Anda di halaman 1dari 21

KASUS 1

KRONOLOGI KASUS 1

Pada Tahun 2012 seorang apoteker diganjar hukuman 4 bulan penjara oleh Pengadilan
Negeri Semarang dengan tuduhan pencurian dan penggelapan. Kasus tersebut bermula
adanya kejanggalan perihal stok obat di apotek termasuk obat golongan keras,
psikotropik, dan narkotik. Apoteker menganggap adanya kecurangan PSA yang
melakukan pemesanan obat tersebut tanpa sepengetahuannya. Apoteker kemudian
berinisiatif melaporakan kejadian tersebut ke Dinkes Kota Semarang serta menitipkan
obat psikotropik dan narkotik ke Dinkes untuk mengamankan agar tidak
disalahgunakan.
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor. Reg. Perk : PDM-134/ Semar/Epp.2/3/2012

Pasal 374
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang
disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Landasan Hukum

Pasal 108 Undang-undang kesehatan no. 36 tahun 2009 ayat 1 : “Praktik


kefaramasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,”
Landasan Hukum

Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Obat Keras:


(1). Pemasukan, Pengeluaran, Pengangkutan bahan- bahan G. dilarang, terkecuali
dalam jumlah yang sedemikian rupa sehingga secara normal dapat diterima
bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi.
(2). Larangan ini tidak berlaku jika tindakan ini dijalankan oleh pemerintah atau
Pedagang-pedagang besar yang diakui atau oleh Apoteker-apoteker, Dokter-
dokter yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan
Landasan Hukum

Bahwa pelaporan dan pengamanan sediaan narkotika dan psikotropika tanpa


pemberitahuan kepada PSA, karena aspek kewenangan sepenuhnya ada pada
apoteker sesuai PP No. 51 Th. 2009 pasal 1 ayat (1) :
(1). Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Landasan Hukum

Bahwa Terdakwa tidak melanggar kode etik apoteker, itu sudah aturan ; Sesuai
pasal 50 ayat 1 KUHP, “Seseorang tidak bisa dihukum karena kewajiban
perbuatan dari pekerjaannya".
KASUS 2
Kronologi Kasus 2

Berdasarkan informasi Polres A bahwa banyak ditemukan (Tablet Carnophen


beredar di kalangan remaja) telah dilakukan pemeriksaan terhadap apotek-
apotek di Kabupaten tersebut dan pada salah satu apotek ditemukan
penjualan bebas rata-rata per bulan sebanyak 12 box dan Trihexyphenidyl
sebanyak 7 box, penjualan tanpa resep Ephedrine tablet rata-rata 3
kaleng/1000 tablet serta penjualan tanpa resep diazepam 5 mg tablet
sebanyak 30 tablet.
Permasalahan
dari kasus :
Pelanggaran yang telah dilakukan apotek tersebut adalah :

2. Dan dari pemeriksaan terhadap obat-


1. Menjual obat-obat ilegal yang mengandung
obat Cina yang beredar di apotek-apotek
narkotika dan psikotropika secara bebas.
Kabupaten A ditemukan bahwa obat-obat
Dimana obat-obatan tersebut termasuk
tersebut tidak memiliki izin edar dan
golongan obat keras yang penjualannya harus
berdasarkan resep dokter. Setelah dilakukan mengandung bahan aktif Diazepam yang

pemeriksaan, apotek melakukan pelanggaran dijual secara bebas. Diazepam termasuk


karena menjual Trihexyphenidyl dan psikotropika golongan IV yang meskipun
Carnophen secara bebas. dapat digunakan untuk terapi tetapi dapat
menyebabkan ketergantungan (ringan).
Landasan Hukum :

Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 2 .
- Pasal 8 ayat 1c
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
- Pasal 9 ayat 1 memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
“Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
setelah terdaftar pada departemen yang bertanggung penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang
jawab di bidang kesehatan”
berlaku”
- Pasal 14 ayat 4
“PenyerahanNo.
Undang-undang psikotropiuka olehtentang
36 tahun 2009 apotek,Kesehatan
rumah sakit,
puskesmas,
Bagian dan“Pengamanan
Kelima Belas balas pengobatan sebagaimana
dan Penggunaan
dimaksud
Sediaan Farmasipada
dan ayat
Alat 1Kesehatan”
dilaksanakan berdasarkan resep
dokter”
- Pasal 102
3. Ayat (1) : Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan

berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
Ayat (2) : Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika diatur dengan undang-undang.
- Pasal 103
Ayat (1) : Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan
psikotropika wajib memenuhi standart dan atau persyaratan tertentu.
Ayat (2) : Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan
Sanksi Hukum :
Undang-undang No.5 Tahun 1997
 Pasal 60 ayat 1c
Barang siapa memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa Sanksi Administratif :
1. Diberikan teguran/peringatan secara lisan.
obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di
2. Diberikan Surat Peringatan secara tertulis,
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dipidana
maksimal 3 kali.
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau pidana
3. Penutupan apotek sementara.
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
4. Pencabutan ijin apotek.

Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


 Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Kesimpulan
Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Apoteker Pengelola Apotek
dapat dijadikan tersangka karena telah melangar undang-undang yang
belaku. Selain itu sebagai Apoteker Pengelola Apotek juga tidak mengawasi
penjualan obat keras, karena obat-obat keras tersebut diperjualbelikan
secara bebas. Sebagai penangung jawab apotek juga menerima atau
mengedarkan obat-obat impor yang tidak memiliki ijin edar dan
mengandung golongan obat psikotropika dan narkotika.
KASUS 3
KRONOLOGI KASUS 3

Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang
yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak
tersebut kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah
sakit) memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek
tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker S harus mengambil keputusan
menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan keilmuannya, apoteker S
memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu sehingga kejangnya mereda.
Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit terdekat.
Landasan Hukum

Pasal 14 ayat 2
Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat dilaksanakan dalam hal :
a. Menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek
Landasan Hukum

Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 3 :


Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta
selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.
Implementasi PASAL 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan dan keputusan
seorang apoteker indonesia
2. Bilamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung jawab profesional, maka
dari berbagai opsi yang ada seorang apoteker harus memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat
untuk kepentingan pasien serta masyarakat.
Landasan Hukum

Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk hidup
insani.
Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak pada
kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang dalam kondisi lemah.
Landasan Hukum

UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


Pasal 5 :
Ayat 3 : Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Kesimpulan

Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c,
tindakan Apoteker S merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya adalah Diazepam
yang termasuk dalam golongan psikotropika. Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak
sepenuhnya salah kerena keadaan anak tersebut dalam kondisi darurat yang
memerlukan penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1 dan pasal 53
ayat 3). Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh alasan
kemanusiaan serta dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang
dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 Pasal 374 KUHP.

Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Peraturan Mentri Kesehatan No 688/Menkes/Per/VII/1997/ Tentang Peredaran Psikotropika.

Undang-Undang RI No. 08 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang RI No. 05 Tahun 1997

Undang-Undang Obat Keras St No. 419

Anda mungkin juga menyukai