Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

Tukak Lambung, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Konstipasi dan Diare

Fakultas Farmasi

Universitas Kadiri

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Tukak Lambung Gerd
Konstipasi dan diare ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas  pada Farmakoterapi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Tukak Lambung Gerd Konstipasi dan diare bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen, selaku dosen Farmakoterapi yang


telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Kediri, 12 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 2
1.3 Tujuan Pembahasan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Tukak Lambung 4
2.2 gerd 14
2.3 Diare 28
2.4 Konstipasi 34
BAB III PENUTUP 42
3.1 Kesimpulan 42
3.2 Saran 42

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saluran pencernaan (gastro intestinal,GI) dimulai dari mulut sampai anus. Fungsi saluran
pencernaan adalah untuk ingesti dan pendorongan makanan, mencerna makanan serta
penyerapan zat gizi yang penting bagi tubuh kita untuk hidup dan tumbuh. Saluran pencernaan
berawal dari mulut dan berlanjut ke esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di
lambung sampai disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian yaitu
duodenum, yeyunum dan ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung terutama di
usus halus. Dari usus halus makanan kemudian masuk ke usus besar yang terdiri dari kolon dan
rektum.

Penyakit sistem pencernan memang masih dihiraukan sama beberapa manusia, mereka
tidak mengerti bahwa gangguan pencernaan jika didiamkan akan berakibat fatal. Contoh
penyakit saluran cerna yang banyak diderita oleh kebanyakan manusia yaitu masalah lambung
(tukak lambung dan GERD) selain itu juga ada penyakit yang banyak dihiraukan,biasanya
banyak terjadi pada kalangan anak-anak dan beberapa orang dewasa yaitu masalah konstipasi
diare.

Lambung sebagai salah satu organ yang terpenting pada tubuh manusia. Lambung
berfungsi untuk mencerna makanan dengan bantuan asam lambung (HCl) dan pepsin. Didalam
lambung yang sehat terdapat keeseimbangan antara faktor pelindung mukosa (Cytoprotective
Factore) dan faktor yang dapat merusak integritas mukosa lambung (Cytoprotective Factore).

Yang banyak terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan kerusakan lambung yaitu
terjadinya kerusakan pada dinding lambung atau terjadinya refluks (keluarnya) cairan lambung
ke dalam esofagus (kerongkongan) yang biasa disebut dengan GERD (Gastroesophageal
Reflux). Kedua penyakit ini bisa disebabkan karena pola makan yang kurang baik, apalagi
dengan banyaknya jenis dan rasa makanan yang bervariasi dan kurang perhatian orang-orang
pada kesehatannya.

1
Gastroesophageal reflux juga dikenal sebagai acid reflux terjadi ketika isi perut refluks
atau kembali naik ke kerongkongan atau mulut. Refluks adalah proses normal yang terjadi pada
bayi sehat, anak-anak dan orang dewasa. GERD merupakan gerakan membalikannya isi lambung
menuju esofagus, GERD juga mengacu pada berbagai kondisi gejala klinis atau perubahan
histologi yang terjadi akibat refluk gastroesofagus. Ketika esofagus berulang kali kontak dengan
material refluks untuk waktu yang lama dapat terjadi inflamasi esofagus (esophagitis reflux) dan
dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi esofagus (esofagus refluks).

Penyakit ulkus peptikum (tukak lambung) terdiri dari ulkus gaster dan ulkus duodenum.
Ulkus peptikum didefinisikan sebagai suatu defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas
dan dapat menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga terjadi
perforasi. Ulkus gaster merupakan suatu gambaran bulat atau semi bulat oval, ukuran 5 mm
kedalam submucosal pada mukosa lambung akibat terputusnya kontinuitas/integritas mukosa
lambung.

Diare merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia. Karenanya tidak
mengherankan jika bahan-bahan yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit tersebut
menempati tempat yang khusus dalam sejarah kedokteran. Diare sebenarnya bukan merupakan
hal asing bagi masyarakat, karena sebagian besar dari anggota masyarakat pernah menderita
penyakit ini. Namun, angka kematian yang tertinggi akibat diare terutama pada bayi dan anak-
anak yaitu sebesar 23,2% di wilayah Surabaya.
Gangguan saluran pencernaan ini dapat disebabkan oleh banyak hal, yaitu kelainan
asuan, gangguan absorpsi, gangguan struktur lainnya serta pola makan yang tidak sehat dapat
menjadi penyebab dari timbulnya gangguan saluran pencernaan. Berbagai macam pengobatan
dan terapi dilakukan untuk mengatasi adanya gangguan saluran pencernaan. Hanya saja tidak
semua terapi dan pengobatan dilakukan dengan benar. Pemilihan obat dan metode terapi yang
sesuai dan benar sangat dibutuhkan untuk dapat mengatasi gangguan pencernaan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa Pengertian dari penyakit Tukak Lambung, Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD) Konstipasi dan Diare?
b) Bagaimana epidemiologi Tukak Lambung, Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD) Konstipasi dan Diare

2
c) Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya Tukak Lambung, Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD) Konstipasi dan Diare
d) Bagaimana etiologi ,patofisiologi, prognosis, maupun manifestasi klinis dari Tukak
Lambung, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Konstipasi dan Diare
e) Bagaimana hasil laboratorium dari Tukak Lambung, Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD) Konstipasi dan Diare
f) Bagaimana terapi penyakit Tukak Lambung, Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD) Konstipasi dan Diare secara farmakologi dan non farmakologi?
1.3 Tujuan Pembahasan
a) Memahami pengertian dari penyakit Tukak lambung, GERD Konstipasi dan Diare
b) Mengetahui epidemiologi dari penyakit Tukak lambung, GERD Konstipasi dan
Diare
c) Mengetahui faktor resiko Tukak lambung, GERD Konstipasi dan Diare
d) Mengetahui etiologi,patofisiologi, prognosis manifestasi klinis dari Tukak lambung,
GERD Konstipasi dan Diare
e) Mengetahui hasil laboratorium Tukak lambung, GERD Konstipasi dan Diare
f) Mengetahui terapi penyakit Tukak lambung, GERD Konstipasi dan Diare

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Peptikum ( Tukak Lambung)


2.1.1. Pengertian

Ulkus peptikum atau tukak lambung merupakan gangguan penyakit yang


disebabkan kerusakan pada lapisan mukosa, sub mukosa sampai lapisan otot saluran
cerna yang disebabkan aktivitas pepsin dan asam lambung. Umumnya terjadi pada bulbus
duodenum dan kurvatura minor, dapat juga mengenai esofagus sampai usus halus (Aziz,
2002). Tukak lambung dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, salah satuya ulkus
diinduksi stress oksidatif yaitu kondisi dimana terjadi keseimbangan antara produksi
oksigen reaktif dan kemampuan sistem biologi untuk mendetoksifikasi reaktif
intermediet, yang bisa menyebabkan kerusakan oksidatif protein, lipid dan DNA (Priya et
al. 2012)

2.1.2 Epidemiologi Ulkus peptikum

Setiap tahun 4 juta orang menderita ulkus peptikum di seluruh dunia, sekitar 10%-
20% terjadi komplikasi dan sebanyak 2%-14% didapatkan ulkus peptikum perforasi.
Perforasi ulkus peptikum relatif kecil tetapi dapat mengancam kehidupan dengan angka
kematian yang bervariasi dari 10% - 40%. Lebih dari setengah kasus adalah perempuan
dan biasanya mengenai usia lanjut yang mempunyai lebih banyak risiko komorbiditas
daripada laki-laki. Penyebab utama adalah penggunaan non-steroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDs), steroids, merokok, Helicobacter Pylori dan diet tinggi garam (Saverio et
al, 2014).

Penyebab lain dari gastroduodenal perforasi seperti trauma, neoplasma, benda


asing yang bersifat korosif dan hal ini terjadi akibat hasil dari diagnosis atau terapi
intervensi (iatrogenic). Trauma pada lambung dan duodenum hanya 5.3% dari seluruh
trauma tumpul hollow viscus organ tetapi berhubungan dengan komplikasi sekitar 27% to
28%. Perforasi yang terjadi karena keganasan/malignancy dapat berasal dari adanya
obstruksi dan meningkatkan tekanan intralumen dan respon dari chemotherapy dan tumor
transmural (Saverio et al, 2014). Sekitar 4 juta penduduk terdiagnosis ulkus peptikum

4
setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan gangguan asam–pepsin, prevalensinya adalah
12% pada pria dan 10% pada wanita dengan angka kematian pasien 15.000 per tahun dan
menghabiskan dana 10 milyar dolar per tahun. Di Inggris sekitar 6–20% penduduk
menderita ulkus pada usia 55 tahun, sedangkan prevalensinya 2–4% (Tarigan, 2009).

2.1.3 Faktor resiko

Sebuah tinjauan sistematik melaporkan faktor risiko yang berkaitan dengan


munculnya ulkus peptikum, frekuensinya, dan mortalitas nya.

Faktor risiko yang berkaitan dengan munculnya ulkus peptikum di antaranya :

a. Infeksi pylori
b. Obat : NSAID, aspirin
c. Pertambahan usia
d. Adanya komorbiditas : gangguan cemas menyeluruh, schizophrenia, penyakit paru
obstruktif kronis
e. Alkoholisme kronik
f. Merokok
2.1.4 Etiologi
Helicobacter pylori adalah penyebab utama tukak lambung, pertama kali
diidentifikasi oleh dua ilmuwan asal Australia pada tahun 1982. Helicobacter pylori
adalah bakteri gram negatif bacillus, mikrofilik, flagella dan bakteri berbentuk spiral
(Majumdar et al., 2011). Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang ada di
dalam mukosa lambung, lalu berkembang menjadi gastritis dan berpotensi menjadi
penyakit tukak peptik dan kanker lambung (Lochhead & ElOmar, 2007).

Ada berbagai jenis ulkus yang paling umum adalah ulkus peptikum yaitu
tampaknya terlihat akibat kerusakan pada lapisan perut dan ulkus duodenum yang
dikaitkan dengan sekresi asal yang berlebihan oleh lambung (Amandeep et al., 2012).
Perforasi ulkus duodenum dapat terjadi pada kondisi pasien seperti duodenal ischemia,
duodenal diverticula, penyakit menular dan pada kondisi autoimun seperti penyakit crohn
(radang usus), scledorma (penyakit autoimun yang menyerang jaringan ikat, sehingga

5
membuat jaringan tersebut menebal dan mengeras) dan abdominal vasculitis (Ansari et
al., 2019)

2.1.5 Patofisiologi

Patofisiologi Ulkus Peptikum Epitel gaster terdiri dari rugae yang mengandung
gastric pits atau lekukan yang berukuran mikroskopis. Setiap rugae bercabang menjadi
empat atau lima kelenjar gaster dari sel -sel epitel khusus. Susunan kelenjar tergantung
letak anatominya. Kelenjar di daerah cardia terdiri < 5% kelenjar gaster yang
mengandung mukus dan sel-sel endokrin. Sebagian terbesar kelenjar gaster (75%)
terletak di dalam mukosa oksintik mengandung sel-sel leher mukosa, parietal, chief,
endokrin dan sel enterokromafin (Wilson dan Lindseth, 2005). 10 Kelenjar pilorik
mengandung mukus dan sel -sel endokrin(termasuk sel-sel gastrin) dan didapati di daerah
antrum.

Sel parietal juga dikenal sebagai sel oksintik biasanya didapati di daerah leher
atau isthmus atau kelenjar oksintik. Sel parietal yang tidak terangsang, mempunyai
sitoplasma dan kanalikuli intraseluler yang berisi mikrovili ukuran pendek sepanjang
permukaan atas. Enzim H+, K+ - ATPase didapati di daerah membran tubulovesikel. Bila
sel dirangsang, membran ini dan membran atas/apikal lainnya diubah menjadi jaringan
padat dari kanalikuli intraseluler apikal yang mengandung mikrovili ukuran panjang
(Tarigan, 2009).

Permukaan epitelium dari lambung atau usus rusak dan berulkus, hasil dari
inflamasi menyebar sampai ke dasar mukosa dan submukosa. Asam lambung dan enzim
pencernaan memasuki jaringan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada pembuluh
darah dan jaringan disekitarnya (Keshav, 2004). Ulkus peptikum disebabkan oleh sekresi
asam dan pepsin yang berlebih oleh mukosa lambung atau berkurangnya kemampuan
sawar mukosa gastroduodenal untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam
pepsin (Guyton dan Hall, 2007). Asam pepsin penting dalam patogenesis ulkus peptikum.
Akan tetapi berlawanan dengan ulkus duodenum, pasien umumnya mempunyai laju
sekresi asam yang normal atau berkurang dibandingkan dengan individu tanpa ulkus.

6
Sepuluh sampai dua puluh persen pasien dengan ulkus peptikum juga mempunyai ulkus
duodenum (Mc.Guigan, 2001). Telah diduga bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin,
alkohol, indometasin, fenilbutazon dan kortikosteroid mempunyai efek langsung terhadap
mukosa lambung dan menimbulkan ulkus.

Obat-obatan lain seperti kafein, akan meningkatkan 11 pembentukan asam. Stress


emosi dapat juga memegang peranan dalam patogenesis ulkus peptikum, agaknya dengan
meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat perangsangan vagus. Sejumlah penyakit
tampaknya disertai pembentukan ulkus peptikum yaitu sirosis hati akibat alkohol,
pankreatitis kronik, penyakit paru kronik, hiperparatiroidisme dan sindrom Zollinger-
Ellison (Wilson dan Lindseth, 2005). Peningkatan sekresi asam-cairan peptik dapat turut
berperan terhadap ulserasi. Pada kebanyakan orang yang menderita ulkus peptikum di
bagian awal duodenum, jumlah sekresi asam lambung lebih besar dari normal, sering
sebanyak dua kali normal.

Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan infeksi


bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya rangsangan berlebihan sekresi
asam lambung oleh saraf pada manusia yang menderita ulkus peptikum mengarah kepada
sekresi cairan lambung yang berlebihan untuk alasan apa saja (sebagai contoh, pada
gangguan fisik) yang sering merupakan penyebab utama ulkus peptikum (Guyton dan
Hall, 2007).

2.1.6 Prognosis
Pasien dengan ulkus peptikum memiliki risiko sebesar 5% dalam hidupnya untuk
mengalami perforasi. Risiko perforasi pada ulkus peptikum yang disebabkan
konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) berkisar 0,3% per pasien tahun,
dan insidensi obstruksi adalah 0,1% per pasien tahun.
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien perforasi ulkus peptikum memiliki
mortalitas 8,9% pada pasien usia < 65 tahun. Tingkat mortalitas ini meningkat seiring
usia dan dapat mencapai 44,6% pada pasien usia di atas 80 tahun.

2.1.7 Tanda dan Gejala ulkus

Gejala Tukak Lambung

7
Gejala utama yang dirasakan jika mengalami tukak lambung adalah nyeri atau
perih pada perut. Rasa sakit tersebut muncul karena terjadinya iritasi akibat asam
lambung yang membasahi luka. Gejala ini biasanya berupa rasa nyeri yang:

a. Menyebar ke leher, pusar, hingga punggung.


b. Muncul pada malam hari.
c. Terasa makin parah saat perut kosong.
d. Umumnya berkurang untuk sementara jika makan atau mengonsumsi obat
penurun asam lambung.
e. Hilang lalu kambuh beberapa hari atau minggu kemudian.
f. Di samping nyeri pada perut, ada beberapa gejala lain yang mungkin dialami, di
antaranya nyeri ulu hati, tidak nafsu makan, mual, serta gangguan pencernaan.

Manifestasi Klinis Ulkus Peptikum Ulkus biasanya sembuh sendiri tetapi dapat
timbul kembali. Nyeri dapat timbul selama beberapa hari atau minggu dan kemudian
berkurang atau menghilang. Gejala bervariasi tergantung lokasi ulkus dan usia penderita.
Contohnya anak-anak dan orang tua biasanya tidak memiliki gejala yang sering didapat
atau tidak ada gejala sama sekali.
Oleh karena itu ulkus biasanya diketahui ketika komplikasi terjadi. Hanya
setengah dari penderita ulkus duodenum mempunyai gejala yang sama seperti perih, rasa
seperti terbakar, nyeri, pegal, dan 12 lapar. Rasa nyeri berlangsung terus-menerus dengan
intensitas ringan sampai berat biasanya terletak di bawah sternum. Kebanyakan orang
yang menderita ulkus duodenum, nyeri biasanya tidak ada ketika bangun tidur tetapi
timbul menjelang siang. Minum susu dan makan (yang menyangga keasaman PH
lambung) atau meminum obat antasida mengurangi nyeri, tapi mulai timbul kembali
setelah 2 atau 3 jam kemudian. Gambaran klinis utama ulkus peptikum adalah kronik dan
nyeri epigastrium.
Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari
sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai teriris, terbakar atau
rasa tidak enak. Remisi dan eksaserbasi merupakan ciri yang begitu khas sehingga nyeri
di abdomen atas yang persisten. Pola nyeri-makanhilang ini dapat saja tidak khas pada
ulkus peptikum. Bahkan pada beberapa penderita ulkus peptikum makanan dapat

8
memperberat nyeri. Biasanya penderita ulkus peptikum akan mengalami penurunan berat
badan. Sedangkan penderita ulkus duodenum biasanya memiliki berat badan yang tetap
(Wilson dan Lindseth, 2005). Penderita ulkus peptikum sering mengeluh mual, muntah
dan regurgitasi.Timbulnya muntah terutama pada ulkus yang masih aktif, sering dijumpai
pada penderita ulkus peptikum daripada ulkus duodenum, terutama yang letaknya di
antrum atau pilorus. Rasa mual disertai di pilorus atau duodenum.
Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut terasa selalu
penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat instabilitas neuromuskuler
dari kolon (Akil, 2006). 13 Penderita ulkus peptikum terutama pada ulkus duodenum
mungkin dalam mulutnya merasa dengan cepat terisi oleh cairan terutama cairan saliva
tanpa ada rasa. Keluhan ini diketahui sebagai water brash. Sedang pada lain pihak
kemungkinan juga terjadi regurgitasi pada cairan lambung dengan rasa yang pahit (Akil,
2006).
Secara umum pasien ulkus gaster mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu
sindrom atau kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah,
kembung, nyeri ulu hati, sendawa atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan
cepat merasa kenyang (Tarigan, 2009). Nyeri yang dapat membangunkan orang ketika
malam hari juga ditemukan. Seringkali nyeri timbul sekali atau lebih dalam sehari selama
beberapa minggu dan hilang tanpa diobati. Namun, nyeri biasanya timbul kembali 2
tahun kemudian dan terkadang juga dalam beberapa tahun kemudian. Penderita biasanya
akan belajar mengenai pola sakitnya ketika kambuh (biasanya terjadi ketika stres). Makan
bisa meredakan sakit untuk sementara tetapi bisa juga malah menimbulkan sakit. Ulkus
lambung terkadang membuat jaringan bengkak (edema) yang menjalar ke usus halus,
yang bisa mencegah makanan melewati lambung. Blokade ini bisa menyebabkan
kembung, mual, atau muntah setelah makan. (Keshav, 2004).

2.1.8 Diagnosa dan data Laboratorium


Mendiagnosis Ulkus

9
Pemeriksaan fisik, sudah pasti, biasanya kamu juga akan ditanya riwayat penyakit
apa yang pernah kamu alami, supaya dokter bisa tahu apakah riwayat penyakit tadi
berkaitan dengan ulkus. Kalau kamu mengalami sakit perut atau tanda sakit maag yang
lain, kemungkinan akan dilakukan pemeriksaan tambahan. 

Rontgen saluran cerna bagian atas adalah salah satunya. Bagian yang difoto
adalah perut, usus, esofagus, hingga kerongkongan. Kamu diminta untuk mengonsumsi
cairan yang disebut barium ketika prosedur ini dilakukan. Pemeriksaan lainnya adalah
endoskopi yang dilakukan dengan cara memasukkan tabung yang sudah dilengkapi
dengan lampu dan kamera khusus. Tenang saja, kamu akan diberikan anestesi ketika
prosedur ini dilakukan. 

Terakhir adalah tes darah yang dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi apakah


ada infeksi bakteri H. pylori. Tes darah biasanya menjadi petunjuk penting jika ulkus
ditemukan pada usus bagian atas. Terkadang, pergerakan usus atau napas kamu pun isa
diuji secara spesifik untuk memeriksa keberadaan bakteri ini.

2.1.9 Penatalaksanaan Terapi

Ulkus Peptikum Beberapa faktor mempengaruhi penyembuhan ulkus dan


kemungkinan untuk kambuh. Faktor yang reversibel harus diidentifikasi seperti infeksi
Helicobacter Pylori, penggunaan NSAID dan merokok. Waktu penyembuhan ulkus
tergantung pada ukuran ulkus. Ulkus lambung yang besar dan kecil bisa 14 sembuh
dalam waktu yang relatif sama jika terapinya efektif. Ulkus yang besar memerlukan
waktu yang lebih lama untuk sembuh (Soll, 2009). Secara garis besar pengelolaan
penderita dengan ulkus peptikum adalah sebagai berikut:

a. Non – farmakologi
1. Istirahat
Secara umum pasien ulkus dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang
berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap. Penyembuhan akan lebih
cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan

10
analgesik. Stress dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam
lambung dan penyakit ulkus (Tarigan, 2009).
2. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu tidak
lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan merangsang
pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan mengandung asam
dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien ulkus dan dispepsia non
ulkus, walaupun belum dapat dibuktikan keterkaitannya. Alkohol belum terbukti
mempunyai efek yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak
mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung tetapi dapat menambah
sekresi asam dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan ulkus dan
sebaiknya diminum jangan pada waktu perut sedang kosong (Tarigan, 2009).
3. Tidak merokok
Merokok menghalangi penyembuhan ulkus peptikum kronik, menghambat
sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodenum, menambah
refluks duodenogaster akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan
kekambuhan ulkus (Tarigan, 2009).

b. Farmakologi
1. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel
parietal lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan dihasilkan asam.
Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan reseptor digantikan dengan
obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat golongan ini
yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi (Berardy and
Lynda, 2005).Contoh obat seperti Simetidin, Ranitidine, Famotidin, Nizatidine
(Lacy et al, 2008). Kemampuan antagonis reseptor H2 menurunkan asam
lambung disamping dengan toksisitas rendah merupakan kemajuan dalam
pengobatan penyakit. Hasil dari beberapa uji klinik menunjukkan obat obat ini

11
dapat menjaga gejala dengan efektif selama episode akut dan mempercepat
penyembuhan ulkus duodenal (Ghosh dan Kinnear, 2003).
2. PPI (Proton Pump Inhibitor)

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang akan
memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk 16
mengeluarkan asam dari kanalikuli serta parietal ke dalam lumen lambung.
Pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin darah dan dapat
menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum terbukti
gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang (Tarigan, 2009).

Penghambat pompa proton dimetabolisme di hati dan dieliminasi di ginjal.


Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian dosis pada
penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol
15-30 mg/hr, Rabeprazole 20 mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-
40 mg/hr (Lacyet al, 2008). Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat
besar terhadap produksi asam. Omeprazole juga secara selektif menghambat
karbonat anhidrase mukosa lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi
terhadap sifat suspensi asamnya (Pasricha dan Hooger wefh, 2008). Efek samping
obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan
ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari
penggunaan PPI (Lacyet al, 2008).

3. Sucralfate

Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis protein
mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya
erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat.
Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sukralfat juga memiliki
efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal prostaglandin dan
faktor pertumbuhan epidermal 17 (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Dosis
sulkralfat 1 gram 4x sehari atau 2 gram 2x sehari. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardi dan Lynda, 2005).

12
4. Koloid Bismuth

Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein


pada dasar ulkus dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam. Dosis
obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman sehingga timbul
keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2009).

5. Analog Prostaglandin :

Misoprostol Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah


sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.
Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya ulkus peptikum pada pasien
yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200mg atau 2 x 400 mg pagi dan malam
hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus
sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil (Tarigan, 2006).

Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi penyakit


bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit radang usus, sehingga
pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini. Misoprostol dikontraindikasikan
selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi akibat terjadinya
peningkatan kontraktilitas uterus. Sekarang ini misoprostol telah disetujui
penggunaannya oleh United States Food and Drug Administration (FDA) untuk
pencegahan luka mukosa akibat NSAID (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). 18

6. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan obat
dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat
yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan aluminium
menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh
sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali
sehari malam dan sebelum tidur). Efek samping diare, berinteraksi dengan obat
digitalis, barbiturat, salisilat, dankinidin (Tarigan, 2009).

13
2.2 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
2.2.1 Pengertian Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

GERD yang merupakan kependekan dari gastroesophageal Refluks Disease atau


penyakit refluks gastroesofageal merupakan salah satu kondisi yang paling banyak dijumpai
dalam praktek sehari-hari terutama di layanan kesehatan primer. Adapun definisi dari GERD
adalah keadaan terjadinya refluks atau aliran balik dari isi lambung baik ke esofagus
(kerongkongan), kavitas oral (rongga mulut) maupun keseluruh pernapasan bahkan ke paru-
paru. Secara endoskopi, kita membagi GERD menjadi non-erosive (NERD) dan erosi
(ERD).

2.2.2 Epidemiologi

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai


akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esofagus, laring dan saluran nafas. Prevalensi GERD meningkat akhir-
akhir ini, di Indonesia ditemukan kasus esofagitis sebanyak 22,8%. Analisis faktor risiko
terjadinya GERD sangatlah penting diketahui dalam mengurangi prevalensi Gerd.

GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40
tahun. Walaupun kematian yang disebabkan oleh GERD sangat jarang terjadi tetapi gejala
dari GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita.
Dalam populasi barat kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari
populasi.

Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi negara barat
merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi, kecuali selama kehamilan dan
kemungkinan GERD tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus antara pria dan
wanita. GERD cenderung terjadi pada wanita dan pada pasien sekitar 10 tahun lebih muda
dari pasien yang mengalami erosi. Walaupun jenis kelamin tidak memberikan perbedaan
yang signifikan pada terjadinya GERD, hal ini merupakan faktor penting pada terjadinya
Barret esofagus, komplikasi dari GERD dimana epitel squamous normal digantikan oleh

14
epitel kolumnar khusus. Barret esofagus sering terjadi pada pria dewasa berkulit putih di
Negara barat.

2.2.3 Faktor Resiko

Di bawah ini berbagai faktor risiko yang meningkatkan risiko Anda untuk terkena
penyakit GERD :

a. Obat-obatan seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergic, nitrat dan calcium


channel blocker.

b. Makanan seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alcohol dan rokok.

c. Hormone pada wanita hamil disebabkan oleh peningkatan hormone progesterone dan
pada wanita menopause disebabkan oleh terapi hormone estrogen.

d. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia atau panjang LES (Lower
Esophageal Sphincter) yang kurang dari 3 cm.

e. Indeks masa tubuh (IMT), dimana peningkatan IMT sebanding dengan resiko
terjadinya GERD.

2.2.4 Etiologi

GERD disebabkan oleh proses yang multifactor. Pada orang dewasa faktor-faktor yang
menurunkan tekanan otot kerongkongan (sfingter esofagus) sehingga terjadi refluks
gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alcohol dan rokok. Faktor
anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang terlambat dapat
menyebabkan tekanan darah didalam arteri lebih rendah dan tekanan otot kerongkongan
bawah sehingga menimbulkan refluks gastroesofagus.

2.2.5 Patofisiologi

15
Penyakit GERD ditandai dengan adanya aliran balik isi lambung yang bersifat asam
menuju ke esofagus. Dalam sebagian kasus fenomena terjadinya refluks isi lambung dapat
dianggap normal, namun fenomena ini dapat dicurigai sebagai gejala GERD saat paparan
terhadap esofagus terjadi. Pada kondisi normal terjadinya refluks dapat dicegah oleh barrier
antirefluks, yang dinamakan sebagai zona anatomi kompleks, terdiri dari beberapa
komponen antara lain sfingter esofagus bagian bawah, diafragma kural ekstrinsik dan
struktur pendukung dari katup penutup gastroesofagus. Apabila terjadi gangguan pada
komponen-komponen tersebut maka refluks akan lebih sering terjadi dan menyebabkan
esofagus lebih sering terpapar oleh cairan lambung yang sangat asam. Apabila terjadi terus
menerus, maka komplikasi dari penyakit GERD dapat terjadi seperti inflamasi, erosi
esofagus bahkan perforasi.

Gambar 1. Tampilan skematik dari esofagus

Gangguan yang terjadi pada lower esophageal sphincter (LES) umumnya menjadi
penyebab primer terjadinya GERD. Meskipun banyak faktor lain yang mungkin juga ikut
berperan, namun yang paling umum terjadinya relaksasi pada bagian bawah LES merupakan
lapisan otot pada bagian distal esofagus yang menjaga tekanan pada bagian atas esofagus
lebih tinggi dibandingkan tekanan intraabdominal, sehingga mencegah terjadinya refluks isi
lambung (gambar 1). Frekuensi dari terjadinya refluks asam lambung dapat meningkat pada

16
saat fase postprandial. Begitu juga dengan adanya faktor fisiologi lain seperti hiatal hernia,
gangguan pada proses pengosongan esofagus serta terjadinya penundaan dalam
pengosongan isi lambung.

Ketika refluks terjadi, gejala dan luka yang terbentuk dipengaruhi oleh durasi
paparan esofagus oleh isi lambung serta tingkat keasaman dari isi lambung yang kembali
naik ke esofagus. Durasi lamanya esofagus terpapar isi lambung dipengaruhi oleh efektivitas
dari pembersihan esofagus yang melibatkan proses peristaltic, salivasi da nada atau tidaknya
hiatus hernia.

Durasi lamanya mukosa esofagus terpapar oleh cairan isi lambung disebut sebagai
refluks exposure time or bolus contact time. Adanya paparan tersebut dapat menyebabkan
iritasi yang menyebabkan luka ataupun inflamasi. Bagaimanapun juga ambang batas sensasi
nyeri dan inflamasi yang muncul dipengaruhi oleh integritas dari epitel masing-masing
individu. Hingga saat ini upaya pertama yang dilakukan saat refluks terjadi berfokus pada
penyesuain pH dari cairan lambung.

Gangguan pada pengosongan esofagus dapat disebabkan oleh proses peristaltik yang
tidak berjalan dengan baik, sehingga pengembalian isi lambung yang naik akibat refluks
menjadi terhambat. Sedangkan, saliva yang mengandung bikarbonat sebagai buffer asam
dan growth factor, apabila berkurang maka fungsinya untuk netralisasi pH dan untuk
pengosongan esofagus akan terganggu. Hal ini umum terjadi pada saat tidur malam.

2.2.6 Tanda dan Gejala


Pasien dengan keluhan GERD dapat dikenali dengan melihat gejala umum maupun
atipikal yang muncul. Umumnya gejala yang paling sering muncul adalah dada terasa panas
dan terbakar (heartburn) serta sering diasosiasikan dengan rasa masam di bagian belakang
mulut dengan atau tanpa regurgitas dari refluks. GERD juga merupakan penyebab umum
kasus-kasus noncardiac chest pain (NCCP), sehingga penting untuk membedakan antara
nyeri dada yang mungkin disebabkan karena gangguan jantung atau yang disebabkan karena
gangguan jantung atau yang disebabkan oleh etiologi lain berdasarkan algoritma diagnosis
agar dapat memberikan penanganan yang tepat.
Meskipun gejala umum GERD sangat mudah dikenali, manifestasi extraesophageal
juga sering terjadi, akan tetapi tidak selalu dikenal. Sindrom extra esophageal meliputi

17
beberapa area termasuk antara lain paru (asma, batuk kronis, bronchiolitis obliterans,
pneumonia dan fibrosis). Gangguan respirasi menjadi salah satu sindrom yang paling
menantang pada GERD.
Sangat penting untuk melakukan screening alarm symptoms pada pasien GERD yang
kemudian akan menentukan apakah pasien perlu menjalani endoskopi atau tidak. Alarm
symptoms meliputi beberapa hal, yaitu :
1. Gejala GERD yang menetap atau semakin parah meskipun tetapi sudah tepat
2. Dysphagia dan odynophagia
3. Penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 5%
4. Perdarahan saluran cerna atau anemia
5. Adanya massa, penyempitan atau ulkus pada imaging studies
6. Muntah yang terus menerus (7-10 hari)
7. Screening Barrett's Esophagus pada pasien dengan kriteria tertentu

Gejala GERD seharusnya dianggap berbeda dari dispepsia. Dispepsia diartikan


sebagai ketidak nyamanan epigastrik tanpa rasa terbakar pada dada atau regurgitasi asam,
dan berlangsung lebih dari sebulan. Dispepsia dapat diasosiasikan dengan kembung,
sendawa, mual dan muntah. Dispepsia adalah entitas yang mungkin ditangani secara berbeda
dari GERD dan mungkin memerlukan evaluasi endoskopi, termasuk uji Helicobacter pylori.

2.2.7 Diagnosa dan Data Laboratorium

GERD umumnya didiagnosis secara klinis dengan gejala umum dan respons terhadap
penekanan asam. Rasa terbakar pada dada dengan atau tanpa regurgitasi umumnya cukup
untuk menduga GERD, terutama saat gejalanya semakin parah setelah makan siang atau saat
pasien berada dalam posisi telentang. Terapi empiris PPI umum diberikan kepada pasien
GERD dengan berdasarkan gejala yang dialami. Investigasi lebih lanjut diperlukan saat
terjadi kegagalan dalam terapi yang diberikan, diagnosis yang tidak pasti dan adanya
komplikasi yang dialami. Investigasi lanjutan dapat berupa endoskopi, esophageal HRM
disertai dengan control pH pasien dengan rawat jalan.

Diagnosis GERD umumnya berdasarkan klasifikasi Montreal dan yang terbaru


menggunakan Konsensus Lyon . Konsensus Lyon menyediakan kerangka untuk penilaian
klinis dan uji fungsi esofagus yang menggambarkan fenotipe GERD tiap individu. Beberapa

18
tes diagnostic yang bisa dilakukan yaitu endoskopi, esofagus HRM dan monitoring pH
ambulatory. Sebaliknya, radiografi barium sudah tidak dianjurkan lagi untuk digunakan
dalam mendiagnosis GERD. Monitoring pH ambulatory dianggap sebagai goldstandard
dalam diagnosis refluks asam, karena memungkinkan kita untuk mendeteksi kejadian refluks
asam dan korelasinya terhadap gejala yang timbul, ini bisa membantu mengarahkan
diagnosis pada pasien simtomatik dengan temuan endoskopik normal. Monitoring pH
ambulatory dapat dilaksanakan dengan reprodusibilitas (84-93%), sensitivitas (96%) dan
spesifisitas (96%) yang baik. Untuk menyelesaikan tesnya, satelit pH (kateter atau kapsul
nirkabel) diletakkan dalam esofagus selama 24-48 jam. Persen waktu dengan pH esofagus
dibawah 4 menjadi parameter utama dalam diagnosis GERD. Keunggulannya adalah dapat
mendeteksi perubahan pH saat berdiri dan terlentang. Lebih lanjut lagi setelah pH dapat
merekam jumlah kejadian refluks, tingkat proksimal refluks beserta durasi refluks. Tes dapat
dilakukan dengan atau tanpa terapi PPI.

2.2.7.1 Penegakan Diagnosis

Pendekatan diagnosis dilakukan dengan menggabungkan data dari gejala, pemeriksaan


endoskopi, monitoring refluks ambulatory dan responsivitas terhadap terapi supresi asam.
Secara singkat, penegakan diagnosis tersebut dirangkum sebagai berikut :

a. Diagnosis presumtif ditegakan dengan pendekatan gejala adanya heartburn dan


regurgitas. Ketiga diagnosis presumtif ditegakkan dapat diberikan terapi PPI
secara empiris.
b. Pasien dengan keluhan nyeri dada non kardiak dengan kecurigaan GERD,
sebelum dimulai terapi harus didahului dengan evaluasi diagnostic. Penyebab
kardiak lainnya harus terlebih dahulu disingkirkan sebelum dilakukan evaluasi
gastrointestinal.
c. Pemeriksaan radiografi barium tidak direkomendasikan untuk diagnosis penyakit
refluks.
d. Untuk diagnosis, endoskopi saluran cerna bagian atas tidak diperlukan. Endoskopi
direkomendasikan jika ada tanda alarm dan untuk uji tapis bagi pasien dengan
resiko tinggi komplikasi. Endoskopi ulangan tidak diperlukan apabila tidak
ditemukan esofagus Barrett dan tidak ada lagi gejala yang baru.

19
e. Manometri esofagus direkomendasikan untuk evaluasi preoperative namun tidak
memiliki peran dalam diagnosis GERD.
f. Manometri esofagus ambulatory diindikasi sebelum pertimbangan terapi
endoskopi atau bedah pada pasien GERD dan juga sebagai evaluasi untuk pasien
yang refrakter terhadap terapi PPI serta pada situasi dimana diagnosis GERD
diragukan.
g. Tes refluks ambulatori adalah satu-satunya tes yang bisa menilai hubungan antara
refluks dengan derajat gejala.
h. Monitoring refluks ambulatory tidak diperlukan dalam diagnosis GERD jika
terdapat esofagus Barret segmen pendek atau panjang.
i. Uji tapis untuk H. pylori tidak diperlukan pada kasus GERD begitu pula denggan
eradikaasi yang tidak perlu rutin diberikan sebagai bagian dari terapi antrefluks.

Dibawah ini adalah beberapa uji diagnostic yang digunakan dalam kasus GERD :

PPI :proton pump inhibitor

20
Selain itu untuk membentuk diagnosis dapat dilakukan dengan menggunakan GERD-Q :

2.2.8 Penatalaksanaan terapi (farmakologi dan non farmakologi)

Tatalaksana atau pengobatan dari GERD dapat meliputi aspek non farmakologis
yang berpusat pada pengaturan kebiasaan atau gaya hidup, aspek farmakologi khususnya
obat-obatan supresi atau penekan produksi asam lambung serta agen prokinetik, serta yang
terakhir adalah intervensi bedah.

21
2.2.8.1 Tatalaksana Non Farmakologi
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu untuk diperhatikan bagi setiap penderita
GERD :
a. Menurunkan berat badan direkomendasikan untuk pasien yang overweight
atau mengalami kenaikan berat badan akhir-akhir ini.
b. Menaikkan kepala saat tidur serta menghindari makan 2-3 jam sebelum
waktu tidur, direkomendasikan untuk pasien yang memiliki gejala di
malam hari.
c. Eliminasi rutin secara global makanan yang bisa menyebabkan refluks
(coklat, kaffein, alkohol, makanan asam atau pedas) tidak
direkomendasikan.
d. Pemberian PPI selama 8 minggu adalah terapi utama untuk mengurangi
gejala dan mengobati esofagitis erosife. Tidak ada perbedaan efikasi antara
jenis PPI.
e. Untuk kontrol pH maksimal, pemberian PPI tradisional diberikan 30-60
menit sebelum makan sedangkan PPI terbaru lebih fleksibel dalam hal
waktu pemberian sebelum makan.
f. Pemberian PPI diberikan dengan dosis sekali sehari sebelum makan
pertama namun dapat ditingkatkan menjadi dua kali sehari jika terdapat
gejala di malam hari atau gangguan tidur.
g. Bagi pasien yang tidak respon terhadap PPI maka harus dirujuk untuk
evaluasi lebih lanjut.
h. Jika pasien mengalami respon parsial, PPI dapat dinaikkan menjadi dua
kali sehari atau diganti dengan PPI lainnya.
i. Jika pasien mengalami gejala GERD kembali setelah terapi PPI atau
pasien dengan esofagitis erosif atau esofagus Barrett, maka
dipertimbangkan untuk diberikan terapi PPI rumatan. Pemberian dosis
rumatan adalah dosis PPI efektif serendah mungkin termasuk on demand
atau intermiten.

22
j. Terapi antagonis H2-reseptor (H2A) dapat dipakai sebagai salah satu
pilihan terapi rumatan pada pasien tanpa penyakit erosive jika didapat
penurunan gejala dengan obat tersebut.
k. Pemberian H2A tambahan pada pasien terpilih yang sudah mendapatkan
terapi PPI siang hari dapat diberikan jika terdapat refluks malam tetapi
dapat terjadi efek samping berupa takifilaksis setelah beberapa minggu
pemakaian.
l. Terapi lain untuk GERD selain supresi asam berupa prokinetik atau
baclofen tidak boleh diberikan bila belum dilakukan evaluasi diagnostik.
m. Tidak ada tempatnya pemberian sukralfat pada pasien GERD yang tidak
hamil.
n. PPI aman pada kehamilan bila terdapat indikasi.

Tatalaksana diatas adalah berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk


menilai efektivitas dari setiap item di atas terhadap perbaikan gejala dari GERD.
Dibawah ini adalah beberapa bukti penelitian mengenai terapi farmakologis untuk
GERD tersebut.

23
2.2.8.2 Tatalaksana Farmakologi
Kita lanjutkan ke tatalaksana penyakit dari segi farmakologis.
Dikarenakan GERD banyak ditemui di masyarakat, maka penyakit ini utamanya
ditangani di layanan primer seperti dokter umum, puskesmas atau dokter
keluarga.
Biasanya kasus GERD dapat teratasi dengan pengobatan yang tersedia di layanan
primer. Akan tetapi, pada keadaan refrakter, diperlukan pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut sehingga pada kondisi tersebut pasien perlu dirujuk ke
pelayanan kesehatan rujukan, sekunder atau bahkan tersier. Untuk lebih
memudahkan memahami bagaimana GERD dilayani baik di layanan primer
maupun rujukan, berikut adalah penanganan penyakit tersebut di fasilitas layanan
primer (kanan) dan layanan rujukan (kiri):

Seperti tampak pada alur terlaksana di atas, tampak bahwa obat ini
pertama di GERD adalah jenis penekan produksi asam terutama proton pump
inhibitor (PPI). Pemberian PPI pada GERD biasanya bisa single dose atau double
dose . Namun, umumnya dapat diberikan langsung berupa double dose.

Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan GERD antara lain ,


golongan penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan

24
penghambat H2 {H2 blocker atau antagonis reseptor H2 (H2-receptor
antagonists, H2RAs)}. Nama obat dari golongan tersebut beserta dosisnya
diberikan pada tabel Algoritma penatalaksanaan GERD diberikan.

Gambar . Penghambat Pompa Proton Dan Antagonis Reseptor H211

a. Penghambat pompa proton dan Antagonis Reseptor H2


Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton bekerja dengan cara
memblok pompa proton (H+,K+-ATPase) yang terdapat di membrane sel parietal
lambung sehingga menghambat sekresi asam lambung oleh sel parietal secar
irreversible. Penghambat pompa proton merupakan produk yang tidak stabil
dalam suasana asam. Setelah diabsorbsi dari usus, golongan ini dimetabolisme
menjadi bentuk aktifnya yang berikatan dengan pompa proton. Sementara itu,
obat-obat dari golongan antagonis reseptor H2 bekerja dengan cara memblok
reseptor histamine di membran sel parietal lambung. Selain hormone gastrin dan
asetilkolin, histamine adalah salah satu senyawa yang menstimulasi H+,K+-
ATPase untuk mensekresi asam lambung.
Satu kajian sistematis yang membandingkan efektivitas antara PPIs dan
H2RAs pada pasien dengan ESRD (4 penelitian acak terkontrol) membuktikan
bahwa PPIs lebih efektif dalam mencapai remisi gejala heartburn dibandingkan
dengan H2RAs (RR 0,78; 95%Cl 0,74-0,97). PPIs dan H2RAs yang digunakan

25
dalam penelitian antara lain pantoprazole 40 mg/hari vs nizatidine 150 mg 2 kali
sehari, omeprazole 20 mg/hari vs cimetidine 400 mg 4 kali sehari, omeprazole 20
mg/hari vs famotidine 20 mg/hari serta omeprazole 10mg/hari dan omeprazole 20
mg/per hari vs ranitidine 150 mg 2 kali sehari. Semua intervensi tersebut
diberikan selama 4 minggu. Remisi gejala heartburn pada kajian ini didefinisikan
sebagai mengalami gejala heartburn ringan tidak lebih dari satu hari per minggu.
PPIs juga terbukti lebih baik daripada H2RAs dalam memperbaiki keseluruhan
heartburn (2 penelitian RR 0,82;95%Cl 0,73-0,93). PPIs dan H2RAs yang diteliti
dalam hal ini adalah no. 1) omeprazole 20mg/hari vs famotidine 20 mg 2 kali
sehari) lansoprazole 15mg/hari, lansoprazole 30 mg/hari vs ranitidine 150 mg 2
kali sehari.
PPIs juga terbukti lebih superior dibandingkan H2RAs dalam
menyembuhkan esofagitis (meta-analisis, 16 penelitian acak terkontrol, n = 2132
pasien, RR 0,57; 95% Cl 0,52-0,63). Proporsi pasien yang mengalami
kesembuhan esofagitis adalah 39% (number needed to treat, NNT = 6)
menggunakan H2RAs dan 76 % (NNT = 2) menggunakan PPIs. Memperpanjang
durasi penggunaan PPIs terhadap H2RAs, sukralfat dan placebo juga tampak pada
seluruh derajat esofagitis erosif.
Suatu kajian sistematis (32 penelitian) tidak menemukan bukti yang cukup
untuk mendukung superioritas jenis PPI yang satu dengan yang lain dalam
pengobatan GERD dan peptic ulcer. Semua sedian PPIs delayed release harus
diberikan 30-60 menit sebelum makan untuk memaksimalkan pengendalian pH
lambung. Pemberian pada malam sebelum tidur kurang efektif. Terapi PPIs
dimulai dengan dosis sekali sehari, sebelum makan pertama pada hari itu. Bila
dosis sekali sehari kurang memberikan respon perbaikan gejala, waktu pemberian
dosis dapat disesuaikan dan atau dosis PPIs dapat dipertimbangkan untuk
dinaikkan menjadi 2 kali sehari pada pasien yang mengalami gejala pada malam,
mempunyai jadwal yang tidak teratur dan atau mengalami gangguan tidur.
Pengganti ke jenis PPIs yang berbeda juga dapat dipertimbangkan, namun perlu
diingat bahwa bukti penelitian untuk hal ini masih terbatas. Bila pasien tidak
merespon PPIs, H2RAs atau prokinetik dapat dicoba untuk digunakan meskipun

26
penelitian membuktikan bahwa PPIs lebih efektif dibandingkan keduannya. Hal
ini karena ada pasien yang secara individual dapat respon terhadap H2RAs atau
prokinetik

.
b. Prokinetik

Obat-obat prokinetik dalam hal ini metoclopramide, bekerja dengan

meningkatkan kekuatan sfingter esofagus bagian bawah, peristalsis esofagus dan


mempercepat pengosongan lambung. Kajian sistematis yang membandingkan
PPIs dan prokinetik (1 penelitian acak terkontrol, n=423 orang) menunjukkan
superioritas PPIs dalam mencapai remisi gejala heartburn.

27
Gambar . Algoritma Penatalaksanaan GERD

Keterangan :

Review :Pasien GERD kronis perlu di review minimum setahun sekali untuk
mendiskusikan gejala dan obat-obat yang digunakan. Sebagai kecil pasien tetap
mengalami gejala meskipun sudah diterapi dengan PPIs. Pilihan terapinya
menggunakan double dose PPIs, menambahkan H2RAs pada malam hari sebelum
tidur dan memperpanjang durasi pengobatan.

Self care :antasida bila perlu untuk mengurangi gejala dengan cepat,
penatalaksanaan non farmakologi (menurunkan berat badan dsb) menghindari
faktor-faktor yang diketahui memicu terjadinya refluks.

2.3 Diare
2.3.1 Definisi Diare

28
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga
kali sehari atau lebih) dalam satu hari. (Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare Depkes
RI 2011).

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara


berkembang seperti di Indonesia, (Buletin Jendela Data Informasi Kemenkes RI 2011). Di
Kota Bandar Lampung sendiri menurut data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Bandar Lampung tercatat dari 20 Puskesmas yang melaporkan angka kejadian diarenya
ternyata Puskesmas Kota Karang memiliki distribusi kasus diare yang paling tinggi di tahun
2013 yaitu sampai bulan Juli kasus yang tercatat adalah sebesar 1086 kasus. (Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung 2013). Penyebab utama kematian akibat diare adalah
tatalaksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan
kematian akibat diare perlu tatalaksana yang cepat dan tepat. (Buletin Jendela Data
Informasi Kemenkes RI 2011).

2.3.2 Epidemiologi

Lebih dari 2 juta kasus diare akut infeksius di Amerika setiap tahunnya yang
merupakan penyebab kedua dari morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia (Joan B, 2005).

WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan
mortalitas 3-4 juta per tahun. Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar
100 juta episode kejadian diare akut pada orang dewasa per tahun.

2.3.3 Faktor Resiko


1. Faktor anak
Bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang paling banyak menderita
diare, kerentanan kelompok usia ini juga banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
usia anak, pemberian ASI, status gizi dan status imunisasi campak

2. Faktor ibu

29
Peranan orang tua dalam pencegahan dan perawatan anak dengan diare sangatlah
penting. Faktor yang mempengaruhinya yaitu usia ibu, tingkat pendidikan, pengetahuan
ibu mengenai hidup sehat dan pencegahan terhadap penyakit. Rendahnya tingkat
pendidikan ibu dan kurangnya pengetahuan ibu tentang pencegahan diare dan perawatan
diare.
3. Faktor lingkungan
Sebagian besar penularan penyakit diare adalah melalui dubur, kotoran dan mulut,
untuk mengatur kemampuan penularan penyakit selain tergantung jumlah dan kekuatan
penyebab penyakit, juga tergantung dari kemampuan lingkungan untuk menghidupinya
serta mengembangkan kuman penyakit diare, sehingga dapat dikatakan bahwa
penularan penyakit diare merupakan hasil dari hubungan antara faktor jumlah kuman
yang disekresi (penderita atau carrier), kemampuan kuman untuk hidup di lingkungan
dan dosis kuman untuk menimbulkan infeksi. Faktor lingkungan antara lain
ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersedian Mandi Cuci Kakus
(MCK) dan kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.
2.3.4 Etiologi
1. Infeksi (PGI, 2009)
a) Virus:
1. Jenis virus: Rotavirus, Adenovirus, Calicivirus, Norwalk virus,
Astrovirus.
2. Non-inflamasi, invasi mukosa (-), cair, lekosit feses (-)
b) Bakteri:
1. Akibat infeksi bakteri di usus halus (Vibrio cholera, Escherichia coli),
biasanya bersifat non inflamasi, cair, invasi mukosa (-), lekosit feses (-).
2. Akibat infeksi bakteri di kolon (Salmonella sp., Shigella sp.,
Campylobacter jejuni, Yersinia enterocolitica, Enteroinvasive Escherichia
coli/EIEC, Escherichia coli 0157:H7, Staphylococcus aureus, Clostridium
difficile), biasanya terdapat invasi mukosa, bersifat inflamasi, diare berdarah
serta lekosit feses (+)

c) Parasit:

30
1. Akibat infeksi parasit di usus halus (Giardia lamblia, Cryptosporidium),
biasanya bersifat non inflamasi, invasi mukosa (-), cair, lekosit feses (-).
2. Akibat infeksi parasit di kolon (Entamoeba histolytica), biasanya
bersifat inflamasi, invasi mukosa (+), diare berdarah, lekosit feses (+).
2. Non-Infeksi (PGI, 2009)
1. Keracunan makanan (food poisoning) karena toksin dari
Staphylococcus aureus, Baccillus cereus, Clostridium perfringens,
Clostridium botulinum. Dalam keadaan ini biasanya bersifat non
inflamasi, invasi mukosa (-), cair.
2. Obat-obatan dan toksin (magnesium, kafein, teofilin, laksatif, opiat,
laktulosa, kolkisin, metformin, digitalis, iron, metildopa, hidralazin,
sorbitol, kuinidin, fruktosa, manitol, arsen, kadmium, merkuri, jamur).
3. Sindrom usus iritabel (Irritable bowel syndrome).
4. Fase akut penyakit usus inflamasi (Inflammatory bowel disease).
5. Penyakit usus iskemik (Ischemic bowel disease).
6. Alergi makanan.
7. Defisiensi laktosa.
8. Penyebab lainnya (seperti vasoactive intestinal peptide–secreting
tumor/VIPOMA).

2.3.5 Patofisiologi/ Patogenesis


1. Diare Osmotik (PGI, 2009)
a. Diare yang disebabkan karena sejumlah besar bahan makanan yang tidak
dapat diabsorpsi dalam lumen usus sehingga terjadi hiperosmolaritas intra
lumen yang menimbulkan perpindahan cairan dari plasma ke dalam lumen.
b. Terjadi pada malabsorbsi karbohidrat, penggunaan garam magnesium
ataupun bahan yang bersifat laksansia .
c. Dikatakan diare osmotik bila osmotic gap feses > 125 mosmol/kg (normal <
50 mosmol/kg).
d. Berhenti bila pasien puasa.
2. Diare Sekretorik (PGI, 2009)

31
a. Diare yang terjadi bila ada gangguan transpor elektrolit baik absorbsi yang
berkurang maupun sekresi yang meningkat melalui dinding usus. Hal ini
dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri.
b. Biasanya dengan volume banyak, cair, tidak ada pus/darah.
c. Diare sekretorik terjadi misalnya pada kasus kolera (toksin), pengaruh
garam empedu, asam lemak rantai pendek atau penggunaan laksansia non-
osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin, vasoactive intestinal
polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
d. Diare tetap berlangsung walaupun pasien dipuasakan.
3. Diare Eksudatif (PGI, 2009)
a. Diare yang terjadi akibat proses inflamasi/peradangan yang menyebabkan
kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar.
b. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri maupun bersifat
non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, penyakit usus inflamasi
(inflammatory bowel disease) atau akibat radiasi.
c. Oleh karena terjadi kerusakan dinding usus, feses dapat mengandung pus,
darah atau mukus.
d. Pada diare eksudatif terjadi juga peningkatan beban osmotik, hipersekresi
cairan akibat peningkatan prostaglandin dan terjadi hiperperistaltik.
4. Diare Hiperperistaltik / Hypermotility (PGI, 2009)
a. Diare tipe ini terjadi akibat gangguan motilitas yang menyebabkan waktu
transit usus menjadi lebih cepat.
b. Pada usus halus menyebabkan waktu paparan untuk absorpsi berkurang.
c. Tipe ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, penyakit usus iritabel (irritable
bowel syndrome), diabetes melitus, dan paska gastrektomi (dumping
syndrome).
b. Diare dapat terjadi melalui lebih dari satu mekanisme patofisiologi.
Misalnya, pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja
yaitu peningkatan sekresi dan penurunan absorpsi usus.

32
2.3.6 Prognosis
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikroba jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik dengan morbiditas
dan mortalitas minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas terutama
pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalitas berhubungan dengan
diare infeksius < 1,0%. Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2%
yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.
2.3.7 Tanda dan Gejala
Gejala diare dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Gejala umum yang terdiri dari berak cair atau lembek dan sering (gejala khas
diare), Muntah biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut, anak menjadi
cengeng, gelisah, dan demam dapat mendahului atau tidak mendahului gejala
diare, gejala dehidrasi yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis,
bahkan gelisah, nafsu makan berkurang atau tidak ada, berat badan turun, dan
karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama
menjadi makin asam akibat banyaknya asam laktat yang terjadi dari pemecahan
laktosa yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus.
2. Gejala khusus yaitu vibrio cholerae (diare hebat, warna tinja seperti cucian beras
dan berbau amis) dan disentriform dimana tinja berlendir dan berdarah
2.3.8 Diagnosa dan Data Laboratorium

Diagnosis diare berdasarkan gejala klinis yang muncul, riwayat diare


membutuhkan informasi tentang kontak dengan penderita gastroenteritis, frekuensi dan
konsistensi buang air besar dan muntah, intake cairan dan urine output, riwayat
perjalanan, penggunaan antibiotika, dan obat-obatan lain yang bisa menyebabkan diare.

Pemeriksaan fisik pada penderita diare akut untuk menentukan beratnya penyakit
dan derajat dehidrasi yang terjadi. Evaluasi lanjutan berupa tes laboratorium tergantung
lama dan beratnya diare, gejala sistemik, dan adanya darah di feses. Pemeriksaan feses
rutin untuk menemukan leukosit pada feses yang berguna untuk mendukung diagnosis
diare, jika hasil tes negatif, kultur feses tidak diperlukan (Sudarti,2010)

2.3.9 Penatalaksanaan Terapi

33
Menurut Tjay dan Rahardja (2002) Penatalaksanaan terapi dibagi menjadi 2 yaitu
terapi farmakologi dan non farmakologi, tujuan dari terapi ini adalah mencegah
terjadinya dehidrasi, pengaturan jumlah elektrolit dan mengurangi frekuensi buang air
besar.
2.3.9.1 Terapi Non Farmakologi
1. Terapi cairan elektrolit
Berupa terapi rehidrasi oral diberikan karena pasien banyak mengeluarkan
cairan. Terapi rehidrasi oral yang digunakan adalah larutan gula-garam yang
dikenal dengan nama oralit. Cairan rehidrasi mengandung Nacl 3,4 gram; glukosa
20 gram; NaHCO 2,5 gram dan KCl 3,5 gram. Pemberian cairan gula-garam secara
oral mampu mengganti cairan yang hilang tetapi tidak menyerap toksin penyebab
diare dan tidak dapat mengurangi frekuensi buang air besar
2. Pengaturan makanan
Disarankan kepada pasien dengan diare osmotik untuk menghindari makanan
berlemak. Pasien dengan diare sekretori disarankan untuk makan dan minuman
yang mengandung kafein karena kafein dapat meningkatkan cAMP yang dapat
menimbulkan jumlah cairan sekresi dan dapat memperparah diare.

3. Pencegahan
Seperti cuci tangan sebelum makan dapat membantu menghindari infeksi
bakteri/kuman masuk ke dalam gastrointestinal. Menjaga makanan tetap terjaga
sanitasi untuk menghindari kuman yang mungkin muncul.

2.3.9.2 Terapi Farmakologi


1. Pemberian Loperamid
Loperamid sangat popular, efektif dan merupakan obat antidiare yang aman
untuk meringankan gejala diare akut dan diare spesifik. Obat yang termasuk
antimotilitas ini dapat digunakan pada pasien yang mengalami diare akibat
gangguan motilitas

2. Pemberian Adsorben

34
Adsorben gastrointestinal contohnya yaitu attapulgite, kaolin, pectin telah
digunakan untuk penatalaksanaan diare akut non spesifik yang ringan. Penggunaan
yang rasional dari obat tersebut pada diare akut non spesifik didasarkan pada
kemampuannya mengadsorpsi beberapa toksin bakteri yang menyebabkan kondisi
tersebut.
3. Polycarbophil
Polikarbofil adalah serbuk kering laksatif yang telah digunakan untuk
mengatasi diare.
2.4 Konstipasi
2.4.1 Definisi Konstipasi

Menurut Practice Guideline untuk penatalaksanaan konstipasi pada orang


dewasa, konstipasi adalah pengeluaran sejumlah kecil feses yang keras dan kering kurang
dari tiga kali dalam seminggu atau perubahan signifikan kebiasaan buang air besar
seseorang, yang diikuti mengejan, dan perasaan begah, atau perut terasa penuh. Gejala
yang menetap selama 3 bulan atau lebih disebut konstipasi kronik (Folden, 2002).

2.4.2 Epidemiologi
Epidemiologi konstipasi menunjukkan pola yang sama dengan beberapa poin
penting. Prevalensi konstipasi berkisar antara 3% hingga 27% dengan rata-rata sekitar
15%, hasil yang beragam didapatkan dari perbedaan definisi kasus konstipasi. Konstipasi
meningkat secara progresif seiring bertambahnya usia, terutama pada usia 65 tahun ke
atas. Perempuan dua kali lebih rentan terkena konstipasi dibandingkan laki-laki dan lebih
jarang terkena pada orang kulit putih, meskipun demikian distribusi menurut ras kurang
konsisten dibandingkan distribusi menurut usia atau jenis kelamin. Konstipasi juga lebih
umum terjadi pada individu dengan status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang
rendah, penduduk di daerah pedesaan, dan di daerah dengan suhu yang lebih dingin
seperti pegunungan (Johanson, 2006)
Konstipasi merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang paling sering di
Amerika Serikat (Basson, 2017), yaitu berkisar antara 2-15% (Kliegman, 2007).
Penelitian di Amerika Utara melaporkan bahwa estimasi penderita konstipasi yaitu
sebanyak 1,9%-27,2% dimana rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 2.2:1 (Higgins

35
& Johanson, 2004). Berdasarkan survei yang dilakukan, prevalensi konstipasi di Asia
(direpresentasikan oleh Korea, Cina, dan Indonesia) diperkirakan sebanyak 15-23% pada
perempuan dan 11% pada laki-laki. Sebagai perbandingan dengan survei yang sama,
ditemukan prevalensi yang lebih rendah di Jerman, Italia, dan United Kingdom yaitu
sebesar 7-11% pada perempuan dan <5% pada laki-laki (Gwee, 2013). Di Indonesia
sendiri terdapat sebanyak 3.857.327 jiwa yang mengalami konstipasi sesuai data
Internasional Amerika Serikat Bureau pada tahun 2003 (Sari, 2016)
2.4.3 Faktor Resiko

Beberapa faktor yang bisa menyebabkan seseorang mengalami konstipasi, antara


lain:
a. Jenis kelamin. Konstipasi lebih sering dialami oleh perempuan daripada pria,
terutama pada masa sebelum menstruasi dan masa kehamilan.
b. Usia. Konstipasi juga lebih sering dialami oleh lansia.
c. Makan makanan yang rendah serat.
d. Jarang atau tidak berolahraga sama sekali.
e. Minum obat-obatan tertentu, termasuk obat penenang, atau obat untuk tekanan darah
tinggi.
f. Memiliki kondisi kesehatan mental, seperti depresi.
2.4.4 Etiologi

Etiologi dari konstipasi menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) yaitu sebagai
berikut:

1) Fisiologis

a) Penurunan motilitas gastrointestinal

b) Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi

c) Ketidakcukupan asupan serat

d) Ketidakcukupan diet

e) Ketidakcukupan asupan cairan

f) Aganglionic (misalnya penyakit Hisprung)

36
g) Kelemahan otot abdomen

2) Psikologis

a) Konfusi

b) Depresi

c) Gangguan emosional

3) Situasional

a) Perubahan kebiasaan makan (misalnya, jenis makanan, jadwal makanan)

b) Ketidakadekuatan toileting

c) Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan

d) Penyalahgunaan laksatif

e) Efek agen farmakologis

f) Ketidakaturan kebiasaan defekasi

g) Kebiasaan menahan dorongan defekasi

h) Perubahan lingkungan

2.4.5 Patofisiologi / Patogenesis


Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini berhubungan
dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon yaitu: transport mukosa (sekresi
mukosa memudahkan gerakan isi kolon), aktivitas bioelektrik (pencampuran massa
rektal) atau proses defekasi. Dorongan defekasi secara normal dirangsang oleh distensi
rektal melalui empat tahap: rangsangan reflek penyekat rectoanal, relaksasi otot sfingter
internal, relaksasi sfingter eksternal dan otot dalam regio servik. Gangguan salah satu dari
empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi (Smeltzer & bare, 2008)

37
2.4.6 Prognosis
Prognosis konstipasi kebanyakan pasien aktif melakukannya dengan baik
dengan manajemen medis dan manajemen diet yang tepat. Kekambuhan tergantung pada
kepatuhan jangka panjang pasien dengan terapi.
Sebagian kecil pasien cukup lemah sebagai akibat dari sembelit. Beberapa pasien 
dengan fungsional sembelit (primer atau idiopatik) (yaitu, kolon inersia) membutuhkan
kolektomi total abdominal dengan anastomosis ileorectal.
Setelah pemeriksaan pra operasi hati yang meliputi penilaian fisik dan psikologis,
pasien dengan obstruksi umumnya merespon dengan baik untuk koreksi bedah dan
memiliki prognosis yang baik.
Diskinesia lantai otot panggul dan mekanisme sfingter dapat dikelola melalui
terapi biofeedback, tetapi hasilnya dicampur.
Pasien yang kronis bergantung pada peningkatan dosis obat pencahar diri
diresepkan mungkin adalah pasien yang paling sulit untuk mengobati. Kebanyakan
pasien tersebut dapat diobati dengan kombinasi serat, air, dan agen osmotik (misalnya,
polietilena glikol, sorbitol). namun, kebutuhan untuk meningkatkan dosis obat pencahar
dan penggunaan intermiten agen lainnya menjadi bermasalah.
Dalam situasi langka di mana pasien yang hampir refrakter terhadap obat
pencahar, jumlah kolostomi abdomen dapat dilakukan setelah pemeriksaan hati-hati.
Pasca operasi, pasien ini sering mengalami kualitas sangat meningkat hidup. Sebuah
evaluasi pra operasi hati-hati dan rinci informasi diskusi persetujuan yang diperlukan

2.4.7 Tanda dan Gejala Konstipasi


a. Frekuensi buang air besar kurang dari tiga kali dalam satu minggu
b. Feses yang keras
c. Mengejan saat buang air besar
d. Merasa adanya hambatan di rektum yang mempersulit buang air besar
e. Merasa tidak dapat mengosongkan kotoran dari rektum

38
f. Membutuhkan bantuan untuk mengosongkan rektum, seperti menggunakan tangan
untuk menekan abdomen atau menggunakan jari untuk mengeluarkan feses dari
rektum

2.4.8 Diagnosa dan Data Laboratorium


1) Anamnesis
Anamnesis harus menggali informasi mengenai karakteristik konstipasi, seperti
frekuensi dan konsistensi feses, apakah harus mengejan, sensasi buang air besar yang
tidak selesai, nyeri, perdarahan, atau prolapse.
Faktor risiko untuk konstipasi primer dan sekunder perlu ditanyakan pada
anamnesis yaitu umur (< 4 tahun, > 65 tahun), makanan rendah serat, jenis
kelaminperempuan, aktivitas fisik yang kurang, riwayat konstipasi ketika masa kanak-
kanak, kelainan endokrin dan penyakit neuromuskular, depresi atau kecemasan, riwayat
kanker dari keluarga, dan riwayat bedah pelvis.
Obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi kronik, terutama pada orang tua
atau pasien yang tidak dapat bergerak, diperlukan peninjauan ulang atau jika
memungkinkan dilakukan penyesuaian obat sebelum diberikan obat pencahar apabila
tidak terdapat tanda bahaya (Orenstein, 2008).
Menurut ROME III, kriteria diagnostik konstipasi fungsional adalah:
1. Harus mengalami dua atau lebih gejala berikut:
a. Mengejan pada setidaknya >25% defekasi
b. Feses kental atau keras setidaknya >25% defekasi
c. Sensasi evakuasi yang inkomplit pada setidaknya >25% defekasi
d. Sensasi obstruksi atau penyumbatan anorektal pada setidaknya >25%
defekasi
e. Manuver manual untuk memfasilitasi >25% defekasi (misalnya evakuasi
digital atau topangan pada lantai pelvis)
f. Frekuensi defekasi kurang dari tiga kali dalam satu minggu.
2. Feses yang encer atau berair jarang ada tanpa penggunaan laksatif.
3. Kriteria tidak cukup untuk diagnosis irritable bowel syndrome.

39
Dimana kriteria diagnostik ini harus terpenuhi dalam tiga bulan terakhir dengan
awitan gejala setidaknya sejak 6 bulan sebelumnya (ROME III, 2006). Adapun tanda
bahaya dari konstipasi adalah penurunan berat badan, feses berdarah (hematochezia),
perubahan kebiasaan kolon, dan gejala yang sulit diatasi dengan obat-obatan dapat
menunjukkan kanker kolon (Orenstein, 2008).
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik konstipasi harus selalu dilakukan inspeksi daerah perianal
untuk membuktikan ada tidaknya hemoroid atau fisura. Pemerksaan digital rektum
dapat menunjukkan ada tidaknya kelainan pada kontraksi sfingter atau kontraksi otot
puborektalis yang diikuti dengan manuver valsava (Orenstein, 2008).
3) Pemeriksaan Laboratorium
Jika pada anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan penyebab konstipasi
adalah penyebab sekunder, atau pada pasien berusia 50 tahun atau lebih, maka perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah lengkap, tingkat
elektrolit serum, kadar gula darah, dan fungsi tiroid. Pemeriksaan ini dapat membantu
menyingkirkan penyebab metabolik, endokrin, atau organik lainnya (Orenstein, 2008).

2.4.9 Penatalaksanaan Terapi


Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi,
merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila
mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat
pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus
dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:

2.4.9.1 Terapi Non Farmakologi

1. Latihan usus besar: melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku
yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita
dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan

40
usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat
menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan merangsang untuk BAB, dan
tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2. Diet: peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan
usia lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal
lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat
feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaat serat ini,
diharapkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi
untuk asupan cairan.
3. Olahraga: cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan
kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memperkuat otot-otot
dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut

2.4.9.2 Terapi Farmakologi

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
1. memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl cellulose,
Psyllium.
2. melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak
kastor, golongan docusate.
3. golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4. merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa
dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya: Bisakodil, Fenolftalein.

41
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan saluran cerna (Gerd dan Tukak lambung) konstipasi dan diare bisa dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti penderita yang tidak membiasakan pola hidup bersih dan sehat,
pola makan yang tidak teratur. Diagnosa, pengobatan, pencegahan, terapi pada penyakit
gangguan saluran cerna tergantung pada jenis penyakit yang diderita
3.2 Saran
Untuk menghindari penyakit gangguan saluran konstipasi dan diare sebaiknya kita menjaga
dan membiasakan diri untuk hidup bersih dan sehat, minum air putih yang banyak,
memakan makanan yang sehat untuk tubuh dan yang mengandung serat, serta makan
dengan pola makan yang teratur.

42

Anda mungkin juga menyukai