Anda di halaman 1dari 200

IONI

Selain menjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan produk Obat dan Makanan yang beredar, salah satu tugas
penting Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
terkait Obat dan Makanan. Melalui KIE, pihak-pihak terkait di bidang obat dan makanan dapat memperoleh
informasi mengenai produk yang telah mendapatkan ijin edar dari Badan POM.

Buku Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) merupakan buku yang berisi informasi terstandar semua
obat yang beredar di Indonesia yang lengkap, akurat, tidak bias dan dapat digunakan sebagai referensi oleh
tenaga kesehatan. Buku IONI pertama kali diterbitkan pada tahun 2000 dan telah beberapa kali direvisi.
Seiring dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta telah
ditemukan dan dipasarkannya berbagai obat baru di Indonesia, maka Badan POM kembali melakukan revisi
terhadap buku IONI sebagai upaya memutakhirkan informasi dan menerbitkan IONI 2014.

Buku IONI 2014 ini disusun berdasarkan data ilmiah terkini (scientific-based data) dan informasi approved
label dari produk obat yang beredar di Indonesia yang telah disetujui oleh Badan POM melalui evaluasi
keamanan, khasiat, dan mutu yang berbasiskan bukti (evidence-based medicine).
Buku IONI 2014 terdiri dari tiga bagian, yaitu Pedoman Umum, Informasi Obat, dan Lampiran. Bagian
Pedoman Umum memuat informasi penting terkait keamanan dan kemanfaatan penggunaan obat, seperti
penggolongan obat, obat generik, masalah dalam penggunaan obat, peresepan untuk anak, kehamilan dan
lansia serta daftar obat yang dilarang digunakan dalam olahraga. Bagian Informasi Obat berisi 18 bagian kelas
terapi, yang di dalamnya memuat penambahan 24 monografi obat baru, 8 monografi obat kombinasi baru, dan
36 monografi obat update informasi monografi serta data nama dagang memuat informasi hingga September
2014. Sedangkan pada lampiran terdiri dari interaksi obat, gagal hati, gagal ginjal, kehamilan, menyusui, serta
petunjuk praktis penggunaan obat yang benar, serta informasi keamanan obat.
Sebagi akhir kata, kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi mulai dari persiapan hingga diterbitkannya buku IONI 2014 ini. Tim Penyusun sangat berharap
IONI 2014 ini dapat memberi manfaat dan kontribusi nyata bagi pelayanan informasi obat pada khususnya dan
pelayanan kesehatan pada umumnya serta mendukung pengunaan obat yang rasional oleh tenaga kesehatan.

Jakarta, Desember 2014


Tim Penyusun IONI 2014

 PEDOMAN UMUM
 BAB 1 SISTEM SALURAN CERNA
 BAB 2 SISTEM KARDIOVASKULER
 BAB 3 SISTEM SALURAN NAPAS
 BAB 4 SISTEM SARAF PUSAT
 BAB 5 INFEKSI
 BAB 6 SISTEM ENDOKRIN
 BAB 7 OBSTETRIK, GINEKOLOGIK, DAN SALURAN KEMIH
 BAB 8 KEGANASAN DAN IMUNOSUPRESI
 BAB 9 GIZI DAN DARAH
 BAB 10 OTOT SKELET DAN SENDI
 BAB 11 MATA
 BAB 12 TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK
 BAB 13 KULIT
 BAB 14 PRODUK IMUNOLOGIS DAN VAKSIN
 BAB 15 ANESTESIA
 BAB 16 PENANGANAN DARURAT PADA KERACUNAN
 BAB 17 MEDIA KONTRAS
 BAB 18 RADIOFARMAKA
 LAMPIRAN 1 : INTERAKSI OBAT
 LAMPIRAN 2 : GAGAL HATI
 LAMPIRAN 3 : GAGAL GINJAL
 LAMPIRAN 4 : KEHAMILAN
 LAMPIRAN 5 : MENYUSUI
 LAMPIRAN 6 : PETUNJUK PRAKTIS PENGGUNAAN OBAT YANG BENAR
PEDOMAN UMUM ›
DAFTAR ISI
o IONI
 PEDOMAN UMUM
 BAB 1 SISTEM SALURAN CERNA
 BAB 2 SISTEM KARDIOVASKULER
 BAB 3 SISTEM SALURAN NAPAS
 BAB 4 SISTEM SARAF PUSAT
 BAB 5 INFEKSI
 BAB 6 SISTEM ENDOKRIN
 BAB 7 OBSTETRIK, GINEKOLOGIK, DAN SALURAN KEMIH
 BAB 8 KEGANASAN DAN IMUNOSUPRESI
 BAB 9 GIZI DAN DARAH
 BAB 10 OTOT SKELET DAN SENDI
 BAB 11 MATA
 BAB 12 TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK
 BAB 13 KULIT
 BAB 14 PRODUK IMUNOLOGIS DAN VAKSIN
 BAB 15 ANESTESIA
 BAB 16 PENANGANAN DARURAT PADA KERACUNAN
 BAB 17 MEDIA KONTRAS
 BAB 18 RADIOFARMAKA
 LAMPIRAN 1 : INTERAKSI OBAT
 LAMPIRAN 2 : GAGAL HATI
 LAMPIRAN 3 : GAGAL GINJAL
 LAMPIRAN 4 : KEHAMILAN
 LAMPIRAN 5 : MENYUSUI
 LAMPIRAN 6 : PETUNJUK PRAKTIS PENGGUNAAN OBAT YANG BENAR

PEDOMAN UMUM
Kepentingan Informatorium Nasional
Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak
dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia,
sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Tidak
kalah penting, obat harus selalu digunakan secara benar agar memberikan manfaat klinik yang optimal. Terlalu
banyaknya jenis obat yang tersedia ternyata juga dapat memberikan masalah tersendiri dalam praktek,
terutama menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan obat secara benar dan aman. Para pemberi
pelayanan (provider) atau khususnya para dokter (prescriber) harus selalu mengetahui secara rinci, obat yang
dipakai dalam pelayanan. Di banyak sistem pelayanan kesehatan, terutama di negara-negara berkembang,
informasi mengenai obat maupun pengobatan yang sampai ke para dokter seringkali lebih banyak berasal dari
produsen obat. Informasi ini seringkali cenderung mendorong penggunaan obat yang diproduksi oleh masing-
masing produsennya dan kurang obyektif.
Dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, mutlak diperlukan sumber informasi obat yang netral, agar para
dokter dapat memperoleh informasi yang obyektif setiap saat memerlukannya. Salah satu bentuk informasi
obat yang komprehensif adalah buku informatorium nasional. Pada dasarnya, pengertian formatorium obat
adalah kumpulan informasi dari produk-produk obat yang telah diijinkan untuk digunakan dalam suatu sistem
pelayanan kesehatan.
Informatorium Obat Nasional Indonesia atau disingkat IONI, memuat informasi mengenai produk-produk obat
yang disetujui beredar di Indonesia. Sesuai ketentuan yang berlaku, sebelum disetujui beredar di Indonesia,
obat harus melalui penilaian khasiat, keamanan dan mutu, sehingga obat yang beredar telah memenuhi 3
kriteria tersebut. Informasi tersebut mencakup informasi mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik obat,
indikasi dan cara penggunaannya, keamanannya dan informasi lainnya. Pengembangan IONI tidak terlepas
dari prinsip kedokteran berdasarkan bukti (evidence-based medicine), dengan informasi yang dicantumkan
adalah yang paling banyak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang berkaitan dengan kemanfaatan dan
keamanan penggunaan obat. Informasi yang dimuat dalam suatu informatorium merupakan informasi yang
telah ditelaah secara cermat berdasarkan data penelitian.
Kepentingan dan manfaat informatorium dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:

 Mencakup produk-produk obat yang telah mendapat izin edar (legal)


 Memuat informasi obat, terutama mengenai indikasi, penggunaan dan cara penggunaan, serta informasi
keamanan obat yang resmi disetujui (approved).
 Menghindari pemberian infomasi obat yang salah (tidak berimbang, bias, tidak lengkap).
 Mendorong penggunaan obat yang efektif, aman dan rasional.
Penggolongan Obat
Terdapat tiga jenis golongan obat yaitu obat bebas, obat bebas terbatas dan obat keras.
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus untuk
obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.

Lingkaran Hijau → tanda khusus obat bebas

Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa dengan resep dokter, tapi disertai
dengan tanda peringatan. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam.

Lingkaran Biru → obat bebas terbatas

Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan
untuk aturan pakai obat, karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini aman dipergunakan untuk
pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang
terdiri dari 6 macam, yaitu:
Obat Keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Ciri-cirinya adalah bertanda
lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi.
Obat ini hanya boleh dijual di apotik dan harus dengan resep dokter pada saat membelinya.

Lingkaran merah,dengan huruf K di tengah → obat keras

Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA)


Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah
kesehatan yang ringan, dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan
sendirisecara tepat, aman dan rasional. Melakukan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat
dicapai melalui bimbingan apoteker yang disertai dengan informasi yang tepat sehingga menjamin penggunaan
yang tepat dari obat tersebut.
Peran apoteker di apotik dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat
kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri.

Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter, namun harus
diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan penggunaan obat DOWA harus dengan bimbingan
apoteker. Daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan. Sampai saat
ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter.

Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam:


1. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/ MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek berisi Daftar
Obat Wajib Apotek No. 1
2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/ Menkes / Per / X / 1993 tentang DaftarObat Wajib Apotek No.2
3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.3
Obat Esensial
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling diperlukan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya
diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan sesuai
dengan fungsi dan tingkatnya.
Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan melalui Daftar Obat Esensial Nasional, Pedoman Pengobatan,
Formularium Rumah Sakit dan Informatorium Obat Nasional Indonesia. Keempat komponen ini merupakan
komponen yang saling terkait untuk mencapai peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan
penggunaan obat.

Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan yang
diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.

Dari sisi medis, obat esensial sedikit banyak dapat dikaitkan dengan obat pilihan (drug of choice). Dalam hal
ini hanya obat yang terbukti memberikan manfaat klinik paling besar, paling aman, paling ekonomis, dan
paling sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada yang dimasukkan sebagai obat esensial.
Tujuan kebijakan obat esensial adalah untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan
dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah
satu langkah untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Kriteria obat esensial yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan juga telah
diadopsi di Indonesia adalah sebagai berikut:

 Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit risk ratio) yang paling menguntungkan pasien
 Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan hayati (bioavailability)
 Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
 Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan
 Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
 Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak
langsung
 Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,maka pilihan diberikan kepada
obat yang:
o Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
o Sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak menguntungkan
o Stabilitas yang paling baik
o Paling mudah diperoleh
o Obat yang telah dikenal
 Obat jadi kombinasi tetap, dengan kriteria sebagai berikut:
o Obat bermanfaat bagi pasien hanya bila dalam bentuk kombinasi tetap
o Kombinasi tetap terbukti memberikan khasiat dan keamanan lebih baik dibanding masing-masing
komponennya
o Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian
besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut.
o Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat dan keamanan
o Kombinasi antibakteri harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi atau efek
merugikan lain.
Di Indonesia, penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus di semua unit
pelayanan kesehatan.
Obat Generik
Obat yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai oleh masing-masing
produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan promosi untuk masing-masing produknya, maka
harga obat dengan nama dagang umumnya lebih mahal. Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan
untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan dengan nama bahan aktifnya.
Agar para dokter dan masyarakat dapat menerima dan menggunakan obat generik, diperlukan langkah-langkah
pengendalian mutu secara ketat. Di Indonesia, kewajiban menggunakan obat generik berlaku di unit-unit
pelayanan kesehatan pemerintah.

Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka kebijakan tersebut
mencakup komponen-komponen berikut:

 Produksi obat generik dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Produksi dilakukan oleh
produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan kebutuhan akan obat generik dalam
pelayanan kesehatan.
 Pengendalian mutu obat generik secara ketat.
 Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan sesuai dengan Cara Distribusi
Obat yang Baik
 Peresepan berdasarkan nama generik, bukan nama dagang.
 Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit-unit pelayanan kesehatan.
 Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara
berkesinambungan.
 Pemantauan dan evaluasi berkala terhadap penggunaan obat generik.
Mutu obat generik tidak perlu diragukan mengingat setiap obat generik juga mendapat perlakuan yang sama
dalam hal evaluasi terhadap pemenuhan kriteria khasiat, keamanan dan mutu obat. Namun, sekarang ini
terdapat kecenderungan bahwa penggunaan obat generik mulai menurun. Untuk itu hasil dari pemeriksaan
mutu dan informasi mengenai obat generik harus selalu dikomunikasikan kepada pemberi pelayanan maupun
ke masyarakat luas.

Formularium Rumah Sakit


Bagi suatu rumah sakit, tidak mungkin untuk menyediakan semua jenis obat yang ada di pasaran untuk
pelayanan rumah sakit. Untuk itu dikembangkan kebijakan formularium rumah sakit, yang pada dasarnya
adalah merupakan upaya pemilihan obat di rumah sakit. Setiap rumah sakit di negara maju dan juga dibanyak
negara berkembang umumnya telah menerapkan formularium rumah sakit. Formularium rumah sakit (FRS)
pada hakekatnya merupakan daftar produk obat yang telah disepakati untuk dipakai di rumah sakit yang
bersangkutan, beserta informasi yang relevan mengenai indikasi, cara penggunaan dan informasi lain
mengenai tiap produk. FRS yang telah disepakati di satu rumah sakit perlu dilaksanakan dengan sungguh-
sungguh (commitment) dari pihak-pihak yang terkait, meliputi:
 Pengelola obat menyediakan obat-obat di rumah sakit sesuai dengan FRS
 Dokter menggunakan obat-obat yang ada di FRS.
Formularium Rumah Sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
Rumah Sakit berdasarkan DOEN dan disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti
secara ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di Rumah Sakit tersebut. Penyusunan Formularium Rumah Sakit
juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku.

Mengingat pengembangan dan penerapan FRS adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui
penggunaan obat yang aman, efektif, rasional dan juga dalam rangka efisiensi biaya pengobatan, maka
pengembangan FRS perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait di rumah sakit, yakni pihak pengelola obat,
manajemen rumah sakit, dan keahlian- keahlian klinik yang ada. Keputusan untuk memasukkan suatu obat
dalam FRS harus didasarkan atas kesepakatan akan kriteria tertentu yang mencakup bukti, manfaat klinis obat,
keamanan obat, kesesuaian obat dengan pelayanan yang ada di rumah sakit dan biaya. Faktor-faktor ini harus
dikaji secara ilmiah dari sumber-sumber informasi ilmiah yang layak dipercaya. Kajian tidak cukup hanya
berdasarkan informasi yang diberikan oleh produsen obat.

FRS yang telah dikembangkan harus disosialisasikan di kalangan dokter, dan dalam penerapannya harus
dilakukan pemantauan secara berkesinambungan. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan
revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.

Pedoman Pengobatan
Di banyak sistem pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang, saat ini banyak
dikembangkan dan dilaksanakan pedoman pelayanan termasuk pedoman pengobatan dalam berbagai tingkat
pelayanan. Unit-unit pelayanan kesehatan, baik di tingkat primer, sekunder maupun tersier, membutuhkan
suatu pedoman pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, keamanan maupun cost-
effectiveness tindakan farmakoterapi yang diberikan.
Kebutuhan pedoman pengobatan dilator-belakangi oleh banyaknya alternatif pengobatan yang ada untuk setiap
jenis penyakit dan juga adanya kebiasaan pengobatan yang sangat beragam di antara para dokter berdasarkan
pengalamannya masing-masing. Prinsip kedokteran berdasarkan bukti (evidence based medicine) menuntut
bahwa alternatif terapi yang terbukti secara ilmiah paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai dan paling
ekonomis untuk pasien yang harus dipilih dan diberikan kepada pasien.
Agar pedoman pengobatan dapat memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya, maka beberapa hal berikut
perlu mendapatkan perhatian:

 Pedoman pengobatan dikembangkan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dan handal.
 Pedoman pengobatan dikembangkan dengan melibatkan berbagai faktor dalam sistem pelayanan
kesehatan yang bersangkutan.
 Pedoman pengobatan perlu disosialisasikan kepada para dokter.
 Perlu pemantauan ketaatan terhadap pedoman pengobatan melalui audit atau studi penggunaan obat di
unit-unit pelayanan kesehatan.
 Pedoman pengobatan memuat penyakit yang umum dijumpai di unit pelayanan kesehatan.
 Pedoman pengobatan harus disesuaikan dengan sarana pelayanan dan pelaku pelayanan yang ada.
Mengembangkan pedoman pengobatan dan menyebarluaskannya ke unit-unit pelayanan kesehatan saja tidak
akan memberikan banyak dampak perubahan terhadap kebiasaan penggunaan obat. Pedoman pengobatan perlu
dipakai dan ditaati oleh para dokter dalam pelaksanaan pelayanan dan secara berkala dilakukan pemeriksaan
(audit) dan pemantauan (monitoring) kebiasaan penggunaan obat. Hasil pemeriksaan dan pemantauan ini perlu
diumpanbalikkan kepada para dokter sebagai masukan yang diharapkan akan meningkatkan mutu penggunaan
obatnya.

Masalah Dalam Penggunaan Obat


Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak ekonomis atau yang lebih populer,
dengan istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan, baik di
negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan, misalnya di
rumah sakit, puskesmas, praktek pribadi, maupun di masyarakat luas.
Penggunaan obat yang tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak imbang dengan manfaat yang
diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat. Dengan kata lain, penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional
jika:

 Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru


 Pemilihan obat tidak tepat, artinya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling
aman, paling sesuai, dan paling ekonomis
 Cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian dan
lama pemberian
 Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaan-keadaan yang tidak
memungkinkan penggunaan suatu obat, atau mengharuskan penyesuaian dosis (misalnya penggunaan
aminoglikosida pada gangguan ginjal) atau keadaan yang akan meningkatkan risiko efek samping obat
 Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien atau keluarganya
 Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tidak diperkirakan
sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak langsung.
Latar belakang penyebab terjadinya masalah penggunaan obat bersifat kompleks karena berbagai faktor ikut
berperan. Ini mencakup faktor yang berasal dari dokter, pasien, sistem dan sarana pelayanan yang tidak
memadai, dan dari kelemahan-kelemahan regulasi yang ada. Tidak kalah pentingnya adalah faktor yang
berasal dari promosi obat yang berlebihan dan adanya informasi yang tidak benar mengenai manfaat dan
keamanan suatu obat. Masalah penggunaan obat tidak semata- mata berkaitan dengan kekurangan informasi
dan pengetahuan dari profesional kesehatan (dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya) maupun pasien
atau masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan kebiasaan yang sudah mendalam, dan perilaku pihak-pihak yang
terlibat didalamnya.

Untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, semua profesional kesehatan harus mewaspadai lima hal yang
harus tepat dalam pemberian obat yaitu: “Tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat
waktu pemberian”. Dalam manajemen risiko, semua hal yang harus tepat ini diubah/ dibalik menjadi
kategori medication error. Beberapa masalah dalam pemberian obat yang dikategorikan sebagai medication
error, adalah sebagai berikut:
1. Memberikan obat yang salah yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak diresepkan untuk pasien
tersebut.
2. Kelebihan jumlah sediaan yang diberikan, yaitu apabila sediaan yang diberikan lebih besar dari total
jumlah sediaan pada saat diminta oleh dokter. Contoh: apabila dokter meminta obat untuk diberikan hanya
pada pagi hari namun pasien juga menerima obat untuk digunakan pada sore hari.
3. Kesalahan dosis atau kesalahan kekuatan obat yaitu apabila pada sediaan yang diberikan terdapat
kesalahan jumlah dosis
4. Kesalahan rute pemberian yaitu apabila obat diberikan melalui rute yang berbeda dengan yang seharusnya,
termasuk juga sediaan yang diberikan pada tempat yang salah. Contoh: obat seharusnya diteteskan pada
telinga sebelah kanan tetapi diteteskan pada telinga sebelah kiri.
5. Kesalahan waktu pemberian yaitu apabila waktu pemberian obat berbeda dari seharusnya tanpa ada alasan
yang kuat dan memberikan perbedaan efek yang cukup signifikan.
6. Kesalahan bentuk sediaan yaitu apabila bentuk sediaan yang diberikan berbeda dengan yang diminta oleh
dokter Contoh: memberikan tablet padahal yang diminta adalah suspensi
Contoh medication error yang berhubungan dengan singkatan dan simbol
Maksud
Singkatan sebenarnya Error Rekomendasi
Nama Obat
Singkatan:
MTX Mitosantron
Metotreksat
Magnesium
Sulfat
MS (MgSO4)
Morfin Sulfat Jangan
menyingkat nama
Stemmed obat
names:
Nitro drip

Nitroprusid Nitrogliserin

Simbol
1 (angka 1);
Memisahkan contoh lain
dua dosis atau misalnya
untuk 25unit/10
mengindikasikan unit dibaca Tuliskan ‘per’
per sebagai 110 jangan menuliskan
unit simbolnya
/
Salah dibaca
+ sebagai
Tanda tambah angka 4 Tuliskan ‘dan’

Nilai desimal
Pencantuman
angka “Nol”
Nol setelah setelah koma
nilai desimal berbahaya karena
(contoh 1.0 Salah dibaca dapat disalah
mg) sebagai 10 artikan, karena itu
1 mg mg jangan digunakan
Singkatan istilah. Pada umumnya, istilah-istilah dari obat dan sediaan sebaiknya ditulis secara lengkap.
Misalnya penulisan sediaan injeksi antibiotik dengan kekuatan 1 gram seringkali ditulis “1 g”. Hal ini
sebaiknya ditulis secara lengkap yaitu “1 gram”.
Kekuatan dan kuantitas. Kekuatan atau kuantitas dari sediaan kapsul, tablet hisap, tablet, dan lain-lain harus
ditetapkan oleh dokter penulis resep.
Jika apoteker menerima resep yang tidak lengkap untuk suatu sediaan yang digunakan secara sistemik dan
berpendapat bahwa pasien tidak perlu kembali ke dokter, prosedur seperti berikut ini dapat diterapkan:

a. Harus dilakukan usaha untuk menghubungi dokter penulis resep untuk memastikan maksudnya.
b. Jika usaha yang dilakukan untuk menghubungi dokter penulis resep berhasil, sesudah itu jika
memungkinkan apoteker harus mengusahakan supaya kuantitas, kekuatan yang dapat digunakan, dan dosis
dapat disisipkan/disusulkan oleh penulis resep pada resep yang tidak lengkap tersebut.
c. Selanjutnya, meskipun dokter penulis resep telah berhasil dihubungi, perlu didokumentasikan secara
tertulis pada resep bahwa dokter sudah dihubungi dan tambahkan informasi mengenai kuantitas dan
kekuatan yang dapat digunakan dari sediaan yang tersedia, dan dosis sesuai indikasi. Catatan tersebut
sebaiknya diberi nama dan tanggal oleh apoteker.
d. Apabila dokter penulis resep tidak dapat dihubungi dan atau apoteker ragu-ragu dalam mengambil
keputusan, resep yang tidak lengkap tersebut sebaiknya dikirimkan kembali kepada dokter penulis resep.
Eksipien/Bahan Tambahan
Bahan resmi, yang dibedakan dari sediaan resmi, tidak boleh mengandung bahan yang ditambahkan, kecuali
secara khusus diperkenankan dalam monografi. Apabila diperkenankan, pada penandaan harus tertera nama
dan jumlah bahan tambahan tersebut. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi atau dalam ketentuan umum
Farmakope Indonesia, bahan-bahan yang diperlukan seperti bahan dasar, penyalut, pewarna, penyedap,
pengawet, pemantap dan pembawa dapat ditambahkan ke dalam sediaan resmi untuk meningkatkan stabilitas,
manfaat atau penampilan maupun untuk memudahkan pembuatan. Bahan tambahan tersebut dianggap tidak
sesuai dan dilarang digunakan, kecuali (a) bahan tersebut tidak membahayakan dalam jumlah yang digunakan,
(b) tidak melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk memberikan efek yang diharapkan, (c) tidak
mengurangi ketersediaan hayati, efek terapi atau keamanan dari sediaan resmi, (d) tidak mengganggu dalam
pengujian dan penetapan kadar.
Udara dalam wadah sediaan resmi dapat dikeluarkan atau diganti dengan karbondioksida, helium, nitrogen
atau gas lain yang sesuai. Gas tersebut harus dinyatakan pada etiket, kecuali dinyatakan lain dalam monografi.

Sediaan yang dibuat baru


Suatu produk sebaiknya hanya dibuat baru apabila tidak ada produk tersebut yang beredar di pasaran.
British Pharmacopoeia (BP) mengatur bahwa sediaan yang harus dibuat segar berarti bahwa sediaan tersebut
harus dibuat tidak lebih dari 24 jam sebelum sediaan tersebut digunakan. Tujuan pengaturan agar suatu sediaan
sebaiknya dibuat baru menunjukkan bahwa perubahan/peruraian cenderung terjadi apabila sediaan tersebut
disimpan selama lebih dari 4 minggu pada temperatur 15-250C.
Kata air tanpa keterangan lain berarti merupakan air yang direbus dan air purifikasi yang didinginkan.

Keamanan di rumah
Pasien harus diingatkan untuk menyimpan semua obat jauh dari jangkauan anak-anak. Semua sediaan padat,
cair oral dan eksternal harus diserahkan dalam wadah yang dapat ditutup yang tidak dapat dibuka oleh anak-
anak kecuali jika:
 Kemasan asli obat tidak memungkinkan hal ini
 Pasien akan mengalami kesulitan dalam membuka kemasan yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak
 Adanya permintaan khusus supaya sediaan tersebut tidak diserahkan dalam kemasan yang tidak dapat
dibuka oleh anak-anak
 Tidak tersedia kemasan yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak khususnya untuk sediaan cair
 Semua pasien sebaiknya disarankan untuk membuang obat yang sudah tidak terpakai.
Produk Komplemen
Dewasa ini, informasi mengenai obat herbal atau produk komplemen telah semakin banyak ditemui. Namun,
IONI hanya menyajikan informasi mengenai produk yang dikategorikan sebagai obat. Referensi mengenai obat
herbal atau produk komplemen beserta interaksi obat herbal dengan obat dari bahan kimia antara lain dapat
dilihat pada Buku Informatorium Suplemen Makanan–Badan POM.
Obat dan Pengaruhnya Terhadap Kewaspadaan Saat Menjalankan Mesin
Tenaga kesehatan harus memberi informasi kepada pasien jika terapi yang diberikan dapat mempengaruhi
kemampuan dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pasien harus diberi informasi bahwa selama minum obat
seperti golongan sedatif, jangan menjalankan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor. Efek obat
golongan sedatif dapat meningkat dengan adanya alkohol, karena itu hindari minum obat ini bersama-sama
dengan alkohol.
Nama Obat
Nama obat harus muncul pada etiket kecuali dokter menginstruksikan hal lain.
a. Kekuatan obat harus dinyatakan dalam kemasan/etiket, jika sediaan (bentuk tablet, kapsul atau bentuk
sediaan lain) memiliki berbagai kekuatan yang berbeda.
b. Jika dokter menginginkan ada keterangan seperti misalnya “tablet sedatif” pada etiket obat, dokter harus
menuliskannya pada resep
c. Nama obat dapat tidak ditulis jika terdapat beberapa kandungan obat (merupakan kombinasi)
d. Nama obat yang ditulis pada etiket harus sama dengan nama obat yang tertulis pada resep
Menjaga Keamanan dan Keabsahan Resep
Untuk menjamin validitas resep dan tidak disalahgunakan, disarankan agar:
 tidak meninggalkan blanko resep di meja praktek tanpa pengawasan
 tidak meninggalkan blanko resep di dalam mobil dan tampak dari luar
 jika tidak digunakan, sebaiknya blanko resep disimpan dalam tempat yang terkunci.
Jika terdapat keraguan terhadap keabsahan suatu resep, apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

Keamanan dan Kesehatan


Dalam menangani zat kimia atau biologi yang memerlukan perhatian, agar diwaspadai adanya kemungkinan
reaksi alergi, memicu api atau ledakan, menimbulkan radiasi atau keracunan. Senyawa-senyawa, seperti
kortikosteroid, beberapa antimikroba, fenotiazin, dan sitotoksik bersifat iritan (menimbulkan iritasi) dan sangat
poten sehingga harus ditangani dengan hati-hati. Hindari paparan pada kulit atau terhisap serbuknya.
Penggunaan Obat Rasional
Proses farmakoterapi
Pada waktu pasien berhadapan dengan dokter, seharusnya dilakukan proses konsultasi secara lengkap untuk
menentukan atau memperkirakan diagnosis dan memberikan tindakan terapi setepat mungkin. Kerangka
konsep proses konsultasi medis secara lengkap mencakup proses berikut ini:
 Penggalian riwayat penyakit atau anamnesis. Kegiatan ini bertujuan untuk mencari informasi mengenai
gejala dan riwayat penyakit.
 Pemeriksaan pasien. Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi. Pada
beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan, misalnya pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologis dan sebagainya, untuk mendukung penegakan diagnosis penyakit.
 Penegakan diagnosis. Berdasarkan gejala dan tanda-tanda serta hasil pemeriksaan, diagnosis penyakit
ditegakkan. Diagnosis pasti tidak selalu dapat ditegakkan secara langsung, sehingga diperlukan perawatan
atau pengobatan yang bersifat sementara sebelum diagnosis pasti ditegakkan.
 Pemberian terapi. Terapi dapat dilakukan dengan obat (farmakoterapi), bukan obat, atau kombinasi
keduanya. Tergantung pada penyakit atau masalah yang diderita oleh pasien, terapi yang diperlukan
mungkin istirahat total, fisioterapi, terapi bedah, pemberian nutrisi, dan sebagainya. Jika diperlukan terapi
obat, maka dipilih obat yang secara ilmiah telah terbukti paling bermanfaat untuk kondisi penyakitnya,
paling aman dan paling ekonomis serta paling sesuai untuk pasien.
 Pemberian informasi. Pasien atau keluarganya perlu diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya
serta terapi yang diperlukan. Penjelasan ini akan meningkatkan kepercayaan dan ketaatan pasien dalam
menjalani pengobatan.
Karena proses konsultasi medis antara dokter dan pasien ini telah menjadi proses yang rutin, seringkali hal ini
justru kurang banyak diperhatikan dalam kenyataan praktek klinis. Para dokter perlu diingatkan kembali akan
pentingnya proses-proses ini sebelum memutuskan untuk memberikan obat.

Prinsip farmakoterapi rasional


Agar tercapai tujuan pengobatan yang efektif, aman, dan ekonomis, maka
pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi sebagai berikut:
 Indikasi tepat.
 Penilaian kondisi pasien tepat.
 Pemilihan obat tepat, yakni obat yang efektif, aman, ekonomis, dan sesuai
dengan kondisi pasien.
 Dosis dan cara pemberian obat secara tepat.
 Informasi untuk pasien secara tepat.
 Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat.
Komunikasi antara dokter dengan pasien
Komunikasi antara dokter dengan pasien memegang peran penting dalam farmakoterapi. Mengenai
komunikasi ini pasien akan memperoleh pengertian mengenai penyakit yang dideritanya, tindakan pengobatan,
obat yang diperlukan dan bagaimana menggunakannya. Hal ini akan membantu meningkatkan ketaatan pasien
dalam menggunakan obat secara benar. Sayangnya komunikasi antara dokter dan pasiennya di unit-unit
pelayanan kesehatan di Indonesia relatif masih belum memadai. Di Puskesmas misalnya, kontak antara pasien
dengan dokter hanya berkisar rata-rata 3 menit, tidak cukup untuk memberikan informasi secara lengkap
kepada pasien. Saat ini, pasien mempunyai hak untuk mengetahui penyakit yang dideritanya dan pengobatan
yang akan diberikan kepadanya. Lebih dari itu, di banyak sistem pelayanan pasien juga berhak diikutsertakan
dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan yang akan diterima, sesudah menerima penjelasan secara
rinci tentang manfaat dan risiko yang akan terjadi. Jelas bahwa dokter mempunyai kewajiban profesional untuk
memberikan penjelasan kepada pasiennya dengan pola komunikasi dua arah. Unsur-unsur informasi yang perlu
dikomunikasikan kepada pasien atau keluarganya seharusnya mencakup hal-hal berikut:
 Informasi tentang penyakit. Ini mencakup informasi tentang penyebab, perjalanan penyakit, kemungkinan
komplikasi, dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk pencegahan dan penyembuhannya.
 Informasi tentang penanganan penyakit Informasi mengenai penanganan penyakit tanpa obat atau dengan
obat, tujuan penanganan, manfaat dan risiko masing- masing alternatif terapi.
 Informasi tentang obat. Informasi ini mencakup jenis obatnya, manfaat klinik dan efek terapi yang akan
dirasakan, kemungkinan risiko efek samping dan gejalanya, dosis dan cara penggunaannya. Pasien perlu
diberi motivasi untuk menggunakan obat secara benar.
 Pesan untuk meningkatkan kepercayaan pasien. Penting untuk memberikan pesan yang bersifat
membangkitkan kepercayaan, agar pasien mantap dan percaya diri mengenai proses penyembuhannya.
Pesan ini harus diberikan secara memadai sesuai dengan kondisi penyakit dan keadaan pasien dan
lingkungannya.
 Informasi mengenai tindaklanjut. Informasi mengenai tindak lanjut, misalnya pemeriksaan tambahan apa
yang diperlukan, kapan harus diperiksa kembali (kontrol), dan apa yang perlu dilakukan jika muncul
gejala yang tidak diinginkan.
Dalam konsep pelayanan kesehatan modern saat ini, pasien bukan lagi dianggap sebagai obyek keputusan
terapi, tetapi juga subyek yang berhak untuk mengetahui serta ikut memutuskan alternatif apa yang akan
diberikan.

Penulisan Resep
Resep merupakan dokumen legal yang digunakan sebagai sarana komunikasi secara profesional dari dokter
kepada penyedia obat, agar penyedia obat memberikan obat kepada pasien sesuai dengan kebutuhan medis
yang telah ditentukan oleh dokter.
Resep harus ditulis secara jelas dan mudah dimengerti. Harus dihindari penulisan resep yang menimbulkan
ketidakjelasan, keraguan, atau salah pengertian mengenai nama obat serta takaran yang harus
diberikan. Menulis resep secara tidak jelas seperti yang sering terjadi saat ini, merupakan kebiasaan yang
tidak benar.
Resep harus memuat unsur-unsur informasi mengenai pasien, pengobatan yang diberikan dan nama dokter
yang menulis resep. Informasi tentang pasien mencakup nama, jenis kelamin, dan umur. Di beberapa unit
pelayanan kesehatan di negara-negara tertentu, diagnosis juga sering ditulis dalam resep. Ini memungkinkan
dilakukan pengecekan ulang terhadap jenis obat yang ditulis oleh dokter pada saat pemberi obat menyediakan
obatnya. Informasi tentang obat mencakup nama obat (seyogyanya nama generik, kecuali kalau memang
benar-benar diperlukan nama dagang), bentuk sediaan dan kekuatan sediaan, cara dan aturan penggunaan, serta
jumlah satuan yang diinginkan. Informasi mengenai dokter mencakup nama dokter, alamat, keahlian, nomor
ijin dokter atau ijin praktek. Beberapa pesan khusus bila perlu ditulis secara jelas, misalnya diminum berapa
jam sebelum makan, diminum pada saat perut kosong dan sebagainya. Resep harus memuat tanda tangan
dokter secara resmi.

Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan berperan penting dalam mengikuti kemajuan-kemajuan mutakhir di bidang
farmakoterapi, terutama jika dikaitkan dengan prinsip kedokteran berdasarkan bukti (evidence based
medicine). Kemajuan farmakoterapi dan penemuan obat-obat baru sedemikian pesatnya, sehingga dokter harus
selalu mengikuti kemajuan-kemajuan ini agar dapat menelaah serta memilih secara kritis, obat yang layak
digunakan dalam praktek.
Adalah sikap yang keliru untuk menerapkan begitu saja suatu obat yang baru tanpa menelaah dan
membandingkannya dengan pilihan utama yang sudah ada, dalam hal manfaat klinis, keamanan, biaya dan
kesesuaian dengan situasi dan kondisi pasien yang harus menggunakan obat.

Para dokter juga harus dapat menelaah dan memilih alternatif sumber informasi maupun media (misalnya
kegiatan ilmiah) yang akan diikuti untuk pendidikan berkelanjutan. Banyak media ilmiah yang sebenarnya
merupakan ajang promosi obat baru, namun dikemas sedemikian rupa sehingga pesannya tersamarkan.
Organisasi-organisasi profesi sering menyelenggarakan kegiatan pendidikan berkelanjutan, tetapi sayangnya
juga seringkali tidak dapat lepas dari beban promosi obat baru.

Dalam perkembangan pelayanan kedokteran di tingkat global ini, perlu dikembangkan suatu mekanisme atau
sistem pendidikan berkelanjutan yang benar-benar terakreditasi, bebas dari pesan-pesan promosi produk
teknologi kedokteran dan obat.

Penyerahan Obat ke Pasien


Penyerahan obat ke pasien oleh penyedia obat (dalam hal ini apoteker atau asisten apoteker) berperan penting
dalam upaya agar pasien mengerti dan menggunakan obat secara benar seperti yang dianjurkan. Kekeliruan
dalam penyediaan obat dan penyerahan obat ke pasien sering mengakibatkan kerugian bagi pasien. Apoteker
atau tenaga kesehatan lain yang bertugas dalam penyediaan dan penyerahan obat adalah orang terakhir yang
berhubungan dengan pasien atau keluarganya, sebelum obat digunakan. Oleh karena itu penting untuk selalu
mengingat dan mengikuti proses penyediaan dan penyerahan obat secara benar (Good Dispensing Practice).
Proses penyediaan dan penyerahan obat ke pasien mencakup kegiatan-kegiatan berikut:
 Membaca dan mengerti isi resep. Perlu diteliti keabsahan resep, asal resep, nama obat, bentuk dan
kekuatan sediaan, dosis dan cara penggunaannya. Jika ada keraguan, konsultasikan dengan kolega lain
atau tanyakan kepada dokter pembuat resep.
 Menyediakan obat secara benar. Teliti ketersediaan obat, waktu kadaluwarsa, serta cermati bentuk dan
kekuatan sediaan.
 Menentukan jumlah obat. Menghitung jumlah tablet atau kapsul harus dilakukan dalam cawan yang
bersih. Pengukuran sediaan cair harus memakai alat pengukur yang bersih, misalnya gelas ukur.
 Mengemas dan memberi etiket. Obat harus diserahkan ke pasien dengan kemasan dan etiket berisi
informasi yang lengkap dan tepat. Kemasan yang baik akan memberikan kesan yang baik terhadap
pelayanan yang diberikan. Informasi yang jelas dan lengkap akan menghindari kekeliruan penggunaan.
Informasi pada etiket harus lengkap memuat nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis serta
frekuensi dan cara penggunaan. Nama pasien, tanggal serta identitas dan alamat apotik harus jelas. Nama
obat sebaiknya tidak ditutup dengan etiket yang diberikan oleh apotik, karena konsumen berhak atas
informasi obat yang dikonsumsinya.
 Menyerahkan obat dan memberikan informasi. Pada waktu menyerahkan obat ke pasien atau keluarganya,
informasi yang lengkap mengenai nama obat, kegunaan, efek yang diinginkan, efek yang tidak diinginkan
yang harus diwaspadai dan bagaimana menghadapinya, dan juga efek yang tidak diinginkan namun tidak
berbahaya, hal-hal yang harusdiperhatikan serta cara penggunaan obat harus diberikan. Informasi
mengenai obat ini sebaiknya diberikan melalui proses konsultasi obat pada konsumen, yang
memungkinkan adanya komunikasi dua arah antara apoteker dan konsumen. Pada akhir proses konsultasi
ini, harus diyakini betul bahwa pasien menjadi tahu dan mengerti terhadap semua informasi obat yang
akan dikonsumsinya. Hal ini akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk mengikuti anjuran pengobatan.
Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa di mana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau
hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini. Akibat yang tidak
dikehendaki dari peristiwa interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatnya efek toksik atau efek
samping obat atau berkurangnya efek klinis yang diharapkan. Mekanisme interaksi dapat dibagi menjadi:
 Interaksi farmasetik
 Interaksi farmakokinetik, dan
 Interaksi farmakodinamik.
Interaksi farmasetik terjadi jika antara dua obat yang diberikan bersamaan tersebut terjadi inkompabilitas atau
terjadi reaksi langsung, yang umumnya di luar tubuh dan berakibat berubahnya atau hilangnya efek
farmakologis obat yang diberikan. Sebagai contoh, pencampuran penisilin dan aminoglikosida akan
menyebabkan hilangnya efek farmakologik yang diharapkan.
Interaksi farmakokinetik terjadi jika perubahan efek obat terjadi dalam proses absorpsi, distribusi obat dalam
tubuh, metabolisme, atau dalam proses ekskresi di ginjal. Interaksi dalam proses absorpsi terjadi jika absorpsi
suatu obat dipengaruhi oleh obat lain. Misalnya, absorpsi tetrasiklin berkurang bila diberikan bersamaan
dengan logam berat seperti kalsium, besi, magnesium atau aluminium, karena terjadi ikatan langsung antara
molekul tetrasiklin dan logam-logam tersebut sehingga tidak dapat diabsorpsi. Interaksi dalam proses distribusi
terjadi terutama bila obat-obat dengan ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat-obat lain dengan ikatan
protein yang lebih lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Akibatnya kadar obat bebas yang tergusur
ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan efek toksik.
Sebagai contoh, peningkatan efek toksik antikoagulan warfarin atau obat hipoglikemik (tolbutamid,
klorpropamid) karena pemberian bersama dengan fenilbutason, sulfa atau asetosal. Interaksi dalam proses
metabolisme terjadi kalau metabolisme suatu obat dipacu atau dihambat oleh obat lain. Ini akan
mengakibatkan menurunnya atau meningkatnya kadar obat, dengan segala akibatnya. Obat-obat yang dikenal
luas, sebagai pemacu metabolisme (enzyme inducer) termasuk rifampisin dan obat-obat antiepilepsi.
Sedangkan obat yang dikenal sebagai penghambat metabolisme (enzyme inhibitor) misalnya simetidin, INH
dan eritromisin. Obat-obat yang mengalami metabolisme di hati dapat dipengaruhi oleh obat-obat ini. Kasus
kegagalan kontrasepsi sering dilaporkan pada pasien-pasien yang menggunakan kontrasepsi steroid dan pada
saat bersamaan menjalani pengobatan dengan rifampisin, oleh karena menurunnya kadar steroid dalam darah.
Interaksi dalam proses ekskresi terjadi kalau ekskresi suatu obat (melalui ginjal) dipengaruhi oleh obat lain.
Contoh yang populer adalah penghambatan ekskresi penisilin oleh probenesid, berakibat meningkatnya kadar
antibiotik dalam darah. Interaksi ini justru dimanfaatkan untuk meningkatkan kadar penisilin dalam darah.
Interaksi farmakodinamik terjadi di tingkat reseptor dan mengakibatkan berubahnya efek salah satu obat, yang
bersifat sinergis bila efeknya menguatkan, atau antagonis bila efeknya saling mengurangi. Sebagai contoh
adalah meningkatnya efek toksik glikosida jantung pada keadaan hipokalemia. Dokter harus selalu waspada
terhadap kemungkinan interaksi jika memberikan dua obat atau lebih bersamaan apapun mekanismenya.
Daftar interaksi yang bermakna secara klinis dapat dilihat pada Lampiran 1.
Obat untuk Penggunaan Khusus
(Special Access Scheme / SAS)
Pemasukan obat jalur khusus merupakan mekanisme pemasukan obat dalam jumlah terbatas untuk penggunaan
terapi khusus yang dibutuhkan pasien, yang berdasarkan justifikasi ilmiah Dokter Penanggung Jawab, pasien
menderita penyakit mengancam jiwa atau serius dan membutuhkan obat tersebut. Sesuai Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 1379.A/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Obat, Alat dan Makanan
Kesehatan Khusus, yang dimaksud dengan obat, alat dan makanan kesehatan khusus adalah obat, alat dan
makanan kesehatan yang belum mempunyai persetujuan izin edar di Indonesia namun dibutuhkan pasien
berdasarkan justifikasi dokter.
Permohonan pemasukan obat penggunaan khusus berdasarkan justifikasi dokter untuk penggunaan pribadi dan
keperluan donasi, dapat dilakukan oleh importir berdasarkan permintaan Dokter Penanggung Jawab.
Permohonan pemasukannya diajukan ke Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen
Kesehatan RI Berdasarkan pertimbangan bahwa obat untuk uji klinik merupakan satu kesatuan dalam
konsep quality system uji klinik, obat penggunaan khusus yang tujuan penggunaanya untuk uji klinik dan
pengembangan produk berkaitan dengan registrasi obat maka permohonannya diajukan ke Badan POM.
Narkotika dan Psikotropika
Narkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan seksama. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat
atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Peresepan obat golongan ini harus diberi tanda tangan, tanggal pemberian dan alamat penulis resep obat
(prescriber). Resep harus ditulis dengan tulisan tangan oleh dokter, yang mencantumkan: nama dan alamat
pasien, bentuk dan kekuatan obat yang diberikan, total jumlah preparat atau jumlah unit dosis. Interval waktu
pemberian harus dijelaskan, dan tidak diperbolehkan penggunaan resep berulang.
Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Daftar Narkotika golongan I dalam lampiran I
telah ditambahkan sehingga menjadi sebagaimana tercantum pada lampiran Permenkes RI Nomor 13 Tahun
2014. Obat yang termasuk narkotika golongan I adalah tanaman Papaver somniferum L (kecuali bijinya),
opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina,
tanaman ganja, tetrahidrocannabinol, delta-9-tetrahydro-cannabinol, asetorfina, acetil-alfa-metilfentanil, alfa-
metilfentanil, alfa-metiltiofentanil, beta-hidroksifentanil, beta-hidroksi-3-metilfentanil, desomorfina, etorfina,
heroina, ketobemidona, 3-metilfentanil, 3- metiltiofentanil, MPPP, para-fluorofentanil, PEPAP, tiofentanil,
brolamfetamina (DOB), DET, DMA, DMHP, DMT, DOET, etisiklidina (PCE), etriptamina, katinona, (+)-
lisergida (LSD, LSD-25), MDMA, meskalina, metkatinona, 4-metilaminoreks, MMDA, N-etil MDA, N-
hidroksi MDA, paraheksil, PMA, psilosina, psilotsin, psilosibina, rolisiklidina (PHP, PCPY), STP, DOM,
tenamfetamina (MDA), tenosiklidina (TCP), TMA, amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina,
fensiklidina (PCP), levamfetamina, levometamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon, zipepprol,
sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan narkotik, 5-APB, 6-APB, 25B-NBOMe, 2-CB,
25C-NBOMe (2C-C-NBOMe), dimetilamfetamin (DMA), DOC, etkatinona, JWH-018, MDPV, mefedron (4-
MMC), metilon, 4-Metilkatinona, MPHP, 251-NBOMe (2C-I-NBOMe), pentedrone, PMMA, XLR-11.
Narkotika golongan II adalah Afasetilmetadol, Alfameprodina, Alfametadol, Alfaprodina, Alfentanil,
Alilprodina, Anileridina, Benzetidin, Benzilmorfina, Betameprodina, Betametadol, Betaprodina,
Betasetilmetadol, Bezitramida, Dekstramoramida, Diampromida, Dietiltiambutena, Difenoksilat, Difenoksin,
Dihidromorfina, Dimetheptanol, Dimenoksadol, Dimetiltiambutena, Dioksafetil butirat, Dipipanona,
Drotebanol, Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina,

Etilmetiltiambutena, Etokseridina, Etonitazena, Furetidina, Hidrokodona, Hidroksipetidina, Hidromorfinol,


Hidromorfona, Isometadona, Fenadoksona, Fenampromida, Fenazosina, Fenomorfan, Fenoperidina, Fentanil,
Klonitazena, Kodoksima, Levofenasilmorfan, Levomoramida, Levometorfan, Levorfanol, Metadona,
Metadona intermediate, Metazosina, Metildesorfina, Metildihidromorfina, Metopon, Mirofina, Moramida
intermediate, Morferidina, Morfina-N-oksida, Morfin metabromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent
lainnya, termasuk bagian turunan Morfina-N-oksida, salah satunya Kodeina-N-oksida, Morfina Nikomorfina,
Norasimetadol, Norlevorfanol, Normetadona, Normorfina, Norpipanona, Oksikodon, Oksimorfona, Petidina
intermediat A, Petidina intermediat B, Petidina intermediat C, Petidina, Piminodin, Piritramida, Proheptasina,
Properidina, Rasemetorfan, Rasemoramida, Rasemorfan, Sufentanil, Tebaina, Tebakon, Tilidina,
Trimeperidina, bentuk garam dari narkotika yang telah disebutkan tadi.

Narkotika golongan III adalah asetildihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokodeina, etilmorfina, kodeina,


nikodikodina, nikokodina, norkodeina, polkodina, propiram, buprenorfina, garam-garam dari narkotika dalam
golongan tersebut di atas, campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika, campuran
atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, obat-obat yang termasuk golongan psikotropika
golongan I adalah brolamfetamina, etisiklidina, etriptamina, katinon, (+)-lisergida, metkatinon, psikosibina,
rolisiklidina, tenamfetamina, tenosiklidina. Psikotropika golongan II adalah amfetamina, deksamfetamina,
fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina, levamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon, metilfenidat,
sekobarbital, zipepprol. Psikotropika golongan III adalah amobarbital, buprenorfina, butalbital, glutetimida,
katina, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital. Psikotropika golongan IV adalah allobarbital, alprazolam,
amfepramona, aminorex, barbital, benzfetamina, bromazepam, brotizolam, delorazepam, diazepam, estazolam,
etil amfetamina, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamina, fendimetrazina, fenobarbital,
fenproporeks, fentermina, fludiazepam, flurazepam, halazepam, haloksazolam, kamazepam, ketazolam,
klobazam, kloksazolam, klonazepam, klorazepat, klordiazepoksida, klotiazepam, lefetamina, loprazolam,
lorazepam, lo rmetazepam, mazindol, medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb, metilfenobarbital,
metiprilon, midazolam, nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazolam, pemolina, pinazepam,
pipradol, pirovalerona, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam, triazolam, vinilbital.

Selain narkotika dan psikotropika, prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk
melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.

Reaksi Obat yang Merugikan


Pada beberapa obat dapat terjadi reaksi yang tidak diinginkan. Dokter dan apoteker sangat perlu mendeteksi
dan mencatat terjadinya reaksi ini. Kecurigaan adanya reaksi silang pada bahan terapetik tertentu harus
dilaporkan, meliputi obat (baik obat self medication maupun diresepkan), produk darah, vaksin, media kontras,
X-ray, material gigi atau bedak, alat-alat intrauterin, produk herbal, dan cairan lensa kontak. Pelaporan ini
mencakup semua reaksi serius yang dicurigai, baik yang berakibat fatal, mengancam nyawa, menyebabkan
ketidakmampuan, menurunkan kapasitas hidup, ataupun memperlama perawatan di rumah sakit.
Obat-Obat dan Vaksin yang Tersedia
Dokter, dokter gigi, coroners (penyidik penyebab kematian), apoteker dan perawat diminta untuk melaporkan
semua reaksi serius yang dicurigai termasuk yang fatal, mengancam nyawa, melumpuhkan, atau
mengakibatkan perpanjangan perawatan. Mereka harus melaporkan meskipun efek sudah dikenal dengan baik.
Contoh meliputi: anafilaksis, gangguan darah, gangguan endokrin, efek terhadap kesuburan, pedarahan,
kerusakan ginjal, jaundice, kerusakan mata, efek pada sistim saraf pusat yang berat, reaksi pada kulit yang
parah, reaksi terhadap wanita hamil, dan interaksi obat lainnya.
Laporan efek samping yang serius diperlukan untuk membandingkan suatu obat dengan obat lain dalam kelas
terapi yang sama. Laporan overdosis (sengaja atau tidak sengaja) dapat mempersulit penilaian dari efek
samping obat yang tidak diinginkan, tetapi merupakan informasi penting pada potensi toksik dari obat.

Untuk obat yang profil keamanannya sudah diketahui dengan baik tidak perlu dilaporkan, efek samping yang
bahayanya relatif kecil seperti mulut kering dengan anti depresan trisiklik atau konstipasi dengan opioid tidak
perlu dimasukan dalam pelaporan.

Masalah Khusus
Efek obat yang tertunda.
Beberapa reaksi (misalnya kanker, retinopati klorokuin, dan fibrosis retroperitoneal) terjadi/muncul beberapa
bulan atau tahun setelah pemberian. Bila ada kecurigaan harus dilaporkan. Pada lansia, dokter perlu
mengawasi terjadinya reaksi ini karena risikonya lebih besar.
Jika bayi lahir dengan abnormalitas kongenital atau pada kasus abortus dengan malformasi, dokter perlu
mempertimbangkan kemungkinan sebagai reaksi obat dan perlu mencatat seluruh riwayat pengobatan selama
hamil termasuk self medication.
Untuk anak diperlukan pemantauan khusus untuk mengidentifikasi dan melaporkan reaksi yang tidak
diinginkan, termasuk yang disebabkan oleh penggunaan obat-obat yang tidak disetujui (off-label); semua
reaksi yang dicurigai harus dilaporkan.
Pencegahan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan ini meliputi:

 Jangan gunakan obat jika indikasinya tidak jelas. Jika pasien dalam kondisi hamil, jangan gunakan obat
kecuali benar-benar dibutuhkan.
 Alergi dan idiosinkrasi merupakan sebab penting terjadinya reaksi ini. Pasien perlu ditanyakan adanya
riwayat reaksi sebelumnya.
 Tanyakan pada pasien apakah sedang mengkonsumsi obat lain, termasuk self medication, karena bisa
terjadi interaksi obat.
 Umur dan penyakit hati atau renal memperlambat metabolisme dan eksresi sehingga dibutuhkan dosis
yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan variasi kecepatan metabolisme, khususnya
isoniazid dan anti depresan.
 Resepkan obat sesedikit mungkin dan beri petunjuk yang jelas, terutama pada lanjut usia dan pasien yang
nampaknya sulit mengerti instruksi yang diberikan.
 Jika mungkin gunakan obat-obat yang sudah dikenal. Jika menggunakan obat baru, harus diperingatkan
terhadap efek samping atau kejadian yang tidak diharapkan.
 Jika kemungkinan terjadinya reaksi pada pasien cukup serius perlu untuk memperingatkan pasien.
Pemantauan keamanan penggunaan obat dilakukan melalui program Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
karena beberapa jenis efek samping yang tidak terdeteksi pada tahap pengembangan obat dapat timbul setelah
penggunaan obat secara luas pada jangka waktu lama. Di Indonesia, Program MESO

dimulai sejak tahun 1975, dan dicanangkan pada tahun 1981. Tujuan utama program MESO Nasional ini
adalah mendeteksi sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi
di Indonesia, untuk mencegah kejadian efek samping serupa secara luas. Dengan pelaksanaan MESO
diharapkan akan diperoleh informasi baru mengenai efek samping obat (ESO), tingkat kegawatan serta
frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan.

Dalam program MESO Nasional, digunakan pelaporan secara sukarela (voluntary reporting) bagi tenaga
kesehatan dan wajib bagi industri farmasi. Pemilihan metode ini karena merupakan sistem yang relatif sedikit
membutuhkan biaya dan bila terlaksana dengan baik cukup efektif untuk pengumpulan laporan ESO dari
profesi kesehatan. Keuntungan lain dari sistem ini adalah kemungkinan dapat menemukan ESO yang jarang
terjadi, fatal atau gawat. Disamping itu kualitas laporan ESO cukup objektif karena tidak dikaitkan dengan
suatu kewajiban atau biaya. Namun kelemahan sistem pelaporan secara sukarela ini adalah bergantung pada
peran aktif dokter, dokter gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lain, dan tenaga kesehatan tersebut di Rumah
Sakit pada khususnya sebagai sumber yang potensial dalam pelaporan ESO.
Secara fungsional pusat MESO Nasional berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).

Untuk pelaksanaan MESO, dibentuk Panitia MESO Nasional yang bertugas untuk menilai laporan ESO yang
diterima, menganalisis data hasil evaluasi, dan memberikan rekomendasi tindak lanjut yang perlu dilakukan.
Dalam penyelenggaraan MESO, Pusat MESO Nasional bekerjasama dengan WHO Collaborating Center for
International Drug Monitoring. Dalam kerjasama ini, Pusat MESO Nasional secara teratur menerima informasi
mengenai MESO dari WHO dan juga memberikan masukan kepada WHO. Formulir laporan MESO tersedia di
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan

PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan. Selain MESO, Badan POM juga memonitor efek samping obat
tradisional; efek samping suplemen makanan dan efek samping kosmetik dengan menggunakan Formulir
Monitoring Efek Samping Obat Tradisional MESOT), Formulir Monitoring Efek Samping Suplemen Makanan
(MESOSM) dan Formulir Monitoring Efek Samping Kosmetik (MESK)

Formulir laporan monitoring kategori produk tersebut di atas dapat diperoleh Direktorat Penilaian Obat
Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan

Efek Samping Obat Pada Mulut


Kelainan pada mulut yang diinduksi obat mungkin disebabkan oleh tindakan lokal pada mulut atau efek
sistemik yang dapat menyebabkan perubahan pada mulut. Untuk efek sistemik tersebut, rujukan segera ke
dokter mungkin diperlukan.
Mukosa mulut
Sisa obat yang tertinggal dengan atau diaplikasikan langsung pada mukosa mulut terutama dapat menyebabkan
inflamasi atau ulserasi; perlu juga diingat kemungkinan terjadi alergi.
Tablet asetosal diijinkan untuk dilarutkan dalam sulkus untuk mengatasi sakit gigi dapat membuat titik putih
yang kemudian menjadi ulkus.
Zat tambahan, terutama minyak-minyak esensial, dapat menyebabkan kulit sensitif, tetapi pembengkakan
mukosa yang terjadi biasanya tidak terlalu nyata.

Pasien yang diberi obat sitotoksik mudah sekali terserang ulkus terutama pada mukosa oral,
misalnya metotreksat. Obat-obat lain yang menyebabkan ulkus meliputi emas, nikorandil, AINS,
pankreatin, penisilamin, dan proguanil. Kaptopril (dan penghambat ACE lainnya) dapat
menyebabkan stomatitis.
Berbagai bentuk eritema (termasuk sindrom Steven-Johnson) dapat terjadi setelah penggunaan bermacam-
macam obat, seperti

antibakteri, golongan sulfonamid, dan antikonvulsan; mukosa mulut dapat terjadi ulserasi yang meluas, dengan
lesi pada kulit dengan karakter khusus. Lesi mulut pada toxic epidermal necrolysis (Lyell’s sindrom) telah
dilaporkan terjadi pada obat-obat. Erupsi lisenoid dikaitkan dengan penggunaan AINS, metildopa, klorokuin,
antidiabetik oral, diuretik tiazid, dan emas.
Kandidiasis dapat memperburuk pengobatan dengan antibakteri dan immunosuppresan dan merupakan efek
samping kadang terjadi pada pemberian kortikosteroid inhaler.

Gigi dan Rahang


Noda coklat pada gigi sering terjadi setelah penggunaan obat cuci mulut klorheksidin, semprot atau gel, tetapi
dengan mudah dihilangkan dengan polishing. Larutan garam besi dapat menyebabkan pewarnaan hitam pada
email gigi. Pewarnaan permukaan gigi dilaporkan jarang pada penggunaan suspensi co-amoksiklav.
Pewarnaan yang menetap pada gigi umumnya disebabkan oleh tetrasiklin. Tetrasiklin mempengaruhi gigi jika
diberikan pada saat sekitar 4 bulan dalam kandungan sampai usia 12 tahun. Semua tetrasiklin dapat
menyebabkan noda yang menetap, pewarnaan yang mengganggu penampilan, warna berkisar dari kuning
hingga abu-abu. Fluor yang tertelan dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan florosis dental yang disertai
bintik putih pada enamel dan hipoplasia atau lubang. Suplementasi fluor kadang dapat menyebabkan bintik
putih ringan jika diberikan dosis yang terlalu besar pada usia anak. Perhitungkan juga jumlah fluor yang
terkandung dalam air minum. Ostenonekrosis pada rahang telah dilaporkan pada pasien yang mendapat
bisfosfonat secara intravena, tetapi jarang bila digunakan dengan cara oral. Pada pembedahan gigi selama dan
sesudah pengobatan, jika mungkin bifosfonat harus dihindari. Lihat juga bab tentang bifosfonat.

Periodontium
Pertumbuhan gingival yang terlalu cepat (gingival hyperplasia) merupakan efek samping dari fenitoin dan
kadang-kadang akibat siklosporin atau nifedipin (dan beberapa antagonis kalsium lain). Trombositopenia
mungkin berkaitan dengan obat dan dapat menyebabkan perdarahan pada daerah gusi, yang mungkin secara
spontan atau akibat dari trauma ringan (seperti sikat gigi).
Kelenjar Ludah
Umumnya efek obat berakibat pada kelenjar ludah yaitu mengurangi aliran (xerostomia). Pasien dengan mulut
kering yang menetap mungkin higienitas mulutnya kurang; hal ini dapat berkembang menjadi karies gigi, dan
infeksi pada mulut. (terutama kandidiasis). Penggunaan yang berlebihan dari diuretik dapat juga
mengakibatkan xerostomia. Banyak obat yang mengakibatkan xerostomia, terutama antimuskarinik
(antikolinergik), antidepresan (termasuk antidepresan trisiklik, dan selective serotonin re-uptake inhibitors),
baklofen, bupropion, klonidin, opioid, dan tizanidin. Beberapa obat (seperti klozapin, neostigmin) dapat
meningkatkan produksi ludah tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali jika pasien mengalami kesulitan menelan,
Rasa sakit pada kelenjar ludah telah dilaporkan pada pemberian beberapa antihipertensi (seperti: klonidin,
metildopa) dan alkaloid vinka. Bengkak pada kelenjar ludah dapat diakibatkan oleh Iodida, obat antitiroid,
fenotiazin, ritodrin dan sulfonamid.

Pengecap
Sensasi rasa dapat berkurang ketajamannya atau berubah. Obat yang mengakibatkan sensasi rasa meliputi
amiodaron, kaptopril (dan penghambat ACE lain), karbimazol, emas, griseofulvin, garam litium, metronidazol,
penisilamin, penindion, propafenon, terbinafin, dan zopiklon.
Peresepan Pada Anak
Anak terutama neonatus mempunyai respons yang berbeda terhadap pemberian obat dibandingkan dengan
orang dewasa. Perhatian khusus perlu diberikan pada masa neonatus (umur 0-30 hari) karena dosis harus selalu
dihitung dengan cermat. Pada umur ini, risiko efek toksik bertambah karena filtrasi ginjal yang belum efisien,
defisiensi relatif enzim, sensitivitas organ target yang berbeda, dan belum memadainya sistim detoksifikasi
yang menyebabkan lambatnya eksresi obat.
Jika memungkinkan, injeksi intramuskular harus dihindarkan karena menyebabkan rasa sakit pada anak.

Seyogyanya obat yang diresepkan untuk anak memang obat yang mempunyai lisensi khusus untuk anak,
namun demikian anak sering membutuhkan obat yang tidak mempunyai lisensi khusus.

Reaksi Obat yang Merugikan Pada Anak


Identifikasi dan pelaporan dari reaksi obat yang tidak diinginkan sangat penting mengingat:
 Kerja obat dan profil farmakokinetika obat pada anak (terutama yang masih sangat muda) mungkin
berbeda dengan orang dewasa.
 Obat tidak secara ekstensif diujikan pada anak sebelum diijinkan untuk beredar
 Banyak obat yang tidak secara khusus diindikasikan untuk anak.
 Formula yang sesuai mungkin tidak tersedia untuk dosis yang tepat yang diperbolehkan bagi anak
 Sifat dan jenis penyakit dan efek samping yang tidak diinginkan mungkin berbeda antara anak dan orang
dewasa.
Meskipun sediaan bentuk cair terutama disediakan untuk anak, namun sediaan ini mengandung gula yang
mempercepat kerusakan gigi. Untuk terapi jangka panjang, dianjurkan menggunakan sediaan obat yang tidak
mengandung gula.

Menetapkan kekuatan sediaan obat dalam bentuk kapsul atau tablet penting dilakukan karena sebetulnya
banyak anak yang bisa menelan kapsul atau tablet dan menyukai obat dalam bentuk padat. Orang tua
mempunyai peranan yang penting dalam membantu menentukan sediaan yang tepat untuk anak. Apabila
dibutuhkan resep obat berbentuk sediaan cair yang diberikan secara oral kurang dari 5 ml, maka bisa diberikan
bentuk sediaan tetes yang diberikan secara oral. Pada pemberian sediaan tetes secara oral, hendaknya orang tua
anak diberi tambahan informasi untuk jangan menambahkan sediaan tersebut pada susu atau makanan
bayi/anak.

Apabila diberikan bersama dengan susu atau makanan bayi/anak, kemungkinan bisa terjadi interaksi atau dosis
yang diberikan berkurang karena anak tidak menghabiskan susu atau makanan tersebut.

Orang tua harus diperingatkan agar menjauhkan semua obat dari jangkauan anak.

Dosis untuk Anak


Perhitungan Dosis
Umumnya dosis untuk anak-anak diukur berdasarkan berat badan (karena itu dibutuhkan perkalian dengan
berat badan dalam kilogram untuk menentukan dosis anak); kadang dosis ditentukan berdasarkan luas
permukaan tubuh (dalam m2). Metoda di atas lebih baik digunakan dibandingkan dengan menghitung dosis
untuk anak berdasarkan dosis yang digunakan untuk orang dewasa.
Pada umumnya dosis tersebut tidak boleh melebihi dosis maksimum orang dewasa. Misalnya: jika dosis
ditentukan 8 mg/kg (maksimum 300 mg), seorang anak dengan berat 10 kg, dosis yang diberikan 80 mg, tetapi
jika berat anak 40 kg dosis yang diberikan 300 mg (bukan 320 mg).

Anak mungkin memerlukan dosis per kilogram yang lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa karena
kecepatan metabolismenya lebih tinggi. Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan antara lain, anak yang
gemuk akan mendapat dosis yang terlalu besar, untuk itu dosis harus diperhitungkan berdasarkan berat ideal
dan dikaitkan dengan tinggi badan dan umur. Penghitungan berdasarkan luas permukaan tubuh lebih akurat
dibandingkan dengan berat badan karena fenomena fisiologis tubuh lebih dekat berhubungan dengan luas
permukaan tubuh. Rata-rata luas permukaan tubuh pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg adalah 1,8
m2. Untuk anak-anak rumus yang bisa digunakan adalah:

Luas permukaan tubuh pasien (m2) x dosis dewasa


1,8
Metode persentase dari dosis dewasa digunakan untuk menghitung dosis obat yang memiliki cakupan terapi
yang lebar antara dosis terapetik dan dosis toksik. Hati-hati dengan penggunaan obat baru yang mempunyai
potensi toksik.

Frekuensi Dosis
Umumnya antibakteri diberikan dalam waktu tertentu dalam beberapa hari. Untuk menghindari anak bangun
pada malam hari diberikan beberapa fleksibilitas. Misalnya dosis malam hari diberikan pada saat mau tidur.
Peresepan Pada Kehamilan
Penggunaan obat selama masa kehamilan dapat menimbulkan efek yang membahayakan bagi janin. Hal ini
penting untuk diingat ketika meresepkan obat untuk wanita dan laki-laki usia subur. Selama
masa trimester pertama kehamilan, obat dapat menyebabkan malformasi kongenital (teratogenesis), dan risiko
terbesar berada pada minggu ketiga sampai dengan minggu ke sebelas kehamilan. Selama trimester ke dua dan
ke tiga kehamilan, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungsional janin atau dapat
berefek toksik pada organ janin. Obat yang diberikan sesaat sebelum atau selama persalinan dapat
menyebabkan efek samping yang merugikan terhadap proses persalinan atau pada bayi yang baru dilahirkan.
Pada Lampiran 4: Kehamilan dicantumkan daftar obat yang:

 Mungkin memiliki efek yang membahayakan terhadap kehamilan dan angka dalam kurung
menunjukkan trimester yang berisiko.
 Belum diketahui bahayanya terhadap kehamilan.
Daftar ini disusun berdasarkan data penggunaan obat pada manusia, tetapi juga mencakup data uji pada hewan
untuk beberapa obat yang jika tidak dicantumkan bisa menyesatkan.

Obat hanya boleh diresepkan pada masa kehamilan jika manfaat bagi ibu lebih besar daripada risiko pada janin
dan jika mungkin semua obat harus dihindari selama trimester pertama. Obat yang sudah secara luas
digunakan pada kehamilan dan biasanya aman harus lebih dipilih dibandingkan obat baru atau obat yang
belum diuji coba, tetapi dengan menggunakan dosis efektif terendah. Beberapa obat telah diketahui bersifat
teratogenik pada manusia.

Namun tidak diragukan lagi bahwa tidak ada obat yang aman jika diberikan pada awal kehamilan.
Prosedur screening (USG) merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui risiko cacat yang mungkin
terjadi.
Bila obat tidak ada dalam daftar tidak berarti obat tersebut aman digunakan pada kehamilan.

Peresepan Pada Laktasi


Pemberian beberapa obat (seperti ergotamin) kepada ibu menyusui dapat menimbulkan efek yang
membahayakan bagi bayi, sedangkan pemberian obat lain (seperti digoksin) hanya memberikan efek yang
ringan. Beberapa obat menghambat laktasi (seperti bromokriptin, kontrasepsi oral mengandung estrogen).
Toksisitas pada bayi dapat terjadi jika obat masuk ke dalam ASI dengan jumlah yang bermakna secara
farmakologis. Pada beberapa obat, kadar dalam ASI dapat melebihi kadar di dalam plasma ibu sehingga dosis
terapetik pada ibu dapat menyebabkan toksik pada bayi. Beberapa obat dapat menghambat refleks mengisap
pada bayi (seperti fenobarbital). Secara teoritis, obat di dalam ASI dapat menyebabkan hipersensivitas pada
bayi, meskipun dalam kadar sangat rendah untuk menghasilkan efek farmakologis. Pada Lampiran 5:
Menyusui, dicantumkan daftar obat yang:
 harus digunakan dengan perhatian atau yang dikontraindikasikan pada wanita menyusui dengan
pertimbangan di atas
 berdasarkan bukti terkini dapat diberikan selama menyusui karena terdistribusi dalam ASI dalam jumlah
yang sangat kecil untuk dapat menimbulkan efek yang membahayakan bayi
 belum diketahui menimbulkan efek yang membahayakan bayi, meskipun terdistribusi dalam ASI dalam
jumlah yang bermakna.
Banyak obat yang belum memiliki cukup bukti yang dapat dijadikan acuan, karena itu disarankan hanya obat-
obat essensial saja yang diberikan pada wanita menyusui. Dikarenakan kurangnya informasi tersebut, daftar
pada lampiran tersebut hanya sebagai panduan; apabila obat tidak terdapat dalam daftar bukan berarti obat
tersebut aman untuk digunakan pada wanita menyusui.
Peresepan Pada Lansia
Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk anatomi, fisiologi, psikologi dan
sosiologi. Karena itu terapi pengobatan pada pasien lansia secara signifikan berbeda dari pasien pada usia
muda. Dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya juga mempengaruhi
terapi pengobatan. Keputusan terapi untuk pasien lansia sedapat mungkin didasarkan pada hasil uji klinik yang
secara khusus didesain untuk pasien lansia.
Peresepan yang Tepat
Pasien lansia memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda. Penyakit yang beragam dan
kerumitan regimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada pasien lansia. Faktor-faktor inilah yang
menyebabkan pasien mengalami kesulitan dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti
menggunakan obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis yang tidak tepat atau
menghentikan penggunaan obat.
Pada pasien lansia keseimbangan antara manfaat pemberian dengan bahaya yang mungkin timbul dari
beberapa obat-obatan dapat berubah. Oleh karena itu, obat untuk pasien lansia harus ditinjau secara berkala
dan obat-obatan yang tidak bermanfaat harus dihentikan.

Untuk mengatasi gejala seperti sakit kepala, sulit tidur dan pusing lebih tepat menggunakan pendekatan non
farmakologikal, bila hal ini berhubungan dengan tekanan sosial seperti menjanda, kesepian dan
diusir/dikucilkan keluarga.

Pada beberapa kasus pemberian obat-obat profilaksis mungkin tidak tepat jika obat-obat tersebut dapat
menyebabkan komplikasi dengan pengobatan yang sedang dijalani atau menyebabkan efek samping yang
sebenarnya bisa dihindari, terutama pada pasien lansia dengan prognosis atau kondisi kesehatan yang buruk.
Bagaimanapun, pasien lansia tidak dapat mengesampingkan obat-obatan yang dapat membantu mereka, seperti
antikoagulan atau obat anti platelet untuk fibrilasi atrial, antihipertensi, statin, dan obat untuk osteoporosis.
Bentuk Sediaan
Pasien lansia yang lemah sulit untuk menelan tablet; jika tertinggal di mulut, dapat menyebabkan
ulserasi. Karena itu mereka harus selalu menelan tablet atau kapsul dengan menggunakan banyak cairan sambil
berdiri untuk menghindari kemungkinan ulserasi esofageal. Jika memungkinkan akan sangat membantu bila
dapat berdiskusi dengan pasien untuk kemungkinan pemberian obat dalam bentuk cairan.
Karakteristik Pasien Lansia
Pada pasien yang sangat tua, manifestasi dari ketuaan secara normal dapat meyebabkan kesalahan dalam
mendefinisikan penyakit dan dapat mengantarkan pada peresepan yang tidak tepat. Biasanya, usia
berhubungan dengan melemahnya otot dan kesulitan untuk menjaga keseimbangan tetapi hal ini jangan selalu
dikaitkan dengan penyakit saraf. Gangguan seperti pusing tidak ada hubungan dengan hipotensi postural atau
postprandial sehingga tidak selalu ditolong dengan menggunakan obat.
Pengobatan Sendiri
Seperti halnya pada pasien dengan usia lebih muda, pengobatan sendiri dengan produk obat bebas (OB) atau
obat bebas terbatas (OBT) atau mengkonsumsi obat yang diresepkan untuk penyakit-penyakit sebelumnya
(atau bahkan mengkonsumsi obat dari orang lain) dapat menambah komplikasi. Diskusi dengan pasien dan
keluarganya atau lebih baik kunjungan ke rumah mungkin diperlukan untuk menetapkan apa yang sebaiknya
diberikan pada pasien lansia.
Sensitivitas
Akibat penuaan pada sistem saraf menyebabkan melemahnya kepekaan pada banyak obat yang biasa
digunakan, seperti analgesik opioid, benzodiazepin, antipsikotik dan obat antiparkinson, di mana semua harus
digunakan dengan hati-hati. Begitu juga, organ-organ yang lain akan makin peka terhadap efek obat seperti
obat antihipertensi dan AINS.
Farmakokinetik
Efek yang paling penting dari lansia adalah berkurangnya klirens ginjal. Banyak pasien lansia akan mengalami
perlambatan ekskresi obat, dan makin rentan terhadap obat nefrotoksik. Penyakit akut dapat menyebabkan
penurunan klirens ginjal secara cepat, terutama bila disertai dehidrasi. Demikian juga metabolisme beberapa
obat dapat menurun pada pasien lansia. Perubahan farmakokinetik dapat ditandai dengan meningkatnya kadar
obat dalam jaringan pada pasien lansia, terutama pada pasien yang lemah sehingga memerlukan pengurangan
dosis. Obat-obatan dengan indeks terapetik sempit harus diberikan dengan pengurangan dosis, contohnya
adalah digoksin dan aminoglikosida dan pengurangan dosis sebanyak 50% sebagai dosis awal dianjurkan pada
banyak kasus. Penyesuaian dosis dapat tidak diperlukan untuk obat dengan indeks terapetik yang luas, contoh:
penisilin. Bagaimanapun, profesi kesehatan harus waspada terhadap obat-obat yang potensial menimbulkan
masalah pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Farmakodinamik
Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan umur seseorang.
Mempelajari perubahan farmakodinamik lansia lebih kompleks dibanding farmakokinetiknya karena efek obat
pada seseorang pasien sulit dikuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang
ada harus dalam keadaan bebas pengaruh efek perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik
dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau
jumlah reseptornya berkurang.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada lansia dengan beberapa
pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:

Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah akibat perubahan
farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan
pada lansia.

Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik yang berarti. Hal ini
menunjukkan bahwa pada lansia sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data
menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada pasien lansia memerlukan dosis yang lebih kecil
dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat dibandingkan
pada usia dewasa muda. Triazolam: pemberian obat ini pada warga lansia dapat mengakibatkan postural sway-
nya bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda.
Sensitivitas obat yang berkurang pada lansia juga terlihat pada pemakaian obat propranolol. Penurunan
frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada usia 50 – 65 tahun ternyata lebih rendah
dibandingkan mereka yang berusia 25 – 30 tahun. Efek tersebut adalah pada reseptor β1; efek pada reseptor β2
yakni pelepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat.
Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor intraselular.

Efek yang Tidak Diinginkan


Pada pasien lansia efek obat yang tidak diinginkan sering tersamarkan dan biasanya tidak spesifik.
Kebingungan seringkali merupakan gejala yang timbul (yang disebabkan oleh hampir semua obat-obat yang
biasa digunakan). Manifestasi lain yang biasa terjadi adalah konstipasi (untuk obat antimuskarinik dan
beberapa transkuiliser), hipotensi postural dan terjatuh (untuk diuretik dan beberapa psikotropik)
Hipnotik
Banyak psikotik dengan waktu paruh yang panjang menyebabkan efek hangover seperti mengantuk,
sempoyongan, bahkan cacian dan kebingungan. Hipnotik dengan waktu paruh pendek dapat digunakan,
walaupun juga dapat meyebabkan masalah (bagian 4.1.1). Penjelasan singkat mengenai hipnotik kadang-
kadang berguna untuk membantu pasien dengan penyakit akut atau kegawatan yang lain, tetapi setiap upaya
harus dibuat untuk menghindari ketergantungan. Benzodiazepin mengurangi keseimbangan, yang dapat
mengakibatkan terjatuh.
Diuretik
Diuretik diresepkan pada pasien lansia dan tidak boleh digunakan dalam jangka waktu lama untuk mengatasi
udema gravitasional yang biasanya memberikan respon terhadap meningkatkan pergerakan, mengangkat kaki
dan menggunakan support stocking. Pemberian diuretik untuk beberapa hari dapat mempercepat pengecilan
udem tetapi jarang memerlukan terapi yang berlanjut.
AINS
Pendarahan yang terkait dengan asetosal dan golongan AINS lain lebih sering terjadi pada lansia yang dapat
berakibat serius atau fatal. AINS juga menimbulkan efek yang membahayakan bagi pasien penyakit jantung
atau gagal ginjal sehingga menempatkan pasien lansia ini memiliki risiko khusus. Karena pasien lansia makin
peka terhadap efek samping AINS, maka dibuat beberapa anjuran sebagai berikut:
 Untuk osteoartritis, lesi pada jaringan lunak dan nyeri pada punggung, pertama coba lakukan langkah-
langkah seperti pengurangan berat badan (jika mengalami obesitas), hangatkan, olahraga dan gunakan
tongkat untuk berjalan
 Untuk osteoartritis, lesi jaringan lunak, nyeri pada punggung dan nyeri karena artritis rematoid, pertama
kali gunakan parasetamol yang biasanya cukup untuk mengurangi nyeri.
 Alternatif lain, gunakan AINS dosis rendah (misalnya dapat diberikan ibuprofen sampai 1,2 g sehari)
 Untuk mengurangi nyeri yang tidak dapat diatasi oleh obat lain, dapat diberikan parasetamol dosis penuh
ditambah AINS dosis rendah
 Jika diperlukan, dosis AINS dapat ditingkatkan atau berikan analgesik opioid bersama parasetamol
 Jangan berikan 2 macam obat golongan AINS secara bersamaan
Jika pengobatan dengan AINS perlu dilanjutkan, lihat saran untuk profilaksis AINS yang menyebabkan ulkus
peptikum pada bagian 1.3.

Obat Lain
Obat lain yang biasanya menyebabkan efek yang tidak diinginkan adalah obat antiparkinson, antihipertensi,
psikotropik dan digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dengan usia sangat lanjut adalah 125 mcg
sehari (62,5 mcg pada pasien dengan penyakit ginjal); dosis yang lebih rendah seringkali tidak mencukupi
tetapi biasanya terjadi toksisitas pada pemberian 250 mcg sehari.
Obat yang menyebabkan gangguan pada darah lebih jauh lebih sering terjadi pada lansia. Begitu juga obat
yang dapat menyebabkan depresi sumsum tulang belakang (misalnya kotrimoksasol, mianserin) harus
dihindarkan kecuali tidak ada alternatif lain yang tersedia. Pada umumnya pasien lansia memerlukan dosis
pemeliharaan warfarin yang rendah dibandingkan dengan dewasa muda; dengan kemungkinan pendarahan
yang mungkin terjadi cenderung lebih serius.

Pedoman
Selalu pertimbangkan bahwa obat memang benar-benar diindikasikan
Pembatasan. Sebaiknya obat yang diberikan terbatas saja dengan efek obat pada pasien lansia sudah diketahui
dengan pasti.
Penurunan Dosis. Umumnya dosis untuk pasien lansia lebih rendah dibandingkan untuk pasien dengan usia
yang lebih muda. Dosis biasanya dimulai dari 50% dosis dewasa. Pemakaian beberapa obat (misalnya
antidiabetik kerja panjang seperti glibenklamid dan klorpropamid) harus dihindari sama sekali.
Pengkajian secara berkala. Secara berkala buat kajian terhadap resep obat yang diberikan berulang.
Berdasarkan pemantauan kemajuan klinis, beberapa pasien dapat dihentikan pemberian beberapa obatnya. Bila
fungsi ginjal menurun kemungkinan diperlukan pengurangan dosis beberapa obat.
Sederhanakan Regimen. Pengobatan dengan regimen yang sederhana akan menguntungkan bagi pasien
lansia. Hanya obat dengan indikasi jelas yang diresepkan dan apabila memungkinkan diberikan 1 atau 2 kali
sehari. Regimen yang interval dosisnya membingungkan harus dihindari.
Terangkan Dengan Jelas. Tulis instruksi secara lengkap pada setiap resep (termasuk pengulangan resep) jadi
kemasan harus diberi label dengan petunjuk lengkap. Hindari keterangan ”seperti petunjuk”. Kemasan yang
mudah rusak oleh anak-anak mungkin tidak sesuai.
Pengulangan dan Pemusnahan. Beritahukan pasien apa yang harus dilakukan bila obat sudah habis, dan juga
bagaimana menyingkirkan obat apabila tidak diperlukan lagi. Resepkan dengan jumlah yang sesuai. Apabila
petunjuk ini diikuti diharapkan banyak lansia akan mampu mengatasi masalah terkait obat yang digunakan.
Jika instruksi ini tidak diikuti maka perlu diikut sertakan pihak ketiga (biasanya keluarga atau teman) untuk
membantu.
Peresepan Pada Terapi Paliatif
Terapi paliatif adalah terapi pada pasien yang tidak responsif dengan terapi kuratif. Tujuannya adalah
mengurangi nyeri dan gejala yang lain, mengurangi masalah psikologis, sosial dan spiritual, serta yang paling
penting meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya. Pemantauan gejala dan apa yang diperlukan
pasien dilakukan oleh tim multidisiplin. Jumlah obat diusahakan sesedikit mungkin. Preparat oral biasanya
lebih memuaskan. Namun bila terjadi mual, muntah, sakit menelan, lemah, dan koma dibutuhkan pemberian
parenteral.

DAFTAR BAHAN OBAT DAN


TINDAKAN YANG DILARANG
DALAM OLAH RAGA / ANTI-DOPING
Sumber: World anti-Doping Agency
Berlaku secara internasional
Versi tahun 2014
Penggunaan setiap obat hanya dapat dilakukan pada kondisi yang dibenarkan secara medis

BAHAN OBAT DAN TIDAKAN YANG


DILARANG SETIAP SAAT (DI
DALAM MAUPUN DI LUAR
KOMPETISI)
Bahan Obat yang Dilarang
 S1. BAHAN ANABOLIK
 S2. HORMON DAN BAHAN YANG BERHUBUNGAN
 S3. AGONIS BETA-2
 S4. BAHAN DENGAN AKTIVITAS ANTI- ESTROGEN
 S5. DIURETIK DAN MASKING AGENTS LAIN

S1. BAHAN ANABOLIK


Bahan anabolik tidak diizinkan.

1. Steroid Androgenik Anabolik

a. Steroid Androgenik Anabolik Eksogen, antara lain:

1-androstendiol (5α-androst-1-ene-3β,17β-diol)
1-androstendione (5α-androst-1-ene-3,17-dione)
Bolandiol (19-norandrostendiol)
Bolasteron

Boldenon

Boldion (androsta-1,4-diene-3,17-dione)
Kalusteron

Klostebol

Danazol (17α-ethynyl-17β-hydroxyandrost-4-enol[2,3-d]isoxazole)
Dehidroklormetiltestosteron (4-chloro-17β-hydroxy-17α-methylandrosta-1,4-
dien-3-one)
Desoksimetiltestosteron (17α-methyl-5β-androst-2-en-17β-ol)
Drostanolon

Etilestrenol (19-nor-17α -pregn-4-en-17-ol)


Fluoksimesteron

Formebolon

Furazabol (17β-hydroxy-17α-methyl-5α-androstanol[2,3-c]-furazan)
Gestrinon

4-hydroxytestosterone (4,17β-dihydroxyandrost-4-en-3-one)
Mestanolon

Mesterolon

Metenolon

Metandienon (17β-hydroxy-17α-methylandrosta-1,4-dien-3-one)
Metandriol

Metasteron (2α,17α-dimethyl-5α-androstane-3-one-17β-ol)
Metildienolon (17β-hydroxy-17α-methylestra-4,9-dien-3-one)
Methyl-1-testosterone (17β-hydroxy-17α-methyl-5α-androst-1-en-3-one)
Metilnortestosteron (17β-hydroxy-17α-methylestr-4-en-3-one)
Metiltrienolon (metilbrolon, 17β-hydroxy-17α-methylestra-4,9,11-trien-3-one)
Metiltestosteron

Miboleron

Nandrolon

19-norandrostenedione (estr-4-ene-3,17-dione)
Norklostebol

Nortandrolon

Oksabolon

Oksandrolon

Oksimesteron

Oksimetolon
Prostanozol ([3,2-c]pyrazole-5α-etioallocholane-17β-tetrahydropyranol)
Kuinbolon

Stanozolol

Stenbolon

1-testosterone (17β-hydroxy-5α-androst-1-en-3-one)
Tetrahidrogestrinon (18a-homo-pregna-4,9,11-trien-17β-ol-3-one)
Trenbolon dan senyawa lain dengan struktur kimia atau efek biologis yang mirip.

b. Steroid Androgenik anabolik Endogen, antara lain:

Androstenediol (androst-5-ene-3β,17β-diol)
Androstenedion (androst-4-ene-3,17-dione)
Dihidrotestosteron (17β-hydroxy-5α-androstan-3-one)
Prasteron (dehydroepiandrosterone, DHEA)
Testosteron serta metabolit dan isomernya berikut:

5α-androstane-3α,17α-diol
5α-androstane-3α,17β-diol
5α-androstane-3β,17α –diol
5α-androstane-3β,17β-diol
Androst-4-ene-3α,17α-diol
Androst-4-ene-3α,17β-diol
Androst-4-ene-3β,17α-diol
Androst-5-ene-3α,17α-diol
Androst-5-ene-3α,17β-diol
Androst-5-ene-3β,17α-diol
4-androstenediol (androst-4-ene-3β,17β-diol)
5-androstenedione (androst-5-ene-3,17-dione)
Epi-dihydrotestosterone
Epitestosterone
Etioholanolone
3α-hydroxy-5α-androstan-17-one
3β-hydroxy-5α-androstan-17-one
7α-hydroxy-DHEA
7β-hydroxy-DHEA
7-keto-DHEA
19-norandrosterone
19-noretiocholanolone

2.Bahan Anabolik lain tidak dibatasi; antara lain:

 Klenbuterol
 selective androgen receptor modulators (SARMs)
 Tibolon
 Zeranol
 Zilpaterol
Catatan:
Eksogen artinya bahan yang tidak biasa dapat diproduksi oleh tubuh secara alami. Endogen artinya bahan yang
dapat diproduksi oleh tubuh secara alami.

S2. HORMON DAN BAHAN YANG


BERHUBUNGAN
Bahan-bahan yang dilarang termasuk bahan lain dengan struktur kimia sejenis atau efek biologis
sejenis, antara lain:

1. Erythropoiesis-
Stimulating Agents [e.g.
‹ S1. BAHAN ANABOLIKke atas
erythropoietin (EPO),
darbepoetin (dEPO),
hypoxia-inducible factor
(HIF) stabilizers and
activators (e.g. xenon,
argon), methoxy
polyethylene glycol-
epoetin beta (CERA),
peginesa-tide
(Hematide)]
2. Chorionic
Gonadotrophin
(CG) dan Luteinizing
Hormone (LH) beserta
faktor pelepasnya,
dilarang hanya pada pria
3. Corticotrophins
4. Growth Hormone
(GH) dan faktor
pelepasnya dan Insulin-
like Growth Factor-1
(IGF-1)

S3. AGONIS BETA-2


Semua agonis beta-2 dilarang termasuk isomer D- dan L- nya, kecuali formoterol, salbutamol, salmeterol, dan
terbutalin jika digunakan melalui inhalasi, berdasarkan pemeriksaan medis atau dokter untuk kebutuhan
pengobatan.

S4. BAHAN DENGAN AKTIVITAS


ANTI- ESTROGEN
Anti-estrogen golongan berikut dilarang, antara lain:

1. Inhibitor aromatase, termasuk zat berikut namun tidak terbatas pada:


Anastrozol
Lestrozol

Androsta-1,4,6-triene-3,17-dione (androstatriendedione)

Aminoglutetimid

4-androestene-3,6,17 trione (6-oxo)

Eksemestan

Formestan

Testolakton

2. Selective Estrogen Receptor Modulators (SERMs), termasuk zat berikut namun


tidak terbatas pada:
Raloksifen

Tamoksifen

Toremifen

3. Bahan anti-estrogen lain, termasuk zat berikut namun tidak terbatas pada:

Klomifen

Siklofenil

Fulvestrant

4. Zat pemodifikasi fungsi miostatin termasuk zat berikut namun tidak terbatas
pada inhibitor miostatin
5. Modulator metabolik
Insulin
Peroxisome Proliferator Activated Receptor δ (PPARδ) agonists, PPARδ-
AMP-activated protein kinase (AMPK) axis agonists

S5. DIURETIK DAN MASKING


AGENTS LAIN
Masking agents yang dilarang, yaitu termasuk:
Diuretik
Desmopressin
Probenesid
Plasma expanders, seperti:

 Albumin
 Dekstran
 Hydroxyethyl starch
Dan bahan lain dengan efek biologi sejenis
Diuretik yang dilarang termasuk:

Asetazolamid

Amilorid

Bumetanid

Kanrenon

Klortalidon

Asam etrakinat

Furosemid

Indapamid
Metolazon

Spironolakton

Tiazid, seperti:

 Bendroflumetiazid
 Klorotiazid
 Hidroklorotiazid
Triamteren

Vaptan

Dan bahan lain dengan struktur


kimia sejenis atau efek biologi
sejenis (kecuali drosperinon,
pamabrom and topical
dorzolamide and brinzolamide)

Metode Pengobatan yang Dilarang


 M1.MANIPULASI DARAH DAN KOMPONENNYA
 M2. MANIPULASI KIMIA DAN FISIKA
 M3. DOPING GEN

M1.MANIPULASI DARAH DAN


KOMPONENNYA
Metode berikut dilarang:

1. Doping darah, termasuk penggunaan darah atologos, homologos, atau


heterologos atau produk sel darah merah dari sumber apapun ke dalam saluran
sistemik.
2. Peningkatan ambilan, transpor, atau penghantaran oksigen, termasuk hal
berikut namun tidak terbatas pada:

 Perfluorochemicals
 Efaproxiral (RSR13)
 dan produk hemoglibin modifikasi (seperti haemoglobin-based blood
substitutes, micro encapsulated haemoglobin products)
3. Manipulasi intravaskular dari darah atau komponennya secara kimia atau fisika

M2. MANIPULASI KIMIA DAN FISIKA


1. Mengubah, atau mencoba mengubah integritas dan validitas sampel yang
dikumpulkan selama pengawasan doping adalah dilarang. Hal ini termasuk
namun tidak terbatas pada substitusi dan/atau pemalsuan urine.

2. Infus dan/atau injeksi intravena adalah dilarang, kecuali untuk tujuan terapi
resmi.

M3. DOPING GEN


Berikut adalah hal yang dilarang dengan adanya potensi peningkatan aktivitas olahraga:

1. Transfer polimer dari asam nukleat atau analog asam nukleat


2. Penggunaan sel-sel yang normal atau yang dimodifikasi secara genetik

BAHAN OBAT DAN TINDAKAN


YANG DILARANG DI DALAM
KOMPETISI
Sebagai tambahan dari kategori S1 sampai S5 dan M1 sampai M3 yang telah dijelaskan di atas, kategori
berikut juga dilarang dalam kompetisi:

Bahan Obat yang Dilarang


 S6. STIMULAN
 S7. NARKOTIK
 S8. KANABIOID
 S9. GLUKOKORTIKOSTEROID

 S6. STIMULAN
 Semua stimulan (termasuk isomer optis (D- dan L-) yang sejenis) adalah dilarang, kecuali imidazol
dan derivatnya untuk penggunaan topikal dan stimulan yang termasuk dalam Monitoring Program
2014*.
 Yang termasuk stimulan:
 a. Stimulan Non-Spesifik

Adrafinil
Amfepramon
Amfetamin
Amfetaminil
Amiphenazole
Benfluorex
Benzylpiperazine
Bromantan
Klobenzorex
Kokain
Kropropamid
Krotetamid
Fenkamin
Fenetilin
Fenfluramin
Fenproporex
Fonturacetam
Furfenorex
Mefenoreks
Mefentermin
Mesocarb
Metamfetamin (D-)
P-metilamfetamin
Modafinil
Norfenfluramin
Fendimetrazin
Fenmetrazin
Fentermin
Prenylamine
Prolintan
 b. Stimulan Spesifik

Benzfetamin
Katin**
Katinon dan analognya
Dimetilamfetamin
Efedrin**
Efinerfin****
Etamivan
Etilamfetamin
Etilefrin
Famprofazon
Fenbutrazat
Fenkamfamin
Heptaminol
Hidroksiamfetamin
Isometephtene
Levmetamfetamin
Meklofenoksat
Metilendioksimetamfetamin
Metilefedrin***
Metilheksaneamin
Metilfenidat
Niketamid
Norfenefrin
Oktopamin
Oksilofrin
Pemolin
Pentetrazol
Penprometamin
Propilheksedrin
Pseudoefedrin*****
Selegilin
Sibutramin
Strisin
Tenamfetamin
Trimetazidin
Tuaminoheptan
Bahan lainnya dengan
struktur kimia atau efek
biologis yang sama

 * Bahan berikut termasuk ke dalam Monitoring Program 2014 (bupropion, kafein, fenilefrin,
fenilpropanolamin, pipradol, sinefrin) tidak termasuk bahan yang dilarang.
 ** Cathine dilarang jika kadar dalam urin lebih besar dari 5 mcg per mililiter.
 *** Setiap efedrin dan metilefedrin dilarang jika kadar dalam urin lebih besar dari 10 mcg per
milimeter.
 **** Pemberian lokal efinefrin (adrenalin) atau pemberian bersama dengan anestesi lokal tidak
dilarang.
 ***** Pseudoefedrin dilarang jika kadar dalam urin lebih besar dari 150 mcg per milimeter.

 S7. NARKOTIK
 Narkotik berikut dilarang:

Buprenorfin

Dekstromoramid

Diamorfin (heroin)
Fentanil dan derivatnya

Hidromorfon

Metadon

Morfin

Oksikodon

Oksimorfon

Pentazosin

Petidin

S8. KANABIOID
Kanabioid (seperti hashish, marijuana) adalah dilarang.

S9. GLUKOKORTIKOSTEROID
Semua glukokortikosteroid adalah dilarang jika digunakan secara oral, rektal, intravena atau intramuskular.

BAHAN OBAT YANG DILARANG


PADA CABANG OLAHRAGA
TERTENTU
 P1. ALKOHOL
 P2. BETA BLOKER

 P1. ALKOHOL
 Alkohol (etanol) hanya dilarang di dalam kompetisi pada cabang olahraga-olahraga berikut. Ambang
batas pelanggaran doping dengan kadar alkohol dalam darah sebesar 0,10 g/L.
Air Sport (FAI)

Panahan (WA)

Automobil (FIA)
Karate (WKF)
Motorcycling (FIM)
Powerboating (UIM)

P2. BETA BLOKER


Kecuali dinyatakan lain, beta-bloker dilarang pada kompetisi cabang olahraga berikut:

Panahan (FITA, IPC)

Juga dilarang di luar


kompetisi

Automobil (FIA)
Billiard (WCBS)
Darts (WDF)
Golf (IGF)
Menembak (ISSF, IPC)

Juga dilarang di luar


kompetisi

Ski
atau snowboarding(FIS)

Beta-bloker termasuk zat berikut, namun tidak terbatas pada:

Asebutolol
Alprenolol
Atenolol
Betaksolol
Bisoprolol
Bunolol
Karteolol
Karvedilol
Celiprolol
Esmolol
Labetalol
Levobunolol
Metipranolol
Metoprolol
Nadolol
Oksprenolol
Pindolol
Propanolol
Sotalol
Timolol

BAHAN OBAT TERTENTU


Bahan obat tertentu adalah sebagai berikut:
 Semua agonis Beta-2 inhalasi, kecuali:
 Salbutamol (free plus glukuronid) di atas 1000 ng/mL
 Klenbuterol
 Probenesid
 Cathine
 Kropropamid
 Krotetamid
 Efedrin
 Etamivan
 Famprofazon
 Heptaminol
 Isomepheptan
 Levemetamfetamin
 Meklofenoksat
 p-metilamfetamin
 Metilefedrin
 Niketamid
 Norfenefrin
 Oktopamid
 Ortetamin
 Oksilofrin
 Fenprometamin
 Propilheksedrin
 Selegilin
 Sibutramin
 Tuaminoheptan
 Dan stimulan lain yang tidak secara langsung disebutkan pada bagian S6 di mana atlit menyatakan
memenuhi persyaratan yang dijelaskan pada bagian S6.
 Kanabioid
 Semua glukokortikosteroid
 Alkohol
 Semua beta-blocker
Penggunaan obat-obat yang terdapat dalam “Daftar bahan obat dan tindakan yang
dilarang dalam olahraga/anti-doping” dengan tujuan untuk terapi dan bukan untuk
meningkatkan kinerja olahraga, tidak dikategorikan sebagai pelanggaran doping
atau dapat mengurangi sanksi pelanggaran doping.
BAB 1 SISTEM SALURAN CERNA
 1.1 Dispepsia dan Refluks Gastroesofagal
 1.2 Antispasmodik dan Obat-Obat Lain yang Mempengaruhi Motilitas Saluran Cerna
 1.3 Antitukak
 1.4 Diare Akut
 1.5 Gangguan Usus Kronis
 1.6 Pencahar
 1.7 Hemoroid
 1.8 Obat yang Mempengaruhi Sekresi Usus

Dispepsia
Dispepsia meliputi rasa nyeri, perut terasa penuh, kembung dan mual. Gejala ini dapat muncul bersamaan
dengan tukak duodeni dan kanker lambung tapi umumnya tidak diketahui penyebabnya.

Helicobacter pylori mungkin ditemui pada pasien yang mengalami dispepsia. Terapi
eradikasi H.pylori sebaiknya dipertimbangkan pada dispepsia dengan gejala serupa dengan tukak, meskipun
sebagian besar pasien dengan dispepsia fungsional (non-tukak) tidak memerlukan terapi eradikasi H.pylori.
Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut bila dispepsia disertai dengan gejala-gejala yang membahayakan (seperti:
perdarahan, disfagia, muntah berulang dan penurunan berat badan).
Penyakit refluks gastroesofagal
Penyakit refluks gastroesofagal (termasuk refluks gastroesofagal dan esofagitis erosif) meliputi gejala nyeri
pada ulu hati, regurgitasi asam dan kadang-kadang kesulitan menelan (disfagia); inflamasi esofagal
(esofagitis), ulserasi dan dapat terjadi striktur yang terkait dengan asma.

Penatalaksanaan gastroesofagal meliputi terapi obat, perubahan gaya hidup dan di beberapa kasus, perlu
tindakan operasi. Terapi awal ditentukan oleh tingkat keparahan gejalanya dan kemudian terapi disesuaikan
berdasarkan respons. Lamanya penyembuhan tergantung pada tingkat keparahan penyakit, pemilihan terapi
dan lama terapi.

Untuk mengatasi gejala ringan dari gastroesofagal, penanganan awal adalah penggunaan antasida. Antagonis
reseptor-H2 (bagian 1.3.1) menekan sekresi asam. Obat ini dapat meringankan gejala dan dapat mengurangi
pemakaian antasida. Untuk kasus-kasus yang sulit disembuhkan, dapat dipertimbangkan penggunaan
penghambat pompa proton (bagian 1.3.5), sebagaimana diuraikan berikut ini penggunaan penghambat pompa
proton untuk kasus dengan gejala yang berat.
Untuk mengatasi gastroesofagal dengan gejala yang berat atau untuk pasien dengan patologi yang berat
(esofagitis, ulserasi esofagal, refluks esofagofaringeal, esofagus Barrett), penanganan awal menggunakan
penghambat pompa proton (bagian 1.3.5); pasien perlu diperiksa kembali bila gejala tetap muncul walaupun
sudah diterapi dengan penghambat pompa proton selama 4-6 minggu. Jika gejala berkurang, terapi dapat
dikurangi hingga pasien mengalami kondisi stabil dengan terapi tersebut. (Pengurangan terapi ini dapat berupa
pengurangan dosis penghambat pompa proton atau pemberian secara berselang atau dengan penggantian obat
dengan antagonis reseptor-H2). Namun, untuk kasus refluks gastroesofagal dengan striktur, ulserasi atau erosif
(yang dipastikan melalui pemeriksaan endoskopi), terapi dengan penghambat pompa proton biasanya
memerlukan dosis pemeliharaan sebesar dosis efektif minimal.
Obat prokinetik seperti metoklopramid (bagian 4.6) dapat memulihkan fungsi sfingter gastroesofagal dan
mempercepat pengosongan lambung.

Pasien dengan penyakit gastroesofagal perlu diberi saran mengenai perubahan gaya hidup (menghindari
konsumsi alkohol dan makanan yang merangsang lambung seperti lemak yang berlebihan); pengukuran
lainnya meliputi pengurangan berat badan, penghentian kebiasaan merokok dan membiasakan posisi tidur
dengan kepala di atas bantal.

Anak. Penyakit gastroesofagal umum terjadi pada bayi usia 12–18 bulan, namun sebagian besar gejalanya
dapat hilang tanpa terapi. Pada bayi, gejala refluks ringan atau sedang tanpa komplikasi pada awalnya dapat
diatasi dengan merubah frekuensi dan volume pemberian makanan; dapat digunakan pengental makanan atau
formula makanan yang kental (dengan saran dari ahli gizi). Untuk anak yang lebih tua, terapi perubahan gaya
hidup dapat dilakukan sebagaimana anjuran perubahan gaya hidup pada orang dewasa.
Anak yang tidak memberikan respons atau yang memiliki masalah seperti gangguan pernafasan atau adanya
dugaan esofagitis perlu dirujuk ke rumah sakit; di mana mungkin diperlukan antagonis reseptor-H2 (bagian
1.3.1) untuk mengurangi sekresi asam. Jika esofagitis resisten terhadap antagonis reseptor-H2, dapat digunakan
penghambat pompa proton (bagian 1.3.5).
Penghambat pompa proton (bagian 1.3.5) dapat digunakan pada bayi dan anak untuk terapi esofagitis non-
erosif dengan gejala sedang yang tidak memberikan respons terhadap pemberian antagonis reseptor-H2. Untuk
kasus penyakit refluks gastroesofagal dengan striktur, ulserasi atau erosif, yang dipastikan melalui
pemeriksaan endoskopi pada pasien anak umumnya diterapi dengan penghambat pompa proton. Perlu
dilakukan pemeriksaan kembali bila gejala tetap muncul walaupun sudah diterapi dengan penghambat pompa
proton selama 4-6 minggu; penggunaan jangka panjang dari antagonis reseptor-H2 atau penghambat pompa
proton tidak boleh dilakukan jika tanpa pemeriksaan yang menyeluruh dalam rangka mencari penyebabnya.
Penggunaan stimulan motilitas (bagian 1.2.3) seperti domperidon dapat memperbaiki kontraksi sfingter
gastroesofagal dan mempercepat pengosongan lambung, namun efikasinya dalam penggunaan jangka panjang
tidak terbukti.

 1.1.1 Antasida dan Simetikon

1.1.1 Antasida dan Simetikon


Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan menetralkan asam lambung atau mengikatnya.
Sediaan antasida dapat digolongkan menjadi:
1.1.1.1 Antasida dengan kandungan aluminium dan atau magnesium
1.1.1.2 Antasida dengan kandungan natrium bikarbonat
1.1.1.3 Antasida dengan kandungan bismut dan kalsium
1.1.1.4 Antasida dengan kandungan simetikon

Antasida masih bermanfaat untuk mengobati penyakit saluran cerna. Antasida seringkali dapat meringankan
gejala-gejala yang muncul pada penyakit dispepsia tukak maupun non-tukak, serta pada penyakit refluks
gastro-esofagal (gastroesofagitis) tanpa erosi. Antasida juga kadang-kadang digunakan dalam dispepsia
fungsional (non-tukak) tapi bukti kemanfaatannya belum dapat dipastikan.

Antasida paling baik diberikan saat muncul atau diperkirakan akan muncul gejala,
lazimnya diantara waktu makan dan sebelum tidur, 4 kali sehari atau lebih.

Dosis tambahan mungkin diperlukan, yakni sampai interval setiap jam. Pemberian dosis lazim (misal 10 mL, 3
atau 4 kali sehari) cairan antasida magnesium-aluminium, meskipun dapat meningkatkan penyembuhan tukak
tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan antisekresi (lihat 1.3.1 sampai dengan 1.3.5).

Pemilihan sediaan antasida bergantung pada kapasitas penetralan, kandungan ion natrium, efek samping,
palatibilitas, dan kemudahan penggunaannya.
Pemberian antasida dengan kandungan natrium tinggi (misal campuran magnesium trisilikat) harus dihindari
pada pasien yang memerlukan pembatasan masukan natrium. Demikian pula pada kondisi gagal ginjal dan
jantung atau kehamilan.

Hipermagnesemia mungkin terjadi bila antasida yang mengandung magnesium diberikan pada pasien yang
mengalami gagal ginjal.

Pemberian antasida bersama-sama dengan obat lain sebaiknya dihindari karena


mungkin dapat mengganggu absorpsi obat lain. Selain itu, antasida mungkin dapat
merusak salut enterik yang dirancang untuk mencegah pelarutan obat dalam
lambung: lihat Lampiran 1 (antasida dan AINS).
Pemberian antasida bersama-sama dengan obat lain sebaiknya dihindari karena mungkin dapat mengganggu
absorpsi obat lain. Selain itu, antasida mungkin dapat merusak salut enterik yang dirancang untuk mencegah
pelarutan obat dalam lambung: lihat Lampiran 1 (antasida dan AINS).

 1.1.1.1 Antasida dengan Kandungan Aluminium dan/atau Magnesium


 1.1.1.2 Antasida Dengan Kandungan Natrium Bikarbonat
 1.1.1.3 Antasida dengan Kandungan Bismut dan Kalsium
 1.1.1.4 Antasida dengan Kandungan Simetikon

 1.1.1.1 Antasida dengan


Kandungan Aluminium dan/atau
Magnesium
 Antasida yang mengandung magnesium atau aluminium yang relatif tidak larut dalam air seperti
magnesium karbonat, hidroksida, dan trisilikat serta aluminium glisinat dan hidroksida, bekerja lama
bila berada dalam lambung sehingga sebagian besar tujuan pemberian antasida tercapai. Sediaan yang
mengandung magnesium mungkin dapat menyebabkan diare, sedangkan yang mengandung
aluminium mungkin menyebabkan konstipasi; antasida yang mengandung magnesium dan aluminium
dapat mengurangi efek samping pada usus besar ini. Akumulasi aluminium tampaknya tidak menjadi
risiko bila fungsi ginjal normal.
 Manfaat sediaan campuran dibanding sediaan tunggalnya belum jelas benar, kapasitas penetralan
keduanya mungkin sama. Selain itu, kompleks seperti hidrotalsit, tidak menunjukkan manfaat
khusus.
 Monografi:

 ALUMINIUM HIDROKSIDA
 Indikasi:
 dispepsia, hiperfosfatemia (lihat 9.5.2.2).
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; gangguan ginjal (Lampiran 3).
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antasida).
 Kontraindikasi:
 hipofosfatemia, porfiria.
 Dosis:
 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi: 1-2 sachet (7-14
mL), 3-4 kali sehari, anak > 8 tahun: ½ -1 sachet, 3-4 kali sehari.

 MAGNESIUM HIDROKSIDA
 Indikasi:
 dispepsia.
 Peringatan:
 gangguan ginjal (lampiran 3).
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antasida).
 Kontraindikasi:
 hipofosfatemia.
 Efek Samping:
 diare, bersendawa karena terlepasnya karbondioksida.
 Dosis:
 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi: 5 mL, 3-4 kali
sehari.

 Kombinasi Mg(OH)2, CaCO3,


Famotidin
 Indikasi:
 untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, gastritis, tukak
lambung, tukak duodeni, yang tidak dapat diatasi dengan antasida.
 Peringatan:
 gangguan ginjal, gangguan hati, hamil, menyusui; tidak dianjurkan digunakan terus menerus lebih dari
2 minggu kecuali atas petunjuk dokter.
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antasida).
 Kontraindikasi:
 hipofosfatemia, alergi terhadap famotidin atau antagonis reseptor H2 lainnya.
 Efek Samping:
 konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala, pusing, gangguan irama jantung dan ruam kulit.
 Dosis:
 Dewasa dan anak di atas 12 tahun: sehari 2 x 1 tablet kunyah, diminum jika timbul gejala atau 1 jam
sebelum makan. Maksimum 2 tablet/hari (2 tablet dalam 24 jam). Sebaiknya tidak diminum bersama
makanan. Tablet dikunyah sebelum ditelan. Untuk anak < 12 tahun: sesuai petunjuk dokter.

 KOMPLEKS MAGNESIUM
HIDROTALSIT
 Indikasi:
 untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, tukak lambung,
tukak duodeni dengan gejala-gejala seperti mual, kembung dan perasaan penuh pada lambung.
 Peringatan:
 gangguan ginjal; lihat juga catatan di atas.
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antasida dan adsorben).
 Dosis:
 Dewasa: 3-4 kali sehari, 1-2 tablet. Anak-anak 6-12 tahun: sehari 3-4 kali, ½-1 tablet. Dianjurkan
untuk minum obat ini segera pada saat timbul gejala dan dilanjutkan 1-2 jam sebelum makan atau
setelah makan dan sebelum tidur malam. Dapat diminum dengan air atau dikunyah langsung.

 MAGNESIUM KARBONAT
 Indikasi:
 dispepsia.
 Peringatan:
 gangguan ginjal; dan lihat juga catatan di atas;
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antasida).
 Kontraindikasi:
 hipofosfatemia.
 Efek Samping:
 diare, bersendawa karena terlepasnya karbondioksida.
 Dosis:
 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan; Suspensi: 10 mL 3 x sehari.

 MAGNESIUM TRISILIKAT
 Indikasi:
 dispepsia
 Peringatan:
 gangguan ginjal ; lihat juga catatan di atas,
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antasida dan adsorben).
 Kontraindikasi:
 hipofosfatemia
 Efek Samping:
 diare, sendawa akibat dari dihasilkannya CO2, batu ginjal berasal dari silica dilaporkan pada terapi
jangka panjang.
 Dosis:
 1-2 tablet dikunyah, diberikan hingga 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi:
1-2 sachet (7-14 mL), 3-4 kali sehari, anak > 8 tahun: ½ - 1 sachet, 3-4 kali sehari.

1.1.1.2 Antasida Dengan Kandungan


Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan antasida yang larut dalam air dan bekerja cepat. Namun dalam dosis berlebih
dapat menyebabkan alkalosis. Seperti antasida lainnya yang mengandung karbonat, terlepasnya karbon
dioksida menyebabkan sendawa. Natrium bikarbonat sebaiknya tidak diberikan lagi dalam bentuk sediaan
tunggal untuk dispepsia, tapi merupakan bagian dari kombinasi zat aktif untuk pengobatan saluran cerna.
Pemberian natrium bikarbonat dan sediaan antasida dengan kandungan natrium yang tinggi, seperti campuran
magnesium trisilikat, sebaiknya dihindari pada pasien yang sedang diet rendah garam (pada gagal jantung,
gangguan hati dan ginjal).
1.1.1.3 Antasida dengan Kandungan
Bismut dan Kalsium
Antasida yang mengandung bismut (kecuali kelat) sebaiknya dihindari karena bismut yang terabsorpsi bersifat
neurotoksik, menyebabkan ensefalopati, dan cenderung menyebabkan konstipasi.

Antasida yang mengandung kalsium dapat menginduksi sekresi asam lambung. Pada dosis rendah manfaat
klinisnya diragukan. Sedangkan penggunaan dosis besar jangka panjang dapat menyebabkan hiperkalsemia
dan alkalosis, serta memperburuk sindrom susu-alkalis.

Interaksi lihat Lampiran 1 (antasida).


Monografi:

Antasida dengan kandungan bismut


dan kalsium
1.1.1.4 Antasida dengan Kandungan
Simetikon
Senyawa antasida lain sering kali ditemukan dalam sediaan tunggal maupun kombinasi. Simetikon (bentuk
aktif dimetikon), diberikan sendiri atau ditambahkan pada antasida sebagai antibuih untuk meringankan
kembung (flatulen). Pada perawatan paliatif, dapat mengatasi cegukan.
Monografi:

Antasida dengan kandungan simetikon


Keterangan:
Sediaan kombinasi lihat atas (1.1.1.1)

1.2 Antispasmodik dan Obat-Obat


Lain yang Mempengaruhi Motilitas
Saluran Cerna
Antispasmodik merupakan golongan obat yang memiliki sifat sebagai relaksan otot polos. Obat yang termasuk
dalam kelas ini adalah antimuskarinik dan relaksan yang dipercaya bekerja langsung di otot halus usus. Sifat
relaksan otot polos dari senyawa antimuskarinik dan obat antispasmodik lain mungkin bermanfaat
untuk Irritable Bowel Syndrome (IBS) dan penyakit divertikular.
Meskipun antispasmodik dapat mengurangi spasme usus, tetapi penggunaannya untuk dispepsia non-tukak,
IBS, dan penyakit divertikular tidak bermanfaat. Manfaat klinik antisekresi lambung obat antimuskarinik
konvensional relatif kecil, Sementara efek sampingnya mirip senyawa atropin. Selain itu, keberadaannya telah
digantikan oleh obat-obat antisekresi yang lebih kuat dan spesifik, yakni antagonis reseptor-H2histamin dan
antimuskarinik selektif pirenzepin.
Antagonis reseptor dopamin metoklopramid dan domperidon (lihat bagian 1.2.3) menstimulasi (transit) di
saluran cerna.

 1.2.1 Antimuskarinik
 1.2.2 Antispasmodik Lain
 1.2.3 Stimulan Motilitas

 1.2.1 Antimuskarinik
 Antimuskarinik (sebelumnya disebut antikolinergik mengurangi motilitas usus. Kelompok obat ini
digunakan untuk penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome dan penyakit divertikular. Namun,
efektifitasnya belum diketahui dengan pasti dan responsnya bervariasi. Indikasi lain untuk obat
antimuskarinik meliputi aritmia (bagian 2.2), asma dan penyakit saluran pernafasan (bagian
3.1.3), motion sickness (bagian 4.6), parkinsonisme (bagian 4.9.2), inkontinensi urin (bagian 7.4.2),
midriasis dan siklopegia (bagian 11.3), premedikasi, dan sebagai antidot keracunan organofosfor.
 Antimuskarinik yang digunakan untuk spasme otot polos saluran cerna meliputi senyawa amin
tersier atropin sulfat dan disikloverin hidroklorida (disiklomin hidroklorida) dan senyawa amonium
kuaterner propantelin bromida dan hiosin butilbromida. Senyawa amonium kuaterner kurang larut
dalam lipid dibandingkan atropin, sehingga lebih sulit menembus sawar darah-otak. Selain itu juga
absorpsinya lebih kecil.
 Disikloverin hidroklorida memiliki kerja antimuskarinik yang lebih lemah dari pada atropin dan
senyawa ini juga bekerja langsung pada otot polos. Hiosin butilbromida absorpsinya sangat kecil.
Sediaan injeksinya bermanfaat pada endoskopi dan radiologi. Pengobatan dengan menggunakan
atropin dan alkaloid beladona sudah banyak ditinggalkan, karena efek samping atropin lebih besar
dibanding manfaat klinisnya.
 Peringatan: Antimuskarinik sebaiknya digunakan secara hati-hati pada keadaan Down’s syndrome,
pada anak, dan lansia; obat ini juga sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada penyakit refluks
gastroesofagus (GERD), diare, kolitis dengan tukak, infark miokard akut, hipertensi, kondisi penyakit
dengan gejala takikardi (termasuk hipertiroid, insufisiensi kardiak, operasi jantung), pireksia,
kehamilan dan menyusui.
 Interaksi: Lampiran 1 (antimuskarinik)
 Kontraindikasi: Antimuskarinik dikontraindikasikan pada angle-closure glaucoma, miastenia gravis
(namun dapat digunakan untuk menurunkan efek samping muskarinik dari antikolinesterase), ileus
paralitik, stenosis pilorik dan pembesaran prostat.
 Efek samping: Efek samping antimuskarinik meliputi konstipasi, bradikardi selintas (diikuti
takikardia, palpitasi dan aritmia), penurunan sekresi bronkus, sulit berkemih (urinary urgency and
retention), dilatasi pupil dengan hilangnya akomodasi, fotofobia, mulut kering, kulit mengering dan
memerah. Efek samping yang jarang terjadi adalah kebingungan (terutama pada lansia), mual, muntah
dan giddiness (rasa pusing dan gamang), glaukoma sudut sempit sangat jarang terjadi.
 Monografi:

 ATROPIN SULFAT DAN


ALKALOID BELADONA
 Indikasi:
 pengobatan simptomatik gangguan saluran cerna yang ditandai dengan spasme otot polos, midriasis
dan sikloplegia; premedikasi; lihat keterangan di atas; lihat juga 15.1.3.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antimuskarinik)
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan di atas; glaukoma sudut sempit.
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas

 HIOSIN BUTILBROMIDA
 Indikasi:
 terapi tambahan gangguan saluran cerna dan saluran kemih yang ditandai dengan spasmus otot polos
(lihat keterangan di atas), dismenore (lihat bagian 6.1)
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan di atas, hindarkan pada porfiria
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas
 Dosis:
 Oral (namun absorpsinya buruk, lihat keterangan di atas), 20 mg 4 kali sehari; Anak 6-12 tahun: 10
mg 3 kali sehari. Injeksi intramuskuler atau intravena lambat (spasme akut dan spasme pada prosedur
diagnostik) 20 mg, bila perlu diulang setelah 30 menit (dapat diulang lebih sering pada endoskopi)
maksimal 100 mg sehari; Anak: tidak disarankan.

 PROPANTELIN BROMIDA
 Indikasi:
 pengobatan simptomatik gangguan saluran cerna yang ditandai oleh spasme otot polos.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan di atas
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas
 Dosis:
 15 mg 3 kali sehari sekurang-kurangnya 1 jam sebelum makan dan 30 mg sebelum tidur, maksimal
120 mg sehari; Anak tidak dianjurkan

 1.2.2 Antispasmodik Lain


 Beberapa senyawa seperti alverin, mebeverin dan minyak pepermin dipercaya merupakan relaksan
yang bekerja langsung pada otot polos usus dan mungkin dapat meringankan nyeri pada IBS dan
penyakit divertikular. Senyawa-senyawa tersebut tidak mempunyai efek samping serius, namun
sebagaimana antispasmodik lainnya penggunaan obat ini sebaiknya dihindari pada ileus paralitik.
 Monografi:

 ALVERIN SITRAT
 Indikasi:
 pengobatan tambahan pada gangguan saluran cerna yang ditandai oleh spasmus otot polos; dismenore
 Peringatan:
 kehamilan (lihat lampiran 4); menyusui (lihat Lampiran 5)
 Interaksi:
 Kontraindikasi:
 ileus paralitik; jika dikombinasi dengan sterculia, obstruksi usus, faecal impaction, atoni kolon
 Efek Samping:
 mual, sakit kepala, pruritus, ruam kulit dan mengantuk pernah dilaporkan
 Dosis:
 60-120 mg 1-3 kali sehari: Anak berusia di bawah 12 tahun tidak direkomendasikan
 Catatan:

 KLORDIAZEPOKSID +
KLIDINIUM BROMIDA
 Indikasi:
 Terapi tambahan pada pengobatan tukak lambung dan irritable bowel syndrome.
 Peringatan:
 Hipertrofi prostat, miastenia gravis, mengemudi, pemberian jangka panjang membutuhkan tes uji
darah, ginjal dan hati, ketergantungan, kehamilan, dan menyusui.
 Interaksi:
 Antikolinergik meningkatkan aktivitas klidinium bromida, alkohol.
 Kontraindikasi:
 Hipersensitivitas, glaukoma, riwayat refluks esofagitis.
 Efek Samping:
 Mulut kering, konstipasi, gangguan berkemih, sedikit mengantuk, erupsi kulit, edema, menstruasi
tidak teratur, mual, gejala ekstra piramidal, peningkatan dan penurunan libido, agranulositosis,
granulositopenia, leukopenia, reaksi alergi.
 Dosis:
 Dewasa, 1-2 tablet 1-4 kali sehari, diminum 30-60 menit sebelum makan. Lansia, dosis awal tidak
lebih dari 1 tablet 2 kali sehari.

 MEBEVERIN HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 terapi tambahan pada gangguan saluran cerna yang ditandai oleh spasme otot polos.
 Peringatan:
 kehamilan (Lampiran 4); hindarkan pada porfiria.
 Kontraindikasi:
 ileus paralitik.
 Efek Samping:
 jarang terjadi, reaksi alergi (termasuk ruam, urtikaria, angioedema).
 Dosis:
 Dewasa dan anak di atas 10 tahun, 135 - 150 mg 3 kali sehari, sebaiknya 20 menit sebelum makan.

 PEPPERMINT OIL
 Indikasi:
 mengatasi rasa sakit dan kembung pada abdomen, terutama pada Irritable Bowel Syndrome (IBS).
 Peringatan:
 sangat sensitif dengan menthol.
 Efek Samping:
 rasa terbakar (heart burn), iritasi perianal; reaksi alergi (termasuk ruam kulit, sakit kepala, bradikardi,
tremor otot, ataksia) Iritasi setempat (lokal) kapsul sebaiknya tidak dipatahkan atau dikunyah karena
peppermint oil dapat mengiritasi mulut atau esofagus.

 1.2.3 Stimulan Motilitas


 Metoklopramid dan domperidon merupakan antagonis dopamin yang menstimulasi pengosongan
lambung dan transit usus halus, dan meningkatkan kekuatan kontraksi sfingter esofagus. Obat-obat ini
digunakan pada beberapa pasien dispepsia non-tukak. Metoklopramid juga digunakan untuk
mempercepat transit barium selama pemeriksaan intestin, dan sebagai pengobatan tambahan pada
penyakit refluks esofagus. Metoklopramid dan domperidon juga bermanfaat pada mual dan muntah
yang non-spesifik dan yang disebabkan oleh sitotoksik. Metoklopramid dan kadang-kadang
domperidon dapat menginduksi reaksi distonia akut, utamanya pada wanita muda dan anak-anak.
Untuk informasi lebih lengkap dan efek samping lainnya dapat dilihat pada bagian 4.4.
 Monografi:

 CISAPRID
 Indikasi:
 Dewasa: untuk mengatasi gangguan motilitas gastrointestinal, khususnya gastroparesis. Anak-anak:
untuk refluks gastroesofagal berat, apabila terapi lain tidak berhasil.
 Peringatan:
 Jangan melebihi dosis yang dianjurkan, gunakan dengan hati-hati pada kondisi yang menyebabkan
perpanjangan QT seperti gangguan elektrolit yang tidak terkoreksi (terutama hipokalemia dan
hipomagnesemia), gunakan hati-hati pada penderita yang menggunakan obat yang dapat
memperpanjang interval QT; hindarkan pemberian cisaprid bersamaan dengan sediaan oral atau
parenteral klatiromisin, eritromisin, flukonazol, itrakonazol, ketokonazol, atau mikonazol.
 Kontraindikasi:
 Bila tindakan stimulasi saluran cerna membahayakan; kehamilan dan menyusui.
 Efek Samping:
 Kram abdomen dan diare; sakit kepala dan pusing; kejang; efek ekstrapiramidal dan peningkatan
frekuensi berkemih; fungsi hati tidak normal (mungkin kholestatis); aritmia ventrikel
(termasuk torsades de pointes).
 Dosis:
 Dewasa: Dosis awal adalah 5 mg 3-4 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai maksimum 40
mg/hari, dalam 3-4 kali pemberian. Anak: Dosis awal 0,2 mg/kg BB 3-4 kali sehari. Dosis dapat
ditingkatkan sampai maksimum 0,8 mg/kg BB perhari dan tidak melebihi 20 mg/hari. Dosis untuk
anak sebaiknya tidak melebihi 5 mg setiap kali minum.
 Untuk gangguan hati atau ginjal: dosis dikurangi menjadi ½ kali dosis harian yang direkomendasikan.
Obat diminum 15 menit sebelum makan dan ketika akan tidur malam. Setiap 2 minggu pemakaian
dilakukan evaluasi oleh dokter.
 Keterangan:
 Sesuai dengan Press Release dari Direktur Jendral POM pada tanggal 31 Agustus 2000, dilakukan
pembatasan indikasi, pembatasan akses dan distribusi. Peresepan hanya dapat dilakukan di rumah
sakit tipe A, B, C dengan pemantauan terhadap efek samping obat (ESO) dilakukan selama 1-2 tahun.
Untuk penggunaan cisaprid, seperti informasi di atas.

1.3 Antitukak
Tukak peptik dapat terjadi di lambung, duodenum, esofagus bagian bawah, dan stoma gastroenterostomi
(setelah bedah lambung).

Penyembuhan dapat dibantu dengan berbagai cara seperti penghentian kebiasaan merokok dan minum antasida
dan minum obat penghambat sekresi asam, namun sering terjadi kambuh jika pengobatan dihentikan. Hampir
semua tukak duodenum dan sebagian besar tukak lambung yang tidak disebabkan oleh AINS, penyebabnya
adalah bakteri Helicobacter pylori. Pengobatan infeksi Helicobacter pylori dan tukak yang disebabkan oleh
AINS akan dibahas di bawah ini.
Infeksi Helicobacter pylori
Penyembuhan tukak lambung dan tukak duodenum dapat dilakukan dengan cepat melalui
eradikasi Helicobacter pylori. Direkomendasikan untuk memastikan terlebih dahulu adanya H. pylori sebelum
memulai terapi eradikasi. Penggunaan kombinasi penghambat sekresi asam dengan antibakteri sangat efektif
dalam eradikasi H.pylori. Infeksi kambuhan jarang terjadi. Kolitis karena penggunaan antibiotik merupakan
risiko yang tidak umum terjadi.
Regimen terapi satu minggu yang terdiri dari 3 jenis obat yaitu penghambat pompa proton, amoksisilin dan
klaritromisin atau metronidazol, dapat mengeradikasi H.pylori pada 90 % kasus. Setelah 1 minggu, obat
dihentikan, kecuali terjadi komplikasi tukak seperti hemoragi atau perforasi.
Resistensi terhadap klaritromisin atau metronidazol lebih sering terjadi dibandingkan terhadap amoksisilin dan
hal ini dapat terjadi pada saat terapi. Karena itu, regimen yang terdiri dari amoksisilin dan klaritromisin
direkomendasikan sebagai terapi awal eradikasi dan regimen yang terdiri dari amoksisilin dan metronidazol
untuk kegagalan terapi eradikasi. Ranitidin bismut sitrat dapat digunakan sebagai pengganti penghambat
pompa proton. Regimen lain, termasuk kombinasi klaritromisin dan metronidazol sangat baik digunakan pada
keadaan tertentu. Kegagalan terapi biasanya disebabkan oleh resistensi bakteri atau kepatuhan pasien yang
rendah.

Regimen terapi dua minggu yang terdiri dari 3 jenis obat memberikan kemungkinan yang besar dalam
kecepatan eradikasi dibandingkan regimen terapi satu minggu, tetapi efek samping sering terjadi dan
rendahnya kepatuhan pasien akan lebih sering ditemukan.

Regimen 2 minggu terapi yang terdiri dari 2 jenis obat yaitu penghambat pompa proton dan antibakteri
tunggal tidak direkomendasikan.
Regimen 2 minggu menggunakan trikalium disitratobismutat dengan penghambat pompa proton dan dua
antibakteri mungkin memiliki peran pada penanganan kasus yang resisten setelah dilakukan konfirmasi
adanya H. pylori.
Tinidazol atau tetrasiklin dapat pula digunakan untuk eradikasi H. pylori; obat-obat ini sebaiknya dikombinasi
dengan obat penghambat sekresi asam dan antibakteri lain.
Tidak ada bukti yang memadai untuk mendukung terapi eradikasi pada pasien anak-anak, yang terinfeksi H.
pylori namun tetap menggunakan AINS.

Tukak yang disebabkan oleh AINS


Perdarahan saluran cerna dan tukak dapat terjadi pada penggunaan AINS (bagian 12.1.1). Jika memungkinkan,
penggunaan AINS sebaiknya dihentikan pada keadaan ini. Pada individu yang berisiko mengalami tukak,
penghambat pompa proton atau antagonis reseptor-H2 seperti ranitidin diberikan dua kali dosis lazim, atau
misoprostol dapat dipertimbangkan untuk mencegah tukak lambung dan tukak duodenum yang disebabkan
oleh AINS; reaksi kolik dan diare dapat membatasi dosis misoprostol.
Pada pasien yang sedang dalam terapi AINS, eradikasi H. pylori tidak direkomendasikan karena tidak akan
mengurangi risiko perdarahan atau tukak akibat AINS. Akan tetapi, pasien yang baru memulai terapi AINS
jangka panjang dengan H. pylori positif atau memiliki riwayat tukak lambung atau tukak duodenum,
eradikasi H. pylori dapat mengurangi risiko tukak.
Jika pemberian AINS dapat dihentikan pada pasien yang mengalami tukak, penghambat pompa proton
biasanya menghasilkan penyembuhan yang lebih cepat, tetapi tukaknya dapat diterapi dengan antagonis
reseptor-H2 atau misoprostol.
Jika terapi AINS perlu diteruskan, hal-hal berikut dapat dilakukan:

 Atasi tukak dengan penghambat pompa proton dan selama penyembuhan tetap dilanjutkan dengan
pemberian penghambat pom proton (dosis tidak perlu dikurangi karena dapat terjadi tukak yang bertambah
parah tanpa disertai gejala)
 Atasi tukak dengan penghambat pompa proton dan dilanjutkan dengan misoprostol selama penyembuhan
sebagai terapi pemeliharaan (kolik dan diare dapat terjadi, yang memerlukan pengurangan dosis)
 Atasi tukak dengan penghambat pompa proton dan kemudian ganti AINS dengan AINS yang selektif yaitu
COX-2.
Antibakteri
Penekan Asam Amoksisilin Klaritromisin Me
Esomeprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari -

20 mg, 2 kali sehari


- 500 mg, 2 kali sehari 400 mg, 2
Lansoprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari -
1 g, 2 kali sehari - 400 mg, 2
30 mg, 2 kali sehari
- 500 mg, 2 kali sehari 400 mg, 2
Omeprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari -
500 mg, 3 kali sehari - 400 mg, 2
20 mg, 2 kali sehari
- 500 mg, 2 kali sehari 400 mg, 2
Pantoprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari -

40 mg, 2 kali sehari


- 500 mg, 2 kali sehari 500 mg, 2
Rabeprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari -

20 mg, 2 kali sehari


- 500 mg, 2 kali sehari 400 mg, 2
Ranitidin bismuth sitrat 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari -
1 g, 2 kali sehari - 500 mg, 2
400 mg, 2 kali sehari
- 500 mg, 2 kali sehari 500 mg, 2
Tabel 1.1 Rekomendasi Regimen untuk eradikasi Helicobacter pylori

Dosis Oral

(untuk digunakan dalam kombinasi omeprazol)


Terapi Eradikasi Usia
Amoksisilin 1 - 6 tahun 250 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
125 mg, 3 kali sehari (dengan metronidazol)
500 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
6 - 12 tahun 250 mg, 3 kali sehari (dengan metronidazol)
1 g, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
12 - 18 tahun 500 mg, 3 kali sehari (dengan metronidazol)
1 - 2 tahun 62,5 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
2 - 6 tahun 125 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
6 - 9 tahun 187,5 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
9 - 12 tahun 250 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
Klaritromisin 12 - 18 tahun 500 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
100 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
1 - 6 tahun 100 mg, 3 kali sehari (dengan amoksisilin)
200 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
6 - 12 tahun 200 mg, 3 kali sehari (dengan amoksisilin)
400 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
Metronidazol 12 - 18 tahun 400 mg, 3 kali sehari (dengan amoksisilin)
Tabel 1.2 Rekomendasi Regimen untuk eradikasi Helicobacter pylori pada anak

Antitukak dibagi dalam 4 sub-sub kelas terapi sebagai berikut:


1.3.1 Antagonis reseptor-H2
1.3.2 Kelator dan senyawa kompleks
1.3.3 Analog prostaglandin
1.3.4 Penghambat pompa proton
 1.3.1 Antagonis Reseptor-H2
 1.3.2 Kelator dan Senyawa Kompleks
 1.3.3 Analog Prostaglandin
 1.3.4 Penghambat Pompa Proton

 1.3.1 Antagonis Reseptor-H2


 Semua antagonis reseptor-H2 mengatasi tukak lambung dan duodenum dengan cara mengurangi
sekresi asam lambung sebagai akibat penghambatan reseptor histamin-H2. Obat ini dapat juga
digunakan untuk mengatasi gejala refluks gastroesofagus (GERD). Meskipun antagonis reseptor-
H2 dosis tinggi dapat digunakan untuk mengatasi sindroma Zollinger-Ellison, namun penggunaan
penghambat pompa proton lebih dipilih.
 Terapi pemeliharaan dengan dosis rendah pada pasien yang mengalami infeksi H. pylori, termasuk
untuk anak telah digantikan oleh regimen eradikasi (lihat 1.3). Terapi pemeliharaan kadang digunakan
pada pasien yang sering mengalami kekambuhan yang berat dan untuk pasien lansia yang menderita
komplikasi tukak.
 Pada pasien dengan usia yang lebih muda pengobatan dispepsia dengan antagonis reseptor-H2 dapat
diterima, namun perhatian khusus perlu diberikan kepada orang dewasa yang lebih tua karena adanya
kemungkinan kanker lambung.
 Terapi antagonis reseptor-H2 dapat membantu proses penyembuhan tukak yang disebabkan oleh AINS
(terutama duodenum) (bagian 1.3).
 Penggunaan antagonis reseptor-H2 pada hematemesis dan melena tidak menunjukkan kemanfaatan,
namun penggunaan profilaksis dapat mengurangi frekuensi pendarahan dari erosi gastroduodenum
pada kasus koma hepatik, dan mungkin pada kasus-kasus lain yang memerlukan perawatan intensif.
Penggunaan antagonis reseptor-H2 juga mengurangi risiko aspirasi asam pada pasien obstetrik pada
saat melahirkan (sindroma Mendelson).
 Peringatan: Antagonis reseptor-H2 sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
gangguan ginjal (Lampiran 3), kehamilan (Lampiran 4), dan pasien menyusui (Lampiran 5).
Antagonis reseptor-H2 dapat menutupi gejala kanker lambung; perhatian khusus perlu diberikan pada
pasien yang mengalami perubahan gejala dan pada pasien setengah baya atau yang lebih tua.
 Efek samping: Efek samping antagonis reseptor-H2 adalah diare dan gangguan saluran cerna lainnya,
pengaruh terhadap pemeriksaan fungsi hati (jarang, kerusakan hati), sakit kepala, pusing, ruam dan
rasa letih. Efek samping yang jarang adalah pankreatitis akut, bradikardi, AV block, rasa bingung,
depresi dan halusinasi, terutama pada orang tua atau orang yang sakit parah, reaksi hipersensitifitas
(termasuk demam, artralgia, mialgia, anafilaksis), gangguan darah (termasuk agranulositosis,
leukopenia, pansitopenia, trombositopenia) dan reaksi kulit (termasuk eritema ultiform, dan nekrolisis
epidermal yang toksik). Dilaporkan juga kasus ginekomastia dan impotensi, namun jarang terjadi.
 Interaksi: Simetidin menghambat metabolisme obat secara oksidatif di hati dengan cara mengikat
sitokrom P450 di mikrosom. Penggunaannya sebaiknya dihindari pada pasien yang sedang mendapat
terapi warfarin, fenitoin dan teofilin (atau aminofilin), sedangkan interaksi lain (lihat lampiran 1),
mungkin kurang bermakna secara klinis. Famotidin, nizatidin, dan ranitidin tidak memiliki sifat
menghambat metabolisme obat seperti halnya simetidin.
 Monografi:

 FAMOTIDIN
 Indikasi:
 tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison (lihat keterangan di
atas)
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas
 Interaksi:
 Lampiran 1 (antagonis reseptor-H2) dan keterangan di atas.
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas; juga ansietas, anoreksia, mulut kering, cholestatic jaundiceyang sangat
jarang.
 Dosis:
 pengobatan tukak lambung dan duodenum 40 mg sebelum tidur malam; selama 4-8 minggu;
pemeliharaan (tukak duodenum) 20 mg sebelum tidur malam; Anak. Tidak dianjurkan.
Refluks esofagitis, 20-40 mg 2 kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan, 20 mg 2 kali sehari.
Sindroma Zollinger-Ellison (lihat keterangan di atas), 20 mg setiap 6 jam (dosis lebih tinggi pada
pasien yang sebelumnya telah menggunakan antagonis reseptor-H2 lain); dosis sampai 800 mg sehari
dalam dosis terbagi.

 FAMOTIDIN-ANTASIDA
 Keterangan:
 Lihat 1.1
 NIZATIDIN
 Indikasi:
 tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; juga hindari injeksi intravena secara cepat (risiko aritmia dan hipotensi
postural), gangguan fungsi hati.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (antagonis reseptor-H2) dan keterangan di atas
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas; juga berkeringat; hiperurisemia (jarang)
 Dosis:
 Oral: tukak lambung dan tukak duodenum atau tukak karena AINS, pengobatan 300 mg sebelum tidur
malam atau 150 mg 2 kali sehari selama 4-8 minggu: pemeliharaan 150 mg sebelum tidur
malam; Anak: tidak dianjurkan.
 Refluks esofagitis, 150-300 mg 2 kali sehari selama sampai 12 minggu.
 Infus intravena: untuk penggunaan jangka pendek pada tukak lambung pasien rawat inap sebagai
alternatif terhadap penggunaan oral, dengan cara infus intravena berselang (intermittent) selama 15
menit, 100 mg 3 kali sehari, atau dengan cara infus intravena berkesinambungan, 10 mg/jam,
maksimal 480 mg sehari; Anak: tidak dianjurkan.

 RANITIDIN
 Indikasi:
 tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis, tukak akibat AINS,
tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam
lambung akan bermanfaat.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; hindarkan pada porfiria
 Interaksi:
 Lampiran 1 (Antagonis reseptor - H2) dan keterangan di atas
 Kontraindikasi:
 penderita yang diketahui hipersensitif terhadap ranitidin
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas; takikardi (jarang), agitasi, gangguan penglihatan, alopesia, nefritis interstisial
(jarang sekali)
 Dosis:
 oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg pada malam
hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia episodik kronis, dan sampai 8 minggu pada
tukak akibat AINS (pada tukak duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4 minggu
untuk mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi); ANAK: (tukak lambung) 2-4 mg/kg bb 2 kali
sehari, maksimal 300 mg sehari. Tukak duodenum karena H. pylori, lihat regimen dosis eradikasi.
Untuk Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur
malam selama sampai 8 minggu, atau bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg
sehari dalam 2-4 dosis terbagi selama 12 minggu); pengobatan jangka panjang GERD, 150 mg 2 kali
sehari. Sindrom Zollinger-Ellison (lihat juga keterangan di atas), 150 mg 3 kali sehari; dosis sampai 6
g sehari dalam dosis terbagi.
 Pengurangan asam lambung (profilaksis aspirasi asam lambung) pada obstetrik, oral, 150 mg pada
awal melahirkan, kemudian setiap 6 jam; prosedur bedah, dengan cara injeksi intramuskuler atau
injeksi intravena lambat, 50 mg 45-60 menit sebelum induksi anestesi (injeksi intravena diencerkan
sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit), atau oral: 150 mg 2 jam sebelum
induksi anestesi, dan juga bila mungkin pada petang sebelumnya.
 Anak: Neonatus 2 mg/kg bb 3 kali sehari namun absorpsi tidak terjamin; maksimal 3 mg/kg bb 3 kali
sehari; Usia 1-6 bulan: 1 mg/kg bb 3 kali sehari (maks. 3 mg/kg bb 3 kali sehari); Usia 6 bulan-12
tahun: 2-4 mg/kg bb (maks. 150 mg) 2 kali sehari; Usia 12-18 tahun: 150 mg 2 kali sehari.
 Injeksi intramuskuler: 50 mg setiap 6-8 jam.
 Injeksi intravena lambat: 50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2
menit; dapat diulang setiap 6-8 jam.
 Anak. Neonatus: 0,5-1 mg/kg bb setiap 6-8 jam; Usia 1 bulan-18 tahun: 1 mg/kg bb (maks. 50 mg)
setiap 6-8 jam (dapat diberikan sebagai infus intermiten pada kecepatan 25 mg/jam).
 Infus intravena: 25 mg/jam selama 2 jam; dapat diulang setiap 6-8 jam.
 Anak. Neonatus: 30-60 mg microgram/kg bb/jam (maks. 3 mg/kg bb sehari); Usia 1 bulan-18 tahun:
125-250 mikrogram/kg bb/jam.
 Pemberian pada anak untuk injeksi intravena lambat dengan cara diencerkan hingga kadar 2,5 mg/mL
menggunakan glukosa 5%, natrium klorida 0,9% atau campuran natrium laktat. Diberikan selama
sekurang-kurangnya 3 menit. Untuk infus intravena, diperlukan pengenceran lebih lanjut.

 RANITIDIN BISMUTH SITRAT


 Indikasi:
 mengatasi tukak duodenum dan tukak lambung ringan; eradikasi H. pylori dan mencegah tukak
duodenum kambuhan, dalam kombinasi dengan klaritromisin atau amoksisilin.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; lihat juga pada Trikalium disitratobismuthat; gangguan fungsi ginjal (lihat
Lampiran 3)
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (Antagonis H2 Histamin) dan keterangan di atas
 Kontraindikasi:
 Kehamilan (lihat Lampiran 4); menyusui (lihat Lampiran 5); porfiria
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas; dapat membuat warna lidah lebih gelap atau menghitamkan feses; takikardi
(jarang), agitasi, gangguan penglihatan, alopesia, eritema multiforme, vaskulitis (sangat jarang)
 Dosis:
 Tukak duodenum atau tukak lambung ringan, 400 mg dua kali sehari, lebih disarankan diminum
bersama dengan makanan, selama 8 minggu pada tukak lambung ringan atau 4-8 minggu pada tukak
duodenum; Anak: tidak direkomendasikan.
 Eradikasi H. pylori, lihat regimen dosis eradikasi (1.3) atau 400 mg dua kali sehari dengan amoksisilin
500 mg, empat kali sehari (dua gram sehari) atau klaritromisin 250 mg, empat kali sehari atau 500 mg
tiga kali sehari (total dosis sehari, 1-1,5 g) selama dua minggu pertama dan diikuti dengan ranitidin
bismuth sitrat 400 mg, dua kali sehari; pengobatan dengan ranitidin bismuth sitrat sebaiknya
dilanjutkan selama total 4 minggu; pengobatan jangka panjang (pemeliharaan) tidak
direkomendasikan. (maksimum total lama pengobatan adalah 16 minggu dalam tiap 1
tahun); Anak: tidak direkomendasikan.
 Konseling: Mungkin membuat warna lidah lebih gelap dan menghitamkan feses. Pemberian dua kali
sehari dilakukan pada pagi dan sore hari.

 SIMETIDIN
 Indikasi:
 tukak lambung dan tukak duodenum jinak, tukak stomal, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison,
kondisi lain di mana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; injeksi intravena lebih baik dihindari (infus lebih baik) terutama pada dosis
tinggi dan pada gangguan kardiovaskuler (risiko aritmia);
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (antagonis-H2) dan keterangan di atas.
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas; juga alopesia; takikardia (sangat jarang), nefritis interstitial
 Dosis:
 oral, 400 mg 2 kali sehari (setelah makan pagi dan sebelum tidur malam) atau 800 mg sebelum tidur
malam (tukak lambung dan tukak duodenum) paling sedikit selama 4 minggu (6 minggu pada tukak
lambung, 8 minggu pada tukak akibat AINS); bila perlu dosis dapat ditingkatkan sampai 4 x 400 mg
sehari atau sampai maksimal 2,4 g sehari dalam dosis terbagi (misal: stress ulcer); anak lebih 1 tahun,
25-30 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi.
 Pemeliharaan, 400 mg sebelum tidur malam atau 400 mg setelah makan pagi dan sebelum tidur
malam. Refluks esofagitis, 400 mg 4 kali sehari selama 4-8 minggu.
 Sindrom Zollinger Ellison (tapi lihat keterangan di atas), 400 mg 4 kali sehari atau bisa lebih.
 Profilaksis tukak karena stres, 200-400 mg setiap 4-6 jam.
 Pengurangan asam lambung (profilaksis aspirasi asam; jangan menggunakan sirup), obstetrik 400 mg
pada awal melahirkan, kemudian bila perlu sampai 400 mg setiap 4 jam (maksimal 2,4 g sehari);
prosedur bedah 400 mg 90-120 menit sebelum induksi anestesi umum.
 Short bowel syndrome: 400 mg dua kali sehari (bersama sarapan dan menjelang tidur), disesuaikan
menurut respons.Untuk mengurangi degradasi suplemen enzim pankreatik, 0,8-1,6 g sehari dalam 4
dosis terbagi menurut respons 1-1,5 jam sebelum makan.
 Anak. Neonatus: 5 mg/kg bb 4 kali sehari; Usia 1 bulan-12 tahun: 5-10 mg/kg bb (maks. 400 mg) 4
kali sehari; Usia 12-18 tahun 400 mg 2-4 kali sehari.
 Injeksi intramuskuler: 200 mg setiap 4-6 jam.
 Injeksi intravena lambat (tetapi lihat peringatan di atas): 200 mg diberikan selama tidak kurang dari 5
menit; dapat diulang setiap 4-6 jam; bila diperlukan dosis besar atau terdapat gangguan
kardiovaskuler, dosis bersangkutan harus diencerkan dan diberikan selama 10 menit (infus lebih baik);
maksimal 2,4 g sehari.
 Infus Intravena: 400 mg dalam 100 mL natrium klorida 0,9 % infus intravena diberikan selama 0,5-1
jam (dapat diulang setiap 4-6 jam) atau dengan cara infus berkesinambungan pada laju rata-rata 50-
100 mg/jam selama 24 jam, maksimal 2,4 g sehari; Bayi di bawah satu tahun melalui injeksi intravena
lambat atau infus intravena, 20 mg/kg bb bobot badan sehari dalam dosis terbagi pernah
dilakukan: Anak lebih dari satu tahun, 25-30 mg/kg bb bobot badan sehari dalam dosis terbagi.
 Anak. (injeksi lambat atau infus intravena): Neonatus 5 mg/kg bb setiap 6 jam; Usia 1 bulan-12 tahun:
5-10 mg/kg bb (maks. 400 mg) setiap 6 jam; Usia 12-18 tahun: 200-400 mg setiap 6 jam.
 Pemberian untuk injeksi intravena pada anak tidak melebihi kadar 10 mg/mL dengan natrium klorida
0,9%, diberikan selama 10 menit; untuk infus intravena intermiten, diencerkan dengan glukosa 5%
atau natrium klorida 0,9%.

 1.3.2 Kelator dan Senyawa


Kompleks
 Trikalium disitratobismutat adalah suatu kelat bismut yang efektif dalam mengatasi tukak lambung
dan duodenum. Peran trikalium disitratobismutat pada regimen eradikasi Helicobacter pylori pada
pasien yang tidak respons terhadap regimen lini pertama dapat dilihat pada bagian 1.3
 Ranitidin bismut sitrat digunakan dalam pengobatan tukak lambung dan duodenum, dan dalam
kombinasi dengan dua antibakteri untuk eradikasi H. pylori (bagian 1.3).
 Sukralfat melindungi mukosa dari asam-pepsin pada tukak lambung dan duodenum. Sukralfat
merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat yang efeknya sebagai antasida
minimal. Obat ini sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien yang dirawat secara intensif
(Penting: dilaporkan adanya pembentukan bezoar). Sukralfat tidak dianjurkan digunakan pada anak di
bawah usia 15 tahun.
 Monografi:
 SUKRALFAT
 Indikasi:
 tukak lambung dan tukak duodenum
 Peringatan:
 gangguan ginjal (hindari bila berat); kehamilan dan menyusui; pemberian sukralfat dan nutrisi enteral
harus berjarak 1 jam
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (sukralfat)
PEMBENTUKAN BEZOAR. Adanya laporan mengenai pembentukan bezoar pada penggunaan
sukralfat. Oleh sebab itu penggunaan sukralfat harus berhati-hati pada pasien dengan penyakit yang
serius, terutama jika secara bersamaan juga mendapat nutrisi enteral atau pasien mengalami gangguan
pengosongan lambung.
 Efek Samping:
 konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan, gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi
hipersensitifitas, nyeri punggung, pusing, sakit kepala, vertigo, dan mengantuk, pembentukan bezoar
(lihat keterangan di atas).
 Dosis:
 tukak lambung dan duodenum serta gastritis kronis, 2 g 2 kali sehari (pagi dan sebelum tidur malam)
atau 1 g 4 kali sehari 1 jam sebelum makan dan sebelum tidur malam, diberikan selama 4-6 minggu
atau pada kasus yang resisten, bisa hingga 12 minggu; maksimal 8 g sehari; Profilaksis tukak akibat
stres (suspensi), 1 g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari). Anak di bawah 15 tahun, tidak dianjurkan.
 Saran: tablet dapat dilarutkan dalam 10-15 mL air, antasida tidak boleh diberikan setengah jam
sebelum atau sesudah pemberian sukralfat.

 TRIKALIUM
DISITRATOBISMUTAT (KHELAT
BISMUT)
 Indikasi:
 tukak lambung dan tukak duodenum ringan; lihat juga infeksi Helicobacter pylori(bagian 1.3)
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas;
 Interaksi:
 Lampiran 1 (trikalium disitratobismutat)
 Kontraindikasi:
 gangguan ginjal parah, kehamilan
 Efek Samping:
 dapat membuat lidah berwarna gelap dan feses kehitaman; mual dan muntah.
 Dosis:
 2 tablet 2 kali sehari atau 1 tablet 4 kali sehari; diminum selama 28 hari selanjutnya 28 hari lagi jika
diperlukan. Anak tidak direkomendasikan.
 Konseling. Ditelan dengan setengah gelas air; dua kali sehari diminum 30 menit sebelum makan pagi
dan 30 menit sebelum makan malam; empat kali sehari harus diminum sebagai berikut; dosis pertama
diminum 30 menit sebelum sarapan, dosis berikutnya pada makan siang dan makan malam, dan dosis
terakhir diberikan 2 jam setelah makan malam: Jangan diberikan bersamaan dengan susu; jangan
minum antasid setengah jam sebelum dan sesudah minum obat ini; dapat membuat lidah berwarna
gelap dan feses kehitaman.
 1.3.3 Analog Prostaglandin
 Misoprostol, suatu analog prostaglandin sintetik, memiliki sifat antisekresi dan proteksi, mempercepat
penyembuhan tukak lambung dan duodenum. Senyawa ini dapat mencegah terjadinya tukak karena
AINS. Penggunaannya paling cocok bagi pasien yang lemah atau sangat lansia di mana penggunaan
AINS tidak mungkin dihentikan.
 Monografi:

 MISOPROSTOL
 Indikasi:
 tukak lambung dan tukak duodenum, tukak karena AINS terutama pada pasien yang memiliki risiko
tinggi mendapat komplikasi tukak lambung, seperti lansia dan penyakit yang melemahkan
(debilitating). Diberikan selama terapi AINS. Namun, misoprostol tidak dapat mencegah tukak
duodenum pada pasien yang minum AINS.
 Peringatan:
 keadaan dimana hipotensi dapat mencetuskan komplikasi yang berat (misal penyakit serebrovaskuler,
penyakit kardiovaskuler)
 Kontraindikasi:
 kehamilan atau merencanakan hamil (meningkatkan tonus uterin) (lampiran 4),
 Penting: wanita usia subur. Lihat juga keterangan di bawah, dan wanita yang sedang menyusui
(Lampiran 5). Wanita usia subur. Misoprostol tidak boleh diberikan pada wanita usia subur, kecuali
bila pasien memerlukan terapi AINS dan berisiko tinggi terhadap terjadinya komplikasi tukak karena
AINS. Pada pasien seperti ini, misoprostol hanya digunakan bila pasien menggunakan kontrasepsi
yang efektif dan telah diberitahu risiko penggunaan misoprostol pada kehamilan.
 Efek Samping:
 diare (kadang-kadang dapat parah dan obat perlu dihentikan, dikurangi dengan memberikan dosis
tunggal tidak melebihi 200 mikrogram dan dengan menghindari antasida yang mengandung
magnesium); juga dilaporkan nyeri abdomen, dispepsia, kembung, mual dan muntah, perdarahan
vagina yang abnormal (termasuk perdarahaan intermenstrual, menorhagia, dan perdarahaan
pascamenopouse), ruam, pusing.
 Dosis:
 tukak lambung dan duodenum serta tukak karena AINS, 800 mcg sehari (dalam 2-4 dosis terbagi)
dengan sarapan pagi dan sebelum tidur malam; pengobatan harus dilanjutkan selama tidak kurang dari
4 minggu dan bila perlu dapat dilanjutkan sampai 8 minggu. Profilaksis tukak lambung karena AINS
dan tukak duodenum, 200 mcg 2-4 kali sehari bersama AINS. Anak tidak dianjurkan.

 REBAMIPID
 Indikasi:
 Tukak lambung dalam kombinasi dengan faktor inhibitor ofensif (penghambat pompa proton,
antikolinergik dan antagonis H2), gastritis.
 Peringatan:
 Lansia, kehamilan, menyusui, anak.
 Kontraindikasi:
 Hipersensitivitas.
 Efek Samping:
 Sangat jarang: leukopenia, granulositopenia, gangguan fungsi hati, peningkatan AST (SGOT), ALT
(SGPT), γ-GTP dan alkalin fosfatase, ruam, pruritus, eksem, konstipasi, rasa tidak nyaman pada
abdomen, diare, mual, muntah, mulas, nyeri ulu hati, nyeri abdomen, sendawa, gangguan pengecapan,
gangguan menstruasi, peningkatan BUN, udem, merasa benda asing pada faring. Frekuensi tidak
diketahui: syok, reaksi anafilaksis, trombositopenia, ikterus, urtikaria, kebas, pusing, mengantuk,
mulut kering, pembengkakan dan nyeri payudara, ginekomastia, induksi laktasi, palpitasi, demam,
muka memerah, lidah kebas, batuk, kesulitan bernapas, alopesia.
 Dosis:
 Oral: Tukak lambung. Kombinasi dengan faktor inhibitor ofensif. Dewasa, 100 mg 3 kali
sehari. Gastritis. Dewasa, 100 mg 3 kali sehari.

1.3.4 Penghambat Pompa Proton


Penghambat pompa proton, yaitu omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat sistem enzim
adenosin trifosfatase hidrogen-kalium (pompa proton) dari sel parietal lambung. Penghambat pompa proton
efektif untuk pengobatan jangka pendek tukak lambung dan duodenum. Selain itu, juga digunakan secara
kombinasi dengan antibiotika untuk eradikasi H. pylori.
Terapi awal jangka pendek dengan penghambat pompa proton merupakan terapi pilihan pada penyakit refluks
gastroesofagal dengan gejala yang berat; pasien dengan esofagitis erosif, ulseratif atau striktur yang ditegakkan
melalui pemeriksaan endoskopi juga biasanya memerlukan terapi pemeliharaan dengan penghambat pompa
proton.

Penghambat pompa proton juga digunakan untuk mencegah dan mengobati tukak yang menyertai penggunaan
AINS. Pada pasien yang perlu melanjutkan pengobatan dengan AINS setelah tukaknya sembuh, dosis
penghambat pompa proton tidak boleh dikurangi karena dapat memperburuk tukak yang tanpa disertai gejala.

Omeprazol efektif untuk pengobatan sindrom Zollinger-Ellison (termasuk untuk kasus yang resisten terhadap
pengobatan lainnya). Lansoprazol, pantoprazol dan rabeprazol juga diindikasikan untuk kondisi ini.
Peringatan: Penghambat pompa proton sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit
hati, kehamilan dan menyusui. Penghambat pompa proton dapat menutupi gejala kanker lambung ; perhatian
khusus perlu diberikan pada orang-orang yang menunjukkan gejala-gejala yang membahayakan (turunnya
berat badan yang signifikan, muntah yang berulang, disfagia, hematemesis atau melena), pada kasus-kasus
seperti ini penyakit kanker lambungnya sebaiknya dipastikan terlebih dahulu sebelum dimulai pengobatan
dengan penghambat pompa proton.
Efek samping: Efek samping penghambat pompa proton meliputi gangguan saluran cerna (seperti mual,
muntah, nyeri lambung, kembung, diare dan konstipasi), sakit kepala dan pusing. Efek samping yang kurang
sering terjadi diantaranya adalah mulut kering, insomnia, mengantuk, malaise, penglihatan kabur, ruam kulit
dan pruritus. Efek samping lain yang dilaporkan jarang atau sangat jarang terjadi adalah gangguan pengecapan,
disfungsi hati, udem perifer, reaksi hipersensitivitas (termasuk urtikaria, angioedema, bronko-spasmus,
anafilaksis), fotosensitivitas, demam, berkeringat, depresi, nefritis interstitial, gangguan darah (seperti
leukopenia, leukositosis, pansitopenia, trombositopenia), artralgia, mialgia dan reaksi pada kulit (termasuk
sindroma Stevens- Johnson, nekrolisis epidermal toksik, bullous eruption). Penghambat pompa proton, dengan
mengurangi keasaman lambung, dapat meningkatkan risiko infeksi saluran cerna.
Penggunaan pada anak. Hanya omeprazol yang dapat digunakan pada anak untuk pengobatan GERD dengan
gejala yang parah. Lansoprazol tidak dianjurkan digunakan pada anak.
Panduan untuk penggunaan penghambat pompa proton pada anak untuk indikasi
berikut:

 Refluks gastroesofagal digunakan hanya pada gejala yang berat (kurangi dosis
bila gejala berkurang) dan pada komplikasi penyakit dengan striktur, tukak,
atau pendarahan (dosis penuh harus dipertahankan).
 Tukak akibat AINS pada pasien yang memerlukan terapi AINS lebih lanjut–
untuk mengobati tukak, dapat digunakan penghambat pompa proton dosis
rendah.
Monografi:

ESOMEPRAZOL
Indikasi:
refluks gastroesofagal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD): terapi refluks esofagal erosif, pengobatan
jangka panjang pada pasien yang telah sembuh dari esofagitis untuk mencegah kekambuhan, terapi simtomatis
GERD; Regimen terapi kombinasi dengan antibakteri yang sesuai untuk eradikasi Helicobacter pylori dan
mengobati H. pylori terkait dengan tukak duodenum; Pasien yang memerlukan terapi AINS yang
berkesinambungan: mengobati tukak lambung terkait dengan terapi AINS, pencegahan tukak lambung dan
duodenum terkait dengan terapi AINS pada pasien dengan risiko, pasien dinyatakan dengan risiko disebabkan
oleh usianya (>60 tahun) dan riwayat tukak peptik dan terapi konkomitan dengan anti koagulan dan/atau
kortikosteroid.
Peringatan:
lihat catatan di atas, gagal ginjal (lampiran 3). Data keamanan pada kehamilan masih sangat terbatas,
pemberian pada wanita hamil hanya apabila pertimbangan manfaat melebihi risiko. Hindarkan pemberian
kepada wanita menyusui.

Interaksi:
Lampiran 1 (Penghambat pompa proton).

Kontraindikasi:
riwayat hipersensitifitas pada esomeprazol.

Efek Samping:
lihat catatan di atas, juga dilaporkan dermatitis.

Dosis:
Oral, GERD: terapi refluks esofagal erosif: 40 mg sekali sehari selama 4 minggu. Terapi tambahan selama 4
minggu dianjurkan untuk pasien yang esofagitisnya belum sembuh atau memiliki gejala yang menetap.
Esomeprazol 40 mg hanya diberikan untuk pasien dengan mukosa C dan D rusak (berdasarkan sistem
klasifikasi LA), derajatnya harus dipastikan melalui endoskopi atau diagnosa radiologi. Pasien GERD dengan
derajat esofagitis erosif derajat A dan B direkomendasikan untuk diobati esomeprazol 20 mg; Pengobatan
jangka panjang pada pasien yang telah sembuh dari esofagitis untuk mencegah kekambuhan: 20 mg sekali
sehari; Terapi simtomatis GERD: 20 mg sekali sehari pada pasien tanpa esofagitis. Jika kontrol gejala tidak
tercapai setelah 4 minggu, pasien harus diperiksa lebih jauh. Sekali gejala hilang, kontrol gejala selanjutnya
dapat dicapai dengan menggunakan regimen 20 mg sekali bila diperlukan; Regimen terapi kombinasi dengan
antibakteri yang sesuai untuk eradikasi H. pylori dan mengobati H.pylori terkait dengan tukak duodenum: 20
mg dikombinasikan dengan klaritromisin 500 mg, keduanya diberikan 2 kali sehari selama 7 hari. Pasien yang
memerlukan terapi AINS yang berkesinambungan: mengobati tukak lambung terkait dengan terapi AINS:
dosis lazim 20 mg sekali sehari dengan durasi terapi 4-8 minggu; Pencegahan tukak lambung dan duodenum
terkait dengan terapi AINS pada pasien dengan risiko: 20 mg sekali sehari.
Anak-anak: esomeprazol tidak dianjurkan diberikan pada anak.
Gangguan fungsi ginjal: tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal. Karena terbatasnya
penggunaan esomeprazol pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat, pemberian pada pasien ini harus
hati-hati.
Gangguan fungsi hati: tidak perlu penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi hati ringan hingga
sedang. Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati berat, tidak boleh melampaui dosis maksimum 20 mg.
Keterangan:
Konseling:
Oral: Telan seluruh tablet atau dilarutkan dalam air.
Injeksi: Injeksi intravena disuntikkan sekurang-kurangnya selama 3 menit atau melalui infus intravena,
penyakit refluks gastroesofagal, 40 mg satu kali sehari; gejala penyakit refluks tanpa esofagitis, 20 mg sehari,
dilanjutkan dengan pemberian oral jika mungkin.

LANSOPRAZOL
Indikasi:
tukak duodenum dan tukak lambung ringan, refluks esofagitis.

Peringatan:
lihat keterangan di atas.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (penghambat pompa proton)

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga dilaporkan alopesia, paraestesia, bruising, purpura, petechiae, lelah, vertigo,
halusinasi, bingung; jarang terjadi: ginekomastia, impotensi.
Dosis:
tukak lambung, 30 mg sehari pada pagi hari selama 8 minggu. Tukak duodenum, 30 mg sehari pada pagi hari
selama 4 minggu; pemeliharaan 15 mg sehari. Tukak lambung atau tukak duodenum karena AINS, 15-30 mg
sekali sehari selama 4 minggu, dilanjutkan lagi selama 4 minggu jika tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis,
15-30 mg sekali sehari.

Tukak duodenum atau gastritis karena H. pylori menggunakan regimen eradikasi (lihat 1.1).
Sindroma Zollinger-Ellison (dan kondisi hipersekresi lainnya), dosis awal 60 mg sekali sehari, selanjutnya
disesuaikan dengan respons; dosis harian sebesar 120 mg atau lebih dibagi menjadi 2 dosis.
Refluks gastroesofagal, 30 mg sehari pada pagi hari selama 4 minggu, diikuti 4 minggu berikutnya bila tidak
sepenuhnya sembuh; pemeliharaan 15-30 mg sehari.

Dispepsia karena asam lambung, 15-30 mg sehari pada pagi hari selama 2-4 minggu. Anak. Belum ada data
yang cukup mengenai penggunaan lansoprazol pada anak.

NATRIUM RABEPRAZOL
Indikasi:
lihat pada dosis tukak duodenum yang aktif, tukak lambung jinak yang aktif, simtomatis GERD dengan erosif
dan tukak.

Peringatan:
lihat keterangan di atas

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (penghambat pompa proton)

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; dilaporkan juga, batuk, faringitis, rinitis, asthenia, sindrom seperti influenza; nyeri
dada (kurang umum terjadi), sinusitis, bingung, infeksi saluran urin; stomatitis (jarang), ensefalopati pada
penyakit hati parah, anoreksia, peningkatan berat badan

Dosis:
tukak peptik, 20 mg sehari pada pagi hari selama 6 minggu, diikuti 6 minggu berikutnya jika tidak sembuh
sepenuhnya. Tukak duodenum, 20 mg sehari pada pagi hari selama 4 minggu, dilanjutkan 4 minggu berikutnya
bila tidak sembuh sepenuhnya.

Refluks gastroesofagal, 20 mg sekali sehari selama 4-8 minggu; pemeliharaan 10-20 mg sehari; pengobatan
simptomatik tanpa esofagitis, 10 mg sehari sampai 4 minggu, kemudian 10 mg sehari bila diperlukan.

Tukak peptik dan tukak duodenum akibat Helicobacter pylori, lihat pada regimen eradikasi.
Sindrom Zollinger-Ellison, dosis awal 60 mg sekali sehari disesuaikan menurut respon (maksimal 120 mg
sehari); dosis di atas 100 mg sehari diberikan dalam 2 dosis terbagi. Anak. Tidak dianjurkan.

OMEPRAZOL
Indikasi:
tukak lambung dan tukak duodenum, tukak lambung dan duodenum yang terkait dengan AINS, lesi lambung
dan duodenum, regimen eradikasi H. pylori pada tukak peptik, refluks esofagitis, Sindrom Zollinger Ellison.
Peringatan:
lihat keterangan di atas

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (penghambat pompa proton)

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga dilaporkan paraesthesia, vertigo, alopesia, ginekomastia, impotensi, stomatitis,
ensefalopati pada penyakit hati yang parah, hiponatremia, bingung (sementara), agitasi dan halusinasi pada
sakit yang berat, gangguan penglihatan dilaporkan pada pemberian injeksi dosis tinggi.

Dosis:
tukak lambung dan tukak duodenum (termasuk yang komplikasi terapi AINS), 20 mg satu kali sehari selama 4
minggu pada tukak duodenum atau 8 minggu pada tukak lambung; pada kasus yang berat atau kambuh
tingkatkan menjadi 40 mg sehari; pemeliharaan untuk tukak duodenum yang kambuh, 20 mg sehari;
pencegahan kambuh tukak duodenum, 10 mg sehari dan tingkatkan sampai 20 mg sehari bila gejala muncul
kembali.

Tukak lambung atau tukak duodenum karena AINS dan erosi gastroduodenum, 20 mg sehari selama 4 minggu,
diikuti 4 minggu berikutnya bila tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis pada pasien dengan riwayat tukak
lambung atau tukak duodenum, lesi gastroduodenum, atau gejala dispepsia karena AINS yang memerlukan
pengobatan AINS yang berkesinambungan, 20 mg sehari.

Tukak duodenum karena H. pylori menggunakan regimen eradikasi (lihat 1.3).


Sindrom Zollinger Ellison, dosis awal 60 mg sekali sehari; kisaran lazim 20-120 mg sehari (di atas 80 mg
dalam 2 dosis terbagi).
Pengurangan asam lambung selama anestesi umum (profilaksis aspirasi asam), 40 mg pada sore hari, satu hari
sebelum operasi kemudian 40 mg 2-6 jam sebelum operasi.

Penyakit refluks gastroesofagal, 20 mg sehari selama 4 minggu diikuti 4-8 minggu berikutnya jika tidak
sepenuhnya sembuh; 40 mg sekali sehari telah diberikan selama 8 minggu pada penyakit refluks gastroesofagal
yang tidak dapat disembuhkan dengan terapi lain; dosis pemeliharaan 20 mg sekalis sehari.

Penyakit refluks asam (Penatalaksanaan jangka panjang), 10 mg sehari meningkat sampai 20 mg sehari jika
gejala muncul kembali. Dispepsia karena asam lambung, 10-20 mg sehari selama 2-4 minggu sesuai respons.
Esofagitis refluks yang menyebabkan kondisi tukak yang parah (obati selama 4-12 minggu). ANAK di atas 1
tahun, berat badan 10-20 kg, 10 mg sekali sehari, jika perlu ditingkatkan menjadi 20 mg sekali sehari; Berat
badan di atas 20 kg, 20 mg sekali sehari jika perlu ditingkatkan menjadi 40 mg sehari; Pemberian harus
diawali oleh dokter anak di rumah sakit.

Anak. Neonatus 700 mcg/kg bb satu kali sehari, ditingkatkan jika perlu setelah 7-14 hari menjadi 1,4 mg/kg
bb, beberapa neonatus memerlukan hingga 2,8 mg/kg bb satu kali sehari; Usia 1 bulan-2 tahun: 700 mcg/kg bb
satu kali sehari, ditingkatkan jika perlu menjadi 3 mg/kg bb (maks. 20 mg) satu kali sehari; Berat badan 10-20
kg, 10 mg satu kali sehari ditingkatkan jika perlu menjadi 20 mg satu kali sehari (pada kasus refluks esofagitis
ulseratif yang parah, maks. 12 minggu dengan dosis lebih tinggi); Berat badan > 20 kg, 20 mg satu kali sehari
ditingkatkan jika perlu menjadi 40 mg satu kali sehari (pada kasus refluks esofagitis ulseratif, maks. 12 minggu
dengan dosis lebih tinggi).
Eradikasi H. pylori pada anak (dalam kombinasi dengan antibakteri, lihat 1.3): Usia 1-12 tahun, 1-2 mg/kg bb
(maks. 40 mg) satu kali sehari; Usia 12-18 tahun: 40 mg satu kali sehari.
Injeksi intravena diberikan selama 5 menit atau melalui infus intravena; profilaksis aspirasi asam, 40 mg
harus telah diberikan seluruhnya, 1 jam sebelum operasi. Refluks gastroesofagal, tukak duodenum dan tukak
lambung, 40 mg sekali sehari hingga pemberian oral dimungkinkan.
Anak. Injeksi intravena selama 5 menit atau dengan infus intravena: Usia 1 bulan-12 tahun: dosis awal 500
mikrogram/kg bb (maks. 20 mg) satu kali sehari, ditingkatkan menjadi 2 mg/kg bb (maks. 40 mg) jika
diperlukan.; Usia 12-18 tahun, 40 mg satu kali sehari.
Saran: Telan seluruh kapsul, larutkan tablet dalam air atau campur isi kapsul dengan sari buah atau yoghurt.

Pemberian pada anak: Oral, sama dengan dewasa.

Enteral: Buka kapsul omeprazol, larutkan omeprazol dalam sejumlah air secukupnya atau dalam 10 mL
Natrium Bikarbonat 8,4% (1mmol Na+/mL). Biarkan selama 10 menit sebelum diberikan.
Infus intermiten intravena, encerkan larutan rekonstitusi pada kadar 400 mikrogram/mL dengan glukosa 5%
atau Natrium Klorida 0,9%, berikan selama 20-30 menit.

PANTOPRAZOL
Indikasi:
Oral 20 mg: pengobatan jangka panjang penyakit refluks sedang dan berat, simtomatis Gastro Esophageal
Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks yang non erosif.
Oral 40 mg: terapi peningkatan gejala dan periode gangguan lambung dan usus halus yang memerlukan
penurunan sekresi asam lambung, tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis sedang dan berat,
dalam kombinasi dengan 2 antibiotik yang sesuai untuk eradikasi pada pasien H. pylori dengan tukak peptik
bertujuan untuk menurunkan kekambuhan tukak lambung dan duodenum yang disebabkan oleh
mikroorganisme, sindrom Zollinger-Ellison dan kondisi hipersekresi patologis lainnya.
Injeksi: tukak duodenum dan lambung; kasus inflamasi esophagus sedang dan berat; serta untuk terap kondisi
hipersekresi patologis yang terkait dengan sindrom Zollinger-Ellison atau kondisi neoplastik lainnya.
Peringatan:
lihat keterangan di atas; gangguan ginjal (lihat Lampiran 3)

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (penghambat pompa proton)

Kontraindikasi:
seharusnya tidak diberikan pada pasien yang hipersensitif pantoprazol

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; dilaporkan juga peningkatan trigliserida.
Dosis:
oral, tukak peptik, 40 mg sehari pada pagi hari selama 4 minggu, diikuti 4 minggu berikutnya bila tidak
sembuh sepenuhnya. Refluks gastroesofagal, 20-40 mg pada pagi hari selama 4 minggu, diikuti 4 minggu
berikutnya bila tidak sepenuhnya sembuh; pemeliharaan 20 mg sehari, ditingkatkan sampai 40 mg jika gejala
muncul kembali. Tukak duodenum, 40 mg sehari pada pagi hari selama 2 minggu, diikuti 2 minggu berikutnya
bila tidak sepenuhnya sembuh. Tukak duodenum yang disebabkan Helicobacter pylori, lihat regimen eradikasi.
Pencegahan tukak peptik dan tukak duodenum yang disebabkan AINS dengan peningkatan resiko komplikasi
gastroduodenum yang membutuhkan pemberian AINS berkesinambungan, 20 mg sehari. Untuk
sindrom Zollinger-Ellison (dan kondisi hipersekresi lainnya), dosis awal 80 mg sekali sehari dan disesuaikan
dengan respons (LANSIA: maksimal 40 mg sehari); dosis harian di atas 80 mg diberikan dalam 2 dosis
terbagi.
Injeksi intravena tidak lebih dari 2 menit atau dengan infus intravena, tukak duodenum, tukak lambung dan
refluks gastroesofagal sedang hingga berat, 40 mg sehari sampai pemberian oral dapat dilanjutkan lagi. Terapi
jangka panjang sindrom Zollinger-Ellison(dan kondisi hipersekresi lainnya), dosis awal 80 mg, selanjutnya
dosis dititrasi (naik atau turun) sesuai kebutuhan dengan panduan pengukuran asam lambung. Untuk dosis di
atas 80 mg, harus diberikan dalam dosis terbagi dan diberikan 2 kali sehari. Peningkatan dosis di atas 160 mg
untuk sementara waktu diperbolehkan, namun tidak boleh digunakan lebih lama dari yang dibutuhkan untuk
mengontrol asam lambung.
Dalam kasus yang memerlukan kontrol asam yang cepat, dosis awal 2 x 80 mg pantoprazol intravena cukup
untuk mengendalikan penurunan asam lambung hingga target kisaran (< 10 mEq/h) dalam 1 jam pada
kebanyakan pasien.

Anak: penggunaan pantoprazol oral maupun parenteral pada anak tidak dianjurkan.

1.4 Diare Akut


1.4.1 Larutan rehidrasi oral
1.4.2 Adsorben dan obat pembentuk massa
1.4.3 Antimotilitas
1.4.4 Lain-lain

Prioritas penanganan diare akut, termasuk gastroenteritis, adalah pencegahan atau penggantian cairan dan
elektrolit yang hilang. Hal ini penting khususnya pada bayi dan pada pasien yang lemah dan lansia. Untuk
lebih rinci mengenai sediaan rehidrasi, lihat bagian 9.2.1. Kehilangan cairan dan elektrolit yang berat
memerlukan perawatan segera di rumah sakit dan penggantian cairan dan elektrolit dengan segera.

Obat antimotilitas (1.4.3) meringankan gejala diare akut. Obat-obat ini digunakan dalam penanganan diare
akut tanpa komplikasi pada orang dewasa, penggantian cairan dan elektrolit mungkin diperlukan pada kasus
dehidrasi, namun obat antimotilitas tidak dianjurkan digunakan untuk diare akut pada anak di bawah 12 tahun.

Antispasmodik (bagian 1.2) kadang-kadang berguna dalam mengatasi kejang perut yang menyertai diare tetapi
tidak boleh digunakan sebagai pengobatan utama. Antispasmodik dan anti muntah sebaiknya
dihindarkan pada anak dengan gastroenteritis karena selain tidak efektif juga tidak jarang menimbulkan efek
samping.
Antibakteri umumnya tidak diperlukan pada gastroenteritis ringan karena keluhan biasanya teratasi segera
tanpa penggunaan obat tersebut. Infeksi bakteri sistemik memerlukan pengobatan sistemik yang sesuai, untuk
obat-obat yang digunakan pada infeksi enteritis campylobacter, shigellosis,dan salmonellosis, lihat bagian 5.1
tabel 5.1. Siprofloksasin kadang digunakan untuk profilaksis terhadap travellers diarrhea, tapi penggunaan
rutin tidak dianjurkan. Sedian Lactobacillus tidak efektif.
Kolestiramin dan campuran aluminium hidroksida, mengikat garam empedu yang tidak diabsorbsi dan
meringankan gejala diare pada gangguan atau reseksi ileum.
 1.4.1 Larutan Rehidrasi Oral
 1.4.2 Adsorben dan Obat Pembentuk Massa
 1.4.3 Antimotilitas
 1.4.4 Lain-Lain

 1.4.1 Larutan Rehidrasi Oral


 Lini pertama pengobatan diare akut, seperti pada gastroenteritis, ialah mencegah atau mengatasi
kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan, terutama pada bayi dan lansia. Uraian lebih rinci
tentang sediaan rehidrasi oral lihat bab 9.2.1. Dehidrasi adalah suatu keadaan di mana tubuh
kekurangan cairan yang dapat berakibat kematian terutama pada anak/bayi bila tidak segera diatasi.
Penilaian derajat dehidrasi pasien diare dapat dilihat pada Tabel 1.4. Pasien dengan dehidrasi berat
(terapi C) perlu segera dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penggantian cairan dan elektrolit.
Larutan rehidrasi oral tidak menghentikan diare tetapi mengganti cairan tubuh yang hilang bersama
feses. Dengan menggantikan cairan tubuh tersebut, dehidrasi dapat dihindarkan. Larutan rehidrasi oral
tersedia dalam bentuk serbuk untuk dilarutkan dan dalam bentuk larutan yang diminum perlahan-
lahan. Larutan rehidrasi oral menurut panduan WHO dan UNICEF yang dikeluarkan pada Desember
2006, mengandung kadar natrium dan glukosa yang lebih rendah daripada formula sebelumnya
(osmolaritas rendah, 245 mOsm/l dibanding dengan formula sebelumnya yang memiliki osmolaritas
311 mOsm/l). Dengan kadar Na dan glukosa yang lebih rendah, larutan rehidrasi oral formula baru
dapat mempercepat absorpsi cairan, mengurangi kebutuhan terapi cairan intravena, dan
mempermudah perawatan kasus diare akut non-kolera pada anak karena tidak memerlukan perawatan
rumah sakit. Menurut WHO dan UNICEF, pemberian larutan rehidrasi oral harus dikombinasi dengan
pemberian nutrisi yang tepat. Pemberian suplemen seng (20 mg seng per hari selama 10-14 hari) dan
tetap melanjutkan pemberian ASI selama episode akut diare akan melindungi anak terhadap dehidrasi
dan mengurangi konsumsi kalori dan protein sehingga memberikan efek yang sangat besar dalam
mengurangi diare dan malnutrisi pada anak.
 Tabel 1.3 Formula Larutan rehidrasi oral menurut panduan WHO dan UNICEF, Desember
2006
Komposisi dalam Gram/liter % Komposisi dalam mmol/liter
Natrium klorida 2,6 12,683 Natrium 75
Glukosa, anhidrat 13,5 65,854 Klorida 65
Kalium klorida 1,5 7,317 Glukosa, anhidrat 75
Kalium 20
Trisodium sitrat, anhidrat 2,9 14,146 Sitrat 10
Total 20,5 100,00 Total osmolaritas 245

Tabel 1.4 Penilaian derajat dehidrasi penderita diare
Tanpa Dehidrasi
Penilaian dehidrasi ringan/sedang Dehidrasi berat
Keadaan umum Baik Gelisah, rewel Lesu, tak sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung


Air mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut, lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum biasa Sangat haus Malas/tidak bisa


minum
Kekenyalan Normal Kembali lambat
kulit Kembali sangat
Rencana A Rencana B lambat
Terapi
Rancana C


Tabel 1.5 Takaran pemakaian larutan rehidrasi oral pada diare
<1 1-4 5-12
Umur tahun tahun tahun
Dewasa

Tidak ada
dehidrasi Setiap kali BAB beri larutan rehidrasi oral
Terapi A: 100 mL 200 mL 300 mL 400mL
Mencegah
dehidrasi (0,5 (2 gelas)
gelas) (1 gelas) (1,5 gelas)

Dengan
dehidrasi 3 jam pertama beri larutan rehidrasi oral
Terapi B: 300 mL 600 mL 1,2 Liter 2,4 Liter
Mengatasi
dehidrasi (1,5
gelas) (3 gelas) (6 gelas) (12 gelas)
Selanjutnya setiap BAB beri larutan
dehidrasi oral
Mengatasi 100 mL 200 mL 300 mL 400 mL
dehidrasi

(0,5
gelas) (1 gelas) (1,5 gelas) (2 gelas)
 BAB = Buang air besar.
 Monografi:
 LARUTAN REHIDRASI ORAL
 1.4.2 Adsorben dan Obat
Pembentuk Massa
 Adsorben seperti kaolin tidak dianjurkan untuk diare akut. Obat-obat pembentuk massa tinja seperti
ispaghula, metilselulosa, dan sterkulia (lihat bab 1.6.1) bermanfaat dalam mengendalikan konsistensi
tinja pada ileostomi dan kolostomi, dan dalam mengendalikan diare akibat penyakit divertikular.
 Monografi:

 KAOLIN, RINGAN
 Indikasi:
 diare, tetapi lihat keterangan di atas
 Peringatan:
 lihat Lampiran 1 (Antasida dan adsorben)
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (Antasida dan adsorben)

 ATTAPULGIT
 KARBO ABSORBEN
 1.4.3 Antimotilitas
 Obat-obat antimotilitas memiliki peranan dalam penanganan diare akut tanpa komplikasi pada pasien
dewasa tapi tidak pada anak-anak di bawah 12 tahun, lihat juga bagian 1.4.1. Pada kasus yang berat,
penggantian cairan dan elektrolit mutlak diperlukan. Keterangan mengenai peranan antimotilitas pada
diare kronis, lihat bagian 1.5.
 Monografi:

 CO-FENOTROP (CAMPURAN
DIDIFENOKSILAT
HIDROKLORIDA DAN ATROPIN
SULFAT 100:1)
 Indikasi:
 sebagai tambahan terhadap terapi rehidrasi pada diare akut (lihat keterangan di atas)
 Peringatan:
 lihat keterangan Kodein fosfat. Anak-anak khususnya rentan terhadap overdosis dan gejala-gejala
yang terjadi mungkin tertunda. Oleh sebab itu diperlukan pengamatan paling tidak selama 48 jam
setelah penggunaan. Dosis subklinis atropin dapat menimbulkan efek samping atropin pada individu
yang rentan atau pada overdosis.
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (Analgesik opioid)
 Kontraindikasi:
 lihat kodein fosfat; jaundice.
 Efek Samping:
 lihat kodein fosfat.
 Dosis:
 diawali dengan 4 tablet, dilanjutkan dengan 2 tablet setiap 6 jam hingga diare terkendali. Anak di
bawah 4 tahun tidak dianjurkan; 4-8 tahun 1 tablet 3 kali sehari; 9-12 tahun 1 tablet 4 kali sehari; 13-
16 tahun 2 tablet 3 kali sehari.

 KODEIN FOSFAT
 Indikasi:
 lihat keterangan di atas; penekan batuk (3.9); nyeri (4.7.2)
 Peringatan:
 lihat 4.7.2. Tidak dianjurkan untuk anak di bawah 12 tahun; toleransi dan ketergantungan dapat terjadi
pada penggunaan jangka panjang;
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (analgesik opioid)
 Kontraindikasi:
 lihat 4.7.2; juga pada kondisi di mana hambatan peristaltik harus dihindari, pada saat kejang perut,
atau kondisi diare akut seperti kolitis ulseratif akut atau kolitis akibat antibiotik.
 Efek Samping:
 lihat 4.7.2.
 Dosis:
 Diare akut, 30 mg, 3-4 kali sehari (antara 15-60 mg). Anak. 12-18 tahun: 30 mg (antara 15-60 mg) 3-4
kali sehari.

 LOPERAMID HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 pengobatan simptomatik diare akut sebagai tambahan terapi rehidrasi pada dewasa dengan diare akut
dan anak-anak lebih 4 tahun (lihat keterangan di atas); diare kronik hanya pada dewasa
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; penyakit hati; kehamilan (Lampiran 4)
 Interaksi:
 Lampiran 1 (loperamid)
 Kontraindikasi:
 kondisi di mana penghambatan peristaltik harus dihindari, terjadi kejang perut, atau pada kondisi
seperti kolitis ulseratif akut atau kolitis karena antibiotik.
 Efek Samping:
 kram abdomen, pusing, mengantuk dan reaksi kulit termasuk urtikaria; ileus paralitik dan perut
kembung
 Dosis:
 diare akut, dosis awal 4 mg diikuti dengan 2 mg setiap setelah buang air besar hingg maksimal 5 hari;
dosis lazim 6-8 mg sehari; Dosis tidak melebihi dari 16 mg sehari. ANAK di bawah 4 tahun, tidak
dianjurkan, 4-8 tahun 1 mg 3-4 kali sehari hingga maksimal 3 hari, 9-12 tahun 2 mg 4 kali sehari
hingga maksimal 5 hari. Diare kronik pada dewasa, dosis awal 4-8 mg, diikuti 2 mg setiap buang air
besar. Dosis tidak melebihi dari 16 mg sehari. Pemberian harus dihentikan bila tidak ada perbaikan
selama 48 jam.

 MORFIN
 Indikasi:
 untuk meredakan dan menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgetik non
narkotik yaitu nyeri akibat trombosis koroner, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut
pembuluh darah perifer, pulmoner atau koroner, perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan,
trauma misal luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas dan lihat Kodein fosfat.
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan di atas dan lihat Kodein fosfat
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas dan lihat kodein fosfat; sedasi dan risiko ketergantungan lebih besar.
 Dosis:
 dewasa: 60 mg setiap 8 jam atau 5-30 mg setiap 4 jam, sesuai kebutuhan. Hendaknya digunakan dosis
individual tergantung tingkat keparahan nyeri sesuai petunjuk dokter.

 1.4.4 Lain-Lain
 Monografi:

 RASEKADOTRIL
 Indikasi:
 pengobatan tambahan untuk diare pada pasien dewasa apabila terapi rehidrasi oral tidak cukup
 Peringatan:
 lihat pada dosis
 Kontraindikasi:
 hipersensitif terhadap rasekadotril, anak-anak
 Efek Samping:
 mengantuk, mual, muntah, konstipasi, pusing, sakit kepala dan kemerahan pada kulit
 Dosis:
 rasekadotril diberikan sebagai tambahan pada terapi rehidrasi oral atau parenteral pada pasien yang
telah mengalami dehidrasi atau diduga dehidrasi.
Untuk usia 15 tahun dan lebih, secara oral, pengobatan diawali dengan dosis tunggal 100 mg tanpa
memperhatikan waktu pemberian, selanjutnya diberikan kira-kira setiap 8 jam sampai diare berhenti.
Dosis harian tidak boleh melebihi 400 mg. Apabila gejala tetap ada lebih dari 7 hari maka pasien
harus berkonsultasi dengan dokter.
Lansia: tidak diperlukan penyesuaian dosis.
Tidak direkomendasikan untuk anak usia di bawah 15 tahun. Bila diare berlanjut lebih dari 3 hari dan
dalam kasus diare berat, adanya darah pada feses, demam atau muntah, diperlukan observasi dan
evaluasi lebih lanjut.

1.5 Gangguan Usus Kronis


Begitu dipastikan tumor, gejala gangguan usus kronis yang muncul pada pasien, memerlukan terapi khusus
termasuk penyesuaian makanan, terapi obat dan terapi pemeliharaan berupa asupan cairan

Inflammatory bowel disease


Chronic inflammatory bowel disease termasuk kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Penanganan yang efektif
memerlukan terapi obat, perhatian terhadap nutrisi, dan pada penyakit aktif kronik atau parah dilakukan
operasi. Aminosalisilat (sulfasalazin) dan kortikosteroid (hidrokortison, prednisolon) merupakan dasar dari
terapi obat.
Terapi kolitis ulseratif akut dan penyakit Crohn
Penyakit akut ringan hingga sedang yang menyerang rektum (proktitis) atau rektosigmoid (kolitis distal)
awalnya diobati dengan kortikosteroid yang bekerja lokal atau aminosalisilat; sediaan sabun dan supositoria
terutama berguna pada pasien yang mengalami kesulitan dalam menggunakan enema cairan.
Penyakit radang usus difus (Diffuse inflammatory bowel disease) atau penyakit yang tidak menunjukkan
respons terhadap terapi lokal memerlukan terapi sistemik oral; penyakit ringan yang menyerang kolon dapat
diatasi dengan aminosalisilat tunggal, sedangkan penyakit yang sedang atau tidak dapat ditangani biasanya
memerlukan terapi tambahan berupa kortikosteroid oral seperti prednisolon selama 4–8 minggu. Inflammatory
Bowel Disease (IBS) yang parah harus dibawa ke rumah sakit dan diterapi dengan injeksi kortikosteroid
intravena; terapi lain dapat berupa terapi cairan intravena, penggantian elektrolit, transfusi darah dan mungkin
juga, nutrisi parenteral dan antibiotik. Supervisi dokter spesialis diperlukan oleh pasien yang gagal
memberikan respon yang memadai terhadap terapi tersebut di atas.
Infliksimab telah disetujui untuk penanganan penyakit Crohn aktif berat pada pasien yang tidak memberikan
respon memadai terhadap terapi kortikosterod dan imunosupresan konvensional atau yang tidak toleran
terhadap obat-obat tersebut. Infliksimab juga diizinkan untuk penanganan fistulating Crohn’s disease yang
tidak dapat ditangani. Pada anak, manfaat pengobatan dengan infliksimab hanya pendek (6-8 minggu). Terapi
pemeliharaan dengan infliksimab sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang memberikan respon terhadap
tahapan induksi awal, interval dosis yang tetap mungkin lebih dibanding dosis yang berselang.
Metronidazol bisa memberikan manfaat pada terapi penyakit Crohn aktif yang melibatkan perianal, karena
aktivitas antibakterinya. Metronidazol pada dosis 0,6-1,5 g sehari dalam dosis terbagi telah digunakan; hal ini
biasanya diberikan selama 1 bulan tetapi tidak lebih dari 3 bulan, karena adanya kemungkinan terjadi neuropati
perifer. Antibakteri lain sebaiknya diberikan jika secara spesifik diindikasikan (misalnya sepsis yang terkait
dengan penyakit perianal dan fistulas) dan untuk mengatasi pertumbuhan bakteri yang berlebih pada usus
kecil.

Terapi pemeliharaan remisi kolitis ulseratif akut dan penyakit Crohn


Aminosalisilat sangat bermanfaat dalam pemeliharaan remisi kolitis ulseratif. Namun obat ini kurang efektif
untuk mempertahankan remisi penyakit Crohn; formulasi mesalazin oral diizinkan untuk penanganan jangka
panjang kelainan ileal. Kortikosteroid tidak sesuai untuk terapi pemeliharaan karena efek sampingnya.
Infliksimab diizinkan untuk terapi pemeliharaan penyakit Crohn (tapi lihat keterangan di atas).
Terapi pendukung Inflammatory Bowel Disease
Pasien IBS sebaiknya mengkonsumsi makanan kaya serat dan rendah residu. Selama fase remisi kolitis
ulseratif pasien IBS sebaiknya menghindari makanan kaya serat dan kemungkinan memerlukan antispasmodik.
Obat antimotilitas seperti kodein dan loperamid serta obat antispasmodik dapat memperburuk paralisis ileus
dan megakolon pada kolitis aktif, pengobatan inflamasi lebih dapat diterima.
Laksatif mungkin diperlukan pada proktitis. Diare yang disebabkan oleh kehilangan penyerapan garam
empedu (seperti pada gangguan ileal tahap lanjutan atau reseksi usus) dapat diperbaiki dengan kolestiramin
yang mengikat garam empedu.

Kolitis akibat antibiotika


Kolitis yang disebabkan oleh antibiotika (kolitis pseudomembran) terjadi karena kolonisasi Clostridium
difficile pada kolon. Hal ini umumnya terjadi setelah terapi dengan antibiotika. Biasanya kolitis ini mula
kerjanya akut, tetapi dapat berlangsung kronis; Kolitis merupakan efek yang berbahaya dari klindamisin,
sedangkan beberapa antibiotika tidak menyebabkan hal tersebut. vankomisin (lihat 5.1.8.3) oral
atau metronidazol (lihat 5.5.2) digunakan sebagai pengobatan khusus; vankomisin lebih dipilih untuk pasien
dengan kondisi yang parah.
Penyakit divertikuler
Penyakit divertikuler diatasi dengan makanan kaya serat dan obat-obat pembentuk massa. Antispasmodik
dapat mengatasi gejala kolik (lihat 1.2). Antibakteri hanya digunakan bila divertikula pada dinding
usus mengalami infeksi (atas rujukan spesialis). Obat-obat antimotilitas yang memperlambat motilitas usus,
misal kodein, difenoksilat, dan loperamid dapat memperburuk gejala-gejala penyakit divertikuler, oleh karena
itu obat- obat tersebut dikontraindikasikan.
Irritable Bowel Syndrome
Gejala IBS umumnya berupa nyeri, konstipasi, atau diare. Pada sebagian pasien, mungkin diperlukan
penanganan secara psikologis yang dapat disertai dengan pemberian antidepresan. Laksatif (pencahar; bagian
1.6) mungkin diperlukan untuk menghilangkan konstipasi. Obat antimotilitas (lihat 1.4.3) seperti loperamid
dapat mengurangi diare dan antispasmodik (lihat 1.2) dapat mengurangi nyeri. Opioid dengan kerja sentral
seperti kodein lebih baik dihindari karena memberi risiko ketergantungan.
Sindrom Malabsorpsi
Kondisi-kondisi tertentu memerlukan penanganan khusus dan juga pertimbangan gizi secara umum. Oleh
karena itu, penyakit coeliac (enteropati gluten) biasanya memerlukan diet bebas gluten dan insufisiensi
pankreas memerlukan suplemen pankreatin.
 1.5.1 Aminosalisilat
 1.5.2 Kortikosteroid
 1.5.3 Penghambat Sitokin
 1.5.4 Alergi Makanan
 1.5.5 Lain-Lain

 1.5.1 Aminosalisilat
 Sulfasalazin merupakan kombinasi dari asam 5-amino salisilat dan sulfapiridin. Sulfapiridin berfungsi
hanya sebagai pembawa ke tempat obat bekerja di kolon, namun tetap menimbulkan efek
samping. Golongan aminosalisilat yang lebih baru di antaranya mesalazin (asam 5-aminosalisilat),
balsalazid (prodrug asam 5-aminosalisilat) dan olsalazin (dimer asam 5-aminosalisilat yang bekerja
pada usus bagian bawah). Efek samping sulfasalazin yang terkait sulfonamid dapat dihindari, namun
asam 5-aminosalisilat dapat menyebabkan efek samping seperti gangguan darah (lihat rekomendasi di
bawah) dan Sulfasalazin juga menimbulkan fenomena lupoid.
 Peringatan: Aminosalisilat sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada gangguan ginjal (Lampiran 3),
selama kehamilan (lampiran 4) dan menyusui (lampiran 5); dapat terjadi gangguan darah (lihat
rekomendasi di bawah).
Kelainan darah
Hati-hati bila terjadi perdarahan yang tidak jelas penyebabnya, memar, purpura,
sakit tenggorokan, demam atau malaise selama minum obat ini, dan laporkan.
Hitung darah sebaiknya dilakukan dan pengobatan harus dihentikan segera bila
dicurigai terjadi diskrasia darah.
 Kontraindikasi: Aminosalisilat sebaiknya dihindari pada individu yang hipersentif terhadap salisilat.
 Efek samping: Efek samping aminosalisilat meliputi diare, mual, muntah, nyeri lambung,
memperburuk gejala kolitis, sakit kepala, reaksi hipersensitif (termasuk ruam dan urtikaria); efek
samping yang jarang terjadi adalah pankreatitis akut, hepatitis, miokarditis, perikarditis, gangguan
paru-paru (eosinofilia dan fibrosing alveolitis), neuropati perifer, gangguan darah (agranulositosis,
anemia aplastik, leukopenia, methemoglobinemia, lihat juga rekomendasi di atas), disfungsi ginjal
(nefritis interstisial, sindrom nefrotik), mialgia, artralgia, reaksi kulit (sindrom seperti lupus
erithematous, sindrom Stevens Johnson), alopesia.
 Monografi:

 MESALAZIN
 Indikasi:
 Inflammatory Bowel Disease (IBD) kronis pada rektum.
 Peringatan:
 penurunan fungsi ginjal atau hati (harus dilakukan pemantauan fungsi ginjal atau hati); kehamilan;
menyusui; lakukan rehidrasi cairan dan elektrolit jika pasien mengalami dehidrasi saat terapi.
 Interaksi:
 penggunaan bersama dengan obat yang bersifat nefrotoksik, AINS dan azatioprin meningkatkan risiko
gangguan fungsi ginjal. Penggunaan bersama dengan azatioprin atau 6-merkaptopurin meningkatkan
risiko diskrasia darah.
 Kontraindikasi:
 anak usia dibawah 15 tahun, riwayat hipersensitif terhadap mesalazin atau seperti golongan salisilat,
gangguan fungsi hati atau ginjal berat.
 Efek Samping:
 diare, mual, muntah, nyeri pada perut, sakit kepala, ruam.
 Dosis:
 rektum: dalam supositoria, 1 gram satu sampai dua kali sehari.

 SULFASALAZIN
 Indikasi:
 induksi dan pemeliharaan remisi pada kolitis ulseratif; penyakit Crohn yang aktif; dan artritis rematoid
(lihat 10.1.3).
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas, riwayat alergi; gangguan fungsi hati dan ginjal; defisiensi G6PD; status
asetilator lambat; risiko toksisitas hematologis dan hepatik (hitung jenis sel darah putih, hitung sel
darah merah dan platelet mula-mula dan setelah interval bulanan selama 3 bulan pertama, uji fungsi
hati dengan interval bulanan selama 3 bulan pertama); uji fungsi ginjal pada interval yang regular;
efek samping saluran cerna bagian atas umumnya muncul pada pemberian melebihi 4 g sehari;
porfiria.

Kelainan darah. Hati-hati bila terjadi perdarahan yang tidak jelas penyebabnya,
purpura, sakit tenggorokan, demam atau malaise selama minum obat ini,
laporkan. Pengobatan harus dihentikan segera bila dicurigai diskrasia darah.
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan di atas; hipersensitivitas terhadap salisilat dan sulfonamida; anak usia di bawah 2
tahun.
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas; juga kehilangan nafsu makan, demam, gangguan darah (termasuk Heinz
body anemia), anemia megaloblastik, reaksi hipersensitivitas (termasuk dermatitis eksfoliatif, nekrolisi
epidermal, pruritus, fotosensitivitas, anafilaksis, serum-sickness), komplikasi ocular (termasuk udem
periorbital), stomatitis, parotitis, ataksia, meningitis aseptis, vertigo, tinnitus, insomnia, depresi,
halusinasi, reaksi pada ginjal (termasuk proteinuria, kristal uria, haematuria), oligospermia, dan urin
berwarna oranye.
 Dosis:
 oral, serangan akut 1-2 g 4 kali sehari (lihat peringatan) sampai terjadi remisi (bila perlu dapat diberi
juga kortikosteroid), dilanjutkan ke dosis pemeliharaan 500 mg 4 kali sehari. Anak usia di atas 2
tahun, serangan akut 40-60 mg/kg bb sehari, pemeliharaan 20-30 mg/kg bb/hari.
Lewat anus, dalam supositoria, sendiri atau kombinasi dengan pengobatan oral 0,5-1 g pagi dan
malam setelah gerakan usus. Sebagai enemia, 3 g pada malam hari, dipertahankan sekurang-
kurangnya selama 1 jam.

 1.5.2 Kortikosteroid
 Monografi:

 HIDROKORTISON
 Indikasi:
 kolitis ulseratif, proktitis, proktosigmoiditis
 Peringatan:
 absorpsi sistemik dapat terjadi, lihat 6.3.2; penggunaan jangka panjang harus dihindari;
 Kontraindikasi:
 penggunaan bentuk sediaan enema atau foam pada obstruksi usus, perforasi usus besar dan fistula
yang ekstensif; dikontraindikasikan pada infeksi yang tidak diobati.
 Efek Samping:
 lihat bagian 6.3.2; iritasi lokal dapat juga terjadi
 Dosis:
 rektal; awalnya digunakan aplikasi 1 unit (hidrokortison asetat 125 mg), dimasukkan ke dalam rektum
satu atau dua kali sehari selama 2-3 minggu, selanjutnya sekali pada hari tertentu.

 PREDNISOLON
 Indikasi:
 kolitis ulseratif dan penyakit Crohn; indikasi lain, lihat 6.3.2
 Peringatan:
 lihat pada Hidrokortison dan 6.3.2
 Kontraindikasi:
 lihat pada Hidrokortison dan 6.3.2
 Efek Samping:
 lihat pada Hidrokortison dan 6.3.2
 Dosis:
 oral, dosis awal 20-40 mg sehari, dosis tunggal atau terbagi, sampai terjadi remisi, selanjutnya dosis
diturunkan bertahap.

 1.5.3 Penghambat Sitokin


 Infliksimab adalah antibodi monoklonal yang menghambat sitokin pro-inflammatory, tumour necrosis
factor α (TNF-α). Obat ini sebaiknya digunakan oleh spesialis dengan fasilitas resusitasi yang
memadai. Infliksimab digunakan untuk terapi penyakit Crohn yang parah dan tidak tertangani
atau fistulating Crohn’s disease pada anak. Infliksimab hanya digunakan bila terapi dengan obat
imunomodulator lainnya tidak berhasil atau tidak dapat ditoleransi dan pada anak yang tidak dapat
dioperasi.
 Monografi:

 INFLIKSIMAB
 Indikasi:
 lihat keterangan pada penyakit inflamasi usus; ankylosing spondylitis, rheumatoid arthritis (10.1.3)
 Peringatan:
 lihat 10.1.3; riwayat displasia atau kanker kolon. Reaksi hipersensitivitas: adanya risiko reaksi
hipersensitivitas yang tertunda, terjadi pada saat bebas obat lebih dari 16 minggu.
 Anak. Anak yang akan diterapi dengan infliksimab harus diperiksa tuberkulosis terlebih dahulu. Jika
menderita TB aktif harus diterapi dengan terapi standar anti TB minimal 2 bulan sebelum memulai
terapi infliksimab. Anak yang sudah mendapat terapi anti TB dapat diberikan infliksimab namun harus
dimonitor setiap 3 bulan untuk melihat kemungkinan terinfeksi kembali. Untuk anak dengan TB aktif
yang sebelumnya tidak diterapi dengan tepat, terapi anti TB harus selesai baru bisa dimulai terapi
infliksimab.
 Hipersensitivitas pada anak. Reaksi hipersensitivitas (termasuk demam, nyeri dada, hipotensi,
hipertensi, dispnea, pruritus, urtikaria, sindroma menyerupai serum sickness, angioedema, anafilaksis)
yang dilaporkan selama atau dalam 1-2 jam setelah pemberian infus (risiko terbesar pada infus
pertama dan kedua atau pada anak yang menghentikan obat imunosupresan lainnya). Semua anak
harus dimonitor dengan seksama selama 1-2 jam setelah pemberian infus dan peralatan resusitasi
harus disiapkan untuk penggunaan segera. Pemberian profilaksis antipiretik, antihistamin atau
hidrokortison dapat dilakukan. Tidak direkomendasikan untuk diberikan kembali setelah periode
bebas infliksimab setelah 16 minggu-risiko reaksi hipersensitivitas yang tertunda.
 Konseling. Anak dan keluarga harus diberi nasehat supaya segera pergi ke dokter jika terjadi gejala
reaksi hipersensitivitas atau terjadi gejala dugaan tuberkulosis (batuk menetap, berat badan turun, dan
demam).
 Interaksi:
 Lampiran 1 (infliksimab)
 Kontraindikasi:
 lihat 10.1.3
 Efek Samping:
 lihat 10.1.3
 Dosis:
 infus intravena, penyakit Crohn aktif berat, DEWASA di atas 18 tahun, awal 5 mg/kg bb kemudian
jika ada respon dalam 2 minggu setelah dosis awal, diberikan 5 mg/kg bb pada 2 minggu dan 6
minggu setelah dosis awal atau setelah dosis awal diberikan 5 mg/kg bb jika muncul kembali gejala.
 Fistulating Crohn's disease, Dewasa: di atas 18 tahun, dosis awal, 5 mg/kg bb, kemudian 5 mg/kg bb
pada 2 minggu dan 6 minggu setelah dosis awal. Kemudian jika ada respons, dapat dilanjutkan.
 Kolitis ulseratif aktif sedang hingga berat: Dewasa: di atas 18 tahun, awal 5 mg/kg bb, kemudian 5
mg/kg bb, pada 2 minggu dan 6 minggu setelah dosis awal, kemudian 5 mg/kg bb setiap 8 minggu;
Hentikan jika tidak ada respons dalam 14 minggu setelah dosis awal.

 1.5.4 Alergi Makanan


 Alergi dengan gejala klasik muntah, kolik dan diare yang disebabkan makanan tertentu seperti kerang
atau susu sapi sebaiknya dikendalikan dengan menghindari penyebab secara ketat. Kondisinya
sebaiknya dibedakan dari gejala intoleransi makanan sesaat pada anak dengan irritable bowel
syndrome. Natrium kromoglikat mungkin dapat bermanfaat sebagai tambahan disamping menghindari
makanan penyebab alergi.
 Monografi:

 NATRIUM KROMOGLIKAT
 Indikasi:
 alergi makanan (digabung dengan pembatasan makanan); asma (lihat 3.3); konjungtivitis alergi
(11.4.2); rinitis alergi (12.2.1)
 Efek Samping:
 kadang mual, kulit kemerahan, nyeri sendi
 Dosis:
 200 mg 4 kali sehari sebelum makan. ANAK 2-14 tahun 100 mg; kapsul harus ditelan seluruhnya atau
isi kapsul dilarutkan dalam air panas dan diencerkan dengan air dingin sebelum diminum. Dapat
ditingkatkan jika perlu setelah 2-3 minggu hingga maksimal 40 mg/kg bb sehari dan kemudian
dikurangi sesuai respons. Usia 14-18 tahun, 200 mg 4 kali sehari, dapat ditingkatkan jika perlu setelah
2-3 minggu hingga maksimal 40 mg/kg bb sehari dan kemudian dikurangi sesuai respons.

 1.5.5 Lain-Lain
 Di Indonesia juga beredar otilonium bromida untuk penanganan irritable bowel syndrome. Otilonium
bromida merupakan prototip dari kelas garam kuartener 2-aminoetil-N-benzoilamino-benzoat.
Kombinasi sifat antimuskarinik dan penghambat calcium-channel merupakan mekanisme kerjanya
yang utama.
 Monografi:

 OTILONIUM BROMIDA
 Indikasi:
 pengobatan irritable bowel syndrome dan pengobatan simptomatik pada nyeri dan gangguan
gastrointestinal yang berhubungan dengan spasmus otot polos.
 Peringatan:
 pemberian hendaknya hati-hati pada pasien glaukoma, hiperplasia prostat jinak, stenosis pilorik.
Walaupun pada hewan dilaporkan tidak menimbulkan efek embriotoksik, teratogenik atau mutagenik,
pada masa hamil dan menyusui pemberian hanya jika diperlukan dan di bawah pengawasan dokter.
 Kontraindikasi:
 hipersensitivitas terhadap otilonium bromida dan zat tambahan lainnya
 Efek Samping:
 pada dosis terapetik, tidak ada efek samping serius yang dilaporkan dan efek samping yang terjadi
antara lain mual, kelelahan, nyeri epigastrium, dan vertigo. Tidak menyebabkan efek samping yang
mirip efek atropin.
 Dosis:
 1 tablet, 2-3 kali sehari, sesuai petunjuk dokter.

1.6 Pencahar
1.6.1 Pembentuk massa feses
1.6.2 Stimulan
1.6.3 Pelunak feses
1.6.4 Pencahar osmotik
1.6.5 Larutan pembersih usus

Sebelum menganjurkan penggunaan pencahar, penting untuk dipastikan bahwa pasien mengalami konstipasi
dan konstipasi tersebut bukan merupakan gejala sekunder dari keluhan yang tidak terdiagnosis.

Penting juga dipahami oleh mereka yang mengeluh konstipasi bahwa frekuensi buang air besar bisa bervariasi
tanpa mengakibatkan bahaya.

Konstipasi adalah pembuangan tinja yang keras dengan frekuensi yang kurang dari biasanya. Hal ini perlu
dijelaskan kepada pasien.

Salah pengertian terhadap kebiasaan buang air besar tersebut umumnya memicu penggunaan pencahar secara
berlebihan. Penyalahgunaan pencahar dapat menyebabkan hipokalemia. Karena itu, pencahar sebaiknya
dihindari kecuali peregangan yang terjadi dapat memperberat penyakit (seperti angina) atau meningkatkan
risiko pendarahan rektum (misalnya hemoroid). Pencahar juga bermanfaat untuk obat yang menginduksi
konstipasi, untuk pengeluaran parasit setelah pemberian obat kecacingan, dan untuk membersihkan saluran
cerna sebelum proses pembedahan atau radiologi. Terapi konstipasi jangka panjang kadang kala diperlukan.

Anak. Penggunaan pencahar pada anak sebaiknya dihindari kecuali diresepkan oleh dokter yang ahli dalam
tata laksana konstipasi pada anak. Buang air besar yang jarang mungkin normal pada bayi yang masih
menyusu atau akibat kurangnya masukan cairan atau serat. Penundaan buang air besar lebih dari 3 hari dapat
meningkatkan rasa nyeri saat pengeluaran tinja yang keras sehingga mengakibatkan fisura ani dan kejang anus,
sampai kebiasaan menahan buang air besar.
Jika peningkatan asupan cairan dan serat tidak cukup memadai, pencahar osmotik seperti laktulosa atau
pembentuk massa tinja seperti metilselulosa mungkin dapat digunakan. Jika terdapat bukti retensi feses yang
ringan, penambahan suatu pencahar stimulan seperti senna mungkin membantu, tetapi dapat menyebabkan
kolik atau dengan adanya tinja yang terkumpul dalam rektum akan meningkatkan laju keluarnya tinja. Rujukan
ke rumah sakit mungkin diperlukan kecuali bila anak tersebut mampu mengeluarkan tinja secara spontan. Di
rumah sakit, penggunaan makrogol oral atau penggunaan enema atau supositoria dapat mengeluarkan tinja,
tetapi penggunaan sediaan rektal pada anak-anak sering membuat stress dan dapat menyebabkan penahanan
buang air yang berkepanjangan. Di rumah sakit, enema dapat diberikan di bawah sedasi yang dalam atau
sebagai penggantinya dapat dicoba larutan pembersih usus. Pada kasus yang berat atau bila anak merasa takut,
pengosongan manual di bawah anestesi mungkin lebih sesuai. Penggunaan pencahar stimulan jangka panjang
seperti senna atau natrium pikosulfat diperlukan untuk mencegah kambuhnya pengumpulan feses yang keras.
Para orang tua harus didorong untuk menggunakannya secara teratur selama berbulan-bulan; penggunaan yang
terputus mungkin dapat menyebabkan kekambuhan.

Wanita hamil Jika perubahan pola makan dan pola hidup gagal menangani konstipasi pasca kehamilan, dosis
sedang pencahar yang tidak diabsorbsi dapat digunakan. Pencahar pembentuk massa tinja sebaiknya dicoba
lebih dahulu. Pencahar osmotik, seperti laktulosa, dapat juga digunakan. Jika diperlukan efek stimulan dapat
diberikan bisakodil atau senna.
 1.6.1 Pembentuk Massa Feses
 1.6.2 Stimulan
 1.6.3 Pelunak Feses
 1.6.4 Pencahar Osmotik
 1.6.5 Larutan Pembersih Usus

 1.6.1 Pembentuk Massa Feses


 Pencahar pembentuk massa feses meringankan konstipasi dengan cara meningkatkan massa feses
yang merangsang peristaltik. Efeknya baru terlihat dalam beberapa hari, oleh karena itu pasien perlu
diberitahu akan hal ini.
 Pencahar pembentuk massa bermanfaat khususnya pada kasus konstipasi dengan feses yang sedikit
dan keras, tetapi sebenarnya tidak diperlukan kecuali bila asupan serat dalam makanan tidak dapat
ditingkatkan. Diet yang seimbang, termasuk asupan cairan dan serat yang cukup, bermanfaat dalam
mencegah konstipasi.
 Pencahar pembentuk massa bermanfaat dalam penanganan pasien dengan kolostomi, ilestomi,
hemoroid, fisura ani, diare kronis akibat penyakit divertikular, irritable bowel syndrome, dan sebagai
tambahan dalam kolitis ulseratif (lihat 1.5). Asupan cairan yang cukup harus dipertahankan untuk
menghindari obstruksi usus. Serat merupakan sediaan pembentuk massa yang paling efektif.
 Metilselulosa juga bekerja sebagai pelunak feses.
 Monografi:

 ISPAGHULA SEKAM
 Indikasi:
 konstipasi
 Peringatan:
 asupan cairan yang cukup harus dipertahankan guna menghindari obstruksi usus. Mungkin perlu
mengawasi pasien lansia atau yang lemah, atau pasien dengan penyempitan usus atau motilitas
berkurang.
 Kontraindikasi:
 kesulitan menelan, obstruksi usus, atoni kolon
 Efek Samping:
 perut kembung, penegangan perut, obstruksi saluran cerna, hipersensitivitas
 Dosis:
 1 sachet sehari dalam 1 gelas air dalam dosis terbagi 1-3 kali sehari sebelum atau sesudah
makan; Anak. di atas 6 tahun, setengah dosis dewasa atau kurang.
 Saran: sediaan ini mengembang bila kena air, maka harus hati-hati waktu menelan dengan air dan
tidak boleh diberikan segera sebelum tidur.

 1.6.2 Stimulan
 Pencahar stimulan meliputi bisakodil dan obat golongan antrakuinon, misalnya sena dan dantron.
Indikasi dantron terbatas karena potensi karsinogenik obat dan adanya bukti genotoksisitas. Stimulan
kuat seperti kaskara (antrakuinon) dan minyak jarak saat ini sudah tidak digunakan lagi. Natrium
dokusat bekerja sebagai stimulan dan pelunak feses.
 Pencahar stimulan bekerja dengan cara meningkatkan motilitas usus dan sering kali menyebabkan
kram perut. Tidak boleh digunakan pada obstruksi usus. Penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan diare dan efek terkait seperti hipokalemia, namun penggunaan jangka panjang dapat
dipertimbangkan pada keadaan tertentu (lihat bagian 1.6 untuk penggunaan pencahar stimulan pada
anak).
 Supositoria gliserol bekerja sebagai stimulan rektal berdasarkan aksi kerja gliserol sebagai iritan
ringan. Parasimpatomimetik betanekol, distigmin, neostigmin dan piridostigmin (lihat 7.4.1 dan
10.2.1) meningkatkan aktivitas parasimpatik pada usus dan meningkatkan motilitas usus. Obat-obat
ini tidak boleh digunakan bila obstruksi usus terjadi oleh sebab organik dan segera setelah
anastomosis usus.
 Pencahar stimulan lain
Sediaan kaskara, frangula, rhubarb (kelembak) dan sena, aloe dan lain-lain yang tidak dibakukan
sebaiknya dihindari karena kerja pencaharnya tidak dapat diperkirakan.
 Monografi:

 BISAKODIL
 Indikasi:
 konstipasi, tablet bekerja dalam 10-12 jam, supositoria bekerja dalam 20-60 menit; sebelum prosedur
radiologi dan bedah.
 Peringatan:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan, bedah perut akut, inflammatory bowel disease akut, dehidrasi
berat.
 Efek Samping:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan; tablet: gripping; supositoria, iritasi lokal.
 Dosis:
 oral: untuk konstipasi, 5-10 mg malam hari; kadang-kadang perlu dinaikkan menjadi 15-20 mg; anak-
anak (lihat juga 1.6) di bawah 10 tahun 5 mg.
Rektum: dalam supositoria untuk konstipasi, 10 mg pada pagi hari; anak-anak (lihat 1.6) di bawah 10
tahun 5 mg. Sebelum prosedur radiologi dan bedah, 10 mg oral sebelum tidur malam selama 2 hari
sebelum pemeriksaan dan jika perlu supositoria 10 mg 1 jam sebelum pemeriksaan; anak-anak
setengah dosis dewasa.

 DANTRON
 Indikasi:
 hanya untuk konstipasi pada pasien dengan sakit yang parah, pada semua usia
 Peringatan:
 lihat catatan pada pencahar stimulant; hindari kontak lama pada kulit (risiko iritasi dan ekskoriasi);
hindari pada kehamilan dan menyusui; studi pada roden menunjukkan risiko karsinogenik.
 Kontraindikasi:
 lihat catatan pada pencahar stimulan.
 Efek Samping:
 lihat catatan pada pencahar stimulan; urine mungkin berwarna merah.
 Dosis:
 dewasa, 25-75 mg sebelum tidur; anak-anak 25 mg sebelum tidur.

 GLISEROL
 Indikasi:
 konstipasi

 NATRIUM DOKUSAT (NATRIUM


DIOKTIL SULFOSUKSINAT)
 Indikasi:
 konstipasi (sediaan oral bekerja dalam 1-2 hari); tambahan pada prosedur radiologi abdomen.
 Peringatan:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan; jangan diberikan bersama parafin cair; sediaan rektal tidak
diindikasikan jika ada hemoroid atau fisura; wanita hamil (lihat lampiran 4), wanita menyusui (lihat
lampiran 5).
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan;
 Efek Samping:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan;
 Dosis:
 oral, konstipasi sampai dengan 500 mg sehari dalam dosis terbagi. Dengan barium 400 mg.

 NATRIUM PIKOSULFAT
 Indikasi:
 konstipasi, pengosongan usus sebelum prosedur radiologi abdomen, endoskopi dan bedah.
 Peringatan:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan, inflammatory bowel disease akut (hindari bila fulminan),
wanita menyusui (lihat Lampiran 5)
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan, dehidrasi berat.
 Efek Samping:
 lihat keterangan pada pencahar stimulan
 Dosis:
 dewasa, 5-15 mg malam hari; anak-anak 2-5 tahun 2,5 mg, 5-10 tahun 2,5-5 mg

 1.6.3 Pelunak Feses


 Parafin cair (pelicin klasik) menunjukkan beberapa risiko penggunaan (lihat di bawah). Pencahar
pembentuk masa feses (lihat 1.6.1) dan zat pembasah surfaktan non-ionik seperti natrium dokusat
(lihat 1.6.2) juga bersifat melunakkan feses. Obat-obat semacam itu bermanfaat pada pemberian
secara oral untuk prosedur hemoroid dan fisura. Gliserol (lihat 1.6.2) digunakan secara rektal.
 Enema yang mengandung minyak kacang melumas dan melunakkan feses serta meningkatkan gerakan
usus.
 Monografi:

 PARAFIN CAIR
 Indikasi:
 konstipasi
 Peringatan:
 hindari penggunaan jangka panjang
 Kontraindikasi:
 anak usia di bawah 3 tahun.
 Efek Samping:
 tirisan (rembesan) anal parafin menyebabkan iritasi anal setelah penggunaan jangka panjang, reaksi
granulomatosa disebabkan oleh absorpsi sedikit parafin cair (terutama dari emulsi), pnemonia lipoid
dan gangguan absorpsi vitamin-vitamin larut lemak.
 Dosis:
 10 mL pada malam hari bila perlu
Saran: tidak boleh digunakan sebelum tidur

 1.6.4 Pencahar Osmotik


 Pencahar osmotik bekerja dengan cara menahan cairan dalam usus secara osmosis atau dengan
mengubah penyebaran air dalam feses.
 Laktulosa adalah disakarida semisintetik yang tidak diabsorpsi dari saluran cerna. Senyawa ini
menyebabkan diare osmotik dengan pH feses yang rendah dan mengurangi proliferasi organisme
penghasil amonia. Karena itu laktulosa bermanfaat dalam pengobatan ensefalopati
hepatik. Laktitol merupakan disakarida sejenis.
 Makrogol merupakan polimer etilen glikol inert yang memerlukan cairan di usus besar. Pemberian
cairan dengan makrogol dapat menurunkan efek dehidrasi yang terkadang ditemukan pada pencahar
osmotik. Garam purgatif seperti magnesium hidroksida bermanfaat untuk penggunaan sesekali,
asupan cairan yang cukup sebaiknya dipertahankan. Garam magnesium bermanfaat bila diperlukan
pengosongan usus yang cepat. Garam natrium sebaiknya dihindari karena pada individu yang peka
dapat menimbulkan retensi air dan natrium. Enema fosfat bermanfaat untuk membersihkan usus besar
sebelum prosedur radiologi, endoskopi dan pembedahan.
 Monografi:

 GARAM MAGNESIUM
 Indikasi:
 konstipasi (magnesium hidroksida), pengosongan usus yang cepat sebelum prosedur radiologi
endoskopi dan bedah (magnesium sulfat)
 Peringatan:
 gangguan ginjal (risiko penumpukan magnesium); gangguan hati; lansia dan pasien yang lemah
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (garam magnesium)
 Kontraindikasi:
 kondisi penyakit saluran cerna akut
 Efek Samping:
 kolik
 Dosis:
 magnesium hidroksida: jika perlu 2-4 g sebagai 8% suspensi dalam air; magnesium sulfat: 5-10 g
dengan segelas air penuh sebelum makan pagi atau pada saat perut kosong (bekerja dalam 2-4 jam)

 LAKTULOSA
 Indikasi:
 konstipasi (bekerja dalam waktu 48 jam), ensefalopati hepatik (ensefalopati sistemik portal)
 Peringatan:
 intoleransi laktosa
 Kontraindikasi:
 galaktosemia, obstruksi usus
 Efek Samping:
 kembung, kram dan perut terasa tidak enak
 Dosis:
 konstipasi, mula-mula 10 g dua kali sehari kemudian disesuaikan menurut kebutuhan pasien; anak-
anak (lihat juga 1.4) di bawah 1 tahun 1,5 g dalam 25 mL larutan, 1-5 tahun 3 g dalam 5 mL larutan,
5-10 tahun 2 kali sehari.
Ensefalopati hepatik, 20-30 g 3 kali sehari kemudian disesuaikan sampai feses menjadi lunak, 2-3 kali
sehari.
Saran: serbuk dapat ditaruh di atas lidah dan dibasuh dengan air atau cairan lain atau ditebarkan pada
makanan, atau dicampur dengan air atau cairan lain sebelum ditelan.

1.6.5 Larutan Pembersih Usus


Larutan pembersih usus digunakan sebelum pembedahan kolon, kolonoskopi, atau pemeriksaan radiologi
untuk memastikan usus bebas dari feses. Larutan pembersih usus bukan merupakan terapi untuk mengatasi
konstipasi.

1.7 Hemoroid
Gatal-gatal, rasa nyeri dan ekskoriasi di anus dan perianus yang lazim dijumpai pada pasien hemoroid, fistulas
dan proktitis, sebaiknya diobati dengan salep dan supositoria (lihat 1.7.1). Pembersihan lokal dengan hati-hati
maupun penyesuaian diet guna menghindari feses yang keras, serta penggunaan pencahar pembentuk massa
feses (lihat 1.6.1) seperti bran dan diet residu tinggi juga bermanfaat. Pada proktitis, keadaan ini dapat
menambah pengobatan dengan kortikosteroid atau sulfasalazin (lihat 1.5).

Bila diperlukan sediaan topikal yang mengandung anestetik lokal (lihat 1.7.1) atau kortikosteroid (lihat
1.7.2) dapat digunakan dengan catatan tidak untuk infeksi jamur di sekitar anus. Infeksi jamur di sekitar anus
sebaiknya diobati dengan nistatin oral dan aplikasi lokal (5.8, 7.2.1 dan 13.10.2).
Sediaan untuk pengobatan hemoroid dibagi menjadi:
1.7.1 Sediaan pelembut
1.7.2 Sediaan kombinasi dengan kortikosteroid
1.7.3 Sklerosan rektal
1.7.4 Penatalaksanaan fisura ani

Untuk anak-anak dengan gatal-gatal dan rasa nyeri di anus, dianjurkan untuk menjaga kebersihan toilet,
penggunaan lap basah yang bebas alkohol, mandi teratur dan menghindari penggunaan zat-zat yang dapat
menyebabkan iritasi lokal.

Gatal pada anus yang disebabkan infeksi cacing diatasi dengan obat cacing. Pemberian parafin putih secara
topikal atau emolien dapat mengurangi iritasi pada anus yang disebabkan oleh cacing.

 1.7.1 Sediaan Pelembut


 1.7.2 Sediaan Kombinasi Dengan Kortikosteroid
 1.7.3 Sklerosan Rektal
 1.7.4 Penatalaksanaan Fisura Ani

 1.7.1 Sediaan Pelembut


 Sediaan pelembut mengandung astringen ringan seperti bismut subgalat, zink oksida dan hamamelis
dapat meringankan gejala-gejala hemoroid. Banyak sediaan antihemoroid juga mengandung pelicin,
vasokonstriktor atau antiseptik ringan.
 Anastetik lokal dapat digunakan untuk meringankan nyeri pada hemoroid dan gatal-gatal di sekitar
anus, meskipun bukti pendukungnya terbatas. Salep lidokain (lihat 15.2) digunakan sebelum
pengosongan usus untuk meringankan nyeri pada fisura anus. Anestetik lokal sebagai alternatif
meliputi tetrakain, sinkokain dan pramokain, namun ketiganya lebih bersifat iritan. Salep anestetik
lokal dapat diabsorpsi melalui mukosa rektal, karena itu penggunaan yang berlebihan
sebaiknya dihindari, terutama pada bayi dan anak. Salep tersebut sebaiknya digunakan hanya dalam
jangka waktu pendek (tidak lebih dari beberapa hari) karena dapat menyebabkan sensitasi kulit anus.
 Monografi:

 Bismuth Subgalat+Bismuth
Iodida+Bismuth Resorcin+Zink
Oksida
 Bismuth Subgalat+Zink
Oksida+Lidokain
 Polikresulen+Sinkokain
 Setrimida+Benzokain+Dibukain+Dif
enhidramin
 1.7.2 Sediaan Kombinasi Dengan
Kortikosteroid
 Kortikosteroid sering dikombinasi dengan anastetik lokal dan zat pelembut dalam sediaan untuk
hemoroid. Sediaan kombinasi ini cocok untuk penggunaan jangka pendek jika tidak ada infeksi seperti
herpes simpleks. Pemberian jangka panjang dapat menyebabkan atrofi kulit anus. Lihat 13.4 untuk
komentar umum mengenai kortikosteroid topikal dan 1.7.1 untuk komentar mengenai anestetik lokal.
 Anak. Hemoroid jarang terjadi pada anak. Terapi biasanya simtomatik dan penggunaan krim lokal
cocok untuk jangka pendek. Namun anestetik lokal dapat menyebabkan rasa pedih pada awal
pengolesan dan ini akan menyebabkan anak takut untuk buang air besar.
 Pemberian (kecuali dinyatakan lain), supositoria dimasukkan ke dalam anus pada malam dan pagi hari
serta setelah buang air besar. Demikian pula pengolesan salep dan krem rektal. Penggunaan tidak
boleh lebih dari 7 hari, anak tidak dianjurkan.
 Monografi:

 Lidokain Hidroklorida+Aluminium
subasetat+sengoksida+
Hidrokortison asetat
Setrimida+Benzokain+Lidokain+Pre

dnisolon
1.7.3 Sklerosan Rektal
Injeksi fenol dalam minyak digunakan untuk menginjeksi hemoroid terutama jika tidak prolaps. Efek
samping yang ditimbulkan iritasi dan nekrosis jaringan.

1.7.4 Penatalaksanaan Fisura Ani


Penanganan fisura ani memerlukan pelunak feses dengan meningkatkan asupan serat makanan dalam bentuk
bran atau dengan menggunakan pencahar pembentuk massa feses. Penggunaan jangka pendek sediaan anestesi
lokal dapat bermanfaat (bagian 1.7.1). Jika cara tersebut tidak mencukupi, pasien, termasuk pasien anak
dengan fisura ani kronik, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit untuk terapi lebih lanjut oleh dokter spesialis,
pembedahan atau penggunaan nitrat topikal (seperti salep gliseril trinitrat 0,4%) dapat dipertimbangkan.

1.8 Obat yang Mempengaruhi


Sekresi Usus
1.8.1 Obat yang mempengaruhi komposisi dan aliran empedu
1.8.2 Pengikat asam empedu
1.8.3 Pankreatin

 1.8.1 Obat yang Mempengaruhi Komposisi dan Aliran Empedu


 1.8.2 Pengikat Asam Empedu
 1.8.3 Pankreatinin

 1.8.1 Obat yang Mempengaruhi


Komposisi dan Aliran Empedu
 Batu empedu merupakan penyakit yang terjadi di saluran atau kandung empedu. Faktor pencetusnya
meliputi hiperkolesterolemia, penyumbatan saluran empedu, dan radang saluran empedu. Berdasarkan
komposisi kimianya, batu empedu dibedakan menjadi batu kolesterol atau batu kalsium bilirubinat.
 Penggunaan teknik laparoskopi dan endoskopi telah membatasi penggunaan obat pada penyakit batu
empedu. Terapi obat sesuai untuk pasien yang tidak dapat diobati dengan cara lain, yang gejalanya
ringan, fungsi kandung empedu tidak terganggu dan ukuran batu empedu radiolusen kecil sampai
sedang. Terapi obat tidak sesuai untuk batu yang radio-opak, yang tidak dapat larut. Pasien sebaiknya
diberi nasehat tentang upaya diet yang sesuai (termasuk menghindari kolesterol dan kalori berlebihan)
dan mereka memerlukan pemantauan radiologi. Pencegahan jangka panjang mungkin diperlukan
setelah batu empedunya larut dengan sempurna, karena batu empedu dapat terbentuk kembali sampai
dengan 25% pasien dalam satu tahun setelah obat dihentikan.
 Obat yang sering digunakan untuk membantu melarutkan batu empedu adalah asam
kenodeoksikolat dan asam ursodeoksikolat, yang bekerja mengurangi penjenuhan kolesterol
empedu dengan cara mengurangi sekresi kolesterol dan meningkatkan sekresi asam empedu.
 Asam ursodeoksikolat juga digunakan pada sirosis empedu primer, pemeriksaan hepar membaik pada
kebanyakan pasien namun manfaat secara keseluruhan belum dapat dipastikan.
 Monografi:

 ASAM KENODEOKSIKOLAT
 Indikasi:
 pelarutan batu empedu
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas
 Kontraindikasi:
 batu radio-opak, kehamilan (lihat Lampiran 2: kontrasepsi bukan hormonal harus digunakan oleh
perempuan usia produktif), kandung empedu tidak berfungsi, penyakit hati kronik, penyakit radang
dan kondisi lain dari usus halus dan kolon yang mengganggu entero-hepatik garam-garam empedu.
 Efek Samping:
 diare terutama pada dosis awal yang tinggi (kurangi dosis selama beberapa hari), gatal-gatal,
gangguan hati ringan dan transaminase serum naik sementara.
 Dosis:
 10-15 mg/kg bb/hari sebagai dosis tunggal menjelang tidur malam dan dalam dosis terbagi selama 3-
24 bulan (bergantung pada besarnya batu). Pengobatan diteruskan paling tidak selama 3 bulan setelah
batunya melarut. Dianjurkan melakukan diet kolesterol rendah (meningkatkan laju pelarutan batu
empedu sampai 2 kali lipat).

 ASAM URSODEOKSIKOLAT
 Indikasi:
 pelarutan batu empedu, sirosis empedu primer
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas
 Interaksi:
 Lampiran 1 (Asam Ursodeoksikolat)
 Kontraindikasi:
 batu radio-opak, batu kolesterol yang mengalami kalsifikasi, batu radiolusen, pigmen empedu;
kolesistitis akut yang tidak mengalami remisi, kolangitis, obstruksi biliar batu pankreas atau fistula
biliar gastrointestinal; kehamilan (lihat Lampiran 4), kandung empedu tidak berfungsi; penyakit
radang dan kondisi lain dari usus halus; kolon yang menganggu sirkulasi enterohepatik garam-garam
empedu; penderita dengan kalsifikasi batu empedu
 Efek Samping:
 mual, muntah, diare, kalsifikasi batu empedu; pruritus, ruam kulit, kulit kering, keringat dingin,
rambut rontok, gangguan pencernaan makanan, rasa logam, nyeri abdominal, kolesistitis, konstipasi,
stomatitis, flatulen, pusing, lelah, ansietas, depresi, gangguan tidur, atralgia, mialgia, nyeri punggung,
batuk, rinitis.
 Dosis:
 pelarutan batu empedu, 8-12 mg/kg bb sehari dalam dosis tunggal menjelang tidur atau dalam 2 dosis
terbagi sampai selama 2 tahun, obat diminum bersama dengan susu atau makanan; pengobatan
dilanjutkan selama 3-4 bulan setelah batunya melarut.
Sirosis empedu primer: 10-15 mg/kg bb sehari dalam 2-4 dosis terbagi.
Pemutusan pemberian asam ursodeoksikolat selama 4 minggu berarti pengobatan harus dimulai lagi
dari awal
 1.8.2 Pengikat Asam Empedu
 Kolestiramin merupakan resin penukar anion yang tidak diabsorpsi dari saluran cerna. Dapat
meringankan diare dan pruritus dengan membentuk senyawa kompleks dengan asam empedu dalam
usus yang tidak larut. Kolestiramin dapat mengganggu absorpsi sejumlah obat. Kolestiramin juga
digunakan pada hiperkolesterolemia (bagian 2.10).
 Monografi:

 KOLESTIRAMIN (RESIN
PENUKAR ANION)
 Indikasi:
 diare akibat penyakit Crohn, reseksi usus, vagotomi, neuropati vagal diabetik, dan radiasi; gatal-gatal
pada penyakit hati, dan hiperkolesterolemia, lihat 2.10.1
 Peringatan:
 lihat 2.10.1
 Kontraindikasi:
 lihat 2.10.1
 Efek Samping:
 lihat 2.10.1
 Dosis:
 diare, setelah introduksi awal selama 3-4 minggu, 12-24 g sehari dicampur dengan air (atau cairan lain
yang sesuai), dalam dosis tunggal atau 4 dosis terbagi, selanjutnya disesuaikan sebagaimana
diperlukan; maksimal 36 g sehari.
Saran: obat-obat lain harus diberikan sekurang-kurangnya 1 jam sebelum atau 4-6 jam setelah
kolestiramin guna mengurangi kemungkinan gangguan absorpsi

 1.8.3 Pankreatinin
 Pengganti enzim pankreas (suplemen pankreatin) diperlukan bila sekresi pankreas terganggu pada
kasus cystic fibrosis dan setelah pankreatektomi, gastrektomi, pankreatitis kronis. Pankreatin
membantu pencernaan karbohidrat, lemak, dan protein. Pankreatin juga mungkin diperlukan pada
tumor yang menghambat aliran keluar dari pankreas (misal kanker pankreatik).
 Pankreatin diinaktifkan oleh asam lambung, karena itu sebaiknya diberikan dengan makanan (atau
sesaat sebelum atau setelah makan). Sekresi asam lambung mungkin dapat dikurangi dengan
pemberian simetidin atau ranitidin satu jam sebelumnya (lihat 1.1.2). Penggunaan bersama antasida
juga mengurangi keasaman lambung. Sediaan salut enterik menghasilkan kadar enzim yang lebih
tinggi dalam usus duodeni.
 Karena pankreatin juga diinaktifkan oleh panas, maka panas yang berlebihan sebaiknya dihindari
ketika sediaan dicampur dengan cairan atau makanan. Campuran ini tidak boleh disimpan lebih dari
satu jam. Dosis disesuaikan menurut besar, jumlah dan konsistensi feses sampai pasien merasa
kondisinya membaik. Mungkin dosis perlu ditambah jika pasien mengkonsumsi makanan ringan
diantara jam makan.
 Pankreatin dapat mengiritasi kulit sekitar mulut (perioral) dan mukosa bukal jika tertahan dalam
mulut, dan dosis berlebihan dapat menyebabkan iritasi perianal. Efek samping yang paling sering
muncul adalah gangguan saluran cerna termasuk mual, muntah dan ketidaknyamanan perut,
hiperurisemia dan hiperurikosuria terjadi berkaitan dengan penggunaan dosis yang sangat besar.
Reaksi hipersensitivitas kadang- kadang terjadi dan dapat terjadi pada petugas yang menyiapkan obat.
 Monografi:

 PANKREATIN
 Indikasi:
 lihat keterangan di atas
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas
 Dosis:
 oral: dewasa dan anak 0,5-2 g sehari dalam dosis terbagi bersama makanan.
BAB 2 SISTEM KARDIOVASKULER
 2.1 Obat Inotropik Positif
 2.2 Aritmia
 2.3 Antihipertensi
 2.4 Anti Angina
 2.5 Diuretika
 2.6 Antikoagulan dan Protamin
 2.7 Antiplatelet
 2.8 Fibrinolitik
 2.9 Hemostatik dan Antifibrinolitik
 2.10 Hipolipidemik
 2.11 Syok dan Hipotensi
 2.12 Gangguan Sirkulasi Darah

2.1 Obat Inotropik Positif


2.1.1 Glikosida jantung
2.1.2 Penghambat fosfodiesterase

Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan kontraksi otot jantung (miokardium); untuk
simpatomimetik dengan aktivitas inotropik lihat bagian 2.11.1.

 2.1.1 Glikosida Jantung


 2.1.2 Penghambat Fosfodiesterase

 2.1.1 Glikosida Jantung


 Glikosida jantung meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium dan menurunkan konduktivitas di
atrioventricular (AV) node. Digoksin adalah glikosida jantung yang paling banyak digunakan.
 Glikosida jantung paling bermanfaat untuk pengobatan takikardi supraventrikel, terutama untuk
mengontrol respon ventrikular pada fibrilasi atrium yang menetap. Digoksin memiliki peran yang
terbatas dalam mengatasi gagal jantung kronik pada anak. Peran digoksin pada gagal jantung dapat
dilihat di bagian 2.3. Pada tata laksana fibrilasi atrium, dosis penunjang glikosida jantung biasanya
ditentukan berdasarkan kecepatan ventrikel pada saat istirahat yang seharusnya tidak boleh turun di
bawah 60 denyut per menit kecuali dalam keadaan khusus, misalnya pada pemberian bersama beta-
bloker. Pada anak-anak, dosis penunjang glikosida jantung untuk tata laksana atrial fibrilasi biasanya
dapat ditentukan berdasarkan kecepatan ventrikel paling rendah yang dapat diterima pada saat
istirahat.
 Saat ini digoksin jarang digunakan sebagai terapi pengaturan detak jantung yang harus segera
dilakukan (lihat bagian 2.2 untuk obat-obat yang digunakan pada aritmia). Meskipun digoksin dapat
diberikan secara intravena, munculnya respons tetap memerlukan waktu beberapa jam; gejala
takikardi yang menetap bukan merupakan suatu indikasi untuk pemberian dosis melebihi yang
dianjurkan. Tidak dianjurkan pemberian secara intra-muskular. Pada pasien dengan gagal jantung
ringan, dosis muatan (loading dose) tidak diperlukan, dan kadar digoksin dalam plasma yang
diharapkan dapat dicapai dalam waktu sekitar satu minggu dengan dosis sebesar 125 – 250 mcg dua
kali sehari, yang kemudian dapat diturunkan.
 Digoksin mempunyai waktu paruh yang panjang dan dosis penunjang hanya perlu diberikan sehari
sekali (meskipun dosis tinggi dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk mengurangi efek
mual). Digitoksin juga mempunyai waktu paruh yang panjang dan dosis penunjang hanya perlu
diberikan sehari sekali atau pada hari tertentu. Fungsi ginjal pasien merupakan faktor yang paling
menentukan dosis digoksin, meskipun eliminasi digitoksin bergantung pada metabolisme hati.
 Efek yang tidak diinginkan bergantung pada kadar glikosida jantung dalam plasma dan bergantung
juga pada sensitivitas dari sistem konduksi atau miokardium, yang sering meningkat pada penyakit
jantung. Kadang-kadang sulit untuk membedakan antara efek toksik obat atau perburukan kondisi
klinis karena gejalanya mirip. Selain itu, kadar plasma saja tidak dapat menandakan adanya toksisitas
namun hampir dapat dipastikan terjadi peningkatan risiko toksisitas jika kadar digoksin dalam plasma
mencapai 1,5-3 mcg/L. Glikosida jantung harus digunakan dengan sangat hati-hati pada lansia karena
meningkatnya risiko terjadi toksisitas digitalis pada kelompok pasien tersebut.
 Pemantauan secara teratur kadar plasma digoksin selama terapi pemeliharaan tidak diperlukan kecuali
bila diduga ada masalah. Hipokalemia dapat memicu terjadinya toksisitas digitalis. Seperti halnya
pada orang dewasa, perhatian khusus harus juga diberikan pada anak-anak yang menggunakan
diuretika bersama dengan glikosida jantung agar terhindar dari hipokalemia. Pada anak hipokalemia
juga dapat memicu terjadinya toksisitas digitalis.
 Toksisitas ini dapat diatasi dengan menghentikan penggunaan digoksin dan mengoreksi kondisi
hipokalemia dengan pemberian diuretika hemat kalium atau, jika diperlukan, suplemen kalium (atau
pada anak, dapat diberikan makanan yang kaya akan kalium). Manifestasi yang serius memerlukan
penatalaksanaan secara cepat dari dokter spesialis.
 Anak-anak. Dosis berdasarkan pada berat badan; anak-anak memerlukan dosis yang relatif lebih besar
dibanding dewasa.
 Monografi:

 DIGOKSIN
 Indikasi:
 Gagal jantung, aritmia supraventrikular (terutama fibrilasi atrium)
 Peringatan:
 Infark jantung baru; sindrom penyakit sinus; penyakit tiroid; kurangi dosis pada usia lanjut (lihat
lampiran 3); hindari hipokalemia dan pemberian intravena yang sangat cepat (nausea dan risiko
aritmia); gangguan fungsi ginjal; kehamilan (lihat lampiran 2).
 Interaksi:
 Digoksin dapat diadsorpsi bila diberikan bersama kolestiramin, kolestipol, kaolin/pektin atau karbo-
adsorbens. Karena itu pemberian digoksin harus berjarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah
pemberian obat-obat di atas. Pemberian bersama kinidin menaikkan kadar digoksin plasma sampai
sekitar 70-100%. Hal tersebut diperkirakan karena kinidin mengurangi klirens ginjal dan volume
distribusi digoksin (terjadi perpindahan digoksin dari otot skelet). Dengan demikian dosis digoksin
harus dikurangi sampai 50% dan dilakukan pemantauan kadar digoksin plasma. Verapamil, suatu
antagonis kalsium menunjukkan interaksi yang sama dengan kinidin.
 Obat antiaritmia yang lain seperti prokainamid, disopiramid, dan meksiletin tidak menunjukkan
interaksi seperti kinidin, lihat lampiran 1 (Glikosida jantung).
 Kontraindikasi:
 Blok jantung komplit yang intermiten; blok AV derajat II; aritmia supraventrikular karena
sindrom Wolf-Parkinson-White; takikardi atau fibrilasi ventrikular; kardiomiopati obstruktif
hipertrofik.
 Efek Samping:
 Biasanya karena dosis yang berlebihan, termasuk anoreksia, mual muntah, diare, nyeri abdomen,
gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capai, mengantuk, bingung, pusing; depresi; delirium,
halusinasi; aritmia, blok jantung; rash yang jarang; iskemi usus; ginekomastia pada pemakaian jangka
panjang; trombositopenia.
 Dosis:
 oral, untuk digitalisasi cepat: 1-1,5 mg/24 jam dalam dosis terbagi; bila tidak diperlukan cepat: 250 -
500 mcg sehari (dosis lebih tinggi harus dibagi).
 Dosis penunjang, 62,5–500 mcg sehari tergantung pada fungsi ginjal, dan pada fibrilasi atrial, pada
respon denyut jantung. Dosis penunjang biasanya berkisar 125–250 mcg/hari (pada usia lanjut 125
mcg/hari).
 Pada keadaan gawat darurat/akut, dosis muatan diberikan secara infus intravena, 250–500 mcg dalam
15–20 menit, diikuti dengan sisanya dalam dosis terbagi tiap 4-8 jam (tergantung dari respon jantung)
sampai total dosis muatan 0,5–1 mg tercapai. Bila memungkinkan dilakukan monitoring kadar plasma
digoksin, sampel darah diambil paling sedikit 6 jam setelah suatu dosis diberikan.
 Penggunaan:
 -

 DIGITOKSIN
 Indikasi:
 gagal jantung, aritmia supraventrikular, terutama fibrilasi atrium
 Peringatan:
 lihat pada digoksin
 Interaksi:
 lihat pada digoksin
 Kontraindikasi:
 lihat pada digoksin
 Efek Samping:
 lihat pada digoksin
 Dosis:
 Penunjang, 100 mcg sehari atau 2 hari sekali; bila perlu dapat dinaikkan sampai 200 mcg sehari
 Keterangan:
 Alkaloid lain dari digitalis yang mempunyai khasiat sama dengan digoksin, bedanya digitoksin lebih
larut dalam lemak dibanding dengan digoksin. Bioavailabilitas oral digitoksin mendekati 100%, waktu
paruhnya 4-7 hari, dan volume distribusinya 0,6 liter/kg. Indikasi, efek samping, dan interaksinya
tidak jauh berbeda dengan digoksin.

 2.1.2 Penghambat
Fosfodiesterase
 Obat-obat dalam golongan ini (milrinon dan enoksimon) merupakan penghambat enzim
fosfodiesterase yang selektif bekerja pada jantung. Manfaat yang terlihat setelah pemberian adalah
kondisi hemodinamik yang stabil, namun tidak terbukti memberikan manfaat terhadap kemampuan
bertahan hidup.
 Obat ini memiliki kerja inotropik positif dan vasodilatasi dan bermanfaat bagi bayi atau anak-anak
dengan curah jantung rendah terutama setelah operasi jantung. Penghambat fosfodiesterase harus
dibatasi hanya untuk penggunaan jangka pendek karena pemberian jangka panjang menyebabkan
peningkatan mortalitas pada orang dewasa dengan gagal jantung kongestif.
 Monografi:

 MILRINON
 Indikasi:
 gagal jantung akut, setelah bedah jantung; pengobatan jangka pendek gagal jantung berat yang tidak
responsif terhadap pengobatan konvensional (tidak segera setelah infark miokard).
 Peringatan:
 gagal jantung karena kardiomiopati hipertrofik, katup jantung stenotik atau obstruktif atau keadaan
obstruksi lainnya; perlu pemantauan tekanan darah, frekuensi jantung, EKG, tekanan vena sentral,
status cairan dan elekrolit , jumlah trombosit, fungsi hati dan ginjal; koreksi hipokalemia; kurangi
dosis pada gangguan fungsi ginjal; hindari terjadinya ekstravasasi; kehamilan dan menyusui.
 Efek Samping:
 denyut ektopik, takikardi ventrikular atau aritmia supraventrikular (lebih mudah pada pasien aritmia);
hipotensi; nyeri dada; sakit kepala; insomnia, mual dan muntah; diare; kadang-kadang menggigil,
oliguria, demam, retensi urin, nyeri di lengan dan tungkai, nyeri dada, tremor, bronkhospasme,
anafilaksis dan rash.
 Dosis:
 injeksi intravena lambat (selama 10 menit), diencerkan terlebih dahulu, 50 mcg/kg bb diikuti
dengan infus intravena 0,37-0,75 mcg/kg bb/menit biasanya sampai 12 jam setelah bedah jantung atau
selama 48-72 jam pada gagal jantung kongestif, dosis maksimal sehari 1,13 mg/kg bb.

 AMRINON
 Keterangan:
 Tidak dibahas di sini karena selektivitasnya lebih rendah, dan efek sampingnya lebih banyak
dibanding milrinon, juga potensinya 1/10 kali milrinon dan menyebabkan trombositopenia pada 10%
pasien (pada milrinon jarang terjadi)

2.2 Aritmia
2.2.1 Antiaritmia

 2.2.1 Antiaritmia

2.2.1 Antiaritmia
Obat-obat anti aritmia dapat diklasifikasikan secara klinik menjadi kelompok obat untuk aritmia supraventrikel
(misal verapamil), kelompok obat untuk aritmia supraventrikel maupun aritmia ventrikel (misal disopiramid),
dan kelompok obat untuk aritmia ventrikel (misal lidokain).

Obat-obat aritmia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan efeknya pada aktivitas listrik sel miokard:

Kelas Ia, b, c: obat-obat yang mensta- bilkan membran (misal berturut-turut kinidin, lidokain, flekainid).
Kelas II : beta-bloker.
Kelas III : amiodaron, dan sotalol (juga kelas II).
Kelas IV : antagonis kalsium (misal verapamil, tapi bukan golongan dihidropiridin).
Klasifikasi terakhir ini (klasifikasi Vaughan Williams) kurang dimanfaatkan dalam praktek klinik.
Peringatan. Efek inotropik negatif obat-obat antiaritmia cenderung saling
memperkuat. Oleh karena itu perlu perhatian khusus bila obat yang digunakan
dua atau lebih, terutama bila fungsi miokard terganggu. Sebagian besar atau
semua obat yang efektif dalam mengatasi aritmia dapat juga membuat aritmia
semakin memburuk pada beberapa kondisi tertentu; selain itu, hipokalemia
meningkatkan efek aritmogenik beberapa obat.
 Aritmia Supraventrikel
 Aritmia Supraventrikel dan Ventrikel
 Aritmia Ventrikel

 Aritmia Supraventrikel
 Adenosin merupakan obat pilihan untuk mengatasi takikardia supraventrikel paroksismal. Karena
masa kerjanya pendek sekali (waktu paruhnya hanya 8-10 detik, tapi lebih lama bila diberikan
bersama dipiridamol), kebanyakan efek sampingnya berlangsung singkat. Berbeda dengan verapamil,
adenosin dapat digunakan setelah beta-bloker. Pada asma, lebih dipilih verapamil daripada adenosin.
 Penggunaan pada anak. Adenosin tidak bersifat inotropik negatif sehingga tidak menyebabkan
hipotensi. Karena itu dapat digunakan pada anak dengan fungsi jantung yang terganggu atau aritmia
pasca operasi.
 Glikosida jantung oral (misal digoksin 2.1.1) memperlambat respons ventrikel pada kasus fibrilasi
dan fluter atrium. Digoksin infus intravena jarang efektif untuk mengendalikan kecepatan ventrikel
secara cepat. Pemberian glikosida jantung dikontraindikasikan pada aritmia supraventrikular yang
berhubungan dengan sindrom Wolff-Parkinson-White.
 Verapamil biasanya efektif untuk takikardia supraventrikel. Pemberian intravena awal dapat diikuti
dengan dosis oral; hipotensi dapat terjadi pada pemberian dosis yang lebih besar. Obat ini tidak boleh
digunakan untuk takiaritmia bila kompleks QRS lebar kecuali bila asal supraventrikelnya sudah
diketahui dengan pasti. Obat ini juga dikontraindikasikan pada fibrilasi atrium dengan preeksitasi
(misalnya sindrom Wolff-Parkinson-White). Obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan aritmia,
tanpa pertimbangan dokter spesialis jantung; beberapa aritmia supra-ventrikel pada anak dapat dipacu
oleh verapamil dengan akibat yang membahayakan.
 Pemberian beta-bloker secara intravena seperti esmolol atau propanolol dengan cepat dapat
mengendalikan kecepatan ventrikular. Obat-obat yang termasuk golongan antiaritmia supraventrikel
dan ventrikel adalah amiodaron, beta-bloker, disopiramid, flekainid, prokain-amid, propafenon
dan kinidin.
 Monografi:

 ADENOSIN
 Indikasi:
 mengembalikan dengan cepat takikardia supraventrikel paroksismal ke ritme sinus, termasuk yang
berhubungan dengan jalur tambahan (mis. sindrom Wolff-Parkinson-White); membantu diagnosis
takikardia supraventrikel kompleks yang luas maupun yang sempit.
 Peringatan:
 fibrilasi atau fluter atrium dengan jalur tambahan (konduksi melalui jalur tambahan tersebut dapat
meningkat); transplantasi jantung;
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (adenosin).
 Kontraindikasi:
 blok AV derajat 2 atau 3 dan sindrom gangguan sinus (kecuali bila digunakan pacu jantung); asma.
 Efek Samping:
 muka merah (transient), nyeri dada, sesak napas, bronkospasme, rasa tercekik, mual, kepala terasa
ringan, bradikardia berat; gangguan ritme (transient) pada EKG.
 Dosis:
 injeksi intravena cepat ke dalam vena sentral atau vena perifer yang besar, 3 mg selama 2 detik
dengan pantauan jantung; bila perlu diikuti dengan 6 mg setelah 1-2 menit, dan kemudian 12 mg
setelah 1-2 menit lagi; penambahan dosis jangan dilakukan bila terjadi blok AV derajat 2 atau lebih.
 Catatan. Dosis 3 mg tidak efektif pada sejumlah pasien, maka dosis awal yang lebih tinggi kadang-
kadang digunakan tapi pasien dengan transplantasi jantung sangat sensitif terhadap efek adenosin, dan
tidak boleh diberi dosis awal yang lebih tinggi. Juga bila perlu memberikan adenosin bersama
dipiridamol, dosis awal adenosin harus dikurangi menjadi 0,5-1 mg.

 VERAPAMIL HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 hipertensi.
 Peringatan:
 diketahui dengan pasti; hati-hati penggunaan pada penderita dengan penurunan transimisi
neuromuskuler. Hati-hati penggunaan pada Blok AV, hipotensi, bradikardi, penurunan fungsi hepar
berat, penyakit di mana transmisi neuromuskular terkena (miastenia gravis, sindroma Lambert-
Eaton, distropi otot Duchene lanjut). Efek verapamil pada konduksi nodus AV dan SA dapat
menyebabkan AV blok dan bradikardia sementara.
 Interaksi:
 Bila verapamil dikombinasikan dengan obat-obat kardiodepresan atau obat yang menghambat nodus
AV, misal beta bloker, kuinidin, maka dapat menyebabkan sinergisme; Pemberian bersamaan dengan
antihipertensi oral lainnya (seperti vasodilator, penghambat ACE, diuretika, beta bloker) akan
memperkuat efek penurunan tekanan darah; Penggunaan verapamil dapat meningkatkan kadar plasma
karbamazepin sehingga meningkatkan efek samping karbamazepin seperti diplopia, sakit kepala ,
ataksia, atau pusing; Penggunaan dengan rifampisin maupun fenobarbital akan meningkatkan
eliminasi verapamil sehingga menurunkan ketersediaan hayati verapamil oral.
 Kontraindikasi:
 Penderita hipersensitivitas, syok kardiogenik, infark miokard akut dengan komplikasi, AV blok
tingkat II-III (kecuali pada pasien dengan pacu jantung), sindroma sick sinus(kecuali pada pasien
dengan pacu jantung), gagal jantung kongestif, fluter atau fibrilasi atrium dengan jalur by pass (misal
sindroma Wolf-Parkinson-White, sindroma Lown-Gonong-Levine).
 Efek Samping:
 efek samping yang umum terjadi adalah: konstipasi, pusing, mual, hipotensi, sakit kepala, edema,
edema paru, fatigue, dispnea, bradikardia, AV blok, rash.
 Dosis:
 hipertensi, 240-480 mg sehari dalam 2-3 dosis terbagi. Injeksi intravena lambat selama 2 menit (3
menit pada usia lanjut), 5-10 mg (sebaiknya dengan pemantauan ECG); pada takiaritmia paroksimal
jika perlu 5 mg lagi setelah 5-10 menit.
 Angina, 80-120 mm 3 kali sehari; Hipertensi, 40 mg 3 kali sehari untuk penderita dengan respon
meingkat seperti pada penderita usia lanjut dan penurunan fungsi hati; Aritmia, penderita yang
mendapat digitalis: 240-320 mg dalam 3-4 dosis bagi; Penderita yang tidak mendapat digitalis: 240-
480 mg dalam 3-4 dosis bagi.

 Aritmia Supraventrikel dan


Ventrikel
 Amiodaron digunakan untuk pengobatan takikardia yang berkaitan dengan sindrom Wolff-Parkinson-
White. Obat ini digunakan untuk pengobatan aritmia lain bila obat-obat lain tidak efektif atau
dikontraindikasikan dan sebaiknya dimulai hanya di Rumah Sakit atau di bawah supervisi dokter
spesialis jantung. Obat ini digunakan untuk takikardi ventrikel paroksismal, takikardi nodus dan
ventrikel; fibrilasi dan fluter atrium, dan fibrilasi ventrikel. Obat ini dapat diberikan melalui infus
intravena maupun oral, keuntungannya adalah tidak atau hanya sedikit menyebabkan depresi miokard.
Amiodaron intravena bekerja relatif cepat dibanding amiodaron oral.
 Injeksi intravena amiodaron dapat digunakan dalam resusitasi jantung-paru untuk fibrilasi ventrikel
atau pulseless tachycardia yang tidak memberikan respon terhadap intervensi yang lain.
 Amiodaron mempunyai waktu paruh yang sangat panjang (sampai berminggu-minggu) dan hanya
perlu diberikan sekali sehari (tapi dosis besar dapat menyebabkan mual bila tidak diberikan dalam
dosis terbagi). Diperlukan waktu berminggu-minggu atau beberapa bulan untuk mencapai kadar tunak
(steady state) obat ini dalam plasma; hal ini terutama penting bila ada interaksi dengan obat lain (lihat
Lampiran 1).
 Kebanyakan pasien yang diberi amiodaron mengalami mikrodeposit yang reversibel di kornea yang
jarang mengganggu penglihatan tetapi bagi pengendara mobil pada malam hari mudah silau oleh
lampu besar. Namun, apabila penglihatan terganggu atau apabila terjadi neuritis optik maupun
neuropati optik, amiodaron harus dihentikan untuk mencegah kebutaan dan diperlukan nasihat dokter.
Karena adanya kemungkinan reaksi fototoksik, pasien disarankan untuk melindungi kulit dari cahaya
selama berbulan-bulan setelah menghentikan amiodaron dan disarankan untuk menggunakan
pelindung sinar matahari yang berspektrum lebar untuk melindungi kulit terhadap sinar ultraviolet dan
sinar yang visible (tabir surya) lihat 13.8.
 Amiodaron mengandung iodium dan dapat menyebabkan gangguan fungsi tiroid, baik hipotiroid
maupun hipertiroid. Penilaian secara klinis saja tidak cukup untuk dapat menentukannya dan
diperlukan uji laboratorium yang dilakukan tiap 6 bulan. Tiroksin (T 4) dapat meningkat tanpa adanya
hipertiroid, karena itu tri-iodotironin (T3), T4, dan thyroid-stimulating hormone (thyrotrophin,TSH)
sebaiknya semuanya diuji. Peningkatan T3 dan T4 dengan kadar TSH yang sangat rendah atau tidak
terdeteksi menunjukkan terjadinya tirotoksikosis. Tirotoksikosis bisa sangat sulit diatasi sehingga
amiodaron biasanya harus dihentikan untuk sementara agar mudah dikendalikan; mungkin diperlukan
pengobatan dengan karbimazol. Hipotiroid dapat diobati dengan terapi sulih tanpa menghentikan
amiodaron bila obat ini sangat diperlukan bagi pasien yang bersangkutan; namun diperlukan
pengawasan yang lebih hati-hati.
 Bila terjadi sesak napas atau batuk yang baru muncul dan memburuk harus selalu diduga terjadi
pneumonitis. Gejala neurologik yang baru muncul menunjukkan kemungkinan terjadinya neuropati
perifer.
 Amiodaron juga dihubungkan dengan hepatotoksisitas dan obat sebaiknya dihentikan bila terjadi
gangguan fungsi hati yang berat atau muncul tanda-tanda klinis penyakit hati.
 Beta bloker bekerja sebagai obat antiaritmia terutama dengan mengurangi efek sistem simpatis
terhadap automatisitas dan konduktivitas jantung (2.4.3). Sotalol digunakan untuk aritmia ventrikel.
Disopiramid intravena digunakan untuk mengendalikan aritmia yang terjadi setelah infark miokard
(termasuk aritmia yang tidak responsif terhadap lidokain), tapi obat ini mengganggu
kontraktilitas jantung.
 Disopiramid oral bermanfaat, tetapi efek antimuskariniknya membatasi penggunaannya pada pasien
glaukoma sudut sempit atau hipertrofi prostat.
 Flekainid termasuk dalam kelas yang sama dengan lidokain. Obat ini mungkin berguna untuk gejala
aritmia ventrikel yang serius, juga diindikasikan untuk takikardia yang melibatkan nodus AV dan
untuk fibrilasi atrium paroksismal. Sama dengan kuinidin, flekainid dapat menyebabkan aritmia yang
serius pada sebagian kecil pasien (bahkan bisa terjadi pada pasien dengan jantung yang normal).
 Prokainamid intravena dapat digunakan untuk mengatasi aritmia ventrikel.
 Propafenon digunakan untuk profilaksis dan pengobatan aritmia ventrikel dan juga untuk beberapa
aritmia supraventrikel. Mekanisme kerjanya kompleks, termasuk memiliki aktivitas seperti beta bloker
lemah (oleh karena itu harus hati-hati bila digunakan pada penyakit paru obstruktif–
dikontraindikasikan bila berat).
 Kinidin dapat mengurangi aritmia supraventrikel dan ventrikel. Kinidin sendiri dapat menyebabkan
gangguan ritme dan harus digunakan di bawah supervisi dokter spesialis jantung. Obat ini sekarang
jarang digunakan.
 Obat-obat untuk aritmia supraventrikel meliputi adenosin, glikosida jantung, dan verapamil. Obat-
obat untuk aritmia ventrikel adalah lidokain, meksiletin, dan fenitoin.
 Monografi:

 AMIODARON HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 lihat di atas (harus dimulai di rumah sakit atau di bawah supervisi dokter ahli jantung)
 Peringatan:
 uji fungsi hati dan fungsi tiroid diperlukan sebelum terapi dan kemudian tiap 6 bulan; kadar kalium
serum, sinar X toraks diperlukan sebelum terapi; gagal jantung, gangguan ginjal; usia lanjut,
bradikardia dan gangguan konduksi berat pada dosis berlebih; pemberian intravena dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang moderat dan transien (kolaps sirkulasi terjadi pada
pemberian yang cepat atau dosis berlebih) atau toksisitas hepatoselular berat (pantau transaminase
dengan teliti); porfiria.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (Amiodaron).
 Kontraindikasi:
 bradikardi sinus, blok SA; kecuali bila digunakan pacu jantung hindarkan pada gangguan konduksi
yang berat atau penyakit nodus SA; gangguan fungsi tiroid; kehamilan dan menyusui (lampiran 3);
sensitivitas terhadap iodium; hindari pemberian intravena pada gagal pernapasan yang berat, kolaps
sirkulasi, hipotensi arterial yang berat.
 Efek Samping:
 mikrodeposit di kornea yang reversibel (kadang-kadang dengan silau di malam hari), jarang gangguan
penglihatan akibat neuritis optik; neuropati perifer dan miopati (biasanya reversibel bila obat
dihentikan); bradikardia dan gangguan konduksi; fototoksisitas dan jarang pewarnaan kulit menjadi
abu-abu yang persisten; hipotiroidisme, hipertiroidisme; alveolitis paru yang difus, pneumonitis, dan
fibrosis; peningkatan transaminase serum (mungkin perlu penurunan dosis atau penghentian obat bila
disertai dengan penyakit hati akut); penyakit kuning, hepatitis dan sirosis; jarang mual, muntah, rasa
logam, gemetar, mimpi buruk, vertigo, sakit kepala, sukar tidur, rasa lelah, kepala botak, kesemutan,
tekanan intrakranial sedikit meningkat, impotensi, epididimoorkitis; rash (termasuk dermatitis
eksfoliatif), hipersensitivitas termasuk vaskulitis, gangguan ginjal dan trombositopenia; anemia
hemolitik atau aplastik; anafilaksis bila disuntikkan cepat, juga hipotensi, bronkospasme, berkeringat,
dan muka merah.
 Dosis:
 oral, 200 mg 3 kali sehari selama 1 minggu, 200 mg 2 kali sehari selama 1 minggu berikutnya; dosis
penunjang, biasanya 200 mg sehari atau dosis minimal yang diperlukan untuk mengendalikan aritmia.
Infus intravena via kateter vena sentral, 5 mg/ kg bb selama 20-120 menit dengan pantauan EKG;
maksimal 1,2 g dalam 24 jam.

 DISOPIRAMID
 Indikasi:
 aritmia ventrikel, terutama setelah infark miokard; aritmia supraventrikel.
 Peringatan:
 hentikan bila terjadi hipotensi, hipoglikemia, takikardia atau fibrilasi ventrikel atautorsades de
pointes; fluter atau takikardia atrium dengan blok parsial, blok cabang bundel His, gagal jantung
(hindari bila berat); pembesaran prostat; glaukoma; gangguan hati atau ginjal; kehamilan dan
menyusui.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (Disopiramid).
 Kontraindikasi:
 blok jantung derajat 2 atau 3 dan disfungsi SA (kecuali bila dipakai pacu jantung); syok kardiogenik;
gagal jantung berat yang tidak terkompensasi.
 Efek Samping:
 takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel atau torsades de pointes (biasanya disertai dengan pemanjangan
kompleks QRS atau interval QT), depresi miokard, hipotensi, blok AV; efek antimuskarinik (mulut
kering, penglihatan kabur, retensi urin); iritasi saluran cerna; psikosis, penyakit kuning kolestatik,
hipoglikemi.
 Dosis:
 oral, 300-800 mg sehari dalam dosis terbagi.
 Injeksi intravena lambat, 2 mg/kg bb selama paling sedikit 5 menit sampai maksimal 150 mg, dengan
pantauan EKG, segera diikuti dengan 200 mg oral, kemudian 200 mg tiap 8 jam selama 24 jam
atau infus intravena 400 mcg/kg bb/jam, maksimal 300 mg dalam jam pertama dan 800 mg sehari.

 KINIDIN
 Indikasi:
 supresi takikardia supraventrikel dan aritmia ventrikel (lihat di atas).
 Peringatan:
 dosis uji 200 mg untuk mendeteksi reaksi hipersensitivitas, penanganan khusus pada gagal jantung
tidak terkompensasi, blok jantung derajat pertama tau kedua, miokarditis, kerusakan miokard berat
dan pada miastenia gravis; kehamilan.
 Interaksi:
 lampiran 1 (Kinidin).
 Kontraindikasi:
 blok jantung.
 Efek Samping:
 lihat Prokainamid HCl; juga aritmia ventrikel, trombositopenia, anemia hemolitik; jarang hepatitis
granuloma; juga sinkonisme.
 Dosis:
 oral, kinidin sulfat 200-400 mg 3-4 kali sehari.
 Catatan: kinidin sulfat 200 mg = kinidin bisulfat 250 mg.

 PROKAINAMID HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 aritmia ventrikel, terutama setelah infark miokard, takikardia atrium.
 Peringatan:
 usia lanjut, gangguan hati atau ginjal, asma, miastenia gravis; kehamilan.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (Prokainamid).
 Kontraindikasi:
 blok jantung, gagal jantung, hipotensi; SLE; tidak diindikasikan untuk torsades de pointes (dapat
memperburuk); menyusui.
 Efek Samping:
 mual, diare, ruam kulit, demam, depresi miokard, gagal jantung, sindrom seperti SLE (Syndrome
resembling systemic lupus erythematosus), agranulositosis setelah pemakaian lama; psikosis dan
angioedema.
 Dosis:
 Injeksi intravena lambat, kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit, 100 mg dengan pantauan EKG,
diulang dengan interval 5 menit sampai aritmia teratasi; maksimum 1 g.
 Infus intravena, 500-600 mg selama 25-30 menit dengan pantauan EKG, diikuti dengan penunjang
dengan kecepatan 2-6 mg/menit, kemudian bila perlu secara oral seperti di atas, dimulai 3-4 jam
setelah infus.

 PROPAFENON HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 aritimia ventrikel, takiaritmia supraventrikel paroksismal, termasuk fluter atau fibrilasi atrium
paroksismal dan takikardia berulang paroksismal yang melibatkan AV nodeatau jalur tambahan, yang
tidak memberikan respons terhadap terapi standar atau dikontraindikasikan.
 Peringatan:
 gagal jantung, lansia, pasien yang menggunakan pacu jantung, sangat hati-hati pada pasien obstruksi
pernafasan akibat penggunaan beta bloker (dikontraindikasikan jika berat), gangguan fungsi hati
(lampiran 2), gangguan fungsi ginjal (lampiran 3), kehamilan (lampiran 4), menyusui (lampiran 5).
 Interaksi:
 lampiran 1 (propafenon).
 Kontraindikasi:
 gagal jantung kongestif yang tidak terkontrol, syok kardiogenik (kecuali jika terinduksi karena
aritmia), bradikardia berat, gangguan keseimbangan elektrolit, penyakit obstruksi paru berat, hipotensi
berat, miastenia gravis, gangguan konduksi atrium, disfungsi nodus sinus (kecuali yang dapat
dihindari dengan pacu jantung), AV blockderajat dua atau yang lebih berat, bundle branch block or
distal block.
 Efek Samping:
 efek antimuskarinik termasuk konstipasi, pandangan kabur, dan mulut kering; telah dilaporkan pusing,
mual dan muntah, letih, mulut terasa pahit, diare, sakit kepala, dan reaksi alergi kulit; hipotensi
postural, terutama pada lansia; bradikardi, sino-atrial, penghambatan atrioventrikel atau intraventrikel,
efek aritmogenik (pro-aritmia), jarang terjadi: reaksi hipersensitivitas (kolestasis, gangguan darah,
sindrom lupus), kejang; juga dilaporkan mioklonik.
 Dosis:
 Berat badan lebih dari atau sama dengan 70 kg, dosis awal 150 mg 3 kali sehari sesudah makan, di
rumah sakit, yang langsung diikuti dengan monitoring EKG dan tekanan darah (jika perpanjangan
interval QRS lebih dari 20%, dosis dikurangi atau dihentikan hingga EKG kembali ke normal); dosis
dapat ditingkatkan menjadi 300 mg 2 kali sehari, dengan interval waktu sekurangnya 3 hari dan jika
diperlukan, ditingkatkan menjadi maksimal 300 mg 3 kali sehari; Berat badan di bawah 70 kg, dosis
dikurangi; Lansia, dapat merespons dosis yang lebih rendah.

 Aritmia Ventrikel
 Lidokain (lignokain) relatif aman bila diberikan sebagai injeksi intravena yang diberikan dengan
lambat dan harus menjadi pilihan utama dalam keadaan darurat. Meskipun efektif dalam mengurangi
takikardia ventrikel dan mengurangi risiko terjadinya fibrilasi ventrikel setelah infark miokard, obat
ini tidak mengurangi mortalitas bila digunakan sebagai profilaksis dalam kondisi ini. Pada pasien
dengan gagal jantung atau hati, dosis perlu dikurangi untuk mencegah terjadinya konvulsi, depresi
SSP, atau depresi sistem kardiovaskular.
 Meksiletin diberikan sebagai injeksi intravena yang diberikan secara lambat bila lidokain tidak
efektif; obat ini mempunyai kerja yang serupa. Efek yang tidak diinginkan pada sistem kardiovaskular
dan SSP membatasi dosis yang dapat ditoleransi; mual dan muntah dapat menyebabkan dosis efektif
tidak dapat diberikan secara oral.
 Morasizin adalah obat baru untuk profilaksis dan pengobatan aritmia ventrikel yang serius dan
mengancam jiwa pada pasien yang kondisinya sudah stabil dengan pemberian morasizin.
 Obat-obat baik untuk aritmia supraventrikel dan ventrikel meliputi amiodaron, beta bloker,
disopiramid, flekainid, prokainamid, propafenon dan kinidin.
 Monografi:

 FENITOIN NATRIUM
 Indikasi:
 aritmia (lihat keterangan di atas); untuk penggunaan pada epilepsi (lihat 4.8.1).
 Peringatan:
 lihat 4.8.1
 Kontraindikasi:
 Bradikardi sinus; blok SA; blok jantung derajat 2 dan 3; sindrom Stokes Adams.
 Efek Samping:
 lihat 4.8.1.
 Dosis:
 aritmia, injeksi intravena lewat kateter vena sentral, 3,5-5 mg/kg bb pada kecepatan tidak lebih dari 50
mg/menit, dengan pemantauan tekanan darah dan EKG; ulangi sekali lagi jika perlu (jarang
dipakai, lihat keterangan di atas).

 LIDOKAIN HIDROKLORIDA
(Lignokain hidroklorida)
 Indikasi:
 aritmia ventrikel, terutama setelah infark miokard.
 Peringatan:
 dosis lebih rendah pada gagal jantung kongestif, pada gagal hati, gagal ginjal dan setelah bedah
jantung; usia lanjut; kehamilan.
 Interaksi:
 lampiran 1 (Lidokain).
 Kontraindikasi:
 gangguan nodus SA, semua derajat blok AV, depresi miokard yang berat; porfiria.
 Efek Samping:
 pusing, kesemutan, atau mengantuk (terutama bila injeksi terlalu cepat); efek SSP lainnya (bingung,
depresi pernapasan dan konvulsi); hipotensi dan bradikardia (sampai terjadi henti jantung);
hipersensitivitas.
 Dosis:
 injeksi intravena, pada pasien tanpa gangguan sirkulasi yang berat, 100 mg sebagai bolus selama
beberapa menit (50 mg pada pasien dengan BB lebih ringan atau pasien dengan gangguan sirkulasi
yang berat), segera diikuti dengan infus 4 mg/menit selama 30 menit, 2 mg/menit selama 2 jam,
kemudian 1 mg/menit; kadarnya dikurangi lagi bila infusnya dilanjutkan lebih dari 24 jam (pantauan
EKG dan supervisi dokter ahli jantung).
 Keterangan:
Penting. setelah injeksi intravena, lidokain masa kerjanya pendek (berakhir
dalam 15-20 menit). Bila infus intravena tidak segera tersedia, injeksi intravena
awal 50-100 mg dapat diulangi bila perlu 1 kali atau 2 kali dengan interval tidak
kurang dari 10 menit).

 MEKSILETIN HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 Aritmia ventrikel, terutama setelah infark miokard.
 Peringatan:
 gangguan hati, pemantauan ketat pada awal terapi (termasuk EKG, tekanan darah); kehamilan.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (Meksiletin).
 Kontraindikasi:
 bradikardi, syok kardiogenik, blok AV derajat tinggi (kecuali bila digunakan pacu jantung).
 Efek Samping:
 mual, muntah, konstipasi, diare, bradikardi, hipotensi fibrilasi atrium, palpitasi, gangguan konduksi,
eksaserbasi aritmia, torsades de pointes; mengantuk, bingung, konvulsi, gangguan kejiwaan, disartria,
ataksia, kesemutan, nistagmus, tremor; jaundice, hepatitis, rash, sindrom Stevens-Johnsons, gangguan
darah; lihat juga keterangan di atas.
 Dosis:
 oral, dosis awal 400 mg (mungkin ditingkatkan sampai 600 mg jika analgesik opioid juga diberikan),
setelah 2 jam diikuti dengan 200-250 mg 3-4 kali sehari.
 Injeksi intravena, 100-250 mg dengan kecepatan 25 mg/menit dengan pantauan EKG diikuti dengan
infus 250 mg dalam larutan 0,1% selama 1 jam, 125 mg/jam untuk 2 jam, kemudian 500 mcg/menit.

2.3 Antihipertensi
2.3.1 Vasodilator
2.3.2 Penghambat saraf adrenergik
2.3.3 Alfa-bloker
2.3.4 Beta-bloker
2.3.5 Penghambat ACE
2.3.6 Antagonis reseptor angiotensin II
2.3.7 Antihipertensi kerja sentral
2.3.8 Lain-lain

Menurunkan tekanan darah yang meningkat dapat menurunkan frekuensi stroke, kejadian koroner, gagal
jantung, dan gagal ginjal. Kemungkinan penyebab hipertensi (misalnya penyakit ginjal, penyebab endokrin),
faktor pendukung, faktor risiko, dan adanya beberapa komplikasi, seperti hipertrofi ventrikel kiri harus
ditegakkan. Pasien sebaiknya disarankan untuk merubah gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah maupun
risiko kardiovaskuler; termasuk menghentikan merokok, menurunkan berat badan, mengurangi konsumsi
alkohol yang berlebih, mengurangi konsumsi garam, menurunkan konsumsi lemak total dan jenuh,
meningkatkan latihan fisik (olahraga), dan meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Hipertensi pada anak dan
remaja memberikan pengaruh yang besar pada kesehatannya di masa dewasa.

Hipertensi berat jarang terjadi pada neonatus namun dapat muncul dengan gejala gagal jantung kongesti
dengan penyebab yang paling sering adalah gangguan ginjal dan dapat juga diikuti dengan kerusakan emboli
arteri.

Indikasi antihipertensi pada anak-anak meliputi hipertensi simtomatik, hipertensi sekunder, kerusakan organ
utama yang disebabkan oleh hipertensi, diabetes melitus, hipertensi yang menetap meskipun sudah mengubah
gaya hidup, hipertensi paru. Efek pengobatan dengan antihipertensi pada pertumbuhan dan perkembangan
anak-anak belum diketahui; pengobatan dapat diberikan hanya apabila manfaat pemberian diketahui dengan
pasti.
Obat yang digunakan untuk terapi hipertensi. Pemilihan obat antihipertensi bergantung pada indikasi
maupun kontraindikasi yang sesuai untuk pasien; beberapa indikasi dan kontraindikasi dari berbagai obat
antihipertensi adalah sebagai berikut (lihat juga pada monografi setiap obat berikut untuk informasi lebih
lengkap):
 Tiazid (lihat bagian 2.2.1)–terutama diindikasikan untuk hipertensi pada lansia (lihat keterangan di
bawah); kontraindikasi pada gout.
 Beta bloker (lihat bagian 2.3.4)–meskipun tidak lagi disukai untuk pengobatan awal hipertensi tanpa
komplikasi, indikasi yang lain meliputi infark miokard, angina; kontraindikasi meliputi asma, blokade
jantung.
 Penghambat ACE (lihat bagian 2.3.5)–indikasi meliputi gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri dan
nefropati akibat diabetes; kontraindikasi meliputi penyakit renovaskular (lihat bagian 2.3.5) dan
kehamilan.
 Antagonis reseptor angiotensin II (lihat bagian 2.5.5.2) merupakan alternatif untuk pasien yang tidak
dapat mentoleransi penghambat ACE karena efek samping batuk kering yang menetap, namun antagonis
reseptor Angiotensin II mempunyai beberapa kontraindikasi yang sama dengan penghambat ACE.
 Antagonis kalsium. Terdapat perbedaan yang penting antara berbagai antagonis kalsium (lihat bagian
2.4.2). Antagonis kalsium dihidropiridin bermanfaat dalam hipertensi sistolik pada lansia apabila tiazid
dosis rendah dikontraindikasikan atau tidak dapat ditoleransi (lihat keterangan di bawah). Antagonis
kalsium “penggunaan terbatas” (misalnya diltiazem, verapamil) mungkin bermanfaat pada angina;
kontraindikasi meliputi gagal jantung dan blokade jantung.
 Alfa bloker (lihat bagian 2.3.3)–indikasi yang mungkin adalah prostatism; kontraindikasi pada
inkontinensia urin.
Kelas terapi obat yang dapat digunakan pada anak-anak dengan hipertensi meliputi penghambat ACE (lihat
bagian 2.3.5), alfa bloker (lihat bagian 2.3.3), beta bloker (lihat bagian 2.3.4), antagonis kalsium (lihat bagian
2.4.2), dan diuretika (lihat bagian 2.2). Informasi mengenai penggunaan antagonis reseptor angiotensin II pada
anak-anak masih terbatas. Diuretika dan beta bloker mempunyai riwayat efikasi dan keamanan yang cukup
pada anak-anak. Obat antihipertensi generasi terbaru, meliputi penghambat ACE dan antagonis kalsium telah
diketahui aman dan efektif pada studi jangka pendek pada anak-anak. Pada hipertensi yang sulit diatasi dapat
diberikan tambahan obat seperti minoksidil (lihat bagian 2.3.1) atau klonidin (lihat bagian 2.3.7).
Obat antihipertensi tunggal seringkali tidak cukup dan obat antihipertensi yang lain biasanya ditambahkan
secara bertahap sampai hipertensi dapat dikendalikan. Kecuali apabila diperlukan penurunan tekanan darah
dengan segera, diperlukan interval waktu pemberian sekurang-kurangnya 4 minggu untuk menentukan
respons.

Terapi antihipertensi pada anak-anak sebaiknya dimulai dengan terapi tunggal dalam dosis terendah dari dosis
yang dianjurkan; lalu ditingkatkan sampai tekanan darah yang diinginkan sudah tercapai. Apabila dosis
tertinggi dari dosis anjuran sudah digunakan, atau segera setelah pasien mengalami efek samping obat,
antihipertensi yang lain dapat ditambahkan apabila tekanan darah belum dapat dikendalikan. Apabila
diperlukan lebih dari satu jenis obat antihipertensi, sebaiknya yang diberikan adalah produk yang terpisah
(tidak dalam satu sediaan) karena pengalaman dokter spesialis anak dalam menggunakan produk kombinasi
tetap masih terbatas.

Respons pengobatan dengan obat antihipertensi dapat dipengaruhi oleh usia pasien dan latar belakang suku
(etnis). Penghambat ACE maupun antagonis reseptor angiotensin II kemungkinan merupakan obat awal yang
paling sesuai pada pasien Kaukasian muda. Pasien Afro-Karibia dan pasien yang berusia lebih dari 55 tahun
mempunyai respon yang kurang baik terhadap obat-obat ini dan tiazid maupun antagonis kalsium merupakan
pilihan untuk pengobatan awal.

Untuk pengobatan rutin hipertensi tanpa komplikasi, beta bloker sebaiknya dihindari pada pasien dengan
diabetes, atau pada pasien dengan risiko tinggi menderita diabetes, terutama apabila beta bloker
dikombinasikan dengan diuretika tiazid.

Pada keadaan dimana dua obat antihipertensi diperlukan, penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin
II dapat dikombinasikan dengan tiazid atau antagonis kalsium. Apabila pemberian 2 jenis obat masih belum
dapat mengontrol tekanan darah, tiazid dan antagonis kalsium dapat ditambahkan. Penambahan alfa bloker,
spironolakton, diuretika yang lain maupun beta-bloker sebaiknya dipertimbangkan pada hipertensi yang
resisten. Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer digunakan, spironolakton (bagian 2.5.3).
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko kardiovaskuler.
Asetosal (bagian 2.7) dengan dosis 75 mg sehari menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler dan infark
miokard. Tekanan darah yang terlalu tinggi harus dikendalikan sebelum pemberian asetosal. Bila tidak ada
kontraindikasi, asetosal dianjurkan untuk semua pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau pasien dengan
risiko mengalami penyakit kardiovaskuler 10 tahun ke depan sebesar 20% atau lebih dan berusia lebih dari 50
tahun. Asetosal juga bermanfaat pada pasien dengan diabetes (lihat juga bagian 2.7).
Pada anak-anak, peningkatan risiko terjadinya perdarahan dan sindrom Reye perlu dipertimbangkan.
Obat hipolipidemik dapat bermanfaat juga pada penyakit kardiovaskuler atau pada pasien dengan risiko tinggi
mengalami penyakit kardiovaskuler (lihat bagian 2.10). Statin dapat bermanfaat pada anak-anak yang lebih tua
dengan risiko tinggi terkena penyakit kardiovaskuler dan memiliki hiperkolesterolemia.

HIPERTENSI PADA LANSIA.


Manfaat pengobatan dengan antihipertensi terbukti hingga usia 80 tahun, namun pada saat memutuskan
penggunaan suatu obat tidak tepat apabila berdasarkan pembatasan usia. Pada lansia yang nampak sehat,
apabila mengalami hipertensi tekanan darahnya harus diturunkan. Ambang batas pengobatan adalah tekanan
darah diastolik rata-rata ≥ 90 mmHg atau tekanan darah sistolik rata-rata ≥160 mmHg setelah pengamatan
selama lebih dari 3-6 bulan (meskipun telah menjalani terapi tanpa obat).
Pasien yang mencapai usia 80 tahun pada saat pengobatan dengan antihipertensi sebaiknya tetap melanjutkan
pengobatan. Tiazid dosis rendah merupakan obat pilihan pertama, bila perlu dengan tambahan antihipertensi
lainnya.

HIPERTENSI SISTOLIK TERISOLASI.


Hipertensi sistolik terisolasi (tekanan darah sistolik ≥160 mmHg, tekanan darah diastolik < 90 mmHg)
menyebabkan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler, terutama pada pasien usia di atas 60 tahun.
Tekanan darah sistolik rata-rata 160 mmHg atau lebih tinggi selama lebih dari 3-6 bulan (meskipun telah
menjalani terapi tanpa obat) harus diturunkan pada pasien berusia diatas 60 tahun, sekalipun hipertensi
diastolik tidak ada.
Pengobatan dengan pemberian tiazid dosis rendah, bila perlu dengan tambahan beta bloker, memberikan hasil
yang efektif. Antagonis kalsium dihidropiridin kerja panjang dianjurkan apabila tiazid dikontra-indikasikan
atau tidak dapat ditoleransi. Pasien dengan hipertensi postural yang parah tidak boleh menerima obat-obat
antihipertensi.

HIPERTENSI PADA DIABETES.


Untuk pasien diabetes, tujuan terapi adalah untuk menjaga tekanan darah sistolik <130 mmHg dan tekanan
darah diastolik <80 mmHg. Meskipun demikian, pada beberapa pasien, mungkin tidak dapat dicapai tahap ini
meskipun sudah mendapat pengobatan yang tepat. Kebanyakan pasien memerlukan obat antihipertensi
kombinasi. Hipertensi umumnya terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dan pengobatan dengan antihipertensi
mencegah komplikasi makro dan mikrovaskuler.
Pada diabetes tipe 1, hipertensi biasanya menandakan adanya nefropati akibat diabetes. Penghambat ACE (atau
antagonis reseptor angiotensin II) mempunyai peranan khusus pada tatalaksana nefropati akibat diabetes; pada
pasien diabetes tipe 2, penghambat ACE (atau antagonis reseptor angiotensin II) dapat menunda
perkembangan kondisi mikroalbuminuria menjadi nefropati.

Penghambat ACE dapat dipertimbangkan penggunaannya untuk anak-anak dengan diabetes dan
mikroalbuminemia atau penyakit ginjal proteinuria.

HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL.


Ambang batas untuk pengobatan dengan antihipertensi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau
proteinuria yang menetap adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.
Tekanan darah optimal adalah tekanan darah sistolik <130 mmHg dan tekanan darah diastolik <80 mmHg,
atau lebih rendah jika proteinuria lebih dari 1 g dalam 24 jam. Tiazid kemungkinan tidak efektif dan
diperlukan dosis tinggi diuretika kuat. Peringatan khusus untuk penggunaan penghambat ACE pada gangguan
fungsi ginjal, lihat bab 2.3.5, namun penghambat ACE dapat efektif. Antagonis kalsium dihidropiridin dapat
juga ditambahkan.
HIPERTENSI PADA KEHAMILAN.
Tekanan darah tinggi pada kehamilan dapat disebabkan hipertensi esensial sebelum hamil atau pre-eklamsia.
Metildopa (2.3.7) aman pada kehamilan. Beta bloker efektif dan aman pada trimester ketiga. Pemberian
intravena labetalol dapat digunakan untuk mengendalikan krisis hipertensi; sebagai alternatif, hidralazin dapat
digunakan secara intravena. Penggunaan magnesium sulfat pada pre-eklamsia dan eklamsia lihat bab 9.4.1.3.
HIPERTENSI YANG MENINGKAT CEPAT ATAU HIPERTENSI YANG SANGAT BERAT.
Hipertensi yang meningkat cepat (atau maligna) atau hipertensi yang sangat berat (misalnya tekanan darah
diastolik >140 mmHg) memerlukan pengobatan segera di rumah sakit, namun kondisi tersebut bukan
merupakan indikasi terapi antihipertensi parenteral. Pengobatan yang lazim sebaiknya secara oral dengan beta
bloker (misalnya atenolol atau labetalol) atau antagonis kalsium kerja panjang (misalnya amlodipin). Dalam 24
jam pertama, tekanan darah diastolik sebaiknya turun sampai dengan 100–110 mmHg.
Kemudian pada 2 sampai 3 hari selanjutnya tekanan darah sebaiknya diturunkan sampai normal dengan
menggunakan beta bloker, antagonis kalsium, diuretika, vasodilator, atau penghambat ACE. Penurunan
tekanan darah yang sangat cepat dapat mengurangi perfusi organ yang dapat menyebabkan infark serebral dan
kebutaan, fungsi ginjal memburuk, dan iskemia miokard. Jarang diperlukan antihipertensi parenteral; infus
natrium nitroprusid merupakan obat pilihan pada saat diperlukan pengobatan secara parenteral (kondisi yang
jarang terjadi).

HIPERTENSI EMERGENSI.
Pada anak-anak, hipertensi emergensi disertai dengan tanda-tanda seperti ensefalopati hipertensi, termasuk
kejang. Penting untuk memantau penurunan tekanan darah selama 72-96 jam. Cairan infus mungkin diperlukan
terutama selama 12 jam pertama untuk menambah volume plasma apabila tekanan darah turun terlalu cepat.
Pengobatan secara oral sebaiknya dimulai segera setelah tekanan darah sudah terkendali.
Penurunan tekanan darah yang terkendali dapat dicapai melalui pemberian infus intravena labetalol (lihat
bagian 2.4.3) atau natrium nitroprusid (lihat bagian 2.3.1). Esmolol (lihat bagian 2.4.3) bermanfaat untuk
penggunaan jangka pendek dan mempunyai masa kerja singkat. Pada kasus berat yang jarang terjadi, dapat
digunakan nifedipin dengan bentuk sediaan kapsul.

 2.3.1 Vasodilator
 2.3.2 Penghambat Saraf Adrenergik
 2.3.3 Alfa Bloker
 2.3.4 Beta Bloker
 2.3.5 Penghambat ACE
 2.3.6 Antagonis Reseptor Angiotensin II
 2.3.7 Antihipertensi Kerja Sentral
 2.3.8 Lain-Lain

 2.3.1 Vasodilator
 Obat jenis ini merupakan obat yang poten terutama jika dikombinasi dengan beta bloker dan tiazid.
 Penting: hati-hati terhadap bahaya penurunan tekanan darah yang sangat cepat. Lihat 2.3.
 Diazoksid juga digunakan melalui injeksi intravena pada keadaan kedaruratan hipertensi; tapi pada
anak bukan merupakan terapi lini pertama.
 Hidralazin yang diberikan secara oral merupakan tambahan yang berguna pada antihipertensi lain,
namun jika digunakan secara tunggal dapat menyebabkan takikardia dan retensi cairan. Kejadian efek
samping dapat dikurangi jika dosis dipertahankan dibawah 100 mg per hari, tetapi perlu diduga
adanya lupus eritematosus sistemik jika terjadi penurunan berat badan, artritis atau penyakit lain yang
tidak dapat dijelaskan.
 Natrium nitroprusid diberikan melalui infus intravena untuk mengendalikan krisis hipertensi berat
jika diperlukan terapi parenteral.
 Pada anak, pada dosis rendah obat ini mengurangi resistensi vaskular sistemik dan meningkatkan
curah jantung. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi berlebihan. Oleh karena itu
pemantauan tekanan darah harus dilakukan secara terus-menerus. Natrium nitroprusid dapat
digunakan untuk pengendalian hipotensi paradoks sesudah pembedahan koarktasio aorta.
 Minoksidil hanya digunakan sebagai terapi cadangan untuk hipertensi berat yang resisten terhadap
obat lain. Vasodilatasi disertai dengan peningkatan curah jantung dan takikardia, dan pasien dapat
mengalami retensi cairan. Oleh karena itu, harus ditambahkan beta bloker dan diuretika (biasanya
furosemid dosis tinggi). Obat ini tidak cocok diberikan pada wanita karena menimbulkan
hipertrikosis.
 Prazosin, doksazosin, dan terazosin (2.3.3) memiliki sifat menghambat reseptor alfa dan
vasodilator.
 Iloprost diindikasikan untuk hipertensi paru dan harus digunakan di bawah pengawasan dokter
spesialis.
 Monografi:

 BERAPROST
 Indikasi:
 hipertensi paru primer; perbaikan tukak, nyeri dan rasa dingin yang disebabkan oleh oklusi arteri
kronik.
 Peringatan:
 meningkatkan risiko perdarahan pada kondisi menstruasi; pengobatan sebaiknya dihentikan jika
terjadi efek samping yang bermakna secara klinis; lansia; menyusui; anak.
 Interaksi:
 meningkatkan risiko perdarahan pada penggunaan bersama dengan antikoagulan (misal warfarin),
antiplatelet (misal asetosal, tiklopidin), fibrinolitik (misal urokinase); peningkatan efek penurunan
tekanan darah pada penggunaan bersama dengan golongan prostaglandin I2.
 Kontraindikasi:
 perdarahan; kehamilan.
 Efek Samping:
 perdarahan, syok, pneumonia interstisial, gangguan fungsi hati, angina pektoris, infark miokard, reaksi
hipersensitivitas, sakit kepala, pusing, hot flushes, diare, mual, nyeri abdomen, anoreksia, peningkatan
bilirubin, AST, ALT, LDH, trigliserida.
 Dosis:
 hipertensi paru primer: dosis awal, 60 mcg sehari dalam 3 dosis terbagi, sesudah makan, dapat
ditingkatkan hingga maksimum 180 mcg sehari dalam 3-4 dosis terbagi; perbaikan tukak, nyeri dan
rasa dingin yang disebabkan oleh oklusi arteri kronik: Dewasa, dosis lazim 120 mcg sehari dalam 3
dosis terbagi.

 HIDRALAZIN HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 hipertensi sedang hingga berat (sebagai terapi tambahan); gagal jantung (dengan nitrat kerja panjang,
tapi kombinasi ini sering tidak dapat ditoleransi); krisis hipertensi (sebagai terapi alternatif pada
kehamilan).
 Peringatan:
 gangguan fungsi hati (lampiran 2); gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); penyakit arteri koroner (dapat
menyebabkan angina, hindari penggunaannya setelah infark miokard, tunggu hingga stabil), penyakit
serebrovaskular; kadang, menyebabkan penurunan tekanan darah terlalu cepat walaupun pada dosis
rendah; kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (hidralazin)
 Kontraindikasi:
 lupus eritematosus sistemik idiopatik, takikardia berat, gagal jantung curah tinggi, insufisiensi
miokard akibat obstruksi mekanik, cor pulmonale, aneurism aorta, porfiria.
 Efek Samping:
 takikardi, palpitasi, wajah memerah, hipotensi, retensi cairan, gangguan saluran cerna, sakit kepala,
pusing, sindroma seperti lupus eritematosus sistemik setelah penggunaan jangka panjang dengan dosis
lebih dari 100 mg per hari (atau dengan dosis yang lebih rendah pada wanita dan individu dengan
asetilator lambat); jarang terjadi: kulit kemerahan, demam, neuritis perifer, polineuritis, parestesia,
artralgia, mialgia, lakrimasi yang meningkat, kongesti nasal, dispnea, agitasi, ansietas, anoreksia; ada
laporan gangguan darah (termasuk leukopenia, trombositopenia, anemia hemolitik), abnormalitas
fungsi hati, jaundice, kreatinin plasma meningkat, proteinuria dan hematuria.
 Dosis:
 Oral, hipertensi, 25 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan hingga maksimal 50 mg dua kali sehari;
gagal jantung (dosis awal dilakukan di rumah sakit) 25 mg 3-4 kali sehari, jika diperlukan dosis dapat
ditingkatkan setiap 2 hari; dosis penunjang lazim 50-75 mg empat kali sehari.
 Injeksi intravena lambat, hipertensi dengan komplikasi ginjal dan krisis hipertensi, 5-10 mg
diencerkan dengan 10 mL NaCl 0,9%; dapat diulangi setelah 20-30 menit (lihat peringatan).
 Infus intravena, hipertensi dengan komplikasi ginjal dan krisis hipertensi, dosis awal 200-300
mcg/menit; dosis penunjang 50-150 mcg/menit.

 ILOPROST
 Indikasi:
 hipertensi paru primer atau sekunder yang disebabkan penyakit jaringan ikat (connective tissue
disease) atau akibat obat, pada tahap sedang sampai berat. Sebagai tambahan, pengobatan hipertensi
paru yang disebabkan tromboembolisme paru kronik yang tidak bisa dilakukan pembedahan.
 Peringatan:
 hipertensi paru tidak stabil dengan gagal jantung kanan yang lanjut; hipotensi (jangan dimulai
pemberian obat jika tekanan sistolik di bawah 85 mmHg), infeksi paru akut, kerusakan hati, gagal
ginjal yang memerlukan dialisis.
 Interaksi:
 heparin, kumarin, asam asetilsalisilat, AINS, tiklodipin, klopidogrel dan glikoprotein IIb/IIIa
antagonis (absiksimab, eftifibatid dan tirofiban).
 Kontraindikasi:
 kehamilan dan menyusui (lihat lampiran 2), kondisi yang akan meningkatkan resiko pendarahan
(tukak lambung aktif, trauma, perdarahan intrakranial), angina tidak stabil atau penyakit jantung
koroner berat, infark miokard dalam 6 bulan terakhir, gagal jantung dekompensasi (kecuali jika di
bawah pengawasan dokter), aritmia berat, kongesti paru, kejadian serebrovaskular dalam 3 bulan
terakhir (serangan iskemik transien atau stroke), hipertensi paru akibat penyakit oklusif vena, kelainan
katup jantung kongenital atau yang didapat dengan gejala klinis fungsi miokard yang relevan namun
tidak terkait dengan hipertensi paru, hipersensitif.
 Efek Samping:
 sangat umum: sakit kepala, vasodilatasi, peningkatan batuk, mual, nyeri rahang/trismus; umum:
pusing, hipotensi, sinkop, dispnea, diare, muntah, iritasi mulut dan lidah, ruam kulit, nyeri
punggung; frekuensi tidak diketahui: hipersensitivitas, bronkospasme/wheezing, disgeusia.
 Dosis:
 melalui inhalasi: 2,5–5 mcg, 6–9 kali sehari, dapat ditambah tergantung respon dan tolerabilitas.

 MINOKSIDIL
 Indikasi:
 hipertensi berat, sebagai tambahan pada terapi diuretika dan beta bloker.
 Peringatan:
 lihat keterangan diatas; angina; setelah infark miokard (tunggu hingga stabil); dosis rendah pada
pasien dialisis; porfiria; kehamilan (lampiran 4).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (minoksidil).
 Kontraindikasi:
 feokromositoma.
 Efek Samping:
 retensi cairan dan natrium, berat badan meningkat, edema perifer, takikardi, hipertrikosis, peningkatan
kreatinin yang reversibel; kadang-kadang, gangguan saluran cerna, payudara menegang, kulit
kemerahan.
 Dosis:
 Dosis awal 5 mg (lansia, 2,5 mg), dalam 1-2 dosis, ditingkatkan menjadi 5-10 mg setiap 3 hari atau
lebih; maksimal 50 mg sehari.

 NATRIUM NITROPRUSID
 Indikasi:
 krisis hipertensi, untuk mendapatkan penurunan tekanan darah yang terkontrol pada anestesi; gagal
jantung kronik atau akut.
 Peringatan:
 hipotiroidism, hiponatremia, penyakit jantung iskemik, sirkulasi serebral yang terganggu, lansia,
hipotermia, monitor tekanan darah dan kadar sianida dalam darah, jika terapi berlangsung lebih dari 3
hari, juga perlu dimonitor kadar tiosianat dalam darah; hindari penghentian secara mendadak -
hentikan infus selama 15-30 menit; gangguan fungsi hati (lampiran 2), gangguan fungsi ginjal
(lampiran 3); kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (nitroprusid).
 Kontraindikasi:
 defisiensi vitamin B12 berat, atropi optik Leber; hipertensi sekunder.
 Efek Samping:
 disebabkan oleh pengurangan tekanan darah yang terjadi secara cepat (kurangi kecepatan infus): sakit
kepala, pusing, mual, muntah-muntah, nyeri lambung, berkeringat, palpitasi, rasa was-was, rasa tidak
nyaman pada bagian retrosternal; jarang terjadi: penurunan jumlah platelet, flebitis transien akut.
 Dosis:
 Krisis hipertensi, secara infus intravena, dosis awal 0,5-1,5 mcg/kg bb/menit, kemudian ditingkatkan
bertahap 500 nanogram/kg bb/menit setiap 5 menit dalam kisaran 0,5-8 mcg/kg bb/menit (dosis lebih
rendah jika sudah mendapat antihipertensi lain); penggunaan dihentikan jika dalam 10 menit, respons
tidak memuaskan dengan dosis maksimal. Telah digunakan dosis awal lebih rendah 300 nanogram/kg
bb/menit; menjaga tekanan darah diastolik 30-40% lebih rendah dari sebelum terapi, 20-400
mcg/menit (dosis lebih rendah untuk pasien yang sudah mendapat antihipertensi lain); mengontrol
hipotensi saat pembedahan, dengan infus intravena, maksimal 1,5 mcg/kg bb/menit; gagal jantung,
dengan infus intravena, dosis awal 10-15 mcg/menit, ditingkatkan setiap 5-10 menit sesuai kebutuhan;
dosis lazim 10-200 mcg/menit, maksimal 3 hari.

 2.3.2 Penghambat Saraf


Adrenergik
 Obat golongan ini bekerja dengan cara mencegah pelepasan noradrenalin dari saraf adrenergik pasca
ganglion. Obat-obat golongan ini tidak mengendalikan tekanan darah pada posisi berbaring dan dapat
menyebabkan hipotensi postural. Karena itu, obat-obat ini sudah jarang sekali digunakan, tetapi
mungkin masih diperlukan bersama terapi lain pada hipertensi yang resisten. Jarang digunakan pada
anak-anak.
 Monografi:

 RESERPIN
 Indikasi:
 hipertensi ringan sampai sedang.
 Peringatan:
 ulkus peptik; kolitis ulserativa; asma bronkial; kehamilan dan menyusui; usia lanjut.
 Kontraindikasi:
 depresi; gagal ginjal berat.
 Efek Samping:
 depresi (sampai bunuh diri) akibat dosis yang terlalu tinggi; atau akibat akumulasi dari penggunaan
setiap hari untuk jangka waktu lama (waktu paruhnya 1-2 minggu); bronkospasme; eksaserbasi gagal
jantung kongestif atau tercetusnya gagal jantung yang laten; gejala-gejala ekstrapiramidal
(parkinsonisme, diskinesia, distonia); memburuknya ulkus peptikum; mengantuk di siang hari,
gangguan tidur di malam hari, mimpi buruk; berat badan naik (nafsu makan bertambah, retensi
cairan); kongesti nasal; dispepsia; kehilangan libido dan impotensi; menstruasi tidak teratur,
amenorea, galaktorea.
 Dosis:
 0,05-0,10 mg sebagai obat lini kedua yang ditambahkan 1-2 minggu setelah pemberian tiazid/diuretika
sebagai obat lini pertama. Sebagai dosis awal dapat digunakan 0,25 mg selama 1 minggu.

2.3.3 Alfa Bloker


Doksazosin dan prazosin menghambat reseptor alfa pasca sinaptik dan menimbulkan vasodilatasi, namun
jarang menyebabkan takikardi. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan cepat setelah dosis pertama,
sehingga harus hati-hati pada pemberian pertama. Peindoramin dan terazosin memiliki sifat yang
serupa prazosin. Untuk pengobatan hipertensi yang resisten, alfa bloker dapat digunakan bersama obat
antihipertensi lain.
Monografi:

DOKSAZOSIN
Indikasi:
Hiperplasia prostat jinak pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi maupun tekanan darah normal.

Peringatan:
Hipotensi postural/syncope, penggunaan bersama penghambat PDE-5, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi
ginjal, mengemudi atau mengoperasikan mobil, kondisi penyempitan saluran cerna yang berat,
komplikasi Intraoperative Floppy Iris Syndromepada operasi katarak.
Interaksi:
Obat hipertensi lain seperti terazosin dan prazosin, lihat lampiran 1 (alfa bloker).

Kontraindikasi:
Usia <16 tahun, hipersensitivitas terhadap doksazosin, quinazolin, sumbatan pada saluran pencernaan,
hiperplasia prostat jinak dengan riwayat hipotensi, pasien dengan riwayat hipotensi ortostatik, penyempitan
atau penyumbatan dalam saluran kemih, infeksi saluran kemih yang sudah berlangsung lama, batu kandung
kemih, dan inkontinensi luapan atau anuria dengan atau tanpa masalah ginjal.

Efek Samping:
Serangan jantung, kelemahan pada lengan dan kaki atau kesulitan berbicara (gejala stroke), pembengkakan
pada wajah, lidah, atau tenggorokan yang merupakan reaksi alergi, nyeri dada, angina, napas pendek, sulit
bernapas, napas berbunyi, denyut jantung meningkat/menurun atau tidak beraturan, palpitasi, kemerahan atau
gatal-gatal pada kulit, pingsan, kekuningan pada kulit atau mata, rendahnya jumlah sel darah putih atau
trombosit. Umum: vertigo, sakit kepala, tekanan darah rendah, pembengkakan pada kaki, tumit, atau jari-jari,
bronkitis, batuk, infeksi saluran napas, hidung tersumbat, bersin, hidung berair, nyeri lambung/abdominal,
infeksi saluran kemih, inkontinensi urin, mengantuk, perasaan lemah, gangguan pencernaan, nyeri ulu hati,
mulut kering, nyeri punggung, nyeri otot, gejala menyerupai pilek. Tidak umum: konstipasi, kembung, radang
lambung dan usus yang menyebabkan diare dan muntah-muntah, nyeri atau merasa tidak nyaman ketika buang
air kecil, buang air kecil lebih sering dari biasanya, adanya darah pada urin, radang pada persendian, nyeri
persendian, nyeri umum, kurang tidur, gelisah, depresi, berkurang atau berubahnya rasa sentuhan atau sensasi
pada tangan dan kaki, peningkatan nafsu makan atau hilangnya nafsu makan, berat badan naik, mimisan,
telinga berdenging, tremor, kegagalan/ketidakmampuan mencapai ereksi penis, uji laboratorium abnormalitas
fungsi hati. Sangat jarang: pingsan atau limbung akibat tekanan darah ketika bangkit berdiri dari posisi duduk
atau berbaring, hepatitis atau gangguan empedu, urtikaria, kerontokan rambut, bercak merah atau ungu pada
kulit, perdarahan di bawah kulit, kesemutan atau kekebasan pada tangan dan kaki, agitasi, kegelisahan,
kelelahan, kram otot, lemah otot, pandangan kabur, wajah memerah, gangguan buang air kecil, buang air kecil
di malam hari, peningkatan volume urin yang dikeluarkan, peningkatan produksi urin sehingga lebih sering
buang air kecil, ketidaknyamanan atau pembesaran payudara pada pria, ereksi penis yang menetap dan terasa
sakit. Frekuensi tidak diketahui: sperma yang diejakulasikan saat klimaks seksual menjadi sedikit atau tidak
ada, urin keruh setelah klimaks seksual, masalah mata yang dapat timbul selama bedah mata untuk katarak.
Dosis:
Hipertensi. 1 mg sehari, ditingkatkan setelah 1-2 minggu menjadi 2 mg sekali sehari, kemudian 4 mg sekali
sehari, bila perlu. Maksimal 16 mg sehari. Hiperplasia prostat jinak (lihat 7.4.1).
Tablet pelepasan termodifikasi: 4 mg sehari, tablet ditelan utuh dan jika perlu dosis dapat ditingkatkan setelah
4 minggu menjadi 8 mg sehari.
INDORAMIN
Indikasi:
hipertensi; hiperplasia prostat ringan.

Peringatan:
hindari alkohol (meningkatkan kecepatan dan besarnya absorpsi); mengendalikan gagal jantung yang baru
mulai dengan diuretika dan digoksin; gangguan hati atau ginjal; pasien usia lanjut; penyakit parkinson; epilepsi
(kejang pada percobaan hewan); riwayat depresi.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (alfa bloker).

Kontraindikasi:
gagal jantung; pasien yang menerima MAOI.

Efek Samping:
sedasi; juga pusing, depresi, gagal ejakulasi, mulut kering, kongesti nasal, efek ekstrapiramidal, kenaikan
bobot badan.

Dosis:
hipertensi, awalnya 25 mg 2 kali sehari, ditingkatkan 25-50 mg sehari dengan interval 2 minggu; dosis
maksimal sehari 200 mg dalam 2-3 dosis terbagi.

PRAZOSIN HIDROKLORIDA
Indikasi:
hipertensi; sindrom Raynaud; gagal jantung kongestif; hiperplasia prostat jinak.
Peringatan:
dosis pertama dapat menyebabkan kolaps karena hipotensi (karena itu harus diminum sebelum tidur); usia
lanjut; kurangi dosis awal pada gangguan ginjal; gangguan hati; kehamilan dan menyusui.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (alfa bloker).
Kontraindikasi:
tidak disarankan untuk gagal jantung kongestif akibat obstruksi mekanik (misal stenosis aortik).

Efek Samping:
hipotensi postural, mengantuk, lemah, pusing, sakit kepala, tidak bertenaga, mual, palpitasi, sering kencing,
inkontinesia dan priapismus.

Dosis:
hipertensi, 0,5 mg 2-3 kali sehari selama 3-7 hari, dosis awal diberikan sebelum tidur; tingkatkan sampai 1 mg
2 - 3 kali sehari setelah 3-7 hari; bila perlu tingkatkan lebih lanjut sampai dosis maksimal 20 mg sehari.

Gagal jantung kongestif, 0,5 mg 2-4 kali sehari (dosis awal sebelum tidur), tingkatkan sampai 4 mg sehari
dalam dosis terbagi Sindroma Raynaud, dosis awal 0,5 mg 2 kali sehari (dosis awal sebelum tidur); bila perlu
setelah 3-7 hari ditingkatkan hingga dosis penunjang lazim 1-2 mg 2 kali sehari.
Hiperplasia prostat jinak ( lihat 7.4.1).
TERAZOSIN
Indikasi:
hipertensi ringan sampai sedang; hiperplasia prostat jinak.

Peringatan:
dosis pertama dapat menyebabkan kolaps karena hipotensi (dalam 30-90 menit, karena itu harus diminum
sebelum tidur), (juga dapat terjadi dengan peningkatan dosis yang cepat); kehamilan.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (alfa-bloker).
Efek Samping:
mengantuk, pusing, tidak bertenaga, edema perifer, sering kencing, dan priapismus.

Dosis:
hipertensi, 1 mg sebelum tidur; bila perlu dosis ditingkatkan menjadi 2 mg setelah 7 hari; dosis penunjang
lazim 2-4 mg sekali sehari Hiperplasia prostat jinak (lihat 7.4.1).

2.3.4 Beta Bloker


Golongan obat ini menghambat adrenoseptor beta (beta bloker) menghambat adrenoreseptor beta di jantung,
pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas, dan hati. Penggunaan beta bloker pada anak masih terbatas.

Saat ini tersedia banyak beta bloker yang pada umumnya menunjukkan efektivitas yang sama. Namun,
terdapat perbedaaan-perbedaan diantara berbagai beta bloker, yang akan mempengaruhi pilihan dalam
mengobati penyakit atau pasien tertentu.

Aktivitas simpatomimetik intrinsik menunjukkan kapasitas beta bloker untuk merangsang maupun memblok
reseptor adrenergik.

Beberapa beta bloker (oksirenolol, pindolol, asebutolol) mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik.
Obat-obat ini cenderung kurang menimbulkan bradikardi dibanding beta bloker lainnya, dan mungkin juga
kurang menimbulkan rasa dingin pada kaki dan tangan.
Beberapa beta bloker larut dalam lemak dan beberapa yang lain larut dalam air. Yang paling larut dalam air
adalah atenolol, nadolol, dan sotalol. Karenanya, beta bloker tersebut sukar masuk ke dalam otak, sehingga
kurang menimbulkan gangguan tidur dan mimpi buruk. Beta bloker larut air tersebut diekskresi oleh ginjal dan
seringkali diperlukan pengurangan dosis pada gangguan ginjal.
Beta bloker yang masa kerjanya relatif singkat harus diberikan 2 atau 3 kali sehari. Namun, banyak
diantaranya yang tersedia sebagai sediaan lepas lambat, sehingga pemberiannya untuk hipertensi cukup sekali
sehari. Untuk angina, meskipun dengan sediaan lepas lambat, kadang-kadang masih perlu diberikan 2 kali
sehari. Beberapa beta-bloker seperti atenolol, bisoprolol, karvedilol, dan nadolol memiliki masa kerja yang
panjang sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari.
Beta bloker memperlambat denyut jantung dan dapat menyebabkan depresi miokard; beta bloker dikontra
indikasikan pada pasien termasuk anak-anak dengan blok AV derajat dua atau tiga. Beta bloker harus juga
dihindari pada pasien gagal jantung tidak stabil yang memburuk. Diperlukan kehati-hatian dalam memulai
pemberian beta bloker pada pasien gagal jantung stabil. Sotalol dapat memperpanjang interval QT, dan
kadang-kadang menyebabkan aritmia ventrikel yang mengancam jiwa (penting: perhatian khusus untuk
menghindari hipokalemia pada pasien yang menggunakan sotalol).
Labetalol, dan karvedilol merupakan beta bloker yang memiliki tambahan mekanisme kerja vasodilatasi
arteriol dengan mekanisme yang berbeda, sehingga dapat menurunkan resistensi perifer. Tidak ada bukti
bahwa beta-bloker seperti labetalol dan karvedilol tersebut memiliki manfaat yang berarti dibanding dengan
beta bloker lainnya dalam pengobatan hipertensi.
Beta bloker dapat mencetuskan asma. Karena itu, harus dihindarkan pemberiannya pada pasien dengan riwayat
asma atau bronkospasme. Jika tidak ada alternatif lainnya, beta bloker kardioselektif dapat digunakan dengan
sangat hati-hati di bawah pengawasan dokter spesialis. Atenolol, bisoprolol, metoprolol,
dan asebutololefeknya kurang pada reseptor beta2 (bronkial), karena itu relatif kardioselektif, tetapi tidak
kardiospesifik. Beta bloker tersebut lebih sedikit menimbulkan resistensi saluran nafas, tetapi tidak bebas dari
efek samping ini.
Beta bloker dapat menyebabkan efek lelah, rasa dingin di kaki dan tangan (lebih jarang terjadi pada beta bloker
yang memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik), dan gangguan tidur dengan mimpi buruk (jarang terjadi
pada beta bloker yang larut dalam air). Beta bloker tidak dikontraindikasikan pada pasien diabetes tetapi dapat
sedikit memperburuk toleransi glukosa, juga mengganggu respons metabolik dan autonomik terhadap
hipoglikemia. Beta-bloker yang kardioselektif mungkin lebih baik, tetapi semua beta-bloker sebaiknya
dihindarkan pada pasien dengan episode hipoglikemia yang sering.

Untuk pengobatan rutin hipertensi tanpa komplikasi, pemberian beta bloker sebaiknya dihindarkan pada pasien
dengan diabetes atau pada pasien dengan risiko tinggi diabetes, terutama jika dikombinasi dengan diuretika
tiazid.

Hipertensi. Mekanisme kerja beta bloker sebagai antihipertensi belum diketahui dengan pasti, obat-obat ini
mengurangi curah jantung, mempengaruhi sensitivitas refleks baroreseptor, dan memblok adrenoseptor perifer.
Beberapa beta bloker menekan sekresi renin plasma. Efek sentral dari beta bloker mungkin juga dapat
menjelaskan mekanisme kerjanya.
Beta bloker efektif untuk menurunkan tekanan darah namun antihipertensi lain biasanya lebih efektif untuk
menurunkan kejadian stroke, infark miokard, dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler, terutama pada
lansia. Oleh karena itu antihipertensi lain lebih dipilih untuk pengobatan awal pada hipertensi tanpa
komplikasi. Pada umumnya, dosis beta-bloker tidak perlu tinggi; misalnya, dosis atenolol 25-50 mg sehari dan
jarang diperlukan peningkatan dosis sampai 100 mg.

Beta bloker dapat digunakan untuk mengurangi frekuensi denyut nadi pada pasien dengan feokromositoma.
Namun pada kondisi ini, beta bloker harus digunakan bersama alfa bloker karena dapat menimbulkan krisis
hipertensi. Karena itu, fenoksibenzamin harus selalu digunakan bersama dengan beta bloker.
Angina. Dengan mengurangi kerja jantung, beta bloker memperbaiki toleransi terhadap aktivitas fisik dan
mengurangi gejala-gejala pada pasien angina. Sebagaimana halnya pada hipertensi, superioritas salah satu beta
bloker terhadap beta bloker lainnya tidak terbukti, meskipun kadang-kadang seorang pasien akan merespons
lebih baik terhadap satu beta bloker daripada beta-bloker lainnya. Pemutusan obat yang mendadak terbukti
dapat menyebabkan memburuknya angina. Karena itu, apabila pemberian beta bloker akan dihentikan, lebih
baik dilakukan dengan cara pengurangan dosis sedikit demi sedikit. Ada risiko timbulnya gagal jantung bila
beta bloker dan verapamil digunakan bersama pada penyakit jantung iskemik.
Infark Miokard. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa beta bloker dapat mengurangi laju
kekambuhan infark miokard. Namun, adanya gagal jantung, hipotensi, bradiaritmia, dan penyakit paru
obstruktif membuat obat golongan ini tidak dapat diberikan pada beberapa pasien yang telah sembuh dari
infark miokard.
Atenolol dan metoprolol dapat mengurangi mortalitas dini setelah pemberian intravena dan kemudian
pemberian oral pada fase akut, sedangkan asebutolol, timolol, metoprolol propranolol dan timolol memberi
proteksi bila dimulai pada awal fase pemulihan. Bukti yang berkaitan dengan beta bloker yang lain kurang
meyakinkan. Juga tidak diketahui apakah efek proteksi beta bloker ini berlanjut setelah 2-3 tahun; ada
kemungkinan bila beta bloker dihentikan secara mendadak akan terjadi rebound yang memperburuk iskemia
miokard.
Aritmia. Pada dasarnya, beta bloker bekerja sebagai antiaritmia dengan menghambat efek sistem simpatis
pada automatisitas dan konduktivitas di dalam jantung. Obat-obat golongan ini dapat digunakan bersama
digoksin untuk mengendalikan respons ventrikel pada fibrilasi atrium, terutama pada pasien dengan
tirotoksikosis. Beta bloker juga bermanfaat dalam tata laksana takikardi supraventrikel, dan digunakan untuk
mengendalikan aritmia setelah infark miokard.
Esmolol merupakan suatu beta-bloker kardioselektif dengan masa kerja sangat singkat, digunakan secara
intravena untuk pengobatan jangka pendek aritmia supraventrikel, takikardi sinus, atau hipertensi, terutama
pada periode sebelum operasi. Obat ini juga dapat digunakan pada situasi yang lain, seperti infark miokard
akut, dimana blokade adrenoseptor beta yang terus-menerus mungkin membahayakan.
Sotalol, adalah suatu beta bloker nonkardioselektif dengan tambahan aktivitas antiaritmia kelas III, dan
digunakan untuk profilaksis pada aritmia supraventrikel paroksismal. Obat ini juga menekan denyut ektopik
ventrikel dan takikardi ventrikel yang tidak terus-menerus. Sotalol lebih efektif dari lidokain dalam mengakhiri
takikardi ventrikel terus-menerus spontan akibat penyakit koroner atau kardiomiopati. Namun, sotalol dapat
menginduksi torsades de pointes pada pasien yang sensitif. Sotalol menekan denyut ventrikel ektopik. Efek
pro-aritmik sotalol, terutama pada anak-anak dengan sindrom ’sick sinus’ dapat memperpanjang interval QT
dan menyebabkan torsades de pointes.
Gagal Jantung. Beta bloker bermanfaat untuk gagal jantung dengan memblokade aktivitas simpatik.
Bisoprolol dan karvedilol menurunkan angka kematian pada semua tingkat gagal jantung yang stabil;
sedangkan nebivolol dianjurkan untuk gagal jantung stabil ringan sampai sedang. Pengobatan sebaiknya
dimulai oleh dokter spesialis yang berpengalaman dalam penanganan gagal jantung .
Tirotoksikosis. Beta bloker digunakan pada persiapan sebelum operasi tiroidektomi. Pemberian propranolol
dapat memperbaiki gejala-gejala klinis tirotoksikosis dalam 4 hari, meskipun nilai-nilai laboratoriumnya tidak
berubah. Kelenjar tiroid dikurangi vaskularitasnya sehingga memudahkan pembedahan.
Monografi:

ASEBUTOLOL
Indikasi:
hipertensi; angina; aritmia.

Peringatan:
lihat Propanolol.
Kontraindikasi:
lihat Propanolol.
Efek Samping:
lihat Propanolol.
Dosis:
hipertensi, dosis awal 400 mg sekali sehari atau 200 mg 2 kali sehari, jika perlu tingkatkan setelah dua minggu
sampai 400 mg 2 kali sehari. Angina, dosis awal 400 mg sekali sehari atau 200 mg 2 kali sehari; 300 mg 3 kali
sehari; pada angina berat, sampai 1,2 g sehari telah digunakan. Aritmia, 0,4-1,2 g sehari dalam 2-3 dosis
terbagi.

ATENOLOL
Indikasi:
hipertensi; angina; aritmia.

Peringatan:
lihat Propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal.
Kontraindikasi:
lihat Propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal.
Efek Samping:
lihat Propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal.
Dosis:
Oral, hipertensi 50 mg sehari (dosis lebih tinggi tidak lagi perlu dipertimbangkan).
Angina, 100 mg sehari dalam 1 atau 2 dosis. Aritmia, 50-100 mg sehari
Injeksi intravena, aritmia, 2,5 mg dengan kecepatan 1 mg/menit, ulangi pada interval 5 menit sampai maksimal
10 mg.
Catatan. Bradikardi yang berlebihan dapat diatasi dengan injeksi intravena atropin sulfat 0,6-2,4 mg dalam
dosis terbagi 0,6 mg setiap kali, untuk overdosis lihat penanganan keracunan.
Infus intravena, aritmia, 150 mcg/kg bb selama 20 menit, jika perlu ulangi setiap 12 jam. Intervensi awal
dalam waktu 12 jam setelah infark, injeksi intravena diatas 5 menit; 5 mg sehari kemudian oral 50 mg setelah
15 menit, 50 mg setelah 12 jam, kemudian 100 mg sehari; 5-10 mg secara injeksi intravena lambat, kemudian
oral 50 mg setelah 15 menit, 50 mg setelah 12 jam, kemudian 100 mg sehari.

BETAKSOLOL
Indikasi:
hipertensi; glaukoma.

Peringatan:
lihat propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal.
Kontraindikasi:
lihat propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal.
Efek Samping:
lihat propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal.
Dosis:
20 mg sehari (usia lanjut 10 mg), jika perlu tingkatkan sampai 40 mg.

BISOPROLOL FUMARAT
Indikasi:
hipertensi dan angina, gagal jantung kronik.

Peringatan:
lihat propranolol hidroklorida; pada gagal jantung pantau status klinis selama 4 jam sesudah pemberian awal
(dengan dosis rendah) dan pastikan gagal jantung tidak berbahaya sebelum meningkatkan dosis; psoriasis;
gangguan hati.
Interaksi:
lihat propanolol hidroklorida.
Kontraindikasi:
lihat propranolol hidroklorida; keadaan akut atau gagal jantung dekompensasi yang menghendaki pemberian
inotropik intravena; blok sino-atrial.
Efek Samping:
lihat propranolol.
Dosis:
Hipertensi dan angina. Satu tablet 5 mg sehari sekali pada pagi hari sebelum atau sesudah makan. Dalam kasus
sedang/tidak terlalu berat, satu tablet sehari mungkin cukup. Kebanyakan kasus dapat terkontrol dengan
pemberian 2 tablet/hari (10 mg), kecuali pada sejumlah kecil kasus memerlukan dosis 4 tablet/hari (20 mg).
Pada pasien dengan disfungsi ginjal atau disfungsi hati berat, maksimum dosis per hari adalah 2 tablet/hari (10
mg);

Gagal Jantung Kronik (CHF). 1,25 mg sehari sekali untuk satu minggu, jika dapat ditoleransi dengan baik
dapat ditingkatkan menjadi 2,5 mg sehari sekali untuk minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik
dapat ditingkatkan menjadi 3,75 mg sehari sekali untuk minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik
dapat ditingkatkan menjadi 5 mg sehari sekali untuk 4 minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik
dapat ditingkatkan menjadi 7,5 mg sehari sekali untuk 4 minggu berikutnya, jika dapat ditoleransi dengan baik
dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari sekali untuk terapi pemeliharaan. Setelah pemberian awal 1,25 mg,
pasien harus diamati selama lebih kurang 4 jam (terutama berkaitan dengan tekanan darah, detak jantung,
gangguan konduksi, tanda-tanda memburuknya gagal jantung).

KARVEDILOL
Indikasi:
hipertensi esensial sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi lain terutama diuretika tiazid,
gagal jantung kongestif: tidak sebagai terapi tunggal tetapi sebagai terapi kombinasi bersama terapi standar
dengan digitalis, diuretika dan penghambat ACE.

Peringatan:
lihat propanolol, sebelum meningkatkan dosis, pastikan bahwa fungsi ginjal dan gagal janin tidak memburuk:
gagal jantung parah, hindarkan pada gagal jantung akut atau terdekompensasi yang memerlukan obat inotropik
secara intravena.
Interaksi:
Penggunaan bersama beta bloker, diltiazem, digoksin, klonidin, insulin, hipoglikemi oral.

Kontraindikasi:
lihat propanolol, gagal hati kronik yang berat, kerusakan hati.
Efek Samping:
hipotensi postural, pusing, sakit kepala, letih, bradikardi, gangguan saluran cerna; kadang-kadang penurunan
sirkulasi perifer; gejala-gejala mirip influenza, edema perifer dan nyeri pada anggota gerak, mulut kering, mata
kering, iritasi mata atau gangguan pandangan, impotensi; jarang: angina, AV block, eksaserbasi klaudikasio
intermiten atau fenomena Raynaud; reaksi alergi kulit, ekserbasi psoriasis, hidung tersumbat, bersin-bersin,
perasaan dipresi, gangguan tidur, parestesia, gagal jantung, perubahan enzim hati, trombositopenia, leukopenia
juga dilaporkan.
Dosis:
hipertensi, dewasa dosis awal 12,5 mg sehari, tingkatkan setelah 2 hari ke dosis lazim 25 mg sehari, jika perlu
dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan interval sekurang-kurangnya 2 minggu sampai maksimal 50 mg/ hari
sebagai dosis tunggal atau terbagi; usia lanjut dosis awal 12,5 mg sehari, jika respon dapat ditingkatkan setelah
2 minggu menjadi dosis maksimum 50 mg/ hari; gagal jantung kongestif, dosis individual dan dipantau ketat
selama titrasi dosis, dosis awal yang dianjurkan 3,125 mg 2 kali sehari selama 2 minggu ditingkatkan menjadi
12,5 mg sampai 25 mg 2 kali sehari setelah 2 minggu. Dosis maksimum yang dapat ditoleransi adalah 2 kali 25
mg/hari pada pasien dengan berat badan kurang dari 85 kg dan 2 kali 50 mg/hari pada pasien dengan berat
badan lebih dari 85 kg.

LABETALOL HIDROKLORIDA
Indikasi:
hipertensi (termasuk hipertensi pada kehamilan, hipertensi dengan angina, dan hipertensi setelah infark
miokard akut); krisis hipertensi; mendapatkan hipotensi yang terkendali pada anestesia.

Peringatan:
lihat propanolol; mengganggu uji laboratorium untuk katekolamin; kerusakan hati (lihat di bawah).
Kerusakan hati. Kerusakan sel-sel hati yang berat dilaporkan setelah pengobatan jangka pendek maupun
jangka panjang. Uji laboratorium yang sesuai diperlukan pada saat pertama kali muncul gejala disfungsi hati.
Jika ada bukti kerusakan (atau jika terjadi sakit kuning), labetalol harus dihentikan dan tidak dimulai lagi.
Kontraindikasi:
lihat propanolol.
Efek Samping:
hipotensi postural (hindari posisi tegak selama pemberian intravena dan 3 jam berikutnya), kelelahan, rasa
lemah, sakit kepala, ruam kulit, "scalp tingling", kesulitan berkemih, nyeri epigastrik, mual, muntah;
kerusakan hati (lihat di atas); ruam lichenoid (jarang).
Dosis:
oral, dosis awal 50 mg sehari (usia lanjut 25 mg) 2 kali sehari dengan makanan, tingkatkan dengan interval 14
hari sampai ke dosis lazim 100 mg 2 kali sehari; sampai dengan 400 mg sehari dalam 2 dosis terbagi (jika lebih
tinggi dalam 3-4 dosis terbagi).
Injeksi intravena, 50 mg selama paling tidak 1 menit, jika perlu ulangi setelah 5 menit; maksimal 200 mg.
Catatan. Bradikardi yang berlebihan dapat diatasi dengan injeksi intravena atropin sulfat 0,6-2,4 mg dalam
dosis terbagi 0,6 mg setiap kali; untuk overdosis lihat penanganan darurat keracunan.
Infus intravena, 2 mg/menit; kisaran lazim 50-200 mg, (tidak dianjurkan untuk feokromositoma). Hipertensi
pada kehamilan, 20 mg/jam, lipatkan dua setiap 30 menit; maksimal 160 mg/jam. Hipertensi setelah infark, 15
mg/jam, sedikit demi sedikit tingkatkan sampai maksimal 120 mg/jam.

METOPROLOL TARTRAT
Indikasi:
hipertensi, angina, aritmia; profilaksis migren; tirotoksikosis.

Peringatan:
lihat propanolol; kurangi dosis pada gangguan hati.
Interaksi:
lihat propanolol.
Kontraindikasi:
lihat propanolol.
Efek Samping:
lihat propanolol.
Dosis:
oral, hipertensi, awalnya 50 mg sehari, penunjang 50-100 mg sehari dalam 1-2 dosis terbagi; Angina, 50-100
mg 2-3 kali sehari; Aritmia, biasanya 50 mg 2-3 kali sehari; bila perlu sampai dengan 300 mg sehari dalam
dosis terbagi; Profilaksis migren, 100-200 mg sehari dalam dosis terbagi; Tirotoksikosis, (tambahan), 50 mg 4
kali sehari.
Injeksi intravena, aritmia, sampai dengan 5 mg dengan kecepatan 1-2 mg/menit, jika perlu diulangi setelah 5
menit, dosis total 10-15 mg.

Catatan. Bradikardi yang berlebihan dapat diatasi dengan injeksi intravena atropin sulfat 0,6 - 2,4 mg dalam
dosis terbagi 0,6 mg setiap kali; untuk dosis lazim lihat penanganan darurat keracunan. Pada pembedahan, 2-4
mg secara injeksi intravena lambat pada induksi atau untuk mengendalikan aritmia yang terjadi selama
anestesi; dosis 2 mg dapat diulang sampai maksimal 10 mg. Intervensi awal dalam waktu 12 jam setelah
infark, 5 mg lewat injeksi intravena setiap 2 menit sampai maksimal 15 mg, lanjutkan setelah 15 menit dengan
50 mg secara oral setiap 6 jam selama 48 jam; penunjang 200 mg sehari dalam dosis terbagi.

NADOLOL
Indikasi:
hipertensi, angina, aritmia, profilaksis migrain, tirotoksikosis.

Peringatan:
lihat propanolol.
Interaksi:
lihat propanolol.
Kontraindikasi:
lihat propanolol.
Efek Samping:
lihat propanolol.
Dosis:
hipertensi, 80 mg sehari bila perlu, tingkatkan dengan interval satu minggu; maksimal 240 mg sehari.

Angina, 40 mg sehari; jika perlu tingkatkan dengan interval satu minggu, maksimal 160 mg sehari.

Aritma, dosis awal 40 mg sehari; bila perlu tingkatkan sampai 160 mg; kurangi sampai 40 mg jika terjadi
bradikardi; Profilaksis migren, dosis awal 40 mg sehari, tingkatkan dengan 40 mg dengan interval satu
minggu; dosis penunjang lazim 80-160 mg sehari; Tirotoksikosis (tambahan), 80-160 mg sehari.

NEBIVOLOL
Indikasi:
hipertensi esensial.

Peringatan:
Peringatan ini berlaku secara umum untuk golongan antagonis beta adrenergik.

 Hati-hati penggunaan pada anastesi. Observasi diperlukan pada penggunaan bersama obat anastetik yang
menyebabkan depresi miokardial, pencegahan reaksi vagal dapat dilakukan dengan pemberian atropin
intravena.
 Hati-hati penggunaan pada: pasien dengan gangguan sirkulasi perifer, sindrom Raynaud, Klaudikasio
intermitten, blok jantung derajat 1, pasien dengan angina Prinzmetal’s.
 Dapat menutupi gejala hipoglikemia (takikardi, palpitasi) pada pasien diabetes bila obat ini digunakan
bersama insulin dan oral anti diabetik (OAD).
 Hati hati penggunaan pada pasien PPOK, dapat timbul gejala konstriksi jalan nafas.
 Dapat meningkatkan sensitivitas terhadap alergen dan meningkatkan derajat keparahan reaksi anafilaksis.
Belum ada data khasiat keamanan pada anak-anak, remaja dan gangguan fungsi ginjal.
Interaksi:
 Tidak dianjurkan penggunaan antagonis beta adrenergik dengan: anti aritmia kelas I (kuinidin,
hidrokuinidin, sibenzolin, flekainid, disopiramid, lidokain, meksiletin, propafenon), antagonis kalsium
channel tipe verapamil/diltiazem, anti-hipertensi kerja sentral (klonidin, guanfasin, moksonidin, metildopa,
rilmenidin).
 Hati-hati penggunaan antagonis beta adrenergik dengan anti aritmia kelas III (amiodaron), anestesi
halogenasi mudah menguap, insulin dan antidiabetes oral.
 Penggunaan antagonis beta adrenergik dengan glikosida digitalis; antagonis kalsium tipe
dihidropiridin(amlodipin, felodipin, lasidipin, nifedipin, nikardipin, nimodipin, nitrendipin); antipsikosis,
antidepresi (trisiklik, barbiturat dan fenotiazin);obat anti inflamasi non-steroid (AINS) dan
simpatomimetik agen perlu dipertimbangkan.
Kontraindikasi:
lihat propanolol.
Efek Samping:
sakit kepala, pusing, parestesia, dispnea, sembelit, mual, diare, letih, oedema, depresi, gangguan penglihatan,
bradikardi, gagal jantung, menurunkan blok/konduksi AV, bronkospasme, dispepsia, flatulen, muntah,
pruritus, ruam kemerahan, impoten, pingsan, halusinasi, psikosis, bingung, ekstremitas dingin/cyanotic,
fenomena Raynaud, mata kering dan toksisitas oculo-mucocutaneous tipe practolol.
Dosis:
Satu tablet (5 mg) sehari diberikan pada waktu yang sama setiap harinya di waktu makan. Tekanan darah akan
turun setelah 1-2 minggu pengobatan. Efek optimal biasanya dicapai setelah 4 minggu. Beta bloker dapat
digunakan dalam bentuk tunggal atau bersamaan dengan antihipertensi lain. Penambahan antihipertensi yang
telah diamati adalah Nebivolol 5 mg dengan hidroklorotiazid 12,5–25 mg.

Penderita di atas umur 65 tahun dosis dimulai 2,5 mg/hari. Bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai 5 mg.

OKSPRENOLOL HIDROKLORIDA
Indikasi:
hipertensi, angina, aritmia, gejala ansietas,

Peringatan:
lihat propanolol.
Interaksi:
lihat propanolol.
Kontraindikasi:
lihat propanolol.
Efek Samping:
lihat propanolol.
Dosis:
Hipertensi, 80-160 mg sehari dalam 2-3 dosis terbagi, tingkatkan bila diperlukan dengan interval 1-2 minggu;
maksimal 480 mg sehari.

Angina, 40-160 mg 3 kali sehari.

Aritmia, dosis awal 20-40 mg 3 kali sehari, tingkatkan bila diperlukan.

Gejala ansietas (penggunaan jangka pendek), dosis awal 40 mg 2 kali sehari, jika perlu tingkatkan sampai 160
mg sehari dalam dosis terbagi.

PINDOLOL
Indikasi:
hipertensi, angina.

Peringatan:
lihat propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal.
Kontraindikasi:
lihat propanolol.
Efek Samping:
lihat propanolol.
Dosis:
hipertensi, dosis awal 5 mg 2-3 kali sehari atau 15 mg sekali sehari, tingkatkan bila diperlukan dengan interval
satu minggu; dosis penunjang lazim 15-30 mg sehari; maksimal 45 mg sehari. Angina, 2,5-5 mg sampai
dengan 3 kali sehari.

PROPRANOLOL HIDROKLORIDA
Indikasi:
hipertensi; feokromositoma; angina; aritmia, kardiomiopati obstruktif hipertrofik, takikardi ansietas, dan
tirotoksikosis (tambahan); profilaksis setelah infark miokard; profilaksis migren dan tremor esensial.

Peringatan:
hindari putus obat yang mendadak, terutama pada penyakit jantung iskemi, blok AV derajat pertama,
hipertensi portal (risiko memburuknya fungsi hati); diabetes; riwayat penyakit paru obstruktif; miastenia
gravis; pada anafilaksis respons terhadap adrenalin berkurang.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (beta bloker).
Kontraindikasi:
asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV
derajat dua atau tiga, syok kardiogenik; feokromositoma.

Bronkospasme. Beta bloker, termasuk yang dianggap kardioselektif, seharusnya tidak diberikan kepada
pasien dengan riwayat asma atau bronkospasme. Namun, pada situasi yang sangat jarang dimana beta bloker
harus diberikan pada pasien demikian, dapat diberikan beta bloker yang kardioselektif dengan sangat hati-hati
dan di bawah pengawasan spesialis.
Efek Samping:
bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi, bronkospasme, vasokonstriksi perifer, gangguan
saluran cerna, fatigue, gangguan tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversibel bila obat dihentikan),
eksaserbasi psoriasis.
Dosis:
oral, hipertensi, dosis awal 80 mg 2 kali sehari, tingkatkan dengan interval mingguan bila perlu; dosis
penunjang 160-320 mg sehari. Hipertensi portal, dosis awal 40 mg 2 kali sehari, tingkatkan sampai 80 mg 2
kali sehari sesuai dengan frekuensi jantung; maksimal 160 mg 2 kali sehari.
Feokromositoma (hanya bersama alfa bloker), 60 mg sehari selama 3 hari sebelum pembedahan atau 30 mg
sehari pada pasien yang tidak cocok untuk pembedahan.

Angina, dosis awal 40 mg 2-3 kali sehari; dosis penunjang 120-240 mg sehari.

Aritmia, kardiomiopati obstruktif hipertropik, takikardi ansietas, dan tirotoksikosis (tambahan), 10-40 mg 3-4
kali sehari.

Ansietas dengan gejala-gejala seperti palpitasi, berkeringat, tremor, 40 mg 4 kali sehari selama 2-3 hari,
kemudian 80 mg 2 kali sehari, mulai 5-21 hari setelah infark.

Profilaksis migren dan tremor esensial, dosis awal 40 mg 2-3 kali sehari; dosis penunjang 80-160 mg sehari.

Injeksi intravena, aritmia dan krisis tirotoksik, 1 mg selama 1 menit; jika perlu ulang dengan interval 2 menit;
maksimal 10 mg (5 mg dalam anestesia).
Catatan. Bradikardi yang berlebihan dapat diatasi dengan injeksi intravena atropin sulfat 0,6-2,4 mg dalam
dosis terbagi 0,6 mg setiap kali. Overdosis: lihat penanganan darurat keracunan.

SOTALOL HIDROKLORIDA
Indikasi:
aritmia yang mengancam jiwa termasuk takiaritmia ventrikel, takiaritmia ventrikel simtomatik yang tidak
terus-menerus, profilaksis takikardi atrium paroksismal atau fibrilasi atrium, takikardi AV kambuhan
paroksismal, takikardi supraventrikel paroksismal setelah bedah jantung, mempertahankan irama sinus setelah
kardioversi fibrilasi atau fluter atrium. Catatan. Penggunaan sotalol harus dibatasi untuk pengobatan aritmia
ventrikel atau profilaksis aritmia supraventrikel (lihat di atas). Obat ini tidak boleh lagi digunakan untuk
angina, hipertensi, tirotoksikosis, atau untuk pencegahan sekunder setelah infark miokard. Bila menghentikan
sotalol untuk indikasi tersebut, dosis harus dikurangi sedikit demi sedikit.

Peringatan:
lihat propanolol; kurangi dosis pada gangguan ginjal (hindarkan bila berat); koreksi hipokalemia,
hipomagnesemia, atau gangguan elektrolit lainnya; diare yang parah atau yang lama.
Interaksi:
lihat lampiran 1 (beta bloker).
Kontraindikasi:
lihat propranolol; sindrom QT panjang kongenital atau yang baru diperoleh; torsades de pointes; gagal ginjal.
Efek Samping:
lihat propranolol; efek aritmogenik (proaritmik) (torsades de pointes-risiko meningkat pada wanita).
Dosis:
oral dengan pemantauan EKG dan pengukuran interval QT, aritmia, dosis awal 80 mg sehari dalam 1-2 dosis;
tingkatkan sedikit demi sedikit dengan interval 2-3 hari sampai dosis lazim 160-320 mg sehari dalam 2 dosis
terbagi; dosis lebih tinggi 480-640 mg sehari untuk aritmia ventrikel yang mengancam jiwa dibawah
pengawasan dokter.
Injeksi intravena selama 10 menit, aritmia akut, 20-120 mg dengan pemantauan EKG, jika perlu ulangi dengan
interval 6 jam diantara injeksi.
Catatan. Bradikardi yang berlebihan dapat diatasi dengan injeksi intravena atropin sulfat 0,6-2,4 mg dalam
dosis terbagi 0,6 mg setiap kali; untuk dosis lazim lihat penanganan darurat keracunan.

2.3.5 Penghambat ACE


Penghambat ACE bekerja dengan cara menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Obat-obat
golongan ini efektif dan pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Pada bayi dan anak-anak dengan gagal
jantung, kaptopril biasanya merupakan obat utama. Penggunaannya pada anak harus dimulai oleh dokter
spesialis dan dengan monitoring yang intensif.

Gagal Jantung. Pengobatan gagal jantung kronis bertujuan untuk mengurangi gejala, meningkatkan daya
tahan saat berolah raga, mengurangi insiden eksaserbasi akut dan menurunkan tingkat kematian. Penghambat
ACE digunakan pada semua tingkat keparahan gagal jantung, biasanya dikombinasikan dengan diuretika (lihat
bagian 2.5). Suplemen kalium dan diuretika hemat kalium sebaiknya dihentikan penggunaannya sebelum
memulai penggunaan penghambat ACE karena risiko hiperkalemia. Spironolakton mungkin bermanfaat pada
gagal jantung berat dan dapat digunakan bersama dengan penghambat ACE dengan memantau kadar serum
kalium dengan intensif. Hipotensi berat pada pemberian dosis pertama penghambat ACE dapat terjadi apabila
diberikan pertama kali pada pasien dengan gagal jantung yang telah diberi dosis tinggi diuretika kuat
sebelumnya (misalnya furosemid 80 mg sehari atau lebih). Penghentian sementara diuretika kuat dapat
menurunkan risiko, namun kemungkinan dapat menyebabkan rebound edema paru berat. Oleh karena itu, pada
pasien yang menggunakan dosis tinggi diuretika kuat, penghambat ACE perlu diberikan di bawah pengawasan
dokter spesialis. Penghambat ACE dapat diberikan pada pasien yang menerima dosis rendah diuretika atau
pada pasien yang tidak mempunyai risiko serius hipotensi. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian dan
diberikan dosis awal yang sangat rendah.
Hipertensi. Penghambat ACE merupakan terapi awal yang sesuai untuk hipertensi pada pasien Kaukasian
berusia muda; tetapi pasien Afro-Karibian dan pasien yang berumur lebih dari 55 tahun memberikan respon
yang kurang baik. Penghambat ACE terutama diindikasikan untuk hipertensi pada pasien diabetes yang
tergantung pada insulin dengan nefropati. Pada beberapa pasien, obat ini menurunkan tekanan darah dengan
sangat cepat terutama pada pasien yang juga mendapatkan terapi diuretika . Dosis pertama sebaiknya diberikan
sebelum tidur. Pada anak, penghambat ACE harus dipertimbangkan untuk pengobatan hipertensi bila tiazid
dan beta bloker dikontraindikasikan, tidak dapat ditoleransi, atau gagal mengendalikan tekanan darah. Pada
beberapa pasien, penghambat ACE dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat cepat. Karena
itu, bila mungkin, terapi diuretika dihentikan untuk beberapa hari sebelum memulai terapi dengan penghambat
ACE, dan dosis pertama sebaiknya diberikan sebelum tidur.
Profilaksis serangan jantung. Penghambat ACE digunakan dalam tata laksana awal dan jangka panjang pada
pasien infark miokard. Penghambat ACE mencegah serangan jantung dan stroke pada pasien penyakit jantung
koroner stabil dengan risiko tersebut.
Pemberian awal dibawah pengawasan dokter spesialis. Pemberian awal penghambat ACE harus dibawah
pengawasan dokter spesialis dengan pemantauan klinis yang intensif pada pasien dengan gagal jantung yang
berat atau pada pasien yang:
 menerima beberapa macam obat atau terapi diuretika dosis tinggi (misalnya lebih dari 80 mg furosemid
sehari atau setara dengan itu).
 mengalami hipovolemia.
 mengalami hiponatremia (kadar natrium dalam jaringan di bawah 90 mmHg).
 menderita gangguan jantung yang tidak stabil.
 menderita gangguan fungsi ginjal (kadar kreatinin dalam plasma di atas 150 mikromol/liter).
 menerima terapi vasodilator dosis tinggi.
 berumur 70 tahun atau lebih.
EFEK PADA GINJAL
Pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral yang berat atau stenosis arteri ginjal unilateral berat (hanya
satu ginjal yang berfungsi), penghambat ACE mengurangi atau meniadakan filtrasi glomerulus sehingga
menyebabkan gagal ginjal yang berat dan progresif. Karena itu, penghambat ACE dikontraindikasikan pada
pasien yang memiliki penyakit renovaskuler kritis tersebut.
Penghambat ACE cenderung tidak mempunyai efek samping pada fungsi ginjal secara keseluruhan. Pada
pasien dengan stenosis arteri ginjal unilateral berat dan kontralateral ginjal normal, filtrasi glomerulus dapat
berkurang (atau bahkan ditiadakan) pada ginjal yang rusak dan efek jangka panjangnya belum diketahui.

Pada umumnya, penghambat ACE paling baik dihindarkan pada pasien yang diketahui atau diduga menderita
penyakit renovaskuler, kecuali bila tekanan darah tidak dapat dikendalikan dengan obat lain. Bila terpaksa
digunakan dalam situasi yang demikian, fungsi ginjal perlu dipantau.

Penghambat ACE juga harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit renovaskuler, yang
tidak terdiagnosis dan tidak menunjukkan gejala, pasien dengan penyakit vaskuler perifer atau dengan
aterosklerosis yang parah.

Fungsi ginjal dan elektrolit harus diperiksa sebelum memulai pengobatan dengan penghambat ACE dan
dipantau selama pengobatan (harus lebih sering dilakukan bila terjadi pada keadaan-keadaan seperti tersebut di
atas). Meskipun penghambat ACE saat ini menunjukkan peran khusus dalam beberapa bentuk penyakit ginjal,
kadang-kadang obat-obat ini juga menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang mungkin berkembang dan
menjadi parah pada situasi yang lain (terutama pada pasien lansia). Pemberian bersama AINS meningkatkan
risiko kerusakan ginjal, dan diuretika hemat kalium (atau suplemen garam kalium) meningkatkan risiko
hiperkalemia.

Peringatan. Pada pasien yang sedang menggunakan diuretika, pemberian awal penghambat ACE perlu
dilakukan dengan hati-hati. Dosis pertama dapat menyebabkan hipotensi terutama pada pasien yang sedang
menggunakan diuretika dosis tinggi, diet rendah garam, dialisis, dehidrasi atau pasien dengan gagal ginjal
(lihat keterangan di atas).
Penghambat ACE sebaiknya juga digunakan dengan hati-hati pada penyakit vaskuler perifer atau
aterosklerosis yang mempunyai risiko penyakit renovaskuler (lihat juga keterangan di atas). Fungsi ginjal
sebaiknya dipantau sebelum dan selama pengobatan, dan dosis diturunkan pada gangguan fungsi ginjal (lihat
juga lampiran 3).
Risiko agranulositosis meningkat pada penyakit kolagen vaskuler (dianjurkan dilakukan hitung jenis darah).
Penghambat ACE sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien dengan stenosis aortik berat atau
simtomatik (berisiko hipotensi), pada kardiomiopati obstruktif hipertrofi, pada pasien dengan riwayat idiopati,
pada angioedema herediter, dan pada ibu yang menyusui (Lampiran 5).

Interaksi: Lampiran 1 (Penghambat ACE).


Reaksi anafilaksis. Untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaksis, penghambat ACE sebaiknya dihindari
selama dialisis dengan membran high-flux polyacrylonitrile dan selama apheresis lipoprotein densitas rendah
dengan dekstran sulfat; penghambat ACE juga harus dihentikan sebelum desensitisasi dengan tawon atau
sengat lebah.
Penggunaan bersama dengan diuretika. Penghambat ACE dapat menyebabkan penurunan tekanan darah
yang sangat cepat pada pasien dengan kekurangan cairan; oleh karena itu pengobatan sebaiknya dimulai
dengan dosis yang sangat rendah. Jika dosis diuretika lebih besar dari 80 mg furosemid atau ekivalen,
penghambat ACE sebaiknya mulai diberikan di bawah pengawasan dokter spesialis dan pada beberapa pasien
dosis diuretika mungkin perlu diturunkan atau dihentikan selama sekitar 24 jam sebelum pemberian
penghambat ACE. Apabila terapi diuretika dosis tinggi tidak dapat dihentikan, diperlukan pemantauan secara
intensif setelah pemberian dosis awal penghambat ACE, selama sekitar 2 jam atau sampai tekanan darah telah
stabil.
Kontraindikasi. Penghambat ACE dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap penghambat
ACE (termasuk angioedema) dan pada pasien yang diduga atau dipastikan menderita penyakit renovaskuler
(lihat juga keterangan di atas). Penghambat ACE tidak boleh digunakan pada wanita hamil (lihat Lampiran 4).
Efek samping. Penghambat ACE dapat menyebabkan hipotensi yang parah (lihat peringatan) dan gangguan
fungsi ginjal (lihat efek pada ginjal di atas), dan batuk kering yang menetap. Penghambat ACE juga
menyebabkan angioedema (mula kerja dapat tertunda), ruam kulit (pruritus dan urtikaria), pankreatitis dan
gejala pada saluran pernafasan atas seperti sinusitis, rinitis, dan sakit tenggorok. Efek gangguan saluran cerna
yang dilaporkan meliputi mual, muntah, dispepsia, diare, konstipasi, dan nyeri abdomen. Telah dilaporkan juga
perubahan pada hasil tes fungsi hati, ikterus kolestatik dan hepatitis.
Hiperkalemia, hipoglikemi, dan kelainan darah termasuk trombositopenia, leukopeni, neutropenia, dan anemia
hemolitik juga telah dilaporkan. Efek samping lain yang telah dilaporkan diantaranya sakit kepala, mengantuk,
kelelahan, malaise, gangguan pengecapan, paraestesia, bronkospasme, demam, vaskulitis, mialgia, artralgia,
antibodi antinuklir positif, peningkatan laju endap darah, eosinofilia, leukositosis, dan fotosensitivitas.

PRODUK KOMBINASI
Penggunaan sediaan kombinasi penghambat ACE dengan tiazid seharusnya dicadangkan bagi pasien yang efek
penurunan tekanan darahnya tidak memberikan respons terhadap pemberian diuretika tiazid atau penghambat
ACE tunggal.
Kombinasi penghambat ACE dan antagonis kalsium juga tersedia untuk pengobatan hipertensi. Bentuk
kombinasi harus dipertimbangkan hanya jika pasien tidak mengalami perubahan pada pemberian tunggal
dengan proporsi yang sama.

Neonatus. Respon neonatus terhadap pengobatan dengan penghambat ACE sangat bervariasi, dan beberapa
neonatus mengalami hipotensi berat meskipun dengan dosis pemberian yang kecil; oleh karena itu harus
diberikan dosis uji terlebih dahulu dan kewaspadaan harus ditingkatkan. Efek samping seperti apnea, kejang,
gagal ginjal, dan hipotensi berat yang tidak terduga biasa terjadi pada neonatus usia satu bulan dan oleh karena
itu sedapat mungkin dihindarkan penggunaan penghambat ACE, terutama pada neonatus yang baru lahir.
Monografi:

BENAZEPRIL
Dosis:
Dewasa 10 mg sekali sehari untuk pasien yang tidak menggunakan obat diuretika atau 5 mg 1 kali sehari bagi
pasien yang menggunakan diuretika. Dosis penunjang 20-40 mg 1 kali sehari atau 2 dosis bagi yang sama
(maksimum 80 mg/hari). Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal (bersihan kreatinin kurang dari 30
mL/menit), dosis awal 5 mg 1 kali 1 hari, dosis penunjang 40 mg/hari

Keterangan:
Penghambat ACE yang bekerja tidak langsung (prodrug), yaitu diesterifikasi di hati, atau mungkin di organ
lainnya (ginjal, saluran cerna) menjadi bentuk aktifnya (benazeprilat)

DELAPRIL
Keterangan:
Penghambat ACE yang bekerja tidak langsung

ENALAPRIL MALEAT
Indikasi:
hipertensi; pengobatan gagal jantung simptomatik (tambahan); pencegahan gagal jantung simtomatik dan
pencegahan kejadian iskemia koroner pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.

Peringatan:
lihat Kaptopril; gangguan hati.
Kontraindikasi:
lihat Kaptopril.

Efek Samping:
lihat Kaptopril.
Dosis:
hipertensi, digunakan sendiri, dosis awal 5 mg sekali sehari; jika ditambahkan pada diuretika, pada usia lanjut,
atau pada gangguan ginjal, awalnya 2,5 mg sehari; dosis penunjang lazim 10-20 mg sekali sehari; pada
hipertensi berat dapat ditingkatkan sampai maksimal 40 mg sekali sehari.

Gagal jantung (tambahan), disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik, dosis awal 2,5 mg sehari di bawah
pengawasan medis yang ketat; dosis penunjang lazim 20 mg sehari terbagi dalam 1-2 dosis.

FOSINOPRIL
Indikasi:
Hipertensi (tetapi lihat peringatan dan keterangan di atas); gagal jantung kongestif (tambahan).

Peringatan:
lihat pada Kaptopril dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat pada Kaptopril dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat pada Kaptopril dan keterangan di atas.
Dosis:
Hipertensi, dosis awal dan dosis penunjang 10 mg/hari; maksimum 40 mg sekali sehari.

Catatan. Pada kasus hipertensi, jika digunakan sebagai tambahan pada penggunaan diuretika, hentikan
pemakaian diuretika beberapa hari sebelum pemakaian obat ini dan lanjutkan setelah kira-kira empat minggu
jika tekanan darah tidak cukup terkontrol (apabila terapi diuretika tidak bisa dihentikan, perlu ada pengawasan
medis selama beberapa jam).
Gagal jantung (tambahan), dosis awal 10 mg sehari di bawah pengawasan ketat tenaga medis (lihat catatan di
atas); jika dosis awal ditoleransi dengan baik, bisa dinaikkan sampai 40 mg sekali sehari.

IMIDAPRIL
Indikasi:
hipertensi esensial.

Peringatan:
lihat keterangan diatas; gangguan fungsi hati (lampiran 2).
Kontraindikasi:
lihat keterangan diatas.
Efek Samping:
lihat keterangan diatas; mulut kering, glositis, ileus, bronkitis, dispnea; gangguan tidur, depresi, bingung,
penglihatan kabur, tinitus, impoten.
Dosis:
Dosis awal, 5 mg sehari sebelum makan; jika digunakan sebagai terapi tambahan terhadap diuretika (lihat
keterangan di atas), pada lansia, pada pasien gagal jantung, angina atau penyakit serebrovaskular, atau pada
gangguan fungsi ginjal atau hati, dosis awal 2,5 mg per hari.

Jika perlu, dosis ditingkatkan dengan interval waktu sekurangnya 3 minggu; dosis penunjang lazim 10 mg satu
kali sehari; maksimal 20 mg sehari (lansia, 10 mg sehari).

KAPTOPRIL
Indikasi:
hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan terapi tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap
pengobatan lain; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard; nefropati diabetik
(mikroalbuminuri lebih dari 30 mg/hari) pada diabetes tergantung insulin.

Peringatan:
diuretika (lihat keterangan di atas); dosis pertama mungkin menyebabkan hipotensi terutama pada pasien yang
menggunakan diuretika, dengan diet rendah natrium, dengan dialisis, atau dehidrasi; penyakit vaskuler perifer
atau aterosklerosis menyeluruh karena risiko penyakit renovaskuler yang tidak bergejala; pantau fungsi ginjal
sebelum dan selama pengobatan, dan kurangi dosis pada gangguan ginjal; mungkin meningkatkan risiko
agranulositosis pada penyakit vaskuler kolagen (disarankan hitung jenis); reaksi anafilaktoid (lihat keterangan
di bawah); menyusui; mungkin menguatkan efek hipoglikemi insulin atau antidiabetik oral.

REAKSI ANAFILAKTOID. Guna mencegah reaksi ini, penghambat ACE harus dihindarkan selama dialisis
dengan membran high-flux polyacrilonitrile dan selama aferesis lipoprotein densitas rendah dengan dekstran
sulfat.
Interaksi:
lihat lampiran 1 (penghambat ACE).
Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angiodema); penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan);
stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung; kehamilan (lihat lampiran 4); porfiria.

Efek Samping:
hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram
otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan suara, perubahan pencecap (mungkin
disertai dengan turunnya berat badan), stomatitis, dispepsia, nyeri perut; gangguan ginjal; hiperkalemia;
angiodema, urtikaria, ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan nekrolisis epidermal toksik), dan reaksi
hipersensitivitas (lihat keterangan di bawah untuk kompleks gejala), gangguan darah (termasuk
trombositopenia, neutropenia, agranulositosis, dan anemia aplastik); gejala-gejala saluran nafas atas,
hiponatremia, takikardia, palpitasi, aritmia, infark miokard, dan strok (mungkin akibat hipotensi yang berat),
nyeri punggung, muka merah, sakit kuning (hepatoseluler atau kolestatik), pankreatitis, gangguan tidur,
gelisah, perubahan suasana hati, parestesia, impotensi, onikolisis, alopesia.

KOMPLEKS GEJALA. Telah dilaporkan suatu kompleks gejala untuk penghambat ACE yang meliputi
demam, serositis, vaskulitis, mialgia, artralgia, antibodi antinuklear positif, laju endap darah meningkat,
eosinofilia, leukositosis; mungkin juga terjadi ruam kulit, fotosensitivitas atau reaksi kulit yang lain.
Dosis:
hipertensi, digunakan sendiri, awalnya 12,5 mg 2 kali sehari; jika digunakan bersama diuretika (lihat
keterangan), atau pada usia lanjut; awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis pertama sebelum tidur); dosis
penunjang lazim 25 mg 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali sehari pada hipertensi berat).

Gagal jantung (tambahan), awalnya 6,25 - 12,5 mg di bawah pengawasan medis yang ketat (lihat keterangan di
atas); dosis penunjang lazim 25 mg 2 - 3 kali sehari; maksimal 150 mg sehari.

Profilaksis setelah infark miokard pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (asimtomatik atau simptomatik)
yang stabil secara klinis, awalnya 6,25 mg, dimulai 3 hari setelah infark, kemudian ditingkatkan dalam
beberapa minggu sampai 150 mg sehari (jika dapat ditolerir dalam dosis terbagi).

Nefropati diabetik, 75-100 mg sehari dalam dosis terbagi; jika diperlukan penurunan tekanan darah lebih
lanjut, antihipertensi lain dapat digunakan bersama kaptopril; pada gangguan ginjal yang berat, awalnya 12,5
mg 2 kali sehari (jika diperlukan terapi bersama diuretika, sebaiknya dipilih diuretika kuat daripada tiazid).

KUINAPRIL
Indikasi:
semua tingkat hipertensi; gagal jantung kongestif (tambahan).

Peringatan:
lihat Kaptopril; gangguan hati.
Kontraindikasi:
lihat Kaptopril.
Efek Samping:
lihat Kaptopril.
Dosis:
hipertensi, dosis awal 10 mg sekali sehari; dengan diuretika; pada usia lanjut atau pada gangguan ginjal, dosis
awal 2,5 mg sehari; dosis penunjang lazim 20-40 mg sehari dalam dosis tunggal atau dalam 2 dosis bagi.
Pernah diberikan sampai 80 mg sehari.

Gagal jantung (tambahan), dosis awal 2,5 mg di bawah pengawasan medis yang ketat; dosis penunjang lazim
10-20 mg sehari dalam dosis tunggal atau dalam 2 dosis bagi; pernah diberikan sampai 40 mg sehari.

LISINOPRIL
Indikasi:
semua tingkat hipertensi; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard pada pasien yang secara
hemodinamik stabil.

Peringatan:
lihat Kaptopril.
Kontraindikasi:
lihat Kaptopril.
Efek Samping:
lihat Kaptopril.
Dosis:
hipertensi, dosis awal 10 mg sehari; dosis penunjang lazim 20 mg sehari; maksimal 80 mg sehari.

Catatan. Pada hipertensi hentikan diuretika selama 2-3 hari sebelumnya dan jika perlu mulai lagi kemudian.
Gagal jantung (tambahan), dosis awal 2,5 mg sehari di bawah pengawasan medis yang ketat; dosis penunjang
5-20 mg sehari. Profilaksis setelah infark miokard, sistolik lebih dari 120 mm Hg, 5 mg dalam 24 jam diikuti
dengan 5 mg lagi 24 jam berikutnya, kemudian 10 mg setelah 24 jam berikutnya, dan lanjutkan dengan 10 mg
sekali sehari selama 6 minggu (lanjutkan pada gagal jantung); sistolik 100-120 mmHg, dosis awal 2,5 mg,
tingkatkan sampai dosis penunjang 5 mg sekali sehari.
Jangan dimulai jika tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg; sementara waktu kurangi dosis penunjang
sampai 2,5 mg sehari jika tekanan darah sistolik kurang dari sama dengan 100 mmHg selama pengobatan;
hentikan jika terjadi hipotensi yang berkepanjangan (sistolik kurang dari 90 mmHg selama lebih dari 1 jam).

MOEKSIPRIL
Indikasi:
hipertensi esensial.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; gangguan fungsi hati (lampiran 2).
Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat keterangan di atas; aritmia, angina, nyeri dada, pingsan, gangguan serebrovaskular, infark miokard,
perubahan nafsu makan dan berat badan, mulut kering, fotosensitivitas, wajah memerah, gugup, perubahan
perasaan, ansietas, drowsines, gangguan tidur, tinitus, sindrom seperti flu, berkeringat, dan dispnea.
Dosis:
Digunakan tunggal, dosis awal 7,5 mg satu kali sehari; jika digunakan sebagai tambahan pada diuretika (lihat
keterangan diatas), dengan nifedipin, pada lansia, pada gangguan fungsi hati atau ginjal, dosis awal 3,75 mg;
dosis lazim 15-30 mg satu kali sehari; dosis di atas 30 mg sehari tidak menghasilkan peningkatan efikasi.

PERINDOPRIL
Indikasi:
hipertensi; gagal jantung kongestif (menurunkan kambuhan stroke dalam kombinasi dengan indapamid pada
pasien dengan riwayat penyakit serebrovaskuler).

Peringatan:
lihat kaptopril, kelainan fungsi hati, resiko hipotensi, gagal ginjal, angiodema.
Interaksi:
lihat kaptopril, suplemen potasium.
Kontraindikasi:
lihat kaptopril, anak-anak, kehamilan, pasien hemodialisis, menyusui, renal arteri stenosis, pasien dengan
riwayat herediter/idiopatik angiodema yang berkaitan dengan penyakit yang melibatkan penghambat enzim
pengkonversi.
Efek Samping:
lihat kaptopril.
Dosis:
Hipertensi, dosis yang dianjurkan 4 mg sebagai dosis tunggal sehari pada pagi hari; dapat ditingkatkan menjadi
8 mg dosis tunggal, jika perlu setelah 1 bulan terapi, pada pasien lansia dosis awal 2 mg sebagai dosis tunggal
pada pagi hari, dapat ditingkatkan menjadi 4 mg jika perlu setelah 1 bulan terapi.

Gagal jantung , dosis awal 2 mg sehari dibawah pengawasan medis yang ketat, dapat ditingkatkan menjadi 4
mg jika perlu sesudah 1 bulan terapi.

Mengurangi stroke pada pasien dengan riwayat penyakit serebo vaskuler, dosis awal 2 mg sehari selama 2
minggu, dapat ditingkatkan menjadi 4 mg sehari sampai 2 minggu sebelum pemberian indapamide. Terapi
dimulai setelah 2 minggu sampai beberapa tahun setelah serangan stroke awal.

Gagal ginjal, dosis ditingkatkan sesuai tingkat kerusakan ginjal.

RAMIPRIL
Indikasi:
hipertensi ringan sampai sedang; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard pada pasien
dengan gagal jantung yang terbukti secara klinis; pasien rentan usia diatas 55 tahun, pencegahan infark
miokard, stroke, kematian kardiovaskular atau membutuhkan revaskularisasi.

Peringatan:
lihat kaptopril, kerusakan hati.
Interaksi:
lihat kaptopril.
Kontraindikasi:
lihat kaptopril.
Efek Samping:
lihat kaptopril.
Dosis:
Jika respon pasien tidak memuaskan terhadap dosis 5-10 mg sehari, dianjurkan terapi kombinasi dengan
antihipertensi lain seperti diuretika nonkalsium atau antagonis kalsium.

Gagal jantung, pasien dengan penyakit jantung berat, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, gangguan elektrolit
dan pasien dengan gagal jantung berat harus diawasi dengan pengawasan.

Pada kasus yang tidak kompleks, terapi dapat dimulai dengan 1 tablet 1,25 mg, diikuti oleh 1 tablet 1,25 mg
dua kali sehari selama 2-7 hari. Minggu ke 2: 1 tablet 2,5 mg dua kali sehari. Minggu ke 3: 1 tablet 5 mg dua
kali sehari. Jika dosis yang sesuai sudah dititrasi, dosis penunjang dapat diberikan sebagai dosis tunggal pada
pagi hari atau sebagai dosis terbagi dua.

Pengurangan mortalitas (kematian) pada gagal jantung setelah fase infark miokard akut, terapi dimulai 3 hari
pertama sesudah kejadian infark. Dosis awal yang sesuai 1,25-2,5 mg dua kali sehari dan terapi harus
dilakukan dengan pengawasan tekanan darah dan fungsi ginjal yang ketat. Dosis ditingkatkan paling sedikit 2
hari menjadi 2,5-5 mg dua kali sehari dan target dosis 5 mg dua kali sehari dapat dicapai.
SILAZAPRIL
Indikasi:
hipertensi esensial dan renovaskuler; gagal jantung kongestif (tambahan).

Peringatan:
lihat Kaptopril.
Kontraindikasi:
lihat Kaptopril.
Efek Samping:
lihat Kaptopril.
Dosis:
hipertensi, dosis awal 1 mg sekali sehari; pada yang menerima diuretika, pada usia lanjut, atau pada gangguan
ginjal, dosis awal 0,5 mg sekali sehari; pada hipertensi renovaskuler, sirosis hati, dosis awal 0,25-0,5 mg sekali
sehari; dosis penunjang lazim 1-2,5 mg sekali sehari; maksimal 5 mg sehari.

Catatan: hentikan diuretika selama 2 - 3 hari sebelumnya.


Gagal jantung (tambahan), dosis awal 0,5 mg sekali sehari di bawah pengawasan medis yang ketat, tingkatkan
sampai 1 mg sekali sehari; dosis penunjang lazim 1-2,5 mg sehari; maksimal 5 mg sehari.

TRANDOLAPRIL
Indikasi:
hipertensi, tidak digunakan untuk pengobatan awal hipertensi.

Peringatan:
lihat keterangan di atas, gangguan fungsi hati.
Interaksi:
digitalis, litium, simetidin, beta bloker, antiaritmia (flekainid, kuinidin, nitrat, karbamazepin, rifampisin,
fenobarbital, siklosporin, teofilin, inhalasi anastesi, zat penghambat neuromuskular).

Kontraindikasi:
pasien yang hipersensitif terhadap penghambat ACE atau verapamil, riwayat angiodema.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; takikardia, aritmia, angina, perdarahan otak, infark miokard, ileus, mulut kering, reaksi
kulit termasuk Steven-Johnson syndrome, nekrolisis epidermal toksik, asthenia, alopesia, dispnea, dan
bronkitis.
Dosis:
hipertensi: dosis awal 500 mcg sekali sehari, ditingkatkan dengan interval waktu 2-4 minggu, dosis lazim 1-2
mg sekali sehari; maksimal 4 mg sehari; jika digunakan sebagai tambahan terhadap diuretika , lihat keterangan
diatas;

Profilaksis setelah infark miokard (dimulai minimal 3 hari setelah infark), dosis awal 500 mcg sehari,
ditingkatkan secara bertahap menjadi maksimal 4 mg sekali sehari.
2.3.6 Antagonis Reseptor
Angiotensin II
Losartan, valsartan, kandesartan, olmesartan, telmisartan, eprosartan dan irbesartan adalah antagonis
reseptor angiotensin II. Sifatnya mirip dengan penghambat ACE, tetapi obat golongan ini tidak menghambat
pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga tidak menimbulkan batuk kering persisten yang
biasanya mengganggu terapi dengan penghambat ACE. Karena itu, obat golongan ini merupakan alternatif
yang berguna untuk pasien yang harus menghentikan penghambat ACE akibat batuk yang persisten. Antagonis
reseptor angiotensin II digunakan sebagai alternatif dari penghambat ACE dalam tatalaksana gagal jantung
atau nefropati akibat diabetes.
Peringatan: Antagonis reseptor angiotensin II harus digunakan dengan hati-hati pada stenosis arteri ginjal.
Dianjurkan dilakukan pemantauan kadar kalium plasma, terutama pada pasien lansia dan pada pasien
gangguan ginjal. Dosis awal yang lebih rendah mungkin sesuai untuk pasien ini. Antagonis reseptor
angiotensin II harus digunakan dengan hati-hati pada stenosis pembuluh “mitral” atau aorta dan pada
kardiomiopati hipertrofik obstruktif. Pasien Afro-Karibian, terutama yang mengalami hipertrofik ventrikel kiri
tidak akan mendapat manfaat dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II.
Interaksi: lampiran 1 (sama dengan untuk penghambat ACE).
Kontraindikasi: kehamilan (sama dengan penghambat ACE, lampiran 4).
Efek Samping: biasanya ringan. Hipotensi simtomatik termasuk pusing dapat terjadi, terutama pada pasien
dengan kekurangan cairan intravaskular (misal yang mendapat diuretika dosis tinggi). Hiperkalemia kadang-
kadang terjadi; angioedema juga dapat terjadi pada beberapa antagonis reseptor angiotensin II.
Monografi:

ALISKIREN
Indikasi:
Hipertensi.

Peringatan:
Pasien yang menggunakan diuretik, diet rendah natrium, atau dehidrasi (dosis pertama terjadi hipotensi); renal
arteri stenosis; pasien dengan risiko kerusakan ginjal; monitor secara rutin kadar kalium dalam plasma dan
fungsi ginjal, diabetes mellitus dan gagal jantung, angioedema kepala dan leher.

Interaksi:
Furosemid; ketokonazol; diuretik hemat kalium, suplemen kalium, substitusi garam yang mengandung kalium
atau obat lain yang meningkatkan serum kalium; pemberian bersama valsartan, metformin, amlodipin atau
simetidin, atorvastatin mempengaruhi stedy state aliskiren tapi tidak dibutuhkan penyesuaian dosis aliskiren
atau obat-obat tersebut.

Kontraindikasi:
Hipersensitif; kehamilan dan menyusui; Aliskiren tidak dianjurkan digunakan pada kehamilan dan pada wanita
yang merencanakan kehamilan.

Bila kehamilan terdeteksi maka pengobatan harus segera dihentikan. Hal ini berhubungan dengan
kemungkinan interaksinya dengan RAS (Renin Angiotensin Sistem) yang berhubungan dengan malformasi
fetal dan kematian neonatal.

Efek Samping:
Diare, rash, kenaikan asam urat, gout, batu ginjal, angioedema, anaemia, hiperkalemia, sakit kepala,
nasopharingitis, pusing, lemah, infeksi saluran nafas bagian atas, nyeri punggung, dan batuk.
Dosis:
Dewasa > 18 tahun, Dosis awal 150 mg 1 kali sehari, jika tekanan darah tidak terkontrol, dosis ditingkatkan
hingga 300 mg 1 kali sehari, diberikan tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi lain, diberikan tidak
bersama makanan. Tidak dianjurkan pemberian pada anak dan remaja di bawah 18 tahun, karena belum ada
data keamanan dan khasiat yang memadai.

IRBESARTAN
Indikasi:
Hipertensi, untuk menurunkan albuminurea mikro dan makro pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus
tipe II yang mengalami netropati. Kombinasi dengan HCT: untuk pasien hipertensi dimana tekanan darahnya
tidak dapat terkontrol dengan irbesartan atau HCT tunggal.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; deplesi volume intravaskular, hipertensi renovaskular, gangguan fungsi ginjal dan
transplantasi ginjal, hipertensi pada pasien diabetes mellitus tipe II dengan gangguan ginjal, hiperkalemia.
Kombinasi dengan HCT (keterangan lihat HCT).
Interaksi:
obat diuretika dan antihipertensi lain, suplemen kalium dan diuretika hemat kalium, AINS.

Pemberian bersamaan litium dengan angiotensin converting enzyme inhibitor dapat meningkatkan serum
litium yang reversible dan toksisitasnya.
Obat-obatan yang dapat mempengaruhi kalium: kaliuretik diuretika lain, laksatif, amfotericin, karbenoksolon,
penisilin G natrium, derivat asam salisilat.

Obat-obatan yang dipengaruhi oleh gangguan serum kalium: glikosida digitalis dan antiaritmia. Kombinasi
dengan HCT (keterangan lihat HCT).

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas; hamil (lihat lampiran 2) dan menyusui (lihat lampiran 4). Kombinasi dengan HCT
(lihat keterangan HCT).
Efek Samping:
lihat keterangan di atas; mual, muntah, lelah, nyeri pada otot; tidak terlalu sering: diare, dispepsia, kemerahan,
takikardia, batuk, disfungsi seksual; jarang: ruam, urtikaria; sangat jarang: sakit kepala, mialgia, arthalgia,
telinga berdenging, gangguan pencecap, hepatitis, disfungsi ginjal.
Kombinasi dengan HCT (keterangan lihat HCT).

Dosis:
Hipertensi, dosis awal 150 mg sehari sekali, jika perlu dapat ditingkatkan hingga 300 mg sehari sekali. Pada
pasien hemodialisis atau usia lanjut lebih dari 75 tahun, dosis awal 75 mg/hari dapat digunakan. Hipertensi
pada pasien diabetes mellitus tipe II, dosis awal 150 mg sehari sekali dan dapat ditingkatkan hingga 300 mg
sehari sekali sebagai dosis penunjang untuk pengobatan penyakit ginjal, pada pasien hemodialisis atau lansia
di atas 75 tahun, dosis awal 75 mg sehari sekali.

 Kombinasi Irbesartan/HCT 150mg/12.5 mg digunakan pada pasien hipertensi dimana tekanan darahnya
tidak dapat terkontrol dengan Irbesartan 150 mg atau hidroklorotiazid tunggal.
 Kombinasi Irbesartan/HCT 300mg/12.5 mg digunakan pada pasien hipertensi dimana tekanan darahnya
tidak dapat terkontrol dengan Irbesartan 300 mg atau Irbesartan/HCT 150mg/12.5 mg.
 Dosis yang lebih tinggi dari Irbesartan 300m /25 mg HCT sehari sekali tidak dianjurkan.
KANDESARTAN SILEKSETIL
Indikasi:
hipertensi; kombinasi dengan HCT: Pengobatan hipertensi yang tidak dapat terkontrol dengan kandesartan
sileksetil atau HCT sebagai monoterapi.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal (lampiran 1). Kombinasi dengan HCT
(keterangan lihat HCT).
Interaksi:
Kombinasi dengan HCT (keterangan lihat HCT).

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas; menyusui (lampiran 4); kolestasis; kombinasi dengan HCT (keterangan lihat HCT).
Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga vertigo, sakit kepala; sangat jarang mual, hepatitis, kerusakan darah,
hiponatremia, nyeri punggung, sakit sendi, nyeri otot, ruam, urtikaria, rasa gatal.
Kombinasi dengan HCT (keterangan lihat HCT).

Dosis:
hipertensi, dosis awal 8 mg (gangguan fungsi hati 2 mg, gangguan fungsi ginjal atau volume deplesi
intravaskular 4 mg) sekali sehari, tingkatkan jika perlu pada interval 4 minggu hingga maksimal 32 mg sekali
sehari; dosis penunjang lazim 8 mg sekali sehari.

Gagal jantung, dosis awal 4 mg sekali sehari, tingkatkan pada interval sedikitnya 2 minggu hingga dosis target
32 mg sekali sehari atau hingga dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi.

Kombinasi dengan HCT: kandesartan sileksetil 16 mg + HCT 12,5 mg sekali sehari, dengan atau tanpa
makanan.
Pasien usia lanjut, sebelum pengobatan dengan kombinasi harus dimulai dengan kandesartan sileksetil 2 mg
tunggal untuk pasien >75 tahun, atau kandesartan sileksetil 4 mg tunggal untuk pasien < 75 tahun.

Pasien dengan gangguan fungsi ginjal, regimen lazim untuk kombinasi kandesartan sileksetil/HCT dapat
diikuti selama kreatinin klirens di atas 30 mL/menit. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang lebih
parah, diuretika kuat lebih disukai daripada tiazid, sehingga kombinasi kandesartan sileksetil/HCT tidak
dianjurkan.

Pasien dengan gangguan fungsi hati, diuretika tiazid harus digunakan dengan hati-hati, oleh karenanya dosis
harus diberikan dengan hati-hati.

LOSARTAN KALIUM
Indikasi:
Hipertensi.

Peringatan:
Gangguan fungsi hati dan ginjal, kehamilan, dan menyusui.

Interaksi:
Rifampisin dan flukonazol: menurunkan level metabolit aktif. Diuretik hemat kalium, suplemen kalium, atau
zat yang mengandung kalium: hiperkalemia. AINS: menurunkan efek antihipertensi, penurunan fungsi ginjal
hingga gangguan ginjal akut pada pasien gangguan ginjal. ARB, penghambat ACE, aliskiren: meningkatkan
risiko hipotensi, pingsan, hiperkalemia, dan perubahan fungsi ginjal.

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, penggunaan bersama aliskiren pada diabetes.

Efek Samping:
Umum: pusing. Jarang: ruam, hepatitis, vaskulitis, trombositopenia, reaksi anafilaksis, angiodema,
pembengkakan pada wajah, bibir, faring, dan/atau lidah, Tidak diketahui frekuensinya: batuk, gangguan fungsi
hati, muntah, efek ortostatik bergantung dosis, malaise, anemia,migrain, dysgeusia, mialgia, artralgia, batuk,
urtikaria, pruritus, eritroderma, fotosensitivitas, disfungsi ereksi/impoten.
Dosis:
Dosis umum: 50 mg sekali sehari, dapat ditingkatkan hingga 100 mg sekali sehari. Untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat, dialisis, deplesi cairan, dimulai dengan 25 mg sekali sehari.

OLMESARTAN MEDOKSOMIL
Indikasi:
hipertensi.

Peringatan:
lihat keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat atas, kelainan fungsi hati, kelainan fungsi ginjal sedang sampai berat (lihat lampiran 3), kerusakan
empedu, menyusui.
Efek Samping:
lihat keterangan di atas, nyeri abdomen, diare, dispepsia, mual, gejala influenza, batuk faringitis, rinitis,
hematuria, infeksi saluran kencing, bengkak periferal, artritis, nyeri otot, gejala mirip jarang vertigo, ruam.
Dosis:
awal 10 mg sekali sehari, jika perlu dapat dinaikkan menjadi 20 mg sekali sehari; dosis maksimum 40 mg
sehari (lanjut usia, maksimum 20 mg sehari).

OLMESARTAN
MEDOKSOMIL+AMLODIPIN
BESILAT
Indikasi:
hipertensi, pengalihan penggunaan kombinasi obat tunggal olmesartan medoksomil dan amlodipin besilat,
hipertensi dengan kondisi tekanan darah tidak terkontrol dengan monoterapi olmesartan medoksomil atau
amlodipin besilat, tidak boleh digunakan sebagai terapi awal.

Peringatan:
kekurangan cairan intramuskular, hipertensi renovaskular, kerusakan ginjal dan tranplantasi ginjal, kerusakan
hati, penyakit jantung obstruktif berat, aldosteronisme primer (obat tidak berespon menurunkan tekanan
darah), angina dan infark miokard, gagal jantung kongestif, ras kulit hitam (efek penurunan tekanan darah dari
olmesartan medoksomil lebih rendah dibanding selain ras kulit hitam), tidak boleh digunakan pada kehamilan
trimester pertama, jika terjadi kehamilan pada masa penggunaan obat hentikan segera penggunaan obat,
menyusui, perlu diwaspadai terjadinya efek samping dari masing-masing obat sebagai potensial risiko walau
tidak ditemukan pada penggunaan kombinasi.

Interaksi:
efek penurunan tekanan darah akan meningkat apabila digunakan bersama antihipertensi lain seperti alfa
bloker atau diuretik, penggunaan olmesartan medoksomil bersama suplemen kalium atau diuretik hemat
kalium tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan serum kalium, pemberian bersama AINS berisiko
menimbulkan gagal ginjal akut dan menurunkan efek antihipertensi, setelah pemberian antasida (aluminium
magnesium hidroksida), terjadi sedikit penurunan bioavailabilitas olmesartan, pemberian bersama litium dapat
meningkatkan kadar serum litium, pemberian amlodipin grapefruit atau sari grapefruittidak dianjurkan karena
dapat meningkatkan bioavailabilitas amlodipin sehingga efek penurunan tekanan darah menjadi meningkat.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, pasien berusia dibawah 18 tahun, kehamilan, pasien dengan gagal ginjal berat, pasien dengan
kerusakan hati atau obstruksi saluran empedu, syok kardiogenik, infark miokard akut (rentang waktu 4
minggu), angina pektoris tidak stabil.

Efek Samping:
umum: edema perifer, edema, kelelahan, pusing, sakit kepala; tidak umum: hipertensi, palpitasi, takikardi,
vertigo, mual, muntah, dispepsia, diare, konstipasi, mulut kering, nyeri abdomen atas, astenia, penurunan
kalium darah, peningkatan kreatinin darah, peningkatan asam urat darah, peningkatan gamma glutamyl
transferase, hiperkalemia, kram otot, nyeri ekstremitas, nyeri punggung, pusing postural, letargi, paraestesia,
hipoestesia, penurunan libido, polakiuria, disfungsi ereksi, dispnea, batuk, ruam, hipotensi, hipotensi
ortostatik; jarang: edema wajah, hipersensitivitas, pingsan, urtikaria.
Dosis:
satu kali sehari satu tablet dengan kandungan 20 mg olmesartan medoksomil/5 mg amlodipin besilat sebelum
atau sesudah makan, pasien dengan tekanan darah tidak cukup terkontrol dengan kombinasi olmesartan
medoksomil/amlodipin besilat 20 mg/5 mg, maka direkomendasikan titrasi menjadi olmesartan
medoksomil/amlodipin besilat 40 mg/5 mg. Kemudian, jika tekanan darahnya tidak cukup terkontrol dengan
olmesartan medoksomil/amlodipin besilat 40 mg/5 mg, maka direkomendasikan titrasi menjadi olmesartan
medoksomil/amlodipin besilat 40 mg/10 mg, pasien yang beralih dari penggunaan kombinasi obat tunggal
olmesartan medoksomil dan amlodipin besilat, dosis disesuaikan dengan dosis olmesartan medoksomil dan
amlodipin besilat yang telah diminum.

TELMISARTAN
Indikasi:
Hipertensi essensial.

Peringatan:
peningkatan risiko hipotensi pada stenosis arteri renal, gangguan fungsi ginjal – perlu dimonitor secara
periodik kadar kalium dan kreatinin.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (Antagonis reseptor angiotensin-II).

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, kehamilan trimester dua dan tiga, menyusui, gangguan obstruktif empedu, gangguan hati
berat.
Efek Samping:
infeksi saluran kemih (termasuk sistitis), infeksi saluran napas atas, sepsis termasuk yang sifatnya fatal,
anemia, eosinofilia, trombositopenia, reaksi anafilaksis, hipersensitivitas, hiperkalemia, hipoglikemia (pada
pasien diabetes), insomnia, depresi, ansietas, pingsan, gangguan penglihatan, vertigo, bradikardi, takikardi,
hipotensi, hipotensi ortostatik, dispnea, nyeri abdomen, diare, dispepsia, perut kembung, muntah, mulut kering,
rasa tidak nyaman pada lambung, gangguan fungsi hati, pruritus, hiperhidrosis, ruam, angioedema, eksim,
eritema, urtikaria, drug eruption, toxic skin eruption, nyeri punggung, spasme otot (kram pada kaki), myalgia,
arthtralgia, nyeri pada ekstremitas (nyeri pada tungkai kaki), nyeri pada tendon (gejala seperti tendinitis),
gangguan fungsi ginjal, termasuk gagal ginjal akut, nyeri dada, astenia, penyakit mirip influenza, peningkatan
kadar kreatinin, penurunan hemoglobin, peningkatan asam urat, peningkatan enzim hepatik, peningkatan
fosfokinase kreatin darah.
Dosis:
40 mg sekali sehari, dapat diberikan 20 mg sekali sehari jika sudah memberikan efek, jika target tekanan darah
belum tercapai, dosis dapat ditingkatkan hingga maksimum 80 mg sekali sehari, kombinasi telmisartan 40
mg/HCT 12,5 mg digunakan pada pasien hipertensi jika tekanan darah tidak dapat terkontrol dengan te
lmisartan 40 mg tunggal, kombinasi telmisartan 80 mg/HCT 12,5 mg digunakan pada pasien hipertensi jika
tekanan darah tidak dapat terkontrol dengan irbesartan 80 mg atau telmisartan 40 mg /HCT 12,5 mg.

TELMISARTAN+AMLODIPIN
Indikasi:
hipertensi esensial, pada kondisi tekanan darah tidak terkontrol dengan amlodipin tunggal.

Peringatan:
gangguan hati, hipertensi renovaskular, gangguan ginjal, hipovolemia intravaskular, aldosteronis primer,
stenosis aorta dan mitral, kardiomiopati hipertropi, angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut,
hiperkalemia, diabetes mellitus, perlu diwaspadai terjadinya efek samping dari masing-masing obat sebagai
potensial risiko walau tidak ditemukan pada penggunaan kombinasi.

Interaksi:
antihipertensi lain dapat meningkatkan efek penurunan tekanan darah, alkohol, barbiturat, narkotik,
antidepresan, kortikosteroid sistemik, grapefruit, diuretik hemat kalium, suplemen kalium, litium, AINS,
penghambat atau penginduksi CYP3A4.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, hipersensitivitas pada turunan dihidropiridin, kehamilan trimester kedua dan ketiga,
menyusui, gangguan obstruksi empedu, gangguan hati berat, syok (termasuk syok kardiogenik), hipotensi
berat, obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, gagal jantung yang tidak stabil secara hemodinamik pasca infark
miokard akut, penggunaan bersama dengan aliskiren pada diabetes mellitus atau gangguan fungsi ginjal.

Efek Samping:
umum: pusing, edema perifer; tidak umum: somnolens, migrain, sakit kepala, paraestesia, vertigo, bradikardi,
palpitasi, hipotensi, hipotensi ortostatik, kulit memerah, batuk, nyeri abdomen, diare, mual, pruritus, artralgia,
kram otot, (kram pada kaki), mialgia, disfungsi ereksi, astenia, nyeri dada, letih, edema, peningkatan enzim
hati; jarang: sistitis,depresi, ansietas, insomnia, pingsan, neuropati perifer, hipoestesia, disgeusia, tremor,
muntah, hipertropi gusi, dispepsia, mulut kering, eksim, eritema, ruam kulit, nyeri punggung, nyeri pada
esktremitas, nokturia, malaise, peningkatan asam urat darah.
Dosis:
satu kali sehari satu tablet dengan kandungan 40 mg telmisartan/ 5 mg amlodipin, dosis maksimal satu tablet
dengan kandungan 80 mg telmisartan/10 mg amlodipin per hari, penggunaan kombinasi ini untuk jangka
panjang.
VALSARTAN
Indikasi:
hipertensi (dapat digunakan tunggal maupun dikombinasi dengan obat antihipertensi lain); gagal jantung pada
pasien yang tidak dapat mentoleransi obat penghambat ACE (penghambat enzim pengubah angiotensin).

Peringatan:
lihat keterangan di atas; gangguan fungsi hati ringan sampai sedang; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); data
keamanan dan khasiat pada anak-anak belum tersedia.
Interaksi:
penggunaan bersama dengan penghambat ACE dan beta bloker tidak dianjurkan.

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas; gangguan fungsi hati berat, sirosis, obstruksi empedu, menyusui (lampiran 4);
hipersensitif terhadap komponen obat.
Efek Samping:
lihat keterangan di atas; kelelahan, jarang diare, sakit kepala, mimisan; trombositopenia, nyeri sendi, nyeri
otot, gangguan rasa, neutropenia.
Dosis:
Hipertensi, lazimnya 80 mg sekali sehari; jika diperlukan (pada pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol)
ditingkatkan hingga 160 mg sehari atau ditambahkan pemberian diuretika; tidak diperlukan penyesuaian dosis
untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien dengan gangguan fungsi hati tanpa kolestasis.

Gagal jantung, dosis awal 40 mg dua kali sehari. Penyesuaian dosis hingga 80 mg dan 160 mg dua kali sehari
harus dilakukan pada dosis tertinggi yang dapat ditoleransi oleh pasien; pertimbangan untuk menguragi dosis
harus dilakukan pada pasien yang juga menerima diuretika; dosis maksimal yang diberikan pada uji klinik
adalah 320 mg pada dosis terbagi.

ALISKIREN
HEMIFUMARAT+AMLODIPIN
BESILAT
Indikasi:
hipertensi yang tidak cukup terkontrol dengan monoterapi, terapi pengganti pada pasien yang menerima
aliskiren dan amlodipin dalam sediaan terpisah.

Peringatan:
gangguan fungsi hati; pasien berusia di bawah 18 tahun atau lebih dari 64 tahun; menyusui; diare berat dan
persisten; infark miokard atau stroke; pasien yang mengalami kekurangan volume cairan atau sodium
(misalnya karena penggunaan diuretik, diet rendah natrium, atau dehidrasi); pasien dengan gangguan fungsi
ginjal; risiko disfungsi ginjal atau perubahan elektrolit serum; stenosis katup aorta dan mitral; kardiomiopati
hipertrofi obstruktif; gagal jantung; reaksi anafilaktik dan angioedema; renal arteri stenosis.

Interaksi:
AINS, siklosporin, furosemid, ketokonazol, verapamil, diuretik hemat kalium, suplemen kalium, substitusi
garam yang mengandung kalium atau obat lain yang meningkatkan serum kalium, jus grapefruit, simvastatin,
atorvastatin, penghambat CYP3A4 (diltiazem, itrakonazol, ritonavir).
Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap zat aktif atau eksipien atau derivat dihidropiridin lainnya, kehamilan atau
merencanakan hamil, penggunaan bersama dengan siklosporin, itrakonazol, kuinidin, verapamil, hipotensi
berat, syok, obstruksi aliran darah keluar ventrikel kiri, gagal jantung tak stabil secara hemodinamik setelah
mengalami infark miokard akut, penggunaan bersama penghambat ACE dan angiotensin II reseptor bloker
pada pasien diabetes melitus tipe 2, kerusakan ginjal berat (GFR <30 mL/menit/1,73 m2, riwayat angioedema
akibat aliskiren, angioedema idiopatik atau herediter, sedang mengalami diare berat dan persisten.
Efek Samping:
sama dengan efek samping masing-masing monoterapi; umum: Diare, hiperkalemia, pusing, sakit kepala,
mengantuk, palpitasi, kulit kemerahan, nyeri abdomen, mual, edema, kelelahan, artralgia; tidak umum: ruam,
sindrom Stevens Johnson, nekrolisis epidermal toksik, kerusakan ginjal, hipotensi, periferal edema, insomnia,
perubahan suasana hati termasuk kecemasan, tremor, hipoestesia, disgeusia, parestesia, pingsan, diplopia,
kerusakan penglihatan, tinnitus, dispnea, rinitis, muntah, dispepsia, mulut kering, konstipasi, alopesia,
hiperhidrosis, pruritus, purpura, perubahan warna kulit, fotosensitivitas, nyeri punggung, spasme otot, mialgia,
gangguan berkemih, nokturia, pollakiuria, ginekomastia, disfungsi ereksi, astenia, nyeri, malaise, nyeri dada,
berat badan turun, berat badan naik; jarang: angioedema, penurunan hemoglobin, penurunan hematokrit,
kenaikan kreatinin darah, gagal ginjal, hipersensitivitas; sangat jarang: leukositopenia, trombositopenia, reaksi
alergi, hiperglikemia, hipertonia, neuropati perifer, aritmia, fibrilasi atrial, bradikardi, takikardi ventrikel,
infark miokard, vaskulitis, batuk, pankreatitis, gastritis, hiperplasia gingiva, hepatitis, ikterus,
urtikaria, erythema multiforme, kenaikan enzim hepatik.
Dosis:
awal satu tablet sehari, aliskiren 150 mg+5 mg. Bila tekanan darah tetap tidak terkontrol setelah 2-4 minggu,
dosis dapat dititrasi hingga maksimal satu tablet aliskiren 300 mg+10 mg

2.3.7 Antihipertensi Kerja Sentral


Metildopa adalah obat antihipertensi yang bekerja sentral yang digunakan untuk mengatasi hipertensi pada
kehamilan. Efek samping menjadi ringan jika dosis harian di bawah 1 g. Metildopa sedikit manfaatnya untuk
penatalaksanaan refractory sustained hypertension pada bayi dan anak-anak. Penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan retensi cairan (yang dapat dikurangi dengan penggunaan bersama dengan diuretika).
Klonidin mempunyai risiko karena penghentian pengobatan secara tiba-tiba bisa menyebabkan krisis
hipertensi. Moksonidin, obat yang bekerja sentral, digunakan untuk hipertensi ringan sampai sedang. Obat ini
digunakan apabila tiazid, beta bloker, penghambat ACE dan antagonis kalsium tidak sesuai atau gagal
mengendalikan tekanan darah.

Monografi:

GUANFASIN
Indikasi:
hipertensi kronik. Pemberian diuretika secara bersamaan akan meningkatkan efek antihipertensi.

Peringatan:
mirip dengan klonidin. Fenomena hipertensi rebound karena penghentian penggunaan klonidin jarang terjadi
dibandingkan dengan klonidin.
Kontraindikasi:
mirip dengan klonidin. Fenomena hipertensi rebound karena penghentian penggunaan klonidin jarang terjadi
dibandingkan dengan klonidin.
Efek Samping:
mirip dengan klonidin. Fenomena hipertensi rebound karena penghentian penggunaan klonidin jarang terjadi
dibandingkan dengan klonidin.
Dosis:
harus dititrasi secara hati-hati untuk mendapatkan respons terapetik optimal dan efek samping minimal.
Dewasa: dosis awal 1 mg sebelum tidur, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 3 mg/hari.

KLONIDIN HIDROKLORIDA
Indikasi:
Hipertensi; migrain.

Peringatan:
Penghentian harus dilakukan bertahap untuk menghindari hipertensif krisis; sindrom Raynaud atau penyakit
penyumbatan vaskular periferal oklusif lainnya; riwayat depresi; hindari pada porfiria; kehamilan, menyusui.
Interaksi:
lihat lampiran 1 (klonidin).
Mengemudi. Rasa mengantuk bisa mempengaruhi kinerja tugas yang memerlukan konsentrasi (misalnya
mengemudi); efek alkohol dapat meningkat.

Efek Samping:
mulut kering, sedasi, depresi, retensi cairan, bradikardia, fenomena Raynaud, sakit kepala, pusing, eforia, tidak
bisa tidur, ruam kulit, mual, konstipasi, impotensi (jarang).
Dosis:
oral, 50-100 mcg 3 kali sehari dinaikkan setiap hari kedua atau ketiga; dosis maksimum sehari biasanya 1,2
mg.
Injeksi intravena lambat perlahan, 150-300 mcg; maksimum 750 mcg dalam 24 jam.

METILDOPA
Indikasi:
hipertensi, bersama dengan diuretika; krisis hipertensi jika tidak diperlukan efek segera.

Peringatan:
riwayat gangguan hati; gangguan ginjal; hasil positif uji Coomb langsung yang dapat terjadi pada hingga 20%
pasien (bisa mempengaruhi blood cross-matching); mempengaruhi hasil uji laboratorium, menurunkan dosis
awal pada gagal ginjal; disarankan untuk melakukan hitung darah dan uji fungsi hati; riwayat depresi.
Interaksi:
lihat lampiran 1 (metildopa).
Mengemudi. Rasa mengantuk bisa mempengaruhi kinerja tugas-tugas yang memerlukan keahlian (misalnya
mengemudi); efek alkohol dapat meningkat.

Kontraindikasi:
depresi, penyakit hati aktif, feokromositoma; porfiria.

Efek Samping:
gangguan saluran cerna, stomatis, mulut kering, sedasi, depresi, mengantuk, diare, retensi cairan, gangguan
ejakulasi, kerusakan hati, anemia hemolitik, sindrom mirip lupus eritematosus, parkinsonismus, ruam kulit,
hidung tersumbat.

Dosis:
oral, 250 mg 2-3 kali/hari, secara bertahap dinaikkan dengan selang waktu 2 hari atau lebih; dosis maksimum
sehari 3 g;
Pasien lanjut usia, dosis awal 125 mg dua kali/hari, dinaikkan secara bertahap; dosis maksimum sehari 2 g
(lihat juga keterangan di atas).
Infus intravena, metildopa hidroklorida 250-500 mg, diulangi setelah enam jam jika diperlukan.

MOKSONIDIN
Indikasi:
hipertensi ringan hingga sedang.

Peringatan:
hindari penghentian penggunaan secara mendadak (jika pemberian bersamaan dengan beta-bloker harus
dihentikan, hentikan beta bloker terlebih dahulu, kemudian moksonidin setelah beberapa hari); sensitif
terhadap munculnya glaukoma sudut sempit; gangguan fungsi ginjal (Lampiran 3).

Interaksi:
lihat lampiran 1 (moksonidin).
Kontraindikasi:
riwayat angioedema, gangguan konduksi (sindroma sinus, sinoatrial block, AV blockderajat dua atau tiga);
bradikardi; aritmia yang mengancam jiwa; gagal jantung berat; penyakit arteri koroner berat, angina tidak
stabil, penyakit hati berat atau gangguan ginjal berat; sindroma Raynaud, klaudikasi sementara, epilepsi,
depresi, penyakit Parkinson, kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5).
Efek Samping:
mulut kering, sakit kepala, letih, pusing, mual, gangguan tidur (jarang terjadi, sedasi), astenia,
vasodilatasi; jarang, reaksi kulit; sangat jarang, glaukoma sudut sempit.
Dosis:
200 mcg satu kali sehari pada pagi hari, jika perlu ditingkatkan setelah 3 minggu menjadi 400 mcg sehari
dengan 1-2 kali dosis terbagi; maksimal 600 mcg sehari dalam 2 dosis terbagi (maksimal dosis tunggal 400
mcg).

2.3.8 Lain-Lain
Monografi:

NIFEDIPIN
Indikasi:
profilaksis dan pengobatan angina; hipertensi.

Peringatan:
hentikan jika terjadi nyeri iskemik atau nyeri yang ada memburuk dalam waktu singkat setelah awal
pengobatan; cadangan jantung yang buruk; gagal jantung atau gangguan fungsi ventrikel kiri yang bermakna
(memburuknya gagal jantung teramati); hipotensi berat; kurangi dosis pada gangguan hati; diabetes mellitus;
dapat menghambat persalinan; menyusui; hindari sari buah grapefruit (mempengaruhi metabolisme).
Interaksi:
lihat lampiran 1 (antagonis kalsium).
Kontraindikasi:
syok kardiogenik; stenosis aorta lanjut; kehamilan (toksisitas pada studi hewan); porfiria.

Efek Samping:
pusing, sakit kepala, muka merah, letargi; takikardi, palpitasi; juga edema kaki, ruam kulit (eritema multiform
dilaporkan), mual, sering kencing; nyeri mata, hiperplasia gusi; depresi dilaporkan; telangiektasia dilaporkan.
Dosis:
angina dan fenomena Raynaud, sediaan konvensional, dosis awal 10 mg (usia lanjut dan gangguan hati 5 mg)
3 kali sehari dengan atau setelah makan; dosis penunjang lazim 5-20 mg 3 kali sehari; untuk efek yang segera
pada angina: gigit kapsul dan telan dengan cairan.
Hipertensi ringan sampai sedang dan profilaksis angina: sediaan lepas lambat, 30 mg sekali sehari (tingkatkan
bila perlu, maksimum 90 mg sekali sehari) atau 20 mg 2 kali sehari dengan atau setelah makan (awalnya 10
mg 2 kali sehari, dosis penunjang lazim 10-40 mg 2 kali sehari).

RILMENIDIN DIHIDROGEN
FOSFAT
Indikasi:
Hipertensi.

Peringatan:
Harus dimonitor pada penderita yang baru mengalami penyakit kardiovaskular (stroke, infark miokard). Pada
pasien dengan gagal ginjal tidak diperlukan dosis tambahan jika kreatinin klirens > 15 mL/menit. Hamil dan
menyusui.

Interaksi:
MAOI, antidepresan trisiklik.

Kontraindikasi:
depresi berat, gangguan ginjal berat, hipersensitif.

Efek Samping:
astenia, palpitasi, insomnia, mengantuk, lelah, sakit epigastrik, mulut kering, diare, ruam kulit, kaki tangan
dingin, hipotensi postural, gangguan seksual, ansietas, depresi, pruritus, udema, kejang, mual, kontipasi, muka
merah (hot flushes).
Dosis:
1 tablet/hari pada pagi hari. Jika hasil tidak memuaskan setelah 1 bulan pengobatan, dosis dapat ditingkatkan
menjadi 2 tablet/hari (pagi dan malam) sebelum makan.

2.4 Anti Angina


Obat yang digunakan untuk menanggulangi serangan akut angina pektoris dan profilaksisnya meliputi:
2.4.1 Nitrat
2.4.2 Antagonis kalsium
2.4.3 Beta-bloker
2.4.4 Antiangina lain

Nitrat, antagonis kalsium dan aktivator kanal kalium (potassium-channel activators) mempunyai efek
vasodilatasi. Pada gagal jantung, vasodilator bekerja dengan mendilatasi arteri yang menurunkan resistensi
vaskular perifer dan tekanan sistolik ventrikel kiri sehingga mengakibatkan meningkatnya curah jantung, atau
dilatasi vena yang menyebabkan meningkatnya kapasitas vena, dan berkurangnya aliran balik vena menuju
jantung (menurunkan tekanan diastolik ventrikel kiri).
Angina. Angina stabil biasanya disebabkan oleh plak aterosklerosis pada arteri koroner, sedangkan angina
tidak stabil biasanya disebabkan oleh ruptur plak dan dapat terjadi pada pasien dengan riwayat angina stabil
atau pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit arteri koroner tanpa gejala. Penting untuk membedakan
angina tidak stabil dan angina stabil; ciri-ciri angina tidak stabil adalah angina yang baru terjadi dan langsung
berat atau angina stabil yang sebelumnya ada dan tiba-tiba memburuk.
Angina stabil. Serangan akut angina stabil harus diobati dengan gliseril trinitrat sublingual. Jika serangan
terjadi lebih dari dua kali dalam seminggu, diperlukan terapi obat dan harus diberikan bertahap sesuai dengan
respons yang diperoleh. Asetosal dengan dosis 75 mg/hari (lihat bagian 2.7) harus diberikan pada pasien
dengan angina. Prosedur revaskularisasi dapat dilakukan.
Pasien angina stabil ringan atau sedang tanpa disfungsi ventrikel kiri, dapat diobati dengan gliseril trinitrat
sublingual dan pemberian beta bloker secara teratur (lihat bagian 2.3.4). Apabila diperlukan, antagonis kalsium
dihidropiridin kerja panjang (lihat bagian 2.4.2) dan nitrat kerja panjang (lihat bagian 2.4.1) dapat
ditambahkan. Pada pasien tanpa disfungsi ventrikel kiri dan pada pasien di mana beta bloker tidak sesuai,
dapat diberikan diltiazem atau verapamil (lihat bagian 2.4.2) dan dapat ditambahkan nitrat kerja panjang (lihat
bagian 2.4.1) apabila gejala tidak cukup teratasi. Pada pasien yang gagal diobati atau tidak dapat mentoleransi
terapi standar, dapat dicoba diberikan nikorandil (di Indonesia obat ini belum tersedia).

Bagi pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, dapat digunakan nitrat kerja panjang (lihat bagian 2.4.1) dan
apabila diperlukan dapat ditambahkan antagonis kalsium dihidropiridin kerja panjang (lihat bagian 2.4.2).

Statin (lihat bagian 2. 10.4) harus dipertimbangkan untuk menurunkan risiko serangan jantung.

Angina tidak stabil. Pasien dengan angina tidak stabil harus dirawat di rumah sakit. Tujuan tata laksana
angina tidak stabil adalah untuk memberikan terapi pendukung dan mengurangi rasa sakit selama serangan
akut dan mencegah terjadinya infark miokard dan kematian.
Pengobatan awal dengan asetosal (kunyah atau didispersikan dalam air) dengan dosis 300 mg diberikan untuk
mendapatkan efek antiagregasi. Apabila asetosal sudah diberikan sebelum pasien dirawat, maka hal ini harus
dilaporkan ke dokter.

Heparin (lihat bagian 2.6.2) atau heparin dengan berat molekul rendah yaitu dalteparin atau enoksaparin (lihat
bagian 2.6.2) sebaiknya juga diberikan.

Nitrat (lihat bagian 2.4.1) digunakan untuk menghilangkan nyeri iskemik. Apabila gliseril trinitrat sublingual
tidak efektif, dapat diberikan gliseril trinitrat bukal atau intravena atau isosorbid dinitrat intravena.

Pasien tanpa kontraindikasi sebaiknya menerima beta bloker oral atau intravena (lihat bagian 2.3.4). Pada
pasien tanpa disfungsi ventrikel kiri dan pada pasien yang tidak dapat menggunakan beta- bloker, dapat
diberikan diltiazem atau verapamil (lihat bagian 2.4.2).

Penghambat glikoprotein IIb/IIIa eptifibatid dan tirofiban (lihat bagian 2.7) dianjurkan (bersama dengan
asetosal dan heparin) untuk angina tidak stabil pada pasien yang berisiko tinggi mengalami infark miokard.

Absiksimab, eftifibatid atau tirofiban dapat digunakan bersama dengan asetosal dan heparin pada pasien yang
sedang menjalani intervensi koroner perkutan (PCI), untuk menurunkan risiko oklusi vaskuler yang segera.

Prosedur revaskularisasi seringkali efektif untuk pasien dengan angina tidak stabil. Pengobatan jangka
panjang. Pentingnya perubahan gaya hidup, terutama berhenti merokok, harus ditekankan. Pasien harus segera
menerima asetosal dosis rendah yaitu 75 mg/hari. Statin (bagian 2.10.4) sebaiknya diresepkan juga. Perlunya
pengobatan jangka panjang angina maupun angiografi jantung harus dievaluasi. Apabila berlanjut menjadi
iskemia, standar pengobatan angina sebaiknya dilanjutkan; jika tidak, penghentian pengobatan dengan angina
harus dilakukan dengan hati-hati sekurang-kurangnya 2 bulan setelah serangan akut.
 2.4.1 Nitrat
 2.4.2 Antagonis Kalsium
 2.4.3 Beta Bloker
 2.4.4 Anti Angina Lain

 2.4.1 Nitrat
 Senyawa nitrat berguna dalam pengobatan angina. Walaupun, senyawa nitrat merupakan vasodilator
koroner yang poten, manfaat utamanya adalah mengurangi alir balik vena sehingga mengurangi beban
ventrikel kiri. Efek samping senyawa nitrat seperti sakit kepala, muka merah, dan hipotensi postural,
dapat membatasi pelaksanaan terapi, terutama pada angina yang berat atau pada pasien yang sangat
sensitif terhadap efek nitrat.
 Gliseril trinitrat sublingual merupakan salah satu obat yang paling efektif untuk mengurangi gejala
angina dengan cepat. Namun, efeknya hanya 20-30 menit. Pada pemberian pertama, biasanya
diberikan tablet 300 mcg. Bentuk semprot aerosol merupakan cara lain untuk mengurangi gejala-
gejala angina dengan cepat bagi pasien yang kesulitan untuk melarutkan sediaan sublingual. Lama
kerja dapat diperpanjang dengan modifikasi pelepasan obat dan sediaan transdermal.
 Isosorbid dinitrat secara sublingual aktif dan merupakan sediaan yang lebih stabil bagi pasien yang
hanya kadang-kadang memerlukan nitrat. Senyawa ini juga efektif secara oral untuk profilaksis.
Walaupun mula kerjanya lebih lambat, tetapi efeknya dapat bertahan beberapa jam. Aktivitas
isosorbid dinitrat mungkin bergantung pada produksi metabolit aktifnya, terutama isosorbid
mononitrat. Metabolit aktif ini juga tersedia untuk profilaksis angina, namun keuntungannya
dibanding isosorbid dinitrat masih belum jelas.
 Gliseril trinitrat atau isosorbid dinitrat dapat diberikan secara intravena, bila bentuk sublingualnya
tidak efektif pada pasien nyeri dada akibat infark miokard atau iskemia yang berat. Pemberian
intravena juga bermanfaat dalam pengobatan gagal ventrikel kiri akut.
 Toleransi. Beberapa pasien yang diberi senyawa nitrat kerja panjang atau transdermal dengan cepat
mengalami toleransi (efek terapi berkurang). Jika toleransi diperkirakan dapat terjadi setelah
penggunaan sediaan transdermal, sediaan tersebut harus dihentikan selama beberapa jam berurutan
dalam setiap kurun waktu 24 jam. Jika menggunakan sediaan isosorbid dinitrat lepas lambat (atau
formulasi konvensional isosorbid mononitrat), tablet kedua dapat diberikan 8 jam setelah tablet
pertama, tidak perlu sampai 12 jam. Sediaan konvensional isosorbid mononitrat tidak boleh diberikan
lebih dari 2 kali sehari (kecuali bila digunakan dosis kecil), sedangkan bentuk retard hanya boleh
sekali sehari.
 Monografi:

 GLISERIL TRINITRAT
 Indikasi:
 profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.
 Peringatan:
 gangguan hepar atau ginjal berat; hipotiroidisme, malnutrisi, atau hipotermia; infrak miokard yang
masih baru; sistem transdermal yang mengandung logam harus diambil sebelum kardioversi atau
diatermi; toleransi (lihat keterangan di atas).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (gliseril trinitrat).
 Kontraindikasi:
 hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia; kardiopati obstruktif hipertrofik, stenosis
aorta, tamponade jantung, perikarditis konstruktif, stenosis mitral; anemia berat, trauma kepala,
perdarahan otak glaukoma sudut sempit.
 Efek Samping:
 sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi postural, takikardi (dapat terjadi bradikardi
paradoksikal).
 Injeksi. Efek samping yang khas setelah injeksi (terutama jika diberikan terlalu cepat) meliputi
hipotensi berat, mual dan muntah, diaforesis, kuatir, gelisah, kedutan otot, palpitasi, nyeri perut,
sinkop; pemberian jangka panjang disertai dengan methemoglobinemia.
 Dosis:
 sublingual, 0,3-1 mg, bila perlu diulang.
 Oral profilaksis angina, 2,6-2,8 mg 3 kali sehari atau 10 mg 2-3 kali sehari.
 Infus intravena, 10-200 mcg/menit.

 ISOSORBID DINITRAT
 Indikasi:
 profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.
 Peringatan:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Kontraindikasi:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Efek Samping:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Dosis:
 Sublingual, 5-10 mg.
 Oral, sehari dalam dosis terbagi, angina 30-120 mg; gagal jantung kiri 40-160 mg, sampai 240 mg bila
diperlukan.
 Infus intravena, 2-10 mg/jam; dosis lebih tinggi sampai 20 mg/jam mungkin diperlukan.

 ISOSORBID MONONITRAT
 Indikasi:
 profilaksis angina; tambahan pada gagal jantung kongesif.
 Peringatan:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Kontraindikasi:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Efek Samping:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Dosis:
 dosis awal 20 mg 2-3 kali sehari atau 40 mg 2 kali sehari (10 mg 2 kali sehari pada pasien yang belum
pernah menerima nitrat sebelumnya); bila perlu sampai 120 mg sehari dalam dosis terbagi.

 PENTAERITRIOL TETRANITRAT
 Indikasi:
 profilaksis angina.
 Peringatan:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Kontraindikasi:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Efek Samping:
 lihat pada Gliseril Trinitrat.
 Dosis:
 Oral, 60 mg 3-4 kali sehari.

 2.4.2 Antagonis Kalsium


 Antagonis kalsium menghambat arus masuk ion kalsium melalui saluran lambat membran sel yang
aktif. Golongan ini mempengaruhi sel miokard jantung, dan sel otot polos pembuluh darah, sehingga
mengurangi kemampuan kontraksi miokard, pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam
jantung, dan tonus vaskuler sistemik atau koroner. Pemilihan obat-obat golongan antagonis kalsium
berbeda-beda berdasarkan perbedaan lokasi kerja, sehingga efek terapetiknya tidak sama, dengan
variasi yang lebih luas daripada golongan beta bloker. Terdapat beberapa perbedaan penting di antara
obat-obat golongan antagonis kalsium verapamil, diltiazem, dan dihidropiridin (amlodipin, felodipin,
isradipin, lasidipin, lerkanidipin, nikardipin, nifedipin, nimodipin, dan nisoldipin). Verapamil dan
diltiazem biasanya harus dihindari pada gagal jantung karena dapat menekan fungsi jantung sehingga
mengakibatkan perburukan klinis.
 Verapamil digunakan untuk pengobatan angina, hipertensi, dan aritmia. Obat ini merupakan
antagonis kalsium dengan kerja inotropik negatif yang poten, mengurangi curah jantung,
memperlambat denyut jantung, dan mengganggu konduksi AV. Dengan demikian verapamil dapat
mencetuskan gagal jantung, memperburuk gangguan konduksi, dan menyebabkan hipotensi pada
dosis tinggi. Karena itu obat ini tidak boleh digunakan bersama dengan beta bloker. Efek samping
utamanya berupa konstipasi.
 Nifedipin merelaksasi otot polos vaskular sehingga mendilatasi arteri koroner dan perifer. Obat ini
lebih berpengaruh pada pembuluh darah dan kurang berpengaruh pada miokardium dari pada
verapamil. Tidak seperti verapamil, nifedipin tidak mempunyai aktivitas antiaritmia. Nifedipin jarang
menimbulkan gagal jantung, karena efek inotropik negatifnya diimbangi oleh pengurangan kerja
ventrikel kiri. Sediaan nifedipin kerja pendek tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang
hipertensi, karena menimbulkan variasi tekanan darah yang besar dan refleks takikardia.
 Nikardipin memiliki efek serupa dengan nifedipin, dengan menghasilkan sedikit pengurangan
kontraktilitas miokard.
 Amlodipin dan felodipin menunjukkan efek yang serupa dengan nifedipin dan nikardipin, tidak
mengurangi kontraktilitas miokard dan tidak menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Obat ini
mempunyai masa kerja yang lebih panjang, dan dapat diberikan sekali sehari. Nifedipin, nikardipin,
amlodipin, dan felodipin digunakan untuk pengobatan angina atau hipertensi. Semuanya bermanfaat
pada angina yang disertai dengan vasospasme koroner. Efek samping akibat efek vasodilatasinya
adalah muka merah dan sakit kepala, dan edema pergelangan kaki (yang hanya memberikan respons
parsial terhadap diuretika).
 Diltiazem efektif untuk sebagian besar angina. Selain itu, sediaan kerja panjangnya juga digunakan
untuk terapi hipertensi. Senyawa ini dapat digunakan untuk pasien yang karena sesuatu sebab tidak
dapat diberikan beta bloker. Efek inotropik negatifnya lebih ringan dibanding verapamil dan jarang
terjadi depresi miokardium yang bermakna.
 Meskipun demikian, karena risiko bradikardinya, tetap diperlukan kehati-hatian bila digunakan
bersama beta bloker.
 Angina tidak stabil. Antagonis kalsium tidak mengurangi risiko infark miokard pada angina tidak
stabil. Penggunaan diltiazem atau verapamil dicadangkan bagi pasien yang resisten terhadap beta
bloker.
 Putus obat. Terdapat bukti bahwa penghentian antagonis kalsium yang mendadak dapat
menyebabkan memburuknya angina.
 Monografi:

 AMLODIPIN
 Indikasi:
 hipertensi, profilaksis angina.
 Peringatan:
 lihat kehamilan (lampiran 4), gangguan fungsi hati (lampiran 2).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (antagonis kalsium).
 Kontraindikasi:
 syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan, menyusui (lampiran 5).
 Efek Samping:
 nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema, gangguan tidur, sakit kepala, pusing, letih;
 Jarang terjadi, gangguan saluran cerna, mulut kering, gangguan pengecapan, hipotensi, pingsan, nyeri
dada, dispnea, rhinitis, perubahan perasaan, tremor, paraestesia, gangguan kencing, impoten,
ginekomastia, perubahan berat badan, mialgia, gangguan penglihatan, tinitus, pruritus, ruam kulit
(termasuk adanya laporan eritema multiform), alopesia, purpura dan perubahan warna kulit;
 Sangat jarang, gastritis, pankreatitis, hepatitis, jaundice, kolestasis, hiperplasia pada gusi, infark
miokard, aritmia, vaskulitis, batuk, hiperglikemia, trombositopenia, angioedema dan urtikaria.
 Dosis:
 hipertensi atau angina, dosis awal 5 mg sekali sehari; maksimal 10 mg sekali sehari.

 DILTIAZEM HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 pengobatan angina pektoris; profilaksis angina pektoris varian; hipertensi esensial ringan sampai
sedang.
 Peringatan:
 kurangi dosis pada pasien gangguan fungsi hati dan ginjal; gagal jantung atau gangguan bermakna
fungsi ventrikel kiri yang bermakna , bradikardi (hindarkan jika berat), blokade AV derajat satu, atau
perpanjangan interval PR.
 Interaksi:
 lihat antagonis kalsium (lampiran 1).
 Kontraindikasi:
 bradikardi berat, gagal jantung kongesti (denyut jantung di bawah 50 denyut/menit); gagal ventrikel
kiri dengan kongesti paru, blokade AV derajat dua atau tiga (kecuali jika digunakan pacu jantung),
sindrom penyakit sinus (sinus bradikardi, sinus ares, sinus atrial); kehamilan; menyusui (lampiran 4);
hipersensitif terhadap diltiazem.
 Efek Samping:
 bradikardi, blokade sinoatrial, blokade AV, jantung berdebar, pusing, hipotensi, malaise, asthenia,
sakit kepala, muka merah dan panas, gangguan saluran cerna, edema (terutama pada pergelangan
kaki); jarang terjadi ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan torn dermatitis), fotosensitif;
dilaporkan juga hepatitis, gynaecomastia, hiperplasia gusi, sindrom ekstrapiramidal, dan depresi.
 Dosis:
 aritmia, 60 mg tiga kali sehari (usia lanjut awalnya dua kali sehari) jika perlu tingkatkan hingga 360
mg sehari disesuaikan dengan usia dan gejala;
 hipertensi esensial ringan sampai sedang, dewasa oral 100-200 mg satu kali sehari;
 angina varian, dewasa oral 100 mg sekali sehari, jika tidak ada perubahan maka dapat ditingkatkan
hingga 200 mg satu kali sehari.

 FELODIPIN
 Indikasi:
 hipertensi, angina.
 Peringatan:
 hentikan bila terjadi nyeri iskemik; gangguan hati; menyusui; hindari sari
buah grapefruit (mempengaruhi metabolisme).
 Interaksi:
 lihat lampiran1 (antagonis kalsium).
 Kontraindikasi:
 kehamilan.
 Efek Samping:
 muka merah, sakit kepala, palpitasi, pusing, fatigue, edema kaki, ruam kulit dan gatal, hiperplasia,
demam, impoten.
 Dosis:
 hipertensi, dosis awal 5 mg (usia lanjut 2,5 mg) sehari pada pagi hari; dosis penunjang lazim 5-10 mg
sekali sehari; jarang diperlukan dosis di atas 20 mg sehari.
 Angina, dosis awal 5 mg sehari pada pagi hari, jika perlu tingkatkan sampai 10 mg sekali sehari.

 ISRADIPIN
 Indikasi:
 hipertensi.
 Peringatan:
 sindrom sinus (jika penggunaan pacemaker tidak sesuai); hindari minuman grapefruit(dapat
mempengaruhi metabolisme); kurangi dosis pada gangguan fungsi ginjal atau hati; kehamilan
(lampiran 4).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (antagonis kalsium).
 Kontraindikasi:
 syok kardiogenik; stenosis aorta sempit atau simptomatik; penggunaan dalam 1 bulan setelah serangan
infark miokard; angina tidak stabil, menyusui (lampiran 5).
 Efek Samping:
 sakit kepala, wajah memerah, pusing, takikardi dan palpitasi, edema perifer terlokalisir; hipotensi,
tidak lazim; jarang terjadi, berat badan bertambah, letih, rasa tidak nyaman pada abdomen, ruam kulit.
 Dosis:
 2,5 mg dua kali sehari (1,25 mg dua kali sehari pada lansia, gangguan fungsi ginjal atau hati); jika
perlu dapat ditingkatkan setelah 3-4 minggu menjadi 5 mg dua kali sehari (hingga 10 mg dua kali
sehari); dosis penunjang 2,5 atau 5 mg satu kali sehari.

 LASIDIPIN
 Indikasi:
 hipertensi.
 Peringatan:
 abnormalitas konduksi jantung; volume jantung rendah; hentikan penggunaan jika terjadi nyeri
iskemik yang terjadi segera setelah awal penggunaan atau jika terjadi syok kardiogenik, hindari sari
buah grapefruit (dapat mempengaruhi metabolisme); gangguan fungsi hati (Lampiran 2).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (antagonis kalsium).
 Kontraindikasi:
 stenosis aorta; hindari penggunaannya 1 bulan setelah serangan infark miokard; kehamilan (lampiran
4); menyusui (lampiran 5).
 Efek Samping:
 sakit kepala, wajah memerah, edema, pusing, palpitasi; juga astenia, ruam kulit (termasuk pruritus dan
eritema), gangguan saluran cerna, hiperplasia pada gusi, kram otot, poliuria, nyeri dada (lihat
peringatan), gangguan perasaan.
 Dosis:
 Awal, 2 mg sebagai dosis tunggal per hari, diminum pada pagi hari; ditingkatkan setelah 3-4 minggu
menjadi 4 mg sehari, jika perlu dapat ditingkatkan lagi menjadi 6 mg per hari.

 LERKANIDIPIN
 Indikasi:
 pengobatan hipertensi essensial ringan sampai sedang.
 Peringatan:
 Pasien dengan sick sinus syndrome, pasien dengan disfungsi LV, peningkatan risiko kardiovaskular
pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, kehamilan dan menyusui.
 Interaksi:
 ketokonazol, itrakonazol, ritonavir, eritromisin, troleandomisin dan siklosporin dapat meningkatkan
kadar plasma lerkanidipin sehingga harus dihindari. Pemberian bersamaan dengan midazolam 20 mg
dapat meningkatkan absorpsi lerkanidipin. Harus diperhatikan pemberian bersamaan dengan
terfenadin, astemizol, amiodaron dan kuinidin. Pemberian dengan fenitoin, karbamazepin, rifampisin
dapat mengurangi efek antihipertensi dan tekanan darah harus dimonitor lebih sering. Interaksi dengan
makanan: tidak boleh diberikan bersamaan dengan sari buah grapefruit karena dapat meningkatkan
efek hipotensif.
 Kontraindikasi:
 hipersensitif, kehamilan dan menyusui.
 Efek Samping:
 Umum: kemerahan, edema perifer, palpitasi, takikardia, sakit kepala, pusing, asthenia;
 Tidak umum: fatigue, gangguan pencernaan seperti dispepsia, mual, muntah, sakit perut dan diare,
poliuria, ruam, somnolence, mialgia;
 Jarang: hipotensi dan gingival hiperplasia.Beberapa dihidropiridin dapat menyebabkan sakit
precordial dan angina pektoris.
 Dosis:
 Dosis yang dianjurkan 10 mg secara oral sekali sehari minimal 15 menit sebelum makan. Dosis dapat
ditingkatkan hingga 20 mg tergantung respon tiap individu.

 NIFEDIPIN
 Indikasi:
 profilaksis dan pengobatan angina; hipertensi.
 Peringatan:
 hentikan jika terjadi nyeri iskemik atau nyeri yang ada memburuk dalam waktu singkat setelah awal
pengobatan; cadangan jantung yang buruk; gagal jantung atau gangguan fungsi ventrikel kiri yang
bermakna (memburuknya gagal jantung teramati); hipotensi berat; kurangi dosis pada gangguan hati;
diabetes mellitus; dapat menghambat persalinan; menyusui; hindari sari
buah grapefruit (mempengaruhi metabolisme).
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (antagonis kalsium).
 Kontraindikasi:
 syok kardiogenik; stenosis aorta lanjut; kehamilan (toksisitas pada studi hewan); porfiria.
 Efek Samping:
 pusing, sakit kepala, muka merah, letargi; takikardi, palpitasi; juga edema kaki, ruam kulit (eritema
multiform dilaporkan), mual, sering kencing; nyeri mata, hiperplasia gusi; depresi dilaporkan;
telangiektasia dilaporkan.
 Dosis:
 angina dan fenomena Raynaud, sediaan konvensional, dosis awal 10 mg (usia lanjut dan gangguan
hati 5 mg) 3 kali sehari dengan atau setelah makan; dosis penunjang lazim 5-20 mg 3 kali sehari;
untuk efek yang segera pada angina: gigit kapsul dan telan dengan cairan.
 Hipertensi ringan sampai sedang dan profilaksis angina: sediaan lepas lambat, 30 mg sekali sehari
(tingkatkan bila perlu, maksimum 90 mg sekali sehari) atau 20 mg 2 kali sehari dengan atau setelah
makan (awalnya 10 mg 2 kali sehari, dosis penunjang lazim 10-40 mg 2 kali sehari).

 NIKARDIPIN
 Indikasi:
 krisis hipertensi akut selama operasi, hipertensi dalam keadaan darurat.
 Peringatan:
 pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal, pasien dengan stenosis aorta. Tekanan darah dan
denyut jantung harus terus dimonitor selama menggunakan obat ini.
 Interaksi:
 beta bloker (propranolol, dll), fentanil, digoksin, dantrolen natrium, tandospiron sitrat, nitrogliserin,
relaksan otot (pankuronium bromida, vekuronium bromida, dll), immunosupresan (siklosporin,
takrolimus hidrat, dll), fenitoin, rifampisin, simetidin, intravena-protease inhibitor (sakuinavir,
ritonavir, dll), antifungi azol (itrakonazol, dll), obat-obat hipotensif lainnya.
 Kontraindikasi:
 pasien dengan hemostasis tidak lengkap yang diikuti dengan perdarahan intrakranial, pasien dengan
tekanan intrakranial meningkat pada tahap akut stroke serebral, hipersensitif.
 Efek Samping:
 ileus paralitik, hipoksemia, edema paru, dispnea, nyeri angina, trombositopenia, gangguan fungsi hati
dan jaundice, takikardia, perubahan EKG, hipotensi; pada pasien dengan gagal jantung akut:
meningkatkan tekanan arteri paru, penurunan indeks jantung, takikardia ventrikel dan sianosis;
palpitasi, muka merah, extrasistol ventrikel, blokade atrioventrikel, malaise menyeluruh, disfungsi hati
(peningkatan GOT dan GPT), peningkatan BUN atau kreatinin, erupsi, sakit kepala, peningkatan suhu
tubuh, penurunan volume urin, penurunan kadar kolesterol dalam darah, rigor (kaku), back pain,
peningkatan kadar serum kalium, flebitis.
 Dosis:
 Nikardipin injeksi diencerkan dahulu dengan injeksi glukosa 5% atau larutan salin fisiologis hingga
diperoleh 0,01%-0,02% larutan nikardipin hidroklorida (0,1-1,2 mg/mL). Untuk krisis hipertensi akut
selama operasi, secara intra vena, dosis 2-10 mcg/kg bb/menit sampai tercapai tekanan darah yang
diinginkan, dapat ditingkatkan dengan tetap memantau tekanan darah. Untuk pengurangan tekanan
darah yang lebih cepat, dosis 10-30 mcg/kg bb/menit dapat digunakan. Hipertensi dalam keadaan
darurat, secara intravena, dosis 0,5 mcg /kg bb/menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan,
dapat ditingkatkan dengan tetap memantau tekanan darah.

 NIMODIPIN
 Indikasi:
 pencegahan dan pengobatan gangguan neurologik iskemik setelah aneurism perdarahan subarachnoid.
 Peringatan:
 edema serebral atau tekanan intrakarnial meningkat sangat tinggi; hipotensi; hindari pemberian
bersama tablet dan infus nimodipin, antagonis kalsium lain, atau beta bloker; pemberian bersama obat
nefrotoksik, kehamilan; hindari sari buah grapefruit(dapat mempengaruhi metabolisme), fungsi hati
terganggu, fungsi ginjal terganggu.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (antagonis kalsium), alkohol (hanya pada infus).
 Kontraindikasi:
 selama 1 bulan mengalami infark miokard, angina tidak stabil.
 Efek Samping:
 hipotensi, frekuensi jantung bervariasi, muka merah, sakit kepala, gangguan saluran cerna, mual,
berkeringat, rasa hangat; dilaporkan trombositopenia dan ileus.
 Dosis:
 pencegahan, oral 60 mg setiap 4 jam (dosis total sehari 360), mulai dalam waktu 4 hari setelah
aneurism perdarahan subarachnoid dan teruskan selama 21 hari.

Pengobatan, secara infus intravena melalui kateter sentral awalnya 1 mg/jam (sampai 500 mg/jam jika
berat badan kurang dari 70 kg atau jika tekanan darah tidak stabil), tingkatkan setelah 2 jam menjadi 2
mg/jam asalkan tidak terjadi penurunan tekanan darah hebat dan harus dilanjutkan paling sedikit 5
hari (maksimal 14 hari); jika dilakukan pembedahan selama pengobatan, lanjutkan paling sedikit 5
hari setelah pembedahan; waktu penggunaan maksimal 21 hari.

2.4.3 Beta Bloker


Lihat 2.3.4.
2.4.4 Anti Angina Lain
Monografi:

IVABRADIN
Indikasi:
arteri koroner, pengobatan simtomatik angina pektoris stabil kronik pada pasien dengan ritme sinus normal
yang tidak dapat mentoleransi penggunaan beta bloker, gagal jantung kronis (gagal jantung kronis kategori
NYHA II sampai IV dengan disfungsi sistolik, ritme sinus dan denyut jantung ≥ 75 detak/menit)
dikombinasikan dengan terapi standar termasuk terapi yang menggunakan beta bloker atau tidak dapat
mentoleransi penggunaan beta bloker.

Peringatan:
gagal jantung ringan termasuk disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, pasien dengan fibrilasi atrial atau aritmia
lainnya dipantau (ketidakefektifan pengobatan), hipotensi sedang, retinitis pigmentosa, lansia, gangguan fungsi
hati (sedang), gangguanfungsi ginjal apabila kreatinin klirens kurang dari 15 mL/menit.
Interaksi:
tidak dianjurkan penggunaan bersama dengan diltiazem atau verapamil, denyut jantung dimonitor pada
penggunaan bersama inhibitor CYP3A4 seperti flukonazol, pemberian bersama amiodaron atau disopiramid
meningkatkan risiko aritmia ventrikular, pemberian bersama klaritromisin dan telitromisin dapat meningkatkan
kadar plasma ivabradin, pemberian bersama eritromisin meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian
bersama ketokonazol meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian bersama flukonazol meningkatkan
kadar plasma ivabradin- dosis awal ivabradin diturunkan, pemberian bersama itrakonazol kemungkinan dapat
meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian bersama meflokuin meningkatkan risiko aritmia ventrikel,
pemberian bersama pimozid atau sertindol meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian bersama
nelfinavir dan ritonavir kemungkinan dapat meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian bersama sotalol
meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian bersama diltiazem dan verapamil meningkatkan kadar
plasma ivabradin, pemberian bersama grapefruit juice meningkatkan kadar plasma ivabradin sehingga harus
dihindari, pemberian bersama pentamidin isetionat meningkatkan risiko aritmia ventrikel.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap ivabradin, bradikardi (denyut jantung kurang dari 60 detak/menit), syok kardiogenik,
infark miokard akut, sesaat setelah stroke, sick-sinus syndrome, sino-atrial block, gagal jantung sedang sampai
berat, pasien denganpacemaker, angina tidak stabil, blokade jantung derajat dua dan tiga, congenital QT
syndrome, gangguan fungsi hari berat, hipotensi berat (tekanan darah < 90/50 mmHg), pemberian bersama
inhibitor CYP3A4 seperti ketokonazol, itrakonazol, antibiotik makrolida (klaritromisin, eritromisin, josamisin,
telitromisin), inhibitor protease HIV (nelfinavir, ritonavir) dan nefazodon, kehamilan, menyusui.
Efek Samping:
sangat umum: gangguan penglihatan termasuk phosphenes umum: sakit kepala (bulan pertama pengobatan),
pusing (akibat bradikardi), pandangan kabur, bradikardi, perpanjangan interval PQ pada EKG (AV 1st degree
block), ekstrasistol ventrikel;
tidak umum: eosinofil, hiperurisemia, sinkop (akibat bradikardi), vertigo, palpitasi, ekstrasistol supraventrikel,
hipotensi (akibat bradikardi), dispnea, mual, konstipasi, diare, angioedema, ruam, kram otot, astenia (akibat
bradikardi), letih, peningkatan kreatinin darah; jarang: eritema, pruritus, urtikaria, malaise (akibat
bradikardi); sangat jarang: fibrilasi atrial, sick-sinus syndrome, AV 2nd degree block, AV 3rd degree block.
Dosis:
arteri koroner: dosis awal 5 mg dua kali sehari, apabila diperlukan dosis dapat ditingkatkan setelah 3-4
minggu pengobatan menjadi 7,5 mg dua kali sehari, apabila pasien tidak dapat mentoleransi dosis ini (denyut
jantung pada saat istirahat kurang dari 50 detak/menit atau muncul gejala bradikardi seperti pusing, kelelahan
atau hipotensi) maka dosis diturunkan menjadi 2,5 mg dua kali sehari, pengobatan harus dihentikan apabila
denyut jantung tetap di bawah 50 detak/menit atau gejala bradikardi muncul, lansia dosis awal 2,5 mg dua kali
sehari; gagal jantung kronis: dosis awal 5 mg dua kali sehari, setelah 2 minggu pengobatan apabila diperlukan
dosis dapat ditingkatkan menjadi 7,5 mg dua kali sehari jika denyut jantung istirahat terus-menerus lebih dari
60 detak/menit atau diturunkan menjadi 2,5 mg dua kali sehari jika denyut jantung istirahat terus-menerus
kurang dari 50 detak/menit atau muncul gejala bradikardi seperti pusing, kelelahan atau hipotensi, pengobatan
harus dihentikan apabila denyut jantung tetap di bawah 50 detak/menit atau gejala bradikardi tetap muncul.

NESIRITID
Indikasi:
terapi intravena pada gagal jantung kongestif akut yang mengalami dispnea pada saat istirahat atau dengan
aktivitas yang minimal.

Peringatan:
dapat terjadi reaksi alergi karena kandungan proteinnya yang diberikan secara parenteral. Hindari pada pasien
dengan cardiac filling pressure rendah atau berpotensi mengalami cardiac filling pressure rendah. Tidak
dianjurkan pada kondisi valvular stenosis, kardiomiopati obstruktif atau restriktif, perikarditis
konstriktif, pericardial tamponade. Dapat menyebabkan hipotensi, sehingga harus diikuti dengan monitoring
tekanan darah secara intensif. Risiko hipotensi meningkat jika diberikan bersamaan dengan obat lain yang
menyebabkan hipotensi atau pemberian dosis yang lebih tinggi daripada yang dianjurkan. Dapat menyebabkan
azotemia dan peningkatan klirens kreatinin.
Interaksi:
Peningkatan efek hipotensi dengan pemberian bersamaan dengan penghambat ACE atau obat lain yang
menimbulkan efek hipotensi. Inkompatibel secara fisika dan kimia dengan injeksi heparin, insulin, etakrinat,
bumetanid, enalaprilat, hidralazin dan furosemid.

Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap nesiritid. Tidak boleh digunakan sebagai terapi awal pada kondisi syok kardiogenik atau
pada pasien dengan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg pada awal terapi.

Efek Samping:
hipotensi, takikardi ventrikel, ekstrasistol ventrikel, bradikardi, angina pektoris, sakit kepala, nyeri abdomen,
nyeri punggung, insomnia, pusing, ansietas, mual, muntah.

Dosis:
Injeksi bolus 2 mcg/kg bb diikuti dengan pemberian melalui infus 0,01 mcg/kg bb/menit.

TRIMETAZIDIN DIHIDROKLORIDA
Indikasi:
Terapi tambahan pada antiangina lain. Tidak digunakan sebagai terapi tunggal.

Peringatan:
kehamilan dan menyusui. Tidak sebagai terapi kuratif serangan angina, tidak untuk pengobatan awal angina
tidak stabil atau infark miokard; Gagal ginjal dengan bersihkan kreatinin < 15 mL/menit, gagal hati berat.

Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap obat dan komponen obat, menyusui.

Efek Samping:
jarang terjadi, mual, muntah.
Dosis:
Dua kali sehari pada pagi dan sore hari saat makan.

2.5 Diuretika
2.5.1 Tiazid
2.5.2 Diuretika Kuat
2.5.3 Diuretika Hemat Kalium
2.5.4 Diuretika Osmotik
2.5.5 Penghambat Carbonic Anhydrase
2.5.6 Diuretika Kombinasi
Diuretika golongan tiazid digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal jantung dan dengan dosis yang
lebih rendah, untuk menurunkan tekanan darah.
Diuretika kuat digunakan untuk edema paru akibat gagal jantung ventrikel kiri dan pada pasien dengan gagal
jantung kronik.
Kombinasi diuretika dapat efektif untuk edema yang resisten terhadap pengobatan dengan diuretika tunggal .
Misalnya, diuretika kuat dapat dikombinasi dengan diuretika hemat kalium. Diuresis yang hebat terutama oleh
diuretika kuat dapat menyebabkan hipotensi akut; oleh karena itu, harus dihindari berkurangnya volume
plasma yang terlalu cepat.
Pasien lanjut usia. Diuretika sering kali diresepkan secara berlebihan. Sebaiknya digunakan dosis awal yang
rendah pada pasien lansia karena rentan terhadap efek samping golongan obat ini. Dosis harus disesuaikan
menurut fungsi ginjal. Diuretika sebaiknya tidak digunakan terus-menerus dalam jangka panjang untuk
mengobati edema kaki yang ringan (yang biasanya akan memberikan respon terhadap bertambahnya gerakan,
mengangkat kaki atau dengan memakai kaos kaki pendukung).
Kehilangan kalium. Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan diuretika golongan tiazid maupun diuretika
kuat. Risiko hipokalemia lebih bergantung pada lamanya kerja juga potensinya sehingga efek hipokalemia
tiazid lebih besar daripada diuretika kuat dengan potensi yang sama. Hipokalemia akan berbahaya pada
penyakit arteri koroner yang berat dan pada pasien yang juga sedang diobati dengan glikosida jantung.
Seringkali penggunaan diuretika hemat kalium tidak boleh disertai suplemen kalium.
Pada gagal hati, hipokalemia yang disebabkan oleh diuretika dapat mencetuskan ensefalopati, terutama pada
sirosis alkoholik. Diuretika mungkin juga meningkatkan risiko hipomagnesemia pada sirosis alkoholik, dan
menimbulkan aritmia.

Spironolakton, diuretika hemat kalium, dipilih untuk edema yang timbul akibat sirosis hati. Suplemen kalium
atau diuretika hemat kalium jarang diperlukan bila tiazid digunakan pada pengobatan rutin hipertensi.
Suplemen kalium terutama diperlukan pada kondisi-kondisi berikut:

1. Jika pasien termasuk usia lanjut, karena pasien semacam ini sering kekurangan kalium dalam dietnya.
2. Pasien yang menggunakan digoksin atau obat anti aritmia, dimana deplesi kalium dapat menimbulkan
aritmia jantung.
3. Pasien yang mungkin mengalami hiperaldosteronisme, misalnya pada stenosis arteri ginjal, sirosis hati,
sindroma nefrotik, dan gagal jantung yang berat.
4. Pasien dengan kehilangan kalium yang berlebihan, seperti pada diare kronis yang terkait dengan
malabsorpsi usus atau penyalahgunaan pencahar.
5. Pasien yang menerima dosis tinggi tiazid atau diuretika kuat.
 2.5.1 Tiazid
 2.5.2 Diuretika Kuat
 2.5.3 Diuretika Hemat Kalium
 2.5.4 Diuretika Osmotik
 2.5.5 Penghambat Karbonik Anhidrase
 2.5.6 Diuretika Kombinasi
 2.5.1 Tiazid
 Tiazid dan senyawa-senyawa terkait merupakan diuretika dengan potensi sedang, yang bekerja dengan
cara menghambat reabsorbsi natrium pada bagian awal tubulus distal. Mula kerja diuretika golongan
ini setelah pemberian per oral antara 1-2 jam, sedangkan masa kerjanya 12-24 jam. Lazimnya tiazid
diberikan pada pagi hari agar diuresis tidak mengganggu tidur pasien.
 Dalam tatalaksana hipertensi, tiazid dengan dosis rendah misalnya bendroflumetiazid (bendrofluazid)
2,5 mg sehari, menimbulkan efek penurunan tekanan darah yang maksimal atau hampir maksimal,
dengan gangguan biokimia yang sangat kecil. Dosis yang lebih tinggi menyebabkan perubahan yang
tajam atas kadar kalium, natrium, asam urat, glukosa, dan lipid plasma, tanpa meningkatkan
pengendalian tekanan darah.
 Bendrofluazid banyak digunakan untuk gagal jantung ringan atau sedang dan digunakan untuk
hipertensi dalam bentuk tunggal untuk pengobatan hipertensi ringan atau dikombinasi dengan obat
lain untuk hipertensi yang lebih berat. Digunakan juga untuk anak-anak.
 Klortalidon mempunyai masa kerja yang lebih panjang daripada tiazid, dan dapat diberikan dua hari
sekali untuk mengendalikan edema. Obat ini juga bermanfaat bila retensi yang akut dapat dicetuskan
oleh diuresis yang lebih cepat, atau jika pasien tidak suka pola berkemihnya berubah oleh diuretika.
 Tiazid dan diuretika terkait lainnya (termasuk benztiazid, klopamid, siklopentiazid,
hidroklorotiazid dan hidroflumetiazid) tidak memberikan manfaat apapun yang melebihi
bendrofluazid dan klortalidon. Metolazon terutama efektif bila dikombinasikan dengan suatu
diuretika kuat (bahkan pada gagal ginjal) tetapi diuresis hebat dapat terjadi, sehingga pasien harus
dipantau dengan seksama. Sipamid dan indapamid strukturnya mirip dengan klortalidon.
 Indapamid dapat menurunkan tekanan darah dan sedikit memperburuk diabetes melitus.
 Monografi:

 BENDROFLUAZID
(BENDROFLUMETAZID)
 Indikasi:
 edema, hipertensi (lihat keterangan diatas).
 Peringatan:
 pada dosis tinggi atau gangguan ginjal perlu pantau elektrolit; memperburuk diabetes mellitus dan
pirai; mungkin memperburuk SLE (lupus eritematosus sistemik); usia lanjut (lihat keterangan di atas);
kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (diuretika).
 Kontraindikasi:
 hipokalemia yang refraktur, hiponatremia; hiperkalsemia; gangguan ginjal dan hati yang berat;
hiperurikemia yang simtomatik; penyakit Addison.
 Efek Samping:
 hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan; impotensi (reversibel bila obat
dihentikan); hipokalemia (lihat juga keterangan di atas), hipomagnesemia, hiponatremia,
hiperurisemia, pirai, hiperglikemia, dan peningkatan kadar kolesterol plasma; jarang terjadi ruam
kulit, fotosensitivitas; gangguan darah (termasuk neutropenia, bila dirasakan pada masa kehamilan
akhir trombositopenia neonatal telah dilaporkan);pankreatitis, kolestatis intrahepatik, dan reaksi
hipersensitivitas (termasuk pneumonitis, edema paru, reaksi kulit yang berat) juga dilaporkan.
 Dosis:
 edema, dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada pagi hari; dosis penunjang 5-10 mg 1-3
kali seminggu. Hipertensi, 2,5 mg pada pagi hari; dosis yang lebih tinggi jarang diperlukan (lihat
keterangan diatas).
 HIDROKLOROTIAZID
 Indikasi:
 edema, hipertensi.
 Peringatan:
 Pengurangan volume intravaskular: gejala hipotensi khususnya setelah dosis pertama dapat terjadi
pada pasien yang kehilangan volume dan/atau garam oleh karena terapi diuretika, pembatasan diet
garam, diare atau muntah; Arteri stenosis ginjal; Hipertensi renovaskular; Pasien dengan gangguan
ginjal dan transplantasi ginjal; Pasien dengan gangguan hati: tiazid tidak boleh diberikan pada pasien
dengan gangguan fungsi hati atau penyakit hati progresif sejak alterasi minor dari larutan dan
keseimbangan elektrolit dapat mempercepat koma hepatik; Pasien penderita katup jantung stenosis
aorta dan mitral, hipertrofi obstruktif kardiomiopati; Pasien dengan aldosterisme primer; Metabolik
dan efek endokrin: tiazid dapat mengganggu toleransi glukosa.
 Pada pasien diabetes diperlukan penyesuaian dosis insulin atau agent oral hipoglikemik; Kondisi lain
yang distimulasi oleh sistem renin-angiotensin-aldosteron; Ketidakseimbangan elektrolit: tiazid dapat
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiponatremia dan hipokloremik alkalosis).
Tiazid dapat menurunkan eksresi kalsium urin dan dapat menyebabkan peningkatan serum kalsium
sedikit demi sedikit dengan tidak adanya gangguan yang diketahui dari metabolisme kalsium.
Hiperkalsemia ditandai dengan adanya hiperparatiroidisme yang tersembunyi.
 Penggunaan tiazid harus dihentikan sebelum melakukan test untuk fungsi paratiroid. Tiazid juga
menunjukkan peningkatan eksresi magnesium urin yang dapat mengakibatkan hipomagnesemia.
 Interaksi:
 alkohol, barbiturat atau narkotik; obat-obat antidiabetik (oral dan insulin); kolestiramin dan resin
kolestipol; kortikosteroid, ACTH; glikosida digitalis; AINS; pressor amine(seperti noradrenalin);
relaksan otot skelet nondepolarizing; garam kalsium; atropin, beperiden, siklofosfamid, metotreksat.
 Kontraindikasi:
 gangguan hati berat, gangguan ginjal berat (kreatinin klirens < 30 mL/menit), hipokalemia refraktori,
hiperkalsemia, hamil dan menyusui (lihat lampiran 4 dan 5).
 Efek Samping:
 anoreksia, penurunan nafsu makan, iritasi lambung, diare, konstipasi, sialadenitis,
pankreatitis, jaundice, xanthopsia, gangguan penglihatan sementara, leukopenia, neutropenia/
agranulositosis, thrombositopenia, anemia aplastik, anaemia hemolitik, depresi sumsum tulang
belakang, reaksi fotosensitivitas, ruam, reaksi seperti cutaneous lupus erythematosus,
reaktivasi cutaneous lupus erythematosus, urtikaria, vaskulitis, cutaneous vasculitis, reaksi anafilaksis,
keracunan epidermal nekrolisis, demam, penekanan saluran pernafasan, gangguan ginjal, nefritis
interstisial, kejang otot, lemas, gelisah, kepala terasa ringan, vertigo, paraesthesia, hipotensi postural,
kardiak aritmia, gangguan tidur dan depresi.
 Dosis:
 edema, dosis awal 12,5-25 mg sehari, untuk penunjang jika mungkin dikurangi; edema kuat pada
pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretika berat, awalnya 75 mg sehari.
 Hipertensi, dosis awal 12,5 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehari (lihat juga
keterangan diatas). Usia Lanjut. Pada pasien tertentu (terutama usia lanjut) dosis awal 12,5 mg sehari
mungkin cukup.

 INDAPAMID
 Indikasi:
 hipertensi esensial.
 Peringatan:
 gangguan ginjal (hentikan bila memburuk); pantau kadar kalium dan urat plasma pada usia lanjut,
hiperaldosteronisme, pirai, atau pengobatan bersama glikosida jantung; hiperparatiroidisme (hentikan
jika hiperkalsemia); kehamilan dan menyusui.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (diuretika).
 Kontraindikasi:
 stroke yang baru saja terjadi, gangguan hati yang berat.
 Efek Samping:
 hipokalemia, sakit kepala, pusing, konstipasi, dispepsia, ruam kulit (eritema multiforme, nekrolisis
epidermal dilaporkan); jarang terjadi hipotensi ortostatik, palpitasi, enzim hati meningkat, gangguan
darah (termasuk trombositopenia), hiponatremia, alkalosis metabolik, hiperglikemia, kadar urat
plasma meningkat, parestesia meningkat, fotosensitivitas, impotensi, gangguan ginjal, miopia akut
yang reversibel; diuresis dengan dosis di atas 2,5 mg sehari.
 Dosis:
 2,5 mg sehari pada pagi hari.

 KLORTALIDON
 Indikasi:
 asites karena sirosis pada sekelompok pasien (dibawah pengawasan dokter), edema karena sindrom
nefrotik, hipertensi (lihat juga keterangan diatas); gagal jantung kronik yang ringan sampai sedang;
diabetes insipidus.
 Peringatan:
 lihat pada Bendrofluazid.
 Kontraindikasi:
 lihat pada Bendrofluazid.
 Efek Samping:
 lihat pada Bendrofluazid.
 Dosis:
 edema, hingga 50 mg sehari selama periode terbatas.
Hipertensi, 25 mg pada pagi hari, jika perlu tingkatkan sampai 50 mg (lihat juga keterangan di atas)

 METOLAZON
 Indikasi:
 edema, hipertensi (lihat juga keterangan di atas).
 Peringatan:
 lihat pada Bendrofluazid; juga diuresis berat pada pemberian bersama furosemid (pantau pasien
dengan seksama); porfiria.
 Kontraindikasi:
 lihat pada Bendrofluazid.
 Efek Samping:
 lihat pada Bendrofluazid.
 Dosis:
 edema, 5-10 mg pada pagi hari; jika perlu tingkatkan sampai 20 mg sehari pada edema resisten,
maksimal 80 mg sehari
Hipertensi, dosis awal 5 mg pada pagi hari; dosis penunjang 5 mg selang sehari.

 SIPAMID
 Indikasi:
 edema, hipertensi (lihat juga keterangan di atas).
 Peringatan:
 lihat pada Bendrofluazid; juga porfiria.
 Kontraindikasi:
 lihat pada Bendrofluazid.
 Efek Samping:
 gangguan saluran cerna; pusing ringan; hipokalemia, lebih jarang terjadi gangguan elektrolit lain
seperti hiponatremia.
 Dosis:
 edema, dosis awal 40 mg pada pagi hari; tingkatkan sampai 80 mg pada kasus resisten; dosis
penunjang 20 mg pada pagi hari.
Hipertensi, 20 mg pada pagi hari.

 2.5.2 Diuretika Kuat


 Diuretika kuat digunakan dalam pengobatan edema paru akibat gagal jantung ventrikel kiri.
Pemberian intravena mengurangi sesak nafas dan mengurangi preloadlebih cepat dari yang
diharapkan dari mula kerja diuresis. Diuretika kuat ini juga digunakan pada pasien gagal jantung
kronik. Edema yang resisten terhadap diuretika (kecuali edema limfa dan edema akibat stasis vena
perifer atau antagonis kalsium) dapat diobati dengan diuretika kuat yang dikombinasikan dengan
tiazid atau diuretika sejenis (contoh bendroflumetiazid 5-10 mg sehari atau metolazon 5-20 mg
sehari).
 Diuretika kuat kadang-kadang digunakan untuk menurunkan tekanan darah terutama pada hipertensi
yang resisten terhadap terapi tiazid. Diuretika kuat menghambat resorpsi cairan dari ascending limb of
the loop of Henle dalam tubulus ginjal dan merupakan diuretika yang kuat. Hipokalemia dapat terjadi,
dan perlu hati-hati untuk menghindari hipotensi. Jika terdapat pembesaran prostat, dapat terjadi retensi
urin. Risiko ini kemungkinan terjadinya kecil bila pada awalnya digunakan diuretika dosis kecil dan
tidak terlalu poten.
 Furosemid dan bumetanid aktivitasnya serupa. Keduanya bekerja dalam waktu 1 jam setelah
pemberian oral dan efek diuresis berakhir dalam 6 jam, sehingga jika perlu dapat diberikan 2 kali
dalam satu hari tanpa mengganggu tidur. Setelah pemberian intravena kedua obat tersebut
menghasilkan efek puncak dalam 30 menit. Diuresis yang dikaitkan dengan kedua obat ini ternyata
berhubungan dengan dosis. Pada pasien dengan fungsi ginjal terganggu, kadang-kadang diperlukan
dosis yang sangat besar. Pada dosis besar, keduanya dapat menyebabkan ketulian dan bumetamid
dapat menyebabkan mialgia.
 Furosemid banyak digunakan pada anak-anak. Obat ini digunakan untuk edema paru, gagal jantung
kongestif dan hipertensi karena gagal jantung atau ginjal. Furosemid kadang-kadang menyebabkan
otoksisitas tapi risiko ini dapat dikurangi dengan memberikan dosis oral yang besar dalam 2 atau lebih
dosis terbagi. Penggunaan jangka panjang pada neonatus dapat menimbulkan nefrokalsinosis yang
disebabkan meningkatnya kehilangan kalsium melalui urin. Pada kasus ini lebih baik digunakan
tiazid.
 Torasemid memiliki sifat-sifat yang sama dengan furosemid dan bumetamid, dan digunakan untuk
edema dan hipertensi.
 Monografi:

 BUMETAMID
 Indikasi:
 edema (lihat keterangan di atas); oliguria karena gagal ginjal.
 Peringatan:
 lihat pada Furosemid; gangguan hati; gangguan ginjal; kehamilan dan menyusui.
 Kontraindikasi:
 lihat pada furosemid.
 Efek Samping:
 lihat pada furosemid; juga mialgia.
 Dosis:
 oral, 1 mg pada pagi hari, jika perlu ulangi setelah 6-8 jam; kasus yang parah tingkatkan sampai 5 mg
sehari atau lebih. USIA LANJUT. 0,5 mg sehari mungkin cukup Injeksi intravena, 1-2 mg, ulangi
setelah 20 menit;
jika injeksi intramuskuler perlu dipertimbangkan, dosis awal 1 mg kemudian disesuaikan menurut
responsnya Infus intravena, 2-5 mg selama 30-60 menit.

 FUROSEMID
 Indikasi:
 udem karena penyakit jantung, hati, dan ginjal. Terapi tambahan pada udem pulmonari akut dan udem
otak yang diharapkan mendapat onset diuresis yang kuat dan cepat.
 Peringatan:
 hipotensi, pasien dengan risiko penurunan tekanan darah, diabetes melitus, gout, sindrom hepatorenal,
hipoproteinemia, bayi prematur.
 Interaksi:
 glukokortikoid, karbenoksolon, atau laksatif: meningkatkan deplesi kalium dengan risiko hipokalemia.
Antiinflamasi non-steroid (AINS), probenesid, metotreksat, fenitoin, sukralfat: mengurangi efek dari
furosemid. Glikosida jantung: meningkatkan sensitivitas miokardium. Obat yang dapat
memperpanjang interval QT: meningkatkan risiko aritmia ventrikular. Salisilat: meningkatkan risiko
toksisitas salisilat. Antibiotik aminoglikosida, sefalosporin, dan polimiksin: meningkatkan efek
nefrotoksik dan ototoksik. Sisplastin: memungkinkan adanya risiko kerusakan pendengaran. Litium:
meningkatkan efek litium pada jantung dan neurotoksik karena furosemid mengurangi eksresi litium.
Antihipertensi: berpotensi menurunkan tekanan darah secara drastis dan penurunan fungsi ginjal.
Probenesid, metotreksat: menurunkan eliminasi probenesid dan metotreksat. Teofilin: meningkatkan
efek teofilin atau agen relaksan otot. Antidiabetik dan antihipertensi simpatomimetik: menurunkan
efek obat antidiabetes dan antihipertensi simpatomimetik. Risperidon: hati-hati penggunaan
bersamaan. Siklosporin: meningkatkan risiko gout. Media kontras: risiko pemburukan kerusakan
ginjal. Kloralhidrat: mungkin timbul panas, berkeringat, gelisah, mual, peningkatan tekanan darah dan
takikardia.
 Kontraindikasi:
 gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan koma hepatik, defisiensi elektrolit, hipovolemia,
hipersensitivitas.
 Efek Samping:
 sangat umum: gangguan elektrolit, dehidrasi, hipovolemia, hipotensi, peningkatan kreatinin
darah. Umum: hemokonsentrasi, hiponatremia, hipokloremia, hipokalemia, peningkatan kolesterol
darah, peningkatan asam urat darah, gout, enselopati hepatik pada pasien dengan penurunan fungsi
hati, peningkatan volume urin. Tidak umum:trombositopenia, reaksi alergi pada kulit dan membran
mukus, penurunan toleransi glukosa dan hiperglikemia, gangguan pendengaran, mual, pruritus,
urtikaria, ruam, dermatitis bulosa, eritema multiformis, pemfigoid, dermatitis eksfoliatif, purpura,
fotosensitivitas. Jarang: eosinofilia, leukositopenia, anafilaksis berat dan reaksi anafilaktoid,
parestesia, vakulitis, muntah, diare, nefritis tubulointerstisial, demam. Sangat jarang: anemia
hemolitik, anemia aplastik, agranulositosis, tinnitus, pankreatitis akut, kolestasis intrahepatik,
peningkatan transaminase. Tidak diketahui frekuensinya: hipokalsemia, hipomagnesemia, alkalosis
metabolik, trombosis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, pustulosis eksantema
generalisata akut (Acute Generalized Exanthematous Pustulosis/AGEP), reaksi obat dengan
eosinofilia dan gejala sistemik (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom/DRESS),
peningkatan natrium urin, peningkatan klorida urin, peningkatan urea darah, gejala gangguan fungsi
mikturisi, nefrokalsinosis dan/atau nefrolitiasis pada bayi prematur, gagal ginjal, peningkatan
risiko persistent ductus arteriosus pada bayi prematur usia seminggu, nyeri lokal pada area injeksi.
 Dosis:
 Oral: Udem. Dewasa, dosis awal 40 mg pada pagi hari, penunjang 20-40 mg sehari, tingkatkan sampai
80 mg sehari pada udem yang resistensi. Anak, 1-3 mg/kg BB sehari, maksimal 40 mg
sehari. Oliguria. Dosis awal 250 mg sehari. Jika diperlukan dosis lebih besar, tingkatkan bertahap
dengan 250 mg, dapat diberikan setiap 4-6 jam sampai maksimal dosis tunggal 2 g (jarang digunakan).
 Injeksi intravena atau intramuskular: Udem. Dewasa >15 tahun, dosis awal 20-40 mg, dosis dapat
ditingkatkan sebesar 20 mg tiap interval 2 jam hingga efek tercapai. Dosis individual diberikan 1-2
kali sehari. Pemberian injeksi intravena harus perlahan dengan kecepatan tidak melebihi 4 mg/menit.
Pemberian secara intramuskular hanya dilakukan bila pemberian oral dan intravena tidak
memungkinkan. Intramuskular tidak untuk kondisi akut seperti udem pulmonari. Udem pulmonari
akut. Dosis awal 40 mg secara intravena. Jika tidak mendapatkan respons yang diharapkan selama 1
jam, dosis dapat ditingkatkan hingga 80 mg secara intravena lambat. Udem otak. Injeksi intravena 20-
40 mg 3 kali sehari. Diuresis mendesak.Dosis 20-40 mg diberikan bersama infus cairan elektrolit.
Bayi dan anak <15 tahun, pemberian secara parenteral hanya dilakukan bila keadaan mendesak atau
mengancam jiwa (1 mg/kg BB hingga maksimum 20 mg/hari).

 TORASEMID
 Indikasi:
 edema (lihat keterangan di atas); hipertensi.
 Peringatan:
 lihat pada furosemid; gagal hati; gagal ginjal; kehamilan.
 Kontraindikasi:
 lihat furosemid.
 Efek Samping:
 lihat furosemid; juga mulut kering; paraestesia anggota badan jarang.
 Dosis:
 oral, edema, 5 mg sekali sehari, sebaiknya pada pagi hari, jika perlu tingkatkan sampai 20 mg sekali
sehari; dosis maksimal 40 mg sehari. Hipertensi, 2,5 mg sehari, bila perlu tingkatkan sampai 5 mg
sekali sehari.

2.5.3 Diuretika Hemat Kalium


Amilorid dan triamteren tunggal merupakan diuretika yang lemah. Keduanya menyebabkan retensi kalium
dan karenanya digunakan sebagai alternatif yang lebih efektif sebagai suplementasi kalium pada penggunaan
tiazid atau diuretika kuat. Suplemen kalium tidak boleh diberikan bersama diuretika hemat kalium. Juga
penting untuk diingat bahwa pemberian diuretika hemat kalium pada seorang pasien yang menerima suatu
penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II dapat menyebabkan hiperkalemia berat.
Monografi:

AMILORID HIDROKLORIDA
Indikasi:
edema, konversi kalium dengan tiazid dan diuretika kuat.

Peringatan:
kehamilan dan menyusui; gangguan ginjal; diabetes mellitus; usia lanjut.

Interaksi:
lihat pada lampiran 1 (diuretika).
Kontraindikasi:
Hiperkalemia, gagal ginjal.

Efek Samping:
meliputi gangguan saluran cerna, mulut kering, ruam kulit, bingung, hipotensi postural, hiperkalemia,
hiponatremia.

Dosis:
digunakan sendiri, dosis awal 10 mg sehari atau 5 mg 2 kali sehari, sesuaikan menurut respons; maksimal 20
mg sehari. Dengan diuretika lain, gagal jantung kongestif dan hipertensi, dosis awal 5-10 mg sehari; sirosis
dengan asites, dosis awal 5 mg sehari.

TRIAMTEREN
Indikasi:
edema, sebagai penahan kalium dalam terapi kombinasi dengan hidroklortiazid dan diuretika kuat.

Peringatan:
lihat keterangan pada amilorid hidroklorida; dapat menyebabkan warna urin berubah menjadi biru fluoresens.
Kontraindikasi:
lihat keterangan pada amilorid hidroklorida.
Efek Samping:
gangguan saluran cerna, mulut kering, ruam kulit; sedikit penurunan tekanan darah, hiperkalemia,
hiponatremia; juga dilaporkan fotosensitivitas dan gangguan darah; triamteren ditemukan pada batu ginjal.

Dosis:
Awal, 150-250 mg per hari, dosis dikurangi menjadi setiap dua hari setelah satu minggu; diberikan dalam dosis
terbagi setelah sarapan dan makan siang; dosis awal yang lebih rendah jika diberikan bersama diuretika lain.

 Antagonis Aldosteron

 Antagonis Aldosteron
 Spironolakton mempotensiasi tiazid atau diuretika kuat dengan cara melawan kerja aldosteron.
Spironolakton bermanfaat dalam pengobatan udem sirosis pada hati. Spironolakton dosis rendah
bermanfaat pada gagal jantung berat. Spironolakton juga digunakan untuk hiperaldo-steronisme
(sindrom Conn). Spironolakton diberikan sebelum pembedahan. Apabila pembedahan tidak mungkin
dilakukan, spironolakton diberikan dengan dosis efektif terendah untuk penunjang.
 Spironolakton adalah diuretika hemat kalium yang paling sering digunakan pada anak-anak, obat ini
merupakan antagonis aldosteron dan meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus
distal. Spironolakton dikombinasikan dengan diuretika lain untuk mengurangi hilangnya kalium
melalui urin. Obat ini juga digunakan dalam jangka waktu panjang untuk penatalaksanaan sindrom
Bartter dan dosis tinggi dapat mengendalikan asites pada bayi dengan hepatitis neonatal menahun
(kronis). Manfaat klinis spironolakton dalam penatalaksanaan udem paru pada awal neonatal prematur
dengan penyakit paru kronis belum diketahui dengan pasti.
 Eplerenon digunakan sebagai terapi tambahan pada disfungsi ventrikel kiri yang disertai dengan
kejadian gagal jantung setelah infark miokard.
 Seperti juga diuretika hemat kalium, suplemen kalium tidak boleh diberikan bersama dengan
antagonis aldosteron.
 Monografi:

 SPIRONOLAKTON
 Indikasi:
 edema dan asitas pada sirosis hati, asites malignan, sindroma nefrotik, gagal jantung kongestif;
hiperaldosteronism primer.
 Peringatan:
 produk-produk metabolik berpotensi karsinogenik pada hewan mengerat; usia lanjut; gangguan hati;
gangguan ginjal (hindari bila sedang sampai berat); pantau elektrolit (hentikan bila terjadi
hiperkalemia, hiponatremia; penyakit Addison).
 Efek Samping:
 gangguan saluran cerna; impotensi, ginekomastia, menstruasi tidak teratur, letargi, sakit kepala,
bingung; ruam kulit; hiperkalemia; hiponatremia; hepatotoksisitas, osteomalasia, dan gangguan darah
dilaporkan.
 Dosis:
 100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400 mg; Anak. dosis awal 3 mg/kg bb dalam dosis
terbagi.

 EPLERENON
 Indikasi:
 tambahan terapi standar termasuk beta bloker untuk mengurangi risiko mortalitas dan morbiditas
kardiovaskuler pada pasien disfungsi ventrikel kiri yang stabil LVEF < 40%, dengan bukti klinis gagal
jantung setelah infark miokard.
 Peringatan:
 periksa kadar kalium plasma sebelum terapi, selama pemberian awal, dan saat perubahan dosis; lansia,
gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); kehamilan (lampiran 4); menyusui
(lampiran 5).
 Interaksi:
 diuretika (lampiran 1).
 Kontraindikasi:
 hiperkalemia, penggunaan bersamaan dengan diuretika hemat kalium, atau suplemen kalium;
hipersensitif terhadap komponen obat, gangguan fungsi ginjal (bersihan kreatinin di bawah 50
mL/menit), gangguan fungsi hati, pasien dengan kadar kalium serum awal di atas di atas 5,0 mmol/L.
 Efek Samping:
 diare, mual; hipotensi; pusing; hiperkalemia; lebih jarang perut kembung, muntah, atrial fibrillation,
hipotensi postural, arterial thrombosis, dislipidemia, faringitis, sakit kepala, insomnia, pyelonefritis,
hiponatremia, dehidrasi, eosinofilia, asthenia, malaise, sakit punggung, kram kaki, gangguan fungsi
ginjal, azotemia, berkeringat, gatal.
 Dosis:
 dosis awal 25 mg sehari sekali, ditingkatkan dalam 4 minggu sampai 50 mg sehari sekali dengan
mempertimbangkan kadar kalium serum (lihat tabel).
 Tabel pengaturan dosis sesudah pemberian awal.
Kalium
serum Penyesuaian
(mmol/L) Tindakan dosis

1x25 mg setiap
dua hari
menjadi 1x25
mg setiap hari

1x25 mg setiap
hari menjadi
1x50 mg setiap
<5,0 Ditingkatkan hari

5,0–5,4 Tetap Tidak


ada penyesuaian
dosis

1x50 mg setiap
hari menjadi
1x25 mg setiap
hari
1x25 mg setiap
hari menjadi
1x25 mg setiap
dua hari
1x25mg setiap
dua hari
menjadi
5,0–5,9 Diturunkan dihentikan

>6,0 Dihentikan Tidak ada

 Terapi eplerenon biasanya dimulai antara 3-14 hari setelah infark miokard akut; pasien dengan kalium
serum di atas 5,0 mmol/L tidak boleh dimulai dengan eplerenon, kalium serum harus diukur sebelum
memulai terapi eplerenon selama satu minggu dan satu bulan, sesudah dimulainya terapi atau
penyesuaian dosis; kalium serum harus dinilai secara periodik; tidak dianjurkan untuk anak-anak.
Eplerenon dihentikan karena kalium serum > 6,0 mmol/L, eplerenon dapat dimulai kembali dengan
dosis 25 mg dua kali sehari jika kadar kalium serum menurun di bawah 5,0 mmol/L.

 2.5.4 Diuretika Osmotik


 Diuretika golongan ini jarang digunakan pada gagal jantung karena dapat meningkatkan volume darah
secara akut. Manitol digunakan pada edema serebral, dengan dosis 1 g/kg sebagai larutan 20% yang
diberikan lewat infus intravena dengan kecepatan yang cepat. Manitol juga digunakan untuk
mengurangi meningkatnya tekanan intra okuler.
 Monografi:

 MANITOL
 Indikasi:
 edema serebral.
 Peringatan:
 gagal jantung kongestif, edema paru.
 Efek Samping:
 menggigil, demam.
 Dosis:
 infus intravena, diuresis, 50 - 200 mg selama 24 jam, didahului oleh dosis uji 200 mg/kg bb injeksi
intravena yang lambat. Serebral edema, lihat keterangan diatas.

2.5.5 Penghambat Karbonik


Anhidrase
Penghambat enzim karbonik anhidrase (asetazolamid) merupakan diuretika yang lemah dan jarang digunakan
untuk efek diuretikanya. Asetazolamid dan tetes mata dorzolamid menghambat pembentukan cairan bola mata
dan digunakan untuk glaukoma (lihat 11.4). Pada anak-anak, asetazolamid juga digunakan untuk pengobatan
epilepsi dan meningkatkan tekanan intrakranial.

2.5.6 Diuretika Kombinasi


Ada pasien yang dalam pengobatan dengan diuretika tidak memerlukan suplementasi kalium. Pada pasien
yang memerlukan suplementasi kalium, jumlah kalium pada sediaan kombinasi mungkin tidak mencukupi,
karena itu penggunaannya tidak terlalu dianjurkan.

Diuretika dengan suplemen kalium dan diuretika hemat kalium tidak boleh diberikan bersamaan.

Diuretika dan suplemen kalium harus diberikan secara terpisah pada anak-anak.

KONSELING. Tablet kalium dengan formulasi lepas lambat harus ditelan utuh dengan banyak minum,
diberikan saat makan dapat sambil duduk atau berdiri.

2.6 Antikoagulan dan Protamin


2.6.1. Antikoagulan oral
2.6.2. Antikoagulan parenteral
2.6.3. Protamin

Penggunaan utama antikoagulan adalah untuk mencegah pembentukan trombus atau memecah trombus yang
sudah terbentuk di sisi vena dengan aliran yang lambat, di mana trombus terdiri dari jaringan fibrin dengan
trombosit dan sel darah merah. Antikoagulan banyak digunakan dalam pencegahan dan pengobatan trombosis
vena dalam di kaki. Antikoagulan kurang berguna dalam pencegahan pembentukan trombus dalam arteri,
untuk trombus dalam pembuluh darah dengan aliran darah yang lebih cepat, yang terutama terdiri dari platelet
dengan sedikit fibrin.

Biasanya digunakan untuk mencegah pembentukan trombus yang terjadi pada katup jantung prostetik

 2.6.1 Antikoagulan Oral


 2.6.2 Antikoagulan Parenteral
 2.6.3 Protamin

2.6.1 Antikoagulan Oral


Antikoagulan oral melawan efek vitamin K, dan diperlukan waktu paling tidak 48-72 jam untuk mendapat efek
antikoagulan yang maksimal. Jika diperlukan efek yang segera, heparin harus diberikan bersamaan.

Penggunaan. Indikasi utama terapi antikoagulan oral adalah trombosis vena dalam. Selain itu juga digunakan
pada pasien embolisme paru, fibrilasi atrium dengan risiko embolisasi, dan pasien dengan katup jantung
prostetik mekanik (untuk mencegah terjadinya emboli di atas katup tersebut). Obat antiagregasi dapat juga
digunakan pada pasien tersebut.
Warfarin merupakan obat terpilih, sedangkan asenokumarol dan fenindion jarang digunakan. Warfarin
merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan tromboemboli sistemik pada anak-anak (bukan neonatus)
setelah heparinisasi awal.

Antikoagulan oral tidak boleh digunakan sebagai terapi lini pertama pada trombosis arteri serebral atau oklusi
arteri perifer; asetosal lebih sesuai untuk mengurangi risiko serangan iskemik otak yang bersifat sementara.
Heparin atau heparin bobot molekul rendah biasanya dipilih untuk profilaksis tromboemboli vena pada pasien
yang akan dibedah.

Dosis. Apabila memungkinkan, sebaiknya dilakukan pengukuran waktu protrombin awal, namun dosis awal
tidak boleh ditunda pemberiannya walau hasil uji belum didapatkan.
Dosis induksi lazim pada dewasa untuk warfarin adalah 10 mg sehari selama 2 hari (tidak dianjurkan dosis
yang lebih tinggi). Dosis penunjang lanjutan bergantung pada waktu protrombin, dilaporkan sebagai INR
(internasional normalised ratio). Dosis penunjang per hari warfarin biasanya 3 sampai dengan 9 mg (diminum
pada jam yang sama setiap hari). Target INR menurut rekomendasi British Society for Haematology:
 INR 2,5 untuk pengobatan trombosis vena-dalam dan embolisme paru (atau untuk kekambuhan pada
pasien yang tidak lagi menerima warfarin), untuk pengobatan trombosis vena-dalam dan embolisme paru
yang berhubungan dengan sindrom antifosfolipid, untuk fibrilasi atrial, cardioversion (target nilai INR
yang lebih tinggi, misalnya 3, sebelum melakukan tindakan), dilated kardiomiopati, mural thrombus pasca
infark miokard, dan hemoglobinuria paroksismal di malam hari;
 INR 3,5 untuk trombosis vena-dalam kambuhan dan embolisme paru (pada pasien yang sedang mendapat
terapi warfarin dengan INR di atas 2);
 Untuk pasien dengan katup jantung prostetik mekanik, target INR yang dianjurkan tergantung pada tipe
lokasi dari katup. Pada umumnya, target INR 3 dianjurkan untuk katup aorta mekanik, dan 3,5 untuk katup
mitral mekanik
Pemantauan. Penting untuk menentukan INR setiap hari atau selang sehari pada awal pengobatan, selanjutnya
dengan interval yang lebih panjang (bergantung pada respon yang diperoleh) dan selanjutnya dilakukan setiap
12 minggu.
Pendarahan. Efek samping utama semua antikoagulan oral adalah perdarahan. Pemantauan INR dan
melewatkan dosis jika perlu dapat dilakukan; apabila antikoagulan sudah dihentikan namun perdarahan tidak
berhenti, INR harus diukur 2-3 hari kemudian untuk memastikan bahwa INR menurun.
Rekomendasi the British Society for Haematology untuk pasien yang menerima warfarin (berdasarkan nilai
INR dan kondisi perdarahan mayor atau minor):
 Perdarahan mayor – hentikan warfarin; berikan fitomenadion (vitamin K) 5-10 mg secara injeksi intravena
lambat; berikan konsentrat protrombin kompleks (faktor II, VII, IX dan X) 30-50 unit/kg bb atau plasma
segar beku (fresh frozen plasma) 15 mL/kg bb (jika konsentrat tidak tersedia).
 INR >8,0, tidak ada perdarahan atau perdarahan minor– hentikan warfarin, mulai gunakan kembali bila
INR <5,0; jika ada faktor risiko perdarahan yang lain berikan fitomenadion (vitamin K) 500 mcg secara
injeksi intravena lambat atau 5 mg per oral (untuk mengatasi sebagian efek antikoagulan diberikan
fitomenadion dengan dosis oral yang lebih kecil misalnya 0,5–2,5 mg dengan menggunakan preparat
intravena secara oral); ulangi dosis fitomenadion jika INR masih terlalu tinggi setelah 24 jam.
 INR 6,0–8,0, tidak ada perdarahan atau perdarahan minor– hentikan warfarin, mulai lagi bila INR <5,0.
 INR < 6,0 tetapi lebih dari 0,5 unit di atas nilai sasaran– kurangi dosis atau hentikan warfarin, mulai lagi
bila INR<5,0.
 Perdarahan yang tidak terduga pada dosis terapi– periksa kemungkinan penyebabnya misalnya penyakit
ginjal atau saluran cerna yang tidak terduga.
Efek samping utama semua antikoagulan oral adalah perdarahan.
Kehamilan. Antikoagulan oral bersifat teratogenik. Karena itu, tidak boleh diberikan pada trimester pertama
kehamilan. Wanita dengan risiko hamil harus diberi peringatan terhadap bahaya obat ini karena menghentikan
pemakaian warfarin sebelum 6 minggu usia kehamilan akan menghindarkan risiko abnormalitas janin.
Antikoagulan oral menembus plasenta dengan risiko menimbulkan perdarahan plasenta atau fetus, terutama
selama beberapa minggu terakhir kehamilan dan pada masa persalinan. Karena itu, antikoagulan oral
seharusnya dihindari pada kehamilan, terutama pada trimester pertama dan ketiga. Hal ini sulit dilakukan,
terutama pada wanita dengan katup jantung buatan, fibrilasi atrium atau dengan riwayat trombosis vena
kambuhan atau embolisme paru.
Monografi:

APIKSABAN
Indikasi:
pencegahan kejadian tromboemboli vena (Venous Thromboembolic Events, VTE) pada pasien dewasa paska
operasi penggantian pinggul atau lutut.
Peringatan:
risiko perdarahan, kerusakan ginjal, kerusakan hati ringan dan sedang, anastesi neuraksial, operasi pinggul
yang retak, tukak pada saluran pencernaan, riwayat stroke hemoragik, hipertensi berat, infeksi endokarditis,
paska operasi otak, sumsum tulang belakang, atau mata, sedang menggunakan obat yang meningkatkan risiko
perdarahan, tidak direkomendasikan penggunaan pada kehamilan dan menyusui.

Interaksi:
risiko perdarahan meningkat pada penggunaan bersama dengan antiplatelet, AINS, antikoagulan dan
sulfinpirazon, antifungi (ketokonazol, itrakonazol, vorikonazol, dan posakonazol) meningkatkan konsentrasi
plasma apiksaban (disarankan untuk dihindari), antibakteri (rifampisin) menurunkan konsentrasi plasma
apiksaban, antivirus, hindari penggunaan bersama dengan atazanavir, darunavir, fosamprenavir, indinavir,
lopinavir, nelfinavir, ritonavir, saquinavir dan tipranavir.

Kontraindikasi:
perdarahan aktif, penyakit hati terkait koagulopati dan risiko perdarahan lainnya.

Efek Samping:
umum:anemia, perdarahan, memar, dan mual; Tidak umum: hipotensi, trombositopenia, epistaksis, perdarahan
saluran pencernaan, perdarahan melalui anus (hematozesia), peningkatan transaminase, peningkatan aspartat
aminotransferase, peningkatan gamma-glutamiltransferase, gangguan pada hasil uji fungsi hati, peningkatan
fosfatase alkali darah, peningkatan bilirubin darah, hematuria.
Dosis:
oral, 2,5 mg dua kali sehari, diberikan 12-24 jam setelah operasi. Pengobatan dilakukan selama 10-14 hari
untuk pasca operasi penggantian lutut atau 32-38 hari untuk pasca operasi penggantian pinggul.

DABIGATRAN ETEKSILAT
Indikasi:
Profilaksis primer tromboemboli vena pasien dewasa pasca operasi elektif penggantian pinggul total (total hip
replacement) dan operasi penggantian lutut total (total knee replacement), profilaksis embolisme stroke dan
sistemik pada pasien dengan fibrilasi atrial dengan paling sedikit satu faktor risiko stroke (seperti riwayat
stroke iskemik, Transient Ischemic Attack (TIA), atau embolisme sistemik, disfungsi ventrikular kiri), terapi
trombosis vena dalam akut (DVT) dan/atau emboli paru (PE).
Peringatan:
Pasien dengan risiko perdarahan seperti: gangguan koagulasi, trombositopenia atau kerusakan fungsi platelet,
penyakit ulseratif saluran pencernaan aktif, perdarahan pencernaan, tindakan biopsi atau trauma besar,
perdarahan intrakranial, pembedahan otak, spinal, atau optalmik, endokarditis bakterial. Tidak
direkomendasikan pada gangguan fungsi hati sedang dan berat (Klasifikasi Child-Pugh B dan C) atau kenaikan
enzim hati >2 ULN. Gangguan fungsi ginjal sedang (klirens kreatinin 30-50 mL/menit) dan usia ≥75 tahun
diperlukan pengurangan dosis. Gagal ginjal akut: penggunaan harus dihentikan. Pada pasien dengan anastesi
spinal/anastesi epidural/pungsi lumbal, dosis awal diberikan satu jam setelah kateter dilepas. Kehamilan dan
menyusui. Tidak direkomendasikan anak usia dibawah 18 tahun. Tidak direkomendasikan penggantian terapi
dari antikoagulan parenteral.
Interaksi:
Obat yang bekerja pada sistem hemostasis atau koagulasi termasuk unfractionated heparin, heparin derivat,
heparin berat molekul (BM) tinggi, heparin BM rendah atau turunan heparin, fondaparinuks, despiramin, zat
trombolitik, antagonis reseptor GP IIb/IIIa, klopidogrel, tiklopidin, dekstran, sulfinpirazon, rivaroksaban,
prasugrel, asam asetilsalisilat, itrakonazol, takrolimus, siklosporin, ritonavir, tipranavir, nelfinavir, saquinavir,
dan antagonis vitamin K: meningkatkan risiko perdarahan. Penghambat P-glikoprotein seperti amiodaron,
verapamil, kuinidin, tikagrelor, dan klaritromisin meningkatkan konsentrasi plasma dabigatran. Penggunaan
bersama dengan penginduksi P-glikoprotein seperti rifampisin atau karbamazepin: mengurangi konsentrasi
dabigatran dalam plasma.

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, gangguan fungsi ginjal berat (klirens kreatinin <30 mL/menit), manifestasi perdarahan,
perdarahan diatesis, gangguan hemostasis spontan atau farmakologikal, penggantian katup jantung prostetik,
kerusakan hepatik atau penyakit pada hati yang diduga mempengaruhi kelangsungan hidup, lesi organ dengan
risiko perdarahan bermakna secara klinis, termasuk ulkus gastrointestinal yang baru atau sedang terjadi,
menunjukkan adanya neoplasma malignan pada risiko tinggi perdarahan, cedera otak atau spinal yang baru
terjadi, operasi optalmik atau spinal, perdarahan intrakranial yang baru terjadi, dugaan varises esofagus,
malformasi arteriovena, aneurisma vaskular atau intraspinal mayor, atau abnormalitas intraserebral vaskular,
penggunaan bersama dengan ketokonazol sistemik atau dronedaron.

Efek Samping:
Umum: epistaksis (mimisan), perdarahan gastrointestinal, dispepsia, perdarahan urogenital, anemia, nyeri
abdomen, diare, mual, abnormalitas fungsi hati, perdarahan pada kulit dan hematuria. Tidak
umum: hipersensitivitas, ruam kulit, hematoma, perdarahan, hemoptisis, ulkus gastrointestinal,
gastroesofagitis, refluks gastroesofageal, muntah, hemartrosis, trombositopenia, pruritus, perdarahan
intrakranial, perdarahan pada luka, disfagia, perdarahan traumatik, perdarahan di area insisi, hematoma post-
prosedural, perdarahan post-prosedural, anemia pasca operasi, post-procedural discharge, dan sekresi cairan
pada luka (wound secretion). Jarang: urtikaria, angiodema, perdarahan di area injeksi, perdarahan di area
kateter, bloody discharge, wound drainage, post-procedural drainage.
Dosis:
Profilaksis tromboembolisme vena setelah operasi penggantian lutut total (total knee replacement). 110 mg, 1-
4 jam setelah operasi, dilanjutkan pada hari berikutnya, 220 mg (2 kapsul 110 mg) sekali sehari selama 10
hari. Profilaksis tromboembolisme vena setelah operasi penggantian pinggul total (total hip replacement). 110
mg, 1-4 jam setelah operasi, dilanjutkan pada hari berikutnya, 220 mg (2 kapsul 110 mg) sekali sehari selama
28-35 hari. Jika terapi tidak dimulai pada hari yang sama dengan operasi/pembedahan, dosis awal yang
diberikan adalah 220 mg (2 kapsul 110 mg). Jika terjadi gangguan hemostasis, terapi awal dapat ditunda.
Penggunaan bersama dengan penghambat P-glikoprotein kuat: dosis diturunkan menjadi 150 mg per hari (2
kapsul 75 mg) pada pasien gangguan fungsi ginjal sedang (klirens kreatinin 30-50 ml/menit). Lansia (lebih dari
75 tahun): mempertimbangkan kondisi ginjal (pengecekan klirens kreatinin). Penggantian dengan antikoagulan
parenteral: pemberian 24 jam setelah dabigatran eteksilat. Dosis yang terlupa: lanjutkan penggunaan sesuai
jadwal pada hari selanjutnya.
Profilaksis embolisme stroke dan sistemik pada pasien dengan fibrilasi atrial, dosis harian 300 mg (150 mg, 2
kali sehari). Lansia (diatas 80 tahun): dosis harian 220 mg (110 mg, 2 kali sehari). Penggunaan bersama
penghambat P-glikoprotein kuat: dosis harian 300 mg (150 mg, 2 kali sehari). Pasien yang berisiko
perdarahan: dosis harian 220 mg (110 mg, 2 kali sehari). Penggantian dengan antikoagulan parenteral: 12 jam
setelah pemberian dabigatran eteksilat. Kardioversi: dapat tetap mendapatkan dabigatran eteksilat selama
kardioversi. Bila dosis terlupa >6 jam sebelum jadwal berikutnya: minum obat sesuai aturan. Jika dosis terlupa
<6 jam: dosis diabaikan, lanjutkan pemberian pada jadwal berikutnya.
Terapi pada DVT dan PE. dosis harian 300 mg (150 mg, 2 kali sehari), diikuti dengan antikoagulan parenteral
minimal 5 hari. Terapi harus dilanjutkan selama 6 bulan. Penggantian dengan antikoagulan parenteral
menunggu hingga 12 jam setelah dosis terakhir dabigatran eteksilat. Penggantian dari antikoagulan parenteral
ke dabigatran eteksilat diberikan 0-2 jam sebelum jadwal pemberian. Penggantian dari antagonis Vit. K:
antagonis Vit. K harus dihentikan, dabigatran eteksilat diberikan segera saat INR <2,0. Penggantian ke
antagonis Vit. K disesuaikan dengan klirens kreatinin: Klirens kreatinin ≥50 mL/menit, warfarin dimulai 3 hari
sebelum dihentikannya dabigatran eteksilat. Klirens kreatinin ≥30 - <50 mL/menit, warfarin dimulai 2 hari
sebelum dihentikannya dabigatran eteksilat. Bila dosis terlupa >6 jam sebelum jadwal berikutnya: minum obat
sesuai aturan. Jika dosis terlupa <6 jam: dosis diabaikan, lanjutkan pemberian pada jadwal berikutnya.

RIVAROKSABAN
Indikasi:
mengurangi risiko stroke dan embolisme pada pasien atrial fibrilasi nonvalvular dengan riwayat stroke atau
TIA atau pada pasien atrial fibrilasi nonvalvular dengan skor CHADS2 > 2, trombosis vena dalam (Deep Vein
Thrombosis/DVT).
Peringatan:
risiko hemoragi, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hepar.

Interaksi:
pemberian bersamaan dengan ketokonazol, ritonavir dan antikoagulan dapat meningkatkan risiko perdarahan.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, pendarahan, penyakit hati yang terkait koagulopati dan risiko pendarahan yang relevan,
kehamilan dan menyusui, pemberian bersamaan dengan antijamur azol.

Efek Samping:
umum: anemia, pusing, sakit kepala, pingsan, hemoragik mata (termasuk hemoragik konjungtiva), takikardi,
hipotensi, hematoma, epistaksis, hemoragik gastronintestinal (termasuk gingival bleeding, hemoragik rektal),
nyeri ekstremitas, perdarahan saluran kencing (termasuk hematuria, menoragia), demam, edema perifer, letih,
astenia, peningkatan transaminase, perdarahan pasca operasi (termasuk anemia, perdarahan luka),
bingung; Tidak umum: trombositemia (termasuk peningkatan jumlah platelet), reaksi alergi, alergi dermatitis,
hemoragik intrakarnial dan serebral, hemoptisis, mulut kering, abnormal fungsi hati, urtikaria, hemoragik kulit
dan subkutan, hemartrosis, gangguan fungsi ginjal (termasuk peningkatan kreatinin darah, peningkatan urea
darah), malaise, edema lokal, peningkatan bilirubin, peningkatan fosfatase alkali, peningkatan amilase,
peningkatan GGT, wound secretion; Jarang; jaundice, hemoragik otot, peningkatan bilirubin terkonjugasi
(dengan atau tanpa peningkatan ALT); frekuensi tidak diketahui; pembentukan pseudoaneurisme setelah
dilakukan intervensi perkutan, compartment syndrom seconday to a bleeding, gagal ginjal/gagal ginjal akut
akibat perdarahan yang menimbulkan hipoperfusi.
Dosis:
20 mg sekali sehari (dosis maksimal), untuk DVT: 15 mg dua kali sehari (dosis maksimal 30 mg, jika lupa
dapat diminum sekaligus dua tablet), untuk tiga minggu pertama diikuti selanjutnya 20 mg sekali sehari (dosis
maksimal).

NATRIUM WARFARIN
Indikasi:
profilaksis embolisasi pada penyakit jantung rematik dan fibrilasi atrium; profilaksis setelah pemasangan katup
jantung prostetik; profilaksis dan pengobatan trombosis vena dan embolisme paru; serangan iskemik serebral
yang transien.

Peringatan:
gangguan hati dan ginjal, baru saja mengalami pembedahan, menyusui, hindari sari buah cranberi.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (warfarin).
Kontraindikasi:
kehamilan, tukak peptik, hipertensi berat, endokarditis bakterial.

Efek Samping:
perdarahan; hipersensitivitas, ruam kulit, alopesia, diare, hematokrit turun, nekrosis kulit, purple toes, sakit
kuning, disfungsi hati; mual, muntah, pankreatitis.

Dosis:
Pemberian warfarin harus diukur berdasarkan penetapan "quick onestage prothrombin time" atau thrombotest.
Tingkat lazim untuk terapi antikougulan penunjang adalah 2 kali lebih besar atau lebih kecil dari "normal
quick one-stage prothrombin time" atau 15-30% nilai normal pada "converted cougulation activity" atau
kurang lebih 10% dari normal pada thrombotest.
Dosis yang lazim pada orang dewasa adalah 10 mg sehari selama 2 sampai 4 hari dengan penyesuaian setiap
hari berdasarkan hasil penetapan waktu protombin, terapi lanjutan dengan dosis penunjang 2-10 mg sekali
sehari.

Karena kepekaan terhadap obat sangat individualistik, maka dapat berubah, penetapan waktu prothombin harus
secara berkala dilakukan terutama pada awal terapi agar kegiatan kougulasi pasien pada rentang terapi.

2.6.2 Antikoagulan Parenteral


 Heparin
 Heparin berat molekul rendah
 Heparinoid
 Fondaparinuks
 Heparin
 Heparin Berat Molekul Rendah
 Heparinoid
 Fondaparinuks

 Heparin
 Heparin mula kerjanya cepat sebagai antikoagulan, namun mempunyai masa kerja yang singkat.
Heparin sering dirujuk sebagai heparin standar atau heparin tidak terfraksinasi untuk membedakan
dengan heparin bobot molekul rendah yang mempunyai masa kerja yang lebih panjang.
 Pengobatan. Untuk pengobatan awal trombosis vena dalam dan embolisme paru, heparin diberikan
sebagai dosis muatan (loading dose) intravena, diikuti dengan infus intravena (menggunakan pompa
infus) atau injeksi subkutan secara intermiten.
 Penggunaan injeksi intravena secara intermiten tidak lagi disarankan. Sebagai alternatif, untuk
pengobatan awal trombosis vena dalam dan embolism paru dapat digunakan heparin bobot molekul
rendah. Antikoagulan oral (biasanya wafarin) dimulai pada waktu yang sama dengan heparin (yang
perlu dilanjutkan paling tidak selama 5 hari, sampai INRnya mencapai kadar terapi selama 2 hari
berturut-turut). Pemantauan melalui uji laboratorium (sebaiknya setiap hari) penting dilakukan,
penentuan waktu APTT-(Activated Partial Tromboplastin Time) merupakan teknik yang paling luas
digunakan.
 Heparin juga digunakan untuk penatalaksanaan infark miokard, untuk mencegah reoklusi koroner
setelah trombolisis, atau pada pasien risiko tinggi seperti embolisme paru. Juga digunakan untuk
tatalaksana angina tidak stabil dan oklusi arteri perifer akut.
 Profilaksis. Pada pasien yang menjalani bedah umum, pemberian heparin dosis rendah secara injeksi
subkutan banyak dianjurkan untuk mencegah trombosis vena dalam dan embolisme paru pasca bedah
pada pasien risiko tinggi (misalnya pasien dengan obesitas, penyakit keganasan, riwayat trombosis
vena dalam atau embolisme paru, pasien di atas 40 tahun, atau yang dengan gangguan trombofilik atau
yang mengalami bedah besar atau rumit). Dengan regimen profilaktik baku ini, tidak diperlukan
pemantauan secara laboratorium.
 Untuk mengatasi peningkatan risiko pada bedah ortopedik mayor, dapat digunakan regimen dosis
yang disesuaikan (dengan pemantauan) atau dapat dipilih heparin berat molekul rendah.
 Extracorporel Circuits. Heparin juga digunakan dalam pemeliharaan extracorporeal circuits pada
bedah pintas jantung-paru dan hemodialisis.
 Perdarahan. Jika terjadi perdarahan, biasanya cukup dengan menghentikan heparin. Tetapi, jika efek
heparin perlu dihentikan dengan cepat, protamin sulfat merupakan antidot yang spesifik (tetapi hanya
menghentikan sebagian efek heparin bobot molekul rendah).
 Monografi:

 HEPARIN
 Indikasi:
 pengobatan trombosis vena-dalam dan embolisme paru, angina tidak stabil, profilaksis pada bedah
umum, infark miokard.
 Peringatan:
 usia lanjut, hipersensitif terhadap heparin bobot molekul rendah; gangguan hati dan ginjal; kehamilan.
 Trombositopenia. Trombositopenia yang secara klinis penting adalah yang diperantarai sistem imun,
biasanya tidak terjadi sampai setelah 6-10 hari. Ini mungkin disertai dengan trombosis. Disarankan
menghitung angka trombosit bagi pasien yang mendapat heparin (termasuk heparin dengan bobot
molekul rendah) lebih dari 5 hari (dan heparin harus segera dihentikan pada pasien yang mengalami
trombositopenia) atau pengurangan angka platelet. Pasien yang memerlukan antikoagulasi lebih lanjut
sebaiknya diberi suatu heparinoid seperti danaparoid; alternatifnya heparin bobot molekul rendah
(tetapi dapat terjadi reaksi silang), warfarin atau epoprostenol.
 Hiperkalemia: Inhibisi dari sekresi aldosteron oleh heparin (termasuk heparin bobot molekul rendah)
dapat menyebabkan hiperkalemia, umumnya pada pasien dengan diabetes mellitus, gagal ginjal
kronik, asidosis, kenaikan kalium plasma, mendapatkan obat hemat kalium. Kalium plasma harus
diukur pada pasien yang beresiko sebelum memulai terapi heparin dan dimonitor secara teratur
sesudahnya jika pengobatan dengan heparin lebih dari 7 hari.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (heparin).
 Kontraindikasi:
 hemofilia dan gangguan hemorhagik lain, trombositopenia, tukak lambung, perpendarahan serebral
yang baru terjadi. Hipertensi berat, penyakit hati berat (temasuk farises esofagus), gagal ginjal, sehabis
cedera berat atau pembedahan (termasuk pada mata atau susunan saraf), hipersensitivitas terhadap
heparin.
 Efek Samping:
 perdarahan (lihat keterangan di atas), nekrosis kulit, trombositopenia (lihat keterangan di atas),
hiperkalsemia (lihat keterangan di atas), reaksi hipersensitivitas (urtikaria, angiodema, dan
anafilaksis); osteoforisis setelah penggunaan jangka panjang (dan jarang terjadi alopesia).
 Dosis:
 Pengobatan trombosis vena-dalam dan embolisme paru, secara injeksi intravena, dosis muatan 5000
unit (10.000 unit pada embolisme paru yang berat) diikuti dengan infus berkesinambungan 15-25
unit/kg bb/jam atau secaara injeksi subkutan 15.000 unit setiap 12 jam (pemantauan laboratorium
penting sekali sebaiknya setiap hari).
 Remaja Muda dan Anak-anak, dosis muatan lebih rendah, kemudian 15-25 unit/kg bb/jam secara
infus intravena, atau 250 unit/kg bb/jam secara injeksi subkutan. Angina tak stabil, oklusi arteri perifer
akut, sebagai regimen intravena untuk trombosis vena-dalam dan embolisme paru, lihat keterangan
diatas. Profilaksis pada bedah umum (lihat keterangan di atas), lewat injeksi subkutan, 5000 unit 2 jam
sebelum pembedahan, kemudian setiap 8-12 jam selama 7 hari atau sampai pasien pulang dari rumah
sakit (pemantauan tidak diperlukan); selama kehamilan (dengan pemantauan), 5000-10.000 unit setiap
12 jam (penting:tidak termasuk pencegahan trombosis katup jantung prostetik pada kehamilan yang
memerlukan penatalaksanaan khusus).
 Infark Miokard. Untuk pencegahan reoklusi setelah trombosis, heparin digunakan dengan regimen
yang bervariasi sesuai dengan protokol yang telah disetujui di masing-masing institusi. Untuk
pencegahan trombosis mural, heparin dianggap efektif bila diberikan lewat injeksi subkutan 12.500
unit setiap 12 jam selama paling tidak 10 hari.

Heparin Berat Molekul Rendah


Heparin bobot molekul rendah (sertoparin, dalteparin, enoksaparin, revirapin dan tinzaparin) efektif dan aman
seperti heparin tidak terfraksinasi dalam pencegahan tromboembolism vena, dan dalam praktek ortopedik,
golongan heparin ini mungkin lebih efektif. Selain itu, heparin bobot molekul rendah memiliki masa kerja
yang lebih panjang daripada heparin tidak terfraksinasi, dosis subkutan sekali sehari nyaman untuk digunakan.
Regimen profilaksis standar tidak memerlukan pemantauan.

Beberapa heparin bobot molekul rendah juga digunakan dalam pengobatan trombosis vena-dalam, embolisme
paru, penyakit arterikoroner tidak stabil, dan untuk mencegah gumpalan pada extracorporeal
circuits. Pemantauan rutin efek antikoagulan dari regimen pengobatan biasanya tidak diperlukan, tapi pada
pasien dengan risiko perdarahan (contoh pada kegagalan ginjal dan pasien dengan bobot badan kurang atau
berlebih), monitoring tersebut diperlukan. Perdarahan. Lihat keterangan heparin di atas.
Monografi:

DALTEPARIN NATRIUM
Indikasi:
profilaksis pada pra dan pasca pembedahan.

Peringatan:
pasien dengan risiko komplikasi pendarahan, stroke hemorage, gagal hati atau gagal ginjal berat,
trombositopenia rusaknya fungsi platelet, hipertensi yang tidak terkontrol, hipertensif atau diabetes retinopati,
pasien yang sedang menerima pengobatan antikoagulan/antiplatelet. Platelet harus dihitung sebelum memulai
pengobatan dan dimonitor secara teratur. TROMBOSITOPENIA: keterangan lihat heparin. HIPERKALEMIA:
keterangan lihat heparin Pada pasien yang sedang menjalani anastesi spinal atau epidural, dapat terjadi
hematom intraspinal yang menyebabkan paralisis permanen atau berkepanjangan. Risiko hematom intraspinal
meningkat pada epidural atau penggunaan cateter spinal.

Interaksi:
<p>lihat lampiran 1. Efek anti koagulasi dapat berkurang jika diberi bersama-sama dengan antihistamin,
glikosida jantung, tetrasiklin dan asam askorbat.</p>

Kontraindikasi:
hipersensitif; trombositopenia yang diperantarai sistem imun; tukak gastroduodenum akut, cerebral hemorage;
endokarditis subakut; luka dan pembedahan pada SSP, mata dan telinga. Pembiusan lokal dan atau regional
pada prosedur pembedahan tertentu, jika obat ini tidak digunakan sebagai profilaksis.

Efek Samping:
perdarahan (lihat peringatan), trombositopenia dan hiperkalemia (lihat peringatan), reaksi hipersensitif
(termasuk urtikaria, angioderma dan anafilaksis), hematom pada tempat injeksi, osteoporosis setelah
penggunaan jangka panjang, reaksi anafilaktoid dan imunologi berat yang diperantarai trombositopenia (tipe
II) yang disertai trombosis arteri/vena atau tromboembolisme, hematom epidural dan spinal, meningkatkan
level liver transaminase (ASAT, ALAT), trombosis katup pada katup jantung buatan. Jika dosis tidak memadai
Dosis berlebih : Protamin injeksi intravena selama 10 menit. 1 mg protamin menghambat 100 IU Dalteparin.

Dosis:
Profilaksis trombosis vena dalam pada pasien DEWASA

 Operasi tromboprofilaksis pada pasien dengan risiko trombosis sedang: secara injeksi subkutan: 2500 IU
diberikan 1-2 jam sebelum pembedahan dan sesudahnya, 2500 IU setiap pagi sampai pasien mampu
bergerak, umumnya 5-7 hari atau lebih.
 Operasi tromboprofilaksis pada pasien dengan risiko trombosis tinggi: secara injeksi subkutan : 2500 IU 1-
2 jam sebelum pembedahan, dilanjutkan 8-12 jam kemudian. Pada hari berikutnya 5000 IU setiap pagi
(atau 5000 IU pada malam sebelum pembedahan dan 5000 IU pada malam berikutnya). Pengobatan
dilanjutkan sampai pasien mampu bergerak, umumnya 5-7 hari atau lebih.
 Perpanjangan tromboprofilaksis pada operasi hip replacement: secara injeksi subkutan: 5000 IU diberikan
sebelum operasi dan 5000 IU pada malam berikutnya. Pengobatan dilanjutkan sampai 5 minggu pasca
bedah.
 Pencegahan tromboemboli vena pada pasien medis: dosis yang dianjurkan adalah 5000 IU sehari sekali.
Pengobatan dengan dalteparin dilakukan sampai hari ke-14 atau lebih.
Pengobatan tromboemboli vena, tromboemboli vena dalam dan embolisme paru
DEWASA: diberikan secara injeksi sub kutan sebagai dosis tunggal atau dua kali sehari. Pemberian dosis
tunggal: 200 IU/kg bb, dosis tunggal per hari tidak lebih dari 18.000 IU. Pengamatan efek antikoagulan tidak
diperlukan. Dosis dua kali sehari: 100 IU/kg bb, dapat diberikan untuk pasien dengan peningkatan risiko
pendarahan. Monitoring terapi umumnya tidak diperlukan, tapi dapat dilakukan dengan pengujian fungsi anti-
faktor Xa. Kadar plasma maksimum diperoleh 3-4 jam setelah pemberian secara subkutan, dimana sampel
harus diambil. Kadar plasma yang dianjurkan antara 0,5-1,0 IU (anti-faktor Xa)/mL. Pemberian secara
bersamaan antikoagulan dengan antagonis vitamin K dapat dimulai segera. Pengobatan dengan dalteparin
dapat diteruskan hingga kadar prothrombin kompleks (faktor II, VII, IX dan X) menurun sampai kadar
terapetik. Sekurangnya diperlukan 5 hari untuk kombinasi pengobatan sampai diperoleh nilai normal yang
dikehendaki.
Pencegahan penggumpalan darah selama hemodialisis atau hemofiltrasi
Dosis pada pasien dengan gangguan ginjal kronik yang diketahui mempunyai risiko pendarahan:
 Hemodialisis atau hemofiltrasi jangka panjang, lamanya hemodialisis atau hemofiltrasi lebih dari 4 jam
secara injeksi bolus intravena 30-40 IU (anti-faktor Xa)/kg bb, diikuti dengan infus 10-15 IU (anti faktor
Xa)/kg bb/jam.
 Hemodialisis atau hemofiltrasi jangka pendek, lamanya hemodialisis atau hemofiltrasi kurang dari 4 jam :
secara injeksi bolus IV5000 IU (anti-faktor Xa). Untuk hemodialisis/hemofiltrasi jangka panjang atau
jangka pendek, kadar plasma anti-faktor Xa harus berada pada rentang 0,5-1,0 IU (anti-faktor Xa)/mL.
Dosis pada pasien dengan gagal ginjal akut atau kronik dengan risiko tinggi pendarahan:

 Secara injeksi bolus intravena 5-10 IU (anti-faktor Xa)/kg bb, diikuti dengan infus 4-5 IU (anti-faktor
Xa)/kg bb/jam. Kadar plasma anti-faktor Xa harus berada pada rentang 0,2-0,4 IU (anti-faktor Xa)/mL.
 Efek anti trombik dalteparin harus diamati dengan menganalisis aktivitas anti-faktor Xa dengan pengujian
menggunakan substrat kromogenik yang sesuai, karena dalteparin hanya mempunyai efek perpanjangan
pada pengujian waktu penggumpalan darah seperti APTT atau waktu thrombin.
Dalteparin tidak dianjurkan untuk anak-anak. Dalteparin aman digunakan pada pasien lansia tanpa perlu
adanya penyesuaian dosis.

ENOKSAPARIN
Indikasi:
Pengobatan trombosis vena yang berhubungan dengan operasi ortopedi atau operasi umum, pengobatan
trombosis vena pada pasien yang dirawat akibat penyakit akut termasuk insufisiensi kardiak, gagal pernapasan,
infeksi parah, penyakit rematik, selama hemodialisis; profilaksis trombosis vena dalam; pengobatan angina
tidak stabil dan infark miokard non Q wave, dikonsumsi bersamaan dengan asam asetil salisilat; pencegahan
trombus pada sirkulasi ekstrakorporeal.
Peringatan:
lihat pada Heparin; berat badan rendah (menigkatkan risiko pendarahan).

Interaksi:
tidak dapat dikonsumsi dengan asam asetil salisilat, anti inflamasi non steroid, dekstran, atau tiklodipin.

Kontraindikasi:
lihat pada Heparin; hipertensi arteri sedang sampai berat yang tidak terkontrol dengan gagal ginjal (bersihan
kreatinin 30-60 mL/menit); hipersensitif terhadap enoksaparin.

Efek Samping:
lihat pada Heparin.

Dosis:
profilaksis trombosis vena dalam, melalui injeksi subkutan, risiko sedang, 20 mg (2000 unit) 2 jam sebelum
pembedahan, kemudian 20 mg (2000 unit) setiap 24 jam selama 7-10 hari; risiko tinggi, 40 mg (4000 unit) 12
jam sebelum pembedahan, kemudian 40 mg (4000 unit) setiap 24 jam selama 7-10 hari. Pengobatan trombosis
vena dalam, melalui injeksi subkutan, 1 mg/kg bb (100 unit/kg bb setiap 12 jam, biasanya selama paling tidak
5 hari (dan sampai antikoagulansi oral yang cukup tercapai).

NADROPARIN KALSIUM
Indikasi:
profilaksis pencegahan tromboemboli vena pada pembedahan pasien dengan risiko sedang atau tinggi,
pencegahan koagulasi pada extracorporal circulation loop dyalisis, pengobatan trombosis vena dalam yang
sudah established, angina tidak stabil dan infark miokard non-Q wave pada fase akut dalam kombinasi dengan
terapi standard. Indikasi nadroparin forte: Pengobatan trombosis vena dalam (DVT).
Peringatan:
risiko perdarahan (pada orang tua, gagal ginjal, berat badan < 40 kg, perpanjangan lama pengobatan hingga
lebih dari 10 hari, ketidaksesuaian dengan kondisi pengobatan dan kombinasi dengan obat yang dapat
meningkatkan risiko perdarahan), risiko trombopenia yang diinduksi oleh heparin (HIT) (eksaserbasi
trombosis, flebitis, embolisme paru, iskemik akut pada bagian bawah badan dan kejadian infark miokardia atau
iskemik cerebrovaskular). Hiperkalemia: lihat pada heparin/dalteparin. Hematom intraspinal: lihat pada
dalteparin. Fungsi ginjal harus dievaluasi sebelum memulai pengobatan khususnya pada orang tua usia > 75
tahun. Platelet harus dihitung sebelum memulai pengobatan dan dimonitor secara teratur.

Interaksi:
asetosal pada dosis analgetik antipiretik, AINS, dextran 40, antikoagulan oral, anti agregasi platelet
(absiksimab, klopidogrel, eptifibatid, iloprosot, tiklopidin, tirofiban).

Kontraindikasi:
Sebagai terapi pencegahan/profilaksis: hipersensitif, riwayat trombopenia berat tipe II yang diinduksi heparin,
tanda-tanda perdarahan yang terkait hemostasis, lesi organ yang mengarah ke perdarahan. Sebagai terapi
kuratif: perdarahan intra serebral, gagal ginjal berat (kreatinin klirens 30 mL/menit); anastesi epidural atau
spinal. Tidak dianjurkan pada pemberian sebagai kuratif: iskemik serebrovaskular fase akut, infeksi
endokarditis akut, gagal ginjal ringan-sedang.
Efek Samping:
perdarahan, trombositopenia dan hiperkalemia (lihat peringatan), reaksi hipersensitif (termasuk urtikaria,
angioderma dan anafilaksis), hematom pada tempat injeksi, osteoporosis setelah penggunaan jangka panjang,
reaksi imuno alergi thrombopenia (tipe II), hematom intraspinal, meningkatkan kadar liver transaminase.

Dosis:
Pencegahan thromboemboli vena pada pasien dengan pembedahan, secara injeksi subkutan: risiko
thrombogenik sedang, 2800 IU antifaktor Xa (0,3 mL) sebagai dosis tunggal, diberikan 2 jam sebelum
pembedahan; risiko thrombogenik tinggi: 38 IU antifaktor Xa/kg bb, diberikan 12 jam sebelum pembedahan,
dilanjutkan 12 jam setelah operasi, dan setiap hari sampai hari ke-3 pasca bedah dan dilanjutkan dengan 57 IU
antifaktor Xa/kg bb mulai dari hari ke 4 pasca bedah dan pengobatan tidak lebih dari 10 hari. Pasien dengan
berat badan 70 kg: 0,4 mL sebelum operasi sampai hari ke-3 pasca bedah dan 0,6 mL mulai dari hari ke-4
pasca bedah.
Jika risiko tromboemboli tetap bertahan sampai pengobatan selesai, dianjurkan untuk melanjutkan pengobatan
menggunakan antikoagulan oral.
Pencegahan koagulasi extracorporal circulation loop/dyalisis, secara injeksi intra vena (ke dalam arterial line
dari loop dyalisis), dosis awal 65 IU antifaktor Xa/kg bb sebagai dosis tunggal, hanya untuk dialisis dengan
waktu 4 jam atau kurang. Dosis dapat disesuaikan tergantung dari variabilitas intra dan antar individu. Pasien
dengan berat badan 70 kg: 0,6 mL. Pada pasien dengan risiko hemoragik, dialisis dapat dilakukan dengan
menggunakan separuh dosis.
Pengobatan trombosis vena-dalam (DVT), 2 kali injeksi per hari diberikan setiap 12 jam. Dosis diberikan
sebagai fungsi dari bobot pasien yaitu 0,1mL/10 kg bb setiap 12 jam. Pasien dengan berat badan 40-49 kg: 0,4
mL; berat badan 50-59 kg: 0,5 mL; berat badan 60-69 kg: 0,6 kg; berat badan 70-79 kg: 0,7 kg; berat badan
80-89 kg: 0,8 kg; berat badan 90-99 kg: 0,9 mL dan berat badan > 100 kg: 1,0 mL. Pengobatan tidak lebih dari
10 hari. Antikoagulan oral harus segera diberikan setelah pengobatan dengan heparin bobot molekul rendah,
kecuali dikontraindikasikan.
Pengobatan angina tidak stabil/non Q-wave infark miokard, secara injeksi sub kutan 2 kali sehari diberikan
setiap 12 jam dengan dosis 86 IU antifaktor Xa/kg bb dikombinasikan dengan aspirin (rekomendasi dosis 75
mg-325 mg secara oral, diikuti dengan dosis minimum 160 mg). Dosis awal harus diberikan secara bolus intra
vena atau injeksi sub kutan dengan dosis 86 IU anti-faktor Xa/kg berat badan. Lamanya pengobatan selama 6
hari sampai pasien stabil secara klinis. Dosis disesuaikan dengan berat badan : berat badan 100 kg secara
IV/SC 1,0 mL. Pemberian secara subkutan diberikan setiap 12 jam.
Pengobatan DVT, secara injeksi subkutan. Dosis disesuaikan dengan berat badan: 40-49 kg: 0,4 mL; 50-59 kg:
0,5 mL; 60-69 kg: 0,6 mL; 70-79 kg: 0,7 mL; 80-90 kg: 0,8 mL; 90-99 kg : 0,9 mL; > 100 kg: 1,0 mL.

PARNAPARIN
Indikasi:
profilaksis trombosis vena dalam, terapi gangguan vena akibat kondisi trombotik.

Peringatan:
Tidak boleh diberikan secara intramuskular. Harus dilakukan monitoring pemeriksaan darah lengkap. Hati-hati
pada gagal hati, gagal ginjal, riwayat ulkus yang dapat menimbulkan perdarahan, pasca operasi otak atau saraf
spinal.

Interaksi:
Peningkatan risiko perdarahan pada penggunaan penggunaan bersamaan dengan asetosal, AINS, tiklopidin,
antiplatelet, antikoagulan, glukokortikoid, infus dexrtran.

Kontraindikasi:
kehamilan, menyusui, riwayat trombositopenia pada penggunaan parnaparin, luka pada organ dengan risiko
perdarahan (ulkus peptik, retinopati, sindrom hemoragik), endokarditis bakteri akut (kecuali jika disebabkan
oleh prosteses mekanik). Trauma serebrovaskuler dengan perdarahan. Alergi terhadap produk. Nefropati berat,
pankreatopati, hipertensi arteri berat, trauma kranioenselopati (pasca operasi). Terapi dengan antivitamin K.
Penggunaan bersamaan dengan tiklopidin, salisilat atau AINS, antiplatelet.

Efek Samping:
perdarahan, trombositopenia, nekrosis pada lokasi penyuntikan, alergi, peningkatan enzim transaminase.

Dosis:
Harus diberikan secara subkutan.

Bedah umum: Satu injeksi subkutan 0,3 mL (3200 IU aXa) 2 jam sebelum operasi. Dilanjutkan setiap 24 jam
selama 7 hari. Tidak diperlukan uji hemakoagulasi.

Pasien dengan risiko tinggi mengalami tromboembolik dan pada operasi ortopedi : Satu injeksi subkutan 0,4
mL (4250 IU aXa) 12 jam sebelum dan 12 jam sesudah operasi, kemudian 1 injeksi perhari selama minimal 10
hari. Untuk terapi trombosis vena-dalam, pemberian subkutan harus didahului dengan pemberian infus
intravena secara lambat selama 3-5 hari.

Trombosis vena dalam: Dua injeksi subkutan 0,6 mL (3400 IU aXa) setiap hari. Terapi diberikan selama 7-10
hari. Terapi dapat didahului dengan pemberian infus intravena 12800 IU aXa secara lambat selama 3-5 hari.
Setelah melewati fase akut, terapi dapat dilanjutkan dengan 0,6 mL (6400 IU aXa) per hari atau 0,4 mL (4250
IU aXa) per hari yang diberikan secara subkutan selama 10-20 hari. Sindrom pasca plebitis, insufisiensi vena
kronis: Satu injeksi subkutan 0,3 mL (3200 IU aXa) setiap 24 jam, tergantung dari keparahan. Lama terapi
minimal 30 hari.

Tromboplebitis superfisial akut, varikoplebitis: Satu injeksi subkutan 0,4 mL (4250 IU aXa) atau 0,3 mL (3200
IU aXa) setiap 24 jam, tergantung dari keparahan. Lama terapi minimal 20 hari.

Heparinoid
Danaparoid merupakan heparinoid yang digunakan untuk profilaksis trombosis vena- dalam pada pasien yang
mengalami bedah umum atau bedah ortopedik. Meskipun tidak ada bukti reaksi silang, obat ini juga berperan
pada pasien yang mengalami trombositopenia akibat heparin.

Fondaparinuks
Fondaparinuks adalah pentasakarida sintetis yang menghambat faktor X teraktivasi. Digunakan untuk
profilaksis pasien dengan tromboemboli vena dan pada pasien yang menjalani operasi ortopedi mayor di
lengan atau operasi abdomen. Juga digunakan untuk pengobatan trombosis vena dalam dan embolisme paru.

Monografi:

NATRIUM FONDAPARINUKS
Indikasi:
pencegahan venous thromboembolic events (VTE) pada pasien yang menjalani pembedahan ortopedi mayor
pada anggota badan bagian bawah seperti fraktur tulang pinggul, operasi penggantian lutut atau pinggul, pasien
yang menjalani operasi perut yang berisiko komplikasi tromboemboli, pasien yang berisiko komplikasi
tromboemboli karena penyakit akut, pengobatan akut deep vein thrombosis (DVT), pengobatan
akut pulmonary embolism (PE), pengobatan angina tidak stabil atau non-ST segmen elevasi infark miokard
(UA / NSTEMI) pada pasien kritis (<120 menit) manajemen invasif [Intervensi Koroner Perkutan (PCI)] tidak
diindikasikan, pengobatan tambahan dari ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) pada pasien yang sedang
melakukan pengobatan dengan trombolitik
Peringatan:
rute pemberian tidak diperbolehkan melalui intramuskular, penggunaan sebelum dan selama intervensi koroner
perkutan (PCI) tidak dianjurkan, peningkatan risiko perdarahan, peningkatan risiko perdarahan pada lansia,
gagal ginjal (lihat lampiran 3), kehamilan (lihat lampiran2), dan menyusui (lihat lampiran 4).

Interaksi:
desirudin, fibrinolitik agent, reseptor antagonis GP IIb/IIIa, heparin, heparinoid dan heparin bobot molekul
rendah dapat meningkatkan risiko perdarahan, antiplatelet (asam asetil salisilat, dipiridamol, sulfinpirazon,
tiklopidin, klopidogrel) dan AINS harus diberikan dengan perhatian.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, perdarahan aktif, endokarditis bakterial akut, gangguan ginjal berat (kreatinin klirens < 20
mL/menit).

Efek Samping:
umum: anemia, perdarahan (di berbagai tempat termasuk kasus jarang seperti perdarahan intrakranial,
intraserebral, retroperitoneal), purpura, hematoma, hematuria, hemoptisis, perdarahan gusi;
Tidak umum: trombositopenia, trombositemia, platelet abnormal, gangguan koagulasi, sakit kepala, mual,
muntah, abnormalitas pada uji fungsi hati, peningkatan enzim hati, ruam, pruritus, wound secretion demam,
udem perifer, anemia, dispnea, nyeri dada; jarang: infeksi pada luka pasca operasi, reaksi alergi, hipokalemia,
ansietas, bingung, pusing, somnolens, vertigo, hipotensi, dispnea, batuk, nyeri abdomen, dispepsia, gastritis,
konstipasi, diare, bilirubinemia, reaksi pada lokasi injeksi, nyeri dada, nyeri kaki, letih, udema pada genital,
kulit memerah, sinkop.
Dosis:
pencegahan venous thromboembolic events (VTE): 2,5 mg sehari sekali diberikan secara sub kutan pasca
bedah, dosis awal harus diberikan minimal 6 jam setelah pembedahan selesai. Pengobatan dilanjutkan selama
5-9 hari, lansia > 75 tahun dan/ atau dengan berat badan < 50 kg dan/atau gangguan ginjal sedang dengan
kreatinin klirens 30 mL/menit pemberian pertama tidak boleh kurang dari 6 jam setelah pembedahan selesai,
injeksi tida k boleh diberikan kecuali apabila hemostasis tercapai; pengobatan deep vein thrombosis (DVT)
dan pulmonary embolism (PE) dosis 5 mg untuk BB < 50 kg, 7,5 mg BB 50 – 100 kg, 10 mg BB >100 kg ,
pengobatan diberikan secara sub kutan selama minimal 5 hari, pengobatan bersama antagonis vitamin K
dimulai sesegera mungkin dalam waktu 72 jam.

2.6.3 Protamin
Meskipun protamin digunakan untuk mengatasi kasus overdosis heparin, namun jika digunakan berlebih,
memiliki efek antikoagulan.

Monografi:

PROTAMIN SULFAT
Indikasi:
lihat catatan di atas.

Peringatan:
lihat catatan di atas; juga jika risiko reaksi alergi terhadap protamin meningkat (termasuk pengobatan
sebelumnya dengan protamin insulin, alergi terhadap ikan, pria yang infertil atau yang telah menjalani
vasektomi).

Efek Samping:
muka merah, hipotensi, bradikardi, dispnoe.

Dosis:
injeksi intravena selama lebih kurang 10 menit, 1 mg menetralkan 100 unit heparin (mukosa) atau 80 unit
heparin (paru) bila diberikan dalam waktu 15 menit setelah heparin; jika waktunya lebih panjang, diperlukan
protamin yang lebih sedikit karena heparin dengan cepat diekskresi; maksimal 50 mg.

2.7 Antiplatelet
Antiplatelet bekerja dengan cara mengurangi agregasi platelet, sehingga dapat menghambat pembentukan
trombus pada sirkulasi arteri, dimana antikoagulan kurang dapat berperan. Asetosal 150-300 mg sebagai dosis
tunggal diberikan segera setelah kejadian iskemik dan kemudian diikuti dengan pemberian jangka panjang
asetosal 75 mg sehari sekali untuk mencegah serangan penyakit jantung selanjutnya.

Penggunaan asetosal jangka panjang pada dosis 75 mg sehari berguna untuk semua pasien dengan penyakit
kardiovaskular, untuk pasien dengan risiko mengalami penyakit kardiovaskular pada 10 tahun mendatang
sebesar 20% atau lebih dan usia di atas 50 tahun; untuk pasien diabetes yang berusia di atas 50 tahun atau yang
telah menderita diabetes lebih dari 10 tahun dan untuk pasien dengan diabetes yang menerima pengobatan
antihipertensi. Asetosal dosis 75 mg sehari juga diberikan setelah operasi bypass jantung.
Klopidogrel digunakan untuk pencegahan kejadian iskemik pada pasien dengan riwayat gejala penyakit
iskemik. Klopidogrel dalam kombinasi dengan asetosal dosis rendah, juga digunakan untuk sindroma koroner
akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Kombinasi ini diberikan untuk sekurangnya selama 1 bulan tapi
biasanya tidak lebih dari 9-12 bulan. Penggunaan klopidogrel dengan asetosal dapat meningkatkan risiko
pendarahan dan tidak ada bukti dapat memberikan manfaat pada penggunaan melebihi 12 bulan dari kejadian
terakhir dari gejala koroner akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Dipiridamol digunakan secara oral
sebagai tambahan antikoagulan oral untuk tujuan profilaksis tromboemboli yang berhubungan dengan katup
jantung prostetik.

Sediaan dengan pelepasan termodifikasi disarankan untuk pencegahan sekunder stroke iskemik dan serangan
iskemia sementara (TIA). Dipiridamol juga dikombinasikan dengan asetosal dosis rendah untuk menurunkan
risiko stroke berulang namun bukti manfaat penggunaan jangka panjangnya belum diketahui dengan pasti.

Klopidogrel dan dipiridamol lepas lambat dalam pencegahan serangan


oklusif vaskuler
Kombinasi dipiridamol lepas lambat dengan asetosal digunakan untuk
pencegahan serangan oklusif vaskuler pada pasien yang pernah mengalami
serangan iskemik sementara (TIA) maupun stroke iskemik. Kombinasi ini
sebaiknya digunakan selama 2 tahun setelah serangan terakhir. Dilanjutkan
dengan pengobatan jangka panjang asetosal dosis rendah setelah periode
pengobatan tersebut.
Terapi tunggal klopidogrel dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi asetosal dosis rendah dan mempunyai riwayat oklusif vaskuler atau
menderita penyakit arteri perifer.
Penghambat glikoprotein IIb/IIIa. Penghambat glikoprotein IIb/IIIa dapat mencegah agregasi trombosit dengan
memblokade ikatan fibrinogen pada reseptornya di trombosit.

Absiksimab adalah antibodi monoklonal yang terikat pada reseptor glikoprotein II b / IIIa dan tempat-tempat
yang terkait lainnya. Digunakan sebagai terapi tambahan pada heparin dan asetosal untuk mencegah
komplikasi iskemik pada pasien dengan risiko tinggi yang menjalani percutaneous transluminal coronary
intervention (PCI). Obat ini digunakan hanya sekali untuk menghindari risiko tambahan trombositopenia.

Eptifibatid dan tirofiban juga menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa; keduanya dianjurkan untuk
digunakan bersama dengan heparin dan asetosal untuk mencegah infark miokard dini pada pasien angina tidak
stabil (lihat bagian 2.4) atau infark miokard non-ST-segment elevation (NSTEMI). Absiksimab, eptifibatid,
dan tirofiban hanya boleh digunakan di bawah pengawasan dokter spesialis.

Penggunaan epoprostenol (lihat bagian 2.6.2). Absiksimab, dan tirofiban belum tersedia di Indonesia.

Monografi:

ASETOSAL
Indikasi:
profilaksis penyakit serebrovaskuler atau infark miokard.

Peringatan:
asma; hipertensi yang tak terkendali, tukak peptik, gangguan hati, gannguan ginjal, kehamilan.

Interaksi:
lihat lampiran I (asetosal).

Kontraindikasi:
anak di bawah 16 tahun dan yang menyusui (sindrom Reye) (4.7.1); tukak peptik yang aktif; hemofilia dan
gangguan perdarahan lain.
Efek Samping:
bronkospasme; perdarahan saluran cerna (kadang-kadang parah), juga perdarahan lain (misal subkonjungtiva).

Dosis:
lihat keterangan di atas.

DIPIRIDAMOL
Indikasi:
sebagai tambahan antikoagulan oral untuk tujuan profilaksis tromboembolisme pada katup jantung prostetik.

Peringatan:
angina yang memburuk dengan cepat, stenosis, aorta infark miokard yang baru terjadi; gagal jantung; dapat
menyebabkan eksaserbasi migren; hipotensi; miastenia gravis; menyusui.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (dipiridamol).

Efek Samping:
efek saluran cerna, pusing, mialgia, sakit kepala berdenyut, hipotensi, muka merah dan panas, takikardi;
penyakit jantung koroner memburuk, reaksi hipersensitifitas (ruam kulit, urtikaria), bronkospasma dan
angioedema berat; pendarahan meningkat selama dan setelah pembedahan; trombositopenia.

Dosis:
oral, 300-600 mg sehari dalam 3-4 dosis terbagi sebelum makan

EPTIFIBATID
Indikasi:
sebagai pengobatan pada pasien dengan sindrom koroner akut termasuk pada pasien yang akan atau sedang
menjalani intervensi koroner perkutan (PCI, Percutaneous Coronary Intervention); termasuk yang sedang
menjalani intrakoroner stenting.

Peringatan:
risiko pendarahan, pengunaan bersamaan dengan obat yang dapat meningkatkan risiko pendarahan- hentikan
segera jika terjadi pendarahan yang tidak terkontrol; periksa waktu dasar prothrombin, waktu aktivasi
tromboplastin parsial, platelet count, hemoglobin, hematokrit, dan serum kreatinin; pantau hemoglobin,
hemotokrit, dan platelet pada jangka waktu 6 jam setelah memulai pengobatan setelah itu setidaknya sehari
sekali; hentikan penggunaan jika diperlukan pengobatan trombolitik, intra aortic balloon pump, atau operasi
jantung segera; gagal ginjal (lampiran 3); kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5).
Interaksi:
Karena eptifibatid menghambat agregasi platelet, penggunaan harus hati-hati dengan obat lain yang
mempengaruhi hemostatis, termasuk antikougulan oral, larutan dekstran, adenosin, sulfinpirazon, prostasiklin,
antiinflamasi nonsteroid atau dipiridamol, tiklodipin dan klopidogrel.

Kontraindikasi:
pendarahan abnormal dalam 30 hari, operasi besar atau trauma parah dalam 6 minggu, stroke dalam 30 hari
terakhir atau riwayat hemoragik stroke, penyakit inttoakular (aneurism, malformasi arteriveha atau neoplasma)
hipertensi berat, diathesis hemoragik, peningkatan waktu protrombin atau INR, trombositopenia, gangguan
fungsi hati signifikan, pasien pada perawatan dialisis ginjal, hipersensitif terhadap komponen obat; menyusui;
penggunaan bersama atau rencana penggunaan bersamaan dengan penghambat glikoprotein IIb / IIIa
parenteral.

Efek Samping:
manifestasi pendarahan; sangat jarang anafilaksis dan ruam.

Dosis:
Sindrom koroner akut: Pasien dengan serum kreatinin < 2,0 mg/dl, dosis yang dianjurkan intravena bolus 180
mcg/kg bb segera. Setelah diagonis dilanjutkan infus terus menerus 2,0 mcg/kg bb/menit sampai 72 jam.
Pasien dengan berat diatas 121 kg maksimum 15 mg/jam.
Pasien dengan serum kreatinin antara 2.0 dan 4.0 mg/dl, dosis yang dianjurkan intravena bolus 180 mcg/kg
bb/menit. Pasien dengan serum kreatinin antara terus menerus 1,0 mcg/kg bb/menit. Pasien dengan serum
kreatinin antara 2,0 dan 4,0 mg/dl. Dan berat diatas 121 kg harus mendapat maksimum bolus 22,6 mg
dilanjutkan dengan infus kecepatan maksimum 7,5 mg/jam PCI.

Pasien dengan serum kreatinin < 2,0 mg/dL, dosis yang dianjurkan intravena bolus 180 mcg segera setelah PCI
dimulai dilanjutkan dengan infus terus menerus 2,0 mcg/kg bb/menit dan kedua 180 mcg/kg bb bolus 10 menit
setelah bolus pertama. Infus diteruskan sampai 18-24 jam, minimum pemberian 12 jam. Pasien dengan berat
diatas 121 kg mendapatkan maksimum 22,6 mg per bolus diikuti oleh infus kecepatan maksimum 15 mg per
jam. Pasien dengan serum kreatinin antara 2,0 dan 4,0 mg/dL pada awal PCI dosis 180 mcg/kg bb diberikan
sebelum prosedur awal segera dilanjutkan dengan infus 1,0 mcg/kg bb/menit secara terus menerus dan kedua
180 mcg/kg bb bolus diberikan 10 menit setelah pemberian pertama. Pasien dengan serum kreatinin antara 2,0
dan 4,0 mg/dL dan berat diatas 121 kg mendapat maksimum 22,6 mg per bolus dilanjutkan dengan infus
kecepatan maksimum 7,5 mg/jam.

Pasien yang menjalani pembedahan bypass arteri koroner, infus eptifibatid harus dihentikan sebelum
pembedahan.

KLOPIDOGREL
Indikasi:
menurunkan kejadian aterosklerotik (infark miokardia, stroke, dan kematian vaskuler) pada pasien dengan
riwayat aterosklerosis yang ditandai dengan serangan stroke yang baru terjadi, infark miokardia yang baru
terjadi atau penyakit arteri perifer yang menetap.

Peringatan:
hati-hati digunakan pada pasien dengan risiko terjadinya pendarahan seperti pada keadaan trauma,
pembedahan atau keadaan patologi lainnya; Penggunaan bersamaan dengan obat yang meningkatkan risiko
pendarahan. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan dan tidak diperlukan efek anti platelet, klopidogrel
harus dihentikan 7 hari sebelumnya. Hati-hati digunakan pada pasien dengan kegagalan fungsi hati karena
pengalaman penggunan masih terbatas; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); kehamilan (lampiran 4).

Interaksi:
lampiran 1 (Klopidogrel).

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, perdarahan aktif seperti ulkus peptikum atau perdarahan intrakranial, menyusui (lampiran 5).

Efek Samping:
Dispepsia, nyeri perut, diare; perdarahan (termasuk perdarahan saluran cerna dan intrakranial); lebih jarang
mual, muntah, gastritis, perut kembung, konstipasi, tukak lambung dan usus besar, sakit kepala, pusing,
paraestesia, leukopenia, platelet menurun (sangat jarang trombositopenia berat), eosinofilia, ruam kulit, dan
gatal; jarang vertigo; sangat jarang kolitis, pankreatitis, hepatitis, vaskulitis, kebingungan, halusinasi,
gangguan rasa, gangguan darah (termasuk trombositopenia purpura, agranulositosis, dan pansitopenia), dan
reaksi seperti hipersensitivitas (termasuk demam, glomerulonefritis, nyeri sendi, sindrom Steven Johnson,
linchen planus.
Dosis:
75 mg sekali sehari dengan atau tanpa makanan. Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien lanjut usia
atau dengan kelainan fungsi ginjal.

PRAVASTATIN+ASETOSAL
Indikasi:
keadaan dimana pravastatin (antikolesterol) dan asetosal (antiplatelet) diperlukan secara bersamaan. Lihat
Pravastatin (Bab 2.10.4) dan Asetosal (Bab 2.7)

Peringatan:
gangguan fungsi hati dan ginjal berat, lakukan uji fungsi hati pada pasien yang mengalami kenaikan kadar
transaminase. Tidak digunakan pada anak.

Interaksi:
pravastatin: imunosupresan, gemfibrozil, asam nikotinat, eritromisin, inhibitor sitokrom P450 3A4,
kolestiramin, diltiazem, itrakonazol, antipirin. Asetosal: lihat lampiran 1 Asetosal (IONI 2008).

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas; penyakit hati aktif atau tidak dapat dijelaskan; peningkatan hasil fungsi hati yang menetap;
kehamilan atau pada wanita yang berencana untuk hamil; menyusui; alergi terhadap anti inflamasi non steroid
(AINS).

Efek Samping:
Pravastatin: nyeri dada (bukan karena penyakit jantung), influenza, ruam kulit, rasa lelah, pening, gangguan
tidur, urinasi yang tidak normal (tidak urinasi, frekuensi urinasi, nokturia), disfungsi seksual, gangguan
penglihatan, alopesia. Asetosal: bronkospasme, perdarahan saluran cerna (kadang parah), juga perdarahan lain
(misal subkonjungtiva).
Dosis:
sehari satu kali, pravastatin 20 mg / asetosal 80 mg atau pravastatin 10 mg / asetosal 80 mg. Tablet pravastatin
dikonsumsi pada malam hari dan tablet asetosal pada pagi hari. Pravastatin dapat diminum bersama makanan
atau tanpa makanan. Asetosal diminum bersama makanan dan dengan segelas air, kecuali jika pasien dibatasi
asupan cairannya.

SILOSTAZOL
Indikasi:
mengobati gejala-gejala iskemia seperti ulkus, rasa sakit dan dingin pada penyakit oklusi arteri kronik.

Peringatan:
hati-hati pemberian pada waktu menstruasi, tendensi pendarahan, pasien dengan terapi antikoagulan,
antiplatelet (seperti warfarin, aspirin, tiklodopin), pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal. Pemberian
pada kehamilan dan menyusui tidak dianjurkan. Keamanan pada bayi belum diketahui.

Interaksi:
lampiran 1 (silostazol).

Kontraindikasi:
predisposisi pada pendarahan (seperti tukak lambung aktif, stroke hemoragik pada 6 bulan terakhir, operasi
pada 3 bulan terakhir, proliperatif retinopati akibat diabetes, hipertensi yang tidak dikontrol); riwayat takikardi
ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan multifokal ventrikel ectopics, perpanjangan interval QT, gagal jantung
kongestif; gangguan fungsi hati sedang hingga berat; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); kehamilan
(lampiran 4); menyusui (lampiran 5).

Efek Samping:
sangat sering: diare, kotoran tidak normal, sakit kepala; mual, muntah, dispepsia, perut kembung, nyeri perut;
takikardi, jantung berdebar, angina, aritmia, nyeri dada; rhinitis; pusing; ekimosis; ruam kulit, gatal; edema,
astenia;
Lebih jarang: gastritis, infark miokard, gagal jantung kongesti, hipotensi postural, insomnia, kecemasan,
mimpi abnormal, dispnoea, pneumonia, batuk, reaksi hipersensitif, diabetes mellitus, anemia, pendarahan,
trombositemia, nyeri otot, gangguan fungsi ginjal.
Dosis:
dewasa, 100 mg 2 kali sehari (30 menit sebelum atau 2 atau 2 jam setelah makan).
TRIFLUSAL
Indikasi:
pencegahan infark miokard, angina stabil dan tidak stabil, stroke tanpa hemoragik atau serangan iskemia
transien setelah serangan iskemia serebrovaskular atau koroner yang pertama. Mengurangi oklusi graft vena
setelah operasi bedah koroner.

Peringatan:
Hati-hati pada gangguan fungsi hati/ginjal, risiko perdarahan, kehamilan/menyusui.

Interaksi:
meningkatkan efek AINS, glisentid atau warfarin.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas pada triflusal atau salisilat lain, ulkus peptik aktif atau ulkus peptik dengan komplikasi,
perdarahan aktif.

Efek Samping:
dispepsia, nyeri abdomen, mual, perdarahan lambung, sakit kepala.

Dosis:
Dewasa dan lansia, 600 mg per hari dalam dosis tunggal atau dosis terbagi atau 900 mg per hari dalam dosis
terbagi. Diberikan bersama makanan. Efikasi dan keamanan penggunaan pada anak belum diketahui dengan
pasti.

TIKLOPIDIN
Indikasi:
mengurangi risiko terjadinya stroke dan stroke kambuhan pada pasien yang pernah mengalami stroke
tromboemboli, stroke iskemik, minor stroke, reversible ischemic neurological deficit (RIND), transient
ischemic attack (TIA) termasuk transient monocular blindness (TMB); Pencegahan kejadian mayor ischemic
accident, terutama pada koroner, pada pasien dengan arteri kronis dari anggota tubuh bagian bawah pada
tahap intermitten claudication; pencegahan dan perbaikan kerusakan fungsi platelet karena misalnya
hemodialisis berulang; pencegahan oklusi subakut yang diikuti implantasi STENT koroner.
Peringatan:
Efek samping hematologi dan hemoragik dapat terjadi, bisa berat dan bahkan fatal, sehingga pasien harus
selalu dimonitor. Kejadian ini dapat berhubungan dengan kurangnya monitoring, diagnosis yang terlambat dan
tidak tepatnya pengukuran terapetik efek samping yang terjadi. Pemberian bersamaan dengan antikoagulan
atau antiplatelet lain seperti asetosal dan AINS. Pada kasus pemasangan STENT, tiklopidin harus
dikombinasikan dengan asetosal (100-325 mg/hari) selama 1 bulan setelah implantasi. Jumlah platelet harus
diketahui pada awal pengobatan dan setiap 2 minggu untuk 3 bulan pertama terapi, dan setiap 15 hari setelah
pengobatan. Pengobatan harus dihentikan pada kejadian neutropenia (<1.500 neutrofil/mm3) atau
trombositopenia (<100.000 platelet/mm3), dan jumlah platelet harus dimonitor sampai kembali normal.

Interaksi:
kombinasi yang dapat meningkatkan risiko perdarahan: AINS, antiplatelet, derivat asam salisilat, antikoagulan
oral, heparin; kombinasi yang memerlukan perhatian: digoksin, fenobarbital, fenitoin.

Kontraindikasi:
diatesis hemoragik (kecenderungan mengalami perdarahan), lesi organ yang cenderung mengalami pendarahan
(tukak gastroduodenal aktif atau kejadian hemoragik serebrovaskular pada fase akut), kelainan darah termasuk
perpanjangan waktu pendarahan, leukopenia, trombositopenia atau agranulositosis, hipersensitif

Efek Samping:
hematologi (neutropenia, agranulositosis, aplasia sumsum tulang, trombositopenia, purpura trombosis
trombositopenia), hemoragik (memar atau ecchymosis dan epitaksis), diare, mual, ruam kulit umumnya
makulopapular atau urtikaria, pruritus, hepatitis dan kolestatik jaundice, reaksi imunologi (edema Quincle,
vaskulitis, sindroma lupus, hipersensitif nefropati).

Dosis:
Dewasa: 2 tablet sehari, dengan makananUntuk pemasangan STENT, pengobatan dapat dimulai sesaat
sebelum dan sesudah pemasangan dan dilanjutkan selama satu bulan dengan dikombinasikan dengan aspirin
100-25 mg/hari.

TIKAGRELOR
Indikasi:
diberikan kombinasi bersama asetosal 75-100 mg untuk mencegah trombosis (kematian kardiovaskular, infark
miokard dan stroke) pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) [angina tidak stabil, infark miokard
tanpa elevasi ST (NSTEMI) atau Infark miokard dengan elevasi ST (STEMI)] termasuk pasien dengan
intervensi koroner perkutan (PCI) atau bedah bypass jantung (CABG).
Peringatan:
pasien dengan gangguan hati, resiko perdarahan (trauma, operasi, perdarahan gastrointestinal, gangguan
koagulasi), dispnea, kehamilan kategori C, bradikardi, sindrom sinus, blok AV tingkat dua atau tiga, asma,
penyakit obstruktif paru, riwayat hiperurisemia, monitor fungsi ginjal satu bulan setelah pemberian.
Penghentian obat tiba-tiba dapat meningkatkan resiko kematian, trombosis dan infark miokard.

Interaksi:
penghambat kuat CYP3A (ketokonazol, itrakonazol, vorikonazol, klaritomisin, nefazodon, ritonavir,
saquinavir, nelfinavir, indinavir, atazanavir, dan telitromisin) dapat meningkatkan kadar tikagrelor dalam
darah, penginduksi CYP3A (rifampin, deksametason, fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital) menurunkan
kadar tikagrelor dalam darah, asetosal dengan dosis lebih dari 100 mg sehari menurunkan efektivitas
tikagrelor, simvastatin dan lovastatin meningkatkan konsentrasi serum tikagrelor, digoksin meningkatkan
kadar digoksin.

Kontraindikasi:
pasien dengan riwayat perdarahan intrakranial (ICH), perdarahan aktif seperti ulkus, hipersensitivitas.

Efek Samping:
dispnea, perdarahan, sakit kepala, batuk, lemas, pusing, fibrilasi atrium, hipertensi, nyeri dada nonkardial,
diare, nyeri punggung, hipotensi, fatigue, nyeri dada, peningkatan serum kreatinin, konstipasi, parastesia,
hiperurisemia, vertigo.
Dosis:
dosis awal (LD) 180 mg dilanjutkan dengan 90 mg dua kali perhari. Dosis awal asetosal (325 mg), dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan asetosal 75-100 mg per hari. Pasien ACS yang menerima dosis mula klopidogrel
dapat diberikan tikagrelor. Pasien yang lupa meminum obat dapat lanjut ke dosis selanjutnya (tikagrelor 90
mg). Bila ada dosis yang terlupa maka dapat dilewatkan.
2.8 Fibrinolitik
Fibrinolitik bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan plasminogen untuk membentuk plasmin,
yang mendegradasi fibrin dan kemudian memecah trombus. Manfaat obat trombolitik untuk pengobatan infark
miokard telah diketahui dengan pasti. Yang termasuk dalam golongan obat ini di antaranya streptokinase,
urokinase, alteplase, dan anistreplase.

Streptokinase dan alteplase telah diketahui dapat menurunkan angka kematian. Reteplase dan tenekteplase juga
disarankan untuk infark miokard; keduanya diberikan secara injeksi intravena (tenekplase diberikan dengan
injeksi bolus). Obat trombolitik diindikasikan pada semua pasien dengan infark miokard akut. Pada pasien
sedemikian ini manfaat pengobatan yang diperoleh lebih besar dari risikonya. Penelitian menunjukkan bahwa
manfaat paling besar dirasakan oleh pasien dengan perubahan pada hasil EKG berupa elevasi/peningkatan
segmen ST (STEMI) (terutama pada pasien infark anterior) dan pada pasien dengan bundle branch block.
Pasien tidak boleh menolak pengobatan dengan trombolitik berdasarkan alasan usia saja karena angka
kematian pada kelompok ini tinggi dan penurunan risiko kematian sama dengan kelompok pasien yang lebih
muda.
Streptokinase digunakan dalam pengobatan trombosis vena yang mengancam jiwa, dan dalam embolisme paru.
Pengobatan harus dimulai dengan tepat.

Alteplase, streptokinase, dan urokinase digunakan pada anak-anak untuk melarutkan trombus intravaskuler dan
untuk menormalkan blokade occluded shunts dan kateter. Pengobatan sebaiknya dimulai sesegera mungkin
setelah terjadi pembekuan darah dan dihentikan apabila terdeteksi perbaikan pada organ yang sakit,
atau shunt atau kateter sudah tidak terblokade.
Keamanan dan efikasi pengobatan dengan menggunakan obat ini masih belum dapat dipastikan, terutama pada
neonatus. Obat fibrinolitik kemungkinan hanya bermanfaat apabila oklusi arteri mengancam kerusakan
iskemik; antikoagulan mungkin dapat menghentikan bekuan darah menjadi lebih besar. Alteplase merupakan
fibrinolitik yang lebih disukai untuk neonatus dan anak-anak. Risiko efek sampingnya termasuk reaksi alergi
lebih kecil.

Peringatan. Risiko perdarahan dari penyuntikan atau prosedur invasif, kompresi dada dari luar, kehamilan
(lampiran 4), aneurisme abdominal atau kondisi di mana trombolisis dapat meningkatkan risiko komplikasi
embolik seperti pembesaran atrium kiri dengan fibrilasi atrium (risiko melarutnya bekuan darah yang disertai
embolisasi), retinopati akibat diabetes, terapi antikoagulan yang sudah diberikan atau yang diberikan
bersamaan.
Kontraindikasi. Perdarahan, trauma, atau pembedahan (termasuk cabut gigi) yang baru terjadi, kelainan
koagulasi, diatesis pendarahan, diseksi aorta, koma, riwayat penyakit serebrovaskuler terutama serangan
terakhir atau dengan berakhir cacat, gejala-gejala tukak peptik yang baru terjadi, perdarahan vaginal berat,
hipertensi berat, penyakit paru dengan kavitasi, pankreatitis akut, penyakit hati berat, varises esofagus; juga
dalam hal streptokinase atau anistreplase, reaksi alergi sebelumnya terhadap salah satu dari kedua obat
tersebut.
Munculnya antibodi terhadap streptokinase dan anistreplase yang terus menerus terjadi dapat mengurangi
efikasi pengobatan berikutnya. Karena itu, kedua obat ini tidak boleh diulang setelah 4 hari sejak pemberian
pertama streptokinase atau anistreplase. Antibodi dapat juga muncul setelah penggunaan streptokinase topikal
pada luka.

Efek Samping. Efek samping trombolitik terutama mual, muntah, dan perdarahan. Bila trombolitik digunakan
pada infark miokard, dapat terjadi aritmia reperfusi. Hipotensi juga dapat terjadi dan biasanya dapat diatasi
dengan menaikkan kaki penderita saat berbaring, mengurangi kecepatan infus atau menghentikannya
sementara. Nyeri punggung telah dilaporkan. Perdarahan biasanya terbatas pada tempat injeksi, tetapi dapat
juga terjadi perdarahan intraserebral atau perdarahan dari tempat-tempat lain. Jika terjadi perdarahan yang
serius, trombolitik harus dihentikan dan mungkin diperlukan pemberian faktor-faktor koagulasi dan obat-obat
antifibrinolitik (aprotinin atau asam traneksamat). Streptokinase dan anistreplase dapat menyebabkan reaksi
alergi dan anafilaksis. Selain itu, pemah dilaporkan terjadinya sindrom Guillain-Barresetelah pengobatan
streptokinase.
Monografi:

ALTEPLASE
Indikasi:
Terapi trombolitik pada infark miokard akut, embolisme paru dan stroke iskemik akut.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; untuk stroke akut monitor perdarahan intrakranial, tekanan darah (antihipertensi
dianjurkan jika sistolik di atas 180 mmHg atau diastolik di atas 105 mmHg); gangguan fungsi ginjal.

Interaksi:
lihat lampiran 1.

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas, pada stroke akut, kejang yang menyertai stroke, stroke berat, riwayat stroke pada
pasien diabetes, stroke 3 bulan sebelumnya, hipoglikemi, hiperglikemi.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas, risiko perdarahan otak meningkat pada stroke akut.

Dosis:
 Infark miokard, rejimen dipercepat (dimulai dalam 6 jam). Awal, injeksi intravena 15 mg, diikuti dengan
infus 35 mg selama 60 menit (total 100 mg selama 90 menit); pada pasien dengan berat badan kurang dari
65 kg, dosis diturunkan.
 Infark miokard, terapi awal diberikan dalam 6-12 jam: Awal, injeksi intravena 10 mg, diikuti dengan infus
intravena 50 mg selama 60 menit. Kemudian 4 kali infus intravena 10 mg selama 30 menit (total 100 mg
selama 3 jam; maksimal 1,5 mg/kg bb pada pasien dengan berat badan kurang dari 65 kg).
 Embolisme paru, injeksi intravena 10 mg selama 1-2 menit, diikuti dengan infus intravena 90 mg selama 2
jam; maksimal 1,5 mg/kg bb pada pasien dengan berat badan kurang dari 65 kg.
 Stroke akut, (terapi harus dimulai dalah 3 jam), meliputi intravena 900 mcg/kg bb (maksimal 90 mg)
selama 60 menit; 10% dosis diberikan melalui injeksi intravena; Lansia. Tidak dianjurkan untuk usia
diatas 80 tahun.

RETEPLASE
Indikasi:
infark miokard akut.

Peringatan:
lihat keterangan diatas; menyusui (lampiran 5).

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas.
Dosis:
Injeksi intravena, 10 unit diberikan selama maksimal 2 menit, diikuti dengan dosis 10 unit setelah 30 menit.

STREPTOKINASE
Indikasi:
trombosis vena dalam, embolisme paru, tromboembolisme arterial akut, trombosis lintas arteriovena; infark
miokard akut.

Peringatan:
lihat keterangan di atas.

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas.

Dosis:
trombosis vena dalam, embolisme paru, tromboembolisme arterial akut, vena retina pusat atau trombosis
erfercil: infus intravena, 250.000 unit selama 30 menit, kemudian 100.000 unit setiap jam selama sampai
dengan 24-72 jam menurut kondisiInfark miokard, 1.500.000 unit selama 60 menit.

TENEKTEPLASE
Indikasi:
infark miokard akut.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; menyusui (lampiran 5).

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; demam.

Dosis:
Injeksi intravena selama 10 detik, 30-50 mg sesuai berat badan (500-600 mcg/kg bb); maksimal 50 mg.

UROKINASE
Indikasi:
trombosis lintas arteri-ovena dan kanula intravena; trombolisis pada mata; trombosis vena dalam, embolisme
paru, oklusi vaskuler perifer.

Peringatan:
lihat keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas

Efek Samping:
lihat keterangan di atas.

Dosis:
instilasi ke dalam lintas arteriovena, 5000-25.000 UI dalam 2-3 mL injeksi NaCl 0,9%.
Infus intravena, 4400 UI/kg bb selama 10 menit, kemudian 4400 unit/kg bb/jam selama 12 jam pada
embolisme paru atau 12-24 jam pada trombosis vena dalam. Penggunaan intraokuler 5000 UI dalam 2 mL
injeksi NaCl 0,9%.

2.9 Hemostatik dan Antifibrinolitik


Melarutnya fibrin dapat diganggu oleh pemberian asam traneksamat yang menghambat fibrinolisis. Obat ini
dapat bermanfaat untuk mencegah perdarahan (misal pada prostatektomi dan cabut gigi pada hemofilia) dan
terutama dapat bermanfaat pada menoragia. Asam traneksamat juga digunakan pada angiodema herediter,
epistaksis dan pada over dosis trombolitik.

Desmopresin digunakan pada penatalaksanaan hemofilia ringan sampai sedang, Aprotinin merupakan
penghambat enzim proteolitik yang bekerja pada plasmin dan kalidinogenase (kalikrein). Obat ini telah ditarik
dari peredaran pada tahun 2008 karena meningkatkan mortalitas pasien.
Etamsilat mengurangi perdarahan kapiler dengan adanya jumlah trombosit yang normal. Kerjanya tidak
dengan cara menstabilkan fibrin, tetapi mungkin dengan cara memperbaiki adesi trombosit yang abnormal.

Monografi:

ANTIHEMOFILIK FAKTOR
(REKOMBINAN)
Indikasi:
hemofilia klasik (Hemofilia A), yang menunjukkan adanya kekurangan aktivitas faktor pembekuan plasma
(FVIII). Tidak diindikasikan untuk terapi penyakit Von Willebrand’s.
Peringatan:
riwayat alergi dengan FVIII yang lain, kehamilan dan menyusui.

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas.

Efek Samping:
reaksi pada lokasi penyuntikan, pusing, ruam, rasa yang tidak biasa pada mulut, peningkatan ringan tekanan
darah, pruritus, depersonalisasi, mual, rinitis.

Dosis:
perdarahan minor (aktivitas FVIII yang dibutuhkan 20-40%): 10-20 IU/kg bb, dosis diulang jika terjadi
perdarahan lagi.
Perdarahan sedang-berat, operasi minor (aktivitas FVIII yang dibutuhkan 30-60%): 15-30 IU/kg bb, diulangi
satu dosis setiap 12-24 jam, bila diperlukan.
Perdarahan berat hingga perdarahan yang mengancam jiwa seperti perdarahan intrakranial, intra-abdominal
atau intratorasik, perdarahan gastrointestinal, perdarahan pada sistem saraf pusat, perdarahan pada
retrofaringeal atau daerah retroperitoneal, trauma fraktur kepala (aktivitas FVIII yang dibutuhkan 80-100%):
Dosis awal: 40-50 IU/kg bb, pengulangan dosis 20-25 IU/kg bb setiap 8-12 jam.
Operasi besar (aktivitas FVIII yang dibutuhkan ~100%): dosis prabedah: 50 IU/kg bb, diulangi jika diperlukan
setelah 6-12 jam terhitung sejak awal pemberian, dan selama 10-14 hari sampai sembuh. Larutan pengencer
2,5 ml.

ANTITROMBIN III MANUSIA


Indikasi:
defisiensi antitrombin III kongenital.

Efek Samping:
mual, wajah memerah, sakit kepala; jarang terjadi, reaksi alergi dan demam.

ASAM TRANEKSAMAT
Indikasi:
fibrinolisis lokal; menoragia.

Peringatan:
kurangi dosis pada gangguan ginjal, hindarkan jika berat; hematuria yang masif (hindari jika ada risiko
obstruksi ureter); pemeriksaan mata reguler dan uji fungsi hati yang teratur pada pengobatan jangka panjang
angiodema turunan; kehamilan.

Kontraindikasi:
gangguan ginjal yang berat; penyakit tromboembolik.

Efek Samping:
mual, muntah, diare (kurangi dosis); pusing pada injeksi intravena cepat.

Dosis:
oral, fibrinolisis lokal, 15-25 mg/kg bb 2-3 kali sehari.

Menoragia (diawali bila menstruasi telah mulai), 1-1,5 g 3-4 kali sehari selama 4 hari; maksimal 4 g sehari.
Angioedema turunan, 1-1,5 g 2-3 kali sehari.

Injeksi intravena lambat, fibrinolisis lokal 0,5 -1 g 3 kali sehari.

ETAMSILAT
Indikasi:
pengobatan jangka pendek kehilangan darah pada menoragia; profilaksis dan pengobatan pendarahan
periventrikel pada bayi bobot lahir rendah.

Kontraindikasi:
porfiria.

Efek Samping:
mual, sakit kepala, ruam kulit.
Dosis:
oral, pengobatan jangka pendek kehilangan darah pada menoragia, 500 mg 4 kali sehari selama menstruasi
Injeksi intramuskuler atau intravena, profilaksis dan pengobatan pendarahan periventrikel pada bayi bobot
lahir rendah, 12,5 mg/kg bb setiap 6 jam.

FRAKSI FAKTOR VIII, KERING


(FRAKSI ANTIHEMOFILIK
MANUSIA, KERING)
Indikasi:
pengobatan dan pencegahan perdarahan pada hemofilia A.

Peringatan:
hemolisis intravaskuler setelah dosis besar atau dosis berulang yang sering pada pasien dengan golongan darah
A, B, atau AB.

Efek Samping:
reaksi alergi termasuk menggigil, demam; hiperfibrinogenemia terjadisetelah dosis besar dengan produk-
produk terdahulu, tetapi kemungkinannya lebih kecil dengan produk-produk sekarang karena kandungan
fibrinogennya telah banyak dikurangi.

Keterangan:
Fraksi faktor VIII kering dibuat dari plasma manusia dengan teknik fraksionasi yang sesuai.

FRAKSI FAKTOR VIII KOMBINASI


FRAKSI FAKTOR IX, KERING
Indikasi:
defisiensi faktor IX kongenital (hemofilia B).

Peringatan:
risiko trombosis, pada dasarnya dengan produk-produk terdahulu yang kemurniannya rendah.

Kontraindikasi:
koagulasi intravaskuler yang tersebar.

Efek Samping:
reaksi alergi meliputi menggigil, demam.

Keterangan:
Fraksi faktor IX kering dibuat dari plasma manusia dengan teknik fraksionasi yang sesuai. Mungkin juga
mengandung faktor pembekuan II, VII, dan X.
FRAKSI FAKTOR IX KOMBINASI
FAKTOR XIII
Indikasi:
defisiensi faktor XIII kongenital.

Efek Samping:
jarang terjadi, reaksi alergi dan demam.

2.10 Hipolipidemik
Perlu dilakukan tindakan untuk mencegah penyakit kardiovaskuler pada pasien dengan risiko tinggi
aterosklerosis. Pasien yang berisiko tinggi meliputi pasien yang mempunyai penyakit aterosklerosis atau
pasien diabetes yang berusia lebih dari 40 tahun.

Tindakan pencegahan diperlukan juga untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami penyakit
aterosklerosis kardiovaskuler; besarnya risiko dievaluasi berdasarkan pada kadar lipid beserta faktor risiko
yang lain seperti merokok, tekanan darah tinggi, gangguan toleransi glukosa, laki-laki, usia, menopause dini,
etnis, obesitas, peningkatan kadar trigliserida, dan riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskuler pada
usia muda. Pada pasien dengan risiko mengalami penyakit kardiovaskuler pada 10 tahun mendatang sebesar
20% atau lebih, perlu diberikan pengobatan.

Aterosklerosis yang mulai terjadi pada waktu anak-anak dan peningkatan kolesterol serum pada anak-anak
dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler ketika dewasa. Penurunan kolesterol, tanpa mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak- anak dan remaja, dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler
pada kehidupan selanjutnya.

Intervensi diet merupakan pengobatan utama hiperkolesterolemia pada anak-anak. Tujuannya adalah untuk
menurunkan risiko aterosklerosis sambil tetap memastikan pertumbuhan dan perkembangan tetap normal. Juga
tetap disarankan perubahan gaya hidup. Pada anak-anak dengan riwayat hiperkolesterolemia familial, riwayat
keluarga dengan penyakit kardiovaskuler merupakan faktor yang penting dalam mempertimbangkan mulai
diberikannya obat hipolipidemik. Pada anak, hiperkoles-terolemia familial jarang terjadi dan diperlukan
penanganan oleh dokter spesialis.

Penurunan Low Density Lipoprotein (LDL) dan peningkatan High Density Lipoprotein (HDL) dapat
memperlambat memburuknya aterosklerosis dan dapat menginduksi regresi. Perubahan gaya hidup dan diet
dapat memberikan manfaat. Pengobatan menggunakan obat hipolipidemik harus dikombinasikan dengan diet
dan perubahan gaya hidup, penurunan tekanan darah (lihat bagian 2.3), penggunaan asetosal dosis rendah (lihat
bagian 2.7) dan penanganan diabetes melitus (lihat bagian 6.1).
Ada beberapa kondisi, sebagian di antaranya herediter, dimana kadar kolesterol atau trigliserida plasma, atau
keduanya sangat tinggi. Di antara lima kategori hiperlipidemia, yang paling lazim dijumpai adalah Tipe II
(hiperkolesterolemia familial, dimana kolesterol berikatan dengan lipoprotein dan meningkatkan kadar
lipoprotein densitas rendah-Low Density Lipoprotein = LDL) dan Tipe IV (dimana kadar trigliserida serum dan
kadar lipoprotein densitas sangat rendah-very low density lipoprotein = VLDL meningkat. Apabila intervensi
diet saja selama 6-12 bulan telah gagal, terapi obat diindikasikan pada anak berusia lebih dari 6 tahun yang
mempunyai risiko tinggi penyakit kardiovaskuler. Diet dan pemantauan gaya hidup harus tetap dilanjutkan
meskipun telah diberikan obat hipolipidemik.
Obat hipolipidemik dipertimbangkan apabila intervensi diet gagal untuk menurunkan kolesterol secara
bermakna; tetapi data penggunaan pada anak-anak masih terbatas karena itu obat-obat tersebut sebaiknya
diberikan oleh dokter spesialis.

Statin efektif untuk menurunkan risiko kejadian penyakit jantung pada derajat dislipidemia berapapun. Statin
merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperkolesterolemia dan hipertrigliserida sedang. Hipertrigliserida
berat yang tidak cukup diatasi dengan pemakaian statin dosis maksimal perlu tambahan obat hipolipidemik
seperti ezetimib dan kolestiramin, tetapi pengobatan ini umumnya harus diawasi oleh dokter spesialis.

Beberapa kondisi, diantaranya bersifat genetik, ditandai dengan kadar LDL yang sangat tinggi, kadar
trigliserida tinggi, maupun keduanya. Fibrat ditambahkan pada terapi statin apabila trigliserida tetap tinggi
meskipun kadar kolesterol LDL telah cukup penurunannya; asam nikotinat dapat juga digunakan lebih lanjut
untuk menurunkan kadar trigliserida atau LDL kolesterol. Kombinasi statin dengan fibrat maupun dengan
asam nikotinat dapat meningkatkan efek samping (seperti rabdomiolisis) dan harus digunakan di bawah
pengawasan dokter spesialis; diperlukan pemantauan fungsi ginjal dan kreatinin kinase. Penggunaan bersama
gemfibrosil dengan statin dapat meningkatkan risiko rabdomiolisis, karena itu kombinasi ini tidak boleh
digunakan.

Untuk pencegahan penyakit kardiovaskuler pada pasien dengan risiko tinggi, pengobatan menggunakan obat
hipolipidemik harus disesuaikan untuk mencapai target kadar kolesterol total kurang dari 4 mmol/L (=150
mg/dL) (atau penurunan sebesar 25%) dan target kadar kolesterol LDL kurang dari 2 mmol/L (= 77 mg/dL)
(atau penurunan sebesar 30%).

Pasien dengan hipotiroid harus menerima terapi sulih tiroid yang cukup sebelum dievaluasi kebutuhan
terhadap pengobatan dengan obat hipolipidemik karena dengan mengkoreksi hipotiroid itu sendiri
kemungkinan dapat menormalkan lipid. Pemberian obat hipolipidemik pada pasien hipotiroid yang tidak
diterapi meningkatkan risiko miositis.

Fibrat digunakan untuk hipertrigliseridemia, sedangkan statin atau fibrat dapat digunakan, sendiri atau
bersama, digunakan untuk mengobati hiperlipidemia campuran.

Bukti penggunaan golongan fibrat (bezafibrat maupun fenofibrat) pada anak-anak masih terbatas; oleh karena
itu fibrat sebaiknya hanya diberikan apabila intervensi diet dan pengobatan dengan statin dan resin penukar ion
tidak berhasil.

Hiperlipidemia yang berat seringkali memerlukan kombinasi obat-obat hipolipidemik seperti resin penukar
anion dengan fibrat, statin, atau asam nikotinat. Kombinasi statin dengan asam nikotinat atau fibrat
meningkatkan resiko terjadinya efek samping (termasuk rabdomiolisis) dan harus digunakan dengan hati-hati.

 2.10.1 Resin Penukar Anion


 2.10.2 Ezetimib
 2.10.3 Fibrat
 2.10.4 Statin
 2.10.5 Asam Nikotinat

 2.10.1 Resin Penukar Anion


 Kolestiramin dan kolestipol adalah resin penukar anion yang digunakan dalam penanganan
hiperkolesterolemia. Obat-obat tersebut bekerja dengan cara mengikat asam empedu dan mencegah
reabsorpsinya; dengan demikian akan terjadi peningkatan konversi kolesterol menjadi asam empedu di
dalam hati; hasilnya akan meningkatkan aktivitas reseptor-LDL dalam sel hati, sehingga
meningkatkan pemecahan kolesterol LDL dari plasma. Jadi, kedua obat tersebut menurunkan
kolesterol-LDL secara efektif, tetapi dapat memperburuk hipertrigliseridemia.
 Peringatan: Resin penukar anion mengganggu absorpsi vitamin larut lemak. Suplemen vitamin A, D,
dan K serta asam folat mungkin diperlukan bila pengobatan berlangsung lama. Interaksinya dapat
dilihat pada lampiran 1 (kolestiramin dan kolestipol).
 Efek samping: Karena kolestiramin dan kolestipol tidak diabsorpsi, efek samping saluran cerna
menonjol. Konstipasi lazim terjadi, tetapi diare juga dilaporkan. Demikian pula mual, muntah, dan
rasa tidak enak dalam saluran cerna. Hipertrigliseridemia bisa memburuk. Kecenderungan perdarahan
yang meningkat telah dilaporkan akibat hipoprotombinemia yang disertai dengan defisiensi vitamin K.
 Catatan: Obat-obat lain harus diminum paling tidak 1 jam sebelum atau 4-6 jam setelah pemberian
kolestiramin atau kolestipol guna mengurangi kemungkinan gangguan absorpsinya.
 Monografi:

 KOLESTIPOL HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 hiperlipidemia, terutama tipe IIa, pada pasien yang tidak cukup memberikan respon terhadap diet dan
tindakan lain yang sesuai.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; kehamilan.
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas.
 Dosis:
 5 g 1-2 kali sehari dalam cairan, jika perlu tingkatkan pada interval 1-2 bulan sampai maksimal 30 g
sehari (dalam dosis tunggal atau 2 dosis terbagi).

 KOLESTIRAMIN
 Indikasi:
 hiperlipidemia, terutama tipe IIa, pada pasien yang tidak cukup memberikan respon terhadap diet dan
tindakan lain yang sesuai; pencegahan primer penyakit jantung koroner pada pria; usia 35 - 59 tahun
dengan hiperkolesterolemia primer yang tidak responsif terhadap diet dan tindakan lain yang relevan;
pruritus akibat obstruksi empedu parsial dan sirosis empedu primer.
 Peringatan:
 lihat keterangan di atas; kehamilan dan menyusui.
 Kontraindikasi:
 obstruksi empedu total (kemungkinan tidak akan efektif).
 Efek Samping:
 lihat keterangan di atas; asidosis hiperkloremik dilaporkan pada penggunaan yang lama.
 Dosis:
 penurunan lipid (setelah pemberian awal selama 3-4 minggu) 8-24 g sehari dalam air (atau cairan lain
yang sesuai) dalam dosis tunggal atau 4 dosis terbagi, jika perlu sampai dengan 36 g sehari. Pruritus,
4-8 g sehari dalam air (atau cairan lain yang cocok).

 2.10.2 Ezetimib
 Ezetimib menghambat absorpsi kolesterol pada saluran cerna. Obat ini digunakan sebagai tambahan
untuk manipulasi diet pada pasien dengan hiperkolesterolemia primer dalam kombinasi dengan statin
atau secara tunggal (jika statin tidak mencukupi), pada pasien dengan hiperkolesterolemia familial
dalam kombinasi dengan statin dan pada pasien dengan sitosterolemia familial (fitosterolemia). Jika
ezetimib digunakan dalam kombinasi dengan statin risiko rabdomiolisis dapat meningkat.
 Monografi:

 EZETIMIB
 Indikasi:
 Hiperkolesterolemia primer, diberikan tunggal atau kombinasi dengan inhibitor HMG-CoA reduktase
(statin), dan Homozygous Familial hiperkolesterolemia, kombinasi dengan statin.
 Peringatan:
 Ezetimib tidak dianjurkan pada pasien dengan penurunan fungsi hati sedang atau berat. Pemberian
terkontrol bersamaan dengan statin, transaminase meningkat teratur ≥ 3 kali limit atas normal (ULN),
uji fungsi hati harus dilakukan pada awal terapi dan sesuai dengan rekomendasi statin. Efikasi dan
keamanan ezetimib kombinasi dengan fibrat belum diketahui past. (lihat interaksi).
 Kehamilan dan menyusui. Tidak ada data klinis penggunaan pada kehamilan. Tidak boleh digunakan
pada pasien menyusui kecuali manfaat diperhitungkan terhadap resiko pada bayi.
 Interaksi:
 antasid, kolestiramin, siklosporin, fibrat.
 Kontraindikasi:
 lihat lampiran 4.
 Efek Samping:
 Gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, lemas, mialgia.
 Jarang: reaksi hipersensitivitas termasuk ruam dan angioedema.
 Sangat jarang: pankreatitis, kolelitiasis, kolesistitis, trombositopenia dan peningkatan kreatinin
kinase, miopati dan rabdomiolisis.
 Ezetimib kombinasi dengan statin: sakit kepala, lemas, sakit perut, konstipasi, diare, kembung, mual,
peningkatan ALT, peningkatan AST, mialgia.
 Dosis:
 Pasien harus diet yang cukup untuk menurunkan lipid dan melanjutkan diet selama pengobatan
dengan Ezetimib. Dosis 10 mg sehari sekali, digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan statin,
dengan atau tanpa makanan.
 Pada lansia diperlukan penyesuaian dosis, pada anak-anak dan remaja ≥ 10 th tidak diperlukan
penyesuaian dosis, dan Ezetimib tidak dianjurkan pada anak < 10 th.
 Pada pasien dengan gangguan hati ringan: tidak diperlukan penyesuaian dosis; disfungasi hati sedang
atau berat: tidak dianjurkan.
 Pada pasien dengan gangguan ginjal : tidak diperlukan penyesuaian dosis.
 Pemberian bersamaan dengan asam empedu sequstrans: Ezetimib diberikan ≥ 2 jam sebelum atau ≥ 4
jam sesudah pemberian asam empedu sequstrans.

 2.10.3 Fibrat
 Bezafibrat, siprofibrat, fenofibrat, gemfibrosil bekerja terutama untuk menurunkan kadar trigliserida
serum. Obat-obat ini mempunyai efek yang berbeda-beda terhadap kolesterol-LDL. Meskipun fibrat
dapat menurunkan risiko kejadian penyakit jantung koroner pada pasien dengan kolesterol HDL
rendah atau yang kadar trigliseridanya tinggi, statin harus menjadi obat pilihan pertama. Fibrat dapat
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada pasien di mana kadar trigliserida serum lebih besar
dari 10 mmol/L.
 Fibrat dapat menyebabkan sindrom menyerupai miositis, terutama apabila fungsi ginjal pasien
terganggu. Juga, kombinasi fibrat dengan statin meningkatkan risiko efek pada otot (terutama
rabdomiolisis) dan harus digunakan dengan hati-hati dan sebaiknya dilakukan pemantauan fungsi
ginjal dan kreatinin kinase. Gemfibrosil dan statin tidak boleh digunakan secara bersamaan.
 Monografi:

 BEZAFIBRAT
 Indikasi:
 hiperlipidemia tipe IIa, IIb, III, IV, dan V pada pasien yang tidak cukup memberikan respons terhadap
diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai.
 Peringatan:
 gangguan ginjal dan hati (hindarkan jika berat, lihat juga pada miotoksisitas di bawah).
MIOTOKSISITAS. Perhatian khusus diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal, karena
peningkatan progresif kadar kreatinin serum atau gagal untuk mengikuti petunjuk aturan dosis dapat
mengakibatkan miotoksisitas (rabdomiolisis). Hentikan jika diduga atau kadar kinase kreatinin
meningkat secara bermakna.
 Interaksi:
 lihat lampiran 1 (kelompok klofibrat).
 Kontraindikasi:
 gangguan hati atau ginjal berat, hipoalbuminemia, sirosis empedu primer, penyakit kandung empedu,
sindrom nefrotik, kehamilan dan menyusui.
 Efek Samping:
 saluran cerna (mual, anoreksia, nyeri lambung), pruritus, ruam kulit, urtikaria, impotensi; juga sakit
kepala, pusing, vertigo, letih, rambut rontok; miotoksisitas (dengan miastenia atau mialgia) risiko
khusus pada gangguan ginjal (lihat pada Peringatan).
 Dosis:
 200 mg 3 kali sehari dengan atau setelah makan.

 FENOFIBRAT
 Indikasi:
 hiperlipidemia Tipe Ila, IIb, III, IV, dan V pada pasien yang tidak merespons dengan cukup terhadap
diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai.
 Peringatan:
 lihat pada Bezafibrat.
 Kontraindikasi:
 gangguan ginjal atau hati yang berat, adanya penyakit kandung empedu; kehamilan dan menyusui.
 Efek Samping:
 lihat pada Bezafibrat.
 Dosis:
 dosis awal 300 mg sehari dalam dosis terbagi; kisaran lazim 200-400 mg sehari; anak-anak 5 mg/kg
bb sehari.

 GEMFIBROZIL
 Indikasi:
 Pencegahan primer penyakit jantung koroner pada pria usia 40-55 tahun dengan hiperlipidemia yang
tidak merespons dengan baik terhadap diet. Hiperkolesterolemia dengan dislipidemia dan
hipertrigliseridemia, atau dengan klasifikasi Fredrickson tipe IIa, IIb, dan IV. Terapi hiperlipidemia
lain, seperti: Fredrickson tipe III dan V, dislipidemia akibat diabetes, dan xantoma akibat dislipidemia.
 Peringatan:
 Kolelitiasis, mempengaruhi uji fungsi hati [peningkatan SGOT, SGPT, kadar basa fosfat, laktat
dehidrogenase (LDH), CK, dan bilirubin], gangguan hematopoietik (penurunan hemoglobin,
hematokrit, dan sel darah putih), monitor perhitungan sel darah dan profil lipid secara periodik,
kehamilan, menyusui.
 Interaksi:
 Tidak boleh digunakan bersamaan dengan HMG-CoA reductase inhibitor (simvastatin, serivastatin)
dan repaglinid. Antikoagulan (warfarin): pengurangan dosis warfarin untuk mengurangi risiko
perdarahan. Resin pengikat asam empedu (kolestipol): menurunkan bioavailabilitas gemfibrozil.
Repaglinid: risiko hipoglikemia berat. Kolkisin: peningkatan risiko toksisitas neuromuskular dan
rabdomiolisis.
 Kontraindikasi:
 Gangguan fungsi hati berat dan ginjal, penyakit kantung empedu, hipersensitivitas, penggunaan
bersama HMG-CoA reductase inhibitor (simvastatin, serivastatin) dan repaglinid.
 Efek Samping:
 Sangat umum: gangguan saluran cerna, dispepsia. Umum: nyeri abdomen, apendisitis akut, diare,
lelah, mual/muntah, eksim, ruam, vertigo, konstipasi, sakit kepala. Tidak umum: fibrilasi atrium. Tidak
diketahui frekuensinya: ikterus kolestatik, pankreatitis, pusing, kantuk, paraestesia, neuritis perifer,
penurunan libido, depresi, pandangan kabur, impotensi, artralgia, sinovitis, mialgia, miopati,
miastenia, nyeri pada ekstremitas, rabdomiolisis, dermatitis eksfoliatif, dermatitis, pruritus,
angiodema, urtikaria, udem laring, fotosensitivitas, alopesia, kolesistitis.
 Dosis:
 600 mg 2 kali sehari, 30 menit sebelum makan. Dosis 900 mg diberikan pada pasien yang intoleran
pada dosis normal. Dosis maksimal: 1.500 mg per hari diberikan jika diperlukan penurunan maksimal
trigliserida seperti pada pasien tipe V.

 KLOFIBRAT
 Indikasi:
 hiperlipidemia Tipe IIa, IIb, III, IV, dan V pada pasien yang tidak merespons dengan cukup terhadap
diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai.
 Peringatan:
 lihat pada Bezafibrat dan keterangan di atas.
 Kontraindikasi:
 lihat pada Bezafibrat dan keterangan di atas.
 Efek Samping:
 lihat pada Bezafibrat.
 Dosis:
 di atas 65 kg, 2 g sehari (50-65 kg, 1,5 g sehari) dalam 2 atau 3 dosis terbagi.

 SIPROFIBRAT
 Indikasi:
 hiperlipidemia tipe IIa, IIb, III, dan IV pada pasien yang tidak memberikan respons dengan baik
terhadap diet.
 Peringatan:
 lihat keterangan pada bezafibrat.
 Kontraindikasi:
 lihat keterangan pada bezafibrat.
 Efek Samping:
 lihat keterangan pada bezafibrat.
 Dosis:
 100 mg sehari.

2.10.4 Statin
Statin (atorvastatin, fluvastatin, pravastatin, rosuvastatin dan simvastatin) menghambat secara kompetitif
koenzim 3-hidroksi-3-metilglutaril (HMG CoA) reduktase, yakni enzim yang berperan pada sintesis
kolesterol, terutama dalam hati. Obat-obat ini lebih efektif dibandingkan obat-obat hipolipidemia lainnya
dalam menurunkan kolesterol-LDL tetapi kurang efektif dibanding fibrat dalam menurunkan trigliserida.

Statin dapat mengurangi serangan penyakit kardiovaskular dan angka kematian pada orang dewasa, berapapun
kadar kolesterol awal. Statin harus dipertimbangkan untuk semua pasien, termasuk untuk orangtua, dengan
gejala penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (termasuk riwayat angina atau infark miokard
akut), penyakit arteri oklusif (termasuk penyakit vaskuler perifer, stroke tanpa perdarahan, atau serangan
iskemik transien).
Pada pasien diabetes mellitus, risiko peningkatan penyakit kardiovaskular tergantung pada lamanya dan
komplikasi diabetes, usia dan faktor risiko yang menyertai. Terapi statin harus dipertimbangkan untuk semua
pasien usia di atas 40 tahun dengan diabetes melitus tipe 1 dan 2. Pada pasien berusia muda dengan diabetes,
pengobatan dengan statin harus dipertimbangkan jika terdapat kerusakan organ target, kontrol glikemi yang
buruk (HbA C lebih besar dari 9%), kolesterol HDL yang rendah, peningkatan kadar trigliserida, hipertensi
atau riwayat penyakit kardiovaskular dini dalam keluarga.

Statin juga digunakan untuk pencegahan serangan penyakit kardiovaskular pada individu dengan peningkatan
risiko tanpa gejala. Individu dengan risiko penyakit kardiovaskular pada 10 tahun mendatang sebesar 20% atau
lebih, akan mendapat manfaat dari pengobatan statin berapapun kadar kolesterolnya, penggunaan statin harus
dikombinasikan dengan perubahan gaya hidup dan terapi lain untuk mengurangi risiko kardiovaskuler.
Pengobatan dengan statin juga harus dipertimbangkan jika rasio kadar kolesterol total terhadap kolesterol HDL
lebih dari 6.

Peringatan. Statin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit hati atau peminum
alkohol (hindari penggunaan pada penyakit hati yang aktif). Hipotiroidisme harus diatasi secara memadai
sebelum memulai pengobatan dengan statin. Fungsi hati harus diukur sebelum dan selang 1-3 bulan sejak
dimulainya pengobatan dan setelah pengobatan dengan selang 6 bulan sampai 1 tahun kecuali jika
diindikasikan segera karena adanya gejala hepatotoksisitas. Obat harus dihentikan bila kadar transaminase
serum meningkat hingga, dan bertahan pada 3 kali batas atas nilai normal. Statin harus digunakan hati-hati
pada pasien dengan faktor risiko miopati atau rabdomiolisis. Pasien harus dinasehati untuk melaporkan nyeri
otot yang tidak dapat diketahui penyebabnya (lihat efek pada otot di bawah). Statin harus dihindari pada
porfiria tapi rosuvastatin dianggap aman.
Interaksi: lampiran 1 (Statin).
Kontraindikasi: pasien dengan penyakit hati yang aktif dan pada kehamilan (karena itu diperlukan kontrasepsi
yang memadai selama pengobatan dan selama 1 bulan setelahnya) dan menyusui (lihat lampiran 4 dan 5).
Efek Samping: Miositis yang bersifat sementara merupakan efek samping yang jarang tapi bermakna (lihat
juga efek pada otot). Statin juga menyebabkan sakit kepala, perubahan fungsi ginjal dan efek saluran cerna
(nyeri lambung, mual dan muntah). Statin juga menyebabkan sakit kepala, perubahan uji fungsi hati (hepatitis
namun jarang terjadi), parestesia, dan efek pada saluran cerna meliputi nyeri abdomen, flatulens, konstipasi,
diare, mual dan muntah. Ruam kulit dan reaksi hipersensitivitas (meliputi angioedema dan anafilaksis) telah
dilaporkan namun jarang terjadi.
Efek pada otot. Bila diduga terjadi miopati dan terjadi peningkatan kadar kreatin kinase yang sangat tajam
(lebih dari 5 kali batas atas nilai normal), atau terjadi gejala gangguan otot yang parah, maka statin harus
dihentikan.
Pada pasien dengan risiko tinggi mengalami efek terhadap otot, statin tidak boleh mulai diberikan jika kadar
kreatin kinase meningkat.

Insiden miopati meningkat bila statin diberikan pada dosis tinggi atau diberikan bersama fibrat, atau asam
nikotinat pada dosis hipolipidemiknya, atau imunosupresan seperti siklosporin.

Diperlukan monitoring yang intensif terhadap fungsi hati dan jika ada gejala, pemantauan kadar kreatin kinase
juga diperlukan pada pasien yang menerima obat ini.

Telah dilaporkan pula rabdomiolisis dengan gangguan fungsi ginjal akut akibat mioglobinuria

Saran. Pasien disarankan agar melaporkan dengan segera gejala nyeri otot, rasa kaku, atau rasa lemah otot
yang tidak diketahui pasti penyebabnya.
Monografi:

ATORVASTATIN
Indikasi:
sebagai terapi tambahan pada diet untuk mengurangi peningkatan kolesterol total, c-LDL, apolipoprotein B
dan trigliserida pada pasien dengan hiperkolesterolemia primer; kombinasi hiperlipidemia; hiperkolesteolemia
heterozigous dan homozigous familial ketika respon terhadap diet dan pengukuran non farmakologi lainnya
tidak mencukupi.

Pada pasien pediatrik (10-17 tahun): sebagai terapi tambahan pada diet untuk mengurangi kadar kolesterol
total, c-LDL dan Apo-B pada laki-laki dan wanita yang telah mengalami menstruasi, usia 10-17 tahun, dengan
hiperkolesteolemia heterozigous dan homozigous familial jika setelah trial yang cukup dari terapi diet,
diketahui :

 c-LDL tersisa ≥ 190 mg/dL atau


 c-LDL tersisa ≥ 160 mg/dL atau
-positif mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit kardiovaskular prematur atau;

-dua atau lebih faktor risiko CDV terdapat pada pasien pediatrik.

Peringatan:
lihat keterangan di atas.

Interaksi:
antasid, antipirin, kolestipol, digoksin, eritromisin/klaritromisin, kontrasepsi oral, inhibitor protease.

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas; hipersensitif.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga insomnia, angio udema, anoreksia, asthenia, neuropati perifer, alopesia, pruritus,
ruam, impoten, sakit dada, hipoglikemik dan hiperglikemik, trombositopenia jarang dilaporkan.

Dosis:
Hiperkolesterolemia primer dan hiperlipidemia campuran, biasanya 10 mg sekali sehari, bila perlu dapat
ditingkatkan dengan interval 4 minggu hingga maksimal 80 mg sekali sehari. Anak 10-17 tahun: dosis awal 10
mg sekali sehari (pengalaman terbatas dengan dosis diatas 80 mg sehari);

Hiperkolesterolemia turunan, dosis awalnya 10 mg sehari, tingkatkan dengan interval 4 minggu sampai 40 mg
sekali sehari; bila perlu, tingkatkan lebih lanjut sampai maksimal 80 mg sekali sehari (atau dikombinasi
dengan resin penukar anion pada hiperkolesterolemia turunan heterozigot). Anak 10-17 tahun hingga 20 mg
sekali sehari (pengalaman terbatas dengan dosis lebih besar).

FLUVASTATIN
Indikasi:
terapi tambahan pada diet untuk menurunkan kolesterol (kolesterol total, LDL, alipoprotein B, trigliserida) dan
meningkatkan kolesterol HDL pada pasien dewasa dengan hiperkolesterolemia primer dan dislipidemia
campuran. Terapi tambahan pada diet untuk menurunkan kolesterol pada pasien anak dengan
hiperkolesterolemia familial heterozigot, usia 10-16 tahun sedikitnya satu tahun post menarche, di mana diet
tidak memberikan hasil yang adekuat (LDL > 190 mg/dL atau LDL > 160 mg/dL atay bila ada riwayat
keluarga positif penyakit kardiovaskular premature atau ada dua faktor risiko untuk penyakit jantung). Juga
diindikasikan untuk memperlampat progresi aterosklerosis koroner pasien dewasa dengan hiperkolesterolemia
primer dan disertai penyakit jantung koroner yang tidak dapat dikendalikan dengan diet saja.
Peringatan:
lihat keterangan di atas.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, penyakit liver aktif atau peningkatan serum transaminase persisten yang tidak dapat
dijelaskan; kehamilan dan menyusui.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; insomnia; Sangat jarang: dyasthesia, hypoesthesia, neuropati perifer,
trombositopenia, vasculitis, eksim, dermatitis, bullous exanthema, dan sindrom seperti lupus erythematosus
Dosis:
Sebelum memulai obat pasien sudah harus dalam pengaturan diet. Satu tablet sehari dapat diminum menjelang
tidur, atau kapan saja. Dosis dapat dimulai dengan 40 mg sekali sehari, dan pada kasus ringan 20mg/hari. Efek
klinik tercapai dalam 4 minggu. Dosis disesuaikan dengan kebutuhan pasien, dan perubahan dosis dilakukan
setelah penggunaan 4 minggu atau lebih. Dosis maksimum yang direkomendasikan adalah 80
mg/hari. Anak. dosis yang dianjurkan 20 mg/hari, peningkatan dosis hanya dilakukan setelah evaluasi 6
minggu. Dosis maksimum 40 mg 2 kali sehari atau 80 mg 1 kali sehari.

LOVASTATIN
Dosis:
oral, dewasa, dosis awal, 10 mg (kadar kolesterol total serum kurang dari 240 mg/dL) atau 20 mg (kadar
kolesterol total serum lebih dari 240 mg/dL) sekali sehari pada waktu malam. Diet serat tinggi dapat
merintangi absorpsi obat, oleh sebab itu diet tersebut harus dikonsumsi selama beberapa jam sebelum
penggunaan obat. Rentang dosis yang disarankan adalah 20 mg hingga maskimum 80 mg/hari dalam dosis
tunggal atau dosis terbagi. Dosis terbgai dapat lebih efektif. Pada pasien usia lanjut, efek terapi maksimum
dicapai pada dosis kurang dari 40 mg/hari.

PITAVASTATIN
Indikasi:
terapi tambahan selain diet untuk menurunkan kadar kolesterol total (TC), low-density lipopotrein
cholesterol (LDL-C), apolipoprotein B (Apo B), trigliserid (TG), dan peningkatan HDL-C pada pasien dewasa
dengan hiperlipidemia primer atau dislipidemia.
Peringatan:
Tidak boleh menggunakan pitavastatin dengan dosis lebih dari 4 mg perhari, efek pada otot rangka, terdapat
kasus miopati dan rabdomiolisis dengan gagal ginjal akut, kelainan enzim hati, peningkatan kadar HbA1c dan
glukosa darah puasa.

Interaksi:
siklosporin, lopinavir/ ritonavir, eritromisin, dan rifampisinmeningkatkan kadar pitavastatin, fibrat
meningkatkan risiko miopati, niasin meningkatkan efek terhadap otot rangka.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, penyakit hati, kehamilan atau akan hamil, menyusui, gagal ginjal berat (GFR < 30
mL/min/1,73 m2).

Efek Samping:
nyeri punggung, konstipasi, diare, mialgia, nyeri ekstremitas.
Dosis:
1-4 mg sehari dengan atau tanpa makanan. Dosis awal yang direkomendasikan 2 mg dan maksimum 4 mg
sehari. Dosis tergantung pada karakteristik individu dan respon terapi. , Pada penderita gagal ginjal sedang
(GFR 30 – 59 mL/min/1,73 m2) dan menjalani hemodialisis dosis 1 mg sehari, maksimum 2 mg sehari,
Penggunaan bersama eritromisin 1 mg satu kali sehari, penggunaan bersama rifampisin 2 mg satu kali sehari.

PRAVASTATIN
Indikasi:
Pasien hiperkolesterol tanpa bukti klinis penyakit jantung koroner, sebagai tambahan pada diet untuk
mengurangi resiko infark miokardial, revaskularisasi miokardial, dan kematian kardiovaskular dengan tidak
meningkatkan kematian bukan akibat kardiovaskular. Pasien hperkolesterol dengan bukti klinis penyakit
jantung koroner, menurunkan resiko kematian total dengan menurunkan kematian koroner, infark miokardial,
revaskularisasi miokardial, stroke dan memperlambat arterosklerosis koroner. Hiperlipidemia, sebagai
tambahan pada diet untuk menurunkan kadar total C, LDL.C, Apo B dan TG yang tinggi pada pasien
hiperkolesterol primer dan dislipidemia campuran (Frederickson type II A dan II B).
Peringatan:
lihat keterangan di atas, kelainan fungsi ginjal, hamil dan menyusui, peningkatan level kreatinin fosfokinase
dan transaminase, homozigot familial hiperkolesterol, kerusakan fungsi ginjal.

Interaksi:
imunosupresan, gemfibrozil, asam nikotinat, eritromisin, inhibitor sitokrom P450 3A 4, kolestiramin,
diitiazem, itrakonazol, antipirin.

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas.

Efek Samping:
lihat keterangan diatas; ruam kulit, nyeri dada, rasa lelah, pening, gangguan tidur, urinasi yang tidak normal
(tidak urinasi, frekuensi urinasi, nokturia), disfungsi seksual, gangguan penglihatan, alopesia, sangat jarang
ditemukan pankreatitis, kekuningan, nekrosis hepatik fulminan, neuropati perifer, sindroma lupus eritematosus
sistemik.

Dosis:
Sebelum menggunakan Pravastatin pasien harus diberikan diet rendah kolesterol yang diberikan terus selama
pengobatan; awal 10, 20 atau 40 mg sehari, disfungsi hati dan ginjal. Pasien dengan riwayat disfungsi hati
yang bermakna, dosis awal yang dianjurkan 10 mg perhari.

Efek maksimal dari dosis yang diberikan akan terlihat dalam jangka waktu 4 minggu, penetapan lipid secara
periodik harus dilakukan pada saat ini dan dosis disesuaikan tergantung pada respon pasien pada terapi dan
pedoman terapi yang ada.

Pasien yang mendapatkan imunosupresan seperti siklosporin bersamaan dengan pravastatin, terapi harus
diawali dengan 10 mg pravastatin sekali sehari sebelum tidur dan titrasi menjadi dosis yang lebih besar harus
dilakukan secara hati-hati. Kebanyakan pasien yang mendapatkan pengobatan dengan kombinasi ini
mendapatkan dosis pravastatin 20 mg/hari.

ROSUVASTATIN KALSIUM
Indikasi:
hiperkolesterol primer (tipe IIa termasuk heterozigot familial) atau dislipidemia campuran (tipe IIb) sebagai
terapi tambahan jika upaya diet dan olah raga tidak mencukupi.

Interaksi:
lihat lampiran 1, antagonis Vitamin K, gemfibrozil, siklosporin, antasida, enzim sitokrom P450, eritromisin,
kontrasepsi oral.

Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap obat dan komponennya, penyakit liver aktif (termasuk peningkatan serum transaminase
dan serum transaminase lain melebihi 3 kali batas normal yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya), miopati,
memperoleh siklosporin, hamil dan menyusui.

Efek Samping:
lihat di atas; sakit kepala, pusing, asthenia proteinuria, nyeri otot, konstipasi, mual, nyeri abdomen, jarang
terjadi proteinuria, kuning, artralgia, jaundice, polineuropati. Rhabdomiolisis pernah dilaporkan pada
pengunaan dosis 80 mg.
Dosis:
Sebelum menggunakan Rosuvastatin pasien harus melakukan diet rendah kolesterol terus selama pengobatan.
Dosis awal 10 mg sekali sehari jika perlu ditingkatkan menjadi 20 mg sekali sehari setelah 4 minggu; Dosis 40
mg sekali sehari hanya boleh diberikan pada pasien dengan hiperkolesterol berat (termasuk hiperkolesterol
familial) yang tidak memberikan hasil dengan 20 mg.

SIMVASTATIN
Indikasi:
hiperkolesterolemia primer (hiperlipidemia tipe Ila) pada pasien yang tidak cukup memberikan respons
terhadap diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai; untuk mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan
memperlambat progresi aterosklerosis koroner pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan kadar
kolesterol 5,5 mmol/l atau lebih.

Peringatan:
lihat keterangan di atas gagal ginjal.

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas; juga porfiria.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga ruam kulit, alopesia, anemia, pusing, depresi, parestesia, neuropati perifer,
hepatitis, sakit kuning, pankreatitis; sindrom hipersensitivitas (termasuk angioedema) jarang dilaporkan.

Dosis:
Hiperkolesterolemia, 10 mg sehari malam hari, disesuaikan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu;
kisaran lazim 10-40 mg sekali sehari malam hari. Penyakit jantung koroner, awalnya 20 mg sekali sehari
malam hari.

2.10.5 Asam Nikotinat


Manfaat asam nikotinat dibatasi oleh efek sampingnya, terutama vasodilatasi. Pada dosis 1,5 sampai dengan 3
gram per hari asam nikotinat dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida dengan menghambat
sintesisnya. Asam nikotinat juga meningkatkan kolesterol HDL. Asam nikotinat disarankan untuk digunakan
bersama dengan statin apabila statin tunggal tidak cukup untuk mengendalikan dislipidemia (Kolesterol LDL
meningkat, trigliseridemia, dan kolesterol HDL rendah); asam nikotinat juga dapat digunakan sebagai
pengobatan tunggal apabila pasien tidak dapat mentoleransi statin (pengobatan dislipidemia, termasuk
penggunaan kombinasi obat, lihat bagian 2.10).

Asipimoks memperlihatkan efek samping yang lebih sedikit, tetapi mungkin kurang efektif dalam menurunkan
kadar lipid.

Monografi:

ASAM NIKOTINAT
Indikasi:
Terapi tambahan pada upaya diet dan olah raga tidak merespon dengan cukup, dengan menurunkan kadar TC,
LDL-C, Apo B dan TG, dan meningkatkan HDL-C pada pasien dengan hiperkolesterolemia (heterozigot
familial dan non familial) dan mixed dyslipidemia (Frederickson Type IIa dan IIb).
Peringatan:
diabetes mellitus, pirai, penyakit hati, otot skelet, angina tidak stabil, infark miokardial akut, jaundice, tukak
peptik.

Interaksi:
Lihat lampiran 1.

Kontraindikasi:
pendarahan arteri, tukak peptik aktif, kehamilan dan menyusui.

Efek Samping:
Paling sering: flushing episode (rasa hangat, kemerahan, gatal dan mati rasa/tingling), diare, mual, muntah,
sakit perut, dispepsia, pruritus, ruam kulit.
Umum: takikardia, palpitasi, pernafasan pendek, oedem peripheral, sakit kepala, pusing, asam urat,
hipofosfatemia, perpanjangan waktu prothrombin dan pengurangan jumlah platelet.
Jarang: hipotensi, sinkop, rhinitis, insomnia, pengurangan toleransi glukosa, mialgia, miophati dan
misasthenia.
Sangat jarang: anoreksia, rabdomiolisis.
Dosis:
Terapi dengan asam nikotinat harus dimulai secara bertahap dalam peningkatan dosis untuk mengurangi
insiden dan beratnya efek samping yang mungkin terjadi selama awal terapi. Dosis yang dianjurkan adalah :

 375 mg sehari sekali sebelum tidur untuk satu minggu pertama, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat
ditingkatkan menjadi;
 500 mg sehari sekali sebelum tidur untuk minggu kedua, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat
ditingkatkan menjadi;
 750 mg sehari sekali sebelum tidur untuk minggu ketiga, jika dapat ditoleransi dengan baik dapat
ditingkatkan menjadi;
 500 mg dua tablet sebelum tidur untuk minggu ke 4-7, jika dapat ditoleransi dengan dapat ditingkatkan
menjadi 1000 mg dua tablet sebelum tidur.
Setelah minggu ke-7 titrasi dosis tergantung pada respon pasien dan toleransinya. Jika respon 1000 mg sehari
sekali mencukupi, dapat ditingkatkan hingga dosis 1500 mg sehari sekali; kemudian dosis dapat ditingkatkan
mencapai 2000 mg sehari sekali.
Dosis penunjang: Dosis yang dianjurkan untuk penunjang adalah 1000 mg (2 tablet 500 mg) sampai 2000 mg
(2 tablet 1000 mg) sehari sekali sebelum tidur. Dosis per hari tidak boleh ditingkatkan lebih dari 500 mg dalam
waktu 4 minggu.

2.11 Syok dan Hipotensi


Sifat-sifat simpatomimetik bervariasi sesuai dengan kerjanya pada reseptor alfa atau beta. Adrenalin
(epinefrin) (bagian 2.11.3) bekerja pada reseptor alfa dan beta dan meningkatkan detak jantung dan
kontraktilitas (efek beta); adrenalin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer (efek beta ) atau vasokonstriksi
(efek alfa).

Respon terhadap simpatomimetik dapat sangat bervariasi pada anak-anak, terutama pada neonatus. Penting
untuk melakukan titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan dan pantau anak secara intensif.

 2.11.1 Simpatomimetik Inotropik


 2.11.2 Simpatomimetik Vasokonstriktor
 2.11.3 Resusitasi Jantung Paru

 2.11.1 Simpatomimetik Inotropik


 Stimulan jantung dobutamin dan dopamin bekerja pada reseptor beta pada otot jantung dan
meningkatkan kontraktilitas dengan sedikit efek terhadap kecepatan kerja jantung.
Dopamin mempunyai efek yang bervariasi, tidak dapat diduga, dan mempengaruhi kondisi vaskuler
tergantung pada dosis. Infus dosis rendah (2 mcg/kg bb/menit) umumnya dapat menyebabkan
vasodilatasi, namun bukti manfaat secara klinis masih sedikit; dosis sedang dapat meningkatkan
kontraktilitas miokard dan curah jantung pada anak-anak yang lebih tua, namun pada neonatus dosis
sedang dapat menyebabkan penurunan curah jantung. Dosis tinggi dapat menyebabkan vasokonstriksi
dan meningkatkan hambatan vaskuler, dan oleh karena itu harus digunakan dengan hati-hati pada
pembedahan jantung, atau apabila neonatus juga mengalami hipertensi paru.
 Pada neonatus, respon pada simpatomimetik inotropik bervariasi. Pada neonatus yang lahir prematur;
diperlukan titrasi dosis dan pemantauan.
 Syok. Syok merupakan keadaan darurat medis yang dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi.
Penyebab mendasar syok seperti perdarahan, sepsis atau insufisiensi miokard harus diatasi. Syok pada
hipotensi berat harus diatasi segera untuk mencegah hipoksia jaringan dan gagal organ. Terapi
penggantian cairan sangat penting untuk mengatasi hipovolemia yang disebabkan oleh perdarahan dan
sepsis namun pada syok jantung dapat menyebabkan kerusakan.
 Berdasarkan status hemodinamik, curah jantung dapat dipulihkan dengan penggunaan
simpatomimetik inotropik seperti adrenalin (epinefrin), dobutamin, atau dopamin (lihat keterangan di
atas). Pada syok septik (septic shock), apabila terapi penggantian cairan dan inotropik gagal untuk
mengendalikan tekanan darah, noradrenalin vasokonstriktor (norepinefrin) (lihat bagian 2.11.2) dapat
digunakan. Pada syok jantung, hambatan perifer sering tinggi dan kenaikan yang lebih tinggi dapat
memperburuk kinerja miokard dan memperparah iskemia jaringan.
 Syok septik pada neonatus dapat diperburuk oleh transisi dari sirkulasi fetus menjadi neonatus.
Pengobatan gagal jantung ventrikel kanan dengan menurunkan tekanan arteri paru umumnya
diperlukan pada neonatus dengan syok yang sukar diatasi dengan pemberian cairan dan hipertensi
paru menetap pada bayi baru lahir. Pemberian cairan dengan cepat pada neonatus dengan
patent ductus arteriosus dapat menyebabkan shunting left to right dan gagal jantung kongestif yang
diinduksi oleh overload ventrikel.
 Penggunaan simpatomimetik inotropik dan vasokonstriktor lebih baik apabila dibatasi hanya untuk
penggunaan dengan pengawasan intensif dan diberikan dengan pemantauan hemodinamik invasif.
 Untuk saran tata laksana syok anafilaksis, lihat bagian 3.4.3 Kedaruratan alergi.
 Monografi:

 DOBUTAMIN
 Indikasi:
 efek inotropik positif pada infrak miokard, bedah jantung, kardiomiopati, syok septik, dan syok
kardiogenik.
 Peringatan:
 hipotensi berat pada syok kardiogenik.
 Interaksi:
 lampiran 1 (Simpatomimetika).
 Efek Samping:
 takikardia dan tekanan darah sistolik sangat meningkat sangat menunjukan dosis berlebih; flebitis.
 Dosis:
 infus intravena, 2,5-10 mcg/kg bb/menit, disesuaikan menurut responnya.

 DOPAMIN HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 syok kardiogenik pada infrak miokard atau bedah jantung.
 Peringatan:
 koreksi hipovolemia; dosis rendah pada syok akibat infrak miokard akut.
 Interaksi:
 lampiran 1 (Simpatomimetika).
 Kontraindikasi:
 Takiaritmia, feokromositoma.
 Efek Samping:
 mual dan muntah, vasokontriksi perifer, hipotensi, hipertensi, takikardia.
 Dosis:
 dosis awal infus intravena, 2-5 mcg/kg bb/menit.

 ISOPRENALIN HIDROKLORIDA
 Indikasi:
 Blok jantung; bradikardia berat.
 Peringatan:
 penyakit jantung iskemik, diabetes melitus; hipertiroidisme.
 Interaksi:
 lampiran 1 (Simpatomimetika).
 Efek Samping:
 takikardi; aritmia, hipotensi, berkeringat, tremor, sakit kepala.
 Dosis:
 oral, dosis awal 30 mg setiap enam jam, rentang 90-840 mg per hari (tetapi cara oral jarang
digunakan);
 Infus intravena 0,5-10 mcg/menit.

 2.11.2 Simpatomimetik
Vasokonstriktor
 Vasokonstriktor simpatomimetik meningkatkan tekanan darah sementara dengan bekerja pada
reseptor alfa adrenergik untuk menimbulkan konstriksi pembuluh darah perifer. Kadang-kadang obat
golongan ini digunakan sebagai metoda darurat untuk peningkatan tekanan darah ketika terapi lain
gagal.
 Meskipun dapat meningkatkan tekanan darah, vasokonstriktor juga dapat berbahaya karena
mengurangi perfusi dari organ vital seperti ginjal. Anestesi spinal dan epidural dapat menyebabkan
blok simpatetik dengan efek hipotensi meningkat. Terapi meliputi cairan intravena (yang biasanya
diberikan secara profilaksis), oksigen, elevasi lengan dan injeksi efedrin.
 Seperti halnya sebagai konstriksi pembuluh perifer, efedrin juga mempercepat kerja jantung (dengan
bekerja pada reseptor beta). Efek ganda efedrin ini digunakan untuk mengendalikan bradikardi
(meskipun mungkin juga diperlukan injeksi intravena atrofin sulfat 400 sampai 600 mcg jika
bradikardi berlangsung dalam waktu lama).
 Pada anak: Efedrin digunakan untuk mengatasi hipotensi yang disebabkan oleh anestesi spinal dan
epidural.
 Fenilefrin menyebabkan vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tekanan arteri. Efedrin dan
fenilefrin jarang diperlukan pada anak-anak dan harus digunakan di bawah pengawasan dokter
spesialis.
 Noradrenalin (norepinefrin) dicadangkan pada anak dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah
yang tidak membaik dengan pemberian cairan pada syok septik, syok spinal, dan anafilaksis.
 Adrenalin (epinefrin) terutama digunakan berdasarkan kerja inotropik. Dosis rendah (bekerja pada
reseptor beta) menyebabkan vasodilatasi sistemik dan pulmoner, dengan peningkatan frekuensi
jantung, stroke volume dan juga kontraktilitas jantung. Dosis tinggi bekerja terutama pada reseptor
alfa menyebabkan vasokonstriksi sistemik yang kuat.
 Monografi:

 NOREPINEFRIN BITATRAT
(NORADRENALIN BITATRAT)
 Indikasi:
 hipotensi akut, henti jantung.
 Peringatan:
 trombosis pembuluh darahkoroner, mesenterik atau perifer; setelah infrak miokard, angina Prinzmetal,
penyakit tiroid, diabetes melitus, hipoksia atau hiperkapmia; penggantian volume darah yang sesuai
diperlukan; usia lanjut; ekstravasasi pada tempat suntikan dapat menyebabkan nekrosis.
 Interaksi:
 lampiran 1 (Simpatomimetika).
 Kontraindikasi:
 hipertensi (sering pantau tekanan darah dan kecepatan aliran), kehamilan.
 Efek Samping:
 hipertensi, sakit kepala, bradikardia, aritmia, iskemia perifer.
 Dosis:
 hipotensi akut, infus intravena, melalui kateter vena sentral, larutan mengandung norepinerfin bitatrat
80 mcg/mL (setara dengan norepinerfin basa 40 mcg/mL) dengan kecepatan awal 0,16-0,33
mL/menit, disesuaikan sesuai dengan responnya.
 Henti jantung, injeksi intravena cepat atau intrakardiak, 0,5-0,75 mL larutan mengandung
norepinerfin bitatrat 200 mcg/mL (setara dengan norepinerfin base 100 mcg/mL).

 2.11.3 Resusitasi Jantung Paru


 Pada kondisi henti jantung, adrenalin (epinefrin) 1 dalam 1000 (100 mcg/mL) dianjurkan dalam dosis
10 mL melalui injeksi intravena, dianjurkan pemberian melalui pembuluh darah sentral. Jika melalui
perifer, obat harus dilarutkan sekurangnya dalam 20 mL larutan injeksi NaCl 0,9% (agar dapat
memasuki sirkulasi pusat). Pemberian injeksi intravena amiodaron 300 mg (dari prefilled syringe atau
dilarutkan dalam larutan infus intravena glukosa 5%), harus dipertimbangkan setelah injeksi adrenalin
untuk mengatasi fibrasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang pulseless pada kondisi henti jantung
yang sulit diatasi dengan defibrilator. Injeksi intravena atropin 3 mg dosis tunggal juga digunakan
pada resusitasi jantung paru untuk menahan aktivitas vagal.
 Paediatric advanced life support. Henti jantung pada anak-anak jarang terjadi dan seringkali
menggambarkan tahap akhir syok progresif atau gagal nafas.
 Selama kondisi cardiac arrest pada anak-anak tanpa adanya akses intravena, rute pemberian
intraoseus dipilih karena dapat memberikan respon yang cepat dan efektif. Apabila akses sirkulasi
tidak dapat dicapai, dapat digunakan endotracheal tube. Apabila rute endotrakeal yang digunakan
sudah sepuluh kali maka harus digunakan pemberian intravena. Rute endotrakeal bermanfaat untuk
obat-obat yang larut dalam lemak termasuk lidokain, adrenalin, atropin, dan nalokson. Obat-obat yang
tidak larut dalam lemak (misalnya natrium bikarbonat dan kalsium klorida) tidak boleh diberikan
melalui rute ini karena akan melukai pada saluran nafas.
 Monografi:

 EPINEFRIN (ADRENALIN)
 Indikasi:
 henti jantung (untuk resusitasi jantung-paru).
 Peringatan:
 penyakit jantung, diabetes melitus, hipotiroidisme, hipertensi, aritmia, penyakit serebrovaskuler.
 Interaksi:
 lampiran 1 (Simpatomimetika).
 Efek Samping:
 ansietas, tremor, takikardi, sakit kepala, ekstremitas dingin; pada dosis berlebih aritmia, pendarahan
otak, edema paru, mual, muntah, berkeringat, letih, hipoglisemia.
 Dosis:
 epinefrin 1:10.000 (1 mg/10 mL) dalam dosis 10 mL secara injeksi intravena sentral.

2.12 Gangguan Sirkulasi Darah


2.12.1. Vasodilator perifer
2.12.2. Vasodilator serebral
2.12.3. Gangguan aliran darah vena

 2.12.1 Vasodilator Perifer


 2.12.2 Vasodilator Serebral
 2.12.3 Gangguan Aliran Darah Vena

 2.12.1 Vasodilator Perifer


 Sebagian besar penyakit vaskuler perifer yang parah, seperti klaudikasio intermiten, disebabkan oleh
oklusi pembuluh darah, baik spasme maupun plak sklerotik. Perubahan gaya hidup meliputi berhenti
merokok dan latihan fisik merupakan langkah yang paling penting dalam tatalaksana penyakit ini.
Dosis rendah asetosal (75 mg per hari) sebaiknya diberikan sebagai profilaksis jangka panjang untuk
mengatasi serangan kardiovaskuler dan statin (bagian 2.10.4) dapat diberikan apabila kolesterol serum
total meningkat.
 Naftidrofuril 200 mg tigakali sehari kemungkinan dapat meringankan gejala dan memperbaiki pain-
free walking distance pada penyakit yang sedang, namun tidak diketahui apakah obat ini bermanfaat
pada kesembuhan penyakit tersebut. Pasien yang mendapatkan pengobatan naftidrofuril harus
dievaluasi perbaikannya setelah 3-6 bulan. Silostazol disarankan digunakan untuk klaudikasio
intermiten, untuk memperbaiki jarak berjalan pada pasien tanpa nekrosis jaringan perifer dan pada
pasien yang tidak menderita nyeri pada saat istirahat. Inositol nikotinat, pentoksifilin dan sinarisin
belum diketahui efektivitasnya.
 Kurangnya pasokan darah arteri di perifer dapat disebabkan oleh angioneuropati (kegagalan
pengaturan sirkulasi akibat tidak sempurnanya pembuluh kecil bereaksi terhadap rangsang) atau
angioorganopati (meliputi penyakit sumbatan arteri, angiitis, sumbatan pembuluh arteri karena
emboli).
 Penyebab penyakit sumbatan arteri terutama aterosklerosis dan tromboangiitis obliterans.
Sindrom Raynaud meliputi episode vasospasme pada jari tangan dan kaki yang sering dikaitkan
dengan paparan dingin Tatalaksana sindrom Raynaud meliputi menghindari udara dingin dan berhenti
merokok. Gejala-gejala yang lebih parah mungkin memerlukan pengobatan dengan vasodilator, dan
yang paling sering berhasil pada sindroma Raynaud primer.
 Nifedipin (bagian 2.4.2) bermanfaat untuk menurunkan frekuensi dan keparahan serangan vasospastik.
Sebagai alternatif, naftidrofuril dapat juga memperbaiki gejala penyakit; inositol nikotinat (derivat
asam nikotinat) dapat dipertimbangkan juga. Sinarisin, pentoksifilin, dan prazosin belum diketahui
efektivitasnya.
 Efektivitas terapi menggunakan vasodilator pada anak-anak belum diketahui.
 Monografi:

 NAFTIDROFURIL OKSALAT
 Indikasi:
 penyakit pembuluh darah perifer; penyakit pembuluh darah perifer.
 Efek Samping:
 mual, nyeri epigastrik, ruang kulit, hepatitis, gangguan hati.
 Dosis:
 penyakit pembuluh darah perifer, 100-200 mg 3 kali sehari; penyakit pembuluh darah, 100 mg 3 kali
sehari.

 PENTOKSIFILIN
 Indikasi:
 klaudikasi intermiten akibat oklusi arteri perifer kronis.
 Peringatan:
 pasien yang alergi terhadap turunan xantin; mungkin mengurangi aras fibrinogen plasma; pada pasien
yang juga menerima obat antihipertensi sebaiknya tekanan darahnya dipantau.
 Efek Samping:
 lazim terjadi mual dan dispepsia; kurang lazim kembung, anoreksia, muntah; pusing, sakit kepala,
muka merah; kadang-kadang insomnia, mengantuk, cemas, bingung; jarang terjadi palpitasi, angina,
aritmia, hipotensi, dispnea, edema; juga pernah dilaporkan kolesistitis, hepatitis, pansitopenia,
trombositopenia, purpurea, anemia aplastik; kadang-kadang juga terjadi pengelihatan kabur, ruam
kulit, urtikaria, mulut kering, sumbatan nasal.
 Dosis:
 400 mg 2-3 kali sehari setelah makan; jika dalam 1-2 minggu tidak ada perbaikan sebaiknya
dihentikan; jika terjadi efek samping saluran cerna atau SSP berkembang sebaiknya dosis dikurangi
menjadi 400 mg 1-2 kali sehari.

 SINARIZIN
 Indikasi:
 penyakit pembuluh darah arteri perifer; sindrom Raynaud.
 Kontraindikasi:
 Penyakit Parkinson; hipotensi.
 Efek Samping:
 hipotensi pada dosis besar, mengantuk, sakit kepala gangguan saluran cerna; jarang terjadi reaksi kulit
alergik, letih.
 Dosis:
 dosis awal 75 mg 3 kali sehari; dosis penunjang 75 mg 2-3 kali sehari.

 TURUNAN ASAM NIKOTINAT


 Indikasi:
 penyakit pembuluh darah perifer (untuk hiperlipidemia lihat bab 2.10.5).
 Peringatan:
 diabetes.
 Efek Samping:
 muka merah, pusing, mual muntah, hipertensi (lebih sering dengan asam nikotinat daripada
turunannya); efek diabetogenik dilaporkan dengan asam nikotinat dan nikotinil alkohol; jarang terjadi
perubahan fungsi hati (Pantau padan penggunaan dosis tinggi jangka panjang).
 Dosis:
 inositol nikotinat, 1 g 3 kali sehari, jika perlu tingkatkan sampai 4 g sehari.
 Nikotinil alkohol (sebagai tartrat) 25-50 mg 4 kali sehari.

 FLUNARIZIN
 ISOKSUPRIN
 NISERGOLIN
 XANTINOL NIKOTINAT
 BENSIKLAN
 2.12.2 Vasodilator Serebral
 Obat-obat golongan ini diklaim dapat memperbaiki fungsi mental. Beberapa telah dilaporkan dapat
memperbaiki kinerja uji psikologis, tetapi obat-obat tersebut secara klinis belum terbukti bermanfaat
untuk demensia (pikun).

 Monografi:

 CO-DERGOKRIN MESILAT
 Indikasi:
 tambahan pada pasien usia lanjut dengan demensia ringan sampai sedang.
 Peringatan:
 bradikardia yang parah.
 Efek Samping:
 gangguan saluran cerna, muka merah, sakit kepala, ruam kulit, sumbatan nasal; pusing dan hipotensi
postural pada pasien hipertensi.
 Dosis:
 1,5 mg 3 kali sehari sebelum makan atau 4,5 mg sekali sehari sebelum makan.
 Keterangan:
 Suatu campuran sebanding dihidroergokornin mesilat, dihidroergokristin mesilat, dan dalam rasio 2:1
a dan b-dihidroergokriptin mesilat.
2.12.3 Gangguan Aliran Darah Vena
Penyakit pembuluh vena yang paling sering terjadi adalah gejala varikosis (dilatasi pembuluh vena permukaan
kaki dan akibat-akibat yang menyertainya (edema lokal, indurasi, atrofi, pigmentasi hebat, sianosis kulit, borok
kaki, tromboflebitis) yang timbul akibat pengaruh mekanik dan hormonal pada jaringan ikat yang lemah.

Pengobatan gejala-gejala varikosis dapat dilakukan dengan senyawa tonik vena (misal dihidroergotamin) dan
glikosida triterpen hasil isolasi Aesculus hippocastanum (aesin). Senyawa-senyawa tersebut mungkin bekerja
dengan cara menurunkan permeabilitas kapiler, dan menurunkan filtrasi kapiler, mengurangi edema lokal, dan
memperbaiki aliran balik vena. Pemberian aesin intravena, terutama untuk anak-anak, sebaiknya dihindari
karena mungkin dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Varikosis vena juga diobati dengan senyawa sklerosan
(senyawa-senyawa iritan yang digunakan untuk melenyapkan varikosis vena pada kaki dan hemoroid). Banyak
iritan yang telah digunakan sebagai sklerosan, diantaranya garam natrium asam lemak dari minyak ikan,
etanolamin oleat, dan natrium tetradesil sulfat.

Anda mungkin juga menyukai