Anda di halaman 1dari 12

STUDI KASUS PRODUKSI

OBAT DI RUMAH SAKIT


Disusun Oleh :

1. Dewi syafa’atun
2. Elsa Ulalahya
3. Evi Setyaningsih
4. Farida Noor R.
5. Indah Febrriana
6. Leli Nur Hazijah
7. Lulu’atul jannah
PENDAHULUAN
 Produksi Sediaan Farmasi di Rumah Sakit Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No.1197/MENKES/SK/X/2004, kegiatan
produksi yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan
kembali sediaan farmasi steril atau non steril untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. IFRS sebagai
organisasi atau lembaga produksi bertugas untuk menyediakan dan
menjamin mutu produk yang diproduksinya, termasuk juga produk
yang dibeli. IFRS harus berupaya memastikan terapi obat berlangsung
secara efektif, aman dan rasional, serta mengadakan pengendalian
penggunaan serta system distribusi obat yang tanggap dan akurat bagi
seluruh pasien.
 Dalam proses produksi, IFRS melakukan kegiatan yang meliputi
desain atau pengembangan produk, penetapan spesifikasi produk,
penetapan kriteria dan pemilihan pemasok, proses pembelian, proses
produksi, pengujian mutu, dan penyiapan produk tersebut bagi
pasien. Selain itu, IFRS juga melaksanakan pengemasan kembali
obat atau produk obat, untuk kemasan selama rentang terapi: dan
kemasan dosis unit. Kriteria obat yang diproduksi meliputi: -
Sediaan farmasi dengan formula khusus - Sediaan farmasi dengan
harga murah - Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil -
Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran - Sediaan farmasi
untuk penelitian - Sediaan nutrisi parenteral - Rekonstruksi sediaan
obat kanker Dalam pelaksanaan seluruh proses produksi, IFRS perlu
menerapkan standar system mutu ISO 9001 dan dilengkapi dengan
Cara Pembuatan Obat yang Baik.
 Proses produksi dilakukan di meja kerja kabinet laminar (laminar
airflow workbench / LAFW) dengan klasifikasi ISO Class 5 c.
Ruangan produksi memiliki tekanan positif dilengkapi dengan HEPA
filter. Rekonstitusi sediaan farmasi berbahaya Produksi sediaan
farmasi berbahaya merupakan penanganan obat kanker secara aseptis
dalam kemasan siap pakai oleh pasien yang dilakukan oleh tenaga
farmasi yang terlatih dengan pengendalian keamanan terhadap
lingkungan, petugas, maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan
kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri pada saat
pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien
sampai pembuangan limbahnya. Sediaan yang termasuk dalam
sediaan farmasi berbahaya adalah obat-obat kanker, seperti agen
neoplastik, sitostatika; dan radiofarmaka.
Kegiatan yang dilakukan dalam rekonstitusi sediaan farmasi berbahaya
adalah :
 Melakukan perhitungan dosis secara akurat
 Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai
 Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan
 Mengemas dalam kemasan tertentu.
 Penyimpanan hasil produksi dipisahkan antara obat dalam dan obat luar
yang masing-masing disusun secara alfabet. Obat yang lebih dulu
dikeluarkan adalah obat yang lebih dulu diproduksi dengan
mempertimbangkan waktu kadaluarsanya. Sub instalasi produksi
farmasi juga melayani permintaan untuk pembuatan formula khusus
yang berasal dari resep dokter dan tidak ada dalam rencana produksi.
Laporan-laporan yang dibuat adalah laporan pemasukan dan
pengeluaran bahan baku yang dibuat setiap bulan; laporan pembuatan
dan pengeluaran produk jadi non steril, serta laporan pelayanan
sitostatika. Obta-obat yang diproduksi di instalasi produksi farmasi
adalah obat-obat yang lebih murah jika diproduksi sendiri dan obat yang
tidak terdapat di pasaran atau merupakan formula khusus.
DASAR HUKUM
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor
23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pekerjaan Kefarmasian :
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3495).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEKERJAAN
KEFARMASIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 2
(1) Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan
farmasi.
(2) Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
CONTOH KASUS
PRODUKSI OBAT DI
RUMAH SAKIT :
 KASUS 1
Kasus Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci Tangerang merupakan suatu
contoh kasus kesalahan pemberian obat bius kepada pasien. Obat bius
(buvanest spinal) yang semula diberikan kepada pasien telah tertukar isinya
dengan asam traneksamat yang mempunyai fungsi untuk mengurangi
pendarahan. Dokter sebagai pemberi obat bius tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini karena dokter telah sesuai
dengan standart operasional pemberian obat bius kepada pasien. Yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini adalah pihak dari
produksi atau apoteker yang bertanggungjawab atas pengaturan dosis obat,
penyegelan obat, peracikan obat, isi dan mutu obat termasuk obat bius.
 Penyelesaian :
Hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) dan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan investigasi atas kasus
meninggalnya pasien Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang tidak
ditemukan kesalahan prosedur dari pihak Rumah Sakit Siloam maupun dokter
yang menangani pasien. Penelitian dilakukan mulai dari izin rumah sakit, SOP
(Standard Operating Procedure) penyimpanan obat, dokter spesialis anestesi,
dokter spesialis obstetri dan ginekologi, serta dokter urologi dan pemberian
dosis obat kepada pasien juga tidak ada yang dilanggar. Dalam hal ini Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga berwenang dalam melakukan
pemeriksaan dan BPOM memerintahkan PT Kalbe Farma untuk menarik
seluruh peredaran obat suntik yang bermasalah. Namun sebagian obat itu
diketahui masih beredar di pasaran, yang berhasil ditarik dari peredaran baru
sekitar 90 persen dan BPOM juga meminta kepada seluruh pengelola rumah
sakit, para dokter dan apoteker untuk tidak menggunakan obat-obatan tersebut
hingga investigasi selesai.
 Berdasarkan kasus tersebut, maka pasien disini sebagai konsumen jasa dan
obat-obatan, maka ia berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan
UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). Menurut ketentuan undang-undang tersebut, terdapat 2 (dua) jalur
penyelesaianm, yaitu :
1. Jalur litigasi, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan di jalur peradilan;
2. Jalur nonlitigasi, yaitu penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur di luar
peradilan.

 Secara khusus mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang-Undang


8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Menurut ketentuan
Pasal 4 UUPK, konsumen memiliki hak diantaranya adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa yang sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diberikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif. Ini mencakup hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah,
pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai