Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AGAMA

“FARMASI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN”

DI SUSUN OLEH:

AN NUR AULIA EL FIRMAN

N011 17 1331

DOSEN PEMBIMBING:

Hj. NUR ASIAH, S.Ag.,MAg

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang penting bagi umat Islam
sebagai pengembangan Al-Qur’an yang memerlukan pengkajian dan pembuktian
ilmiah. Dengan mengkaji secara mendalam dan membuktikan secara ilmiah maka
kita akan menemukan misteri yang luar biasa dari Al-Qur’an. Seseorang yang
mendalami, meneliti dan mengembangkan Al-Qur’an dengan sarana ilmu
pengetahuan dan teknologi akan mengakui kebesaran Allah SWT.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang
dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran: 190-191).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia didalamnya memuat banyak hal
dalam kehidupan ini, mulai dari urusan yang kecil hingga dalam pengaturan suatu
negara termasuk didalamnya adalah mengenai ilmu pengobatan dan kefarmasian.
Menurut Al Biruni, farmasi merupakan suatu seni untuk mengenali jenis, bentuk
dan sifat-sifat fisika dari suatu bahan, serta seni mengetahui bagaimana
mengolahnya untuk dijadikan sebagai obat sesuai dengan resep dokter.
Kedokteran Islam yang didalamnya termasuk farmasi Islam merupakan ilmu
kedokteran dan farmasi yang berdasarkan Islam dan didalam praktiknya tidak
bertentangan dengan koridor ajaran Islam. Farmasi Islam diharapkan dapat
mengedepankan kemampuan untuk menggali dan menjaga lingkungan,
kemampuan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi secara
optimal, serta memiliki kepekaan terhadap berbagai proses perubahan yang terjadi
didalamnya.
Karakter perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi di negara-
negara Islam memiliki karakter yang menarik untuk dipelajari karena keunikan
ajaran Islam sebagai agama yang sempurna mengatur setiap sisi kehidupan
manusia. Teks-teks Al-Qur’an dan Hadist memiliki batasan yang tegas untuk
beberapa bahan yang diharamkan penggunaannya. Seorang farmasis muslim akan
berusaha menyelaraskan keyakinan beragamanya dengan prinsip-prinsip ilmiah
farmasi. Hasilnya adalah satu bidang kajian farmasi Islam, yaitu bidang keilmuan
dan pelayanan farmasi yang kajiannya berada dalam koridor agama Islam.
Bumi dan isinya adalah sumber dari bahan-bahan berkhasiat yang dapat
menjadi obat (Q.S. Al-A’raf: 10). Allah SWT telah mengkaruniakan kepada kita
kekayaan alam untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kebaikan umat di muka
bumi ini. Akan tetapi Allah tetap memberikan batasan-batasan dalam
pemanfaatannya. Salah satunya adalah adanya batasan halal dan haram untuk
makanan yang dikonsumsi. Hal ini berlaku juga untuk obat-obatan.
Tingkat kehalalah dan keharaman dalam dunia farmasi belum terpetakan
dengan jelas. Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia adalah negara dengan
mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, konsumen obat yang
beragama Islam memerlukan suatu perlindungan kehalalan obat yang mereka
konsumsi. Dalam hal ini maka keilmuan farmasi memegang peranan penting.
Maka obat yang akan dimakan untuk pengobatan harus benar-benar yang baik dan
bermanfaat untuk dikonsumsi dalam pengobatan dan dijamin oleh seorang
apoteker/ahli farmasis sebagai penjaga jalur distribusi obat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa landasan pengobatan dalam Al-Quran dan Hadist
2. Apa saja bahan obat yang bermanfaat dalam bidang farmasi sesuai yang
tercantum dalam Al-Qur’an?
3. Bagaimana produk farmasi dalam pandangan Islam?
C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode pustaka.
Metode pustaka adalah metode yang dilakukan dengan mempelajari dan
mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan materi
pembahasan, baik dari berupa buku maupun informasi dari internet.
D. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaiman landasan pengobatan dalam Al-Quran dan
Hadist
2. Untuk mengetahui bahan obat yang bermanfaat dalam bidang farmasi
sesuai yang tercantum dalam Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui bagaimana produk farmasi dalm pandangan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Pengobatan dalam Al-Qur’an dan Hadist
Kesehatan merupakan nikmat yang harus disyukuri sebagai anugerah
kehidupan. Namun kondisi lingkungan, kesalahan pola hidup ataupun serangan
wabah dari lingkungan sekitar membuat manusia dapat mengalami sakit. Manusia
diberikan akal dan potensi alam sekitar untuk mengatasi penyakitnya. Oleh karena
itu, Islam mewajibkan umatnya untuk berusahan/berikhtiar dan mengobati
penyakitnya bukan sekedar pasrah dan tidak berusaha mengatasinya. Islam
mengajarkan dalam mencapai kesembuhan diperlukan usaha seoptimal mungkin
dengan menegaskan bahwa untuk setiap penyakit telah disediakan obatnya.
Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata: “Seorang Badui berkata: Ya
Rasulullah! Tidakkah kita berobat? Rasulullah SAW menjawab: Ya, wahai
hamba-hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit
tanpa membuat kesembuhan baginya kecuali satu penyakit. Mereka bertanya:
Apakah satu penyakit itu Ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Tua” (H.R.
Usamah).
Ketentuan halal dan haram merupakan salah satu hak Allah yang harus ditaati
oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan haram umat Islam
berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sumber utama yang harus dijadikan
patokan pertama adalah Al-Qur’an, kemudian sumber kedua adalah hadist.
Apabila tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci dan tegas dalam Al-Qur’an
dan Hadist maka diperbolehkan ijtihad.
Bagaimana status darurat dalam pengobatan? Rasulullah saw. Memerintahkan
umatnya untuk berobat dengan menggunakan obat yang halal dan melarang
menggunakan obat yang haram. “Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat penyakit
(melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat untuk setiap
penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang
haram” (H.R. Abu Ad Darda’).
Dalam Al-Qur’an juga diperintahkan untuk memakan makanan yang Halal
dan Thoyyib (baik). Beberapa rambu-rambu yang membatasi adalah makanan
yang diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak wajar
dan binatang yang disembelih tanpa nama Allah. Meskipun penggunaan produk
halal hukumnya wajib bagi setiap muslim, namun para ulama memperbolehkan
obat yang haram dalam keadaan darurat. Imam Nawawi menjelaskan bahwa para
ulama fiqih pendukung madzhab Syafi’i menegaskan standar darurat ialah
timbulnya kekhawatiran akan kematian jika tidak dilakukan. Demikian pula Imam
Suyuthi mendefinisikannya sebagai kondisi yang jika tidak dilakukan akan mati
atau dekat kematian.
Kenyataan dalam dunia farmasi saat ini terdapat beberapa sediaan farmasi
yang dipertanyakan halal dan haramnya, di antaranya:
1. Sediaan topikal berbahan najis seperti sediaan losion, krim, atau plester.
Para ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumnya adalah najis
ketika digunakan.
2. Penggunaan bahan dari babi dalam kefarmasian. Sesuai dengan nash Al-
Qur’an, pada tahun 1994 komisi Fatwa MUI telah menfatwakan bahwa
babi dan komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai
pangan maupun obat dan kosmetika. Bahan obat dan kosmetik yang
berpotensi haram karena umumnya dibuat dari bagian organ babi adalah:
kolagen sebagai pelembab dan bahan dasar gelatin yang biasa digunakan
dalam pembuatan cangkang kapsul, gelatin, cerebroside; serta beberapa
golongan hormon seperti insulin, heparin dan enzim tripsin yang biasa
digunakan dalam pembuatan vaksin polio sebagai enzim proteolitik
berasal dari pancreas babi. Salah satu tantangan bagi kalangan ilmuwan
muslim adalah masalah kemiripan hormon insulin manusia dengan insulin
babi sehingga dari sudut pandang medis lebih menguntungkan daripada
menggunakan hormon insulin sapi yang tidak mirip insulin manusia.
3. Penggunaan alkohol dalam kefarmasian. Sebagian ulama mengqiyaskan
alkohol dengan khamr dan sama sekali menolak penggunaan alkohol
dalam berbagai produk baik obat, kosmetik, maupun antiseptik. Tetapi
dengan logika bahwa alkohol tidak selalu dihasilkan dari produksi khamr
dan tidak memabukkan, maka Dewan Fatwa MUI menfatwakan bahwa
alkohol boleh ada dalam produk akhir dengan kadar tidak lebih dari 1%.
Penggunaan alkohol dalam beberapa produk farmasi tidak dapat
terhindarkan sehingga perlu kearifan untuk membedakan antara alkohol
dan khamr. Bahkan dalam setiap sari buah alami yang diekstrak secara
sederhana tanpa proses fermentasi tetap terkandung alkohol dalam jumlah
rendah. Kandungan alkohol secara alami ada dalam mayoritas produk
pangan misalnya roti yang dibuat dengan bantuan yeast (gist/ragi)
biasanya mengandung alkohol antara 0,3-0,4%. Asam cuka yang biasa
digunakan dimasyarakat juga mengandung alkohol kurang dari 1%.
4. Bahan memabukkan lainnya seperti morfin, opium dan obat psikotropika.
5. Penggunaan plasenta dan cairan amniotik dalam kefarmasian. Plasenta
sebagai kosmetik mengagumkan dalam meningkatkan pembaharuan sel
(regenerasi sel). Amniotik liquid terbatas pada penggunaan pelembab,
lotion rambut dan perawatan kulit kepala serta sampo.
B. Obat dalam Al-Qur’an dan Hadist
Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan lengkap. Semua
permasalahan hidup termasuk mengenai pengobatan terhadap penyakit yang
diderita oleh manusia. Ajaran Islam mendorong kita untuk tetap mengobati
penyakit yang kita derita dengan cara yang Islami, tentunya dengan obat dan
terapi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an dan Nabi saw.
Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai hikmah yang
amat besar dan apa yang dilarang atau diharamkan sesungguhnya demi manusia
itu sendiri.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya dan Dia telah
menjadikan setiap penyakit ada abatnya, maka berobatlah kalian dan jangan
berobat dengan barang yang haram” (H.R. Abu Dawud).
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu yang ia
haramkan atasmu” (H.R. Bukhari).
Islam tidak mengajarkan kita untuk melakukan pengobatan yang mengandung
nilai kemusyrikan dan penggunaan bahan-bahan yang diharamkan. Semua
tuntunan tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah saw ribuan tahun yang lalu
ketika ilmu pengetahuan pengobatan belum berkembang pesat. Nash Al-Qur’an
dan hadist dapat menjadi panduan untuk mencari solusi dalam permasalahan
kehidupan di dunia, terutama mengenai dunia pengobatan.
Metode pengobatan dalam Islam yang terkenal sampai kini adalah ath-thibb-
an-nabawy (Pengobatan cara Nabi Muhammad saw). Tabib-tabib muslim meniru
Rasulullah serta berpedoman pada Al-Quran dan hadist seperti mengatur pola
makan dan minum, air putih untuk pengobatan, madu, susu murni, kurma, biji
jintan hitam dan bahan-bahan lainnya.
Seluruh tuntunan pengobatan sudah diatur dalam Al Quran dan hadist. Semua
tuntunan itu disampaikan Rasulullah saw ketika ilmu pengetahuan pengobatan
belum berkembang dengan pesat. Berikut adalah bahan-bahan berkhasiat yang
dapat dijadikan pengobatan yang disebutkan dalam Al-Quran dan Nabi saw.:
1. Kurma
“Rasulullah saw berbuka puasa dengan beberapa biji buah kurma sebelum
salat. Sekiranya tidak terdapat kurma, maka Rasulullah saw akan berbuka
dengan beberapa biji anggur. Sekiranya tiada anggur, maka Baginda
meminum beberapa teguk air” (H.R. Ahmad).
Buah kurma memiliki banyak khasiat antara lain sebagai sumber energi
karena kandungan karbohidratnya yang tinggi. Buah kurma kering per 100
gram mengandung 280 kkal energi, 75 g karbohidrat, 63 g gula, 8 g serat,
lemak sebesar 0,4, protein 2,5 g air 21 g, vitamin C 0,4 mg 1% (USDA
Nutrient Database). Buah ini juga dipercaya memiliki khasiat sebagai
aprodisiaka, diuretik, emolient, estrogenik, laksative, anti diare, anti demam
dan lain-lain.
2. Habbatus saudah
Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan habatussaudah
karena sesungguhnya padanya terdapat penyembuhan bagi segala penyakit
kecuali mati” (H.R. Abi Salamah dari Abu Hurairah).
Terdapat banyak penelitian dalam mencari khasiat biji jintan hitam ini.
Dalam Kitab At Tibbun Nabawi karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah
menyebutkan bahwa habbatussaudah dapat mengobati 50 jenis penyakit
tanpa disertai efek samping. The Journal of American Scientist melaporkan
bahwa habatussaudah memiliki khasiat untuk berbagai penyakit karena
mengandung senyawa antihistamin, antioksidan, antibiotik, antimitotik,
antikanker dan bronkodilator. Dr. Micheal Tierra penulis buku “Planetary
Herbalogy” menuliskan bahwa habbatussaudah atau black seed mengandung
betasitosterol yang merupakan zat antikanker.
3. Madu
Allah berfirman: “Dari perut lebah ini keluar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir”
(Q.S. An Nahl: 69).
Madu memiliki kandungan gizi utama berupa aneka senyawa
karbohidrat seperti fruktosa (41%), glukosa (35%), sukrosa (1,9%), dan
dekstrin (1,5%). Kadar protein dalam madu relatif kecil sekitar 2,6% akan
tetapi kandungan asam aminonya beragam, baik asam amino essensial
maupun non essensial. Kandungan vitamin yang terdapat dalam madu antara
lain vitamin B1, vitamin B2, B3, B6, dan vitamin C. Sementara mineral
yang terkandung dalam madu antara lain kalium, natrium, kalsium,
magnesium, besi, tembaga, fosfor. Meskipun jumlahnya sedikit, komposisi
mineral madu merupakan sumber ideal bagi tubuh karena perbandingan dan
jumlah mineral madu mendekati komposisi yang terdapat dalam darah
manusia.
4. Zaitun
Rasulullah bersabda: “Makanlah minyak zaitun dan lumurlah minyaknya
karena ia berasal dari pohon yang penuh berkah” (H.R. At Tirmizi dan Ibnu
Majah).
Zaitun secara alami mengandung beberapa senyawa tidak tersabunkan
seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen dan squalen yang memegang peranan
penting dalam kesehatan. Minyak zaitun juga mengandung asam lemak tak
jenuh, asam oleat sebesar 55-83% dari total asam lemak dalam zaitun.
Komponen yang penting dalam minyak zaitun yakni tokoferol yang terdiri
atas tokoferol a,b,c dan d. Diantara keempat jenis itu tokoferol a yang paling
tinggi sekitar 90% dari total tokoferol dalam minyak zaitun. Tokoferol a
dikenal sebagai vitamin E yang berkhasiat sebagai antioksidan alami.
C. Produk Farmasi dalam Pandangan Islam
Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan bagian pokok dari
tinjauan kritis produk farmasi bagi seorang muslim, karena hal ini menyangkut
keamanan dari segi ruhaniah bagi seorang yang mengkonsumsinya seperti
mempengaruhi terkabulnya doa di sisi Allah swt.
“Perbaikilah makananmu, maka Allah akan mengabulkan doa-doamu” (H.R. Ath-
Thabrani).
1. Obat
Titik kritis untuk obat yang diisolasi dari hewan adalah ketika hewan
bisa berasal dari sapi, babi atau hewan lain yang diharamkan. Selain itu cara
penyembelihan hewanpun harus benar-benar dipertimbangkan. Sementara
untuk produk metabolit mikroba titik kritis kehalalan medium serta enzim
pertumbuhan yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Bahan untuk
ekstraksi metabolit aktif pun harus dipertimbangkan apakah menggunakan
alkohol murni atau produk sampingan dari industri khamr.
Beberapa zat aktif obat yang harus dicermati adalah kelompok hormon,
enzim, dan vitamin. Produk hasil bioteknologi ini bisa berasal dari produk
mikrobil yang haram, media penyegaran dan perbanyakan dari bahan yang
haram, atau bahan penolong yang haram. Pada tingkat teknologi yang lebih
tinggi harus dipertimbangkan juga apakah mikroba rekombinan gennya
berasal dari hewan yang haram atau tidak.
Bahan pembantu atau eksipien titik kritis perhatikan pada penggunaan
laktosa, etanol, adeps lanae serta magnesium stearat. Sebagian bahan baku
laktosa ditemukan sebagai produk samping pembuatan keju dan susu yang
ditambahkan enzim dari babi. Etanol perhatikan batas kadar 1% dan sumber
produksinya apakah bersinggungan dengan kamr atau tidak. Adeps lanae
sebagai bahan untuk meningkatkan viskositas juga beresiko diisolasi dari
hewan yang diharamkan.
2. Obat bahan alam
Bahan dasar obat bahan alam tidak sepenuhnya berasal dari bahan
tumbuh-tumbuhan. Kenyataannya produk-produk hewan pun juga masuk
dalam ramuan obat bahan alam. Ramuan tradisional itu juga mengenal
bahan-bahan hewani, seperti kuda laut, bagian organ dari ayam, bagian
organ ular (empedu, darah, lemak, serta otaknya), buaya, kalajengking, laba-
laba, dan ekstrak berbagai bagian dari jenis binatang. Jadi, perlu kehati-
hatian dalam memilihnya sebab penggunaan hewan ini harus dilihat dari segi
jenis hewannya halal atau tidak.
Pembuatan obat dari bahan alam yang halal dari hewan hendaklah dari
hewan yang halal dikonsumsi. Bagi produsen yang menggunakan hewan
sebagai bahan pembuatan obat, dapat menanyakan hukum hewan yang
digunakannya apakah halal atau haram.
3. Kosmetik
Produk kosmetik memang tidak dimakan dan masuk ke dalam tubuh.
Oleh karena itu, penggunaan kosmetik biasanya dikaitkan dengan masalah
suci dan najis. Unsur kosmetik haruslah terdiri dari zat yang halal, tidak
najis atau menjijikkan daa tidak membahayakan tubuh pemakainya serta
jangan sampai kosmetik menjadi sarana tabarruj yakni berdandan yang
berlebihan dan bukan pada tempatnya.
Sediaan kosmetik ini terdapat peluang digunakannya bahan aktif atau
bahan pembantu dari bahan yang haram atau diragukan/subhat. Status
kehalalan ini kritis terutama pada produk dengan bahan hasil isolasi dari
hewan (kolagen, dll), menggunakan alkohol, menggunakan bagian dari
manusia seperti plasenta dan cairan amniotik.
D. Riset dan Teknologi Farmasi
Farmasi merupakan suatu bidang ilmu yang semakin berkembang. Dengan
perkembangan teknologi kefarmasian tentu mengakibatkan berbagai konsekuensi
termasuk permasalahan yang terjadi semakin lebih kompleks, mulai dari
kontrofersi dalam penggunaan hewan percobaan dalam riset kefarmasian,
teknologi transgenik, kloning, hingga mengenai dampak linngkungan hidup akibat
banyak bertumbuhnya industri farmasi yang dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan.
Islam sebagai agama yang sempurna dalam ajarannya telah mengajarkan
kepada umatnya untuk tetap menyeimbangkan antara perkembangan teknologi
dengan nilai-nilai ilahiyah, sehingga kerusakan dimuka bumi dapat terhindarkan.
Contoh reiset dan teknologi yang perlu diperhatikan:
1. Penelitian-penelitian menggunakan hewan percobaan
Konsep yang dipegang oleh fikih adalah mempertimbangkan kepentingan
umat manusia yang terdiri atas 5 hal yang meliputi agama, jiwa, keluarga, akal
fikiran, serta harta benda. Tindakan-tindakan tertentu yang dimotivasi oleh
keterpaksaan atau darurat dalam rangka melindungi salah satu dari lima
kepentingan itu dibenarkan. Aspek kedaruratan ini juga berlaku dalam
pemanfaatan hewan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, kesehatan dan
penelitian kefarmasian yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Meskipun
demikian dalam pandangan Islam, kita wajib berbuat baik dalam
memperlakuakan hewan dengan tujuan yang jelas. Tantangan ahli farmasi
adalah menguji khasiat obat dengan in vitro tanpa hewan uji karena saat ini
tidak semua uji dapat dilakuakn secara in vitro seperti uji toksisitas.
2. Pemanfaatan teknologi transgenic
Perkembangan dalam rekayasa genetik perlu diperhatikan mengenai proses
pembuatannya (prokursor, raw material, media pertumbuhan) agar produk
yang dihasilkan aman dan halal.
3. Kontroversi teknologi cloning
Proses kloning dalam penciptaan manusia jelas bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At Tin: 4).
4. Penanganan lingkungan hidup
Setiap orang yang mengeksploitasi dan menggunakan alam adalah demi
kepentingan ibadah, melestarikan alam juga ibadah. Penanganan limbah harus
sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Dalam memanfaatkan alam
harus memperhatikan estetika dan keindahan. Pengembangan teknologi dan
industri perlu diimbangi dengan perilaku memelihara lingkungan sekitar
secara arif misalnya, dengan memanfaatkan SDA sesuai dengan kebutuhan,
penyiapan analisis pengembangan mengenai dampak lingkungan (AMDAL),
penanganan limbah industri yang sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan, serta bentuk perilaku ramah lingkungan lainnya.
E. Pelayanan Kefarmasian
Perubahan paradigma pelayanan farmasi dari drug oriented menjadi patient
oriented sehingga menjadikan profesi farmasi menjadi peluang sekaligus
tantangan. Farmasis berperan dalam membantu pengobatan mandiri pasien untuk
memilihkan obat yang baik dan halal. Fungsi utama dari dari pelaksanaan asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical care) antara lain untuk mengidentifikasi baik yang
aktual maupun potensial masalah yang berhubungan dengan obat, menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan obat, serta mencegah terjadinya masalah yang
berhubungan dengan obat.
Dalam etika farmasi, para farmasis memiliki kewajiban untuk melindungi
pasien dari kerugian akibat kesalahan pemakaian obat yang merugikan. Diawal
Farmasi memeriksa kebutuhan pasien, ditengah memeriksa kembali semua
informasi dan memilih solusi bagi DRP (Drug Related Problem), diakhir menilai
hasil intervensi (evaluasi) sehingga didapat hasil yang optimal sehingga pada
akhirnya diharapkan kualitas hidup pasien meningkat serta hasilnya memuaskan.
Dengan mengutamakan keselamatan dan melindungi pasien dari penggunaan obat
yang membahayakan diri pasien, berarti farmasis turut memelihara kehidupan
pasien tersebut sesuai dengan anjuran ajaran Islam.
F. Sertifikat Halal Produk Farmasi
Mencari yang halal merupakan suatu kewajiban setiap muslim sehingga kita
wajib selektif dalam memilih makanan dan minuman termasuk obat-obatan dan
kosmetika.
“Menuntut yang halal itu wajib atas setiap muslim” (H.R. Ibnu Mas’ud).
“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat yang pantas
baginya” (H.R. At-Tirmidzi).
Masyarakat sulit menentukan suatu produk itu halal atau haram namun dengan
adanya label sertifikat halal pada produk yang diberikan oleh LPPOM MUI dan
nomor registrasi yang diberikan BPOM berarti produk tersebut telah dianggap
halal dan aman (thoyyib). Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat
Halal dari MUI, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari
Sistem Jaminan Halal di perusahaannya.
Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Tujuan
pelaksanaan sertifikat halal pada produk pangan, produk farmasi seperti obat-
obatan dan kosmetik adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk
sehingga dapat menentramkan batin konsumen.
Permasalahan regulasi halal di Indonesia adalah produsen memasang label
halal sendiri dan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dalam Bab Label dan
Iklan Pangan Pasal 30 ayat 1 mampu memaksa produsen untuk mensertifikasi
produknya.
“Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia
pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di
dalam, dan atau di kemasan pangan”.
Namun penjelasan lanjutan dari UU ini mengandung keanehan yang
mementahkan konsep ‘pemaksaan’ tadi yaitu pada pasal 30 ayat 2 (e) yang
berbunyi: “…Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan
kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan
pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan
yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam …”
Akibat penjelasan di atas pelabelan halal hukumnya tidak wajib, maka
sertifikat halalpun menjadi tidak wajib pula. Oleh karena itu, peran pemerintah
perlu menganalisis kembali UU No.7 tersebut terutama pasal 2 (e) agar
memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi konsumen.
Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur kehalalan obat dan kosmetik. Padahal sangat banyak titik kritis halal
haram dari obat dan kosmetik. Hal ini belum menjadi perhatian penting bagi
praktisi kesehatan maupun konsumen dengan berlindung pada alasan status
kedaruratan. Oleh karena itu, perlunya membangun kesadaran semua pihak
tentang pentingnya regulasi halal untuk obat dan kosmetik serta selektif memilih
produk yang halal dan toyib.
Tantangan lain dalam mencanangkan regulasi halal obat dan kosmetik selain
rendahnya kesadaran praktisi kesehatan terhadap obat dan kosmetik halal di
Indonesia adalah minimalnya bahan baku lokal sehingga pengawasan oleh
LPPOM MUI lebih sulit karena ketergantungan industri farmasi pada bahan baku
impor. Selain itu regulasi dan pola pengawasan produk halal masing-masing
Negara berbeda karena parameter penentuan kehalalan dan lembaga serta ijtihad
para ulama fiqih lokal bisa berbeda.
Keberadaan benda haram dalam suatu produk tidak dapat langsung terdeteksi
secara visual bahkan penelitian laboratorium pun tidak selalu bisa mendeteksi
keberadaan unsur alkohol maupun babi pada produk akhir. Oleh karena itu, hal
terpenting adalah secara etis adanya jaminan pihak ketiga yang independen atas
kehalalan produk pangan, obat, maupun kosmetika dalam bentuk sertifikat halal.
Sehingga produsen terawasi sejak proses pengadaan barang, produksi hingga
pengemasan. Hasil dari pengawasan dikeluarkan dalam bentuk dokumen yang
selanjutnya menjadi landasan sertifikasi kehalalan. Selanjutnya dibutuhkan studi
lebih lanjut untuk menciptakan metode yang lebih akurat, cepat dan ekonomis.
Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan dengan
penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat, makanan maupun
kosmetik. Hal itu disebabkan farmasis merupakan suatu profesi yang konsen,
komitmen dan kompeten dalam bidang pengobatan. Untuk dapat mewujudkannya,
dibutuhkan tenaga farmasis muslim yang benar-benar mengerti dibidangnya dan
memiliki sikap sesuai profesi yang disandangnya.
Sebagai farmasis muslim kita juga dituntut untuk memiliki kepekaan pada
kebutuhan umat Islam. Bagi seorang muslim, mengkonsumsi makanan serta
produk farmasi lainnya termasuk obat yang berstatus halal dan thoyib, sudah
menjadi bagian keyakinan agama yang harus dijalankan. Ironisnya seringkali
konsumen tidak memiliki kebebasan untuk memilih produk yang halal akibat
minimnya informasi yang sampai. Penjaminan hak konsumen muslim dalam
mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah,
farmasi dan masyarakat pada umumnya.
Islam menghendaki kehati-hatian kita dalam membuat serta mengkonsumsi
segala sesuatu termasuk obat. Tujuan kehati-hatian tidak untuk memberatkan
manusia dengan berbagai aturan yang telah ditetapkan, namun ingin
menghantarkan manusia dalam kemuliaan dan kebahagiaan hakiki, di dunia
maupun diakhirat. Bahkan beberapa aturan dalam Islam telah terbukti secara etis
meningkatkan kualitas hakiki kehidupan manusia.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram
itu pun jelas. Sedang diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat
(meragukan) yng tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa-siapa yang
menghindari perkara-perkara syubhat berarti ia membebaskan diri demi agama
dan kehormatannya. Dan siapa-siapa yang terjerumus kepada yang haram
bagaikan seorang pengembala yang bergembala diperbatasan tempat yang
dilarang dan ia hamper melanggar. Ketahuilah bahwa setiap milik itu ada
batasannya, dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah perkara-perkara yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging
yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, tetapi jika rusak maka rusaklah
keadaan seluruh tubuh. Ketahuilah, dia itu adalah hati” (H.R. Muslim).
Seseorang yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat itu tidak
terdapat alternatif lain. Penggunaan obat yang haram dalam keadaan darurat tidak
boleh berlebihan, tetapi seperlunya saja. Sementara yang berhak menilai keadaan
darurat seseorang adalah tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui
persis kondisi pasien, pribadi bersangkutan yang merasakan penderitaan sakitnya
dan pemerintah berwenang untuk kondisi darurat yang menangkut kepentingan
umum.
Kondisi darurat adalah respon reaktif yang bisa menjadi landasan penentuan
hukum ketika manusia berada dalam kondisi terdesak. Sayangnya status darurat
ini sering menjadi tempat berlindung para praktisi kesehatan ketika berhadapan
dengan pasien. Secara filosofis kondisi kedaruratan obat tidak harus terjadi
manakala ilmuwan muslim di dunia pengobatan memiliki cara pandang tentang
pentingnya mengusahakan produk farmasi yang halal. Karena pada dasarnya
masih banyak alternatif bahan obat yang halal yang belum diusahakan
pengadaannya. Segala yang berasal dari haram semuanya dinilai haram. Tujuan
atau niat tidak menghalalkan cara atau proses. Namun perlu “cerdas dan arif”
dalam menilai status kedaruratan suatu kondisi, dimana dinilai oleh yang memiliki
wewenang dan keilmuan terkait itu. Jadi, diperlukan peran semua pihak untuk
mengusahakan pengadaan serta penggunaan produk yang halal dan toyib (baik).
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Etika faramsi dalam Islam layaknya sebagai landasan/pondasi aksiologi
sehingga dapat menjamin nilai, kualitas dan ilmu farmasi menjadi lebih
bermanfaat terutama dalam hal penjaminan halal dan haram bagi umat
Islam.
2. Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan dengan
penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat, makanan
maupun kosmetik. Penjaminan hak konsumen muslim dalam
mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak baik
pemerintah, farmasi dan masyarakat pada umumnya.
3. Tantangan ahli farmasi muslim adalah mengusahakan membuat bentuk
sediaan obat dan kosmetik halal, serta menguji khasiat obat dengan in vitro
tanpa hewan uji.
4. Seseorang yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat itu
tidak terdapat alternatif lain setelah keadaan darurat dinilai oleh tenaga
ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui persis kondisi pasien, dan
pemerintah berwenang untuk kondisi darurat yang menangkut kepentingan
umum.
Daftar Pustaka
An-Nawawi. 2007. Terjemah Hadits Arba’in: An-Nawawiyah, Cetakan V.
Penerjemah: Tim Sholahuddin, Jakarta: Sholahuddin Press.
Departemen Agama RI. 2005. Al Quran dan Terjemahannya. PT. Syamil Cipta
Media, Indonesia.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 1996. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor: 7 tahun 1996 Tentang Pangan, DirJen
Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Wasito, H. dan D. Herawati. 2008. Etika Farmasi dalam Islam. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai