Anda di halaman 1dari 11

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RS JAKARTA MEDICAL CENTER

No. : 069/SK/DIR/RSJMC/VII/2015
Tentang
Pengelolaan Penggunaan Obat di RS Jakarta Medical Center

Direktur Rumah Sakit Jakarta Medical Center (RS JMC)

Menimbang : 1. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu


kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan
kesehatan yang bermutu dan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit
yang berorientasi kepada pelayanan pasien dan
penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan
farmasi klinik.
2. Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang
terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah
dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan pasien
di rumah sakit.
3. Untuk itu perlu dibuat kebijakan tentang pelayanan farmasi
di RS Jakarta Medical Center.

Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia No. 29 tahun 2004


tentang Praktek Kedokteran.
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
4. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997
tentang Psikotropika.
5. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di rumah sakit.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
269/Menkes/Per/VII/2008 tentang Rekam Medis.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : I. Pengelolaan dan penggunaan obat di RS Jakarta Medical


Center harus sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku dan terorganisir untuk memenuhi
kebutuhan pasien.
1. Kebijakan pengelolaan dan penggunaan obat
merupakan metode sistematis dalam rangka menjamin
ketersediaan jumlah mutu dan legalitas dari obat yang
dibutuhkan di RS Jakarta Medical Center melalui
pelaksanaan pekerjaan kefarmasian.
2. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
3. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada
nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan,
dan perlindungan serta keselamatan pasien atau
masyarakat yang berkaitan dengan perbekalan
farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan
keamanan, mutu, dan kemanfaatan.
4. Perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, kosmetika, reagen, serta alat kesehatan
habis pakai yang ada di RS Jakarta Medical Center.
5. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi, untuk manusia.
6. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.

II. Seluruh pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh tenaga


kefarmasian yang terdiri dari Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian yang telah memenuhi persyaratan
perundang-undangan yang berlaku.

III. Dalam rangka menjamin mutu dan mengendalikan jumlah


perbekalan farmasi agar selalu mencukupi kebutuhan,
maka pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan
bahan habis pakai harus dilakukan oleh unit Farmasi
Rawat Jalan dan Farmasi Rawat Inap dengan sistem satu
pintu.

IV.Penyelenggara pelayanan farmasi dilakukan oleh tenaga


farmasi profesional yang berwenang berdasarkan Undang-
undang dan kompeten melakukan supervisi dalam aktifitas
pelayanan farmasi :
a. Seleksi dan pengadaan obat.
b. Penyimpanan obat.
c. Pemesanan dan pencatatan obat.
d. Persiapan dan penyaluran obat.
Berpartisipasi dalam :
a. Monitoring efek obat terhadap pasien.
b. Pelaporan Medication Errors / kesalahan obat.

V. Perencanaan
1.Perencanaan perbekalan farmasi disusun secara
bulanan sesuai dengan kebutuhan obat menurut
perbekalan farmasi sangat lancar, lancar dan kurang
lancar serta berpedoman pada Formularium Rumah
Sakit.
2.Metode yang digunakan untuk perencanaan perbekalan
farmasi adalah :
a. Kombinasi metode konsumsi (pola konsumsi
sebulan sebelumnya) dan epidemiologi (penyebaran
penyakit sesuai waktu dan tempat) yang disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia.
b. Metode Just in Time, digunakan untuk obat-
obat yang jarang digunakan dan mudah
mendapatkannya.
c. Analisa Vital Essensial Non Essensil (VEN) dan
ABC/ pareto (frekuansi pengeluaran dan prioritas
harga).

VI. Pemilihan
1. Pemilihan merupakan proses seleksi obat. Kegiatan
pemilihan dilakukan oleh Sub Komite Farmasi dan
Terapi, atas usulan praktisi pelayanan kesehatan hasil
dari kegiatan pemilihan dibuat dalam bentuk
formularium RS Jakarta Medical Center yang akan
direview tiap 1 tahun dan diperbaharui setiap 2 tahun.
2. Pemilihan obat untuk dimasukan kedalam / dikeluarkan
dari formularium berdasarkan :
a. Indikasi
b. Efektifitas
c. Risiko
d. Harga obat
3. Semua jenis obat baru harus dimonitor penggunaannya
selama 3 bulan.
4. Sosialisasi formularium yang masih berlaku wajib
tersedia di setiap lokasi pelayanan dan setiap dokter
harus memiliki buku formularium yang menjadi acuan
selama berpraktek di RS Jakarta Medical Center.
5. Daftar formularium obat dibuat atas usulan Sub Komite
Farmasi dan Terapi serta direvisi minimal 1 (tahun)
tahun.
6. Pengawasan kepatuhan pemakaian obat sesuai
formularium dilakukan secara berkala oleh unit Farmasi
Rawat Jalan dan unit Farmasi Rawat Inap yang
kemudian dilaporkan ke Sub Komite Farmasi dan
Terapi.

VI. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan
yang telah direncanakan dan disetujui secara langsung
dari distribusi / pedagang besar farmasi / rekanan.
1. Pengadaan obat dan obat kesehatan dilakukan oleh
unit pembelian setelah menerima pesanan dari gudang
farmasi.
2. Obat di formularium yang tidak tersedia harus
diberitahu kepada praktisi disertai alternatif sebagai
pengganti.
3. Pengadaan obat yang dibutuhkan, tetapi tidak
tercantum dalam formularium / tidak tersedia di RS
Jakarta Medical Center harus mendapat persetujuan
Sub Komite Farmasi dan Terapi.
4. Apabila diluar jam kerja terjadi kekosongan obat di unit
farmasi rawat jalan dan unit farmasi rawat inap, maka
petugas farmasi didampingi oleh Duty Manager
mengambil obat dari gudang farmasi (buka gudang)
dan mencatat di buku pengeluaran gudang farmasi.
5. Apabila terjadi kekosongan obat di gudang farmasi,
maka petugas farmasi membeli obat diluar RS Jakarta
Medical Center dengan seizin Kepala Instalasi Farmasi
dan bagian pengadaan.
6. Apabila terjadi kekosongan obat dari pabrik, maka
Kepala Instalasi Farmasi harus menginformasikan ke
dokter-dokter atau memberikan surat keterangan dari
PBFnya.
7. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jakarta Medical Center
tidak memiliki obat sampel, obat radioaktif dan obat
kemoterapi.
8. Pengadaan obat dan alat kesehatan dilakukan oleh
gudang farmasi setelah menerima surat pesanan dari
bagian farmasi yang disetujui oleh Kepala Instalasi
Farmasi.
9. Setiap dokter yang memiliki SIK dan praktek di RS JMC
harus menyetujui semua penggunaan obat yang ada di
Instalasi Farmasi JMC selama kandungan dan dosis
obatnya sama walaupun berasal dari PBF yang
berbeda (kompetitornya).
10. Apabila terjadi kekosongan obat di gudang farmasi dan
tidak berkenan dicarikan (dijanjikan) oleh bagian
farmasi maka petugas farmasi membuatkan copy resep
obat tersebut dengan seizin Duty Manager / Apoteker.

VII. Penyimpanan
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi
menurut persyaratan yang ditetapkan.
1. Area penyimpanan perbekalan farmasi hanya boleh
diakses petugas farmasi.
2. Penyimpanan obat, alat kesehatan, dan reagensia
harus dilakukan sesuai persyaratan dan standar
kefarmasian untuk menjamin stabilitas dan
keamanannya serta memudahkan dalam
pencariannya untuk mempercepat pelayanan.
3. Penyimpanan obat dan bahan kimia berbahaya harus
sesuai dengan tempat yang ditentukan dan standar
kefarmasian serta memenuhi persyaratan dari gudang
farmasi yaitu FIFO (First In First Out) dan FEFO (First
Expired First Out).
4. Khusus bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti
bahan yang bersifat mudah menyala atau terbakar,
eksplosif, radioaktif, oksidator/reduktor, racun, korosif,
karsinogenik, teratogenik, mutagenik, iritasi dan
berbahaya lainnya harus disimpan terpisah dan
disertai tanda bahan berbahaya dan beracun.
5. Penyimpanan obat-obat yang memerlukan kondisi
khusus harus sesuai dengan tempat dan suhu yang
telah ditetapkan oleh standar kefarmasian.
6. Narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari
tersendiri dengan dua pintu dan dua kunci, serta harus
selalu dalam keadaan terkunci jika tidak digunakan.
7. Lemari khusus obat golongan narkotika terbuat dari
kayu ukuran 140 cm x 80 cm x 100cm, jika ukurannya
kurang dari ketentuan maka lemari tersebut harus
dtempel pada dinding atau alasnya dilantai. Lemari
tersebut mempunyai 2 sekat dan masing-masing sekat
harus mempunyai kunci tersendiri. Kunci lemari
narkotika dan psikotropika harus double kunci. Bagian
pertama untuk menyimpan morphin dan petidina dan
garam-garamnya, sedang bagian lain untuk
menyimpan narkotika lain dan pemakaian sehari-hari.
8. Kunci pintu lemari obat narkotika dan psikotropika
dipegang oleh apoteker atau penanggung jawab
harian instalasi farmasi yang sedang bertugas pada
shift tersebut.
9. Semua obat atau bahan kimia yang digunakan untuk
mencampur obat harus diberi label yang berisi : nama
obat, konsentrasi obat, tanggal dibuka, tanggal
dioplos, tanggal expired date, nama petugas dan
peringatan.
10. Semua perbekalan farmasi yang berada di unit-unit
terkait di inspeksi secara berkala oleh petugas farmasi
yang telah ditunjuk.
11. Penyimpanan produk nutrisi tidak diizinkan diletakkan
di etalase produk-produk OTC.
12. Obat High Alert (obat yang memerlukan kewaspadaan
tinggi) harus disimpan ditempat terpisah dan diberi
label khusus high alert double check.
13. Elektrolit pekat yang termasuk dalam daftar Obat High
Alert, contoh : kalium klorida 7,46 % tidak boleh
berada di ruang rawat, kecuali di unit-unit tertentu
yaitu di ruang intensif atas pertimbangan life saving,
dimana waktu yang dibutuhkan untuk pencampuran
obat tersebut di Unit Farmasi tidak bisa dalam waktu
30 menit atau kurang sejak permintaan.
14. Obat High Alert disimpan secara tersendiri, terpisah
dari obat lainnya dengan akses terbatas dan harus
diberi penandaan atau label yang jelas untuk
menghindari penggunaan yang tidak dikehendaki.
15. Untuk elektrolit pekat harus di simpan pada wadah
dengan warna menyolok dan diberi label
PERINGATAN yang memadai.
16. Obat dengan nama dan rupa mirip (Look Alike Sound
Alike/LASA) disimpan tidak berdekatan dan diberi
label “LASA”.
17. Perbekalan farmasi dan kondisi penyimpanannya
harus diperiksa secara berkala.
18. Jika pasien membawa obat dan atau perbekalan
farmasi lainnya dari luar RS Jakarta Medical Center
untuk digunakan selama perawatan di RS Jakarta
Medical Center maka harus dikonfirmasi ke DPJP dan
harus diperiksa mutunya secara visual dan dilakukan
pencatatan oleh Farmasi.
19. Produk nutrisi disimpan secara terpisah dalam
kelompok nutrisi sesuai dengan rekomendasi
penyimpanannya dari masing-masing produsen.
20. Semua perbekalan farmasi yang terdapat dalam trolley
emergency harus selalu dimonitoring secara berkala
dan segera diganti jika rusak atau sudah mendekati
batas kadaluarsa.
21. Sistem pengendalian isi trolley emergency harus
sesuai dengan SPO sehingga jenis, jumlah dan
kualitas obat dan perbekalan farmasi yang ada
didalamnya sesuai dengan standar yang ditetapkan
serta semua aspek yang berkaitan dengan
pembukaan trolley emergency dapat dipertanggung
jawabkan (mudah telusur).
22. Instalasi Farmasi RS Jakarta Medical Center
memberikan Pelayanan 24 jam.
23. Perbekalan farmasi yang tidak digunakan, rusak dan
kadaluarsa harus dikembalikan ke Instalasi Farmasi.
24. Obat yang ditarik dari peredaran oleh pemerintah atau
pabrik pembuatnya harus segera dikembalikan ke
Instalasi Farmasi.
25. Obat yang sudah kadaluarsa, rusak atau
terkontaminasi harus disimpan terpisah sambil
menunggu penghapusan.
26. Tata cara penghapusan obat yang sudah kadaluarsa /
rusak adalah dengan cara ditukar ke distributor yang
bersangkutan atau dimusnahkan.
27. Semua perbekalan farmasi dimonitoring dan diawasi
disetiap unit-unit terkait oleh petugas farmasi yang
sudah ditunjuk.

VIII. Peresepan
1. Yang berhak menulis resep adalah staf medis yang
mempunyai Surat Izin Praktek dan terdaftar di RS
Jakarta Medical Center.
2. Yang berhak menulis resep narkotika adalah dokter
yang memiliki Surat Izin Praktek (SIP).
3. Yang berhak menulis resep psikotropika adalah dokter
spesialis atau sub spesialis yang memiliki Surat Izin
Praktek (SIP).
4. Dokter harus melakukan penyelarasan obat
(rekonsiliasi obat) sebelum menulis resep. Rekonsiliasi
obat adalah membandingkan antara daftar obat yang
sedang digunakan pasien dan obat yang akan
diresepkan agar tidak terjadi duplikasi atau terhentinya
terapi suatu obat (omission).
5. Dokter atau perawat harus
menanyakan/menginterview obat-obat yang dibawa
pasien dari rumah kemudian menuliskan di formulir
rekonsiliasi obat.
6. Dokter harus memperhatikan kemungkinan adanya
kontraindikasi, interaksi dan reaksi alergi.
7. Resep ditulis secara manual pada blanko lembar
catatan pengobatan/instruksi pengobatan dengan kop
RS Jakarta Medical Center.
8. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca, menggunakan
istilah dan singkatan yang lazim atau yang sudah
ditetapkan sehingga tidak menimbulkan salah
pengertian.
9. Dokter harus mengenali obat-obat yang masuk dalam
daftar Look Alike Sound Alike (LASA) yang diterbitkan
Instalasi Farmasi, untuk menghindari kesalahan
pembacaan oleh tenaga kesehatan lain.
10. Obat yang diresepkan harus sesuai dengan
Formularium RS Jakarta Medical Center.
11. Penulisan resep harus dilengkapi/memenuhi sebagai
berikut :
a. Nama pasien
b. Tanggal lahir atau umur pasien (jika tidak dapat
mengingat tanggal lahir)
c. Berat badan pasien (untuk pasien anak)
d. Berat badan dan tinggi badan untuk pasien yang
perhitungan dosis obatnya berdasarkan luas
permukaan tubuh (Body Surface Area)
e. Nomor rekam medik
f. Nama dokter
g. Tanggal penulisan resep
h. Nama ruang pelayanan
i. Memastikan ada tidaknya riwayat alergi obat
dengan mengisi kolom riwayat alergi obat pada
lembar resep manual atau secara elektronik dalam
sistem informasi farmasi.
j. Tanda R/ pada setiap sediaan
k. Jumlah sediaan
l. Bila obat racikan dituliskan nama setiap jenis/bahan
obat dan jumlah bahan obat (untuk bahan padat :
mikrogram, milligram, gram dan untuk cairan : tetes,
milliliter, liter)
m.Pencampuran beberapa obat jadi dalam satu
sediaan tidak dianjurkan, kecuali sediaan dalam
bentuk campuran tersebut telah terbukti aman dan
efektif.
n. Aturan pakai (frekuensi, dosis, rute pemberi). Untuk
aturan pakai jika perlu atau prn atau “pro re nata”,
harus dituliskan dosis maksimal dalam sehari
indikasinya.
12. Pasien diberi penjelasan tentang efek tidak diharapkan
yang mungkin terjadi akibat pengggunaan obat.
13. Perubahan terhadap resep/instruksi pengobatan yang
telah diterima oleh apoteker/asisten apoteker harus
diganti dengan resep/instruksi pengobatan baru.
14. Resep/instruksi pengobatan yang tidak memenuhi
kelengkapan yang ditetapkan, tidak akan dilayani oleh
farmasi.
15. Jika resep/instruksi pengobatan tidak dapat dibaca
atau tidak jelas, maka perawat/Apoteker/Asisten
Apoteker yang menerima resep instruksi pengobatan
tersebut harus menghubungi dokter penulis resep.
16. Instruksi lisan (Verbal Order) harus diminimalkan,
instruksi lisan untuk obat high alert tidak dibolehkan
kecuali dalam situasi emergensi, instruksi lisan tidak
dibolehkan saat dokter berada di ruang rawat.
17. Setiap obat yang diresepkan harus sesuai dengan
yang tercantum dalam rekam medik.
18. Kelanjutan terapi obat yang sempat dihentikan karena
operasi atau sebab lain harus dituliskan kembali dalam
bentuk resep/instruksi pengobatan baru.
19. Obat narkotika dan psikotropika dapat dilayani untuk
kepentingan pasien RS JMC bila resep tersebut telah
memenuhi persyaratan administrasi dan farmasi,
khususnya resep tersebut ditulis oleh DPJP (Dokter
Penanggung Jawab Pasien).
20. Farmasi tidak dapat melayani pembelian obat-obat
Narkotika dan Psikotropika tanpa resep asli dari dokter
disertai kelengkapan resepnya.

IX. Penyiapan
Yang dimaksud dengan penyiapan obat adalah proses
mulai dari resep/instruksi pengobatan diterima oleh
apoteker/asisten apoteker sampai dengan obat diterima
oleh perawat diruang untuk diberikan kepada pasien rawat
inap, atau sampai dengan obat diterima oleh
pasien/keluarga pasien rawat jalan dengan jaminan bahwa
obat yang diberikan tepat dan bermutu baik. Yang
termasuk juga dalam penyiapan obat adalah pencampuran
obat suntik tertentu dan nutrisi parenteral.
1. Sebelum obat disiapkan, apoteker/asisten apoteker
harus melakukan screening/review terhadap
resep/instruksi pengobatan yang meliputi :
a. Ketepatan obat, dosis, frekuensi, rute pemberian
b. Duplikasi terapeutik
c. Alergi
d. Interaksi obat
e. Kontra indikasi
f. Kesesuaian dengan pedoman pelayanan/peraturan
yang berlaku, dan menghubungi dokter penulis
resep jika ditemukan ketidakjelasan atau
ketidaksesuaian.
g. Kajian tidak perlu dilakukan pada keadaan
emergensi, di ruang operasi dan tindakan intervensi
diagnosik.
2. Apoteker/asisten diberi akses ke data pasien yang
diperlukan untuk melakukan screening resep.
3. Dalam proses penyiapan obat oleh petugas farmasi
diberlakukan substitusi generik. Artinya farmasi
diperbolehkan memberikan salah satu dari sediaan
yang zat aktifnya sama dan tersedia di RS Jakarta
Medical Center dengan terlebih dahulu memberitahu
dokter.
4. Substitusi terapeutik adalah penggantian obat yang
sama kelas terapinya tetapi berbeda zat kimianya,
dalam dosis yang ekuivalen, dapat dilakukan oleh
petugas farmasi dengan terlebih dahulu minta
persetujuan dokter penulis resep/konsulen.
5. Penyiapan obat harus dilakukan di tempat yang
bersih dan aman sesuai aturan dan standar praktik
kefarmasian.
6. Area penyiapan obat tidak boleh dimasuki oleh
petugas lain selain petugas farmasi. Petugas yang
menyiapkan obat streril harus mendapatkan pelatihan
teknik aseptic dispensing.
7. Sistem distribusi dan penyiapan obat untuk pasien
rawat inap diberlakukan sistem dosis unit. Sedangkan
untuk pasien rawat jalan diberlakukan sistem resep
individual. Sistem dosis unit adalah penyiapan obat
yang dikemas untuk satu kali pemakaian. Sistem
resep individual adalah penyiapan obat yang dikemas
sesuai permintaan jumlah yang tercantum di resep.
8. Farmasi melakukan pembuatan/peracikan obat-obat
racikan sendiri, seperti: Lotion BSM (Boor Schud
Mixture), capsul CaCO3, Capsul NaCl, Carbogliserin
10% dan Asam Asetat 2%.
9. Setiap obat yang telah disiapkan harus diberi label.
10. Farmasi tidak dapat melayani pembelian obat-obat
keras tanpa resep dari dokter (berdasarkan keputusan
Dirjen Pelayanan dan Alat Kesehatan tentang UU
Obat Keras No. 419 pasal 3,4 dan 5).
11. Pelayanan selalu berorientasi kepada mutu dan
keselamatan pasien.

X. Pemberian
1. Yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
dokter atau perawat yang sudah memiliki kompetensi
dan mempunyai Surat Izin Praktek.
2. Yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah
apoteker/asisten apoteker yang sudah memiliki
kompetensi dan mempunyai SIPA/STRTK.
3. Pemberian obat ke pasien harus diatur dalam suatu
pedoman dan atau Standar Operasional Prosedur
agar pemberian obat dapat dilakukan dengan benar.
4. Pada pemberian obat secara infuse, label nama obat
ditempelkan pada botol infuse atau syringe pump.
Apabila obat yang diberikan lebih dari satu, maka label
nama obat ditempelkan pada setiap syringe pump dan
di setiap ujung jalur selang.
5. Obat yang akan diberikan kepada pasien harus
diverifikasi oleh Apoteker/Asisten Apoteker mengenai
kesesuaiannya dengan resep/instruksi pengobatan
meliputi 5 benar yaitu : benar nama obat, benar waktu
dan frekuensi pemberian, benar dosis, benar rute
pemberian dan benar pasien.
6. Obat yang akan diberikan kepada pasien harus
dipastikan bermutu baik dengan diperiksa secara
visual.
7. Pasien dipastikan tidak memiliki riwayat alergi dan
kontraindikasi dengan obat yang akan diberikan.
8. Obat yang tergolong obat High Alert harus diperiksa
kembali oleh perawat kedua sebelum diberikan
kepada pasien (double check).
9. Pemberian obat harus dicatat.
10. Penggunaan obat secara mandiri oleh pasien harus
mendapatkan edukasi terlebih dahulu dan dipantau
oleh perawat.
11. Pemberian obat tertentu (salep, tetes mata, tetes
telinga) harus diberikan oleh perawat selama pasien di
rawat di RS JMC.
12. Perawat harus memastikan pemberian obat secara
oral dikonsumsi dengan benar oleh pasien selama
perawatan di RS JMC.
13. Jika terjadi kesalahan dalam penggunaan obat dan
perbekalan farmasi lainnya termasuk kehilangan,
maka konsekuensi finansial menjadi tanggung jawab
pihak yang bersalah.
14. Apabila petugas farmasi yang ditunjuk untuk
menyerahkan obat berhalangan hadir/diluar shift kerja,
maka petugas farmasi mendelegasikan ke petugas
farmasi lain untuk diberikan kewenangan dalam
penyerahan obat ke pasien atau unit-unit terkait.

XI. Retur / Pengembalian Obat


1. Instalasi farmasi rawat jalan menerima pengembalian
obat dengan alasan alergi atas sepersetujuan dokter
penulis resep dengan dikenakan pengurangan biaya
sebesar 15%.
2. Instalasi farmasi rawat inap menerima pengembalian
obat yang sudah tidak dipakai lagi oleh pasien
diruangan.

XII. Recall/ Penarikan Kembali Obat


1. Obat yang telah melewati waktu kadaluarsa dan rusak
wajib disimpan terpisah dan didata untuk segera dibuat
Berita Acara Pemusnahan Perbekalan Farmasi yang
diketahui oleh Kepala Departemen Kesehatan Propinsi
dan Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan.
2. Dalam pembuatan Berita Acara Pemusnahan
Perbekalan Farmasi wajib mencantumkan :
a. Nama sediaan farmasi
b. Jumlah
c. Alasan pemusnahan

XIII. Pemantauan Efek Obat


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap
obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi
pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.
1. Pemantauan efek terapi dan efek yang tidak
diharapkan dari obat harus dilakukan pada setiap
pasien. Adapun tujuan dari pemantauan tersebut :
a. Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini
mungkin terutama yang berat, tidak dikenal,
frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi Efek Samping
Obat yang sudah dikenal sekali, yang baru saja
ditemukan.
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi timbulnya Efek
Samping Obat atau mempengaruhi angka kejadian
dan hebatnya Efek Samping Obat.
2. Semua petugas kesehatan dapat melakukan
pemantauan dan melaporkannya ke Tim Farmasi dan
Terapi.
3. Obat yang diperioritaskan untuk dipantau efek
sampingnya adalah obat baru yang masuk
Formularium RS Jakarta Medical Center dan obat
yang terbukti dalam literature menimbulkan efek
samping serius.
4. Pemantauan efek samping obat perlu
didokumentasikan dalam formulir Monitoring Efek
Samping Obat dan dicatat dalam rekam medik.
5. Efek samping yang harus dilaporkan ke Komite
Farmasi dan Terapi adalah yang berat, fatal dan
menimbulkan gejala sisa.
6. Pemantauan dan Pelaporan efek samping obat
dikoordinasikan oleh Sub Komite Farmasi dan Terapi
RS Jakarta Medical Center.
7. Petugas pelaksana pemantauan dan pelaporan efek
samping obat adalah dokter, perawat, apoteker dan
asisten apoteker.
8. Komite Farmasi dan Terapi melaporkan hasil evaluasi
Pemantauan ESO kepada Direktur RS Jakarta
Medical Center dan menyebarluaskan ke seluruh staf
medis/unit pelayanan di RS Jakarta Medical Center
sebagai umpan balik/edukasi.

XIV. Kesalahan Obat


1. Kesalahan obat (medication error) adalah setiap
kejadian yang dapat dicegah yang dapat
menyebabkan penggunaan obat secara tidak tepat
atau membahayakan keselamatan pasien. Kesalahan
obat meliputi kesalahan yang terjadi pada tahap
penulisan resep, penyalinan resep,
penyiapan/peracikan atau pemberian obat baik yang
menimbulkan efek merugikan ataupun tidak.
2. Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) adalah setiap
kejadian, situasi atau kesalahan yang terjadi dan
diketahui sebelum sampai ke pasien.
3. Setiap kesalahan obat yang terjadi, wajib dilaporkan
oleh petugas yang menemukan/terlibat dengan
kejadian tersebut atau atasan langsungnya.
4. Pelaporan dilakukan secara tertulis menggunakan
Formulir Insiden Keselamatan Pasien.
5. Kesalahan obat harus dilaporkan maksimal 1 x 24 jam
setelah ditemukannya insiden kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
6. Tipe kesalahan yang dilaporkan :
a. Kondisi Potensial Cedera (KPC, Reportable
Circumstances)
b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC, Near Miss) : terjadi
insiden yang belum terpapar ke pasien.
c. Kejadian Tidak Cedera (KTD, Sentitel Even) :
suatu kejadian insiden yang sudah terpapar ke
pasien tetapi tidak menimbulkan cedera.
d. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD, Sentinel Event) :
suatu kejadian insiden yang mengakibatkan
cedera pada pasien, atau criteria yang ditetapkan
oleh Tim Keselamatan.
7. Setiap unit kerja di Rumah sakit mencatat kejadian
terkait dengan keselamatan pasien pada formulir

XV. Pemantauan dan Evaluasi


Untuk mengetahui tingkat pencapaian dan mutu dari
kegiatan managemen dan penggunaan obat di rumah
sakit, maka perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi
setiap tahapan proses manajemen dan penggunaan obat
ini merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu
secara berkelanjutan.

XVI. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan,


apabila ada kesalahan akan dilakukan perbaikan dan
dievaluasi secara berkala.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2015
Direktur

Drg. Ahmad Husni Basuni, MARS

Anda mungkin juga menyukai