanya gejala ringan sampai sedang dapat memutuskan

sendiri untuk minum obat mereka dengan cara ini untuk kepentingan

finansial. Namun, pasien dengan penyakit yang lebih berat atau

komplikasi harus dipertahankan pada dosis standar inhibitor pompa

proton. Penggunaan kronis jangka panjang dari dosis tinggi inhibitor

pompa proton tidak diindikasikan kecuali pasien dengan gejala parah,

memiliki esophagitis per endoskopi, atau telah memiliki diagnostik

lebih lanjut evaluasi untuk menentukan tingkat paparan asam.

Metoclopramide tidak disetujui untuk terapi pemeliharaan dan

penggunaannya dibatasi oleh karena adanya profil efek samping.

Terapi bedah antireflux dan endoskopi juga dapat dianggap sebagai

alternatif untuk obat jangka panjang

12. Terapi pemeliharaan dengan antagonis reseptor H2

Sebuah studi mengevaluasi efektivitas antagonis H2-reseptor pada

pasien GERD mendapatkan hasil yang mengecewakan. Saat ini,

ranitidine 150 mg dua kali sehari adalah satu-satunya H2-reseptor

antagonis yang disetujui FDA untuk pemeliharaan menyembuhkan

esofagitis erosif.

23
BAB III

PENUTUP

Penyakit Gastroesophageal reflux adalah penyakit umum yang secara

klasik muncul sebagai sakit maag. Patofisiologi refluks adalah kompleks,

yang melibatkan kedua faktor agresif (asam, pepsin, asam empedu, enzim

pankreas, dan prostaglandin) dan sistem kekebalan (faktor anatomi, tekanan

LES, clearance esofagus, dan pengosongan lambung). Modalitas terapi yang

dirancang untuk meminimalkan faktor-faktor agresif dan / atau menambah

sistem kekebalan

24
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyono A, Simadibrata Setiati. Buku Ajar. Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta:

interna; 2009: p.12-14

Ndraha S. Penyakit Refluks Gastroesophageal. Departemen Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta 2014: p. 27.

Guyton AC. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology and

Mechanisms of Disease). 3 ed. Jakarta: EGC; 1990. p. 412-416.

Diambil dari internet pada tanggal 18 juni 2020 jam 22.30 :

file:///C:/Users/user10/Downloads/2412-4550-1-SM.pdf

Diambil dari internet pada tanggal 18 juni 2020 jam 22.30 :

http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-

content/uploads/2017/08/Farmakologi-Komprehensif.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai