Anda di halaman 1dari 47

 Norma (peraturan hidup) memberi petunjuk

kepada manusia bagaimana ia bertingkah


laku dan bertindak dalam masyarakat.

 Peraturan yang bersifat mengatur dan


memaksa ini untuk menjamin tata tertib
dalam masyarakat dan dibuat oleh
masyarakat atau penguasa, dinamakan
peraturan hukum atau kaidah hukum atau
HUKUM.
 Adanya perintah dan atau larangan
 Harus ditaati oleh setiap orang
 Kalau dilanggar dikenakan sanksi hukum

 Pidana pokok: Pidana mati, penjara seumur


hidup, pidana penjara 1-20 tahun, pidana
denda/kurungan = < 1 tahun.
 Pidana tambahan: Pencabutan hak, penyitaan

barang bukti
 Untuk menjamin keseimbangan hubungan
antara anggota masyarakat.

 Untuk menjamin adanya kepastian hukum


dalam masyarakat.
 UUD 1945
 Ketetapan MPR
 Undang-undang/PERPU
 Peraturan Pemerintah (PP)
 Perda Propinsi
 Perda Kabupaten
 UU kesehatan/kefarmasian (Kesehatan, Tenaga kesehatan,
Narkotika, Rumah Sakit, Perlindungan konsumen).
 Peraturan pemerintah RI (PP No. 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, PP No. 72 tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat kesehatan, PP 72 tahun
1998, PP 40 tahun 2010).
 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes No.
889/Menkes/V/2011 tentang registrasi, izin praktek, Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian), Permenkes No. 1799/XII/2010 tentang
industri farmasi.
 Surat keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes No.
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, sediaan farmasi & Alkes, PBF, Industri
farmasi, klinik/apotek, toko obat).
 SK Kepala Badan POM (SK Ka BPOM No. 03.1.2.3.12.11.10217
tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi, kosmetik, PKRT).
 Kebijakan Obat (Obat generik, Obat Wajib Apotek, Obat Esensial).
 SK Menkes No. 1332/Menkes/SK/X/2002,
Tentang perubahan izin apotek.
 Keputusan Kepala BPOM RI No.:
HK.00.05.4.2411, Tentang Ketentuan pokok
pengelompokan & penandaan Obat bahan alam
Indonesia.
 Peraturan KA BPOM No.HK.03.1.23.12.11.10217
THN 2011, Tentang Obat wajib Uji ekuivalensi.
 SK Pengurus Pusat IAI No.
PO.004/PP.IAI/1418/VII/2014, Tentang peraturan
organisasi pedoman disiplin apoteker Indonesia.
 Pedoman disiplin Apoteker Indonesia 2014,
Majelis Etik dan Apoteker Indonesia (MEDAI).
Pasal 6, ayat 1: Industri farmasi dan Alkes harus mengutamakan
penggunaan bahan baku hasil produksi dalam negeri.
Pasal 6, ayat 2: Penyediaan obat dan alat kesehatan oleh pemerintah
dan /swasta utk kebutuhan masyarakat hrs mengutamakan sediaan
farmasi dan Alkes yang menggunakan bahan baku hasil industri
farmasi dan Alkes dalam negeri.

Lampiran: Obat  accessible (diperoleh dng mudah), affordable


(terjangkau), available (tersedia dimanapun dibutuhkan), sustainable
(berkesinambungan).
Kementerian kesehatan  Memfasilitasi pengembangan
industri farmasi ke arah Biopharmaceutical, vaksin, natural dan active
pharmaceutical ingredients (API) kimia.
Menyerderhanakan
sistem dan proses perizinan dalam pengembangan industri farmasi.
 Undang-Undang No. 36 tahun 2009, Tentang
Kesehatan.
 Undang-Undang No. 36 tahun 2014, Tentang

Tenaga Kesehatan.
 Undang-Undang No. 35 tahun 2009, Tentang

Narkotika.
 Undang-Undang No. 5 tahun 1997, Tentang

Psikotropika.
 Undang-undang No. 44 tahun 2009, Tentang Rumah

Sakit.
 Ordonansi (Undang-Undang), Starkwerkende

Geneesmiddelen Ordonnantie, Obat keras (Stbl.


1949 No. 419).
 Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2010,
Tentang prekursor.
 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998,

Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan


Alat Kesehatan.
 Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009,

Tentang Pekerjaan Kefarmasian.


 Permenkes No. 3 THN 2015, Tentang Peredaran,
penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan
narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi.
 Permenkes No. 006 THN 2012, Tentang industri
dan Usaha obat tradisional.
 Permenkes No. 007 THN 2012, Tentang
Registrasi Obat Tradisional.
 Permenkes No. 1175 THN 2010, Tentang Izin
produksi kosmetika.
 Permenkes No. 1176 THN 2010, Tentang
notivikasi kosmetika.
 Permenkes No. 46 THN 2013, Tentang
registrasi tenaga kesehatan.
 Permenkes No. 889 THN 2011, Tentang

registrasi, Izin praktek dan Izin kerja tenaga


kefarmasian.
 Permenkes No. 35 THN 2014, Tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek.


 Permenkes No. 028 THN 2011, Tentang Klinik.
 Permenkes No. 58 THN 2014, Tentang Standar

Pelayanan kefarmasian di Rumah sakit.


 Permenkes No. 71 THN 2013, Tentang
Pelayanan kesehatan pada JKS.
 Adalah kesalahan yang tidak disengaja
karena kurang hati-hati dalam
pembuatan/peracikan/penyerahan obat
kepada pasien.

 Yang terkena sanksi pidana adalah orang


yang melakukan dan orang yang menyuruh
lakukan (bertanggung jawab).
 Melaksanakan kode etik profesi.
 Menerapkan standar Profesi/kompetensi
 Menghormati hak pasien (pengguna pelayanan Kefarmasian).
 Membuat dan menerapkan Standard Prosedur Operasional.
 Melaksanakan Standar Pelaksanaan yang baik (Cara
pembuatan/Distribusi/Pelayanan).
 Menyimpan rahasia kedokteran dan rahasia kefarmasian.
 Mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian (drug oriented)..
 Melaksanakan Program Kendali Mutu dan Kendali Biaya
melalui audit kefarmasian.
 Melakukan pencatatan.
 Tenaga kesehatan, adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.
 Pasal 9, harus memiliki kualifikasi minimum Diploma
Tiga, kecuali tenaga medis.
 Pasal 11: Tenaga medis, Tenaga psikologi klinis, Tenaga
keperawatan, Tenaga kebidanan, Tenaga kefarmasian,
Tenaga kesehatan masyarakat, Tenaga kesehatan
lingkungan, Tenaga gizi, Tenaga keterapian fisik,
Tenaga keteknisian medis, Tenaga teknik biomedika,
Tenaga kesehatan tradisional, Tenaga kesehatan lain.
 Pasal 11: Tenaga medis, adalah dokter, dokter
gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis.
 Pasal 11: Tenaga kefarmasian adalah Apoteker
dan Tenaga teknis kefarmasian.
 Pasal 21: Mahasiswa bidang kesehatan pada
akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus
mengikuti Uji kompetensi secara nasional.
 Pasal 21 : Uji kompetensi diselenggarakan
Perguruan tinggi bekerja sama dengan
organisasi profesi, lembaga pelatihan atau
lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
 Asisten Tenaga Kesehatan, adalah setiap
orang yng mengabdikan diri dlm bdng
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui pendidikan bidang
kesehatan dibawah jenjang Diploma Tiga.
 OBAT adalah bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
 OBAT TRADISIONAL adalah bahan atau ramuan
bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun menurun telah
digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yng berlaku di masyarakat.
 PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL
adalah pengobatan dan atau perawatan
dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun
secara empiris yang dapat dipertanggung
jawabkan dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
 Kefarmasian dan alat kesehatan merupakan hal yang
tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan baik
pada pelayanan kesehatan primer hingga rujukan.
 Oleh karena itu, penyediaan dan pengelolaan obat

dan alat kesehatan merupakan hal yang penting


untuk diperhatikan serta memerlukan peran serta
dari berbagai pihak, baik Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
pelaku usaha kefarmasian dan alat kesehatan,
hingga masyarakat luas.
 Akses terhadap obat secara eksplisit diakui dalam Agenda
2030 Pembangunan Berkelanjutan. Salah satu
target Sustainable Development Goal’s (SDG’s) menyatakan
peningkatan akses terhadap obat memainkan peran, seperti
dalam kesehatan ibu dan anak, penyakit tidak menular,
malaria, dan kesehatan seksual dan reproduksi.
 Akses dan ketersediaan obat juga menjadi fokus pemerintah,
hal ini tertuang dalam Renstra Kementerian Kesehatan
melalui Program Pelayanan Kesehatan dan JKN dengan
sasaran program “Meningkatnya ketersediaan obat dan
penggunaan obat esensial di pelayanan kesehatan” dan salah
satu indikatornya yakni “Persentase puskesmas dengan
ketersediaan obat esensial”.
 Disamping ketersediaan obat, Kementerian
Kesehatan juga berupaya mendorong
ketahanan kesehatan melalui Program
Pelayanan Kesehatan dan JKN dengan sasaran
program “Meningkatnya produksi dan
penggunaan bahan baku obat, alat kesehatan,
alat diagnostik, vaksin dalam negeri”.
 Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan adalah melakukan percepatan pengembangan
industri farmasi dan alat kesehatan, dengan menjamin
ketersediaan obat dan alat kesehatan yang aman,
bermutu dan bermanfaat sebagai upaya peningkatan
pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan
Nasional, meningkatkan daya saing industri farmasi dan
alat kesehatan di dalam negeri dan ekspor, mendorong
penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang
kefarmasian dan alat kesehatan, serta mempercepat
kemandirian dan pengembangan produksi obat dan alat
kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan
ekspor serta meningkatkan kapasitas industri.
 Masih tingginya alat kesehatan impor pada
pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi
tantangan bagi kita semua.
 Oleh karena itu, bersamaan dengan upaya
percepatan pengembangan industri alat kesehatan,
Kementerian Kesehatan telah menyusun kebijakan
untuk mendorong penggunaan obat dan alat
kesehatan, antara lain melalui substitusi produk alat
kesehatan impor.
 Jika produk dalam negeri sudah bisa memenuhi

kebutuhan nasional, maka akan dilakukan


freeze produk impor alat kesehatan.
Praktik kefarmasian yang meliputi
• Pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi ,
• Pengamanan , pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian obat,
• Pelayanan obat atas resep dokter,
• Pelayanan informasi obat
• Serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional
HARUS (?)
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
26
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki
keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp.
100.000.000,00
(seratus juta rupiah). 27
Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, “...
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan” bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan
tersebut adalah tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak
ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat
melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara
lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat
yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang
mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan
medis segera untuk menyelamatkan pasien; (Dibacakan
dalam Sidang MK tanggal 27 Juni 2011)
AMAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pemahaman pasal:
•Keputusan MK ini memperkuat pasal 108 dari UU 36/09 (dan juga
keberadaan PP 51/2009) bahwa Praktik Kefarmasian diakui dan
• Dilaksanakan oleh Tenaga Kefarmasian
• Dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa, dokter,
dokter gigi dan perawat dapat melakukan secara terbatas

29
•Hanya tenaga kefarmasian sebagai tenaga kesehatan yang memiliki kekuatan
hukum mengikat dalam menjalankan praktik kefarmasian dan
•Tenaga kesehatan dokter, dokter gigi, perawat secara terbatas yang
melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan
jiwa

30
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.

Pasal 1 Poin 4
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Pasal 4
Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk:
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan
masyarakat dalam memperoleh dan/atau
menetapkan sediaan farmasi dan jasa
kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta peraturan perundangan-
undangan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien,
masyarakat dan Tenaga Kefarmasian.
Standar Profesi adalah pedoman untuk
menjalankan praktik profesi kefarmasian secara
baik.
Standar Prosedur Operasional adalah prosedur
tertulis berupa petunjuk operasional tentang
Pekerjaan Kefarmasian.
Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk
melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas
produksi, distribusi atau penyaluran, dan
pelayanan kefarmasian.
Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau
Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
(2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh Apoteker.
(3) Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat
menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada
sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut jenis Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian ditetapkan oleh Menteri.
(5) Tata cara penempatan dan kewenangan Tenaga Teknis Kefarmasian di
daerah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 22
Dalam hal di daerah terpencil yang
tidak ada apotek, dokter atau dokter
gigi yang telah memiliki Surat Tanda
Registrasi mempunyai wewenang
meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 23
(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian,
Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.
(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat
secara tertulis dan diperbaharui secara terus
menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat:
a. mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA;
b. mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
dan
c. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas
resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik
modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh
Apoteker yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimaksud ayat (1)
1) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf e dilaksanakan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki
STRTTK sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(2) Dalam menjalankan praktek kefarmasian di Toko Obat, Tenaga Teknis
Kefarmasian harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian di Toko
Obat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di
Toko Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan standar pelayanan
kefarmasian di toko obat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 27
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan
pelayanan farmasi pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian
sesuai dengan tugas dan fungsinya
Pasal 28
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
wajib mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian
dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi
Pasal 30
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia
Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian.
(2) Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian
hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien,
memenuhi permintaan hakim dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri
dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia
Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 31
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan
Pekerjaan Kefarmasian wajib menyelenggarakan
program kendali mutu dan kendali biaya.
(2) Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui audit kefarmasian.
Pasal 32
Pembinaan dan pengawasan terhadap audit
kefarmasian dan upaya lain dalam pengendalian
mutu dan pengendalian biaya dilaksanakan oleh
Menteri.
Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kendali
mutu” dalam ayat ini adalah suatu sistem
pemberian Pelayanan Kefarmasian yang efektif,
efisien, dan berkualitas dalam memenuhi
kebutuhan Pelayanan Kefarmasian.
Yang dimaksud dengan “kendali biaya” adalah
Pelayanan Kefarmasian yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan dan didasarkan pada harga
yang sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “audit kefarmasian”
adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap
mutu Pelayanan Kefarmasian yang diberikan
kepada masyarakat yang dibuat oleh Organisasi
Profesi atau Asosiasi Institusi Pendidikan Farmas
Pasal 35
(1) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 harus memiliki keahlian dan kewenangan
dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian.
(2) Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan menerapkan
Standar Profesi.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada Standar
Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang
berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan.
(4) Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (3) Standar kefarmasian pada sarana
produksi adalah cara pembuatan yang
baik (Good Manufacturing Practices),
pada sarana distribusi adalah cara
distribusi yang baik (Good Distribution
Practices), dan pada sarana pelayanan
adalah cara pelayanan yang baik (Good
Pharmacy Practices).
BAB IV
DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN

Pasal 56
Penegakkan disiplin Tenaga Kefarmasian dalam
menyelenggarakan Pekerjaan Kefarmasian dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

Pasal 57
Pelaksanaan penegakan disiplin Tenaga Kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 58
Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai kewenangannya serta Organisasi Profesi membina dan mengawasi
pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.

Pasal 59
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
diarahkan untuk:
a. melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian yang dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu Pekerjaan Kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan Tenaga
Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Anda mungkin juga menyukai