Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Azkiy Syifa’ Istighfarin

NIM : 40122009
Prodi : Profesi Apoteker (Kelas A)

Bagaimana Posisi Seorang Apoteker dalam Praktik Pengobatan


Tradisional ?
Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat (BPOM, 2021). Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Tahun 2009 tentang pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau
perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun
temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Undang-undang RI, 2009).
Kepala pemastian mutu obat tradisional hendaklah seorang apoteker yang terdaftar,
terkualifikasi dan berfungsi sebagai Apoteker Penanggung Jawab. Tugas Kepala Pemastian
Mutu dijelaskan dalam persyaratan sebagai berikut:
a) memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) sistem mutu;
b) ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan manual mutu perusahaan;
c) memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala;
d) melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu;
e) memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap
pemasok);
f) memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi;
g) memastikan pemenuhan persyaratan teknis dan/atau peraturan Badan Pengawas
Obat dan Makanan yang berkaitan dengan mutu produk jadi;
NAMA : Azkiy Syifa’ Istighfarin
NIM : 40122009
Prodi : Profesi Apoteker (Kelas A)

h) mengevaluasi/mengkaji catatan bets;


i) meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan mempertimbangkan
semua faktor terkait;
j) memastikan bahwa setiap bets obat tradisional telah diproduksi dan diperiksa sesuai
persyaratan Izin Edar, dan dalam produk yang diekspor sesuai dengan peraturan
yang berlaku di negara tersebut; serta
k) tanggung jawab Kepala Pemastian Mutu dapat didelegasikan, tetapi hanya kepada
personel yang berwenang
Apoteker Pnanggung Jawab yang bertanggung jawab meluluskan produk akhir bersama
dengan Pemilik Izin Edar memastikan bahwa pengkajian mutu dilakukan dalam waktu yang
sesuai dan benar. Manajemen Puncak hendaklah menunjuk Personel Kunci termasuk Kepala
Pemastian Mutu, Kepala Produksi, dan Kepala Pengawasan Mutu. Posisi Kepala Pemastian
Mutu tersebut hendaklah dijabat oleh seorang Apoteker purnawaktu (penuh waktu).
Pemastian mutu merupakan Seluruh pengaturan terorganisasi yang dibuat dengan tujuan
untuk memastikan bahwa semua BAOT memenuhi persyaratan mutu yang diperlukan untuk
tujuan penggunaannya dan sistem mutu tersebut dipelihara.
Kepala bagian pemastian mutu pemberi kontrak hendaklah: Bertanggung jawab untuk
mengkaji dan menilai semua catatan dan hasil terkait kegiatan alih daya; dan Memastikan,
baik sendiri maupun berdasarkan konfirmasi dari Kepala Bagian Pemastian Mutu Penerima
Kontrak, bahwa semua produk dan bahan yang dikirim oleh Penerima Kontrak telah diproses
sesuai CPOTB dan Izin Edar.
Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat
dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang. Masyarakat
diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan
menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat
dan keamanannya.
Peran dan tanggung jawab apoteker dalam pembuatan obat tradisional meliputi proses
Pembuatan/ penyediaan simplisia dan penyimpanan, Pelayanan Resep mencakup skrining
Resep, Penyiapan obat, Peracikan, pemberian Etiket, pemberian Kemasan Obat, Penyerahan
Obat, dan Informasi Obat, Konseling. Monitoring Penggunaan Obat. Promosi dan Edukasi,
penyuluhan Pelayanan Residensial (Home Care), serta Pencatatan dan pelaporannya. Peran
dan tanggung awab apoteker dalam upaya penyelenggaraan praktik kefarmasian tersebut
dalam rangka promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif baik bagi perorangan, kelompok
NAMA : Azkiy Syifa’ Istighfarin
NIM : 40122009
Prodi : Profesi Apoteker (Kelas A)

dan atau masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma pelayanan kefarmasian yang sekarang
berkembang yaitu pelayanan kefarmasian yang berazaskan pada konsep Pharmaceutical Care,
yaitu bergesernya orientasi seorang apoteker dari product atau drug oriented menjadi patient
oriented. Konsep pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang
dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat termasuk
obat tradisional yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat
termasuk obat tradisional.
Dengan peran dan tanggung jawab di atas maka seorang apoteker harus
memiliki kompetensi dalam praktik kefarmasian yang diperoleh dari pendidikan formal,
memiliki pengetahuan secara mendalam tentang jamu, memiliki pengetahuan dan
keterampilan mengelola jamu serta memiliki tanggung-gugat profesi apoteker pada
masyarakat khususnya pemanfaatan jamu. Oleh karena itu untuk menjadi seorang apoteker
yang melayani pengobatan tradisional khususnya saintifi kasi jamu diperlukan suatu
tambahan pengetahuan meliputi Pengenalan tanaman obat, Formula jamu yang terstandar,
Pengelolaan jamu di apotek (pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan, penyimpanan dan
pengamanan jamu), Fitoterapi, Adverse reaction, Toksikologi, Dosis dan monitoring evalusi
bahan aktif jamu, MESOT (Monitoring efek samping OT), Manajemen pencatatan dan
pelaporan, Post market surveilance, serta Komunikasi dan konseling.
Dikutip dari Kajian Hukum Peran apoteker dalam Saintifikasi Jamu yang ditulis oleh
Suharmiati dkk (2012). Peran apoteker terkait peraturan perundang-undangan saitifikasi jamu
menyebutkan tujuan pengaturan saintifikasi jamu yang menyebutkan mendorong
terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti
dalam rangka dst. .... perlu ditambah kata apoteker sebelum tenaga kesehatan lainnya”.
Mengingat saintifi kasi jamu adalah suatu penelitian, maka validitasnya perlu
dipertanyakan. Artinya kualitas/mutu sampel yang diuji harus benar. Selama ini yang
kompeten dengan obat-obat tradisional adalah apoteker, sehingga tenaga yang ada di klinik
A adalah seorang apoteker, sehingga nantinya jika menjadi suatu bentuk pelayanan obat
tradisional maka seorang dokter hanya mendiagnosis dan menulis resep, sedangkan untuk
meracik, sampai dengan menyerahkan obat tradisional adalah wewenang seorang apoteker.
Jika berbicara tentang obat tradisional seorang apoteker pasti terlibat dari hulu hingga
hilir, mulai menghasilkan produk sampai ke pelayanan. Tetapi di dalam regulasi tersebut
peran apoteker tidak disinggung sama sekali”.
“Di salah satu pasal disebutkan tentang STRA untuk apoteker,
NAMA : Azkiy Syifa’ Istighfarin
NIM : 40122009
Prodi : Profesi Apoteker (Kelas A)

tetapi di depan tidak ada pernyataan apoteker sama sekali tetapi hanya tersirat dengan
tenaga kesehatan lainnya. Diusulkan untuk kepastian hukum harus tersurat apoteker. Karena
kalau tidak, peraturan yang sudah jelas saja kita berat melaksanakan, apalagi samar-samar,
bisa jadi malah tidak peduli dan bahkan justru menggagalkan pemerintah untuk mengangkat
jamu”.
Selanjutnya mengenai pemisahan antara klinik jamu dengan apotek/instalasi jamu.
klinik jamu hanya mendiagnosis penyakit dan menulis R/ sampai dengan pasca pengobatan
(post market surveillance). “Klinik jamu antara lain memiliki ruang apotek jamu, padahal di
dasar hukum yang lain atau UU yang lain apotek mempunyai defi nisi tersendiri. Di dalam
UU tersebut disebutkan bahwa apotek adalah tempat dilakukan pengabdian profesi
apoteker, tetapi dengan tambahan jamu secara legal harus ada penjelasan tentang apotek
jamu itu apa. Sementara itu jika disebut apotek, harus terintegrasi bukan hanya ruang
apotek, tetapi apotek itu sendiri juga ada persyaratan ruang tunggu, ruang peracikan, ruang
untuk konsultasi, hal ini akan mengecilkan makna apotek itu sendiri yang penanggung
jawabnya seorang apoteker”.“ Konsep yang ada di sini adalah konsep kolaborasi, jadi
kalau pimpinan klinik itu dokter tidak masalah sebenarnya, tetapi permasalahannya apakah
konsep kolaborasi ini dimasukkan karena apoteker adalah profesi. Jika di RS atau klinik
secara umum, penanggung jawabnya seorang dokter, maka sebagai penanggung jawab
instalasi farmasi seorang apoteker. Jadi di klinik jamu jika penanggung jawabnya seorang
dokter maka penanggung jawab instalasi jamunya seorang apoteker”.
Peran tenaga apoteker dilibatkan dalam saintifikasi jamu. “Sesuai dengan defi nisi
Saintifi kasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan
kesehatan. Jadi intinya adalah evidence base yang berdasarkan pelayanan jamu itu sendiri.
Dan ketika berbicara tentang jamu, apoteker pasti terlibat. Jadi bagaimana bisa
menghasilkan jamu yang baik, kemudian mendistribusikan jamu tersebut dengan baik, dan
terakhir adalah pelayanan ke pasien, jadi di Saintifikasi jamu apoteker harus terlibat”.
“Klinik A klasifi kasinya lebih tinggi dibanding dengan Klinik B,
tetapi tenaga kesehatan selain dokter atau dokter gigi dicantumkan asisten apoteker.
Padahal jika kualifi kasinya tinggi seharusnya BA (Bioavailability), BE (Bioequivalency)
kemudian ada preparasi, adanya interaksi, efek samping di mana pengetahuan tersebut
kurang dimiliki atau tidak diterima di kurikulum asisten apoteker”.
“Jika berbicara tentang obat tradisional seorang apoteker
pasti terlibat dari hulu hingga hilir, mulai menghasilkan produk sampai ke pelayanan. Tetapi
NAMA : Azkiy Syifa’ Istighfarin
NIM : 40122009
Prodi : Profesi Apoteker (Kelas A)

di dalam regulasi tersebut peran apoteker tidak disinggung sama sekali. Penelitian ini
diusulkan ke Komnas Saintifi kasi Jamu supaya parallel. Jadi di Klinik A, asisten apoteker
diganti dengan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Demikian juga di Klinik B,
ditambah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Menurut PP No. 51 tahun 2009
disebutkan bahwa semua klinik, atau BP harus ada apoteker, sehingga harus memperhatikan
aturan tersebut meskipun saintifi kasi jamu ini untuk penelitian”.
Farmasis memiliki kapasitas yang tinggi dalam upaya mengoptimalisasikan
pengembangan dan pemanfaatan obat herbal Indonesia. Farmasis/Apoteker memiliki peran
yang sangat strategis dalam upaya-upaya kemandirian obat nasional, yang berbasis
biodiversitas yang sangat banyak sumber daya alamnya tumbuh di Indonesia. "Dalam draft
RUU yang diusulkan oleh MFI, Pelayanan Farmakoterapi dengan Obat herbal Indonesia
merupakkan salah satu bentuk dan jenis Praktik Mandiri dari Apoteker Indonesia.
Pelayanannya bersifat komprehensif, mulai dari pemilihan bahan sesuai keahlian Apoteker,
peracikan, pengemasan, konsultasi, pendampingan selama proses terapi dan dokumentasi.
RUU dari MFI sudah memasukkan Jamu/obat tradisional, dan uraiannya sudah sangat jelas.
Peran apoteker untuk mendukung pengembangan obat herbal indonesia dengan
menggunakannya sebagai pilihan terapi oleh apoteker, ini yang diinisiasi oleh RUU Farmasi
& Praktek Keapotekeran. Kondisi di Indonesia, pada umumnya narasi yang dikembangkan
adalah apoteker ikut mengembangkan obat tradisional dengan membanggakan banyaknya
penelitian tentang obat tradisional di kampus-kampus. Padahal penelitian-penelitian tersebut
tatarannya masih pra klinis, bahkan invitro yang sangat jauh dari EBM yang dibutuhkan
sejawat medis dalam penggunaannya.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa regulasi dan peran apoteker
dalam praktik pengobatan tradisional dapat dibilang masih abu-abu atau belum terlalu jelas
hak dan wewenangnya. Serta dapat kita lihat bersama yang banyak beredar dimasyarakat
sebagai praktik pengobatan tradisional justru dipegang oleh tenaga kesehatan lain maupun
bukan tenaga kesehatan. Maka dari itu, dibutuhkannya kerjasama antara profesi dengan
pemerintahan untuk memperjelas dan mempertegas hukum praktik pengobatan tradisional
karena mengingat sumber daya di Indonesia yang sangat potensial.

Anda mungkin juga menyukai