Anda di halaman 1dari 18

RESUME

Step 7

SKENARIO III

OLEH :

Nama : Nurul Purnama Wati


Stambuk : 151 2018 0146
Kelompok : Kelompok 8

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penyerahan dan penggolongan
precursor berdasarkan peraturan yang berlaku
a. Menurut Permenkes No 40 tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan
Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi
 Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses
produksi Industri Farmasi atau produk antara, produk ruahan dan produk jadi
yang mengandung efedrin, pseudoefedrin, norefedrin/fenilpropanolamin,
ergotamin, ergometrin, atau potassium permanganat.
 Bahan Obat adalah bahan berkhasiat yang mengandung prekursor yang
digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan
baku farmasi termasuk baku pembanding.
 Penyerahan adalah kegiatan memberikan Obat Mengandung Prekursor
Farmasi antar fasilitas pelayanan kefarmasian maupun kepada pengguna
akhir (pasien) dalam rangka pelayanan kesehatan.

1. Penyerahan obat mengandung Prekursor Farmasi harus memperhatikan


kewajaran jumlah yang diserahkan sesuai kebutuhan terapi.
2. Penyerahan obat mengandung Prekursor Farmasi diluar kewajaran harus
dilakukan oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek/Apoteker Pendamping
setelah dilakukan screening terhadap permintaan obat.
3. Hal-hal yang harus diwaspadai dalam melayani pembelian obat mengandung
Prekursor Farmasi:
a. Pembelian dalam jumlah besar, misalnya oleh Medical Representative/Sales
dari Industri Farmasi atau PBF;
b. Pembelian secara berulang-ulang dengan frekuensi yang tidak wajar;
Pasal 2
Pengaturan Prekursor Farmasi dan/atau Obat mengandung Prekursor Farmasi
dalam Peraturan ini meliputi:
a. Prekursor Farmasi yang terdiri atas Ephedrine, Ergometrine, Ergotamine,
Norephedrine, Potassium Permanganat, dan Pseudoephedrine sebagaimana
dimaksud dalam Tabel 1 Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor;
b. Produk Antara, Produk Ruahan, dan Obat mengandung Prekursor Farmasi yang
mengandung Ephedrine, Ergometrine, Ergotamine, Norephedrine, Potassium
Permanganat dan Pseudoephedrine;
c. Prekursor Farmasi dan/atau Obat mengandung Prekursor Farmasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b adalah yang digunakan untuk kepentingan
pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan.
Menurut Permenkes No 44 tahun 2010 tentang Prekursor
GOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR
TABEL I
1. Acetic Anhydride.
2. N-Acetylanthranilic Acid.
3. 3. Ephedrine.
4. 4. Ergometrine.
5. Ergotamine.
6. Isosafrole.
7. Lysergic Acid.
8. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone.
9. Norephedrine.
10. 1-Phenyl-2-Propanone.
11. Piperonal.
12. Potassium Permanganat.
13. Pseudoephedrine.
14. Safrole.
TABEL II
1. Acetone.
2. Anthranilic Acid.
3. Ethyl Ether
4. Hydrochloric Acid
5. Methyl Ethyl Ketone.
6. Phenylacetic Acid.
7. Piperidine.
8. Sulphuric Acid.
9. Toluene.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Penggunaan pil KB dan obat
precursor dalam pandangan Islam
a. Pandangan Islam terkait Penggunaan Pil Kb :
Menurut Dwi 2011 dalam jurnal "Comparison of family planning (KB) Based on
Law Number 52 Year 2009 on Population Development and Family Development
and Islamic Law Perspective"
Hukum KB dalam Islam dilihat dari 2 pengertian, yaitu:
1. Tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran) Islam tidak mengenal pembatasan
kelahiran, bahkan terdapat banyak hadits yang mendorong umat Islam untuk
memperbanyak anak. Misalnya, tidak bolehnya membunuh anak apalagi karena
takut miskin atau tidak mampu memberikan nafkah. Allah berfirman: “Dan
janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang
memberi rezeki kepada merekadan kepada kalian.” (Qs. Al-Isra’: 31)
2. Tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran) KB sebagai aktivitas individual untuk
mencegah kehamilan (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat),
misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memberikan petunjuk yang perlu kita
laksanakan dalam kaitannya dengan KB diantaranya ialah :
“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah. Mereka khawatir terhadap
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (Surat An-Nisa’
ayat 9 )
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara
kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan
budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan
mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (QS An-Nuur [24]: 32)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara
kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan
budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan
mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (QS An-Nuur [24]: 32)
b. Pandangan Islam tentang precursor
Menurut Fatwa MUI No 30 tahun 2013 tentang Obat dan Pengobatan :
Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan hukumnya
haram kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
a. digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi keterpaksaan
yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia, atau kondisi
keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat (al-hajat allati tanzilu manzilah
al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka akan
dapat mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari;
b. belum ditemukan bahan yang halal dan suci; dan
c. adanya rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat
yang halal.
Pendapat Imam Al-‘Izz ibn ‘Abd Al-Salam dalam Kitab “Qawa’id Al-Ahkam” :
“Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan benda suci yang
dapat menggantikannya, karena mashlahat kesehatan dan keselematan lebih
diutamakan daripada mashlahat menjauhi benda najis”
Pendapat Imam al-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’
“Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat : Sesungguhnya
berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan
benda suci yang dapat menggantikannya, apabila telah didapatkan – obat dengan
benda yang suci – maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis.
Inilah maksud dari hadist “ Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian
pada sesuatu yang diharamkan atas kalian “, maka berobat dengan benda najis
menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis dan tidak
haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat-sahabat
kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat : Dibolehkannya berobat dengan
benda najis apabila para ahli kesehatan –farmakologi- menyatakan bahwa belum
ada obat kecuali dengan benda najis itu, atau obat – dengan benda najis itu –
direkomendasikan oleh dokter muslim”.
" dan ia (Nabi) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk..." (QS. al-A`raf [7]:
157).
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..." (QS. al
Baqarah [2]: 195).
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai tindakan apt dlm
melayani obat” OWA dan Penggolongan OWA menurut UU
Tindakan apoteker sudah tepat dengan memberikan obat sesuai dengan
peraturan owa dimana :
 Menurut Kepmenkes No 924/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib
No. 2 yaitu Obat Fenoterol hanya dapat diberikan 1 tabung saja
 Menurut Kepmenkes No 1176/MENKES/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib
No. 3 yaitu Obat Ranitidin dan Allopurinol hanya dapat diberikan 10 tablet saja
dan Untuk Owa 3 pemberian obat hanya atas dasar pengobatan ulangan dari
dokter.
Menurut Permenkes 919/Menkes/Per/X/1993 tentang Kriteria obat yang dapat
diserahkan tanpa resep
Pasal 2
1. Tidak dikontraindikasikan unutk penggunaan pada wanita hamil, anak
dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kewajiban Apt-pasien, apt-teman
sejawat berdasarkan Kode etik
Menurut Kode Etik Apoteker Indonesia
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat. menghormati hak azasi pasien dan
melindungi makhluk hidup insani.
Implementasi - Jabaran Kode Etik :
a. Kepedulian kepada pasien adalah merupakan hal yang paling utama dari
seorang apoteker.
b. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak
kepada kepentingan pasien dan masyarakat.
c. Seorang apoteker harus mampu mendorong pasien untuk terlibat dalam
keputusan pengobatan mereka.
d. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga
kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang yang dalam
kondisi lemah.
e. Seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan kepada pasien
adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, dan khasiat dan cara pakai obat
yang tepat.
 Dalam hal ini apoteker memberikan edukasi terkait permintaan obat kepada
pasien yang tidak bisa diberikan sesuai permintaan pasien
 Dan Pasien yang meminta obat batuk flu dengan membawa sisa obat flunya
akan tetapi tidak bisa diberikan karena obat flu harus diberikan dengan
sesuai resep dokter
 Setelahnya Apoteker memberikan swamedikasi terkait gejala yang pasien
dan kemudian menawarkan beberapa obat yang sesuai dengan gejala yang
pasien rasakan.
Pasal 10
Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
a. Setiap apoteker harus menghargai teman sejawatnya, termasuk rekan kerjanya.
 Dalam hal ini pada skenario rekan kerja yang dimaksud adalah petugas
apotek dimana sebelum memberikan obat kepada pasien petugas apotek
terlebih dahulu mengkonfirmasi kepada apoteker di apotik tersebut dan
kemudian apoteker memberikan edukasi bahwa obat hanya bisa diberikan
setengah dari jumlah yang diminta pasien karena sudah di atur dalam
peraturan yang ada.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Swamedikasi dan konseling
pada skenario
Menurut Binfar Depkes 2007 tentang Pedoman Penggunaan Obat bebas dan
Bebas Terbatas
a. Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri.
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan
penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri,
pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-
lain. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya
berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-
obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang termasuk dalam
golongan obat bebas dan bebas terbatas relatif aman digunakan untuk
pengobatan sendiri (swamedikasi). Informasi yang perlu disampaikan oleh
Apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat antara lain:
1. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang
bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang
dialami pasien.
2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari
obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi
dimaksud.
3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi
informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus
dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
4. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada
pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan,
dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan
dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk
pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya.
6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas
kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada
pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena
penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.
8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan
makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.
9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat
10. Cara penyimpanan obat yang baik
11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa
12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak
 Dalam hal ini jika dikataikan dengan skenario Apoteker memberikan
swamedikasi tentang gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien dan memberikan
beberapa saran obat serta menjelaskan bagaimana aturan pemakaian, efek
samping dan penyimpanan obat yang baik serta memperlakukan obat yang
masih tersisa.
Menurut Binfar Depkes 2007 tentang Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Di
Sarana Kesehatan
b. Konseling adalah Konseling obat sebagai salah satu metode edukasi
pengobatan secara tatap muka atau wawancara, merupakan salah satu bentuk
pelayanan kefarmasian dalam usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman pasien dalam penggunaan obat. Apoteker baik di rumah sakit
maupun di sarana pelayanan kesehatan lainnya berkewajiban menjamin bahwa
pasien mengerti dan memahami serta patuh dalam penggunaan obat sehingga
diharapkandapat meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
Prioritas pasien yang perlu mendapat konseling :
1. Pasien dengan populasi khusus ( pasien geriatri, pasien pediatri, dll)
2. Pasien dengan terapi jangka panjang (TBC, Epilepsi, diabetes, dll)
3. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus
4. (Penggunaan kortikosteroid dengan ”tappering down” atau ”tappering off” )
5. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan indeks terapi sempit ( digoxin,
phenytoin, dll )
6. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan menjalankan terapi rendah.
Apoteker memperkenalkan diri (memberi batasan ttg konseling yg akan
diberikan), Identifikasi apakah yang datang pasien sendiri atau bukan,
Menanyakan kepasien apakah dia mempunyai waktu untuk diberi penjelasan dan
menjelaskan kegunaan konseling, Menanyakan kepada pasien apakah dokter
telah menjelaskan tentang obat yang diberikan, Dengarkan semua keterangan
pasien dengan baik dan empati, Menanyakan ada atau tidaknya riwayat alergi,
Jelaskan kepada pasien nama obat, indikasi, cara pemakaian, Jelaskan kepada
pasien tentang dosis, frekuensi dan lama penggunaan obat, Buat jadwal minum
obat yang disesuaikan dengan kegiatan harian pasien, dan tanyakan apakah
pasien kesulitan mengikuti jadwal tersebut, Menjelaskan tindakan yang perlu jika
lupa minum obat, Menjelaskan hal-hal yang perlu dihindari selama minum
obat, Menjelaskan kemungkinan interaksi obat-obat, atau obat-makanan dan
cara mengatasinya, menjelaskan efek samping dan cara menanggulangi efek
samping, Menjelaskan cara penyimpanan yang benar, Memastikan pasien
memahami semua informasi yang diberikan, dengan meminta pasien
mengulang kembali.
Jika dikaitkan dengan skenario obat yang penggunaan khusus dan diberi
konseling adalah Inhaler dan Pil Kb
Menurut Menurut Binfar Depkes 2007 tentang Pedoman Konseling Pelayanan
Kefarmasian Di Sarana Kesehatan
Penggunaan Inhaler yang benar adalah :
a. Buka tutup inhaler dan hadapkan keatas
b. Kocok dahulu
c. Miringkan kepala kebelakang
d. Tekan inhaler untuk mengeluarkan obat
e. Bernafaslah perlahan-lahan ( 3-5 detik )
f. Tahan nafas sekitar 10 detik untuk membiarkan obat mencapai paruparu
g. Ulangi menekan inhaler sesuai aturan pakai, beri jarak 1 menit antara dosis
pertama dan kedua untuk membiarkan penetrasi ke paru-paru sempurna.
h. Jika menggunakan inhaler bentuk powder, tutup mulut rapat-rapat pada daerah
pemasukan inhaler dan hirup perlahan-lahan
Konseling Penggunaan Pil Kb
Menurut Info POM 2012
Di pasaran dikenal 2 jenis pil KB yaitu pil dengan kemasan 21 dan pil dengan
kemasan 28. Pil dengan kemasan 21 membutuhkan jeda waktu 7 hari tanpa
minum pil sebelum pengguna pil meneruskan minum pil dari kemasan yang baru.
Pil dengan kemasan 28 tidak membutuhkan jeda waktu 7 hari tanpa minum pil
sebelum pengguna pil meneruskan minum pil dari kemasan yang baru. Minum pil
harus dimulai pada saat menstruasi, untuk menjamin bahwa tidak sedang terjadi
kehamilan pada wanita tersebut. Pil pertama yang diminum pada kemasan 28
haruslah pil yang ditandai dengan bagian yang diarsir pada bagian belakang
kemasan tablet. Untuk menghindarkan wanita terlupa minum pil, sangat dianjurkan
untuk minum pil pada jam yang sama setiap hari sesuai dengan hari dan
mengikuti tanda panah yang ada pada bagian belakang kemasan tablet. Sangat
dianjurkan untuk minum pil pada waktu yang sama setiap harinya, agar
perlindungan terhadap kehamilan dapat dimaksimalkan. Jika terlupa minum pil :
a. Lupa minum 1 pil: minum pil yang terlupa segera setelah teringat, dan minum pil
berikutnya sesuai jadwal. Contoh: pasien terbiasa minum pil jam 9 malam, dan
baru teringat jam 7 pagi keesokan harinya. Maka dianjurkan segera minum pil
yang terlupa pada jam 7 pagi, dan pada jam 9 malam minum pil seperti biasa.
b. Lupa minum 2 pil: minum 2 pil yang terlupa segera setelah teringat, dan hari
berikutnya minum 2 pil lagi. Selanjutnya minum pil sesuai jadwal. Contoh: pasien
terlupa minum pil pada hari Kamis dan Jum’at. Maka pada hari Sabtu saat
teringat, dianjurkan untuk segera minum 2 pil jatah hari Kamis dan Jumat. Pada
hari Minggu, sesuai jadwal, minum 2 pil jatah hari Sabtu dan Minggu. Hari Senin
dan seterusnya minum pil seperti biasa.
c. Lupa minum 1 atau 2 pil pada saat sisa pil pada kemasan tablet kurang dari 7:
minum pil yang terlupa segera setelah teringat, selanjutnya dianjurkan minum pil
seperti biasa, tetapi pada saat pil di kemasan tersebut habis:
 Jika pasien minum pil kemasan 21: segera lanjutkan minum pil dari kemasan
baru tanpa jeda 7 hari
 Jika pasien minum pil kemasan 28: buang 7 pil pertama yang pada bagian
belakang kemasannya diarsir dari kemasan baru dan lanjutkan minum pil yang
bagian belakang kemasannya tidak diarsir dari kemasan baru.
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Standard pelayanan kefarmasian
di apotik berdasarkan peraturan yang berlaku
 Menurut Permenkes No 73 tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotek
Pasal 3
1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:

a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan; Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
b. pengadaan; Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka
pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c. penerimaan; Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. penyimpanan; Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari
pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang- kurangnya memuat
nama Obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
e. pemusnahan; Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau
rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker
dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat
selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan
oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin
kerja.
f. pengendalian; Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan
jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,
kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan.

g. pencatatan dan pelaporan ; Pencatatan dilakukan pada setiap proses


pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan
dengan kebutuhan.
3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep; Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi,
kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.
b. dispensing; Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat.
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO); Pelayanan Informasi Obat merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai
Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik
dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien
atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat
bebas dan herbal.
d. konseling; Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care); Apoteker sebagai
pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan Kefarmasian
yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan
pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); Merupakan proses yang memastikan
bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau
dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ; Merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang
terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
HASIL DISKUSI PANEL :
1. Bagaimanakah pengelolaan obat prekursor bebas terbatas?
Jawab
Menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No 4 tahun 2018
tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
a. Toko Obat/Pedagang Eceran Obat yang selanjutnya disebut Toko Obat
adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat bebas dan obat
bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
b. Penyerahan Obat sebagaimana dimaksud angka 4.9 huruf a sampai dengan
huruf d hanya dapat dilakukan apabila terjadi kelangkaan stok di fasilitas
distribusi dan terjadi kekosongan stok di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
tersebut. Penyerahan tersebut harus berdasarkan surat permintaan tertulis
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5 untuk
Obat Golongan Obat Keras atau Formulir 7 untuk Obat Golongan Obat Bebas
Terbatas yang ditandatangani oleh Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian.
c. Penyerahan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi sebagaimana
dimaksud angka 4.8 huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan
apabila terjadi kelangkaan stok di fasilitas distribusi dan terjadi kekosongan
stok di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut. Penyerahan tersebut harus
berdasarkan surat permintaan tertulis dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 5 untuk penyerahan
Narkotika/Psikotropika/Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras atau Formulir
7 untuk penyerahan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas yang
ditandatangani oleh Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
d. Penyerahan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas harus
memperhatikan kewajaran dan kerasionalan jumlah yang diserahkan sesuai
kebutuhan terapi
e. Penyerahan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas di luar
kewajaran harus dilakukan oleh penanggung jawab Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian.
f. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus memerhatikan penyerahan Prekursor
Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas dalam jumlah besar secara berulang
dalam periode tertentu.
2. Apakah semua pil KB termasuk dalam Obat Wajib Apotek? Contohnya seperti
levonorgestrel masuk dalam OWA atau tidak?
Jawab : Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 347/Menkes/Per/X/1990
Tentang Obat Wajib Apotik No 1
Kontrasepsi yang ada pada owa 1 adalah :
a. Tunggal
 Linestrenol
b. Kombinasi
 Etinodiol diasetat-mestranol
 Norgestrel - etinil estradiol
 Linestrenoil - etinil estradiol
 Etinodiol diasetat – etinil estradiol
 Levonorgestrel- etinil estradiol
 Norethindrone - mestranol
 Desogestrel – etinil etradiol
Dimana tidak semua pil KB termasuk dalam Obat Wajib Apotek contohnya dalam
sediaan tunggal levonorgestrel adalah obat sediaan tunggal yang tidak termasuk
OWA.
3. Bagaimanakah peran apoteker dalam melayani pasien yang membeli pil KB
untuk pemakaian pertama Kali?
Jawab : Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 347/Menkes/Per/X/1990
Tentang Obat Wajib Apotik No 1
Seperti yang kita ketahui pil kb merupakan owa 1 dimana pada pada owa 1
keterangannya adalah Untuk siklus pertama harus dengan resep dokter. Jadi
ketika ada pasien datang dan ingin membeli pil KB untuk pertama kalinya maka
peran kita sebagai apoteker adalah memberikan saran kepada pasien untuk
terlebih dahulu berkonsultasi ke dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2007, Pedoman Konseling


Pelayanan Kefarmasian Di Sarana Kesehatan, Jakarta.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2007, Pedoman Penggunaan Obat
Bebas dan Bebas Terbatas, Jakarta.

Ikatan Apoteker Indonesia , 2009, Kode Etik Apoteker Indonesia dan Implementasi -
Jabaran Kode Etik, Jakarta.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 tahun 2013 Tentang Obat dan
Pengobatan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.

Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 347/Menkes/Per/X/1990 Tentang Obat


Wajib Apotik No 1

Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 924/Menkes/Per/X/1993 Tentang Obat


Wajib Apotik No 2

Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 1176/Menkes/Per/X/1999 Tentang Obat


Wajib Apotik No 3

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 9 tahun 2017 tentang


Apotek

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 2 tahun 2017 tentang


Perubahan Penggolongan Narkotika

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 51 tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian

Peraturan Menteri Kesehatan nomor: 919/Menkes/Per/X/1993 Tentang Kriteria


Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep Menteri Kesehatan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 tahun 2013 Tentang Obat dan
Pengobatan

Info POM, Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Januari-Februari 2012


Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 40 tahun 2013 Tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi
dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor

Anda mungkin juga menyukai