Anda di halaman 1dari 10

PELUANG DAN TANTANGAN APOTEKER DALAM

IMPLEMENTASI PP 51 TAHUN 2009


A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian terus berkembang, tidak lagi terbatas hanya pada
penyiapan obat dan penyerahan obat pada pasien, tetapi perlu adanya interaksiantara
tenaga kefarmasian dengan pasien dan dengan profesional kesehatan lainnya.
Apoteker bekerja dalam rangkaian variasi yang lebar, dalam bentuk farmasi
komunitas (retail dan pelayanan kesehatan),farmasi rumah sakit (dalam berbagai
bentuk dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar), industri farmasi farmasi dan
lingkungan akademis. Disamping itu apoteker juga terlibat administrasi pelayanan
kesehatan, penelitian, organisasi kesehatan internasional dan organisasi non
pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomer 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
merupakan tantangan dan harapan bagi Apoteker Indonesia untuk maju dan menjadi
lebih baik. Namun untuk mencapai harapan itu tidaklah mudah karena banyak aspek
yang harus ditata dan diperbaiki, baik dari diri Apoteker itu sendiri, sistem kesehatan
maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya. PP ini sekaligus menjadi momen
bersejarah dalam perkembangan kefarmasian di Indonesia dan akan menjadi era baru
yang mengembalikan Apoteker kepada qithahnya sebagai tenaga kesehatan. Dengan
dikeluarkannya PP 51 tahun 2009 ini maka peran dan kedudukan apoteker dalam
sistem kesehatan sudah sangat jelas.
Obat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem kesehatan adalah
domain apoteker. Tanggungjawab apoteker terbentang sejak proses produksi sampai
obat dikonsumsi. Keluarnya PP 51 tahun 2009 bukanlah akhir tetapi lebih merupakan
awal dari proses reinventing profesi apoteker di Indonesia. Berhasil atau tidaknya
implementasi PP ini selain tergantung pada law enforcement juga dipengaruhi
langsung oleh komitmen para apoteker untuk melaksanakannya. Dalam implementasi
PP 51 tahun 2009 dan untuk melindungi kepentingan masyarakat, serta adanya
tuntutan globalisasi pada tingkat regional ASEAN maupun Internasional akan output
pendidikan yang berkualitas, memacu tiap daerah untuk berbenah diri dalam

1
memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa
pekerjaan kefarmasian tidak hanya bersifat drug oriented tetapi harus bersifat patient
oriented.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memaparkan seberapa besar
peluang dan tantangan yang akan dihadapi seorang farmasis (apoteker) dalam
pelayanan pharmaceutical care yang mengacu pada PP 51 tahun 2009.
C. Tinjauan Pustaka
Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik
Kefarmasian adalah istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi
Obat Keras, yang mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan
Praktek Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin
sebuah apotek. Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7
tahun 1963 tentang Farmasi yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah
pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan
dan penyerahan obat atau bahan obat. Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU
No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat, dan obat tradisional. Selanjutnya UU ini menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu, dan mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

i.Pekerjaan kefarmasian
Pekerjaan Kefarmasian diselenggarakan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dalam upaya pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Pekerjaan kefarmasian

2
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang memiliki keahlain dan
kewenangan yang berdasarkan pada Standar Profesi dan paradigma Pelayanan
Kefarmasian. Standar Profesi dan paradigma Pelayanan Kefarmasian merupakan
pedoman yang harus diikuti oleh tenaga kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian. Kompetensi umum apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian
harus mempunyai kemampuan sebagai berikut :

1. Menguasai Ilmu Kefarmasian

2. Menguasai Asuhan Kefarmasian

3. Menguasai Regulasi Kefarmasian

4. Menguasai Manajemen Praktek Kefarmasian

5. Menguasai Akuntabilitas Praktek Kefarmasian

6. Menguasai Komunikasi Kefarmasian

7. Pendidikan dan Pelatihan Kefarmasian

8. Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian

Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian dapat


diselenggarakan pada:

a. Pemerintah yang melakukan kebijakan kefarmasian.


b. Sarana produksi sediaan farmasi berupa pabrik sediaan farmasi, pabrik bahan baku
sediaan farmasi, pabrik obat tradisisonal, dan pabrik lain yang memerlukan tenaga
kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu.
c. Sarana distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan.
d. Sarana pelayanan sediaan farmasi melalui praktik di apotek, instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik/praktek bersama; dan
e. Sarana kesehatan lain yang ditetapkan Menteri.

3
ii. Pekerjaan Kefarmasian di Pemerintahan

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian di pemerintahan harus memiliki kompetensi


sebagai berikut :

1. Mampu melakukan kontribusi dan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dalam


bidang kesehatan khususnya obat.
2. Mampu merencanakan dan mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan secara
regional, nasional, maupun internasional.
3. Mampu melakukan fungsi administrasi pemerintahan dari obat dan alat kesehatan.
4. Mampu melaksanakan fungsi pengawasan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
makanan.
5. Mampu berkontribuasi dalam penetapan kebijakan pendidikan kefarmasian nasional.
6. Mampu melaksanakan fungsi perizinan.
7. Mampu melaksanakan fungsi perwakilan bangsa dan negara di luar negeri.

iii. Pekerjaan Kefarmasian di Sarana Produksi

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian di sarana produksi dilakukan oleh apoteker


dengan pedoman sebagai berikut :

1. Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada sarana produksi harus menjadi
penanggung jawab pada proses produksi dan penanggung jawab pada pengawasan
mutu dalam setiap kegiatan produksi sediaan farmasi.
2. Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian sebagai penanggung jawab pada
proses produksi dan penanggung jawab pada pengawasan mutu harus menerapkan
ketentuan yang berlaku dalam Cara Pembuatan Sediaan Farmasi yang Baik dengan
menetapkan Standar Operasional Prosedur sesuai peraturan perundangan.
3. Standar Operasional Prosedur harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara
terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
budang kefarmasian dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

4
4. Tenaga kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada sarana produksi
sediaan farmasi wajib mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan proses produksi
dan pengawasan mutu sediaan farmasi sesuai tugas dan fungsinya.
5. Tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada sarana produksi
sediaan farmasi, wajib mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang produksi dan pengawasan mutu.
Apoteker yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada Sarana Produksi harus
mempunyai kompetensi sebagai berikut :

1. Mampu melaksanakan fungsi pendaftaran sediaan farmasi.


2. Mampu melaksanakan Good Inventory Practices.
3. Mampu mengembangkan formula sediaan farmasi, pilot plant dan upscaling.
4. Mampu berpartisipasi mengembangkan senyawa/eksipien baru.
5. Mampu mengembangkan spesifikasi, metoda analisis, dan prosedur pengujian untuk
bahan awal, produk jadi dan kemasan.
6. Mampu melaksanakan Good Manufacturing Practices.
7. Mampu mengendalikan teknis operasi dan proses manufaktur sediaan farmasi.
8. Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices/analisis kontrol untuk pengawasan
mutu sediaan farmasi.
9. Mampu melaksanakan pengemasan produk.
10. Mampu merancang dan melakukan uji stabilitas/ kadaluwarsa.
11. Mampu berpartisipasi dan berkontribusi dalam uji klinik sediaan farmasi baru.
12. Mampu melaksanakan pengujian yang sesuai untuk perbaikan mutu produk.
13. Mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan validasi proses.
14. Mampu menjamin keselamatan kerja.
15. Mampu berpartisipasi dalam menghasilkan dan mendesiminasikan pengetahuan
kefarmasian yang baru.
16. Mampu melaksanakan promosi dan penyampaian informasi sediaan farmasi kepada
tenaga profesi kesehatan lainnya.

5
iv. Pelaksanan Pekerjaan Kefarmasian di Sarana Distribusi

Pemahaman pekerjaan kefarmasian di sarana distribusi dilaksanakan dengan


kompetensi sebagai berikut :

1. Prinsip dan praktek sesuai HK.00.05.3.2522 Tahun 2003 tentang Pedoman Cara
Distribusi yang baik (Good Distribution Practice).
2. Memastikan sarana, prasarana dan sumber daya lain yang memenuhi ketentuan yang
berlaku.
3. Mampu menyusun perencanan dan atau perumusan kebutuhan dan pengadaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan.
4. Mampu melaksanakan tata cara yang baik dan benar dalam penerimaan dan
penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
5. Mampu melaksanakan pengendalian persediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
(Good Inventory) yang efektif, efisien dan aman.
6. Mampu melaksanakan distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan agar sesuai
dengan jenis, jumlah dan mutu serta waktu yang dibutuhkan klien/pelanggan.
7. Mampu melaksanakan monitoring dan evaluasi mutu dan keamanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan.
8. Mampu melaksanakan pencatatan yang baik dan benar serta menyusun laporan yang
tepat waktu dan akurat.
v. Pelayanan Kefarmasian di Sarana Pelayanan.

Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian di sarana pelayanan sediaan farmasi


dilaksanakan oleh apoteker dengan pedoman sebagai berikut :

1. Apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian di sarana pelayanan sediaan


farmasi harus menerapkan ketentuan Cara Penyerahan Sediaan Farmasi yang Baik
dan Standar Pelayanan Kefarmasian yang berdasarkan pada paradigma pelayanan
kefarmasian.
2. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker.

6
3. Standar Operasional Prosedur harus dibuat secra tertulis dan diperbaharui secara terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu penegtahuan dan teknologi di bidang
farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Apoteker dapat memberikan pilihan obat generik kepada pasien/pemakai dari obat
resep dokter dengan alasan kemampuan ekonomi pasien/pemakai dengan
memperhatikan komunikasi antara dokter dan apoteker serta mutu dan keamanan
obat.
5. Dalam hal apoteker dan pasien menyetujui secara tertulis atas pilihan obat yang akan
dipakai, apoteker harus memberitahukan hal tersebut kepada dokter penulis resep.
6. Tenaga kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada sarana pelayanan
sediaan farmasi wajib mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan proses
pelayanan sediaan farmasi sesuai tugas dan fungsinya.
7. Tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada sarana pelayanan
sediaan farmasi wajib mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek harus mempunyai
kompetensi sebagai berikut :

1. Mampu melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai


peraturan yang berlaku.
2. Mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian secara profesional kepada klien/pasien
secara tepat, aman dan efektif.
3. Mampu melaksanakan fungsi pelayanan konsultasi, informasi, dan edukasi tentang
sediaan farmasi dan alat kesehatan pada klien/pasien.
4. Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
5. Mampu melakukan program monitoring tentang efektifitas dan keamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan.
6. Mampu melaksanakan fungsi pimpinan di apotek baik dalam bidang kefarmasian
maupun manajemen.

7
7. Mampu berpartisipasi aktif dalam program preventif dan promotif dalam bidang
kesehatan masyarakat.
Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit harus
mempunyai kompetensi sebagai berikut :

1. Mampu malaksanakan pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan.


2. Mampu melaksanakan distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan (Good
Distribution Practice) di rumah sakit.
3. Mampu melaksanakan fungsi farmasi klinik bersama dokter untuk kepentingan pasien
dalam penggunaan obat dan alat kesehatan yang rasional.
4. Mampu melaksanakan fungsi konsultasi, informasi, dan edukasi tentang obat yang
digunakan oleh pasien dan masyarakat.
5. Mampu memberikan pelayanan informasi tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan
kepada yang membutuhkan.
6. Mampu melaksanakan fungsi pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai
kebutuhan rumah sakit.
7. Mampu melaksanakan Good Inventory Practices dan Good Storage Practices.
8. Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices

D. Permasalahan
Menurut PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga
Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di apotek, berarti
pasien harus dilayani oleh apoteker untuk mendapatkan obat sesuai resep yang
dibawanya dan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait dengan penggunaan
obat secara tepat serta informasi lainnya. Dengan paradigma seperti di atas maka para
apoteker harus berada di apotek untuk dapat melaksanakan tugas pelayanan
kefarmasian tersebut. Hal tersebut sesuai dengan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, pasal 51 butir 1 menyebutkan “Pelayanan Kefarmasian di Apotek hanya
dapat dilakukan oleh Apoteker”. Penerapan PP 51 tahun 2009 ini tidak mudah oleh

8
karena akan membawa konsekuensi berupa keharusan adanya poteker selama apotek
buka.
Jam kerja apotek yang pada umumnya selama ±12 jam menuntut adanya apoteker
pendamping dan tenaga kerja lainnya yang memadai. Hal ini berakibat meningkatnya
biaya tetap yang harus dikeluarkan apotek oleh karena harus memberikan imbalan
yang sesuai. Pemberian imbalan yang pantas kepada apoteker adalah salah satu kunci
untuk menjamin mereka melaksanakan praktek pelayanan farmasi yang baik (good
pharmacy practice).
Dengan adanya penerapan PP 51 tahun 2009 seorang apoteker tidak hanya
mendapatkan imbalan atas pelayanan farmasi yang dilakukannya, tetapi seorang
apoteker juga dituntut untuk mempunyai wawasan pengetahuan yang mempuni
dibidangnya. Selain itu seorang apoteker harus mengikuti perkembangan ilmu farmasi
dan kesehatan yang terkait dengan pelayanan kefarmasian terhadap pasien.

Namun kenyataannya pada saat ini masih banyak masyarakat yang belum
merasakan manfaat atas adanya pelayanan pharmaceutical care yang terdapat dalam
PP 51 tahun 2009, sehingga masih banyak masyarakat yang kurang familiar dengan
profesi apoteker, masyarakat lebih familiar dengan profesi kedokteran dan
keperawatan. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi seorang apoteker untuk
menunjukan eksitensi keberadaannya ditengah-tengah masyarakat dalam
mengimplementasikan PP 51 tahun 2009.

E. Pembahasan
Adanya PP 51 tahun 2009 merupakan peluang bagi apoteker untuk
menunjukan eksitensi dirinya dalam memberikan pelayanan kefarmasian yang
berorentasi kepada pasien. Namun sayangnya dalam PP 51 tahun 2009 tidak ada
pengaturan tentang imbalan jasa (tarif profesi) bagi seorang apoteker ketika ia
melakukan praktek pelayanan dan konseling kefarmasian kepada pasien. Sehingga
perlu dilakukan revisi atau penambahan pasal dalam PP 51 tahun 2009 tentang
pengaturan jasa pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh seorang apoteker.

9
Selain perlu adanya pengaturan jasa profesi apoteker, seorang apoteker juga
harus mempunyai pengetahuan yang mumpuni dalam melakukan pelayanan dan
konseling kefarmasian terhadap pasien. Peningkatan pengetahuan calon-calon
apoteker dapat dilakukan dengan membenahi kurikulum pendidikan farmasi dan
apoteker dengan mendesain kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan
realita yang ada di lapangan, sehingga diharapkan kelak calon-calon apoteker sudah
siap menghadapi tantangan yang ada dilapangan.

F. Kesimpulan
Dalam penerapan pharmaceutical care yang mengacu kepada PP 51 tahun
2009, diperlukan pembenahan terhadap kurikulum pendidikan farmasi dan apoteker.
Serta adanya penghargaan materi yang sesuai bagi seorang apoteker ketika melakukan
pelayanan pharmaceutical care.

10

Anda mungkin juga menyukai