Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH FARMAKOTERAPI

GERD, MAAG DAN TUKAK LAMBUNG

Disusun oleh :

KELOMPOK I

BAIQ SRI HIDAYANTI

FIDENTINI ALFRIANA SHEREN

INDAH AYUNINGSIH

KIRANA AULIA WIDRIANTI

NOER HALIMAH

YOHANA MARIA VIANA BRIA

YUAN ARGI VIRANDA

PROGRAM STUDI S1 FARMASI NON REGULER

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KEDIRI

TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur atas Rahmat dan kasih Tuhan yang Maha Esa,
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Gerd, Maag dan
Tukak Lambung” dengan waktu yang ditentukan. Adapun Tujuan dari penulisan
Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi.

Sehingga dengan terselesainya Makalah ini, kami mengucapkan terima


kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah yang telah memberikan arahan
dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik. Harapan kami kedepannya
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dimana kami menyadari
bahwa Makalah ini masih banyak kekurangannya, sehingga diharapkan segala
kritik dan saran. Atas perhatiannya kami dari kelompok 1 mengucapkan limpah
Terimakasih.

ii
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan .......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3

2.1 Definisi.......................................................................................................3
2.2 Epidemiologi..............................................................................................4
2.3 Faktor Resiko.............................................................................................6
2.4 Etiologi.......................................................................................................8
2.5 Patofisiologi...............................................................................................11
2.6 Manifestasi Klinik......................................................................................14
2.7 Diagnosa....................................................................................................16
2.8 Pelaksanaan Terapi....................................................................................22

BAB III PENUTUP............................................................................................28

3.1 Kesimpulan................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................29

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lambung merupakan organ yang vital bagi tubuh yang cukup rentan
cidera atau terluka. Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja lambung adalah
asupan makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Keteledoran menjalani pola hidup,
diet ketat, faktor lingkungan dan stress juga dapat memunculkan gangguan
kesehatan lambung. Salah satunya adalah menyebabkan meningkatnya asam pada
lambung yang membuat dinding lambung lama kelamaan tidak kuat menahan
asam yang terjadi pada lambung dan timbul luka. Meningkatnya asam lambung
yang disertai perut terasa perih seperti diiris-iris biasa dikenal dengan sebutan
penyakit maag. Penyakit maag atau juga yang biasa dikenal dengan sebutan
gastritis merupakan suatu keadaan kesehatan dimana terjadi pembengkakan,
peradangan atau iritasi pada lapisan lambung.

Sebenarnya penyakit yang ada pada lambung tidak hanya maag, ada
beberapa penyakit lain yaitu Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan tukak
lambung. GERD merupakan salah satu keluhan penyakit pada lambung. Rasa
sakit yang hampir sama dengan maag tetapi GERD ini lebih berbahaya
dibandingkan maag. Tukak lambung itu sendiri adalah penyakit akibat gangguan
pada saluran gastrointestinal dengan penyebab paling besar karena infeksi
Helicobacter pylori yaitu sebesar 70%. Penyebab lainnya adalah penggunaan
NSAID. Untuk mengetahui pasti pasien yang menderita penyakit ini bisa melalui
hasil laboratorium.

Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui penyakit lambung dengan


sebutan maag, padahal maag hanya merupakan salah satu bagian dari penyakit
lambung. Cukup banyak masyarakat yang umumnya tidak mengetahui hal ini
sehingga mereka belum tepat dalam mendiagnosa jenis penyakit lambung.
Makalah ini dibuat untuk dapat memberi penjelasan tentang beberapa macam

1
penyakit lambung yaitu GERD, maag dan tukak lambung mulai definisi hingga
pelaksanaan terapinya.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang dapat dirumuskan dari latar belakang diatas yaitu
Bagaimana pengertian hingga tatalaksana terapi tentang GERD, maag dan tukak
lambung.
1.3 Tujuan
Mengetahui dan memahami beberapa penyakit lambung terutama GERD,
maag dan tukak lambung.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

a. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease).


Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu
gangguan berupa isi lambung mengalami refluks berulang ke dalam
esofagus, menyebabkan gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu.
GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan esofagus,
faring, laring dan saluran napas.
Sedangkan menurut American College of Gastroenterology, GERD is a
physical condition in which acid from the stomach flows backward up into
the esofagus. Jadi, GERD adalah suatu keadaan patologis di mana cairan
asam lambung mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan
menyebabkan gejala.
b. Maag
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan
mukosa lambung yang dapat bersifat akut dan kronik (Aspitasari &
Taharuddin, 2020). Masyarakat pada umumnya mengenal gastritis dengan
sebutan penyakit maag yaitu penyakit yang menurut mereka bukan suatu
masalah yang besar, gastritis terjadi pada semua usia mulai dari anak-anak,
remaja, dewasa sampai tua (Jannah, 2020). Gastritis disebabkan salah
satunya karena sikap penderita gastritis yang tidak memperhatikan
kesehatannya, terutama makanan yang dikonsumsi setiap harinya
(Suprapto, 2020).Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling
banyak dijumpai di klinik penyakit dalam pada umumnya. Gastritis adalah
gangguan atau peradangan dinding lambung yang disebabkan peningkatan
produksi asam lambung. Gastritis adalah suatu peradangan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus atau lokal.

3
Gastritis dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gastritis akut, adalah inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian
besar kasus merupakan penyakit ringan dan sembuh dengan sempurna.
Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat
berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis erosif/ gastritis
hemoragik.
2. Gastritis kronik, adalah peradangan mukosa kronis yang akhirnya
menyebabkan atrofi mukosa dan metaplasia epitel.
c. Tukak Lambung
Tukak Peptik adalah penyakit akibat gangguan pada saluran
gastrointestinal atas yg disebabkan sekresi asam dan pepsin yang
berlebihan oleh mukosa lambung (Avunduk, 2008). Tukak peptik
merupakan keadaan terputusnya kontinuitas mukosa yang meluas di
bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa, sub mukosa hingga
lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna yang langsung berhubungan
dengan cairan lambung asam atau pepsin (Sanusi, 2011). Sel parieteal
mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik atau zimogen mengeluarkan
pepsinogen yang oleh HCl dirubah menjadi pepsin dimana HCl dan pepsin
adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH <4 (sangat agresif
terhadap mukosa lambung). Bahan iritan akan menimbulkan defek barrier
mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. histamin terangsang untuk lebih
banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis, dan
tukak lambung.

2.2 Epidemologi

a. GERD
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di
amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn
atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalaminya
sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara

4
negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai
penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus
esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atas indikasi dyspepsia (Amran, 2018).
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki
dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1. GERD pada
negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70
tahun merupakan usia yang seringkali mengalami GERD.
b. Maag
Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2020
terhadap beberapa negara di dunia dan mendapatkan hasil persentase dari
angka kejadian gastritis didunia, mendapati bahwa jumlah penderita gastritis
di Negara Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan
Perancis 29,5% (Mawey dkk, 2018).Persentase dari angka kejadian gastritis
di Indonesia menurut WHO adalah 40,8%. Angka kejadian gastritis pada
beberapa daerah di Indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274,396 kasus
dari 238,452,952 jiwa penduduk. Menurut Maulidiyah (2018), di Kota
Surabaya angka kejadian Gastritis sebesar 31,2%, Denpasar 46%,
sedangkan di Medan angka kejadian infeksi cukup tinggi sebesar 91,6%,
Berdasarkan profil keesehatan kesehatan tahun 2018, gastritis
merupakan salah satu penyakit di dalam sepuluh penyakit terbanyak pada
pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah 30.154 kasus
(4,9%) (Gustin, 2018).Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota
Palembang diketahui bahwa jumlah penderita penyakit gastritis pada tahun
2019 sebanyak 63.408 kasus, sedangkan pada tahun 2020 sebanyak 52.936
dan pada tahun 2021 sebanyak 49.115.

5
c. Tukak Lambung
Sekitar 10 % orang Amerika mengalami tukak peptik kronis seumur
hidup mereka . Hal ini terjadi dengan variasi antar individu dengan jenis
ulkus , ras , pekerjaan , kecenderungan genetik , dan sosial usia, jenis
kelamin, dan lokasi geografis yang berbeda. Faktor – faktor ini lebih kecil
prevalensinya jika dibandingan adanya infeksi Helicobacter Pylori dan
penggunaan NSAID. Sejak tahun 1960 , kunjungan dokter terkait ulkus,
pada unit rawat inap, operasi, dan kematian telah menurun di Amerika
Serikat oleh lebih dari 50 % , terutama karena tingkat penurunan pasien
tukak peptik. Penurunan rawat inap di rumah sakit dapat dilihat dari
penurunan penerimaan pasien tukak duodenum. Namun, untuk rawat inap
orang dewasa untuk penyakit komplikasi terkait tukak (perdarahan dan
perforasi ) mengalami peningkatan. Meskipun angka kematian secara
keseluruhan dari tukak peptik menurun, angka kematian pada pasien yang
lebih tua dari 75 tahun mengalami peningkatan, yang kemungkinan besar
diakibatkan dari peningkatan konsumsi NSAID. Tukak peptik tetap menjadi
salah satu penyakit yang paling umum gastrointestinal, yang mengakibatkan
gangguan kualitas hidup, kehilangan pekerjaan, dan tingginya biaya
perawatan medis. Sampai saat ini, antagonis reseptor H2 (H2RAs), proton
pump inhibitor (PPI), dan obat penyakit mukosa tidak merubah tingkat
komplikasi tukak peptik (Dipiro,2005 : 630).
2.3 Faktor Resiko

a. GERD
Beberapa faktor risiko GERD adalah mengkonsumsi obat-obatan
seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, dan calcium-channel
blocker. Dalam hal ini obat-obatan tersebut dapat mengganggu kerja otot
sfinter esofagus bagian bawah. Cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol,
dan rokok juga menyebabkan terjadinya GERD. Hormon pada wanita hamil
dan menopause juga turut serta mengambil peran dalam terjadinya GERD.
Penyakit lain seperti hiatal hernia dan obesitas juga dapat mencetuskan
GERD. Semakin tinggi nilai Indeks Masa Tubuh (IMT) maka risiko kejadian

6
munculnya penyakit GERD akan semakin meningkat pula (Tandarto,2019).
pola pengobatan yang kurang tepat atau faktor risiko seperti penggunaan
obat-obatan seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat dan
calcium-channel blocker secara bersamaan (Rahman dkk,2018).
b. Maag
Salah satu faktor pemicu gastritis adalah konsumsi tinggi protein
dalam menu harian. Hal ini dikarenakan pola makan tinggi protein dapat
memicu tingginya sekresi asam lambung. Faktor asam lambung sangat
berperan pada penyakit gastritis. Penyakit ini timbul akibat
ketidakseimbangan asam lambung sebagai faktor agresif dan mukosa
lambung sebagai faktor protektif. Faktor agresif lebih dominan sehingga
mengakibatkan terjadinya iritasi mukosa pada dinding lambung. Dengan
demikian konsumsi makanan dan minuman yang memicu tingginya sekresi
asam lambung adalah penyebab penting terjadinya gastritis. Selain
konsumsi tinggi protein, kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas dan
minum kopi juga dapat memicu terjadinya gastristis. Hal ini disebabkan
makanan pedas bersifat merangsang organ pencernaan dan dapat
menimbulkan iritasi pada lapisan mukosa lambung, sedangkan kandungan
kafein pada kopi dapat meningkatkan aktivitas produksi asam lambung.
Produksi asam lambung berlebihan inilah yang dapat mengakibatkan
terjadinya gastritis karena peradangan pada dinding lambung.

c. Tukak Lambung
Penggunaan NSAID penyebab utama ulkus peptik, walaupun
patofisiologi interaksi antara infeksi H.pylori dan NSAID masih
kontroversial. NSAID mengganggu pertahanan mukosa lambung melalui
efek toksik langsung menghambat siklooksigenase dan penurunan sintesis
prostaglandin endogen. Penggunaan NSAID dalam jangka panjang
menimbulkan gejala pada saluran pencernaan berupa lesi mukosa,
perdarahan, ulkus peptik, inflamasi pada intestine dapat menjadi perforasi,
penyempitan pada usus halus dan usus besar yang dapat menjadi suatu
masalah kronik.

7
2.4 Etiologi

a. GERD
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan
fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di
lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien
dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan
clearance esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari
lambung dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif
lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor
pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor utama
etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat
mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien
GERD. Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD:
Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier), mekanisme pembersihan
esofagus, daya perusak bahan refluks, isi lambung dan pengosongannya.
b. Maag
1. Sekresi asam lambung
Sel pariental mengeluarkan asam lambung (HCl) sedangkan sel
peptik mengeluarkan pepsinogen oleh HCl diubah menjadi pepsin,
dimana pepsin dan HCl adalah faktor agresif, terutama pepsin mileu
pH< 4 sangat agresif terhadap mukosa lambung, keduanya merupakan
produk utama yang dapat menimbulkan kerusakan mukosa lambung
sehingga disebut sebagai penyebab endogen. Bahan iritan seperti rokok,
alkohol, dan aspirin akan menimbulkan efek mukosa barrier dan terjadi
difusi balik ion histamin (H + ), histamin (H+ ) terangsang untuk lebih
banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, dan
gastritis
2. Infeksi Helicobacter pylori.

8
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang berbentuk
spiral atau batang bengkok dengan ukuran 2,5-5µ, lebar 0,5-1µ dan
memiliki 4-6 flagela yang berselaput pada satu kutupnya. Helicobacter
pylori bersifat mikroaerofilik yaitu tumbuh baik pada lingkungan
dengan kandung CO2 10%, O2 tidak lebih dari 5%, suhu antara 33-400
C, kelembaban 100%, pH 5,5-8,5, mati dalam suasana anaerobik, kadar
O2 normal, dan suhu dibawah 280 C. Helicobacter pylori hidup pada
bagian gastrum antrum, lapisan mukus lambung yang menutupi mukosa
lambung dan dapat melekat pada permukaan epitel mukosa lambung.
Helicobacter pylori menghasilkan enzim urease yang akan
mengubah urea dalam mukus lambung yang kuat. Selain urease kuman
itu juga menghasilkan enzim protease dan fosfoliase diduga merusak
gliko protein dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung, katalase
yang melindungi kuman dari radikal reaktif yang dikeluarkan netrofil.
Disamping enzim kuman itu juga menghasilkan toksik (VaCa/
Vaculating sitotoxin) dan ( CagA sitotoksin/ Cytotoxine gen) yang
berperan dalam timbulnya radang dan reaksi imun lokal. Cara penularan
Helicobacter pylori yaitu pada keadaan alamiah reservoir kuman
Helicobacter pylori adalah lambung penderita infeksi Helicobacter
pylori. Tidak terbukti adanya reservoir pada binatang ataupun
lingkungan. Sampai sekarang cara penularan infeksi Helicobacter pylori
yang belum dapat dipastikan. Satu-satunya jalan infeksi melalui mulut,
tetapi bagaimana infeksi dari lambung seorang penderita masuk ke
dalam mulut dan kemudian ke lambung orang lain masih belum jelas.
Teori yang dianut untuk memindahkan infeksi ke orang lain adalah
kontak fekal-oral atau oral-oral. Hal ini didukung penelitian Kelly yang
berhasil melakukan kultur feses terhadap 12 (48%) dari 25 orang yang
serologis positif menderita infeksi Helicobacter pylori. Pada umumnya
infeksi Helicobacter pylori lebih banyak terjadi di negara berkembang
dibanding di negara maju. Prevalensi infeksi Helicobacter pylori
meningkat dengan meningkatnya umur (di negara maju 50% penderita
terkena infeksi Helicobacter pylori setelah usia 50 tahun). Di negara

9
berkembang, terjadi infeksi Helicobacter pylori pada 80% penduduk
setelah usia 30 tahun (Murjayanah,2010).

c. Tukak Lambung
Infeksi Helicobacter pylori, Penggunaan obat NSAID, Gangguan
hipersekresi patologi, Genetik, Stres, Rokok, Alkohol, Minuman berkafein.
Erosi terbentuk dari kematian sel atau terlepasnya sel epitel yang melebihi
dari regenerasi dari sel epitelnya. Beberapa faktor yang menyebabkan
gastritis erosif diantaranya : penggunaan obat NSAID, infeksi Helicobacter
pylori, alkohol dan merokok. Pada awal infeksi menyebabkan respon
inflamasi akut. Namun, penyebab lain dari penyakit gastritis adalah
penggunaan obat non steroid anti inflamasi contohnya aspirin, ibuprofen,
neproxen, cocaine, iron.
Obat steroid non inflamasi memiliki efek samping menyebabkan
iritasi lambung dengan 2 cara mekanisme yaitu:
1. Iritasi lambung secara lokal yang mengakibatkan difusi asam lambung
ke mukosa dan menyebabkan kerusakan pada jaringan.
2. Dapat terjadi iritasi atau perdarahan lambung yang secara sistemik
dengan melalui hambatan biosintesis prostaglandin E2 dan prostasiklin
(prostaglandin I2). Kedua prostaglandin dapat ditemukan di mukosa
lambung yang berfungsi menghambat sekresi asam lambung secara
berlebihan dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat
sitoprotektif
3. Selain penggunaan NSAID yang mengakibatkan iritasi lambung juga
penggunaan antibiotik, terutama pada pasien yang mengalami infeksi
paru yang mempengaruhi penularan kuman di komunitas karena
antibiotik dapat mengeradikasikan infeksi helikobacter pylori. 23
Terdapat beberapa yang dapat menyebabkan penyakit gastritis dan
gastritis erosif diantaranya : infeksi jamur (kandidiasis, histoplasmosi)
infeksi virus (CMV), radiasi, stres akut, alkohol, dan merokok juga
dapat menyebabkan iritasi pada lambung.

10
2.5 Patofisiologi

a. GERD
Gerd terjadi akibat adanya ketidak seimbangan antara faktor ofensif
dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung.
Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES,
mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus (Ndraha, 2014). LES
merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus
dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat
menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada
GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde
dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD
disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan,
makanan, faktor hormonal, atau kelainan structural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor
gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam
saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan
refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara
bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin
tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko
esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat
berbaring. Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel,
intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan
esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan
bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2 , sel esofagus mempunyai
kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan
bikarbonat ekstraseluler (Ndraha, 2014).

11
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam
lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan
pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan
intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi

tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat
(Guarner, et al., 2008).

Gambar 1. Etiopatogenesis GERD5

b. Maag
Ketidakpatuhan terhadap pola makan, obat-obatan, alkohol, garam
empedu, zat iritan lainnya dapat merusak mukosa lambung. Mukosa
lambung berperan penting dalam melindungi lambung dari autodigesti oleh
asam klorida dan pepsin. Bila mukosa lambung rusak maka terjadi difusi
asam klorida ke mukosa lambung dan asam klorida akan merusak mukosa.
Kehadiran asam klorida di mukosa lambung menstimulasi perubahan
pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merangsang pelepasan histamine dari sel
mast. Histamin akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi perpindahan cairan dari intrasel ke ekstrasel dan
menyebabkan edema serta kerusakan kapiler sehingga timbul perdarahan
pada lambung. Biasanya lambung dapat melakukan regenerasi mukosa oleh
karena itu gangguan tersebut menghilang dengan sendirinya namun bila
lambung sering terpapar dengan zat iritan maka inflamasi akan terus terjadi.
Jaringan yang meradang akan diisi oleh jaringan fibrin sehingga lapisan
mukosa lambung dapat menghilang (Ardiansyah, 2012)

12
Mukosa barier lambung pada umumnya melindungi lambung dari
pencernaan terhadap lambung itu sendiri, prostaglandin memberikan
perlindungan ini ketika mukosa barier rusak maka timbul peradangan pada
mukosa lambung (gastritis). Setelah barier ini rusak terjadilah perlukaan
mukosa yang dibentuk dan diperburuk oleh histamin dan stimulasi saraf
cholinergic. Kemudian HCl dapat berdifusi balik ke dalam mucus dan
menyebabkan lika pada pembuluh yang kecil, dan mengakibatkan terjadinya
bengkak, perdarahan, dan erosi pada lambung.Alkohol, aspirin refluks isi
duodenal diketahui sebagai penghambat difusi barier.
Perlahan-lahan patologi yang terjadi pada gastritis termasuk kengesti
vaskuler, edema, peradangan sel supervisial.Manifestasi patologi awal dari
gastritis adalah penebalan. Kemerahan pada membran mukosa dengan
adanya tonjolan. Sejalan dengan perkembangan penyakit dinding dan saluran
lambung menipis dan mengecil, atropi gastrik progresif karena perlukaan
mukosa kronik menyebabkan fungsi sel utama pariental memburuk.
Ketika fungsi sel sekresi asam memburuk, sumber-sumber faktor
intrinsiknya hilang. Vitamin B12 tidak dapat terbentuk lebih lama, dan
penumpukan vitamin B12 dalam batas menipis secara merata yang
mengakibatkan anemia yang berat.Degenerasi mungkin ditemukn pada sel
utama dan pariental sekresi asam lambung menurun secara berangsur, baik
jumlah maupun konsentrasi asamnya sampai tinggal mucus dan air. Resiko
terjadinya kanker gastrik yang berkembang dkatakan meningkat setalah 10
tahun gastritis kronik. Perdarahan mungkin terjadi setelah satu episode
gastritis akut atau dengan luka yang disebabkan oleh gastritis kronis
(Dermawan & Rahayuningsih, 2010).
c. Tukak Lambung
Mekanisme dari bakteri H. pylori dalam membentuk tukak lambung,
yaitu pada saat bakteri memperbanyak diri. Bakteri akan menghasilkan
sitotoksik (zat yang dapat merusak sel normal) yang dapat memecah
petahanan mukus kemudian menempel di sel epitel lambung. Bakteri yang
menempel di lambung akan menghasilkan karbondioksida, amonia, dan
protease (enzim pemecah senyawa protein), katalase (enzim pemecah H2O2

13
menjadi H2O dan O2) yang bersifat toxic. Produk yang dihasilkan ini akan
terakumulasi dan dapat merusak pertahanan mukosa lambung sehingga dapat
menyebabkan peradangan kronis pada lambung yang dapat berkembang
menjadi tukak (Chisholm- Burns et all., 2016).
Ulkus disebabkan karena adanya aktifitas pepsin dan asam lambung
serta radikal bebas sebagai faktor perusak. Permukaan epitelium dari
lambung atau usus rusak dan berulkus dan hasil dari inflamasi menyebar
sampai ke dasar mukosa dan submukosa. Ada hipotesis yang menyatakan
bahwa inflamasi merangsang peningkatan produksi gastrin. Urease juga
merupakan faktor penting untuk timbulnya infeksi (Tahuteru, 2004).
Patofisiolgi akibat NSAID yaitu diserupsi fisiokimia pertahanan mukosa
lambung dan inhibisi sistemik terhadap perlindung mukosa lambung melalui
inhibisi aktivitas COX mukosa lambung (Gosal, 2012). Terjadinya ulkus
peptikum melalui mekanisme ROS (Reaktif Oksigen Spesies) yaitu dengan
memediasi kerusakan mitokondria yaotu lipid, protein, dan oksidasi DNA
yang sehingga sistem pertahanan menurun dan menyebabkan apoptosis dan
cedera mukosa.

2.6 Tanda dan gejala (Manifestasi Klinik)


a. GERD
Gejala khas GERD adalah heartburn dan regurgitation (Rahman
dkk,2018). Pasien GERD umumnya mengeluhkan rasa panas di dada yang
biasanya timbul setelah makan atau saat berbaring, ejala lain GERD adalah
kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, sulit menelan, dan rasa nyeri
saat menelan makanan (Tandarto,2019).
b. Maag
Manifestasi klinis bervariasi mulai dari keluhan ringan hingga muncul
perdarahan saluran cerna bagian atas bahkan pada beberapa pasien tidak
menimbulkan gejala yang khas. Manifestasi gastritis akut dan kronik hampir
sama, seperti anoreksia, rasa penuh, nyeri epigastrum, mual dan muntah,
sendawa, hematemesis (Suratun dan Lusiabah, 2010).

14
1. Gastritis Akut
o Nyeri epigastrum, hal ini terjadi karena adanya peradangan pada
mukosa lambung.
- Mual, kembung, muntah, merupakan salah satu keluhan yang
sering muncul. Hal ini dikarenakan adanya regenerasi mukosa
lambung yang mengakibatkan mual hingga muntah.
- Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematesis
dan melena, kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia
pasca perdarahan.
2. Gastritis Kronis
Pada pasien gastritis kronis umunya tidak mempunyai keluhan.Hanya
sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia, nause dan pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.
c. Tukak Lambung
Menurut (Supriadi-Medicallisty, 2013)
1. Langsung dari ulkus lambung atau dari kerusakan esofagus dari muntah
yang parah, maag dapat menyebabkan perforasi lambung atau
duodenum, yang menyebabkan peritonitis akut. Hal ini sangat
menyakitkan hematemesis (muntah darah), hal ini dapat terjadi karena
pendarahan dan membutuhkan operasi segera. Melena (tinggal, tinja
berbau busuk karena teroksidasi besi dari hemoglobin).
2. Pada sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimptomatis.
Keluhan-keluhan itu misalnya nyeri timbul pada ulu hati. Biasanya
ringan dan tidak dapat ditunjuk dengan tepat lokasinya.
3. Kadang-kadang disertai dengan mual-mual dan muntah.
4. Pada kasus yang amat ringan perdarahan bermanifestasi sebagai darah
samar pada tinja dan secara fisik akan dijumpai tanda-tanda anemia
defisiensi dengan etiologi yang tidak jelas.
5. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan kecuali
mereka yang mengalami perdarahan yang hebat sehingga menimbulkan

15
tanda dan gejala gangguan hemodinamik yang nyata seperti hipotensi,
pucat, keringat dingin, takikardia sampai gangguan kesadaran.
6. Perut nyeri, epigastrium klasik dengan keparahan yang berkaitan dengan
makan, setelah sekitar 3 jam untuk mengambil makan (ulkus duodenum
klasik oleh makanan, sedangkan ulkus lambung diperburuk oleh itu).
7. Perut kembung dan kepenuhan.
8. Waterbrash (terburu-buru air liur setelah episode regurgitasi untuk
mengencerkan asam dalam esofagus).
9. Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan.
10. Gejala tukak duodenum sering kali disamakan dengan gejala tukak
lambung. Untuk membedakannya, maka perlu untuk mengetahui kapan
dan dimana gejala tersebut muncul.
11. Gejala tukak duodenum cenderung mengikuti pola. Nyeri biasanya
hilang pada saat bangun tidur dan muncul kembali pada pertengahan
pagi hari. Minum susu atau makan atau mengonsumsi obat antasida akan
meredakan rasa sakit, tetapi biasanya akan timbul kembali 2 sampai 3
jam kemudian. Rasa sakit yang menyebabkan orang terbangun pada
malam hari adalah kondisi yang umum dialami. Seringkali rasa sakit
dirasakan satu kali atau lebih dalam satu hari, dalam periode satu sampai
beberapa minggu, dan dapat menghilang tanpa perawatan.

2.7 Diagnosis dan Tanda Lab


a. GERD
Anamnesis yang cermat merupakan cara utama untuk menegakkan
diagnosis GERD. Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh
American College of Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2017,
diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Empirical Therapy, merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di
pusat pelayanan kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana
dan tidak membutuhkan alat penunjang diagnostik.
2. Use of Endoscopy

16
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi pre-
operasi untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia
atau aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya
skleroderma) (Katz, et al., 2013).

Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil


anamnesis dan pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI
(Proton Pump Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai
dengan Gastroesophageal Reflux Disease – Questionnairre (GERD-Q).

GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan


mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup
penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari
terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut
memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu
dievaluasi lebih lanjut (Tabel 1).

Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan


untuk memantau respons terapi. Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik
GERD ini juga didukung oleh Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal di Indonesia (PGI, 2013).

Dalam konsensus ini disebutkan bahwa penderita terduga GERD


adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regurgitasi, atau

17
keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan
berlemak dan porsi besar) (De Vault, et al., 2015). Pemeriksaan tambahan
untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Uji terapi PPI merupakan suatu
terapi empirik dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa
pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Indikasi uji terapi PPI adalah penderita
dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm. Tanda-tanda alarm
meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofasia, anemia defisiensi besi, BB
turun, dan adanya perdarahan (melena/ hematemesis) (TISG, 2014). Apabila
gejala membaik selama penggunaan dan memburuk kembali setelah
pengobatan dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan (Katz,et al.,
2013).

1. Endoskopi
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD
dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopik dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan
patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak
ditemukan muscosal break pada pemeriksaan endoskopi pasien GERD
dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut nonerosive reflux disease

(NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi


yang dipastikandengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi
bahwa gejala heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.

18
Endoskopi untuk GERD tidak selalu dilakukan pada kunjungan
pertama karena diagnosis GERD dapat dibuat berdasarkan gejala dan atau
terapi empiris. Peran endoskopi gastrointestinal atas dalam menegakkan
diagnosis GERD adalah (Makmun, 2017): a. Mengonfirmasi keberadaan
dan ketiadaan kerusakan esofagus termasuk erosi, ulserasi, striktur,
esophagus Barret atau keganasan, selain untuk mengeluarkan kelainan
gastrointestinal atas lainnya. b. Mengevaluasi keparahan dari mocusal
break menggunakan modifikasi klasifikasi Los Angeles atau klasifikasi
Savarry-Miller. c. Spesimen biopsi diambil ketika ada kecurigaan
esophagus Barret atau keganasan.
2. Barium Esophagogram
Gastroesophageal reflux disease (GERD) didefinisikan sebagai
gastroesophageal reflux yang mengakibatkan gejala atau cedera pada
epitel esofagus. Meskipun manajemen medis GERD telah membaik, dan
meningkatnya jumlah prosedur bedah antirefluks laparoskopi adalah
sedang dilakukan. Studi barium, endoskopi, manometri, dan pH
pemantauan adalah semua komponen integral dari evaluasi pra operasi
(Canon, et al., 2015).
Pemeriksaan menelan barium harus memungkinkan evaluasi kritis
peristaltik esofagus, keberadaan dan tingkat refluks gastroesofageal, dan
komplikasi termasuk esofagitis, striktur, dan Barrett Esophagus. Sangat
penting untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi hernia hiatus dan
hernia longitudinal striktur, yang dapat menyebabkan esofagus memendek.
Dalam kasus seperti itu, menjadi perlu bagi ahli bedah untuk memasukkan
esofagus prosedur perpanjangan sebelum fundoplication; jika tidak,
mungkin didapatkan hasil bedah yang buruk. Temuan radiografi
postfundoplikasi normal sebagai komplikasi pasca operasi (misalnya, tight
wrap, perforasi, abses, complete or partial dehiscence, striktur berulang,
hernia berulang, intrathoracic migration of the wrap juga harus dikenali
dan dipahami dengan jelas oleh ahli radiologi. Mengingat GERD bersifat
kronis dan prevalensi GERD simtomatik dan meningkatnya jumlah pasien
yang menjalani intervensi bedah, sangat penting bahwa ahli radiologi

19
memahami evaluasi pra dan pasca bedah pasien yang terkena GERD
(Canon, et al., 2015).

3. Histopatologi
Metaplasia lapisan epitel intestinal pada esofagus didiagnosis sebagai
Barret Esophagus ketika lokasinya pada esofagus bagian bawah dan bukan
di lambung bagian atas. Mukosa esofagus menggambarkan bentuk yang
tidak lengkap dari metaplasia intestinal tipe II dan tipe III. Morfologinya
akan tampak seperti villiform pattern. Epitelium terdiri dari banyak sel
goblet yang tersebar pada sel mucous intermediet. Pada beberapa
penelitian menunjukkan kebanyakan Barret Esophagus merupakan
campuran antara ketiga jenis mukosa, dimana yang terutama adalah
mukosa tipe intestinal (Ravi, 2016).
b. Maag
Menurut (Siswandana, 2018) diagnosa gastritis sebagai berikut :
1. Nyeri sehubungan dengan iritasi gastrium atau pengecilan kelenjar
gastric Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
2. Kekurangan volume cairan sehubungan dengan pemasukan cairan dan
elektrolit yang kurang, muntah, perdarahan. Aktivitas intolerance
berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.
4. Resiko infeksi dengan faktor resiko tindakan infasif
5. Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan (proses
penyakit)
c. Tukak Lambung
- Endoskopi yang menunjukkan adanya ulkus dan mengidentifikasi
penyebab H. pylori
- Xray saluran GI atas yang menunjukkan bnormalitas mukos
- Analisis feses yang menunjukkan adanya darah
- Tes serelogi yang menunjukkan adanya/tidak nya bakteri

20
1. Pemeriksaan Radiologi
Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis tukak peptik. Gambaran berupa kawah,
batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran tukak.
Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas
2. Pemeriksaan Endoskopi
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosalicin dan
normal disertai lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran
tukak. Gambaran tukak akibat keganasan adalah : Boorman-I/polipoid,
B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika (scirrhus).
Dianjurkan untuk biopsi & endoskopiulang 8-12 minggu setelah
terapi eradikasi. Keunggulan endoskopi disbanding radiologi
adalah: dapat mendeteksi lesi kecil diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi
yang tertutupi darah dengan penyemprotan air, dapat memastikan suatu
tukak ganas atau jinak, dapat menentukan adanya kuman H. Pylori
sebagai penyebab tukak.
3. Invasive Test
Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H. pylori untuk
menghidrolisis urea. Enzim urea katalase menguraikan urea
menjadi ammonia bikarbonat, membuat suasana menjadi basa,
yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa
lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium padat
yang mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada
spesimen tersebut maka akan diubah menjadi ammonia, terjadi
perubahan pH dan perubahan warna. Untuk pemeriksaan
histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak
minimum 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar
diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar, pinggir dan sekitar
tukak, minimal 6 sampel. Pemeriksaan kultur tidak biasa dilakukan
pada pemeriksaan rutin.
4. Non Invasive Test

21
Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi adanya infeksi H. pylori
dengan keberadaan urea yang dihasilkan H. pylori, labeled
karbondioksida (isotop berat, C-13,C-14) produksi dalam perut,
diabsorpsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan
akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan. Stool antigen test adalah untuk
mengidentifikasi adanya infeksi H.Pylori dengan cara mendeteksi
keadaan antigen H.Pylori dalam feses.

2.8 Penatalaksanaan Terapi


a. GERD
Terapi GERD terbagi menjadi dua yaitu terapi non-farmakologi dan terapi
farmakologi. Tujuan dari terapi GERD adalah menghilangkan keluhan yang
dirasakan oleh pasien, menyembuhkan lesi pada esofagus, memperbaiki
kualitas hidup pasien, mencegah kekambuhan GERD, dan mencegah
timbulnya komplikasi lebih lanjut (Tandarto,2019).
1. Non-Farmakologi ( Modifikasi gaya hidup )
Modifikasi gaya hidup diantaranya menurunkan berat badan pada pasien
overweight/obesitas dan mengurangi kebiasaan merokok dan konsumsi
alkohol. Penggunaan kafein, alkohol dan makanan asam/berbumbu
harus dikurangi karena sangat potensial dalam menyebabkan gejala
GERD. Sebagai tambahan makan dengan porsi kecil tetapi sering,
meninggikan kepala saat tidur, menghindari makan dalam jumlah besar
menjelang tidur merupakan hal sederhana yang mudah diaplikasikan
pada penderita GERD (Putra,2019).
2. Farmakologi
Obat-obatan yang digunakan untuk menatalaksana GERD dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu:
I. Proton pump inhibitors (PPI)
PPI menghambat sekresi asam dengan berikatan secara ireversibel
dan menghambat pompa hydrogen potassium ATPase yang
terletak di permukaan luminal membran sel parietal. Golongan
obat PPI antara lain omeprazole, lansoprazol, rabeprazole,

22
pantoprazole, esomeprazole dan dexlansoprazole. Omeprazole,
esomeprazole, lansoprazole dan dexlansoprazole merupakan PPI
yang paling banyak diteliti penggunaannya pada anak. Dosis
omeprazole efektif untuk anak 0.3-3.5 mg/kg/hr (maksimal 80
mg/hr), lansoprazole 0.73-1.6 mg/kg/hr (maksimal 30 mg/hr).
Dimulai dengan dosis tunggal dan dapat ditingkatkan menjadi dua
kali sehari. Berikan 2 sampai 4 minggu untuk rasa panas pada
perut derajat sedang sampai berat, 4 sampai 8 minggu bila terdapat
bukti esofagitis. Bila esofagitis bersifat erosif (berat) pemberian
PPI dapat dilanjutkan selama 3 sampai 6 bulan diikuti oleh
pemeriksaan endoskopi untuk memantau penyembuhan.
Penggunaan PPI jangka panjang dapat meningkatkan risiko infeksi
usus terutama Clostridium difficile, kelainan metabolik dan
nutrisi. Oleh karena itu pasien dengan PPI harus dipantau untuk
mendeteksi kelainan tersebut. Pengobatan dapat dihentikan setelah
6 bulan dengan menurunkan dosis bertahap dan dapat diberikan
secara periodik setelahnya tergantung gejala.
II. Antagonis reseptor histamin tipe 2 (H2RA)
Antagonis reseptor histamin tipe 2 (H2RA) digunakan pada pasien
dengan GERD sedang atau gejala intermiten. H2RA mempunyai
efek moderat terhadap GER, karena onset kerjanya yang cepat
sangat cocok untuk meredakan gejala. Tetapi obat ini tidak
seefektif PPI terutama pada penderita kronik. H2RA menghambat
sekresi asam dengan menghambat reseptor histamine H2 pada sel
parietal. Simetidin, ranitidine, famotidine dan nizatidin merupakan
obat golongan H2RA.8 Puncak onset kerja H2RA adalah 2.5 jam
dengan lama kerja 4 sampai 10 jam sehingga tidak cocok untuk
penggunaan jangka panjang. Penggunaan H2RA jangka panjang
meningkatkan risiko infeksi usus terutama oleh C. difficile dan
community-acquired pneumonia.
III. Antasid

23
Antasid sesuai untuk mengatasi keluhan rasa nyeri ulu hati jangka
pendek pada anak besar, remaja atau dewasa dengan gejala jarang
(kurang dari 1 kali seminggu). Antasid dapat mengatasi rasa nyeri
pada ulu hati dalam waktu 5 menit tetapi dengan masa kerja yang
pendek yaitu 30-60 menit. Antasid bekerja dengan menetralisir pH
lambung sehingga mengurangi paparan mukosa esofagus terhadap
asam lambung selama episode refluks. Antasid mengandung
kombinasi magnesium, aluminium hidroksida dan kalsium
karbonat. Penggunaan antasid pada bayi dapat menyebabkan
meningkatnya kadar aluminium plasma sehingga menyebabkan
osteopenia, anemia mikrositik, dan neurotoksisitas sehingga
penggunaannya hanya terbatas pada anak besar dan remaja.
IV. Surface agents
Surface agents bekerja dengan menciptakan pertahanan yang
menghalangi cedera pada mukosa yang diakibatkan oleh asam
lambung. Hanya dua yang telah dievaluasi sebagai terapi pada
pasien GERD yaitu sodium alginate dan sukralfat. Sukralfat
(aluminium sucrose sulfat) memberikan kesembuhan mukosa dan
melindungi kerusakan selanjutnya akibat asam lambung
V. Prokinetik
Peran prokinetik dalam tatalaksana GERD masih terbatas karena
alasan keamanan dan mamfaat, seperti metoklopramid, cisapride
atau domperidon dan eritromisin. Baclofen merupakan antagonis
reseptor gamma-amino butyric acid B (GABA-B) yang
menghambat relaksasi transien dari sfingter bawah esophagus.
Beberapa penelitian menunjukkan baclofen akan mengurangi
gejala refluks, mengurangi frekuensi relaksasi sfingter esophagus
dan paparan asam lambung terhadap esophagus, serta
mempercepat pengosongan lambung. Efek samping baclofen
seperti dyspepsia, mengantuk, dan mengurangi ambang kejang
sehingga penggunaan baclofen jarang pada anak kecuali dengan
adanya penyakit dasar neurologis. (Putra,2019).

24
b. Maag
Menurut (Ardiansyah, 2012) penatalaksanaan gastritis dapat dibagi menjadi
2 yaitu :
I. Penatalaksanaan secara farmakologi
Pemberian antipiretik dan pasang infus tujuannya yaitu untuk
mempertahankan cairan tubuh pasien. Antasida untuk mengurangi
adanya perasaan begah atau penuh serta tidak enak di abdomen dan
untuk menetralisir lambung Antagonis H2 (seperti ranitidine,
simetidin) mampu menurunkan sekresi asam lambung. Antibiotik
diberikan jika dicurigai adanya infeksi oleh kuman Helicobacter
Pylori.
II. Penatalaksanaan Non Farmakologi
Dapat diatasi dengan modifikasi diet klien, yaitu diet makan lunak
yang diberikan dalam porsi sedikit tapi lebih sering, untuk menetralisir
alkali, disarankan minum jus lemo encer atau cuka encer dan
menghindari alcohol. Selain itu dengan hal tersebut penatalaksanaan
penyakit gastritis secara non farmakologi dapat diatasi dengan
mongonsumsi obat herbal dari tumbuh-tumbuhan maupun hewani
seperti jamu kunyit. Ada juga dengan cara melakukan terapi
komplementer (akupresure) juga dpat mengurangi gejala gastritis dan
menghindari stress dengan cara rutin melakukan olahraga serta hidup
sehat.

c. Tukak Lambung
1. Farmakologi
I. Antasida, Antasida adalah basa- basa lemah yang digunakan untuk
mengikat secara kimiawi dan menetralkan asam lambung.
Mekanisme kerja antasida bereaksi dengan asam lambung di
gastrointestinal membentuk air dan garam, karena ion H+
membentuk air menyebabkan keasaman lambung atau aktivitas
pepsin terhambat bermanfaat dalam mengurangi iritasi mukosa.

25
II. Analog prostaglandin, misoprostol sintetik yang secara eksogen
menggantikan prostaglandin. Hal ini diindikasikan untuk mengurangi
risiko tukak lambung yang diinduksi NSAID dan pasien yang
berisiko tinggi mengalami tukak lambung, seperti pasien dengan
riwayat tukak. Misoprostol 200 micrograms empat kali sehari
mengurangi komplikasi tukak dengan menghambat sekresi asam dan
meningkatkan pertahanan mukosa. Efek samping penggunaan
misoprostol pada gastroinstestinal meliputi nyeri perut, perut
kembung, dan diare. Kontraindikasi pada kehamilan karena potensi
efek abortifacient (Chisholm- Burns et all., 2016).
III. Antagonis reseptor histamin-2 Penggunaan golongan obat antagonis
reseptor H2 pada tukak duodenum tampak merespon lebih baik
daripada tukak lambung 23 (tipe tukak yang paling sering
berhubungan dengan NSAID). Dosis golongan obat antagonis
reseptor H2 yang lebih tinggi (misalnya famotidine 40 mg dua kali
sehari) dapat mengurangi risiko tukak lambung dan duodenum yang
diinduksi oleh NSAID, tetapi hasil dari uji klinis bervariasi
(Chisholm- Burns et all., 2016).
IV. Penghambat pompa proton Pengobatan dengan golongan obat
penghambat pompa proton lebih efektif daripada golongan antagonis
reseptor H2 dalam mengurangi risiko tukak lambung dan duodenum
yang diinduksi NSAID. Pasien yang mengalami komplikasi
perdarahan terkait tukak lambung saat meminum aspirin tetapi
membutuhkan terapi aspirin lanjutan, penambahan golongan
penghambat pompa proton dapat mengurangi kejadian perdarahan
berulang (Chisholm- Burns et all., 2016).
V. Inhibitor COX- 2 selektif NSAID dengan selektivitas
cyclooxygenase- 2 atau COX- 2 dikembangkan dalam upaya untuk
mengurangi kejadian tukak lamung dan komplikasinya. Namun,
kombinasi penghambat pompa proton dan NSAID lebih efektif
daripada inhibitor COX- 2 selektif dalam mengurangi kejadian tukak
karena berisiko terjadinya gangguan kardiovaskular (misalnya stroke

26
iskemik). Celecoxib adalah inhibitor COX- 2 selektif pada kelas ini di
pasar Amerika Serikat. Mengingat risiko kardiovaskular dari inhibitor
COX- 2, kombinasi NSAID non selektif dan golongan pompa proton
dianjurkan sebagai pengganti celecoxib pada pasien dengan risiko
tukak lambung yang diinduksi NSAID (ChisholmBurns et all., 2016).
VI. Sukralfat, Sukralfat tidak dapat diserap dan membentuk kompleks
dengan mengikat protein bermuatan positif pada eksudat (cairan
ekstravaskuler berisi protein dan sel darah putih), membentuk zat
seperti perekat kental yang melindungi daerah yang luka pada
mukosa lambung terhadap asam lambung, pepsin, dan garam
empedu. Keterbatasan sukralfat meliputi kebutuhan untuk beberapa
dosis harian dengan ukuran tablet besar dan dapat berinteraksi dengan
obat lain (misalnya digoxin dan fluoroquinolones). Efek merugikan
dari sucralfate meliputi sembelit, mual, dan kemungkinan toksisitas
aluminium pada pasien dengan gagal ginjal. Sucralfate efektif dalam
pengobatan tukak yang diinduksi NSAID (Chisholm- Burns et all.,
2016).
2. Non farmakologi
1. Menghindari faktor risiko Pasien dengan tukak lambung harus
menghindari faktor yang dapat memperburuk tukak, memperburuk
gejala atau menyebabkan kekambuhan. Hal yang perlu dihindari
pasien meliputi stres, merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan
NSAID. Pasien yang memerlukan terapi NSAID kronis (misalnya
karena rheumatoid arthritis) dapat diberikan profilaksis dengan
misoprostol atau inhibitor penghambat pompa proton
(ChisholmBurns et all., 2016).
2. Pembedahan Tingkat keberhasilan terapi medis yang tinggi telah
mengurangi kebutuhan akan prosedur bedah. Tindakan peembedahan
pada tukak lambung telah menurun lebih dari 70% sejak tahun
1980an terutama karena pemberantasan H. pylori pada saat itu.
Intervensi bedah umumnya disediakan untuk tukak lambung yang

27
rumit atau refrakter (tidak adanya perbaikan) (Chisholm- Burns et
all., 2016).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
GERD adalah gangguan berupa isi lambung mengalami refluks berulang
ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan atau komplikasi yang
mengganggu. Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung dan secara hispatologi dapat dibuktikan dengan adanya
infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Terjadinya ulkus peptikum atau
tukak lambung dipengaruhi oleh banyak faktor penyebab dan faktor risiko
seperti Infeksi oleh Helicobacter pylori, OAINS, faktor genetik, stress,
merokok, alkohol, kafein, kecepatan pengosongan gaster dan faktor-faktor
lain.

28
29
DAFTAR PUSTAKA

American College of Gastroenterology. Is it just a little heartburn or something


more serious? American College of Gastroenterology [Internet]. [cited
2017 March 14]. Available from: http://s3.gI.org/patIents/pdfs/Understand
GERD.pdf
Amran, A. (2018). Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian
gastroeophageal reflux disease pada karyawan.
Amrulloh, F. M., & Utami, N. (2016). Hubungan Konsumsi OAINS terhadap
Gastritis The Relation of NSAID Consumption to Gastritis, 5, 18–21.
Anand, B.S., dan Katz,J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference,
Professor.Departement of Internal Medicine, Division of Gastroenterology,
Baylor College of Medicine. Available from:http://
emedicine.medscape.com/ ( Accessed 23 April 2011)
Angkow J, Robot F, Onibala F. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan kejadian
gstritis Di Wilayah Kerja Puskesmas Bahu Kota Manado. Manado :
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran.
Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah. Yogyakarta: DIVA Press
Avunduk, C. 2008. Manual of Gastroenterology : Diagnosis and Therapy 4th
Edition. 156-164. Boston: Tufts University Medical School
C. J. Hawkey, M. Koch. “Nonsteroidal anti-inflammatory drug gastropathy,”
Gastroenterology,vol.119,no.2,pp.521–535,2000.
Canon, C. L., Morgan, D., Einstein, D., Herts, B., Hawn, M., & Johnson, L.
(2015). Surgical Approach to Gastroesophageal Reflux Disease: What the
Radiologist Needs to Know. RadioGraphics, 1485- 1499.
Chisholm-Burns, Marie A., et al. "Medication therapy management and adherence
among US renal transplant recipients." Patient preference and adherence 10
(2016): 703.
De Vault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2005;100:190-200.
Dermawan, D., & Rahayuningsih, T. (2010). Keperawatan Medikal Bedah
(Sistem Pencernaan). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
DiPiro, Joseph T. Robert L. Talbert, Gary C. Yee. Gary R. Matzke. Barbara
G.Wells. L. and Michael Posey 2005. PHARMACOTHERAPY: A
Pathophysiologic Approach The McGraw-Hill Companies: United States

eal Reflux Disease) Di Poliklinik Penyakit Dalam Rsud Dr. Soekardjo. JURNAL
KESEHATAN POLTEKKES KEMENKES RI PANGKALPINANG P-
ISSN.2339-2150, E-ISSN 2620-6234 2019; 6 (2).
Guarner, Lazaro, Gascon, Royo, Eximan, Herrero. Map of digestive disorders and
diseases. World Gastroenterology Organization [Internet]. 2008. Available
from: http://www.worldgastroenterology.org/UserFiles/file/wdhd-2008-
map-of-digestive-disorders.pdf

30
Gustin R.K. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gastritis
Pada Pasien Yang Berobat Jalan Di Puskesmas Gulai Bancah
Haqiqi, F. N. (2015). Efek Pemberian Madu Hutan terhadap Mukosa Gaster yang
Diinduksi Ibuprofen Suspensi The Effect Of Honey For Gastric Mucose that
Induced by Ibuprofen Suspension, 4(November), 127–132.
Ismail, Dkk Faktor Determinan Gastritis Klinis Pada Mahasiswa Di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo Tahun 2016
Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Corrigendum: Guidelines for the diagnosis and
management of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol.
2013;108:308-328.
Kota Bukittinggi.
Kurnia,Dkk (2022) Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gastritis Di Rs
Wonolangan Probolinggo: Studi Kasus
Laporan Penelitian. Padang: Fakultas Kedokteran Unand.
Makmun, D. (2017). Management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy, 21-27
Misnadiarly, (2009) Buku Mengenal Penyakit Organ Cerna, Gastritis (Penyakit
Maag), Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Muniroh, Alifah (2015) Riwayat Makanan yang Meningkatkan Asam Lambung
sebagai Faktor Risiko Gastritis
Murjayaha, (2010) Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Gastritis
Murtaza.dkk. Risk Factors,Diagnosis, and Management of Peptic Ulcer
Disease.Kinabalu:faculty of Medicine and Health sciences,University
Malaysia. 2015.Gastroenterologi. Jakarta: Interna Publishing.Sanusi, I.A.
(2011). Tukak Lambung. In, A.A., Rani, M.S.K., dan Syam, A.F. Buku Ajar
Mustafa,
Muslihah. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta.
Ndraha S. Penyakit refluks gastroesofageal. Medicinus. 2014;27(1):5-7.
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional
penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux
disease/ GERD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia; 2013.
Price, S.A dan Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit,Edisi VI.Volume 1.Jakarta:EGC.2006
Putra, Handre., , Yusri Dianne Jurnalis, Yorva Sayoeti. Tatalaksana
Medikamentosa pada Penyakit Saluran Cerna. Jurnal Kesehatan Andalas.
2019; 8(2). http://jurnal.fk.unand.ac.id
Rahman, AA., Widya M., Eva DQ. Gambaran Terapi Awal Pada Pasien Gerd
(Gastroesophag
Ravi Kumar, N.A.V.S.K. Gandhi, M.V.V. Sri Harsha, G., 2016. GERD
Correlation between Clinical Symptoms and Endoscopic Findings: a Study
of 200 Patients. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences,
5(81): 6038-6041.

31
Saverio, dkk. (2014). Diagnosis and treatment of perforated or bleeding peptic
ulcer: 2013 WSES position paper: World Journal of Emergency Surgery.
Setiati, Siti. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,Edisi VI.Jilid 2. Jakarta: Interna
Publishing. 2014.
Siswandana, Dwi. (2018) . Asuhan Keperawatan pada Bp. D dengan Gastritis
Erosif di RST Dr. Soedjono Magelang Jawa Tengah. Karya Tulis Ilmiah.
Jurusann Keperawata. Politeknik Kesehatan Yogyakarta.
Suratun, Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.
Syarif, Amir. dkk. Farmakologi dan Terapi,Edisi VI.Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. .2016
Taljamo, kari. Gastric erosions clinical significance and phatology a long term
follow up study. Universitas Ouluensis. 2012
Tandarto, Kevin., 2019. Diagnosis Dan Tatalaksana Gastroesophageal Reflux
Disease (Gerd) Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on the
management of gastroesophageal reflux disease in Indonesia. Acta Medica
Indon. 2014;46(3):263-71.

32

Anda mungkin juga menyukai