Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BLOK 21: OBAT TRADISIONAL


AKTIVITAS ANTITROMBOTIK DARI DAUN G. JASMINOIDES

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Masyuni Cantika Sari 17171044
Meutia Rezeky Nine 17171008
Delvi Azharina 17171052
Febrianta Syahputra 17171043
Zurrahmi Sofyan 17171003
Muhammad Ikhsan Haiqal 17171053
Aulia Rahmaniar 17171067
Rizky Nabillah 17171028
Hegatia Assyifa Gustaf 17171021
Sinta Gisella 17171056

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH BESAR
2021
PERTANYAAN
1. Menurut anda, mengapa penggunaan obat tradisional semakin meningkat?
2. Jelaskan kekurangan dari penggunaan obat tradisional!
3. Jelaskan perbedaan dari jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka!
4. Bagaimana praktisi kesehatan (dokter, farmasis, perawat, dokter gigi) menyikapi
penggunaan obat tradisional oleh pasiennya? (apa yang akan anda lakukan)
5. Sebutkan dua jenis evaluasi atau uji untuk mengetahui aktivitas Antithrombotik dari
herbal G. jasminoides! (lihat di abstrak)
6. Berdasarkan artikel, sebutkan tujuan dari peresepan Antithrombotik seperti aspirin
dan clopidogrel untuk pasien! (lihat introduction)
7. Sebutkan 5 grup/ kelompok hewan coba yang digunakan dalam evaluasi efek
antitrombotik dari herbal G. jasminoides! (lihat di bagian methodology)
8. Sebutkan kandungan fitokimia dari herbal G. jasminoides berdasarkan artikel
tersebut!
9. Berdasarkan artikel, jelaskan mekanisme dari herbal G. jasminoides dalam
menunjukkan efek antitrombotik! (lihat result and discussion)
10. Berdasarkan artikel, dosis manakah yang menunjukkan efek yang lebih baik dari
kontrol positif (aspirin)?
JAWABAN

1. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2010, menunjukkan lebih dari
separuh penduduk Indonesia mengonsumsi jamu dan 95 persen menyatakan
jamu bermanfaat untuk kesehatan. Belakangan penggunaan obat tradisional kian
meningkat. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal, seperti kecenderungan global untuk
kembali ke alam juga faktor promosi melalui media masa yang kian gencar. Selain itu minimnya
fasilitas kesehatan di daerah terpencil serta mahal atau tidak tersedianya obat modern
membuat masyarakat lebih memilih menggunakan obat tradisional. Kesalahan persepsi yang
paling sering terjadi dimasyarakat adalah bahwa obat tradisional itu aman. Padahal
kenyataannya, meskipun obat tradisional aman, masih mungkin terjadi potensi toksik. Menurut
Undang-Undang RI No. 23 (1992) obat tradisional didefinisikan sebagai bahan atau ramuan
bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman. Dalam the 3rd Conference on Traditional Medicine in
ASEAN Countries Menteri Kesehatan RI, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH
mengatakan, obat tradisional dapat menjadi bagian penting dari sistem kesehatan formal di
negara-negara di dunia, termasuk ASEAN. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI,
2005) mengelompokkan obat tradisional menjadi 3 jenis, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka.

2. Menurut UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, yang dimaksud dengan obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Penggunaan
obat tradisional dinilai relative lebih aman dibandingkan penggunaan obat konvensional,
sehingga saat ini makin banyak peminatnya. Tetapi penggunaan obat tradisional juga
mempunyai kelemahan, kelemahannya adalah efek farmakologisnya kebanyakan lemah,
bahan bakunya belum terstandar dan belum dilakukan serangkaian pengujian untuk
memastikan efektivitas dan keamanannya. Meskipun obat tradisional terbuat dari bahan-
bahan alami, sebenarnya obat tradisional juga memiliki potensi efek samping yang sama
dengan obat sintetis dalam obat herbal yang disarikan dari bagian-bagian tumbuhan,
misalnya akar, daun, kulit, juga terkandung senyawa kimia. Kandungan senyawa yang
terdapat dalam obat tradisional ini selain berkhasiat juga kemungkinan dapat
menyebabkan efek samping yang dapat merugikan. Obat tradisional juga tidak bisa
diminum sembarangan karena respon setiap individu bisa berbeda satu sama lain. Meski
punya keluhan sama, belum tentu herbal yang diberikan cocok antara satu pasien dan
pasien lain. Sumber : jurnalnasional.ump.ac.id (PHARMACY, Vol.13 No. 01 juli 2016)
3. Perbedaan jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka
Jamu1
Jamu adalah salah satu warisan budaya Indonesia, yang berupa ramuan berbahan dasar
tumbuhan obat, sudah digunakan secara turun menurun yang terbukti aman dan
mempunyai manfaat bagi kesehatan. Jamu dapat digunakan untuk menjaga kesehatan,
kebugaran dan kecantikan serta dapat membantu pemulihan kesehatan dan pencegahan
penyakit.

Obat Herbal Terstandar2


Obat Herbal Terstandar (OHT) tidak sama dengan fitofarmaka. Obat Herbal Terstandar
(OHT) adalah obat tradisional yang berasal dari ekstrak bahan tumbuhan, hewan maupun
mineral. Perlu dilakukan uji pra-klinik untuk pembuktian ilmiah mengenai standar
kandungan bahan yang berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar
pembuatan obat yang higienis dan uji toksisitas akut maupun kronis seperti halnya
fitofarmaka. Dalam proses pembuatannya, OHT memerlukan peralatan yang lebih
kompleks dan berharga mahal serta memerlukan tenaga kerja dengan pengetahuan dan
keterampilan pembuatan ekstrak, yang hal tersebut juga diberlakukan sama pada
fitofarmaka. Obat Herbal dapat dikatakan sebagai Obat Herbal Terstandarisasi bila
memenuhi criteria sebagai berikut:
 Aman
 Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
 Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
Indonesia telah memiliki atau memproduksi sendiri OHT dan telah beredar di masyarakat
17 produk OHT, seperti misalnya : diapet, lelap®, kiranti®, dll. Sebuah herbal terstandar
dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada manusia.

Fitofarmaka3
Fitofarmaka adalah obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan percobaan dan uji klinik pada manusia,
bahan baku dan produk jadinya sudah distandarisasi. Fitofarmaka memenuhi criteria
adalah aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara
ilmiah/ praklinik dan klinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi, memenuhi persyaratan mutu yang berlaku, jenis klaim
penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Sumber :
1. KEMENKES. PembuatanJamu Segar yang Baik dan Benar. Jakarta. 2015.
2. Parwata, I Made Oka Adi. ObatTradisional. Februari 2015.
3. Puspitasari, Ika, Apoteker, MSi, PhD. PentingnyaMengenal Kembali JenisObatTradisional
pada Masa Pandemik Covid-19. Mei, 4, 2020.
4. Pelayanan kesehatan tradisional adalah salah satu ciri budaya dan kearifan lokal
Indonesia. Pada saat ini, sebanyak 69.6% orang Indonesia menggunakan pelayanan
kesehatan tradisional, baik berupa ramuan maupun keterampilan. Dalam sistem
kesehatan di Indonesia, pelayanan kesehatan tradisional sudah diakui dengan
disahkannya undang-undang/peraturan dan pohon keilmuan Sistem Kesehatan
Tradisional Indonesia (SISKESTRAINDO). Dokter seharusnya memiliki pikiran positif
dalam bekerja bersama dengan para tenaga kesehatan tradisional untuk mempertahankan
sisi sehat seorang klien. Upaya ini sebenarnya selaras dengan tujuan preventif dan
promotif seorang dokter dalam masyarakat. Selain itu, dokter seharusnya memahami
bahwa pelayanan kesehatan tradisional adalah wujud salah satu ciri budaya dan kearifan
lokal masyarakat yang harus dilestarikan, apalagi negara kita terkenal dengan
biodiversitasnya, dan sekaligus dikembangkan.
Selayaknya dokter berlaku bijak dan adil dalam menyikapi pendekatan biokultural untuk
pelayanan penyakit-penyakit yang bersifat emik (didalilkan oleh komunitas setempat),
apalagi bila secara konvensional tidak terdefinisikan dengan baik, contohnya adalah
masuk angin atau panas dalam. Pelayanan kesehatan tradisional juga dapat menjadi salah
satu sumber pendapatan masyarakatnya, berupa penggunaan dan pengolahan bahan jamu
dan obat tradisional dari dalam negeri. Secara makro, bahan bakunya semestinya dari
bahan alam dapat diolah menjadi produk berkhasiat skala rumah tangga atau skala
industri sehingga akan menambah devisa negara.
Pelayanan spa medik yang dilakukan dalam rangka pariwisata berpotensi menarik
lapangan kerja sekaligus pemberi jasa tipe keterampilan bersama tipe ramuan. Di sisi
lain, secara budaya masih terdapat fakta bahwa masyarakat penggemar jamu menjadi
korban dan belum sepenuhnya terlindung dari pelayanan dan/atau penggunaan produk
kesehatan tradisional, apalagi bila dicampur dengan bahan kimia obat. Dalam menyikapi
bercampurnya pelayanan konvensional dan pelayanan kesehatan tradisional, seorang
dokter seharusnya memiliki beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan patokan untuk
menentukan etis tidaknya suatu pelayanan kesehatan tradisional:
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional melakukan klaim kuratif terhadap
penyakit-penyakit yang telah memiliki pengobatan baku emas dan terbukti secara
nasional maupun internasional, termasuk dalam Pedoman Nasional Pelayanan
Kesehatan (PNPK) atau Panduan Praktik Klinis (PPK), serta sudah diakui dan dibiayai
oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Contoh dari kasus ini antara lain lupus
eritromatosus sistemik dan infeksi human immunodeficiency virus. Dalam hal ini,
seorang dokter harus menolak dengan tegas klaim, metode, dan praktik pelayanan
kesehatan tradisional tersebut.
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional melakukan klaim kuratif terhadap
penyakit-penyakit akut, bersifat gawat darurat, atau mengancam nyawa yang
sebenarnya dapat diintervensi dengan sempurna secara medis, serta memiliki periode
emas dalam pengobatannya, maka seorang dokter harus menentang dengan tegas atas
dasar kepentingan pasien demi keselamatannya. Contoh dari kasus ini antara lain
serangan jantung dan stroke. Dalam hal ini, seorang dokter harus menolak dengan tegas
klaim, metode, dan praktik pelayanan kesehatan tradisional tersebut.
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional melakukan diagnosis menggunakan alat
diagnostik konvensional di luar kompetensinya. Contoh dari kasus ini antara lain
seorang tenaga kesehatan tradisional memesan dan menginterpretasi sendiri hasil
Computed Tomography (CT) scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Dalam
hal ini, seorang dokter harus menolak dengan tegas klaim, metode, dan praktik
pelayanan kesehatan tradisional tersebut.
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional melakukan terapi menggunakan metode
terapi konvensional di luar kompetensinya. Contoh dari kasus ini antara lain
penggunaan obat golongan obat keras, psikotropika, atau bahkan narkotika yang
memerlukan resep. Dalam hal ini, seorang dokter harus menolak dengan tegas klaim,
metode, dan praktik pelayanan kesehatan tradisional tersebut.
 Apabila ditemukan suatu pelayanan kesehatan tradisional berupa jamu atau ramuan
yang dicampurkan dengan obat-obatan konvensional atau disebut sebagai bahan kimia
obat (BKO). Dalam hal ini, dokter harus menolak dengan tegas BKO yang
dicampurkan tetapi tidak serta merta menolak jamu atau ramuan tradisional yang telah
terbukti secara empirik.
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional tidak memiliki bukti efektivitas tidak
murah, tidak mudah, atau mengklaim kompetensi yang dimiliki oleh praktik
kedokteran. Contoh dari kasus ini antara lain menawarkan paket-paket pengobatan
tradisional berbayar di muka, praktik multilevel marketing yang tidak jelas khasiatnya,
ataupun meminta tarif dengan harga yang eksploitatif sehingga dapat menimbulkan
kerugian ekonomi pasien. Dalam hal ini, seorang dokter harus menolak dengan tegas
klaim, metode, dan praktik pelayanan kesehatan tradisional tersebut.
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional tidak sesuai dengan perizinan yang
dimiliki sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 103 tahun 2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Nasional. Penyehat tradisional yang hanya melakukan klaim atas
promotif dan preventif harus memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT).
Tenaga kesehatan tradisional yang melakukan klaim kuratif harus memiliki Surat
Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan Tradisional (STPTKT) dan Surat Izin Praktik
Tenaga Kesehatan Tradisional (SIPTKT). Hal ini sama seperti seorang dokter harus
memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP) sebelum dapat
melakukan praktek kedokteran. Dalam hal ini, seorang dokter harus menolak dengan
tegas klaim, metode, dan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang tidak berizin
tersebut.
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional melakukan klaim yang berlebihan,
belum diterima oleh masyarakat kedokteran dan/atau kesehatan karena manfaat dan
keamanannya diragukan atau belum terbukti. Dalam hal ini, seorang dokter harus
menolak dengan tegas klaim, metode, dan praktik pelayanan kesehatan tradisional
tersebut. Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional melakukan klaim kuratif secara
biokultural terhadap penyakit yang tidak berbahaya, tidak darurat, dan tidak ada baku
emas pengobatannya, contohnya masuk angin dan panas dalam, dalam hal ini seorang
dokter berlapang dada menerima Rpelayanan kesehatan tradisional tersebut, dengan
cara mendukung saintifikasi dan bila terbukti efektif mendorong pemakaiannya dan
memasukkannya ke dalam indikasi medis serta bila perlu masuk ke dalam JKN.
 Apabila suatu pelayanan kesehatan tradisional mudah, murah, dan mujarab, terutama
pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan metode-metode yang khas
Indonesia dengan memanfaatkan sumber daya alam Indonesia sehingga memiliki
kekhususan tersendiri. Dokter harus menerima dan mendukung pelayanan kesehatan
tradisional tersebut karena selain bermanfaat tetapi juga memiliki nilai jati diri,
ekonomi, sosial, budaya, sebagaimana sudah dicanangkan pemerintah dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Budaya.
 Seorang dokter harus menghormati pilihan pasien apabila memang ingin menggunakan
obat-obatan yang tergolong /jenis pelayanan yang tergolong dalam obat tradisional
dengan cara yang bijak dan tidak mencela teman sejawat yang memang mendalami dan
dengan menggunakan pendekatan ekletik holistik untuk kepentingan terbaik pasien,
mengembangkan kesehatan tradisional dengan etikat baik untuk memajukan bangsa,
mencegah ketergantungan obat ataupun alat kesehatan dari luar negeri serta untuk
kepentingan promotif dan preventif.
 Seorang dokter terdorong untuk mensupervisi sesama tenaga kesehatan khususnya
tenaga kesehatan tradisional dalam interkolaborasi mengusung paradigma sehat
(gerakan masyarakat sehat, Perilaku Hidup Bersih Sehat, dan mengentaskan
kemiskinan) sebagai sumber dari rendahnya derajat/status kesehatan masyarakat.Dokter
dan pelayanan kesehatan tradisional sebaiknya bekerja sama dengan membuat sebuah
tempat terlokalisir atau kordinasi secara regional agar dapat memudahkan proses
supervisi, edukasi, konsultasi, dan penelitian. Proses supervisi artinya praktik pelayanan
kesehatan tradisional harus dalam batas yang sesuai dengan kemampuannya, tidak
melakukan klaim-klaim atau tindakan yang tidak sesuai kompetensi sesuai
perizinannya. Proses edukasi artinya dilakukan pelatihan agar praktik pelayanan
kesehatan tradisional semakin terstandardisasi, tidak membahayakan, serta para tenaga
kesehatannya dapat mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit yang berada pada
ranah konvensional. Proses konsultasi artinya tenaga kesehatan tradisional dapat
berkonsultasi dengan dokter dengan mudah ketika menemukan suatu kasus yang rancu.
Proses penelitian adalah proses saintifikasi suatu metode pelayanan kesehatan
tradisional sehingga nantinya dapat dibuktikan secara evidence-based medicine.
5. Dua jenis evaluasi atau uji untuk mengetahui aktivitas Antithrombotik dari herbal G.
jasminoides yaitu:
 Lamanya waktu perdarahan yang dilakukan dengan menggunakan metode Duke yang
dimodifikasi.
 Waktu pembekuan darah yang dilakukan dengna metode drop, dimana sampel darah
diambil melalui tikus yang mengalami luka menggunakan blood lancet.

6. Tujuan dari peresepan Antithrombotik seperti aspirin dan clopidogrel untuk pasien yaitu:
Agen antotrombotik seperti aspirin dan clopidogrel sering diresepkan untuk meningkatkan
sirkulasi darah dan sering disebut sebagai obat pengencer darah.

7. Hewan-hewan dibagi menjadi 5 kelompok:


 A: Positif kelompok kontrol menerima penangguhan aspirin 0,208 mg/20g BB
 U: Kelompok yang tidak diobati, menerima air ad libitum
 GJL-100: Menerima suspense etanol daun ekstrak G. jasminoides 100 mg/KgBB
 GJL-200: Menerima suspense ekstrak etanol daun G. Jasminoides 200 mg/KgBB
 GJL-300: Menerima suspense ekstrak etanol daun G. Jasminoides 300 mg/KgBB

8. Kandungan fitokimia dari herbal G. jasminoides berdasarkan artikel:


 Alkaloid
 Flavonoid
 Saponin
 Tanin
 Steroid
 Terpenoid
 Glicoside

9. Mekanisme yang terlibat dalam hemostasis termasuk adhesi, aktivasi dan agregasi
trombosit yang menghasilkan sumbat trombosit. Terganggunya langkah tersebut
mengakibatkan sumbatan pada sumbat yang ditunjukkan dengan lamanya waktu
perdarahan dan kemiringan waktu pembentukan bekuan. Efek antitrombotik obat atau
herbal diteliti dalam dua metode yaitu evaluasi waktu perdarahan dan waktu pembekuan
darah.
Aktivitas G. jasminoides dalam meningkatkan waktu perdarahan
G. jasminoides ekstrak dan aspirin memperpanjang waktu perdarahan. Peningkatan
waktu perdarahan dimulai pada hari ke 7 sampai dengan hari ke 28. Tidak ada
peningkatan pada kelompok yang tidak diobati. Dosis ekstrak yang meningkat akan
memperpanjang waktu perdarahan. Ekstrak pada dosis 300 mg/KgBB menunjukkan
waktu perdarahan yang lebih lama dibandingkan dengan ekstrak dosis 100 dan 200
mg/KgBB. Analisis statistik menunjukkan bahwa lama perdarahan ekstrak aspirin dan
GJL berbeda secara signifikan terhadap kontrol negatif.
Aktivitas G. Jasminoides dalam meningkatkan waktu pembentukan bekuan
Hasilnya menunjukkan bahwa GJL menunjukkan efek antitrombotik. Sebuah zat
antitrombotik membantu mencegah gangguan kapiler yang disebabkan oleh pembentukan
gumpalan sebagai faktor risiko bagi jantung dan penyakit kapiler. Aktivitas terapeutik
yang diperlihatkan oleh herba mungkin karena adanya senyawa metabolit sekunder
seperti glikosida pada terpenoid, flavonoid, dan saponin.
Iridoid, yang diklasifikasikan ke dalam glikosid terpenoid, dilaporkan menghambat
phospholixase-A2, suatu enzim yang berperan dalam pembentukan asam arakidat. Asam
arakidat meningkatkan aktivasi trombosit, merangsang vasokonstriksi dan merangsang
agregasi trombosit. Flavonoid menghambat agregasi keping darah dengan menghambat
cyclooxygenase. Saponin memblokir pengaruh kalsium. Karena peranan ketiga senyawa
ini sehingga proses pembentukan pemblokiran dapat terhambat.

10. Dari hasil observasi yang dilakukan selama 28 hari didapatkan pada dosis 300 mg/KgBB
menunjukkan efek yang lebih baik dari kontrol positif.

Anda mungkin juga menyukai