Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEMESTER II MODUL – 7(PENCERNAAN)

SKENARIO - 2

HEART BURN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai dengan kemampuan sederhana
yang saya miliki . Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.

Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Agar ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................i

Datar Isi..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.......................................................................1

1.2. Identifikasi Masalah...............................................................2

1.3. Analisis Masalah....................................................................2

1.4. Tujuan
Pembelajaran.................................................................................2

BAB II ISI

2.1 Defenisi................................................................................................3

2.2 Etiologi..................................................................................................3

2.3 Patofisiologi...........................................................................................3

2.4 Faktor Resiko.........................................................................................6

2.5 Pencegahan dan Gejala...........................................................................8

2.6 Pemeriksaan Fisik....................................................................................9

2.7 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................10

2.8 Komplikasi.............................................................................................14

2.9 Prognosis................................................................................................14

2.10 Hubungan GERD dengan Kesehatan Rongga Mulut..........................14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.............................................................................................16

Daftar Pustaka...............................................................................................27

Lembar Penilaian Makalah............................................................................iv

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), atau yang biasa dikenal


sebagai penyakit lambung akibat refluks asam lambung, adalah masalah
kesehatan yang cukup umum. Ini terjadi karena adanya gangguan pada lower
esophageal sphincter yang merupakan katup penghubung antara lambung dan
kerongkongan. Akibatnya, asam lambung yang seharusnya tetap berada di
perut, naik ke kerongkongan dan menimbulkan sensasi terbakar di dada. Di
Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya sebagaian
kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada umumnya
keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida.
Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi dan
berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter. Berbagai
survei menunjukkan bahwa pada orang dewasa menderita heartburn (rasa
panas membakar di daerah retrosternal), suatu keluhan klasik GERD.
Sedangkan pada bayi dan balita, tidak ada gejala kompleks yang dapat
menegakan diagnosis GERD atau memprediksi respon terhadap terapi.

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) ini umum ditemukan pada


populasi di Negara – Negara Barat, namun dilaporkan relatif rendah
insidennya di Negara – Negara Asia – Afrika. Di amerika dilaporkan bahwa
satu dari lima orang dewasa mengalami gejala relfuks (heartburn dan / atau
regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih 40% mengalami gejala tersebut
sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%,
sementara di Negara – Negara non – Western prevalensinya lebih rendah (1,5
di China dan 2,7% di Korea) Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia
dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara Barat.

1.2 Identifikasi Masalah


1
1. Seorang pasien laki laki usia 42 tahun datang dengan keluhan nyeri dada
seperti terbakar, nyeri ulu hati, mual, kembung dan rasa asam di lidah

2. Pasien sudah meminum antasida tetapi rasa sakit hanya berkurang dan tidak
hilang

3. Rasa sakit dirasakan pasien terutama saat bangun tidur

4. Pemeriksaan fisik normal, DM dan hipertensi disangkal

5. Nyeri tekan pada regio epigastrium

1.3 Analisis Masalah

1. Mengapa pasien merasakan sakit pada saat bangun tidur?

2. Apa diagnosa penyakit ini?

3. Apa beda rasa terbakar penyakit jantung dengan penyakit ini?

4. Kenapa obat antasida tidak dapat menghilangkan rasa sakitnya?

5. Apa komplikasi dari penyakit ini dan bagaimana pencegahannya?

6. Apa saja faktor penyebab penyakit ini?

7. Bagaimana prognosis dari penyakit ini?

8. Bagaimana antasida bekerja pada kasus ini?

1.4 Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian, etiologi, gejala,


patofisiologi, pemeriksaan fisik dan penunjang, pencegahan dan faktor resiko,
prognosis, penatalaksanaan, komplikasi dari penyakit GERD.

2. Hubungan GERD dengan kesehatan rongga mulut

BAB II

2
ISI

2.1 Defenisi

Gastroesophageal reflux disease adalah suatu keadaan patologis sebagai


akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.
Telah diketahui bahwa refluks kandungan lambung ke esofagus dapat
menimbulkan berbagai gejala di esofagus maupun ekstraesofagus, dan dapat
menyebabkan komplikasi yang berat bahkan adenokarsinoma di kardia dan
esofagus. Istilah Esofagistis refluks berarti kerusakan mukosa esofagus akibat
refluks cairan lambung seperti erosi dan ulserasi epitel esofagus. Pada kondisi
terdapat gejala refluks tanpa kelainan mukosa esofagus pada pemeriksaan
endoskopi disebut Asymtomatic Gastro-Esophageal Reflux atau Non-Erosiv
Reflux Disease (NERD). Kelainan ini timbul akibat hipersensitivitas mukosa
esofagus terhadap asam yang dihubungkan dengan peningkatan persepsi nyeri.

2.2 Etiologi

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat


terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). Terjadi kontak
dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus,
2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran
retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster
ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau
sangat rendah .

2.3 Patofisiologi

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :


a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah
pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini

3
kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
 Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya
tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat
terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD
ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat
menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin
pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri,
tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang
berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation
(TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih
kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana
terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada
hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric
emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
 Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus
adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi
refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan
dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan
dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar
esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin
besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD
ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan
yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal. Refluks
malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus
tidak aktif.
 Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki
lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan
epithelial esophagus terdiri dari :
 membran sel

4
 batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esophagus
 aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
 sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan
Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel
esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak
refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat
terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas. Faktor ofensif
dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya
pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki
potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD
adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis,
antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying. Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada
hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A
positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma
esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada
distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala
refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh
eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks
pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi
H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan
gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki
keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus
predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD
serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang
pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya
gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori
dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa
non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD.
Yang dimaksud dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang
5
tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala
GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.

2.4 Faktor Resiko

Faktor faktor yang mempengaruhi GERD


1. Kondisi gastroesofagus
a. Faktor mekanik
Mekanisme antirefluks Lower esophageal Sphincter (LES), Pada
ujung bawah esofagus, meluas ke atas sekitar 3 cm diatas perbatasan dengan
lambung, otot sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah
yang lebar atau disebut juga sfingter gastroesofageal. Normalnya, sfingter ini
tetap berkonstriksi secara tonik dengan tekanan intraluminal pada titik ini di
esofagus sekitar 30 mmHg, berbeda dengan bagian tengah esofagus yang
normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltic penelanan
melewati esofagus, terdapat “relaksasi reseptif” dari sfingter esofagus bagian
bawah yang mendahului gelombang peristaltic, yang mempermudah
pendorongan makanan yang ditelan ke dalam lambung.
Sekresi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim
proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah
esofagus, tidak mampu berlama – lama menahan aksi pencernaan dari sekresi
lambung. Untungnya, konstriksi tonik sfingter gastroesofageal membantu
mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali
pada keadaan abnormal. Dan peningkatan tekanan intraabdomen akan
mendesak esofagus ke dalam pada titik ini. Jadi, sfingter gastroesofageal ini
membantu mencegah tekanan intraabdomen yang tinggi yang berasal dari
desakan isi lambung kembali ke esofagus.
Pemisah antirefluks juga berpengaruh dalam kejadian GERD.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intra abdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata
mempunyai tonus LES yang normal. Faktor – faktor yang dapat menurunkan
tonus LES antara lain : 1). Adanya hiatus hernia, 2). Panjang LES (makin
pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). Obat – obatan seperti
antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain – lain, 4). Faktor
hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone dapat
menurunkan tonus LES. Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya
GERD masih kontroversional. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan
endoskopi ditemukan haitus hernia, namun hanya sedikit yang
memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus
serta menurunkan tonus LES.
b. Faktor non – mekanik

6
1. Bersihan asam dari lumen esofagus. Faktor – faktor yang berperan
dalam bersihan asam esofagus adalah: 1). Gravitasi, 2). Peristaltik, 3). Sekresi
air liur dan, 4). Produksi bikarbonat esofagus. Setelah terjadinya relfuks,
sebagian bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan
peristaltik yang dirangsan oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.
Mekanisme ini sangat sangat penting, karena makin lama kontak dengan
bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Refluks malam hari (noctural reflux) lebih
besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur
sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif
2. Ketahanan epitelial esofagus berbeda dengan lambung dan
duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mucus yang melindungi mukosa
esofagus. Sel – sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion
h+ dan bikarbonat ekstraselular. Kandungan lambung yang menambah
potensi daya rusak refluksat terdiri dari: 1). Hcl, 2).pepsin, 3).garam,
4).empedu, 5). Enzim pangkreas
2 faktor lingkungan
a. Merokok dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terhadap
kejadian gerd karena mengalami heartburn setiap minggunya, merokok juga
dapat meningkatkan asam lambung, dan juga salah satu bahan yang
terkandung dalam rokok seperti nikotin dapat berkontribusi dalam kejadian
gerd dengan merelaksasikan sfingter esophagus bagian bawah (les)
b. Faktor stress emosional dapat merangsang saraf parasipatis
sehingga dapat mempengaruhi terbentuknya bahan – bahan refluksat gaster
yaitu salah satunya hcl dan stress juga berpengaruh terhadap hipersentivitas
dari esophagus sehingga dapat mempengaruhi kondisi dari sfingter esophagus
bagian bawah (les) hingga dapat menyebabkan regurgitasi bahan refluksat
dari lambung ke esofagus.
3 faktor sosiodemografi
usia dan juga jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya gerd, pada pasien yang berusia ≥ 40 tahun memiliki
resiko tinggi terjadinya gerd dan juga pasien – pasien dengan jenis kelamin
laki – laki lebih sering mengalami kejadian gerd dibandingan dengan
perempuan
4 faktor individu
a. Faktor genetik
Kejadian GERD dipengaruhi juga oleh faktor genetik, terdapat
beberapa penelitian menunjukan hubungan antara genetik dengan kejadian
GERD dimana didapatkan kejadian GERD yang terjadi dalam satu keluarga
pada penelitian tersebut dijelaskan terdapat kelainan kromosom 13q pada
anak dengan penyakit refluks gastroesofageal
b. Faktor status gizi banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
kenaikan indeks massa tubuh (imt) berkaitan dengan gerd. Obesitas adalah

7
salah satu faktor penting dalam terjadinya gerd, semakin tinggi nilai imt
seseorang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen yang dapat
mempengruhi fungsi les.

2.5 Pencegahan dan Gejala

a.Gejala GERD yang Umum Terjadi

Gejala yang biasa terjadi saat asam lambung naik adalah rasa asam
atau pahit di  mulut dan sensasi perih atau panas terbakar di dada dan ulu
hati. Kedua gejala ini biasanya akan semakin memburuk saat penderita
membungkuk, berbaring, atau setelah makan.

Selain mulut terasa asam dan nyeri ulu hati, gejala lain yang juga dapat
menyertai GERD adalah:

 Kesulitan menelan atau perasaan seperti ada benjolan di tenggorokan.


 Gangguan pernapasan, seperti batuk-batuk dan sesak napas. Orang
yang memiliki penyakit asma akan sering kambuh ketika gejala
GERD kumat.
 Suara serak.
 Mual dan muntah.
 Sakit tenggorokan.
 Keluarnya isi lambung tanpa disadari.
 Gangguan tidur.
 Kerusakan gigi karena sering terkena asam lambung.
 Bau mulut.

Penting untuk diketahui bahwa gejala GERD terkadang disalahartikan


dengan serangan jantung, karena keduanya sama-sama menimbulkan sensasi
perih di dada dan nyeri ulu hati. Akan tetapi, gejala kedua peyakit ini bisa
dibedakan.Nyeri ulu hati atau nyeri dada karena serangan jantung biasanya
dirasakan sangat berat, menjalar hingga ke lengan, leher, atau rahang, dan
biasanya muncul setelah melakukan aktivitas fisik. Sedangkan nyeri ulu hati
karena gejala GERD umumnya disertai adanya rasa asam pada mulut, tidak
diperparah oleh aktivitas fisik, tidak menyebar hingga ke lengan atau leher,
dan dirasakan semakin berat saat berbaring.
b.Pencegahan GERD
Di samping mengonsumsi beberapa obat, melakukan perubahan gaya
hidup juga penting dilakukan supaya gejala GERD tidak kambuh kembali.
Perubahan yang dimaksud adalah:

 Menurunkan berat badan, jika memiliki berat badan yang berlebih.


 Tidak merokok.
8
 Meninggikan kepala saat tidur.
 Tidak berbaring atau tidur setidaknya dalam waktu 2 hingga 3 jam
setelah makan.
 Menghindari makanan atau minuman yang memicu asam lambung
naik, seperti alkohol, susu, makanan yang pedas dan berlemak,
cokelat, mint, dan kopi.
 Tidak mengenakan pakaian yang terlalu ketat.

Sebenarnya, setiap orang bisa mengalami gejala asam lambung naik,


terutama setelah makan dalam jumlah yang banyak, makan pada larut malam,
atau mengonsumsi makanan yang memicu produksi asam lambung. Asam
lambung naik baru dikatakan sebagai penyakit jika gejala tersebut muncul
paling tidak 2 kali dalam seminggu. Agar tidak menimbulkan komplikasi
yang lebih parah, penting untuk mengenali gejala GERD dan lakukan langkah
penanganan sejak dini untuk mengatasinya. Namun perlu
segera berkonsultasi ke dokter jika gejala GERD terjadi secara terus menerus
dan tidak kunjung membaik.

2.6 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang perlu kita ketahui adalah keadaan umum
pasien dan memeriksa tanda-tanda vital pada pasien. Keadaan umum :
Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit termasuk ekspresi
wajah dan posisi pasien, kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara
kualitatif seperti compos mentis, apathis, somnolent, sopor, koma dan
delirium. Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama, kualitas),
tekanan darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan) dan
suhu tubuh.

Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien


yang biasanya terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Inspeksi
adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan melihat bagian tubuh yang
diperiksa melalui pengamatan. Palpasi adalah pemeriksaan yang dilakukan
melalui perabaan terhadap bagian-bagian tubuh yang mengalami kelainan.
Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan melalui pendengaran.
Perkusi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mengetuk
dengan tangan atau dengan alat bantu. Palpasi dilakukan terakhir,
dikarenakan palpasi dapat mengganggu bunyi normal abdomen. Untuk tujuan
deskriptif abdomen dibagi menjadi 4 kuadran(LUQ, LLQ, RUQ, RLQ). Bias
dilakukan pemeriksaan fisik abdomen terdiri dari : Inspeksi, Palpasi, Perkusi,
dan Auskultasi.

9
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa
GERD yaitu:
 Endoskopi

Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh


evaluasi pasien dengan dugaan PRGE.Namun harus diingat bahwa PRGE tidak
selalu disertai kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan
dalam keadaan ini merupakan biopsi.Endoskopi menetapkan tempat asal
perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).

Gambar 1: Salutran cerna bagian atas

Klasifikasi Los Angeles


Derajat kerusakan Gambaran endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

 Radiologi

Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan


kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan.Di samping itu hanya sekitar
25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan pada
pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan
lumen.
 Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan
mukosa esofagus terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan
menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes
Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak
bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi

10
asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan
berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium tes farmakologis ini menggunakan obat
endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan dosis 80 µg/kg
berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik
yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara
manometrik untuk memastikan nyeri dada asal esofagus.
 Pengukuran pH dan tekanan esofagus

Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada


tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap
diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada
dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus
selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus. Selama
rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya,
sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan
motorik esofagus.Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold standar
untuk memastikan adanya PRGE. Namun tidak semua bayi yang muntah atau
regurgitasi diindikasikan untuk melakukan pemeriksaan ini.

 Tuttle test acid reflux

Tes ini menggunakan asam hidrokhloric (0.1N per 1.7m 2) atau dengan
jus apel yang tidak dimaniskan (300ml per 1.7m2) yang ditelan oleh pasien
lalu pH dimonitor selama 30 menit, penurunan pH dibawah 4 merupakan
kasus abnormal.

 Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy

Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan


esofagus dan sifatnya non invasive.
 Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan
mukosa esofagus, erosi, dan striktur.
 Manometri esofagus

Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian


terapi pada pasien NERD.Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan
peristaltik/motilitas esofagus.
 Histopatologi

Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau


keganasan.Tetapi bukan untuk memastikan NERD.

2.8 Penatalaksanaan

11
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Hal –
hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai
berikut:
1. Meninggikan posisi kepala saat tidur, serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam
selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke
2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung dapat
mempengaruhi sel – sel epitel.
3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan
yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari
pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen
5. Menghindari makanan atau minuman seperti coklat, pepper mint,
kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
6. Jika memungkinkan menghindari obat – obat yang dapat
menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam,
opiate, antagonis kalsium, antagonis beta adrenergic, progesterone.
b. Penatalaksanaan Farmakologi
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai
saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas
saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini
terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat
prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan
step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat
yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor
H2) atau golonganprokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan
sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat
pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan
dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.5
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini
pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi
step down.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
GERD :
 Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai

12
buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus
bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium,
penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
 Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya
efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi.
 Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada
prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi
asam.
 Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya
rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan
lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
 Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar
darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
 Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya
dalammenghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
 Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di
eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
 Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan

13
GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel
parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai
tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy)
selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.

2.9 Komplikasi

 Barrett’s Oesophagus, yang dicirikan oleh Penyakit Refluks


Gastroesofageal yang berlangsung lama dan meningkatkan risiko
Kanker Esofageal.
 Peradangan pita suara.
 Kerusakan paru-paru, termasuk Fibrosis Paru dan bronkiektasis
 Stricture (penyumbatan) esofagus disebabkan oleh jaringan parut yang
berkembang akibat sakit maag yang kembali kambuh.
 Sakit maag dalam esofagus disebabkan oleh pembakaran dari asam
perut.

2.10 Prognosis

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat


kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat
diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan
terapi “bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama
beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif
dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD

2.11 Hubungan GERD Dengan Kesehatan Rongga Mulut


Regurgitasi merupakan manifestasi klinis yang bermakna pada
kejadian Gastroesophageal reflux disease (GERD), regurgitasi menyebabkan
pasien merasakan sensasi asam atau pahit di dalam mulut. Refluks yang
sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus atau lambung yang sampai kerongga mulut.
Obstruksi dari esofagus bagian distal dan keadan stasis seperti pada akalasia
atau divertikulitis dapat sebagai penyebabnya. Bahan regurgitasi yang terasa
asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang

14
berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES.
Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laryngeal, batuk yang terus
menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pnemonia.
Peningkatan tekanan intra abdominal yang timbul karena posisi
membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya
regurgitasi. Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala berupa
serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak, mulut bau pada pagi
sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Selain itu pasien juga sering
merasa kembung, mual cepat kenyang, bersendawa, dan hipersalivasi.

15
BAB 3

Penutup

3.1 Kesimpulan

Gastroesofageal refluks disease ( GERD ) merupakan keadaan


patologis yang diakibatkan refluks kandungan lambung ke dalam esofagus.
GERD dapat menyerang segala jenis usia dari bayi hingga orang tua. Pada
GERD ditemukan keluhan seperti adanya rasa nyeri di bagian epigastrium,
regurgitasi, heartburn, disfagia dan odinofagia. Diagnosis GERD dapat
dicapai berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan. Salah
satu penatalaksaan untuk GERD adalah dengan modifikasi gaya hidup.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Academia.Gastroeosophageal diseases (GERD). 2013.


https://www.academia.edu/22298613/Gastroesophageal_Reflux_Dis
ease_GERD .Diunduh pada tanggal 5 Mei 2020

2. ALODOKTER. 2019.Kenali gejala GERD dan cara mengatasinya.


https://www.alodokter.com/kenali-gejala-gerd-dan-cara-
mengatasinya. Diunduh pada tanggal 5 Mei 2020

3. Gleneagles.2020.Penyakit refluks gastro-eosophagus.


https://www.gleneagles.com.sg/id/specialties/medical-
specialties/stomach-digestive/gastro-oesophageal-reflux-diseases.
Diakses pada tanggal 5 Mei 2020

iii
Lembar Penilaian Makalah

NO BAGIAN YANG DINILAI SKOR NILAI

1. Ada Makalah 60
2. Kesesuaian dengan LO 0-10
3. Tata cara penulisan 0-10
4. Pembahasan materi 0-10
5. Cover dan penjilidan 0-10
Total :

NB :

LO = Learning Objective

Medan, 28 April 2020

Dinilai oleh:

dr. M. Anwar

iv
v

Anda mungkin juga menyukai