Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH FARMASI INDUSTRI

“ 7 STAR PHARMACIST ++ ”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK V

Ayu Pratama 184302005

Haryu Maida 184302010

Lena Melia 184302015

Safriyanti 184302025

Nurlela Harahap 184302020

Yusmaidar 184302030

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS TJUT NAK DIEN
2018
MEDAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Farmasi ( bidang kefarmasian) adalah suatu profesi yang concerns, commits, dan
competents tentang obat. Dari definisi tersebut muncul istilah profesi, yaitu suatu pekerjaan
(occupation) yang menunjukkan karakter specialised know ledge dan diperoleh melalui
academic preparation. (Wertheimer dan Smith, 1989) Gambaran umum tentang hal itu, di
Universitas Gadjah Mada diselenggarakan 65 program studi yang berarti ada 65 bidang
pekerjaan (okupasi) tersedia di lapangan, namun di Indonesia, baru ada 7 buah profesi yang
diakui, dari sekitar 15 buah secara internasional, yaitu profesi-profesi dokter, dokter gigi,
dokter hewan, farmasis (apoteker), akuntan, notaris, dan psikolog. Dengan demikian, Farmasi
bersifat karakteristik dan dihasilkan oleh perguruan tinggi karakteristik pula.
Pengertian profesi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu (Wertheimer dan Smith, 1989):
1. Statutory Profession
Berdasarkan legislative act, profesi yang didasarkan atas undang-undang.
2. Learned Profession
Merupakan out-put suatu pendidikan tinggi dengan proses belajar-mengajar yang
membutuhkan waktu relatif panjang, berkesinambungan, dan karakteristik, dengan
bercirikan:
Unusual learning, yaitu di didik dan menerima pengetahuan yang khas, sehingga tidak
diperoleh di tempat lain atau dianggap “aneh” oleh bidang yang berbeda. Fakultas Farmasi
mengajarkan antara lain physical pharmacy, medicinal chemistry, pharmacognosy,
pharmaceutical chemistry, pharmaceutical technology, phytochemistry, pharmacokinetics and
biopharmaceutics, dan clinical pharmacy, yang kesemuanya bersifat khas dan tidak umum.
Hal ini merupakan salah satu bukti kuat bahwa Farmasi adalah suatu profesi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profesi

Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu
menegakkan diri dan diterima oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki ketrampilan
dan pengetahuan khusus dalam tubuh pembelajaran secara luas yang diakui berasal dari
penelitian, pendidikan, dan pelatihan pada jenjang pendidikan tinggi, dan siap untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilan ini untuk kepentingan orang lain ( Kelly, 2002).

Menurut Wiradharma (2001) profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi


pendidikan keahlian (ketrampilan, kejujuran, dsb) tertentu, jadi profesi bukanlah pekerjaan
atau mata pencaharian biasa, tetapi pekerjaan yang berdasarkan keahlian. Dalam praktek
sehari-hari pengamalan profesi itu akan memelihara harkat, martabat dan kehormatan profesi,
serta yang terpenting adalah memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan
masyarakat luas. Setiap profesi harus disertifikasi secara formal oleh suatu lembaga
keprofesian untuk tujuan diakuinya keahlian pekerjaan keprofesiannya. Kegiatan keprofesian
merupakan implikasi dari kompetensi, otoritas, teknikal, dan moral profesi sehingga seorang
profesional memiliki posisi hirarkial dalam masyarakat. Profesi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas.
2. Pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi .
3. Memberi pelayanan pada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian.
4. Memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom.
5. Memberlakukan kode etik keprofesian.
6. Memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan.
7. Proses pembelajaran seumur hidup.
8. Mendapat jasa profesi. (ISFI, 2004)

Peran tradisional apoteker adalah untuk memproduksi dan memasok obat-obatan. Baru-
baru ini, apoteker telah dihadapkan dengan tuntutan peningkatan kesehatan. Perkembangan
yang cepat dan komplek berbagai obat-obatan,dan ketidakpatuhan pasien terhadap pemakaian
obat yang telah diresepkan, memaksa evolusi peran apoteker lebih berpusat pada pendekatan
pasien (asuhan kefarmasian).

Untuk menjadi anggota tim pelayanan kesehatan yang efektif, apoteker membutuhkan
keterampilan dan sikap yang memungkinkan mereka untuk menjalankan fungsi yang
berbeda. Peran apoteker disimpulkan melalui konsep yang disusun oleh WHO dan FIP
(International Pharmaceutical Federation) yang disebut “Seven-Star Pharmacist” di mana
seorang apoteker digambarkan sebagai caregiver, communicator, decision-maker, teacher,
lifelong learner, leader dan manager. Konsep tersebut dijelaskan dalam Handbook on
Developing pharmacy practice - A focus on patient care edisi pertama.Untuk tujuan buku
pedoman ini, fungsi researcher telah ditambahkan.

1. Care-Giver ( pemberi pelayanan )


Seorang Farmasi/apoteker merupakan profesional kesehatan yg peduli, dalam wujud
nyata memberi pelayanan kefarmasian kepada pasien dan masyarakat luas, berinteraksi
secara langsung, meliputi pelayanan klinik, analitik, tehnik, sesuai dengan peraturan yang
berlaku (PP No 51 tahun 2009), misalnya peracikan obat, memberi PIO (Pelayanan Informasi
Obat), konseling, konsultasi, screening resep, monitoring, visite, dan banyak tugas
kefarmasian lainnya.

2. Decision-Maker ( pembuat keputusan )


Seorang farmasi/apoteker merupakan seorang yang mampu menetapkan/ menentukan
keputusan terkait pekerjaan kefarmasian, misalnya memutuskan dispensing, penggantian
jenis sediaan, penyesuaian dosis, pengantian obat jika ditemukan bahaya yg signifikan, serta
keputusan2 lainnya yg bertujuan agar pengobatan lebih aman, efektif dan rasional.

3. Communicator ( komunikasi )
Seorang farmasi/apoteker harus mampu menjadi komunikator yang baik, sehingga
pelayanan kefarmasian dan interaksi kepada pasien, masyarakat, dan tenaga kesehatan
berjalan dengan baik, misalnya menjadi komunikator yang baik dalam PIO (Pelayanan
Informasi Obat), Penyuluhan, konseling dan konsultasi obat kepada pasien, melakukan visite
ke bangsal/ruang perawatan pasien, Pengajar, Narasumber, dan sebagainya.

4. Manager ( manajer )
Seorang farmasi/apoteker merupakan seorang manajer dalam aspek kefarmasian non
klinis, kemampuan ini harus ditunjang kemampuan manajemen yang baik, contoh sebagai
Farmasis manajer (APA) di apotek , Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit, harus mampu
mengelola perbekalan farmasi dan mengelola karyawan agar dapat melayani dg optimal dan
produktif dalam hal kinerja & profit. contoh lainnya sebagai Pedagang Besar Farmasi/PBF),
manager Quality Control (QC), Quality Assurance (QA),Manajer Produksi, dan lain lain.

5. Leader ( pemimpin )
Seorang farmasi/apoteker harus mampu menjadi seorang pemimpin, mempunyai visi
dan misi yang jelas, dan dapat mengambil kebijakan yg tepat untuk memajukan
institusi/perusahaan/lembaga yang dipimpin, misalnya sebagai Rektor, Dekan, Direktur
Rumah Sakit, Direktur Utama di industri farmasi, Direktur marketing, Direktur bagian
produksi dan sebagainya.

6. Life Long Learner (pembelajaran jangka panjang)


Seorang pharmacist harus memiliki semangat belajar sepanjang waktu, karena
informasi farmasi (obat, terapidan penyakit) terus berkembang pesat setiap hari.
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
Penemuan penemuan obat baru atau pun penemuan penemuan teknologi kefarmasian
terus berkembang bila seorang pharmacist tidak memiliki semangat belajar sepanjang waktu
maka yang terjadi adalah kemerosotan ilmu pengetahuan untuk apoteker itu sendiri. Hal ini
tentunya akan sangat merugikan baik itu untuk pasien mau pun pharmacist tersebut.
7. Teacher ( guru )
Seorang farmasi/apoteker dituntut dapat menjadi pendidik/akademisi/edukator bagi
pasien, masyarakat, maupun tenaga kesehatan lainnya terkait ilmu farmasi dan kesehatan,
baik menjadi guru, dosen, ataupun sebagai seorang farmasis/apoteker yg menyampaikan
informasi kepada pasien masyarakat dan tenaga kesehatan lain yang membutuhkan informasi.

8. Research ( penelitian )
Seorang farmasi/apoteker merupakan seorang peneliti terutama dalam penemuan dan
pengembangan obat-obatan yang lebih baik. disamping itu farmasi juga dapat meneliti aspek
lainnya misal data konsumsi obat, kerasionalan obat, pengembangan formula, penemuan
sediaan baru (obat, alat kesehatan, dan kosmetik).
9. Entrepreneur ( pengusaha )
Seorang farmasi/apoteker diharapkan terjun menjadi wirausaha dalam mengembangkan
kemandirian serta membantu mensejahterakan masyarakat. misalnya dengan mendirikan
perusahaan obat, kosmetik, makanan, minuman, alat kesehatan, baik skala kecil maupun
skala besar, mendirikan apotek, serta bisnis tanaman obat dan lai lainnya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. bahwa farmasis secara profesional berpeluang besar (seharusnya) berpartisipasi aktif
dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit dengan jalan memberikan informasi yang
akurat dalam therapi tentang kemungkinan interaksi antar obat, efek samping,
penetapan dosis, dan penggunaan obat yang rasional. Sementara itu kepada pasien dan
keluarganya dapat diberikan informasi rinci dibatasi kode etik tentang obat agar
dicapai kepatuhan yang tinggi, sehingga tujuan pengobatan tercapai.
2. Farmasis dapat berperan lebih luas dan aktif di masyarakat dengan cara penyuluhan
penggunaan dan pemilihan obat yang rasional serta profesional sehingga program
pengobatan sendiri (self medication) dapat mencapai sasaran dengan efektif dan
efisien.
3. pengembangan profesionalitas farmasis di apotek lewat peningkatan dispensing
interaction (communication) time sehingga pasien dan keluarganya mendapat
informasi rinci tentang obatnya, dengan demikian, tujuan therapi tercapai karena
kepatuhan pasien optimal.
4. peningkatan penelitian tidak saja tentang obat, namun juga kosmetik, obat tradisional,
makanan, dan minuman.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1990, The Role of the Pharmacist in Health Care System, WHO Consultative
Group.
Anonim, 1993, Pharmaceutical Studies around the World, International Pharmaceutical
Students Federation, Den Haag, 6 - 89.
Anonim, 1994, Good Pharmacy Practice: in Community and Hospital Pharmacy Setting,
WHO/Pharm./DAP 96.1
Anonim. 2011. seven star pharmacist plus . http : // farmaciqt. wordpress . com /2011/ 03/ 18/
seven. stars- pharmacist- plus/. 9 Oktober 2016.
Moko. 2009.seven star pharmacist. https : // moko31. wordpress.com /2009/11/22/seven-star-
pharmacist/.9 Oktober 2016.
ISFI, 2004, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
Jakarta
Kelly, G. J., & Takao, A. (2002). Epistemic levels in argumen: An analysis of university
oceanography students’ use of evidence in writing. Science Education, 86, 314-342.
Wiradharma, D., 2001. Etika Profesi Medis. Cetakan kedua. Penerbit Universitas Trisakti,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai