Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk

manusia.

Obat memang dapat mengobati penyakit, tetapi masih banyak juga orang

yang menderita sakit akibat konsumsi obat-obatan. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa obat dapat bersifat berbahaya bilamana obat tersebut

dikonsumsi oleh orang yang tidak tepat sesuai indikasi, tidak tepat penyakit,

tidak tepat takaran atau dosis, dan tidak tepat waktu pemberiannya. Untuk

peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi

maka berdasarkan cara penyerahannya, obat digolongkan, yaitu obat yang

dapat diserahkan tanpa resep dokter dan obat yang hanya dapat diserahkan

dengan resep dokter. 1

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter yaitu golongan obat bebas

dan golongan obat bebas terbatas. Selain di apotek, kedua golongan obat ini

dapat diperoleh secara bebas di outlet-outlet dan toko obat. Obat yang hanya

1
Dirjend.Pengawasan Obat dan Makanan, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat
Bebas Terbatas. Jakarta: Dirjend.Pengawasan Obat dan Makanan, Depkes RI.

1
dapat diserahkan dengan resep dokter yaitu golongan obat keras atau daftar G,

psikotropika, dan narkotika. Ketiga golongan obat ini hanya dapat diperoleh di

apotek berdasarkan resep dokter.2

Obat keras disebut juga obat daftar "G",yang diambil dari bahasa belanda

."G" merupakan singkatan dari "Gevaarlijk" artinya berbahaya, maksudnya

obat dalam golongan ini berbahaya jika pemakainya tidak berdasarkan resep

dokter. Obat-obat yang dapat digolongkan dalam golongan obat keras adalah

semua obat yang pada bungkusan luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa

obat itu hanya boleh diserahkan dengan resep dokter. Semua obat yang

dibungkus sedemikan rupa yang jelas untuk digunakan secara parenteral, baik

dengan cara suntikan maupun cara pemakaian lain dengan cara merobek

rangkaian asli dari jaringan tubuh. Semua obat baru, kecuali jika telah

dinyatakan secara tertulis oleh Departemen Kesehatan bahwa obat baru

tersebut tidak membahayakan manusia. Semua obat yang tercanum dalam

daftar obat keras, baik dalam bentuk tunggal maupun semua sediaan yang

mengandung obat tersebut. Pengecualian jika di belakang nama obat

disebutkan nama lain atau jika ada pengecualian bahwa obat tersebut masuk ke

dalam obat bebas terbatas.3

Saat ini obat keras dapat dibeli dengan mudah di apotek walau tanpa

resep dokter, salah satu alasannya adalah untuk menghasilkan uang yang

ujungnya bertujuan untuk meningkatkan omset. Hal lain yang menyebabkan

obat keras dapat dibeli bebas adalah kurangnya kesadaran pasien akan bahaya
2
Tjay, T.H. dan K. Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting, Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo.
3
Ibid, Tjay, T.H. dan K. Rahardja, hlm 8.

2
dari obat keras tersebut. Acap kali pasien hanya datang sekali ke dokter untuk

suatu penyakit, dan bila penyakitnya kambuh maka tanpa ragu pasien datang

membeli obat keras yang diresepkan dahulu. Pasien bukan pihak yang semata-

mata disalahkan. Adanya peluang yang diberikan oleh apotek yang menjual

obat keras secara bebas dan lemahnya peraturan serta sanksi yang ada

menyebabkan terjadinya peningkatan dalam penggunaan obat keras tanpa resep

dokter. Upaya masyarakat melakukan pengobatan sendiri dinilai seperti pedang

bermata dua. Di satu sisi akan mengurangi beban pelayanan di puskesmas atau

rumah sakit. Di sisi lain bila obat yang digunakan tidak diimbangi dengan

pengetahuan yang memadai, maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak

diinginkan. Namun adapula masyarakat yang membeli dan menjual obat keras

untuk di salah gunakan.4

Obat-obat yang termasuk dalam obat keras, seperti: anti biotika, anti

diabetes, hormon dan anti hipertensi menurut undang-undang tidak dapat

diberikan tanpa resep dokter. Namun, penggunaan obat keras, seperti anti

biotik tanpa resep dokter sudah merupakan hal yang umum dijumpai dalam

masyarakat. Penggunaan obat keras tanpa resep dokter dapat menimbulkan

masalah, misalnya: penggunaan anti biotik yang tidak terkendali. Oleh sebab

itu, penggunaan obat keras tanpa resep dokter kini sedang menjadi topik hangat

di masyarakat. Hal ini disebabkan karena di sejumlah toko obat memang ada

kecenderungan menjual obat keras tanpa resep dokter. Tidak hanya anti biotik,

4
Rai Gunawan, 2011, Tingkat Kehadiran Apoteker Serta Pembelian Obat Keras Tanpa Resep
Di Apotek, www.farmasi.unud. ac.id, diakses Tanggal 11 Mei 2016.

3
obat keras lainnya pun dapat dibeli tanpa resep dokter di hampir semua toko

obat. 5

Menurut peraturan yang berlaku, apoteker hanya boleh menjual obat

keras dengan resep dokter. Namun, untuk meningkatkan kemampuan

masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan

dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan

sendiri secara tepat, aman dan rasional, maka Pemerintah menerbitkan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 924/MENKES/PER/X/1993 yang

mengatur mengenai beberapa obat keras tertentu yang dapat diberikan oleh

apoteker kepada pasien tanpa resep dokter. Tujuan utama diterbitkannya

Peraturan Menteri Kesehatan saat itu adalah untuk swamedikasi, pasien dapat

mengobati dirinya sendiri secara rasional dan ditunjang dengan adanya Obat

Wajib Apotek tersebut. Jadi, meskipun secara umum apoteker tidak dapat

menjual obat keras tanpa resep dokter, namun ada obat keras tertentu yang

berdasarkan Permenkes boleh dijual tanpa resep dokter. 6

Pelaksanaan distribusi obat keras dapat terjadi banyak hal penyimpangan,

terlebih lagi apabila sistem distribusi obat yang baik tidak berlangsung

semestinya. Penyaluran obat pun sebenarnya telah diatur oleh Pemerintah

melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Nomor HK.00.05.3.2522 Tahun 2003 tentang Penerapan Pedoman Cara

Distribusi Obat yang Baik. Dengan adanya aturan tersebut Pemerintah

5
Hartono, 2007, Budaya Hukum dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap
Persyararatan Pengelolaan Apotek, Semarang : Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Diponogoro.
6
Rai Gunawan, Op.,Cit., hlm 7.

4
bermaksud menjamin keabsahan dari mutu obat agar obat yang sampai ke

konsumen adalah obat yang aman, efektif dan dapat digunakan sesuai

indikasinya. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengawasan

Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan pun mengatur hal tersebut. Dalam

peraturan tersebut telah diatur bagaimana seharusnya obat itu beredar sampai

ke konsumen. Namun, tentu ada saja pihak-pihak yang tidak bertanggung

jawab dalam pelaksanaan alur distribusi obat ini sehingga obat yang

seharusnya tidak bisa dijual tanpa resep dokter dapat beredar bebas.7

Pasal 98 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan, Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan

dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan

mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat, dan ayat (3) Ketentuan

mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan

farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi

yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ditegaskan oleh Pasal 196

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyebutkan

bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau

persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dan 3 dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).

7
Rai Gunawan, Op.,Cit., hlm 9.

5
Penulis dalam penelitian ini mengambil kasus yang pernah terjadi

mengenai peredaran obat keras ilegal Trihexyphenidyl. Kasus yang diambil

adalah kasus yang sudah sampai kepada tahap Pengadilan Negeri yaitu Putusan

Pengadilan Negeri Kediri Nomor : 204/ Pid.Sus/2012/PN.Kdi, yaitu seseorang

yang dengan sengaja menjual obat Trihexyphenidyl yang digunakan sebagai

obat mabuk kepada temannya. Pihak Kepolisian dalam kasus tersebut,

melakukan penangkapan terhadap pelaku penjual obat keras illegal tersebut

melalui keterangan warga dan konsumen yang tertangkap karena menyimpan

dan menyalahgunakan obat keras ilegal tersebut. Pelaku usaha tersebut terbukti

melakukan tindak pidana memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan

atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan

keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sesuai Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dari uraian tersebut diatas, ternyata, meskipun telah ada peraturan yang

mengatur mengenai penjualan obat keras tanpa resep dokter, namun kenyataan

masih terjadi penyimpangan terhadap peraturan tersebut.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, penulis tertarik meneliti

mengenai : “PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENJUALAN

OBAT KERAS ILEGAL (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negri Kediri

Nomor: 204/Pid.Sus/2012/PN.Kdi)”

6
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang

masalah di atas, maka Penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana penanggulangan tindak pidana penjualan obat keras illegal?

2. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam penanggulangan tindak

pidana penjualan obat keras illegal dan upaya mengatasinya?

3. Bagaimana faktor-faktor penyebab penjualan obat keras illegal?

C. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah yang sudah diuraikan di atas, maka penelitian

ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa penanggulangan terhadap tindak

pidana penjualan obat keras illegal.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa kendala-kendala yang dihadapi dalam

penanggulangan tindak pidana penjualan obat keras illegal dan upaya

mengatasinya

3. Untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor penyebab penjualan obat

keras illegal

7
D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis :

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambah

wawasan keilmuan di bidang ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya

di  bidang hukum kesehatan yang berkaitan dengan penanggulangan

tindak pidana penjualan obat keras illegal, kendala-kendala yang dihadapi

dalam penanggulangan tindak pidana penjualan obat keras illegal, upaya

dalam mengatasinya serta faktor penyebab penjualan obat keras illegal.

2. Kegunaan Praktis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak

pidana penjualan obat keras ilegal, kendala-kendala yang dihadapi dalam

penanggulangan tindak pidana penjualan obat keras illegal, upaya

mengatasinya dan faktor-faktor penyebab penjualan obat keras illegal .

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di berbagai perpustakaan

Perguruan tinggi negeri maupun swasta di kota Semarang belum pernah ada

penelitian yang mengangkat masalah mengenai penanggulangan terhadap

pelaku penjualan obat keras illegal ditinjau dari Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan khususnya Pasal 98 ayat 2 dan 3, serta Pasal

196, sehingga penelitian ini asli dan sesuai asas keilmuan sehingga dapat

8
dikatakan bahwa penelitian ini asli dan keasliannya secara akademis keilmuan

dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk mengetahui perbedaan penelitian penulis dengan penelitian-

penelitian yang sejenis yang dapat dijadikan pembanding, dapat dilihat dalam

tabel berikut :

9
Tabel 1.
Penelitian Pembanding
Penelitian Sebelumnya Penelitian Sekarang
N Nama Peneliti, Judul Kajian Kebaruan
o. Tahun
1. Widiarto Kebijakan hukum Membahas sanksi pidana Penelitian ini membahas
Purwoto,2012 pidana terhadap yang dapat dijatuhkan pada tentang penanggulangan
,Tesis perilaku pengusaha pengusaha dalam produksi, terhadap penjualan obat
Universitas dalam produksi, penyimpanan, penjualan keras illegal, serta faktor
Diponegoro. penyimpanan, obat-obatan tanpa keahlian yang menjadi kendala
penjualan obat- dan kewenangan dilihat dalam penanggulangan
obatan tanpa dari UU No.36 Tahun terhadap pelaku penjualan
keahlian dan 2009 tentang Kesehatan obat keras illegal.
kewenangan. serta kaitannya dengan UU
No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
2. M Beni, 2015, Pengaturan Tindak Pada penelitian peneliti lebih
Tesis Pidana Peredaran membahas tentang
Universitas 17 Obat Keras Illegal perserorangan yang
Agustus Sebagai Obat mengedarkan obat aborsi
Semarang. Abortus Provokatus dilihat dari perspektif
Kriminalis Undang-Undang Nomor
Berdasarkan 23 Tahun 1992 tentang
Undang-Undang Kesehatan dan Undang-
Nomor 23 Tahun Undang Nomor 36 Tahun
1992 tentang 2009 tentang Kesehatan.
Kesehatan dan
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun
2009 tentang
Kesehatan.

Sumber : Data Sekunder, (Tahun 2016).

Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa antara penulis dengan peneliti-

peneliti yang lain terdapat perbedaan fokus kajian dan permasalahan yang diteliti.

Pada penelitian Widarto Purwoto permasalahan yang diteliti adalah sanksi pidana

yang dapat dijatuhkan pada pengusaha dalam memperoduksi, penyimpanan dan

penjualan obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan dilihat dari Undang-

undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti, membahas tentang penanggulangan tindak pidana yang

10
melakukan penjualan obat keras ilegal serta faktor yang menjadi kendala dalam

penanggulangan terhadap pelaku penjualan obat keras ilegal.

Pada penelitian M beni permasalahan yang diangkat yaitu tentang

perseorangan yang mengedarkan obat aborsi. Penelitian tersebut berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti karena pada penelitian yang dilakukan

oleh peneliti tidak hanya membahas tentang perseorangan yang mengedarkan obat

aborsi. Tetapi meneliti penanggulangan terhadap semua penjualan yang dilakukan

oleh pengusaha dan perseorangan yang menjual obat keras serta untuk mengetahui

faktor yang menjadi kendala dalam penanggulangan terhadap pelaku penjualan

obat keras illegal.

11
F. Kerangka Pemikiran

engenai
asi dan atau
obatalat
trihexyphenidyl
kesehatan yang
yang
tidak
disalahgunakan
memenuhi standar
sebagai
danobat
ataumabuk,
persyaratan
obat ini
keamanan,
termasukkhasiat
ke dalamatau
obat
kemanfaatan,
keras, obat dan
yangmutu
tidaksebagaimana
dijual bebas dimaksud
dan harus

KESENJANGAN
Kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahaya dari obat keras
Untuk meningkatkan penghasilan/omset
Lemahnya peraturan serta sanksi yang ada sehinggua menyebabkan terjadinya peningkatan penjualan obat keras illegal;
Adannya peluang yang diberikan oleh apoteker yang menjual obat keras ilegal
.

PERUMUSAN MASALAH
Bagaimana penanggulangan tindak pidana penjualan obat keras illegal?
Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam penanggulangan tindak pidana penjualan obat keras illegal dan upaya mengatasinya?
Bagaimana faktor-faktor penyebab penjualan obat keras illegal?

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah,

mengahadapi, atau mengatasi suatu keadaan mencakup aktivitas preventif dan

sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah

dinyatakan bersalah (sebagai narapidana) di lembaga pemasyarakatan, dengan

kata lain upaya penanggulangan pencurian dapat dilakukan secara preventif

dan refresif.8

Kebijakan sosial atau Social policy pada dasarnya adalah upaya

mencapai kesejahteraan serta perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia

sesuai dengan cita – cita bangsa Indonesia yang tercantum jelas dalam

pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu dalam upaya mencapai tujuan tersebut

maka dibuatlah kebijakan kesejahteraan rakyat (Social Welfare) dan kebijakan

perlindungan rakyat (sosial defence), dalam hal ini juga menyangkut

penegakan hukum (Law Enforcement) yang otomatis meliputi kebijakan

hukum (Criminal Policy), dan dalam upaya perwujudanya terdapat dua

metode yang dikenal upaya penal dan upaya non penal.9

Di sisi lain pemerintah negara Indonesia juga berupaya memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut

8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka: Jakarta, hlm : 780.
9
 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti: Bandung,  hlm : 23-24.

13
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian upaya pemerintah negara

Indonesia disamping melindungi masyarakat (social defence), sekaligus

mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan upaya demikian

merupakan tujuan nasional.10

Dalam hal ini yang akan dibahas adalah model ideal dalam pencapaian

kebijakan perlindungan rakyat (sosial defence) dan   kesejahteraan

rakyat (Social Welfare) tentunya dalam pencapain model dua kebijakan ini

diperlukan usaha yang keras dari pemerintah dan semua rakyat Indonesia.

Dengan tercapainya dua kebijakan tersebut maka di Indonesia akan terlaksana

suatu tujuan nasiaonal Indonesia sesuai dengan UUD 1945.11

Dalam kebijakan perlindungan kita ketahui agar kebijakan sosial maka

dibutuhkan suatu perlindungan baik itu perlindungan di dalam negeri dan luar

negri, dalam negeri misalnya melindungi masyarakat ari bahaya kriminalitas,

dan luar negeri adalah tenteng kejahatan internasional. Dan dalam hal ini

maka alam pencapaian sosial degence maka perlu adanya kebijakan hukum

pidana, dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana mencakup ruang

lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materill, di bidang hukum pidana

formil dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.12

Fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu fungsi umum

dan fungsi khusus. Fungsi khusus yaitu melindungi hukum terhadap kehendak

10
Moh. Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, 1999, Gama Media:
Yogyakarta, hlm : 9.
11
Abdul Latif dan Hasbih Ali, 2011, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika: Jakarta, hlm : 22-23.
12
Ibid hlm : 24.

14
yang memperkosanya dengan sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih kejam

dibanding dengan hukum lainya, sedangkan fungsi umumnya adalah mengatur

kehidupan masyarakat atau menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat.13

 Adanya kebijakan pidana tersebut diharap masyarakat akan merasa

terlindungi, dan bagi para pelaku kejahatan maka akan terasa jera dan akan

merasakan tida akan mengulangi kembali perilaku kejahatan tersebut,

pernyataan ini sesuai dengan tujuan pidana yaitu teori relatif. Dengan

berjalanya kebijakan perlindungan atau sosial defence ini akan tercipta suatu

kenyamanan dalam kehidupan masyarakat, dan kemudia akan menuju ke suatu

tujuan yaitu kesejahteraan.14

Kesejahteraan sosial dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai

tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan

masyarakat yang lebih baik. “Social welfare is a field of activities and policies

directing efforts to deal with social problem”(kesejahteraan sosial merupakan

sebuah lapangan kerja/kegiatan dan usaha kebijakan secara langsung untuk

memecahkan masalah sosial). “Social welfare includes those laws, programs,

benefits and services which assure of strengthen provisions for meeting social

needs recognized to the well-being of the population and the better

functioning of the social order” (Kesejahteraan sosial termasuk didalamnya

adalah peraturan perundangan, program, manfaat dan pelayanan yang

menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial

13
mam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, hlm : 26-27. 
14
Ibid, hlm : 31.

15
yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam

masyarakat.15

Jika kita berbicara mengenai ilmu kesejahteraan sosial maka awalnya

kita harus berbicara mengenai kesejahteraan sosial itu sendiri. Di bawah ini

ada beberapa definisi kesejahteraan sosial menurut beberapa ahli.16

1. Segel dan Bruzy (1998:8), “Kesejahteraan sosial adalah kondisi

sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi

kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat”

2. Wilensky dan Lebeaux (1965:138)"kesejahteraan sosial sebagai sistem

yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga

sosial, yang dirancang untuk membantu individu-individu dan

kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang

memuaskan".

3. Gertrude Wilson: “Kesejahteraan sosial merupakan perhatian yang

terorganisir dari semua orang untuk semua orang”.

4. Elizabeth Wickenden “kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya

peraturan perundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang

menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan

sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman

dalam masyarakat”.

Di Indonesia dalam UU No. 6 Tahun 1974 tentang Pokok Kesejahteraan

Sosial juga dirumuskan definisi Kesejahteraan Sosial yaitu: “Kesejahteraan

 Barda Nawawi Arief, Op Cit,  hlm : 24.


15

 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cet II, Alumni:
16

Bandung, 1998, hlm :166.

16
sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun

spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir

batin, yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosial yang sebaik-

baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-

hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.”).  Dalam

pengertian sosial welfere diatas kesejahteraan merupakan tujuan utama dari

setiap masyarakat dalam kehidupanya, dengan subjeknya adalah manusia itu

sendiri yang haru berusaha dalam mencapai kesejahteraan tersebut baik

kesejahteraan rohani dan jasmani.17

Dari penegertian diatas dapat dilihat fungsi umum dan khusus itu

bersifat represif dan preventif yaitu untuk mencegah terjadinya suatu

pelanggaran, dan apabila terjadi pelanggaran maka dilaksanakan dengan upaya

represif yaitu pemulihan kembali terhadap pelanggaran tersebut.18

Dengan tercapainya kebijakan kesejahteraan dan kebijakan perlindungan

ini kemudian akan terciptanya negara kesejahteraan atau Welfare State.

Kesejahteraan negara menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang

difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang

lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara

universal dan komprehensif kepada warganya. misalnya, menyatakan bahwa

“…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively

17
Teguh Prasetyo, 2011, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media: Jakarta, hlm : 27-
28.
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media: Yogyakarta,
18

hlm:155.

17
by the state to the best possible standards”. Di Indonesia dalam mewujudkan

welfere state ini misalnya program dari pemerintah yatu Bada Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS), dalam penyelenggaran BPJS ini meskipun secara das

sein tidak seluruhnya menyejehterakan rakyat seperti konsep welfare

state namun secara das sollen penulis berpendapat konsep welfare

state bertujuan untuk mengurangi beban masyarakat daalam biaya kesehatan

supaya terwujud kesejahteraan di bidang kesehatan.19

Tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat (social welfare) serta

perlindungan masyarakat (social defence) merupakan tujuan nasional dalam

pelaksanaan Kebijakan Sosial(Social Policy). Upaya pencapaian tujuan

nasional (social welfare) dan social defence), melalui pelaksanaan

penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.20

Kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan

(termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal

inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan

sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan kesejahteraan  (social

welfare) dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat ( social defence).

Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan ( politik

Criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukuman) maka

kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya dalam kegiatan

yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concerto) harus


19
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum…, Op Cit, hlm : 75.
20
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media: Yogyakarta,
hlm : 155.

18
memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dan kebijakan sosial

itu, berupa social welfare dan social defence.21

Kebijakan hukum pidana ini pun dinilai tidak mampu dalam mengatasi

kebijakan kriminal, dengan hal ini ada yang namanya kebijakan non penal,

kebijakan non penal ini pencegahan tindak kejahatan dengan seperti kita

mengikuti suatu organisasi yang tentunya berguna bagi kehidupan serang

tersebut, Jadi selain criminal law application (kebijakan penal) masih ada dan

dimungkinkan prevention without punishment (non penal). Untuk itu, perlu

memperhatikan alternative-alternatif kebijakan lain yaitu pendekatan

nonpenal. Pendekatan nonpenal dimaksudkan sebagai upaya untuk

menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum

pidana (non penal). Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan

pendekatan nonpenal diorentasikan pada upaya-upaya untuk menangani

factor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan.22

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan

pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention

without punishment), yaitu antara lain pencegahan kesehatan mental

masyarakat (community planning mental health), kesehatan mental

masyarakat secara nasional (national mental health), social worker and child

welfare(kesejahteraan anak dan pekerja social), serta penggunaan hukum civil

dan hukum administrasi (administrative and civil law). Oleh karena itu, perlu

21
Barda Nawawi Arif, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group: Jakarta,, hlm : 78-79.
22
Muladi,  1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip: Semarang, hlm : 40.

19
langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber

daya yang ada didalam masyarakat (community crime prevention).23

B. Pelaku Tindak Pidana

1. Pengertian tindak pidana

Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling

umum untuk istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda walaupun

secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit.  Pendapat

beberapa ahli tentang Pengertian Tindak Pidana, yaitu :24

Pengertian Tindak Pidana menurut Simons ialah suatu tindakan atau

perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum

pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan

kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana adalah Suatu

pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan

sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman trhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.

Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan

melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun

tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit,  hlm : 24.


23

Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika


24

Aditama.

20
tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan

sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Menurut E.Utrecht, Pengertian Tindak Pidana dengan isilah

peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu

perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-

negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan

atau melalaikan itu).

Sementara itu, Moeljatno meyatakan bahwa Pengertian Tindak

Pidana berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,

terhadap siapa saja yg melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut

harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata

pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.

Van Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari

simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai

sifat dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamael

meliputi lima unsur, sebagai berikut :

1.        Diancam dengan pidana oleh hukum,

2.        Bertentangan dengan hukum,

3.        Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld),

4.        Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya,

5.        Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa Pengertian

tindak pidanaadalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat

21
bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau

diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang

diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan

sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan

tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya,

maka akan dijumpai suatu perbuatan atau tindakan manusia, dengan

tindakan itu seseorang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang oleh

undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan

ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.25

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku

atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya

yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan

unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan dari

si pelaku itu harus dilakukan.26

a. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa).

2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

25
Adami Chazawi,2002, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Jakarta: Grafindo.
26
Ibid,Adami Chazawi, hlm 69.

22
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340

KUHP.

5) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak

pidana  menurut Pasal 308 KUHP.

b. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang

pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415

KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu

Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398

KUHP.

3) Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak

pidana sebagai berikut:27

a.  Diancam dengan pidana oleh hukum.

b. Bertentangan dengan hukum.

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah.

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.


27
Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 88.

23
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu

sebagai berikut :28

a. Kejahatan dan Pelanggaran.

Dalam WvS Belanda, terdapat pembagian tindak pidana antara

kejahan dan pelanggaran. Untuk yang pertama biasa disebur dengan

rechtdelicten dan untuk yang kedua disebut dengan wetsdelicten. 

Disebut dengan rechtdelicten atau tindak pidana hukum yang

artinya yaitu sifat tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya

dalam Undang-Undang melainkan dasarnya telah melekat sifat

terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam

Undang-Undang. Walaupun sebelum dimuat dalam Undang-Undang

ada kejahatan mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada

masyarakat, jadi melawan hukum materiil, Sebaliknya wetsdelicten

sifat tercelanya itu suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya

sebagai demikian dalam Undang-Undang. Sumber

tercelanya wetsdelicten adalah undang-undang.

Dasar pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran yang pasti

jenis pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini dapat

diketahui dalam ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang

diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan denda,

28
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. hlm 193.

24
sedangkan kejahatan lebih didominasi dengana ancaman pidana

penjara.

b. Delik formil dan delik materil.

Delik formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa

sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan adalah

melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak

membutuhkan dan memperhatikan timbulnya suatu akibat tertentu dari

perbuatan yang sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan

semata-mata pada perbuatannya. Misalnya: pada pencurian (Pasal 369)

untuk selesainya pencurian bergantung pada selesainya perbuatan.

Sebaliknya, tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada

timbulnya akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan

akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

Misalnya: pada pembunuhan (Pasal 338), inti larangan adalah

menghilangkan nyawa seseorang, dan bukan pada menembak, membacok,

atau memukul. Untuk selesainya perbuatan digantungkan pada timbulnya

akibat dan bukan pada selesainya wujud perbuatan.

c. Delik dolus dan delik culpa.

Tindak pidana sengaja (dolus)  adalah tindak pidana yang dalam

rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur

kesengajaan. Di samping tindak pidana yang tegas unsur kesengajaan itu

dicantumkan dalm pasal, misalnya Pasal 362 (maksud), Pasal 338

(sengaja), Pasal 480 (yang diketahui).

25
Sedangkan tindak pidana kelalaian (culpa) adalah tindak pidana

yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa (lalai), kurang hati-hati

dan tidak karena kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur

culpa ini misalnya, Pasal 114, 359, 360.

Dalam suatu rumusan tindak pidana tertentu adakalanya kesengajaan

dan culpa dirumuskan secara bersamaan (ganda), maksudnya ialah dapat

berwujud tindak pidana sengaja dan dapat culpa sebagai alternatifnya.

Misalnya unsur “yang diketahui”  atau “sepatutnya harus diduga” (pasal

418, 480). Dilihat dari unsur kesalahannya ada dua tindak pidana, yaitu

yang satu adalah tindak pidana sengaja dan yang lain adalah tindak pidana

culpa, yang ancamannya sama atau kedua tindak pidana ini dinilai sama

beratnya.

d. Tindak Pidana aktif (Delik commisionis) dan Tindak Pidana Pasif.

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa

perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk

mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang

yang berbuat.

Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif ada

suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang

dibebani hukum untuk berbuat tertentu berbuat tertentu yang apabila ia

tidak melakukan perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya

tadi.

26
Tindak pidana pasif ada dua macam, yaitu tindak pidana pasif murni

dan tindak pidana pasif tidak murni disebut dengan delicta commissionis

per omissionem. Tindak pidana pasif murni adalah adalah tindak pidana

yang secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata

unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif, misalnya Pasal 224,

304, 522. Tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang

pada dasarnya adalah tindak pidana positif tetapi dilakukan dengan cara

tidak berbuat aktif, misalnya pada pembunuhan 338 tetapi jika akibat

matinya itu disebabkan karena seseorang tidak berbuat sebagaimana

kewajibannya.

e. Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja

disebut juga aflopende delicten Misalnya: jika perbuatan itu selesai tindak

pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu

berlangsung lama, yakni setelah perbuatan itu dilakukan, tindak pidana itu

berlangsung terus yang disebut juga dengan voortdurende delicten.

Misalnya pada Pasal 329,330, 331, 333, dan 334. Seperti Pasal 333,

perampasan kemerdekaan itu berlangsung, tidak selesai seketika, bahkan

sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan.

f. Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana Umum.

27
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat

dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (buku II dan III

KUHP). Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang

terdapat dalam luar yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Misalnya

tindak pidana korupsi (Undang-Undang No.31 Tahun 1999), tindak pidana

psikotropika (Undang-Undang No. 5 Tahun 1997), tindak pidana

perbankan (Undang-Undang no. 10 Tahun 1998), tindak pidana narkotika

(Undang-Undang No. 22 Tahun 1997).

g. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya/

peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde geprevisilierde delicten.)

Delik yang ada pemberatannya, misalnya: penganiayaan yang

menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2, 3 KUHP),

pencurian pada waktu malam hari. (Pasal 363). Ada delik yang ancaman

pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya:

pembunuhan kanak-kanak (Pasal 341 KUHP). Delik ini disebut

“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misalnya: penganiayaan (Pasal

351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP). 

h. Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana Aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana

yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak

disyaratkan adanya pengaduan bagi yang berhak. Sebagian besar tindak

pidana adalah tindak pidana biasa.

28
Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya

dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya

pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau

wakilnya dalam perkara perdata (Pasal 72) atau keluarga tertentu dalam

hal tertentu (Pasal 73). Atau orang yang diberi kuasa khusus untuk

pengaduan oleh yang berhak.

4. Subjek Delik Atau Pelaku Tindak Pidana

Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan sesuatu

perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa

melakukannya, dan delik itu harus ditujukan kepada :29

a. Memperkosa kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan

hukum (krenkingsdelicten), seperti: pembunuhan, pencurian, dan

sebagainya.

b. Membahayakan suatu kepentingan hukum (gevaarzettingsdelicten),

yang dibedakan menjadi dua :

1) Concrete gevaarzettingsdelicten, seperti: kejahatan membahayakan

kepentingan umumbagi orang atau barang Pasal 187, pemalsuan

surat Pasal 263 KUHP yang menimbulkan suatu ketakutan atau

kemungkinan kerugian.

2) Abstracte gevaarzettingsdelicten, seperti: dalam penghasutan,

sumpah palsu dan sebagainya yang diatur dalam KUHP.

Hubungan antara sifat delik dan kepeningan hukum yang dilindungi,

maka yang menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia (een


29
Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, hlm 122.

29
natuurlijk persoon). VOS memberikan tiga alasan mengapa hanya

manusia yang dapat menjadi subjek delik, yaitu :30

a. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan ”Hij Die...” di dalam

peraturan undang-undang pada umumnya, yang berarti tidak lain

adalah manusia.

b. Jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada oleh

manusia.

c. Didalam hukum pidana berlaku asas kesalahan bagi seseorang pribadi.

Perkmbangan di dalam undang-undang hukum pidana baru ternyata

badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan

sebagai tindakan, dan dalam undang-undang fiscal dapat dipidana badan

hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya.

C. Penjualan Obat Keras

1. Pengertian Penjualan

Penjualan adalah kegiatan yang terpadu untuk mengembangkan

rencana-rencana strategis yang diarahkan kepada usaha pemuasan

30
Bambang  Poernomo, 1992, asas-asas hukum pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia, Hlm. 93-
94.

30
kebutuhan serta keinginan pembeli/konsumen, guna untuk mendapatkan

penjualan yang menghasilkan laba atau keuntungan.31

Obat keras adalah obat yang berkhasiat keras, yang memakai tanda

lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya.

Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini contohnya antibiotik, serta

obat-obatan yang mengandung hormon. Obat-obat ini berkhasiat keras dan

bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh,

memperparah penyakit atau menyebabkan kematian.32

Peredaran obat keras adalah peredaran obat dari distributor ke sarana

penyaluran atau PBF, kemudian dari PBF akan diedarkan ke sarana

pelayanan seperti: apotek, instalasi farmasi, praktek bersama dokter dan

apoteker serta Rumah Sakit. Obat keras harus diedarkan ke sarana-sarana

pelayanan farmasi yang telah memiliki ijin untuk menyimpan obat-obatan

untuk dijual secara eceran di tempat tertentu dan telah mempekerjakan

seorang tenaga farmasi seperti: apoteker ataupun asisten apoteker sebagai

penanggung jawab teknis farmasi. Tujuannya adalah untuk memberikan

perlindungan terhadap konsumen (pasien) mengenai terjaminnya mutu

obat yang sampai ke tangan pasien, serta dapat melakukan advokasi

terhadap pasien dengan memberikan segala informasi terkait obat yang

dikonsumsi (cara pemberian, efek samping, interaksi obat, dan lain-lain).33

M Habibie, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Departemen
31

Pendidikan Nasional, hlm 96.


32

33
Syamsuni. 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Buku Kedokteran.

31
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

mendefinisikan bahwa obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk

produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki

sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan

kontrasepsi untuk manusia.34

Obat memang dapat mengobati penyakit, tetapi masih banyak juga

orang yang menderita sakit akibat konsumsi obat-obatan. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat bilamana obat

tersebut dikonsumsi oleh orang yang tepat sesuai indikasi, tepat penyakit,

tepat takaran atau dosis, dan tepat waktu pemberiannya. Untuk

peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan

distribusi maka berdasarkan cara penyerahannya, obat digolongkan, yaitu:

a. Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter yaitu golongan obat

bebas dan golongan obat bebas terbatas. Selain di apotek, kedua

golongan obat ini dapat diperoleh secara bebas di outlet-outlet dan

toko obat.

b. Obat yang hanya dapat diserahkan dengan resep dokter yaitu golongan

obat keras atau daftar G, psikotropika, dan narkotika. Ketiga golongan

obat ini hanya dapat diperoleh di apotek berdasarkan resep dokter.

2. Pengelolaan dan Penyimpanan Obat Keras

Pengelolaan obat adalah suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut

aspek perencanaan, pengadaaan, distribusi, penyimpanan dan penggunaan


34
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

32
obat dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Tujuan pengelolaan

obat di Indonesia adalah terlaksananya optimalisasi penggunaan dana, melalui

peningkatan efektifitas dan efisiensi pengelolaan dan penggunaan obat secara

tepat dan rasional.35

a. Perencanaan.

Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi atau pemilihan

obat dan menentukan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat untuk

tempat pelayanan kesehatan dan sub unit pelayanan kesehatan lainnya.

Perencanaan bertujuan untuk mendapatkan jenis dan jumlah obat yang

sesuai dengan kebutuhan, menghindari kekosongan obat dan

meningkatkan penggunaan obat secara rasional.

Kegiatan pokok perencanaan meliputi :

1. Persiapan, memilih obat yang dibutuhkan.

2. Perhitungan kebutuhan obat.

b. Pengadaan.

Pengadaan adalah proses menyediakan obat yang dibutuhkan di

unit pelayanan kesehatan. Pengadaan obat yang efektif menjamin

tersedianya obat dengan jumlah yang tepat, harga yang layak dan

terjamin kualitasnya. Tujuan pengadaan adalah untuk menyediakan

obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan bermutu tinggi pada

waktu yang tepat.

Kegiatan pengadaan meliputi :

35
Afiyah Syarif, 2009, Pengelolaan obat & peraturan perundangan di bidang farmasi,
Jogjakarta: CV Seto Mulyo, hlm 19-25.

33
1) Memilih metode pengadaan.

2) Memilih pemasok dan membuat dokumen kontrak.

3) Memantau atau mengecek pesanan obat.

4) Menerima dan memeriksa obat.

5) Melakukan pembayaran.

Pengadaan, dalam prosesnya dapat muncul masalah-masalah

antara lain jumlah obat tidak mencukupi kebutuhan karena anggaran

obat terbatas, perilaku pemasok kurang baik berakibat obat yang

dipesan tidak sesuai permintaan atau diganti, kualitas obat yang

diberikan rendah sehingga obat mudah rusak, jadwal penerimaan obat

tidak sesuai dengan pesanan berakibat stok kosong.

c. Distribusi.

Distribusi adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran

dan pengiriman obat yang bermutu dari gudang secara merata dan

teratur untuk memenuhi permintaan unit pelayanan kesehatan.

Kegiatan ini bertujuan penyebaran obat dapat terlaksana secara merata

dan teratur serta efisiensi penggunaan obat.

Kegiatannya meliputi melakukan distribusi dengan suatu sistem

sesuai dengan jenis daerah tersebut (missal: sistem distribusi obat di

kabupaten, sektor swasta, rumah sakit, dan lain-lain), perencanaan dan

distribusi, pengiriman, menyiapkan dokumen pengiriman, memeriksa

kualitas obat sebelum dikirim, dan mencatat setiap pengiriman obat

pada kartu stok obat.

34
d. Penyimpanan.

Penyimpanan adalah kegiatan pengamanan dengan cara

menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai

aman. Penyimpanan bertujuan memelihara mutu obat, mencegah

kehilangan, kerusakan, pencurian, terbuang, menghindari penggunaan

obat yang salah, menjaga kelangsungan persediaan, dan memudahkan

pencarian dan pengawasan.

Kegiatan dalam penyimpanan meliputi :

1) Pengaturan tata ruang dan penyusunan stok obat.

Bertujuan untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan,

penyusunan dan pengawasan :

a) Dasar arah arus penerimaan dan pengeluaran obat (FIFO =

First In First Out, obat yang pertama atau lebih dulu masuk

dikeluarkan lebih dulu).

b) Jenis obat yang disimpan (narkotik, obat luar, obat yang harus

disimpan dalam suhu tertentu).

c) Mengatur obat secara alfabetis dan menurut bentuk sediaan

obat.

d) Menyusun stok obat.

2) Pengamatan mutu obat.

Untuk mengamati adanya obat yang kadaluwarsa dan rusak.

Diamati secara visual adanya perubahan yang muncul

3) Pencatatan stok obat.

35
e. Penggunaan dan Pelaporan.

Dalam penggunaannya, tentu harus ada sistem pencatatan yang

baik dan benar. Harus ada data mengenai obat yang masuk dan keluar

berapa banyak sehingga memudahkan dalam proses pengadaan

kembali obat-obatan. Penggunaan berupa penyerahan obat kepada

pasien. Proses penggunaan obat dimulai dengan penetapan diagnosis

dan penulisan resep obat yang rasional oleh dokter.

Petugas kamar obat atau apotek selanjutnya akan menyerahkan

obat sesuai yang ditulis dalam resep kepada pasien. Yang perlu

diperhatikan dalam kegiatan ini adalah pengemasan obat, pemberian

label dan informasikan pada pasien tentang bagaimana cara pemberian

obat dan dosis sehingga akan membuat pasien taat dalam

mengkonsumsi obat.

Pemerintah sendiri telah mengatur bagaimana cara-cara yang

baik mulai dari pengadaan, penyimpanan, distribusi serta penggunaan

dan pelaporan obat-obatan yang beredar di masyarakat melalui

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK

03.134.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara

Distribusi Obat yang Baik.

Pedagang Besar Farmasi (PBF), PBF Cabang, dan Instalasi

Sediaan Farmasi yang menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan,

dan penyaluran obat dan atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman

Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Pelanggaran

36
terhadap ketentuan Pedoman Teknis CDOB dapat dikenai sanksi

administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara

kegiatan, dan pencabutan Sertifikat CDOB.

f. Penyelewengan dalam distribusi Obat Keras.

Pelaksanaan distribusi obat keras dapat terjadi banyak hal

penyimpangan, terlebih lagi apabila sistem distribusi obat yang baik

tidak berlangsung semestinya.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada

Kementrian Kesehatan merupakan bagian yang mengurus distribusi

obat. Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten atau

Kota memiliki peran yang berbeda dalam proses distribusi obat.

Dinas Kesehatan Provinsi menerima pelaporan distribusi dan

ketersediaan obat yang berasal dari sarana distribusi, yaitu

Pedagang Besar Farmasi. Sedangkan Dinas Kesehatan Kabupaten

atau Kota, menerima pelaporan distribusi dan ketersediaan obat

yang berasal dari sarana pelayanan, seperti Apotek, Puskesmas

danRumah Sakit.

1) Beberapa masalah yang terjadi pada Pemerintah terkait dengan

proses distribusi obat di Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Kementrian Kesehatan belum memiliki sebuah sistem

informasi yang berisi database mengenai pendistribusian obat

berskala nasional.

37
b) Belum ada sistem informasi yang dapat memperlihatkan data

pendistribusian obat secara real time.

c) Data yang diterima dan ditampilkan pada sistem saat ini tidak

detail.

d) Dinas Kesehatan Provinsi menerima laporan mengenai

pendistribusian obat dalam bentuk tertulis (hardcopy) dari

Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.

2) Masalah pada Sarana Distribusi (PBF).

Beberapa permasalahan yang ada pada sarana distribusi atau

PBF pada proses distribusi obat adalah sebagai berikut:

a) Masih ada PBF yang tidak memenuhi persyaratan mutu dalam

melakukan pengadaan, penyimpanan, dan menyalurkan obat

seperti yang sudah ditetapkan pada Peraturan Kementrian

Kesehatan No.1148 Tahun 2011 tentang Pedagang Besar

Farmasi pada Pasal 13.

b) Masih ada PBF yang tidak memiliki apoteker.

c) Beberapa PBF tidak melaksanakan pengadaan, penyimpanan,

dan penyaluran obat sesuai dengan CDOB (Cara Distribusi

Obat yang Baik) yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

d) Masih ada PBF yang tidak melaporkan kegiatannya kepada

Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi selama 3

bulan sekali.

38
e) Tidak ada batasan jumlah order yang dapat dilakukan oleh

sebuah PBF kepada pabrik obat ataupun PBF lainnya

3) Masalah pada Sarana Pelayanan (Rumah Sakit, Puskesmas, dan

Apotek).

Masalah yang ditemukan pada sarana pelayanan dalam

mendistribusikan obat adalah masih ada pihak yang menjual obat

generik jenis keras tanpa menggunakan resep dari dokter.

4) Masalah pada Masyarakat.

Beberapa masalah yang terjadi pada masyarakat sebagai

konsumen terkait penyebaran obat generik adalah sebagai berikut:

a) Sosialisasi mengenai obat generik khususnya jenis obat keras

yang masih kurang.

b) Masih banyak masyarakat yang berani membeli obat generik

dengan jenis keras tanpa menggunakan resep.

Dari beberapa masalah pada instansi-instansi tersebut

membuahkan masalah dalam masyarakat, seperti: obat

trihexyphenidyl yang termasuk obat keras ini dapat beredar bebas, hal

ini dapat terjadi karena ada yang tidak beres baik dari produsen,

pedagang besar obat, apotek, maupun salesman atau medical

representative yang menghubungkan rantai pemakaian suatu obat.

Salah satu cara yang lazim dipakai adalah salesman dengan

sengaja mengirim pesanan yang salah berupa jumlah obat yang lebih

banyak dari yang dipesan apotik, atau obat yang tidak dipesan oleh

39
apotik. Serta obat-obat yang dikembalikan apotik, biasanya dibayar

secara tunai oleh salesman lalu dijual oleh salesman ke tempat lain

(dokter atau toko obat).

D. Obat Keras Illegal

Golongan obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek

dengan resep dokter dan dapat diulang tanpa resep baru bila dokter

menyatakan pada resepnya “boleh diulang”. Obat-obatan yang termasuk ke

dalam golongan obat keras antara lain: antibiotika, obat-obat sulfide,

hormone, antihistamin untuk pemakaian dalam, dan semua obat suntik. Hal

ini dengan tegas diatur oleh perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.36

Obat keras ilegal adalah obat keras yang peredarannya diluar jalur resmi

yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia. Hal ini dapat terjadi di berbagai tingkat penyaluran obat keras,

baik di tingkat distributor, Pedagang Besar Farmasi, Rumah Sakit, apotek,

ataupun toko obat dimana untuk mendapatkannya tidak perlu melalui resep

dokter.Undang-Undang Obat Keras St 419 tanggal 22 Desember tahun 1949

Pasal 3 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Penyerahan dari bahan-bahan G, yang

menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang,

larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada Pedagang-

pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan

Dokter dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan

36
Howard C. Ansel, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (edisi terjemahan oleh Farida
Ibrahim). Jakarta : UI Press.

40
menurut ketentuan pada Pasal 7 ayat 5”. Dengan demikian, sudah jelas bahwa

penyerahan obat keras daftar G tanpa adanya resep dokter adalah dilarang. Di

dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 24 huruf c disebutkan

pula bahwa “dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas

pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika

dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan

ketentuan peraturan”. Dengan kata lain seorang apoteker hanya bisa

menyerahkan obat keras dengan resep dokter.

a. Pengertian illegal

Suatu barang dikatakan illegal adalah apabila bertentangan atau

dilarang oleh hukum, khususnya hukum pidana. Jadi obat-obatan illegal

adalah obat-obatan yang bertentangan oleh hukum baik izin edarnya

ataupun kandungannya yang tidak sesuai dengan seharusnya.37

b. Peredaran menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1010 tahun 2008.

Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan

penyaluran atau penyerahan obat baik dalam rangka perdagangan, atau

pemindah tanganan. Sedangkan Registrasi adalah prosedur pendaftaran

dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar. Izin Edar menurut pasal 1

no. 8 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang

kriteria tata laksana registrasi obat adalah bentuk persetujuan registrasi

obat untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.38

37
Bahder Nasution, 2005, Sistem Hukum, Jakarta, PT. Rineka Cipta. hlm 1.
38
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1010 tahun 2008.

41
c. Mekanisme Peredaran Obat Legal Menurut BPOM.

Keterangan Gambar :

1) Pabrik Obat.

Pabrik obat adalah bangunan dengan perlengkapan mesin, tempat

membuat atau memproduksi obat dalam jumlah besar untuk

diperdagangkan. Pabrik obat yang dimaksud disini adalah pabrik obat

yang telah mendapat izin usaha dari Menteri Kesehatan. Wewenang

pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM). Izin ini berlaku seterusnya selama industri. tersebut

berproduksi dengan perpanjangan izin setiap 5 tahun. Bila ingin

membangun sebuah pabrik harus konsultasi pada BPOM tentang

bentuk obat apa yang akan mereka produksi guna mendapatkan

sertifikat CPOB/CPOTB.39

2) Izin Produksi.

Diana Syahbani, 2012, Tinjauan Yuridis Tentang Perbuatan Peredaran Obat-obatan Ilegal
39

Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Surabaya: UPN “Veteran” Jawa Timur.

42
Setelah mendirikan pabrik obat yang telah mendapatkan izin

usaha, Izin Produksi juga harus dimiliki oleh pabrik. Izin Produksi

diberikan oleh Menteri Kesehatan dengan rekomendasi oleh Dinas

Kesehatan Kota/Kabupaten setempat setelah melihat proses produksi

sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi,

personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan higienis sampai

dengan pengemasan yang harus sesuai dengan CPOB/CPOTB. Pabrik

baru diperbolehkan memproduksi obat setelah mendapatkan izin

produksi.40

3) Obat.

Setelah memperoleh izin produksi, barulah suatu pabrik dapat

memproduksi obat. Obat yang diproduksi harus senantiasa memenuhi

persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan

penggunaannya.

4) Sertifikat CPOB/CPOTB.

Obat yang diproduksi sebelum diedarkan harus memiliki izin

edar. Salah satu syarat izin edar adalah memiliki sertifikat

CPOB/CPOTB. Ruang lingkup CPOB meliputi 12 aspek yaitu,

Manajemen Mutu, Personalia, Bangunan dan Fasilitas, Peralatan,

Sanitasi dan Higiene, Produksi, Pengawasan Mutu, Inspeksi Diri dan

Audit Mutu, Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan

Kembali Produk, dan Produk Kembalian, Dokumentasi, Pembuatan


40
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.41.1384 Tentang
Kriteria Tata Laksanan Pendaftaran Obat Tradisional.

43
dan Analisis Berdasarkan Kontrak, Kualifikasi dan Validasi.

Pemenuhan persyaratan CPOB/CPOTB dibuktikan dengan sertifikat

CPOB/CPOTB yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat

dan Makanan.41

5) Registrasi.

Registrasi obat hanya dilakukan oleh industri farmasi yang

memiliki izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri. Industri

farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB/CPOTB yang pemenuhan

persyaratanya dibuktikan dengan sertifikat CPOB/CPOTB yang

dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Registrasi obat dilakukan oleh pendaftar dengan menyerahkan

dokumen registrasi. Dokumen registrasi merupakan dokumen rahasia

yang dipergunakan terbatas hanya untuk keperluan evaluasi oleh yang

berwenang.42

Terhadap dokumen registrasi yang telah memenuhi ketentuan

dilakukan evaluasi sesuai kriteria yaitu :

a) Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai

dibuktikan melalui percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti

lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang

bersangkutan.

41
Ibid, Diana Syahbani, hlm 24.
42
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.10.11.08481
Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.

44
b) Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi

sesuai Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan

metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta

produk jadi dengan bukti yang sahih.

c) Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat

menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman.

d) Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.

e) Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki

keunggulan kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat

standar dan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia untuk

indikasi yang diklaim.

f) Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program

lainnya yang akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik

di Indonesia. Untuk melakukan evaluasi dibentuklah Komite

Nasional Penilai Obat, Panitia Penilai Khasiat-Keamanan, dan

Panitia Penilai Mutu Teknologi, Penandaan dan Kerasionalan

Obat. Pembentukan tugas dan fungsi komite maupun Panitia

ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.43

6) Izin Edar.

Keputusan Kepala Badan terhadap registrasi obat diberikan

dengan mempertimbangkan hasil evaluasi dokumen registrasi dan

rekomendasi Komite Nasional Penilai Obat, Panitia Penilai Khasiat-

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.10.11.08481


43

Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.

45
Keamanan dan Panitia Penilai Mutu, Teknologi, Penandaan dan

Kerasionalan Obat dan/ atau hasil pemeriksaan setempat di fasilitasi

pembuatan obat. Pemberian Persetujuan Izin Edar diberikan kepada

pendaftar yang telah memenuhi syarat administratif dan Kriteria obat

yang memiliki izin edar sesuai dengan peraturan Kepala BPOM. Maka

semenjak disetujui izin edarnya oleh Kepala Badan Pengawas Obat

dan Makanan, maka obat itu telah sah memiliki izin edar.44

d. Kriteria Obat Illegal dan Obat tradisional illegal.

1) Obat illegal.

Menurut Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM tentang kriteria tata laksana

registrasi obat adalah :

a) Obat yang akan diedarkan di Indonesia wajib memiliki izin edar.

b) Untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus dilakukan registrasi.

c) Registrasi obat diajukan kepada Kepala Badan oleh pendaftar.

Menurut pasal 3 Peraturan Kepala BPOM tentang criteria tata laksana

registrasi obat tahun 2011, obat yang memiliki izin edar harus

memenuhi kriteria sebagai berikut adalah :

i. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai

dibuktikan melalui uji non-klinik dan uji klinik atau bukti-bukti

lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang

bersangkutan.

44
Ibid, Diana Syahbani, hlm 26.

46
ii. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi

sesuai Cara pembuatan Obat yang Baik (CPOB) spesifikasi dan

metode analisis terhadap semua bahan yang digunakan serta

produk jadi dengan bukti yang sahih.

iii. Penandaan dan informasi produk berisi informasi lengkap,

obyektif, dan tidak menyesatkan yang dapat menjamin

penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman.

iv. Khusus untuk psikotropika baru harus memiliki keunggulan

dibandingkan dengan obat yang telah disetujui beredar di

Indonesia dan untuk kontrasepsi atau obat lain yang digunakan

dalam program nasional dapat dipersyaratkan. Sebagaimana

dijelaskan pada pasal 4, kontrasepsi untuk program nasional

berdasarkan penetapan oleh instansi pemerintah yang

menyelenggarakan urusan keluarga berencana. Sedangkan obat

program nasional lainnya berdasarkan oleh penetapan instansi

pemerintah yang menyelenggarakan urusan kesehatan. Jadi

dapat disimpulkan kriteria obat illegal adalah :

 ijin edar palsu.

 tidak memiliki nomor registrasi.

 substandart atau obat yang kandunganya tidak sesuai dengan

seharusnya.

 Obat impor yang masuk secara ilegal, tanpa kordinasi

dengan pihak BPOM.

47
 Obat yang izin edarnya dibekukan tetapi masih tetap

beredar.

 Obat Tradisional Ilegal Menurut pasal 2 Peraturan Kepala

BPOM tahun 2011 tentang Kriteria dan tata Laksana

Pendaftaran Obat Tradisional, herbal terstandar dan

fitoformatea :

o Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka

yang dibuat dan atau diedarkan di wilayah Indonesia

wajib memilik izin edar dari Kepala Badan.

o Untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud

pada ayat.

o Harus dilakukan pendaftaran. Menurut Peraturan Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang

Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat yang Baik,

Industri obat tradisional wajib menerapkan CPOBT

dalam seluruh aspek dan rangkaian pembuatan obat

tradisional. Menurut Pasal 4 Peraturan Kepala BPOM

tentang kriteria tata laksana Pendaftaran obat tradisional,

obat herbal, dan fitoformatea tahun 2011, Untuk dapat

memiliki izin edar.45

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 obat tradisional, obat herbal terstandar

dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

45
Ibid, Diana Syahbani, hlm 27.

48
1) menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi

persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat.

2) dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku.

3) penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat

menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan

fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi

dalam rangka pendaftaran. Jadi kriteria obat tradisional ilegal adalah :

a) Obat tradisional yang mencantumkan nomor pendaftaran fiktif pada

labelnya.

b) Obat yang tidak terdaftar di BPOM.

c) Obat yang peredaranya ditarik karena terdapat campuran bahan kimia

obat keras didalamnya. Untuk obat tradisional ada pasal pengecualian

yang diatur oleh Peraturan Kepala BPOM tentang Kriteria Tata

Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan

Fotofarmaka tahun 2011. Diatur dalam pasal 3 yang berbunyi:

Dikecualikan dari ketentuan Pasal 2 terhadap :

i. obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang

digunakan untuk penelitian;

ii. obat tradisional impor untuk digunakan sendiri dalam jumlah

terbatas;

iii. obat tradisional impor yang telah terdaftar dan beredar di negara

asal untuk tujuan pameran dalam jumlah terbatas;

49
iv. obat tradisional tanpa penandaan yang dibuat oleh usaha jamu

racikan dan jamu gendong;

v. bahan baku berupa simplisia dan sedíaan galenik. Contoh obat

ilegal dan obat tradisional ilegal :

a) Obat ilegal : obat yang lagi marak dikonsumsi

masyarakat yaitu obat pelangsing, baru-baru ini

polrestabes Surabaya mengamankan ribuan obat-obatan

pelangsing Acayberry yang tidak mengantongi surat izin

edar dari BPOM.

b) Obat tradisional ilegal : obat pegal linu eka jaya yang no

registrasinya dibatalkan karena mengandung bahan

kimia obat parasetamol, obat gatal-gatal yang tidak

terdaftar tetapi mencantumkan izin edar fiktif TF.

993205601, on top kapsul yang tidak terdaftar di

BPOM.46

Obat keras illegal bukan termasuk obat palsu, karena obat keras

khususnya yang disalahgunakan ini memiliki izin edar, sudah memiliki

nomor registrasi, isi kandungannya pun sesuai dengan tulisan yang tercantum

dalam kemasan, belum melewati tanggal kadaluarsa. Jadi, dapat disimpulkan

bahwa obat keras illegal adalah obat keras yang sesuai standar hanya saja cara

penyalurannya atau cara mendapatkannya tidak sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia.47


46
Ibid, Diana Syahbani, hlm 29.
47
Purwanto Hardjosaputra, 2008, Daftar Obat Indonesia edisi II, Jakarta, PT.Mulia Purna Jaya
Terbit., hlm 5.

50
Untuk penyerahan obat keras yang merupakan obat atas resep

dokter harus dilakukan oleh seorang apoteker. Hal ini diatur dalam Peraturan

Pemerintah No. 51 Tahun 2009. Menurut Peraturan Pemerintah No.51 Tahun

2009 Pasal 21 ayat (2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep

dokter dilaksanakan oleh Apoteker”. Akan tetapi seperti pada bahasan

sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengadaan Obat

Wajib Apotek (OWA). Hal ini diatur dalam Peraturan Mentri Kesehatan

No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian

Izin Apotik Pasal 18 ayat (1). Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa

“Apoteker Pengelola Apotik, Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti

diizinkan untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai Daftar Obat

Wajib Apotik tanpa resep”. Tujuan dari OWA ini adalah untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi

masalah kesehatan.48

Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 maka

dengan sendirinya Permenkes yang mengatur tentang adanya Obat wajib

Apotek menjadi tidak berlaku. Hal ini ditinjau dari kedudukan hukum dari

masing-masing peraturan. Jika terdapat dua peraturan atau lebih yang

mengatur satu hal yang sama, maka harus dilihat kedudukan hukumnya di

dalam tata urutan aturan perundang-undangan yang berlaku. Sistem atau tata

urutan hukum yang berlaku di Indonesia memperlihatkan kekuatan hukum

dari setiap peraturan-peraturan yang ada. Masyarakat biasanya membeli obat

48
Peraturan Mentri Kesehatan No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik Pasal 18 ayat (1).

51
keras illegal dari para pengedar, yang sebetulnya tidak jelas latar belakang

pendidikannya. Namun, kadang mereka juga dapat membeli obat keras

tersebut melalui apotek tanpa adanya resep dokter. Jika dilihat dari realita

tersebut, memang permasalahan obat keras illegal di Indonesia ini masih

sangat kompleks. Perlu pengaturan oleh Pemerintah yang lebih serius.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan :

A. Metode Pendekatan

Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk

dalam kategori penelitian normatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah

52
yuridis normatif sehingga dalam mengkaji permasalahan yang timbul lebih

mengutamakan sumber data sekunder.

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan

bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas

hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian

ini.49,50

Penelitian ini mengkaji dan menelaah penanggulangan terhadap pelaku

penjualan obat keras illegal serta mengkaji dan menelaah juga kendala-kendala

yang dihadapi dalam penanggulangan tindak pidana penjualan obat keras illegal

dan upaya mengatasinya serta mengkaji dan menelaah faktor-faktor penyebab

penjualan obat keras illegal.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis, yaitu

menghubungkan data satu dengan data lainnya, memberikan penilaian

terhadap hasil tersebut serta menggambarkan gejala hukum, melukiskan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai Pasal 98 ayat 2 dan 3, dan

Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada

penelitian ini, penulis ingin memperoleh gambaran yang jelas mengenai

penanggulangan terhadap pelaku tindak pidana penjualan obat keras illegal di

Indonesia.
49
Amirudin dan H Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm 19
50
Ali Zainudin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 22

53
C. Sumber Data

Penelitian hukum ini menggunakan sumber data sekunder dan primer,

yang diperoleh dari :

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penulisan hukum ini terdiri dari

1. Bahan Hukum Primer, berupa Undang-Undang meliputi :

a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS.

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

d. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

e. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan

sediaan farmasi dan alat kesehatan.

g. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian.

h. Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993 Tentang Kriteria Obat Yang

Dapat Diserahkan Tanpa Resep.

i. Permenkes No. 925 /Menkes/Per/X/1993 Tentang Perubahan

Golongan Obat Wajib Apotik No.1.

j. Kepmenkes No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 Tentang Daftar Obat Keras.

k. Kepmenkes No. 347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib

Apotik.

54
l. Kepmenkes No. 924/Menkes/Per/X/1993 Tentang Daftar Obat Wajib

Apotik No. 2.

m. Kepmenkes No. 1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar Obat Wajib

Apotek No. 3.

n. Peraturan Kementrian Kesehatan No.1148 Tahun 2011 tentang

Pedagang Besar Farmasi.

o. Keputusan Bersama antara Kepala Kepolisian RI dan Kepala Badan

POM RI No. Pol. Kep/20/VIII/2002 dan No. HK.004.04.72.02578

tanggal 16 Agustus 2002 tentang Peningkatan Hubungan Kerjasama

dalam Rangka Pengawasan dan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang

Obat dan Makanan.

p. Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Nomor HK.00.05.3.2522 Tahun 2003 tentang Penerapan Pedoman

Cara Distribusi Obat yang Baik.

q. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.06.32.3.295 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengawasan

Promosi dan Iklan Obat.

r. Peraturan Kepala BPOM No.HK 03.134.11.12.7542 Tahun 2012

tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang baik.

s. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 Tentang Standar Pelayanan Publik

Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan Makanan.

t. Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor : 204/ Pid.Sus/2012/PN.Kdi

55
2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta

memahami bahan hukum primer. Berupa : buku-buku, hasil penelitian dan

bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian seperti : website.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

Disamping data sekunder, penulis juga menggunakann data primer

yang berupa wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang dan

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam

penelitian ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan dan wawancara.23

Metode studi dokumen atau studi kepustakaan ini merupakan metode

pengumpulan data dengan mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku,

literatur, catatan-catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel

penting dari media internet yang erat kaitannya dengan permasalahan yang di

teliti.

E. Metode Penyajian Data

Data yang terkumpul selanjutnya disajikan dalam bentuk naratif yang

telah melalui proses editing, yaitu proses memeriksa dan meneliti kembali

56
data yang diperoleh untuk mengetahui kebenaran dan dapat

dipertanggungjawabkan datanya, sesuai dengan kenyataan yang ada.

Dalam proses editing ini diantaranya melakukan pembetulan data yang

keliru, menambahkan data yang kurang dan melengkapi atau

menyempurnakan data yang belum lengkap.

F. Metode Analisa Data

Data yang telah terkumpul disusun secara sistematis kemudian dianalisis

menggunakan metode analisa normatif kualitatif, yaitu analisa yang

menggunakan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, asas-asas

hukum serta doktrin-doktrin hukum yang sesuai dengan permasalahan yang

diteliti. Penerapan analisis dalam pengertian ini adalah dengan cara mencari

hubungan yang logis antara temuan normatif dengan temuan empiris.

57

Anda mungkin juga menyukai