Anda di halaman 1dari 13

4.

Aspek Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)


a. Konseling, Promosi dan Edukasi
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga
untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan
sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, apoteker
menggunakan three prime questions. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa
pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Kriteria
pasien atau keluarga pasien yang perlu diberi konseling antara lain: pasien
pediatri, geriatrik, pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal, ibu hamil dan
menyusui, pasien dengan terapi jangka panjang atau penyakit kronis, pasien yang
menggunakan obat dengan instruksi khusus, pasien yang menggunakan obat
dengan indeks terapi sempit, pasien dengan tingkat kepatuhan rendah (Menkes RI,
2016).
Promosi dan edukasi dapat dilakukan melalui pelayanan informasi obat (PIO)
yang dilakukan oleh apoteker. PIO merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak dan
berlandaskan bukti. Promosi dan edukasi dapat dilakukan dengan membuat dan
menyebarkan buletin, brosur, leaflet, ataupun penyuluhan (Menkes RI, 2016).
b. Pengobatan Mandiri (Swamedikasi)
Pengobatan mandiri merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah,
mendiagnosis, dan mengobati penyakit yang diderita tanpa mencari masukan dari
tenaga professional dokter. Tiga kategori umum produk yang bisa didapatkan dari
swamedikasi ialah obat-obatan non resep, suplemen makanan, dan produk alam
(Berardi et al., 2009). Apoteker juga dapat melayani obat non resep atau
pelayanan swamedikasi untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau
bebas terbatas yang sesuai (Menkes RI, 2016). Sebelum memutuskan terapi yang
tepat untuk mengatasi keluhan yang dialami oleh pasien, dilakukan penggalian
informasi, salah satunya dengan metode WWHAM. WWHAM merupakan
singkatan dari Who is the patient; What are the symptoms have been present; How
long have the symptoms been present; Anything tried already; other Medication.
Metode WWHAM dapat membantu apoteker dalam membuat keputusan untuk
memilihkan terapi yang tepat untuk pasien (Bhogal and Rutter, 2013).
c. Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian dengan melakukan kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker adalah pendampingan pasien oleh
apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau
keluarganya. Pelayanan kefarmasian di rumah terutama untuk pasien yang tidak
atau belum dapat menggunakan obat dan atau alat kesehatan secara mandiri, yaitu
pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat
misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karakteristik obat,
kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau
kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat
dan atau alat kesehatan agar tercapai efek yang terbaik (Dirjen Binfar, 2008).
Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan apoteker,
meliputi: penilaian masalah yang berhubungan dengan pengobatan,
mengidentifikasi kepatuhan pasien, pendampingan pengelolaan obat di rumah,
misal cara pemakaian obat asma atau penyimpanan insulin, dan monitoring
pelaksanaan, efektivitas dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan
pengobatan pasien (Menkes RI, 2016).

5. Aspek Pelayanan Kefarmasian


a. Pengelolaan Resep 
 Skrining Resep Skrining resep meliputi pengkajian secara administratif,
kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Skrining resep dilakukan
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat
(medication error).
 Persyaratan Administrasi Berdasarkan Permenkes No 73 tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, kajian administratif
meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien; nama, nomor
Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon, dan paraf dokter; serta
tanggal penulisan resep.
b. Kesesuaian Farmasetik
Berdasarkan Permenkes No 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, kajian farmasetik meliputi bentuk dan kekuatan sediaan;
stabilitas; serta kompatibilitas (ketercampuran obat).
c. Pertimbangan Klinis
Berdasarkan Permenkes No 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di apotek, pertimbangan klinis meliputi ketepatan indikasi dan dosis
obat; aturan, cara, dan lama penggunaan obat; duplikasi dan/atau polifarmasi;
reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis
lain); kontraindikasi; dan interaksi.
d. Penyiapan Obat
 Peracikan
Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan
peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan
dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar (Menkes RI,
2004). Langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum melakukan
peracikan ialah menghitung kebutuhan obat sesuai resep dan mengambil
obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama
obat, tanggal kadaluwarsa, dan keadaan fisik obat, kemudian dilanjutkan
dengan proses peracikan (Menkes RI, 2016).
 Etiket
Etiket yang digunakan harus jelas tulisannya dan mudah atau dapat dibaca.
Etiket yang akan digunakan harus sesuai dengan jenis obat yang tertulis
pada resep, antara lain:
o Warna putih untuk penggunaan obat dalam atau oral.
o Warna biru untuk obat luar atau topikal dan suntik.
o Menempelkan label “kocok dahulu” pada bentuk sediaan suspensi
atau emulsi (Menkes RI, 2016).
 Kemasan Obat yang Diberikan
Obat yang telah disiapkan kemudian ditempatkan dalam wadah yang
tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda. Hal ini untuk menjaga mutu
obat dan menghindari penggunaan obat yang kurang tepat (Menkes RI,
2016).
 Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan kepada pasien, harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan,
serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
resep). Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik (tepat obat, tepat jumlah, tepat dosis, tepat indikasi, tepat pasien,
tepat cara pemberian, dan tepat waktu pemberian) serta harus dipastikan
bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya (Menkes RI,
2016).
 Informasi Obat
Penyerahan obat disertai dengan pemberian informasi cara penggunaan
obat antara lain manfaat obat, makanan, dan minuman yang harus
dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat, dan lain-
lain (Menkes RI, 2016).
e. Pengelolaan Obat Wajib Apotek (OWA)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990,
Obat Wajib Apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diserahkan oleh
Apoteker kepada pasien di apotek tanpa perlu resep dokter. OWA dikelompokkan
menjadi 3, yaitu:
1. OWA Nomor 1  Pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
347/MENKES/SK/VII/1990, OWA Nomor 1 (antasida, anti spasmodik,
analgetik, anti mual, laksan), obat mual dan tenggorokan, obat saluran napas
(obat asma, sekretolitik / mukolitik), obat sistem neuromuskular (analgetik
antipiretik, antihistamin), antiparasit (obat cacing), obat kulit topikal
(antibiotik topikal, kortikosteroid topikal, antiseptik lokal, antifungi lokal,
anastesi lokal, enzim antiradang topikal, pemucat kulit).
2. OWA Nomor 2  Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
924/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek Nomor 2,
OWA Nomor 2 terdiri atas Albendazole, Bacitracin, Piroxicam, Bissubcitrate,
Carbinoxamin, Clindamicin, Dexamethasone, Dexapanthenol, Diclofenac,
Flumethasone, Ibuprofen, Omeprazole, Sucralfate, dan lain-lain.
3. OWA Nomor 3  Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1176/MENKES/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek Nomor 3,
OWA Nomor 3 terdiri dari obat saluran pencernaan (famotidin, ranitidin), obat
kulit (asam azeleat, asam fusidat, motretinida, tretinoin), antiinfeksi (anti TB),
sistem musculoskeletal (Alopurinol, Na Diklofenak), obat sistem saluran
pernafasan (Klemastin, mequitazin, orsiprenalin, prometazin teoklat,
cetirizine, ciproheptadine).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
919/MENKES/PER/X/1993, obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Aman penggunaannya pada wanita hamil, anak dengan usia di bawah 2
tahun, dan orang tua di atas 65 tahun.
 Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan risiko
pada kelanjutan penyakit.
 Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
 Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
 Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

f. Penggolongan Obat Keras, Narkotika dan Psikotropika 


 Pengelolaan Obat Keras
Menurut Undang – undang Obat Keras St. Nomor 419 Tahun 1949,
yang dimaksud obat keras adalah obat – obatan yang tidak digunakan
untuk keperluan teknik, yang memiliki khasiat mengobati, menguatkan,
membaguskan, mendesinfektan, dan lain – lain pada tubuh manusia.
Terdapat penandaan khusus untuk obat keras yang tercantum dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 02396/A/SK/VII/86 yang berisi
tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G, yaitu berupa lingkaran bulat
berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam yang terdapat huruf K
yang menyentuh garis tepi lingkaran. Tanda khusus untuk obat keras ini
harus diletakkan sedemikian rupa sehingga dapat terlihat jelas dan mudah
dikenali.
 Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan
(Menkes RI, 2015).
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku (Menkes RI, 2015).
Penyaluran narkotika dan psikotropika dapat dilakukan berdasarkan
surat pesanan. Surat pesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk satu
jenis narkotika, sedangkan surat pesanan psikotropika dapat digunakan
untuk satu atau beberapa psikotropika. Pengiriman narkotika atau
psikotropika oleh industri farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah
harus dilengkapi dengan surat pesanan dan faktur atau surat pengantar
barang. Faktur atau surat pengantar barang tersebut paling sedikit memuat
nama narkotika atau psikotropika, bentuk sediaan, kekuatan, kemasan,
jumlah, tanggal kadaluarsa, dan nomor batch. Apotek hanya dapat
menyerahkan narkotika atau psikotropika kepada apotek lainnya,
puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dokter, dan pasien. Penyerahan
narkotika atau psikotropika dari apotek kepada apotek lainnya, puskesmas,
atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus berdasarkan surat permintaan
tertulis yang ditandatangai oleh apoteker penanggung jawab.
Penyimpanan narkotika atau psikotropika dapat berupa gudang,
ruangan, atau lemari khusus. Lemari khusus yang digunakan untuk
menyimpan narkotika atau psikotropika harus memenuhi syarat seperti
terbuat dari bahan yang kuat, tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2
buah kunci yang berbeda. Lemari tersebut diletakkan di tempat yang aman
dan tidak terlihat oleh umum.
Pemusnahan narkotika dan psikotropika farmasi dilakukan apabila
narkotika dan psikotropika diproduksi tanpa memenuhi standar dan
persyaratan yang berlaku, sudah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk
digunakan pada pelayanan kesehatan dan/ atau untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk sisa penggunaan, dibatalkan izin edarnya, atau
karena berhubungan dengan tindak pidana. Pemusnahan narkotika dan
psikotropika dilakukan dengan tidak mencemari lingkungan dan tidak
membahyakan kesehatan masyarakat.
Apotek wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan narkotika dan psikotropika setiap
bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai Setempat. Pelaporan tersebut memuat nama, bentuk sediaan,
dan kekuatan narkotika, psikotropika, jumlah persediaaan awal dan akhir,
jumlah yang diterima, dan jumlah yang diserahkan (Menkes RI, 2015).
 Pengelolaan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Tradisional,
Kosmetik, Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Lainnya
Yang dimaksud dengan obat bebas menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 2380/A/SK/V/1983 ialah obat yang dapat diserahkan
kepada pasien tanpa perlu menggunakan resep. Pada kemasannya terdapat
tanda yang mudah dikenali. Tanda tersebut berupa lingkaran berwarna
hijau dengan garis tepi berwarna hitam yang diletakkan sedemikian rupa
sehingga mudah dengan jelas terlihat dan mudah dikenali. Obat Bebas
Terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih
dapat dijual atau dibeli tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat obat bebas
terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Permenkes No 7 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tadisional
menyatakan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Obat tradisional yang diedarkan di
wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar (Menkes RI, 2012).
Permenkes RI No 1176/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Notifikasi
Kosmetika dimana definisi kosmetika adalah bahan atau sediaan yang
dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis,
rambut, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mulut terutama
untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau
memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik. Setiap kosmetika hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar dari Menteri berupa notifikasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, yang dimaksud dengan alat
kesehatan adalah bahan, instrumen, apparatus, mesin, implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosa,
menyembuhkan, meringankan penyakit, dan merawat orang, sakit serta
memulihkan kesehatan pada manusia dan / atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh. Alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh
badan usaha yang memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan yang berlaku. Penyerahan alat kesehatan
hanya boleh dilakukan untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan
(dengan atau tanpa resep dokter) atau untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
Hal ini didukung dengan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009
mengenai Kesehatan, yang menyebutkan bahwa: sediaan farmasi dan alat
kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan ijin edar.
Pemerintah memiliki wewenang untuk mencabut ijin edar dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan / atau
keamanan, dan/ atau kemanfaatan, yang selanjutnya akan disita dan
dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan.
Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan, serta tidak
menyesatkan. Logo Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan Obat.
 Pengelolaan Obat Rusak, Kadaluwarsa, Pemusnahan Obat dan Resep
Berdasarkan Permenkes No 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan
sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kedaluwarsa
atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat
izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan menggunakan Formulir 1.
Berdasarkan Permenkes RI No 9 Tahun 2017 tentang Apotek, resep
harus disimpan di apotek dengan baik paling singkat 5 tahun. Menurut
Permenkes No 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker dengan cara
dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara
Pemusnahan Resep menggunakan formulir 2 dan dilaporkan kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota.
6. Evaluasi
a. Audit Sediaan Farmasi
Dalam Permenkes No 72 Tahun 2016, cara untuk mengendalikan persediaan
sedian farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai adalah:
 Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving)
 Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga
bulan berturut-turut (death stock).
 Stock opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
b. Audit SOP Manajemen
Metode evaluasi mutu manajerial menurut Permenkes No 73 tahun 2016
antara lain:
 Audit, merupakan usaha menyempurnakan kualitas pelayanan dengan
menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki.
Contohnya adalah audit kesesuaian SPO, dan audit keuangan.
 Review, yaitu tinjauan/ kajian terhadap pelaksanaan pelayanan
kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Misalnya perbandingan
harga obat, pengkajian terhadap obat fast/slow moving.
 Observasi, dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap seluruh proses pengelolaan farmasi. Misalnya proses transaksi
dengan distributor, ketertiban dokumentasi.
c. Audit Finansial (Cash Flow, Neraca, Laporan Laba Rugi)
Audit finansial merupakan jenis audit yang berfokus pada masalah keuangan.
Sasaran audit keuangan adalah kewajaran atas laporan keuangan yang telah
disajikan manajemen (Taman, 2011). Laporan keuangan terdiri dari neraca,
laporan laba-rugi, dan aliran kas. Neraca keuangan adalah posisi keuangan
suatu perusahaan, yang menggambarkan harta/ aktiva (asset) dan hutang/
kewajiban (liabilities) dan berapa sisanya (modal sendiri= owner’s equity)
pada tanggal tertentu. Laporan laba rugi adalah pernyataan keuangan yang
menyatakan hasil kinerja dari perusahaan pada suatu periode. Cash flow
adalah perbedaan antara jumlah pemasukan dan jumlah pengeluaran pada
periode tertentu (Ross et al., 2013).
d. Survey Kepuasan Pelanggan
Kepuasan pelanggan merupakan salah satu indikator yang banyak dipakai
dalam mengukur kualitas layanan sebuah produk, baik barang maupun jasa.
Kualitas pelayanan apotek sangat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan.
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas pelayanan di
apotek adalah dengan mengukur tingkat kepuasan pelanggan. Pengukuran
kepuasan pelanggan bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan yang telah
diberikan apotek kepada pelanggan. Model yang banyak dipakai untuk
mengukur kepuasan pelanggan adalah model SERVQUAL, dengan cara
membuat penilaian kepuasan pelanggan secara komprehensif bagi pelayanan
dibidang barang dan jasa yang mengutamakan aspek pelayanan. Analisis
kepuasan pelanggan dilakukan pada lima dimensi kualitas layanan, yakni
tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty (Mas’ud, 2009).
e. Audit SOP Pelayanan
Metode evaluasi mutu pelayanan farmasi klinik dapat dilakukan dengan:
 Audit, misalnya audit waktu pelayanan dan penyerahan obat oleh
Apoteker.
 Review, misalnya review terhadap kejadian medication error.
 Survey, misalnya tingkat kepuasan pasien.
 Observasi, misalnya observasi pelaksanaan SPO pelayanan (Menkes RI,
2016).
f. Dokumentasi Pelayanan Kefarmasian (Patient Medication Record,
Dokumentasi Konsultasi)
Berdasarkan Permenkes No 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, setelah menyerahkan obat kepada pasien, tahap
selanjutnya ialah membuat catatan pengobatan pasien. Catatan pengobatan
pasien berisi nama pasien, jenis kelamin, umur, alamat, nomor telepon,
tanggal, nama dokter, nama obat, dosis, cara pemberian, dan catatan pelayanan
apoteker. Apabila apoteker telah memberikan pelayanan kefarmasian berupa
pelayanan informasi obat, konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care), dan pemantauan terapi obat, apoteker sebaiknya
mendokumentasikan pelayanan kefarmasian yang telah dilakukannya.
Dokumentasi dapat dilakukan dengan menggunakan formulir-formulir yang
telah disiapkan seperti dalam Permenkes tersebut.
 

DAFTAR PUSTAKA
Berardi, R.R., et al., 2009, Handbook of Nonprescription Drugs: An Interactive
Approach to Self-Care, 16th Ed., American Pharmacists Association,
Washington DC.

Bhogal, S., and Rutter, P.M., 2013, Decision Making by Community Pharmacists
When Making an Over The Counter Diagnosis-A Pilot Study, Self Care, 4(1):
20.
Dirjen Binfar, 2008, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy
Care), Jakarta, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Mas’ud, 2009, Analisis Tingkat Kepuasan Pelanggan terhadap Pelayanan Apotek
Kimia Farma Jakarta Menggunakan Model SERVQUAL (Studi Kasus pada
Tiga Apotek), Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI (2).
Menkes RI, 1990, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990
tentang Obat Wajib Apotek, Menteri Kesehatan RI, Jakarta.
Menkes RI, 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1176/MENKES/PER/VII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika, Jakarta
Menkes RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta.
Menkes RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 72 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Jakarta.
Presiden RI, 2009a, Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Ross, S.A., Westerfield, R.W., Jordan, B.D., Lim, J., and Tan, R., 2012, Fundamentals of
Corporate Finance, McGraw-Hill, Singapore.
Taman, Abdullah (2011), Buku Pedoman Audit Operasional, Kantor Audit Internal
Universitas Negeri, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai