PENGERTIAN
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek yang dimaksud dengan
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada apoteker,
baik dalam bentuk kertas maupun electronik untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan bagi pasien. Resep asli tidak boleh diberikan kembali kepada
pasien setelah pengambilan obat berdasarkan resep tersebut, dan hanya dapat diberikan dalam
bentuk copy resep atau salinan resep jika resep asli tidak mengandung obat golongan narkotika
atau psikotropika atau jika resep asli tertulis tanda iter yang artinya bahwa resep tersebut boleh
diulang. Resep asli harus disimpan di apotek sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dan tidak
boleh dipelihatkan kepada orang lain kecuali diminta oleh :
1. Dokter yang menulisnya atau yang merawatnya
AN OST
2. Pasien yang bersangkutan
AT
3. Pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang ditugaskan untuk memeriksa
CIK REP
4. Yayasan atau lembaga lain yang menanggung biaya pasien
OB
Resep disebut juga Formulae Medicae terdiri atas:
PE D TO
1. Formulae Officinalis, yaitu resep yang tercantum dalam buku farmakope atau buku lainnya dan
merupakan standar (Resep Standar).
UT AN WE
Resep selalu dimulai dengan tanda ℛ/ yang artinya recipe = ambillah. Di belakang tanda ini
I, P P D LO
biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Umumnya resep ditulis dalam bahasa latin, jika
AN SE AL
tidak jelas atau tidak lengkap, Apoteker harus menanyakan kepada dokter penulis resep tersebut.
Resep dapat diberi penandaan khusus seperti Cito, Statim, Urgent, atau PIM (periculum in mora)
TY RE T
jika obat harus diberikan dengan segera karena jika ditunda pemberiannya akan membahayakan
SE AFT E NO
jiwa pasien.
RI
DR U AR
KOMPONEN RESEP
Resep yang lengkap memuat komponen sebagai berikut :
Inscriptio : Nama, No. SIP., Alamat, Tempat/Tgl.
YO
Penulisan Resep
Invocatio : Tanda Penulisan Resep dengan tanda R/
Praescriptio : Nama Obat, Bentuk Sediaan Obat, Dosis
Signatura : Pro, Signa
Subscriptio : Tanda Tangan/Paraf Dokter
Contoh Resep dan komponen resep :
I
dr. Dedi, Sp.PD. FINASIM n
Spesialis Penyakit Dalam (INTERNIS) s
Kantor: Praktek: Rumah: c
SMF Penyakit Jl. Gaharu II No. Jl. Meranti IV No. r
Dalam 273 Yogyakarta 323 I
RSUP-Yogyakarta Apotek Sejati Telp. (0274) p
Jln. Kencana I No. Telp. (0274) 647126 t
554 648217 Yogyakarta i
Telp. (0274) Yogyakarta o
I 841893
n Yogyakarta
v Yogyakarta, 08 Februari 2018
AN OST
o
AT
c
a P
CIK REP
OB
t r
i a
PE D TO
o e
s
c
UT AN WE
r
RA
I s
I, P P D LO
p u
AN SE AL
t b
s i s
TY RE T
i o c
SE AFT E NO
g r
n i
RI
a p
DR U AR
t t
u Pro: Nabila (15 tahun) i
r Alamat: Jl. Cemara Barat II No. 328 Yogyakarta o
YO
PELAYANAN RESEP
Pada saat ini kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang berfokus pada pasien yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Peran apoteker diharapkan dapat menyeimbangkan
antara aspek klinis dan aspek ekonomi demi kepentingan pasien. Proses pelayanan resep
ditetapkan dengan adanya suatu Standart Operating Prosedure (SOP) berdasarkan Permenkes
Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
AN OST
1. Menerima resep dari pasien atau keluarga pasien,
AT
2. Lakukan skrining resep meliputi aspek adsministrasif, farmasetik dan klinik,
CIK REP
OB
3. Beri garis bawah berwarna merah pada obat yang termasuk golongan narkotika.
4. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan pada resep.
PE D TO
5. Untuk obat racikan apoteker menyiapakan obat jadi yang mengandung narkotika.
6. Mendokumentasikan pengeluaran obat narkotika pada kartu stok.
7. Menutup dan mengembalikan wadah obat pada tempatnya yaitu pada lemari dua pintu dan
UT AN WE
menguncinya kembali.
RA
8. Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai permintaan dalam resep.
I, P P D LO
9. Obat diberi wadah yang sesuai dan diperiksa kembali jenis dan jumlah obat sesuai
permintaan dalam resep.
AN SE AL
10. Melakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara penulis etiket dengan resep sebelum
dilakukan penyerahan
TY RE T
SE AFT E NO
13. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat (nama obat, kegunaan masing-
DR U AR
15. Menyimpan resep pada tempat penyimpanan khusus resep narkotika dan
mendokumentasikannya pada buku pencatatan resep narkotika
AN OST
9. Cek ulang anak timbangan apakah berat yang diminta sesuai dengan resep kemudian
AT
dikembalikan ketempatnya
CIK REP
OB
10. Cek ulang apakah bahan yang diambi sudah sesuai dengan resep kemudian dikembalikan
ketempatnya.
PE D TO
SOP Konseling Resep
1. Obat diserahkan pada pasien sekaligus dicocokkan dengan data pasien
UT AN WE
RA
2. Mencocokkan obat dengan kondisi pasien dengan cara menanyakan pada pasien tentang
I, P P D LO
tersebut
4. Memberikan informasi pada pasien tentang aturan penggunaan obat (dosis, frekuensi, durasi,
TY RE T
SE AFT E NO
cara penggunaan), Menanyakan kembali tentang semua informasi yang telah disampaikan
untuk memastikan bahwa pasien telah paham dan mengerti tentang aturan penggunaan obat
RI
5. Memberitahukan pada pasien tentang Efek samping Obat (ESO) obat yang mungkin terjadi dan
DR U AR
cara penanganan yang mungkin bisa dilakukan oleh pasien terhadap efek samping yang terjadi
6. Menyarankan pasien untuk pergi ke dokter bila dirasa ESO cukup berat dan mengganggu
YO
7. Informasikan pada pasien tentang hal apa saja yang perlu dihindari atau yang perlu dilakukan
untuk menunjang keberhasilan terapi
8. Catat nama pasien, alamat dan nomor telpon pasein
Tugas
dr. Edi Santosa, Sp.PD. FINASIM
Spesialis Penyakit Dalam (INTERNIS)
Kantor: Praktek: Rumah:
SMF Penyakit Jl. Cemara V No. 37 Jl. Keruing VI No.
Dalam Yogyakarta 71
RSUP-Yogyakarta Apotek Sumber Telp. (0274)
Jln. Waru III No. Waras 537133
24 Telp. (0274) Yogyakarta
Telp. (0274) 638136
849247 Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta, 12 Februari 2018
AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA
I, P P D LO
AN SE AL
TY RE T
Unggah tugas dalam format pdf dengan nama file Tugas Resep_NIM pada halaman
belajar.usd.ac.id dalam bab Pelayanan Resep.
SKRINING RESEP
Pendahuluan
Pada bab pendahuluan, telah dipaparkan bahwa salah satu tugas apoteker dalam pelayanan
klinis di apotek, rumah sakit, dan puskesmas adalah melakukan skrining resep sesuai dengan
Standar Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Secara umum, skrining resep yang harus dilakukan mencakup 3 aspek, yaitu administratif,
farmasetis dan klinis (Gambar 4.1).
AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA
Gambar 4.1. Aspek dalam skrining resep menurut PerMenKes RI tentang standar
I, P P D LO
Terdapat tiga tahap dalam pelayanan resep, yaitu penulisan resep (prescribing), pembacaan
TY RE T
SE AFT E NO
resep (transcribing) dan dispensing (dispensing). Kesalahan terapi dapat terjadi pada ketiga fase
tersebut. Kesalahan terapi pada tahap penulisan resep merupakan akibat dari kelalaian dokter
RI
penulis resep.
DR U AR
Contoh kelalaian yang sering terjadi adalah penulisan singkatan atau obat yang tidak sesuai
dengan nomenklatur, penulisan resep tidak lengkap sesuai peraturan yang ada, penulisan obat
yang diminta tidak lengkap (bentuk sediaan, kekuatan zat aktif) sehingga dapat meningkatkan
YO
resiko kesalahan penyiapan obat, dll. Sedangkan kelalaian pada fase pembacaan resep seringkali
terjadi karena apoteker kesulitan membaca tulisan tangan dokter, kurangnya pengetahuan
apoteker saat melakukan pengkajian resep, atau karena kondisi lingkungan yang tidak kondusif
sehingga dapat menurunkan konsentrasi saat membaca resep.
Fase dispensing menjadi tahap akhir dalam pelayanan resep, mulai dari menyiapkan obat,
memberikan label, mengemas, hingga menyerahkan obat kepada pasien. Tahapan yang cukup
kompleks ini rentan terhadap kesalahan yang mungkin terjadi. Beberapa kesalahan umum terjadi
pada saat menghitung jumlah obat yang akan diambil, sehingga berdampak pula pada kesalahan
pengambilan obat. Kesalahan penulisan etiket juga dapat terjadi sehingga dapat membahayakan
pasien. Proses peracikan obat yang tidak sesuai dengan good compounding practice juga dapat
menurunkan kualitas sediaan farmasi.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk menurunkan kejadian kesalahan terapi, salah satunya
dengan melakukan skrining resep. Skrining resep menjadi bagian di dalam tahap pembacaan
resep. Tahap ini sangat penting dilakukan untuk menjamin keabsahan resep dan mencegah
terjadinya kesalahan terapi.
Skrining resep dilakukan oleh Apoteker. Apoteker memiliki kemampuan untuk
menganalisis resep berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki. Pengetahuan tentang sifat
fisika kimia obat, teknik meracik, farmakoterapi, kimia medisinal, dll akan mendukung dalam
melakukan skrining resep. Ilmu-ilmu tersebut tidak diperoleh tenaga kesehatan lain secara
mendalam.
Skrining resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan
masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Apoteker harus
melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis
Aspek administratif
Aspek administratif dalam resep dilakukan untuk menjamin keabsahan resep dan
kelengkapan data pasien untuk kepentingan skrining di aspek lainnya. Secara umum, aspek
administratif terdiri dari identitas dokter, identitas pasien, dan tanggal penulisan resep. Terdapat
sedikit perbedaan terkait kelengkapan pada aspek administratif di RS dan di apotek. Perbedaan
AN OST
dapat dilihat pada tabel IV.1.
AT
Tabel IV.1. Perbedaan kelengkapan aspek administratif di apotek dan rumah sakit
CIK REP
OB
berdasarkan Peraturan menteri kesehatan tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di Apotek dan Rumah Sakit.
PE D TO
Apotek Rumah Sakit
a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan a. nama, umur, jenis kelamin, berat
berat badan; badan dan tinggi badan pasien;
UT AN WE
RA
b. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik b. nama dokter, nomor ijin, alamat
I, P P D LO
(SIP) dokter, alamat praktek, nomor rumah sakit dan paraf/tanda tangan
AN SE AL
agar obat yang akan diberikan “TEPAT PASIEN”. Umur, jenis kelamin, dan berat badan penting
DR U AR
untuk dicantumkan, karena nanti akan berkaitan langsung dengan kesesuaian dosis obat yang
diberikan.
Identitas dokter menjamin keabsahan resep. Resep harus ditulis oleh dokter, dokter gigi,
YO
atau dokter hewan yang memiliki surat ijin praktek. Nomor telepon dokter penting untuk
dicantumkan dalam resep, terutama pada pelayanan di apotek, agar ketika terdapat
permasalahan di dalam resep, apoteker dapat menghubungi dokter dengan mudah, sedangkan
jika di rumah sakit, karena dokter dan apoteker berada pada institusi yang sama, nomor telepon
dokter tidak perlu dicantumkan di dalam resep karena keduanya dapat berkomunikasi melalui
sambungan internal di rumah sakit.
Paraf dokter dalam suatu resep dapat menunjukkan keabsahan resep. Selain itu paraf juga
berfungsi untuk memisahkan antara invocatio yang satu dan yang lain, agar tidak rancu dalam
penyiapan obat. Tanggal penulisan resep dicantumkan untuk mempermudah dalam proses
administrasi resep.
Apa yang harus dilakukan jika aspek administrasi tidak lengkap? Aspek administrasi terkait
dengan informasi pasien dapat ditanyakan langsung. Jika kelengkapan identitas dokter tidak
lengkap dan mengarah pada kemungkinan pemalsuan resep, maka sebagai apoteker harus
mencari tahu informasi tersebut, untuk memastikan keabsahan resep. Pada intinya, aspek
administrasi perlu dikaji dengan seksama untuk memastikan keabsahan resep (mencegah
penyalahgunaan obat) dan untuk memberikan data yang berguna dalam pelayanan farmasi
klinik.
Pelayanan resep di apotek memungkinkan apoteker menerima salinan resep. Apakah
salinan resep juga perlu dilakukan skrining? Pada dasarnya ketika apoteker di apotek
sebelumnya menuliskan salinan resep, resep tersebut telah dikaji oleh apoteker tersebut. Namun,
kewajiban anda sebagai apoteker tetap harus melakukan skrining resep. Aspek administratif
pada salinan resep harus disesuaikan, kelengkapan identitas apotek (nama apotek, alamat,
nomor telepon, SIA, tanda tangan apoteker dan cap) sebagai salah satu indikator keabsahan
resep.
Aspek farmasetis
Aspek farmasetis di dalam resep perlu dikaji untuk memastikan kelengkapan dan
kesesuaian resep tersebut bagi pasien secara farmasetis. Terdapat sedikit perbedaan terkait
kelengkapan pada aspek administratif di RS dan di apotek. Perbedaan dapat dilihat pada tabel
IV.2.
AN OST
Tabel IV.2. Perbedaan kelengkapan aspek farmasetis di apotek dan rumah sakit
AT
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2016 tentang standar pelayanan
CIK REP
OB
kefarmasian di Apotek dan Rumah Sakit.
Apotek Rumah Sakit
PE D TO
a. Bentuk dan a. Nama obat, bentuk, dan
kekuatan sediaan; kekuatan sediaan;
b. Stabilitas; b. Dosis dan jumlah obat;
UT AN WE
RA
c. Kompatibilitas. c. Stabilitas;
I, P P D LO
Dosis dan jumlah obat serta aturan dan cara penggunaan merupakan bagian dari aspek
farmasetis di Standar pelayanan kefarmasian di RS, sedangkan jika diamati pada standar
TY RE T
SE AFT E NO
pelayanan kefarmasian di Apotek, kedua hal tersebut termasuk dalam aspek klinis.
Pada bab ini, aspek farmasetis yang akan dibahas lebih lanjut adalah nama obat, bentuk
RI
Skrining resep terhadap aspek farmasetis dilakukan untuk melihat kesesuaian sediaan yang
ditulis dokter bagi pasien. Dalam aspek ini dinilai pula kompatibilitas obat (terutama pada
YO
AN OST
bentuk sediaan, dan kekuatannya? Apabila obat tersebut memang hanya memiliki 1 bentuk
AT
sediaan dan 1 kekuatan saja, maka itu bukan menjadi masalah, namun jika diketahui obat
CIK REP
OB
tersebut memiliki lebih dari 1 bentuk sediaan dan atau kekuatan, maka ada baiknya kita
menanyakan kepada dokter penulis resep untuk mencegah kesalahan dalam menyiapkan obat.
PE D TO
B. Kompatibilitas
Kompatibilitas merupakan salah satu aspek farmasetis yang memperhatikan
UT AN WE
RA
ketercampuran bahan. Kompatibilitas menjadi aspek penting untuk dikaji, terutama pada resep
racikan. Inkompatibilitas merupakan suatu peristiwa ketidakcampuran/ ketidakcocokan/
I, P P D LO
ketidaksesuaian. Dalam sediaan farmasi, inkompatibilitas dapat terjadi antara obat, bahan
AN SE AL
fisik, inkompatibilitas kimia, dan inkompatibilitas terapetik. Pada sub bab ini, pembahasan akan
terfokus pada inkompatibilitas fisik dan kimia, sedangkan inkompatibilitas terapetik termasuk
RI
Inkompatibilitas fisik suatu sediaan dapat diamati langsung. Beberapa indikator terjadinya
inkompatibilitas adalah munculnya endapan, perubahan warna, memisahnya fase pada suatu
YO
sistem dispersi, terjadinya segregasi pada serbuk, dll. Inkompatibilitas fisik dapat pula
dipengaruhi oleh inkompatibilitas kimia dari suatu campuran, misalnya pengendapan akibat
desolvasi molekul organik non ionik dalam suatu sediaan.
Inkompatibilitas fisik sering terjadi pada sistem dispersi, baik suspensi maupun emulsi.
Pada sediaan emulsi (baik cair maupun semipadat dalam bentuk krim) pemisahan antara fase
minyak dan fase air juga merupakan bentuk inkompatibilitas. Contoh peristiwa ini dapat terjadi
ketika dokter meresepkan sediaan racikan semipadat dari 2 sediaan yang berbeda yaitu salep
dan gel. Salep terutama dengan basis hidrokarbon merupakan fase minyak yang tidak dapat
bercampur dengan gel yang merupakan sediaan dengan basis air,
Inkompatibilitas kimia dapat terjadi karena adanya interaksi antara senyawa yang satu
dengan yang lain. Potensi inkompatibilitas dapat diprediksi dengan melihat gugus fungsional dari
masing-masing zat aktif yang akan diracik, serta potensi ketidakcampurannya. Beberapa contoh
dapat diamati pada tabel IV.3 .
Berdasarkan tabel IV.3, obat-obat dengan gugus amin primer memiliki potensi
inkompatibel dengan monosakarida berupa reaksi mailard. Beberapa obat dengan gugus amin
primer adalah asiklovir, ranitidin, vitamin B1, metoklopramid, amlodipin, metformin, dll.
Sakarida yang sering digunakan sebagai bahan tambahan adalah laktosa.
Sebagai contoh, apabila kita memiliki serbuk vitamin B1 kemudian kita campur dengan
laktosa, maka ada potensi terjadi reaksi mailard. Hal yang harus kita ingat kembali adalah
bahwasanya peracikan di Indonesia saat ini sudah sangat jarang yang menggunakan bahan baku
obat, seringkali dilakukan peracikan dari bentuk sediaan yang sudah ada.
AN OST
AT
Ester air Hidrolisis
CIK REP
OB
Lakton Air, basa Hidrolisis (ring
opening)
PE D TO
Karboksil Basa Pembentukan garam
UT AN WE
Apabila dalam resep kita diminta untuk mencampurkan tablet parasetamol dengan tablet
vitamin B1, akan ada potensi inkompatibilitas antara Vitamin B 1 dengan bahan tambahan yang
mungkin ada pada tablet parasetamol (bisa jadi terdapat laktosa sebagi bahan pengisi tablet
YO
parasetamol. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi seorang apoteker untuk mendeteksi
adanya ketidakcampuran antara satu bahan dengan bahan yang lain, yaiutu minimnya informasi
tentang kandungan bahan tambahan dalam suatu sediaan farmasi, khususnya obat dan obat
tradisional.
Hal penting yang harus kita ingat adalah inkompatibilitas suatu sediaan racikan bukan
hanya peristiwa teoritis saja. Telah banyak studi yang menunjukkan bahwa beberapa hasil
sediaan yang diracik mengalami inkompatibilitas (baik sediaan steril dan non steril).
Penelitian yang dilakukan oleh Yohana (2011) menunjukkan bahwa dari 183 resep racikan
terdapat inkompatibilitas fisika 40 resep (21,85%) dimana sediaan serbuk yang diracik menjadi
lembab pada sediaan dan juga ditemukannya inkompatibilitas kimia sebanyak 4 resep (2,18%)
dimana serbuk yang diracik bisa potensial terjadi reaksi oksidasi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lucida dkk (2014)pada peracikan sediaan steril
menunjukkan bahwa terjadi inkompatibilitas dan instabilitas sefotaksim dalam aqua p.i. berupa
perubahan warna, dan inkompatibilitas sediaan steril iv admixture fenitoin dengan larutan NaCl
0,9% yang menyebabkan praesipitasi. Inkompatibilitas juga bisa terjadi akibat ketidaksesuaian
pencampuran yang dilakukan di RS dibandingkan dengan instruksi dr pabrik pembuat sediaan.
Secara praktis, hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi inkompatibilitas adalah dengan:
1. Menambahkan bahan tambahan lain yang dapat membantu meningkatkan
ketercampuran bahan
2. Memisahkan bahan obat yang berpotensi mengalami inkompatibilitas menjadi 2 sediaan
yang berbeda
Pemberian suatu bahan tambahan untuk mengatasi inkompatibilitas juga harus
memperhatikan ketercampuran antara bahan yang akan ditambahkan dengan bahan yang ada
pada resep. Jangan sampai bahan yang ditambahkan justru menimbulkan permasalahan baru.
Sebagai contoh, anda mendapatkan resep dengan komponen sebagai berikut:
R/ Ibuprofen 400 mg tablet V
Siruplus simplek ad 75 mL
m f syr
AN OST
S t d d 1 cth
AT
----------------------------------------------
CIK REP
OB
Peracikan obat di atas, berpotensi mengalami inkompatibilitas fisik berupa pengendapan.
Tablet ibuprofen juga dapat mengandung beberapa bahan tambahan yang tidak larut air. Salah
PE D TO
satu solusi yang ditawarkan untuk memperlambat laju pengendapan adalah dengan
menambahkan bahan pensuspensi atau bahan pengental, sehingga sediaan dapat bercampur
dengan baik dan merata. Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai bahan pensuspensi
UT AN WE
RA
adalah polisorbat.
Penambahan polisorbat pada resep tersebut mungkin merupakan solusi yang baik untuk
I, P P D LO
menjamin ketercampuran obat, namun jika ditelisik lebih lanjut polisorbat inkompatibel dengan
AN SE AL
ibuprofen. Senyawa impuritis dalam polisorbat dapat berpotensi menyebabkan oksidasi pada
ibuprofen dan degradasi ibuprofen menjadi lebih cepat. Sehingga, polisorbat sebaiknya tidak
TY RE T
SE AFT E NO
digunakan pada sediaan racikan tersebut. Sangat penting bagi seorang apoteker untuk
menentukan bahan tambahan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin sediaan
RI
bahan-bahan yang inkompatibel atau mengubah bentuk sediaannya. Sebagai contoh, apabila
terdapat resep sebagai berikut:
R/ Aspirin tablet 500 mg no VI
Siruplus simplex ad 75 mL
M f syr
S t d d 1 cth
-----------------------------------------------
Permintaan pada resep di atas adalah untuk meracik sediaan sirup dengan
mencampurkan aspirin tablet dan siruplus simpleks. Aspirin merupakan obat dengan kandungan
asam asetil salisilat (asetosal). Jika diamati pada struktur molekul asetosal, terdapat gugus ester.
Pada tabel IV.3 diketahui bahwa gugus ester inkompatibel dengan air karena dapat menyebabkan
hidrolisis. Sehingga apabila asetosal dicampurkan dengan siruplus simplek yang mengandung air
dapat menyebabkan hidrolisis pada asetosal dan menghasilkan asam salisilat serta asam asetat
(Mekanisme reaksi hidrolisis aspirin dapat diamati pada gambar 4.1).
Aspirin air asam salisilat asam asetat
AN OST
Inkompatibilitas dapat berdampak pada sifat fisika kimia obat, stabilitas produk,
AT
ketersediaan hayati, efektivitas terapi, dan keamanan. Apabila dalam suatu resep racikan
CIK REP
OB
terdapat potensi inkompatibilitas yang terdeteksi oleh apoteker, maka apoteker harus
memikirkan solusi terbaik untuk menyiapkan obat tersebut, atau apabila memang
inkompatibilitas tersebut tidak dapat teratasi dengan langkah-langkah praktis, apoteker dapat
PE D TO
berkomunikasi dengan dokter untuk mengubah resep sediaan racikan yang berpotensi
mengalami inkompatibilitas tersebut menjadi sediaan terpisah.
UT AN WE
RA
C. Stabilitas
I, P P D LO
Stabilitas sediaan racikan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Stabilitas suatu
AN SE AL
obat dimengerti sebagai kemampuan sediaan farmasi untuk dapat mempertahankan sifat dan
kualitasnya. Secara umum stabilitas terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:
TY RE T
1. Stabilitas fisik
SE AFT E NO
2. Stabilitas kimia
Kemampuan suatu obat untuk mempertahankan kandungan zat aktifnya (kadar dan
kemurnian) sesuai dengan yang tercantum pada label/etiket.
YO
3. Stabilitas mikrobiologi
Kemampuan suatu obat untuk mempertahankan sterilitasnya atau menghindari
kontaminasi mikrobia.
4. Stabilitas terapetik
Kemampuan suatu obat untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan efek terapi setelah
periode/ masa penyimpanan tertentu.
5. Stabilitas toksikologi.
Kemampuan suatu obat untuk menjaga agar tidak terjadi peningkatan toksisitas setelah
periode/ masa penyimpanan tertentu.
Stabilitas kimia menjadi sangat penting dalam menentukan kondisi penyimpanan (suhu,
cahaya, kelembaban), kemasan, dan antisipasi interaksi pada saat diracik. Stabilitas suatu obat
bergantung pada kinetika reaksi yang dapat dipengaruhi pula oleh solven, tekanan, dan suhu.
Terkait dengan stabilitas kimia, reaksi hidrolisis dan oksidasi merupakan dua jenis
mekanisme degradasi yang sering dihadapi oleh obat. Hidrolisis merupakan proses degradasi
obat akibat pelarut dalam hal ini adalah air sehingga menghasilkan senyawa lain. Dalam dunia
farmasi, obat-obat yang rentan mengalami hidrolosis adalah senyawa dengan gugus fungsi ester,
amida, lakton, dan laktam.
Oksidasi merupakan proses degradasi yang terjadi akibat hilangnya elektron dari suatu
atom atau molekul. Elektron yang terlepas akan ditangkap oleh atom atau molekul lain sehingga
menyebabkan reduksi pada molekul aseptor. Oksidasi dapat dipengaruhi oleh adanya radikal
bebas, dan dikatalisis oleh oksigen, cahaya, logam, dll
Dalam pengkajian resep, aspek stabilitas menjadi sangat penting untuk diperhatikan untuk
melihat apakah dalam suatu resep, jumlah obat yang diberikan kepada pasien sesuai dengan
stabilitas sediaan tersebut, atau bahan yang dicampurkan dapat menjaga stabilitas sediaan atau
tidak.
Stabilitas sediaan racikan tidak bisa disamakan dengan sediaan farmasi produk jadi dari
suatu pabrik. Stabilitas produk jadi dari industri farmasi dapat diketahui karena telah dilakukan
studi stabilitas yang kemudian diperoleh waktu kadaluarsa. Sediaan racikan (terutama yang
belum terstandar) belum ada studi stabilitasnya, sehingga tidak dapat diklaim kualitasnya hingga
AN OST
waktu tertentu.
AT
Stabilitas sediaan racikan tidak dapat menggunakan waktu kadaluarsa dari obat-obat yang
CIK REP
OB
diraciknya. Dalam dunia farmasi dikenal istilah waktu boleh dipakai atau beyond use date (BUD).
Farmakope Indonesia edisi V tidak mengatur tentang BUD sediaan racikan steril dan non steril.
PE D TO
Namun kita dapat mengacu pada beberapa referensi lain, salah satunya adalah United States
Pharmacopoeia (USP).
Aspek klinis
UT AN WE
RA
Skrining aspek klinis perlu dilakukan untuk menjamin ketepatan pemberian obat terhadap
I, P P D LO
indikasi, dosis, durasi, efek samping yang mungkin muncul, interaksi obat, polifarmasi, duplikasi,
dan kontraindikasi. Banyak studi yang menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul dalam
AN SE AL
aspek klinis adalah ketidaksesuaian dosis dan polifarmasi. Hal ini tentu dapat berpotensi
menyebabkan terapi yang tidak optimal bagi pasien.
TY RE T
SE AFT E NO
A. Tepat Indikasi
Obat yang diresepkan oleh dokter dapat dikatakan tepat indikasi apabila obat yang dipilih
RI
untuk pasien tersebut telah teruji secara klinis dapat mengatasi penyakit berdasarkan diagnosis
DR U AR
dokter. Penggunaan obat-obat off-label dapat meningkatkan resiko kesalahan dalam pengobatan,
karena tidak sesuai dengan indikasi obat yang sebenarnya.
YO
B. Tepat dosis
Obat harus tepat dosis bagi pasien. Tepat dosis bearti regimen dosis obat yang diberikan
kepada pasien sudah sesuai dengan rentang dosis lazim obat dan harus berada di bawah dosis
maksumum. Ketepatan dosis obat dapat dilihat dengan membandingkan dosis obat berdasarkan
resep dokter dengan dosis lazim berdasarkan literatur. Perhitungan dosis sangat penting untuk
dilakukan erutama terhadap obat-obat dengan indeks terapi yang sempit seperti fenitoin atau
obat-obat dengan resiko klinis yang tinggi.
C. Tepat durasi
Durasi merupakan lamanya penggunaan obat untuk menhasilkan efek terapi yang
dibutuhkan. Durasi obat sangat penting untuk diperhatikan terutama obat-obat untuk penyakit
kronis, antibiotik, antivirus, anti jamur, dll. Terdapat durasi minimal penggunaan yang harus
dipenuhi. Sebagai contoh, Azithromisin merupakan antibiotik yang digunakan selama 3 hari
dengan aturan pakai 1 kali sehari. Maka jumlah minimal obat yang diberikan harus memenuhi
penggunaan minimalnya, yaitu 3 tablet.
D. Adanya efek samping yang mungkin muncul
Efek samping merupakan dampak negatif yang muncul pada penggunaan dalam rentang
dosis lazim. Efek samping antar individu yang mendapatkan obat serupa dapat berbeda-beda,
tergantung respon masing-masing. Efek samping dapat muncul mulai dari pusing, mual, muntah,
pendarahan, gatal-gatal, rasa terbakar, dll.
E. Interaksi obat
Interaksi obat merupakan salah satu bentuk ketidaksesuaian obat yang terjadi di dalam
tubuh. Secara umum dampak dari interaksi obat dapat bersifat minor, mayor, hingga sangat
berbahaya (critical). Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya interaksi obat dalam
suatu resep adalah dengan melakukan pengecekan di literatur seperti Drug Information
Handbook atau di situs-situs online seperti medscape drug interaction checker. Interaksi obat
dapat dicegah dengan memberikan jeda pemberian obat yang pertama dan yang kedua.
F. Polifarmasi dan duplikasi
Polifarmasi merupakan kondisi dimana seorang pasien mendapatkan obat dalam jumlah
yang sangat banyak. Terdapat beberapa literatur yang menyatakan bahwa apabila dalam suatu
AN OST
resep terdapat lebih dari 5 jenis obat maka dapat dikatakan pasien tersebut menerima
AT
polifarmasi. Sedangkan yang dimaksud dengan duplikasi adalah apabila pasien menerima obat
CIK REP
OB
yang sama (kandungan sama namun berbeda merek) atau pasien menerima obat untuk indikasi
tertentu dengan golongan obat yang sama atau bahkan mekanisme aksi yang sama, mungkin
PE D TO
dapat menimbulkan efek potensiasi dan atau sinergisme sehingga berpotensi menyebabkan
overosis.
G. Kontra indikasi
UT AN WE
RA
Kontra indikasi merupakan suatu kondisi dimana obat tidak dapat diberikan kepada pasien
I, P P D LO
karena kondisi khusus yang dimiliki atau dialami pasien. Terdapat beberapa obat yang
dikontraindikasikan untuk ibu hamil karena dapat memberikan dampak buruk kepada janin,
AN SE AL
anak-anak karena dapat menghambat pertumbuhan, ibu menyusui karena obat diekskresi
melalui air susu ibu, penderita penyakit tertentu karena dapat memperparah kondisi pasien, dll.
TY RE T
SE AFT E NO
RI
DR U AR
YO
Contoh kasus skrining resep
Berikut adalah contoh resep untuk dilakukan skrining resep.
dr. Rina Rini, Sp.KK
SIP. 503/2022/SIP/VI-2018
Jalan Sedih Bahagia no 23, Yogyakarta
0274 – 111 2222
Yogyakarta, 12 Juli 2018
R/ Melanox cr® I
S u e malam
R/ Benzolac – CL ® I tube
Vitacid® I tube
Natur E® 3 caps
AN OST
M f cr
AT
S2dd1
CIK REP
OB
R/ Natur E® XX
S 1 d d 1 pagi
PE D TO
UT AN WE
Pro: Amelia
RA
Usia: 25 tahun
I, P P D LO
Resep berikut merupakan salah satu resep yang ditulis oleh dokter, mengandung resep racikan
TY RE T
sediaan semipadat. Pasien membawa resep tersebut ke apotek untuk memperoleh obatnya.
SE AFT E NO
Berikut adalah informasi mengenai obat-obat yang terdapat dalam resep tersebut:
RI
- Benzolac-CL mengandung senyawa aktif Benzoil peroksida 5% dan clindamisin HCl 2,5%,
- Vitacid mengandung vitamin A dengan kekuatan 0,05% dan 0,025%
- Natur E mengandung vitamin E dengan kekuatan 100 iu
YO
AN OST
tersebut diracik, ada potensi interaksi antara benzoil peroksida (oksidator kuat) dengan
AT
vitamin A dan vitamin E sehingga dapat menurunkan efektifitas kedua vitamin tersebut.
CIK REP
OB
c. Stabilitas
Stabilitas sediaan racikan perlu diperhatikan. Karena terdapat potensi inkompatibilitas,
PE D TO
maka berpengaruh juga terhadap stabilitas produk. Apabila interaksi antara benzoil
peroksida dan vitamin A dan E terjadi maka dapat menurunkan stabilitas kimia sediaan
yang ditunjukkan dengan menurunnya kadar vitamin A dan E akibat degradasi (reaksi
UT AN WE
RA
oksidasi).
I, P P D LO
Berdasarkan kajian di atas, dapat dikatakan bahwa resep tersebut belum memenuhi
aspek farmasetis. Perlu dikomunikasikan kepada dokter terkait dengan potensi
AN SE AL
Aspek klinis berkaitan dengan indikasi, dosis, durasi, efek samping yang mungkin muncul,
interaksi obat, polifarmasi, duplikasi, dan kontraindikasi. Berdasarkan resep tersebut, jika
RI
keluhan pasien adalah untuk menghilangkan jerawat beserta noda hitam bekas jerawat, maka
DR U AR
resep tersebut sudah tepat indikasi. Terkait dengan dosis dan durasi dirasa sudah sesuai juga,
namun dari segi penggunaan obat, signa untuk sediaan racikan semipadat tersebut masih
YO
kurang tepat.
Vitacid tidak boleh digunakan pada pagi hari (harus malam hari terkait dengan mekanisme
aksinya). Pada signatura tertulis sediaan tersebut digunakan 2 kali sehari, bearti pagi dan
mala. Seharusnya vitacid hanya boleh digunakan pada malam hari.
Terkait dengan duplikasi dan polifarmasi, resep diatas tidak bermasalah dengan kontra
indikasi, duplikasi dan polifarmasi, meskipun terdapat Natur E di 2 invocatio yang berbeda,
namun karena digunakan melalui rute yang berbeda dan masih memenuhi dosis penggunaan
maka tidak ada masalah dengan hal tersebut. Interaksi obat yang terjadi diantara Benzolac-Cl
dengan Vitacid dan Natur E secara kimia akan mempengaruh efek klinis dari sediaan yang
dihasilkan menjadi tidak optimal.
Ringkasan
Skrining resep menjadi salah satu bagian dalam pelayanan resep. Skrining resep secara
umum meliputi aspek administratif, aspek farmasetis, dan aspek klinis. Resep yang baik harus
memenuhi ketiga aspek tersebut. Apabila dalam resep terdapat ketidaklengkapan atau
ketidaksesuaian, maka apoteker dapat melakukan diskusi dengan dokter penulis resep untuk
memberikan beberapa alternatif yang mungkin untuk dilakukan.
Aspek administratif menjadi sangat penting untuk diperhatikan sebagai jaminan legalitas
resep dan kelengkapan data pasien. Aspek farmasetik menjadi hal dasar penting yang sangat
berpengaruh terhadap kualitas fisik dan kimia sediaan, terutama racikan. Sediaan racikan yang
berkualitas, stabil, dan aman dapat menunjang efek klinis obat tersebut, sehingga terapi dapat
tercapai.
Sangat penting bagi seorang Apoteker memahami aspek-aspek tersebut, sehingga dapat
melakukan skrining resep dengan baik.
AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA
I, P P D LO
AN SE AL
TY RE T
SE AFT E NO
RI
DR U AR
YO
Tugas
dr. Veronica, Sp.PD. FINASIM
Spesialis Penyakit Dalam (INTERNIS)
Kantor: Praktek: Rumah:
SMF Penyakit Jl. Durian Raya I Jl. Kenanga I No.
Dalam No. 73 Yogyakarta 23 Yogyakarta
RSUP-Yogyakarta Apotek Sahabat
Jln. Sriwijaya II No. Setia
54 Yogyakarta Yogyakarta
Yogyakarta, 05 Februari 2018
AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA
I, P P D LO
AN SE AL
TY RE T
SE AFT E NO
Lakukan skrining resep mengenai kelengkapan dari aspek administratif, aspek farmasetis dan
aspek klinis!
Unggah tugas dalam format pdf dengan nama file Tugas Skrining Resep_NIM pada halaman
belajar.usd.ac.id bab Pelayanan Resep Resep.