Anda di halaman 1dari 18

RESEP

PENGERTIAN
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek yang dimaksud dengan
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada apoteker,
baik dalam bentuk kertas maupun electronik untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan bagi pasien. Resep asli tidak boleh diberikan kembali kepada
pasien setelah pengambilan obat berdasarkan resep tersebut, dan hanya dapat diberikan dalam
bentuk copy resep atau salinan resep jika resep asli tidak mengandung obat golongan narkotika
atau psikotropika atau jika resep asli tertulis tanda iter yang artinya bahwa resep tersebut boleh
diulang. Resep asli harus disimpan di apotek sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dan tidak
boleh dipelihatkan kepada orang lain kecuali diminta oleh :
1. Dokter yang menulisnya atau yang merawatnya

AN OST
2. Pasien yang bersangkutan

AT
3. Pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang ditugaskan untuk memeriksa

CIK REP
4. Yayasan atau lembaga lain yang menanggung biaya pasien

OB
Resep disebut juga Formulae Medicae terdiri atas:
PE D TO
1. Formulae Officinalis, yaitu resep yang tercantum dalam buku farmakope atau buku lainnya dan
merupakan standar (Resep Standar).
UT AN WE

2. Farmakope Megistralis, yaitu resep yang ditulis oleh dokter.


RA

Resep selalu dimulai dengan tanda ℛ/ yang artinya recipe = ambillah. Di belakang tanda ini
I, P P D LO

biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Umumnya resep ditulis dalam bahasa latin, jika
AN SE AL

tidak jelas atau tidak lengkap, Apoteker harus menanyakan kepada dokter penulis resep tersebut.
Resep dapat diberi penandaan khusus seperti Cito, Statim, Urgent, atau PIM (periculum in mora)
TY RE T

jika obat harus diberikan dengan segera karena jika ditunda pemberiannya akan membahayakan
SE AFT E NO

jiwa pasien.
RI
DR U AR

KOMPONEN RESEP
Resep yang lengkap memuat komponen sebagai berikut :
Inscriptio : Nama, No. SIP., Alamat, Tempat/Tgl.
YO

Penulisan Resep
Invocatio : Tanda Penulisan Resep dengan tanda R/
Praescriptio : Nama Obat, Bentuk Sediaan Obat, Dosis
Signatura : Pro, Signa
Subscriptio : Tanda Tangan/Paraf Dokter
Contoh Resep dan komponen resep :

I
dr. Dedi, Sp.PD. FINASIM n
Spesialis Penyakit Dalam (INTERNIS) s
Kantor: Praktek: Rumah: c
SMF Penyakit Jl. Gaharu II No. Jl. Meranti IV No. r
Dalam 273 Yogyakarta 323 I
RSUP-Yogyakarta Apotek Sejati Telp. (0274) p
Jln. Kencana I No. Telp. (0274) 647126 t
554 648217 Yogyakarta i
Telp. (0274) Yogyakarta o
I 841893
n Yogyakarta
v Yogyakarta, 08 Februari 2018

AN OST
o

AT
c
a P

CIK REP
OB
t r
i a
PE D TO
o e
s
c
UT AN WE

r
RA

I s
I, P P D LO

p u
AN SE AL

t b
s i s
TY RE T

i o c
SE AFT E NO

g r
n i
RI

a p
DR U AR

t t
u Pro: Nabila (15 tahun) i
r Alamat: Jl. Cemara Barat II No. 328 Yogyakarta o
YO

PELAYANAN RESEP
Pada saat ini kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang berfokus pada pasien yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Peran apoteker diharapkan dapat menyeimbangkan
antara aspek klinis dan aspek ekonomi demi kepentingan pasien. Proses pelayanan resep
ditetapkan dengan adanya suatu Standart Operating Prosedure (SOP) berdasarkan Permenkes
Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.

SOP Pelayanan Resep


1. Menerima resep dari pasien atau keluarga pasien
2. Lakukan skrining resep meliputi aspek adsministrasif, farmasetik dan klinik
3. Menghitung harga obat yang tercantum dalam resep dan meminta persetujuan pasien atau
keluarga pasien terhadap nominal harga
4. Pasien diberi nomor antrian
5. Tulis nomor struk (print out) pada resep dan satukan nomor struk (print out) dengan resep
6. Cocokkan nama, jumlah dan kekuatan obat dalam resep dengan print out
7. Siapkan obat sesuai yang tercantum dalam resep
8. Jika obat racikan maka patuhi SOP meracik
9. Buat etiket dan cocokkan dengan resep
10. Teliti kembali resep sebelum diserahkan pada pasien termasuk salinan resep dan kuitansi
(jika diminta oleh pasien)
11. Serahkan obat kepada pasien disertai dengan informasi tentang obat meliputi dosis, frekuensi
pemakaian sehari, waktu penggunaan obat, cara penggunaan dan efek samping obat yang
mungkin timbul setelah penggunaan obat dan jika diperlukan pengatasan pertama terhadap
efek samping yang ditimbulkan Catat nama pasien, alamat dan nomor telpon pasien.

SOP Pelayanan Resep Narkotik

AN OST
1. Menerima resep dari pasien atau keluarga pasien,

AT
2. Lakukan skrining resep meliputi aspek adsministrasif, farmasetik dan klinik,

CIK REP
OB
3. Beri garis bawah berwarna merah pada obat yang termasuk golongan narkotika.
4. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan pada resep.
PE D TO
5. Untuk obat racikan apoteker menyiapakan obat jadi yang mengandung narkotika.
6. Mendokumentasikan pengeluaran obat narkotika pada kartu stok.
7. Menutup dan mengembalikan wadah obat pada tempatnya yaitu pada lemari dua pintu dan
UT AN WE

menguncinya kembali.
RA

8. Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai permintaan dalam resep.
I, P P D LO

9. Obat diberi wadah yang sesuai dan diperiksa kembali jenis dan jumlah obat sesuai
permintaan dalam resep.
AN SE AL

10. Melakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara penulis etiket dengan resep sebelum
dilakukan penyerahan
TY RE T
SE AFT E NO

11. Memanggil nama pasien secara lengkap (minimal 2 suku kata)


12. Mengecek identitas dan alamat pasien yang berhak menerima
RI

13. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat (nama obat, kegunaan masing-
DR U AR

masing obat, dosis dan cara penggunaan obat)


14. Menanyakan kembali kejelasan pasien terhadap informasi obat dan meminta pasien untuk
mengulang penjelasan yang telah disampaikan
YO

15. Menyimpan resep pada tempat penyimpanan khusus resep narkotika dan
mendokumentasikannya pada buku pencatatan resep narkotika

SOP Meracik Obat


1. Siapkan dan bersihkan peralatan berikut meja yang akan digunakan untuk meracik
2. Buatlah instruksi meracik meliputi : nomor resep, nama pasien, jumlah dan cara mencampur
3. Siapkan etiket dan wadah obat kemudian sertakan bersama obat dan instruksi meracik
4. Cucilah tangan bila perlu menggunakan APD seperti sarung tangan dan masker.
5. Siapkan obat sesuai resep dan cocokkan dengan yang tertera pada struk (print out)
6. Jika ada bahan yang harus ditimbang maka persiapkan lebih dahulu.
7. Bacalah instruksi meracik dengan seksama dan lakukanlah secara benar dan hati-hati.
8. Pastikan hasil racikan sesuai dengan instruksinya.
9. Masukkan dalam wadah yang telah disediakan dan beri etiket, kemudian serahkan pada
petugas lain untuk diperiksa dan diserahkan.
10. Bersihkan peralatan dan meja meracik setelah selesai.
11. Cucilah tangan sampai bersih.
SOP Menimbang
1. Bersihkan timbangan
2. Setarakan timbangan terlebih dahulu sebelum mulai menimbang
3. Ambil bahan‐bahan sesuai dengan permintaan resep
4. Ambil anak timbangan sesuai berat yang diminta dan letakkan pada ring timbangan sebelah
kiri (timbangan dalam keadaan off)
5. Bahan baku yang dikehendaki diletakkan secukupnya pada piring timbangan sebelah kanan
6. Buka dan on kan timbangan kemudian dilihat apakah timbangan sudah seimbang atau belum
7. Bahan ditambah atau dikurangi sampai diperoleh timbangan yang seimbang yang
ditunjukkan oleh letak jarum pada posisi nol, dan posisi timbangan off ketika bahan ditambah
atau dikurangi
8. Ambil bahan yang sudah ditimbang kemudian diberi nama sesuai nama yang tertera pada
botol persediaan bahan

AN OST
9. Cek ulang anak timbangan apakah berat yang diminta sesuai dengan resep kemudian

AT
dikembalikan ketempatnya

CIK REP
OB
10. Cek ulang apakah bahan yang diambi sudah sesuai dengan resep kemudian dikembalikan
ketempatnya.
PE D TO
SOP Konseling Resep
1. Obat diserahkan pada pasien sekaligus dicocokkan dengan data pasien
UT AN WE
RA

2. Mencocokkan obat dengan kondisi pasien dengan cara menanyakan pada pasien tentang
I, P P D LO

keluhan yang dialaminya


3. Memberitahukan pada pasien tentang obat yang diberikan dan tujuan penggunaan obat
AN SE AL

tersebut
4. Memberikan informasi pada pasien tentang aturan penggunaan obat (dosis, frekuensi, durasi,
TY RE T
SE AFT E NO

cara penggunaan), Menanyakan kembali tentang semua informasi yang telah disampaikan
untuk memastikan bahwa pasien telah paham dan mengerti tentang aturan penggunaan obat
RI

5. Memberitahukan pada pasien tentang Efek samping Obat (ESO) obat yang mungkin terjadi dan
DR U AR

cara penanganan yang mungkin bisa dilakukan oleh pasien terhadap efek samping yang terjadi
6. Menyarankan pasien untuk pergi ke dokter bila dirasa ESO cukup berat dan mengganggu
YO

7. Informasikan pada pasien tentang hal apa saja yang perlu dihindari atau yang perlu dilakukan
untuk menunjang keberhasilan terapi
8. Catat nama pasien, alamat dan nomor telpon pasein
Tugas
dr. Edi Santosa, Sp.PD. FINASIM
Spesialis Penyakit Dalam (INTERNIS)
Kantor: Praktek: Rumah:
SMF Penyakit Jl. Cemara V No. 37 Jl. Keruing VI No.
Dalam Yogyakarta 71
RSUP-Yogyakarta Apotek Sumber Telp. (0274)
Jln. Waru III No. Waras 537133
24 Telp. (0274) Yogyakarta
Telp. (0274) 638136
849247 Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta, 12 Februari 2018

AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA
I, P P D LO
AN SE AL
TY RE T

Pro: Arga (17 tahun)


SE AFT E NO

Alamat: Jl. Kekancan Mukti III No. 63 Yogyakarta


RI
DR U AR

Berdasarkan resep di atas:


a. Tuliskan aturan pemakaian (2)
b. Tuliskan dosis pemakaian sekali (2)
YO

c. Tuliskan dosis pemakaian sehari (2)


d. Tuliskan potensi obat (2)
e. Tuliskan etiket ….. (1) warna etiket ….. (1)

Unggah tugas dalam format pdf dengan nama file Tugas Resep_NIM pada halaman
belajar.usd.ac.id dalam bab Pelayanan Resep.
SKRINING RESEP

Pendahuluan
Pada bab pendahuluan, telah dipaparkan bahwa salah satu tugas apoteker dalam pelayanan
klinis di apotek, rumah sakit, dan puskesmas adalah melakukan skrining resep sesuai dengan
Standar Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Secara umum, skrining resep yang harus dilakukan mencakup 3 aspek, yaitu administratif,
farmasetis dan klinis (Gambar 4.1).

AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA

Gambar 4.1. Aspek dalam skrining resep menurut PerMenKes RI tentang standar
I, P P D LO

pelayanan kefarmasian di apotek


AN SE AL

Terdapat tiga tahap dalam pelayanan resep, yaitu penulisan resep (prescribing), pembacaan
TY RE T
SE AFT E NO

resep (transcribing) dan dispensing (dispensing). Kesalahan terapi dapat terjadi pada ketiga fase
tersebut. Kesalahan terapi pada tahap penulisan resep merupakan akibat dari kelalaian dokter
RI

penulis resep.
DR U AR

Contoh kelalaian yang sering terjadi adalah penulisan singkatan atau obat yang tidak sesuai
dengan nomenklatur, penulisan resep tidak lengkap sesuai peraturan yang ada, penulisan obat
yang diminta tidak lengkap (bentuk sediaan, kekuatan zat aktif) sehingga dapat meningkatkan
YO

resiko kesalahan penyiapan obat, dll. Sedangkan kelalaian pada fase pembacaan resep seringkali
terjadi karena apoteker kesulitan membaca tulisan tangan dokter, kurangnya pengetahuan
apoteker saat melakukan pengkajian resep, atau karena kondisi lingkungan yang tidak kondusif
sehingga dapat menurunkan konsentrasi saat membaca resep.
Fase dispensing menjadi tahap akhir dalam pelayanan resep, mulai dari menyiapkan obat,
memberikan label, mengemas, hingga menyerahkan obat kepada pasien. Tahapan yang cukup
kompleks ini rentan terhadap kesalahan yang mungkin terjadi. Beberapa kesalahan umum terjadi
pada saat menghitung jumlah obat yang akan diambil, sehingga berdampak pula pada kesalahan
pengambilan obat. Kesalahan penulisan etiket juga dapat terjadi sehingga dapat membahayakan
pasien. Proses peracikan obat yang tidak sesuai dengan good compounding practice juga dapat
menurunkan kualitas sediaan farmasi.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk menurunkan kejadian kesalahan terapi, salah satunya
dengan melakukan skrining resep. Skrining resep menjadi bagian di dalam tahap pembacaan
resep. Tahap ini sangat penting dilakukan untuk menjamin keabsahan resep dan mencegah
terjadinya kesalahan terapi.
Skrining resep dilakukan oleh Apoteker. Apoteker memiliki kemampuan untuk
menganalisis resep berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki. Pengetahuan tentang sifat
fisika kimia obat, teknik meracik, farmakoterapi, kimia medisinal, dll akan mendukung dalam
melakukan skrining resep. Ilmu-ilmu tersebut tidak diperoleh tenaga kesehatan lain secara
mendalam.
Skrining resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan
masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Apoteker harus
melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis
Aspek administratif
Aspek administratif dalam resep dilakukan untuk menjamin keabsahan resep dan
kelengkapan data pasien untuk kepentingan skrining di aspek lainnya. Secara umum, aspek
administratif terdiri dari identitas dokter, identitas pasien, dan tanggal penulisan resep. Terdapat
sedikit perbedaan terkait kelengkapan pada aspek administratif di RS dan di apotek. Perbedaan

AN OST
dapat dilihat pada tabel IV.1.

AT
Tabel IV.1. Perbedaan kelengkapan aspek administratif di apotek dan rumah sakit

CIK REP
OB
berdasarkan Peraturan menteri kesehatan tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di Apotek dan Rumah Sakit.
PE D TO
Apotek Rumah Sakit
a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan a. nama, umur, jenis kelamin, berat
berat badan; badan dan tinggi badan pasien;
UT AN WE
RA

b. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik b. nama dokter, nomor ijin, alamat
I, P P D LO

(SIP) dokter, alamat praktek, nomor rumah sakit dan paraf/tanda tangan
AN SE AL

telepon praktek dokter dan dokter;


paraf/tanda tangan dokter; dan c. tanggal penulisan resep; dan
TY RE T
SE AFT E NO

c. tanggal penulisan Resep. d. ruangan/unit asal Resep.


Nama pasien tentu penting untuk diketahui untuk melakukan konfirmasi terhadap pasien,
RI

agar obat yang akan diberikan “TEPAT PASIEN”. Umur, jenis kelamin, dan berat badan penting
DR U AR

untuk dicantumkan, karena nanti akan berkaitan langsung dengan kesesuaian dosis obat yang
diberikan.
Identitas dokter menjamin keabsahan resep. Resep harus ditulis oleh dokter, dokter gigi,
YO

atau dokter hewan yang memiliki surat ijin praktek. Nomor telepon dokter penting untuk
dicantumkan dalam resep, terutama pada pelayanan di apotek, agar ketika terdapat
permasalahan di dalam resep, apoteker dapat menghubungi dokter dengan mudah, sedangkan
jika di rumah sakit, karena dokter dan apoteker berada pada institusi yang sama, nomor telepon
dokter tidak perlu dicantumkan di dalam resep karena keduanya dapat berkomunikasi melalui
sambungan internal di rumah sakit.
Paraf dokter dalam suatu resep dapat menunjukkan keabsahan resep. Selain itu paraf juga
berfungsi untuk memisahkan antara invocatio yang satu dan yang lain, agar tidak rancu dalam
penyiapan obat. Tanggal penulisan resep dicantumkan untuk mempermudah dalam proses
administrasi resep.
Apa yang harus dilakukan jika aspek administrasi tidak lengkap? Aspek administrasi terkait
dengan informasi pasien dapat ditanyakan langsung. Jika kelengkapan identitas dokter tidak
lengkap dan mengarah pada kemungkinan pemalsuan resep, maka sebagai apoteker harus
mencari tahu informasi tersebut, untuk memastikan keabsahan resep. Pada intinya, aspek
administrasi perlu dikaji dengan seksama untuk memastikan keabsahan resep (mencegah
penyalahgunaan obat) dan untuk memberikan data yang berguna dalam pelayanan farmasi
klinik.
Pelayanan resep di apotek memungkinkan apoteker menerima salinan resep. Apakah
salinan resep juga perlu dilakukan skrining? Pada dasarnya ketika apoteker di apotek
sebelumnya menuliskan salinan resep, resep tersebut telah dikaji oleh apoteker tersebut. Namun,
kewajiban anda sebagai apoteker tetap harus melakukan skrining resep. Aspek administratif
pada salinan resep harus disesuaikan, kelengkapan identitas apotek (nama apotek, alamat,
nomor telepon, SIA, tanda tangan apoteker dan cap) sebagai salah satu indikator keabsahan
resep.
Aspek farmasetis
Aspek farmasetis di dalam resep perlu dikaji untuk memastikan kelengkapan dan
kesesuaian resep tersebut bagi pasien secara farmasetis. Terdapat sedikit perbedaan terkait
kelengkapan pada aspek administratif di RS dan di apotek. Perbedaan dapat dilihat pada tabel
IV.2.

AN OST
Tabel IV.2. Perbedaan kelengkapan aspek farmasetis di apotek dan rumah sakit

AT
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2016 tentang standar pelayanan

CIK REP
OB
kefarmasian di Apotek dan Rumah Sakit.
Apotek Rumah Sakit
PE D TO
a. Bentuk dan a. Nama obat, bentuk, dan
kekuatan sediaan; kekuatan sediaan;
b. Stabilitas; b. Dosis dan jumlah obat;
UT AN WE
RA

c. Kompatibilitas. c. Stabilitas;
I, P P D LO

d. Aturan dan cara penggunaan.


Terdapat perbedaan dalam standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit dan di apotek.
AN SE AL

Dosis dan jumlah obat serta aturan dan cara penggunaan merupakan bagian dari aspek
farmasetis di Standar pelayanan kefarmasian di RS, sedangkan jika diamati pada standar
TY RE T
SE AFT E NO

pelayanan kefarmasian di Apotek, kedua hal tersebut termasuk dalam aspek klinis.
Pada bab ini, aspek farmasetis yang akan dibahas lebih lanjut adalah nama obat, bentuk
RI

sediaan dan kekuatan, kompatibilitas, dan stabilitas.


DR U AR

Skrining resep terhadap aspek farmasetis dilakukan untuk melihat kesesuaian sediaan yang
ditulis dokter bagi pasien. Dalam aspek ini dinilai pula kompatibilitas obat (terutama pada
YO

sediaan racikan) dan stabilitasnya.


A. Nama, Bentuk sediaan dan kekuatan
Nama, bentuk sediaan dan kekuatan harus tercantum dalam suatu resep dan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Nama obat dapat berupa nama generik maupun nama dagang suatu obat. Hal
ini penting untuk mencegah kesalahan dalam penyiapan obat, khususnya apabila suatu zat aktif
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan atau lebih dari 1 kekuatan.
R/ Paracetamol X
Stdd1
----------------------
Perhatikan resep di atas. Contoh paling mudah untuk menggambarkan pentingnya
kelengkapan dalam aspek administrasi adalah resep dengan permintaan parasetamol. Resep
tersebut belum lengkap penulisannya, tidak diketahui bentuk sediaan apa yang dikehendaki
termasuk kekuatannya, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan penyiapan obat.
Parasetamol tersedia dalam berbagai bentuk sediaan seperti tablet, sirup, drop, suspensi,
supositoria, bahkan sediaan intravena.
Apabila dalamsuatu resep tidak dituliskan dengan jelas bentuk sediaan apa yang dimaksud
dapat beresiko terjadi kesalahan penyiapan obat di fase dispensing. Selain itu, dalam suatu
bentuk sediaan tertentu, ada kemungkinan kekuatan yang berbeda. Contohnya sediaan suspensi
parasetamol dari nama dagang tertentu memiliki 2 kekuatan, yaitu 125 mg/5 mL dan 250 mg/5
mL atau sediaan tablet dengan kekuatan 500 mg atau 650 mg per tablet. Apabila kekuatan tidak
dicantumkan, dapat berpotensi terjadi kesalahan atau ketidak sesuaian dosis pada saat
digunakan.
Sebaiknya dalam suatu resep dituliskan dengan jelas nama obat, bentuk sediaan, dan
kekuatannya. Contoh resep dengan parasetamol di atas jika ditulis dengan lengkap dapat
dituliskan sebagai berikut:
R/ Parasetamol tablet 500 mg no X
S t d d 1 tab
----------------------------
Bagaimana jika kita mendapatkan resep dari dokter yang tidak lengkap penulisan nama,

AN OST
bentuk sediaan, dan kekuatannya? Apabila obat tersebut memang hanya memiliki 1 bentuk

AT
sediaan dan 1 kekuatan saja, maka itu bukan menjadi masalah, namun jika diketahui obat

CIK REP
OB
tersebut memiliki lebih dari 1 bentuk sediaan dan atau kekuatan, maka ada baiknya kita
menanyakan kepada dokter penulis resep untuk mencegah kesalahan dalam menyiapkan obat.
PE D TO
B. Kompatibilitas
Kompatibilitas merupakan salah satu aspek farmasetis yang memperhatikan
UT AN WE
RA

ketercampuran bahan. Kompatibilitas menjadi aspek penting untuk dikaji, terutama pada resep
racikan. Inkompatibilitas merupakan suatu peristiwa ketidakcampuran/ ketidakcocokan/
I, P P D LO

ketidaksesuaian. Dalam sediaan farmasi, inkompatibilitas dapat terjadi antara obat, bahan
AN SE AL

tambahan, impuritis, kemasan, maupun alat peracik.


Secara umum, inkompatibilitas dapat dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu inkompatibilitas
TY RE T
SE AFT E NO

fisik, inkompatibilitas kimia, dan inkompatibilitas terapetik. Pada sub bab ini, pembahasan akan
terfokus pada inkompatibilitas fisik dan kimia, sedangkan inkompatibilitas terapetik termasuk
RI

dalam interaksi obat dalam subbab selanjutnya, yaitu aspek klinis.


DR U AR

Inkompatibilitas fisik suatu sediaan dapat diamati langsung. Beberapa indikator terjadinya
inkompatibilitas adalah munculnya endapan, perubahan warna, memisahnya fase pada suatu
YO

sistem dispersi, terjadinya segregasi pada serbuk, dll. Inkompatibilitas fisik dapat pula
dipengaruhi oleh inkompatibilitas kimia dari suatu campuran, misalnya pengendapan akibat
desolvasi molekul organik non ionik dalam suatu sediaan.
Inkompatibilitas fisik sering terjadi pada sistem dispersi, baik suspensi maupun emulsi.
Pada sediaan emulsi (baik cair maupun semipadat dalam bentuk krim) pemisahan antara fase
minyak dan fase air juga merupakan bentuk inkompatibilitas. Contoh peristiwa ini dapat terjadi
ketika dokter meresepkan sediaan racikan semipadat dari 2 sediaan yang berbeda yaitu salep
dan gel. Salep terutama dengan basis hidrokarbon merupakan fase minyak yang tidak dapat
bercampur dengan gel yang merupakan sediaan dengan basis air,
Inkompatibilitas kimia dapat terjadi karena adanya interaksi antara senyawa yang satu
dengan yang lain. Potensi inkompatibilitas dapat diprediksi dengan melihat gugus fungsional dari
masing-masing zat aktif yang akan diracik, serta potensi ketidakcampurannya. Beberapa contoh
dapat diamati pada tabel IV.3 .
Berdasarkan tabel IV.3, obat-obat dengan gugus amin primer memiliki potensi
inkompatibel dengan monosakarida berupa reaksi mailard. Beberapa obat dengan gugus amin
primer adalah asiklovir, ranitidin, vitamin B1, metoklopramid, amlodipin, metformin, dll.
Sakarida yang sering digunakan sebagai bahan tambahan adalah laktosa.
Sebagai contoh, apabila kita memiliki serbuk vitamin B1 kemudian kita campur dengan
laktosa, maka ada potensi terjadi reaksi mailard. Hal yang harus kita ingat kembali adalah
bahwasanya peracikan di Indonesia saat ini sudah sangat jarang yang menggunakan bahan baku
obat, seringkali dilakukan peracikan dari bentuk sediaan yang sudah ada.

Tabel IV.3 Daftar gugus fungsional dan potensi inkompatibilitasnya


Gugus Inkompatibel Tipe reaksi
fungsional dengan

Amin primer Monosakarida dan Reaksi Maillard


disakarida

AN OST
AT
Ester air Hidrolisis

CIK REP
OB
Lakton Air, basa Hidrolisis (ring
opening)
PE D TO
Karboksil Basa Pembentukan garam
UT AN WE

Alkohol Oksigen Oksidasi menjadi


RA

aldehid dan keton


I, P P D LO

Sulfihidril Oksigen Dimerisasi


AN SE AL

Phenol Logam kompleksasi


TY RE T
SE AFT E NO

Gelatin Surfaktan kationol Denaturasi


RI
DR U AR

Apabila dalam resep kita diminta untuk mencampurkan tablet parasetamol dengan tablet
vitamin B1, akan ada potensi inkompatibilitas antara Vitamin B 1 dengan bahan tambahan yang
mungkin ada pada tablet parasetamol (bisa jadi terdapat laktosa sebagi bahan pengisi tablet
YO

parasetamol. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi seorang apoteker untuk mendeteksi
adanya ketidakcampuran antara satu bahan dengan bahan yang lain, yaiutu minimnya informasi
tentang kandungan bahan tambahan dalam suatu sediaan farmasi, khususnya obat dan obat
tradisional.
Hal penting yang harus kita ingat adalah inkompatibilitas suatu sediaan racikan bukan
hanya peristiwa teoritis saja. Telah banyak studi yang menunjukkan bahwa beberapa hasil
sediaan yang diracik mengalami inkompatibilitas (baik sediaan steril dan non steril).
Penelitian yang dilakukan oleh Yohana (2011) menunjukkan bahwa dari 183 resep racikan
terdapat inkompatibilitas fisika 40 resep (21,85%) dimana sediaan serbuk yang diracik menjadi
lembab pada sediaan dan juga ditemukannya inkompatibilitas kimia sebanyak 4 resep (2,18%)
dimana serbuk yang diracik bisa potensial terjadi reaksi oksidasi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lucida dkk (2014)pada peracikan sediaan steril
menunjukkan bahwa terjadi inkompatibilitas dan instabilitas sefotaksim dalam aqua p.i. berupa
perubahan warna, dan inkompatibilitas sediaan steril iv admixture fenitoin dengan larutan NaCl
0,9% yang menyebabkan praesipitasi. Inkompatibilitas juga bisa terjadi akibat ketidaksesuaian
pencampuran yang dilakukan di RS dibandingkan dengan instruksi dr pabrik pembuat sediaan.
Secara praktis, hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi inkompatibilitas adalah dengan:
1. Menambahkan bahan tambahan lain yang dapat membantu meningkatkan
ketercampuran bahan
2. Memisahkan bahan obat yang berpotensi mengalami inkompatibilitas menjadi 2 sediaan
yang berbeda
Pemberian suatu bahan tambahan untuk mengatasi inkompatibilitas juga harus
memperhatikan ketercampuran antara bahan yang akan ditambahkan dengan bahan yang ada
pada resep. Jangan sampai bahan yang ditambahkan justru menimbulkan permasalahan baru.
Sebagai contoh, anda mendapatkan resep dengan komponen sebagai berikut:
R/ Ibuprofen 400 mg tablet V
Siruplus simplek ad 75 mL
m f syr

AN OST
S t d d 1 cth

AT
----------------------------------------------

CIK REP
OB
Peracikan obat di atas, berpotensi mengalami inkompatibilitas fisik berupa pengendapan.
Tablet ibuprofen juga dapat mengandung beberapa bahan tambahan yang tidak larut air. Salah
PE D TO
satu solusi yang ditawarkan untuk memperlambat laju pengendapan adalah dengan
menambahkan bahan pensuspensi atau bahan pengental, sehingga sediaan dapat bercampur
dengan baik dan merata. Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai bahan pensuspensi
UT AN WE
RA

adalah polisorbat.
Penambahan polisorbat pada resep tersebut mungkin merupakan solusi yang baik untuk
I, P P D LO

menjamin ketercampuran obat, namun jika ditelisik lebih lanjut polisorbat inkompatibel dengan
AN SE AL

ibuprofen. Senyawa impuritis dalam polisorbat dapat berpotensi menyebabkan oksidasi pada
ibuprofen dan degradasi ibuprofen menjadi lebih cepat. Sehingga, polisorbat sebaiknya tidak
TY RE T
SE AFT E NO

digunakan pada sediaan racikan tersebut. Sangat penting bagi seorang apoteker untuk
menentukan bahan tambahan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin sediaan
RI

farmasi aman dan efektif.


DR U AR

Dalam kondisi tertentu, jika ditemukan resep yang berpotensi mengalami


inkompatibilitas dan benar-benar tidak memungkinkan untuk dicampur, maka seorang apoteker
dapat memberikan usulan dan pertimbangan kepada dokter penulis resep untuk memisahkan
YO

bahan-bahan yang inkompatibel atau mengubah bentuk sediaannya. Sebagai contoh, apabila
terdapat resep sebagai berikut:
R/ Aspirin tablet 500 mg no VI
Siruplus simplex ad 75 mL
M f syr
S t d d 1 cth
-----------------------------------------------
Permintaan pada resep di atas adalah untuk meracik sediaan sirup dengan
mencampurkan aspirin tablet dan siruplus simpleks. Aspirin merupakan obat dengan kandungan
asam asetil salisilat (asetosal). Jika diamati pada struktur molekul asetosal, terdapat gugus ester.
Pada tabel IV.3 diketahui bahwa gugus ester inkompatibel dengan air karena dapat menyebabkan
hidrolisis. Sehingga apabila asetosal dicampurkan dengan siruplus simplek yang mengandung air
dapat menyebabkan hidrolisis pada asetosal dan menghasilkan asam salisilat serta asam asetat
(Mekanisme reaksi hidrolisis aspirin dapat diamati pada gambar 4.1).
Aspirin air asam salisilat asam asetat

Gambar 4.1. Hidrolisis aspirin


Peristiwa hidrolisis ini tidak dapat dicegah. Sehingga sangat tidak memungkinkan untuk
membuat sediaan cair dengan kandungan aspirin. Apabila ditemukan hal semacam ini, kita dapat
mendiskusikan dengan dokter untuk memberikan alternatif bentuk sediaan lain yang lebh
memungkinkan, seperti tablet hisap dengan kandungan asetosal (tersedia di pasaran), karena
jika dibuat dalam bentuk sediaan pulveres, aspirin masih rentan mengalami hidrolisis akibat
pengaruh lembab di udara dan luas permukaan serbuk yang besar.

AN OST
Inkompatibilitas dapat berdampak pada sifat fisika kimia obat, stabilitas produk,

AT
ketersediaan hayati, efektivitas terapi, dan keamanan. Apabila dalam suatu resep racikan

CIK REP
OB
terdapat potensi inkompatibilitas yang terdeteksi oleh apoteker, maka apoteker harus
memikirkan solusi terbaik untuk menyiapkan obat tersebut, atau apabila memang
inkompatibilitas tersebut tidak dapat teratasi dengan langkah-langkah praktis, apoteker dapat
PE D TO
berkomunikasi dengan dokter untuk mengubah resep sediaan racikan yang berpotensi
mengalami inkompatibilitas tersebut menjadi sediaan terpisah.
UT AN WE
RA

C. Stabilitas
I, P P D LO

Stabilitas sediaan racikan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Stabilitas suatu
AN SE AL

obat dimengerti sebagai kemampuan sediaan farmasi untuk dapat mempertahankan sifat dan
kualitasnya. Secara umum stabilitas terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:
TY RE T

1. Stabilitas fisik
SE AFT E NO

Kemampuan suatu obat mempertahankan sifat fisik originalnya, seperti penampilan,


RI

warna, rasa, keseragaman, disolusi, ketercampuran (terutama sediaan bifase), dll.


DR U AR

2. Stabilitas kimia
Kemampuan suatu obat untuk mempertahankan kandungan zat aktifnya (kadar dan
kemurnian) sesuai dengan yang tercantum pada label/etiket.
YO

3. Stabilitas mikrobiologi
Kemampuan suatu obat untuk mempertahankan sterilitasnya atau menghindari
kontaminasi mikrobia.
4. Stabilitas terapetik
Kemampuan suatu obat untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan efek terapi setelah
periode/ masa penyimpanan tertentu.
5. Stabilitas toksikologi.
Kemampuan suatu obat untuk menjaga agar tidak terjadi peningkatan toksisitas setelah
periode/ masa penyimpanan tertentu.
Stabilitas kimia menjadi sangat penting dalam menentukan kondisi penyimpanan (suhu,
cahaya, kelembaban), kemasan, dan antisipasi interaksi pada saat diracik. Stabilitas suatu obat
bergantung pada kinetika reaksi yang dapat dipengaruhi pula oleh solven, tekanan, dan suhu.
Terkait dengan stabilitas kimia, reaksi hidrolisis dan oksidasi merupakan dua jenis
mekanisme degradasi yang sering dihadapi oleh obat. Hidrolisis merupakan proses degradasi
obat akibat pelarut dalam hal ini adalah air sehingga menghasilkan senyawa lain. Dalam dunia
farmasi, obat-obat yang rentan mengalami hidrolosis adalah senyawa dengan gugus fungsi ester,
amida, lakton, dan laktam.
Oksidasi merupakan proses degradasi yang terjadi akibat hilangnya elektron dari suatu
atom atau molekul. Elektron yang terlepas akan ditangkap oleh atom atau molekul lain sehingga
menyebabkan reduksi pada molekul aseptor. Oksidasi dapat dipengaruhi oleh adanya radikal
bebas, dan dikatalisis oleh oksigen, cahaya, logam, dll
Dalam pengkajian resep, aspek stabilitas menjadi sangat penting untuk diperhatikan untuk
melihat apakah dalam suatu resep, jumlah obat yang diberikan kepada pasien sesuai dengan
stabilitas sediaan tersebut, atau bahan yang dicampurkan dapat menjaga stabilitas sediaan atau
tidak.
Stabilitas sediaan racikan tidak bisa disamakan dengan sediaan farmasi produk jadi dari
suatu pabrik. Stabilitas produk jadi dari industri farmasi dapat diketahui karena telah dilakukan
studi stabilitas yang kemudian diperoleh waktu kadaluarsa. Sediaan racikan (terutama yang
belum terstandar) belum ada studi stabilitasnya, sehingga tidak dapat diklaim kualitasnya hingga

AN OST
waktu tertentu.

AT
Stabilitas sediaan racikan tidak dapat menggunakan waktu kadaluarsa dari obat-obat yang

CIK REP
OB
diraciknya. Dalam dunia farmasi dikenal istilah waktu boleh dipakai atau beyond use date (BUD).
Farmakope Indonesia edisi V tidak mengatur tentang BUD sediaan racikan steril dan non steril.
PE D TO
Namun kita dapat mengacu pada beberapa referensi lain, salah satunya adalah United States
Pharmacopoeia (USP).
Aspek klinis
UT AN WE
RA

Skrining aspek klinis perlu dilakukan untuk menjamin ketepatan pemberian obat terhadap
I, P P D LO

indikasi, dosis, durasi, efek samping yang mungkin muncul, interaksi obat, polifarmasi, duplikasi,
dan kontraindikasi. Banyak studi yang menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul dalam
AN SE AL

aspek klinis adalah ketidaksesuaian dosis dan polifarmasi. Hal ini tentu dapat berpotensi
menyebabkan terapi yang tidak optimal bagi pasien.
TY RE T
SE AFT E NO

A. Tepat Indikasi
Obat yang diresepkan oleh dokter dapat dikatakan tepat indikasi apabila obat yang dipilih
RI

untuk pasien tersebut telah teruji secara klinis dapat mengatasi penyakit berdasarkan diagnosis
DR U AR

dokter. Penggunaan obat-obat off-label dapat meningkatkan resiko kesalahan dalam pengobatan,
karena tidak sesuai dengan indikasi obat yang sebenarnya.
YO

B. Tepat dosis
Obat harus tepat dosis bagi pasien. Tepat dosis bearti regimen dosis obat yang diberikan
kepada pasien sudah sesuai dengan rentang dosis lazim obat dan harus berada di bawah dosis
maksumum. Ketepatan dosis obat dapat dilihat dengan membandingkan dosis obat berdasarkan
resep dokter dengan dosis lazim berdasarkan literatur. Perhitungan dosis sangat penting untuk
dilakukan erutama terhadap obat-obat dengan indeks terapi yang sempit seperti fenitoin atau
obat-obat dengan resiko klinis yang tinggi.
C. Tepat durasi
Durasi merupakan lamanya penggunaan obat untuk menhasilkan efek terapi yang
dibutuhkan. Durasi obat sangat penting untuk diperhatikan terutama obat-obat untuk penyakit
kronis, antibiotik, antivirus, anti jamur, dll. Terdapat durasi minimal penggunaan yang harus
dipenuhi. Sebagai contoh, Azithromisin merupakan antibiotik yang digunakan selama 3 hari
dengan aturan pakai 1 kali sehari. Maka jumlah minimal obat yang diberikan harus memenuhi
penggunaan minimalnya, yaitu 3 tablet.
D. Adanya efek samping yang mungkin muncul
Efek samping merupakan dampak negatif yang muncul pada penggunaan dalam rentang
dosis lazim. Efek samping antar individu yang mendapatkan obat serupa dapat berbeda-beda,
tergantung respon masing-masing. Efek samping dapat muncul mulai dari pusing, mual, muntah,
pendarahan, gatal-gatal, rasa terbakar, dll.
E. Interaksi obat
Interaksi obat merupakan salah satu bentuk ketidaksesuaian obat yang terjadi di dalam
tubuh. Secara umum dampak dari interaksi obat dapat bersifat minor, mayor, hingga sangat
berbahaya (critical). Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya interaksi obat dalam
suatu resep adalah dengan melakukan pengecekan di literatur seperti Drug Information
Handbook atau di situs-situs online seperti medscape drug interaction checker. Interaksi obat
dapat dicegah dengan memberikan jeda pemberian obat yang pertama dan yang kedua.
F. Polifarmasi dan duplikasi
Polifarmasi merupakan kondisi dimana seorang pasien mendapatkan obat dalam jumlah
yang sangat banyak. Terdapat beberapa literatur yang menyatakan bahwa apabila dalam suatu

AN OST
resep terdapat lebih dari 5 jenis obat maka dapat dikatakan pasien tersebut menerima

AT
polifarmasi. Sedangkan yang dimaksud dengan duplikasi adalah apabila pasien menerima obat

CIK REP
OB
yang sama (kandungan sama namun berbeda merek) atau pasien menerima obat untuk indikasi
tertentu dengan golongan obat yang sama atau bahkan mekanisme aksi yang sama, mungkin
PE D TO
dapat menimbulkan efek potensiasi dan atau sinergisme sehingga berpotensi menyebabkan
overosis.
G. Kontra indikasi
UT AN WE
RA

Kontra indikasi merupakan suatu kondisi dimana obat tidak dapat diberikan kepada pasien
I, P P D LO

karena kondisi khusus yang dimiliki atau dialami pasien. Terdapat beberapa obat yang
dikontraindikasikan untuk ibu hamil karena dapat memberikan dampak buruk kepada janin,
AN SE AL

anak-anak karena dapat menghambat pertumbuhan, ibu menyusui karena obat diekskresi
melalui air susu ibu, penderita penyakit tertentu karena dapat memperparah kondisi pasien, dll.
TY RE T
SE AFT E NO

RI
DR U AR
YO
Contoh kasus skrining resep
Berikut adalah contoh resep untuk dilakukan skrining resep.
dr. Rina Rini, Sp.KK
SIP. 503/2022/SIP/VI-2018
Jalan Sedih Bahagia no 23, Yogyakarta
0274 – 111 2222
Yogyakarta, 12 Juli 2018

R/ Melanox cr® I
S u e malam

R/ Benzolac – CL ® I tube
Vitacid® I tube
Natur E® 3 caps

AN OST
M f cr

AT
S2dd1

CIK REP
OB
R/ Natur E® XX
S 1 d d 1 pagi
PE D TO
UT AN WE

Pro: Amelia
RA

Usia: 25 tahun
I, P P D LO

Alamat: Jalan Makmur no 1 Yogyakarta


AN SE AL

Resep berikut merupakan salah satu resep yang ditulis oleh dokter, mengandung resep racikan
TY RE T

sediaan semipadat. Pasien membawa resep tersebut ke apotek untuk memperoleh obatnya.
SE AFT E NO

Berikut adalah informasi mengenai obat-obat yang terdapat dalam resep tersebut:
RI

- Melanox mengandung senyawa aktif hidrokuinon


DR U AR

- Benzolac-CL mengandung senyawa aktif Benzoil peroksida 5% dan clindamisin HCl 2,5%,
- Vitacid mengandung vitamin A dengan kekuatan 0,05% dan 0,025%
- Natur E mengandung vitamin E dengan kekuatan 100 iu
YO

Mari kita coba lakukan skrining resep untuk kasus tersebut.


1. Aspek administratif.
a. Identitas dokter
Identitas dokter sudah lengkap, karena memuat nama dokter, nomor surat izin praktek
dokter, alamat praktek, nomor telepon, dan paraf dokter.
b. Identitas pasien
Pada resep tersebut sudah ada identitas pasien berupa nama, usia dan alamat. Informasi
tentang berat badan dan jenis kelamin pasien belum tercantum
c. Tanggal penulisan resep
Tanggal penulisan resep sudah tertulis, yaitu 12 Juli 2018
Berdasarkan kajian di atas, dapat dikatakan bahwa resep ini belum memenuhi aspek
administratif, terutama pada bagian identitas pasien.
2. Aspek farmasetis
a. Bentuk dan kekuatan sediaan
Pada invocatio pertama, sudah tertulis bentuk sediaan namun belum tertulis kekuatan,
sedangkan pada invocatio kedua dan ketiga belum tercantum nama da bentuk sediaan.
Padahal jika ditilik kembali, Vitacid mengandung vitamin A dengan kekuatan 0,05% dan
0,025%.
Karena belum tercantum dalam resep, harus ditanyakan kepada dokter penulis resep
Dari segi kesesuaian bentuk sediaan, sudah sesuai bagi pasien yang menderita keluhan
pada kulit, sehingga diberikan terapi secara topikal dan peroral.
b. Kompatibilitas
Pada invocatio kedua, perlu dilakukan peracikan terhadap salep Benzolac-Cl® , Vitacid® dan
NaturE®. Terdapat potensi ketidakcampuran fisik karena Benzolac-Cl® tersedia dalam
bentuk sediaan gel (basis air) sedangkan Vitacid dan NaturE mengandung bahan aktif yang
larut dalam lemak. Vitamin A dan vitamin E yang tidak terlarut dalam air dapat mengurangi
ketercampuran di dalam basis.
Potensi ketidakcampuran lain ada pada sifat bahan aktifnya. Apabila kedua sediaan

AN OST
tersebut diracik, ada potensi interaksi antara benzoil peroksida (oksidator kuat) dengan

AT
vitamin A dan vitamin E sehingga dapat menurunkan efektifitas kedua vitamin tersebut.

CIK REP
OB
c. Stabilitas
Stabilitas sediaan racikan perlu diperhatikan. Karena terdapat potensi inkompatibilitas,
PE D TO
maka berpengaruh juga terhadap stabilitas produk. Apabila interaksi antara benzoil
peroksida dan vitamin A dan E terjadi maka dapat menurunkan stabilitas kimia sediaan
yang ditunjukkan dengan menurunnya kadar vitamin A dan E akibat degradasi (reaksi
UT AN WE
RA

oksidasi).
I, P P D LO

Berdasarkan kajian di atas, dapat dikatakan bahwa resep tersebut belum memenuhi
aspek farmasetis. Perlu dikomunikasikan kepada dokter terkait dengan potensi
AN SE AL

inkompatibilitas dan potensi instabilitas pada sediaan racikan tersebut.


3. Aspek Klinis
TY RE T
SE AFT E NO

Aspek klinis berkaitan dengan indikasi, dosis, durasi, efek samping yang mungkin muncul,
interaksi obat, polifarmasi, duplikasi, dan kontraindikasi. Berdasarkan resep tersebut, jika
RI

keluhan pasien adalah untuk menghilangkan jerawat beserta noda hitam bekas jerawat, maka
DR U AR

resep tersebut sudah tepat indikasi. Terkait dengan dosis dan durasi dirasa sudah sesuai juga,
namun dari segi penggunaan obat, signa untuk sediaan racikan semipadat tersebut masih
YO

kurang tepat.
Vitacid tidak boleh digunakan pada pagi hari (harus malam hari terkait dengan mekanisme
aksinya). Pada signatura tertulis sediaan tersebut digunakan 2 kali sehari, bearti pagi dan
mala. Seharusnya vitacid hanya boleh digunakan pada malam hari.
Terkait dengan duplikasi dan polifarmasi, resep diatas tidak bermasalah dengan kontra
indikasi, duplikasi dan polifarmasi, meskipun terdapat Natur E di 2 invocatio yang berbeda,
namun karena digunakan melalui rute yang berbeda dan masih memenuhi dosis penggunaan
maka tidak ada masalah dengan hal tersebut. Interaksi obat yang terjadi diantara Benzolac-Cl
dengan Vitacid dan Natur E secara kimia akan mempengaruh efek klinis dari sediaan yang
dihasilkan menjadi tidak optimal.

Ringkasan
Skrining resep menjadi salah satu bagian dalam pelayanan resep. Skrining resep secara
umum meliputi aspek administratif, aspek farmasetis, dan aspek klinis. Resep yang baik harus
memenuhi ketiga aspek tersebut. Apabila dalam resep terdapat ketidaklengkapan atau
ketidaksesuaian, maka apoteker dapat melakukan diskusi dengan dokter penulis resep untuk
memberikan beberapa alternatif yang mungkin untuk dilakukan.
Aspek administratif menjadi sangat penting untuk diperhatikan sebagai jaminan legalitas
resep dan kelengkapan data pasien. Aspek farmasetik menjadi hal dasar penting yang sangat
berpengaruh terhadap kualitas fisik dan kimia sediaan, terutama racikan. Sediaan racikan yang
berkualitas, stabil, dan aman dapat menunjang efek klinis obat tersebut, sehingga terapi dapat
tercapai.
Sangat penting bagi seorang Apoteker memahami aspek-aspek tersebut, sehingga dapat
melakukan skrining resep dengan baik.

AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA
I, P P D LO
AN SE AL
TY RE T
SE AFT E NO

RI
DR U AR
YO
Tugas
dr. Veronica, Sp.PD. FINASIM
Spesialis Penyakit Dalam (INTERNIS)
Kantor: Praktek: Rumah:
SMF Penyakit Jl. Durian Raya I Jl. Kenanga I No.
Dalam No. 73 Yogyakarta 23 Yogyakarta
RSUP-Yogyakarta Apotek Sahabat
Jln. Sriwijaya II No. Setia
54 Yogyakarta Yogyakarta
Yogyakarta, 05 Februari 2018

AN OST
AT
CIK REP
OB
PE D TO
UT AN WE
RA
I, P P D LO
AN SE AL
TY RE T
SE AFT E NO

Pro: Angel (10 tahun)


RI

Alamat: Jl. Beringin Timur III No. 82 Yogyakarta


DR U AR

Berdasarkan resep di atas:


YO

Lakukan skrining resep mengenai kelengkapan dari aspek administratif, aspek farmasetis dan
aspek klinis!
Unggah tugas dalam format pdf dengan nama file Tugas Skrining Resep_NIM pada halaman
belajar.usd.ac.id bab Pelayanan Resep Resep.

Anda mungkin juga menyukai