Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai
penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai
pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat
dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Tidak kalah penting, obat harus selalu digunakan
secara benar agar memberikan manfaat klinik yang optimal. Terlalu banyaknya jenis obat yang
tersedia ternyata juga dapat memberikan masalah tersendiri dalam praktek, terutama menyangkut
bagaimana memilih dan menggunakan obat secara benar dan aman. Para pemberi pelayanan
(provider) atau khususnya para dokter (prescriber) harus selalu mengetahui secara rinci, obat
yang dipakai dalam pelayanan. Di banyak sistem pelayanan kesehatan, terutama di negara-
negara berkembang, informasi mengenai obat maupun pengobatan yang sampai ke para dokter
seringkali lebih banyak berasal dari produsen obat. Informasi ini seringkali cenderung
mendorong penggunaan obat yang diproduksi oleh masing-masing produsennya dan kurang
obyektif.
Dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, mutlak diperlukan sumber informasi obat yang
netral, agar para dokter dapat memperoleh informasi yang obyektif setiap saat memerlukannya.
Salah satu bentuk informasi obat yang komprehensif adalah buku informatorium nasional. Pada
dasarnya, pengertian formatorium obat adalah kumpulan informasi dari produk-produk obat
yang telah diijinkan untuk digunakan dalam suatu sistem pelayanan kesehatan.
Informatorium Obat Nasional Indonesia atau disingkat IONI, memuat informasi mengenai
produk-produk obat yang disetujui beredar di Indonesia. Sesuai ketentuan yang berlaku, sebelum
disetujui beredar di Indonesia, obat harus melalui penilaian khasiat, keamanan dan mutu,
sehingga obat yang beredar telah memenuhi 3 kriteria tersebut. Informasi tersebut mencakup
informasi mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik obat, indikasi dan cara penggunaannya,
keamanannya dan informasi lainnya. Pengembangan IONI tidak terlepas dari prinsip kedokteran
berdasarkan bukti (evidence-based medicine), dengan informasi yang dicantumkan adalah yang
paling banyak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang berkaitan dengan kemanfaatan dan
keamanan penggunaan obat. Informasi yang dimuat dalam suatu informatorium merupakan
informasi yang telah ditelaah secara cermat berdasarkan data penelitian.
Kepentingan dan manfaat informatorium dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
Penggolongan Obat
Terdapat tiga jenis golongan obat yaitu obat bebas, obat bebas terbatas dan obat keras.
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda
khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna
hitam.
Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa dengan resep dokter,
tapi disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna
biru dengan garis tepi hitam.
Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda
peringatan untuk aturan pakai obat, karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini
aman dipergunakan untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa empat persegi panjang
dengan huruf putih pada dasar hitam yang terdiri dari 6 macam, yaitu:
Obat Keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Ciri-cirinya adalah
bertanda lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah yang
menyentuh garis tepi. Obat ini hanya boleh dijual di apotik dan harus dengan resep dokter pada
saat membelinya.
Peran apoteker di apotik dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta
pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan
sendiri.
Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter, namun
harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan penggunaan obat DOWA harus dengan
bimbingan apoteker. Daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri
Kesehatan. Sampai saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep
dokter.
Obat Esensial
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling diperlukan untuk pelayanan kesehatan, mencakup
upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit
pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan melalui Daftar Obat Esensial Nasional, Pedoman
Pengobatan, Formularium Rumah Sakit dan Informatorium Obat Nasional Indonesia. Keempat
komponen ini merupakan komponen yang saling terkait untuk mencapai peningkatan
ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan penggunaan obat.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan
dan yang diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
Dari sisi medis, obat esensial sedikit banyak dapat dikaitkan dengan obat pilihan (drug of
choice). Dalam hal ini hanya obat yang terbukti memberikan manfaat klinik paling besar, paling
aman, paling ekonomis, dan paling sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada yang
dimasukkan sebagai obat esensial.
Tujuan kebijakan obat esensial adalah untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan
penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya
yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kriteria obat esensial yang dibuat oleh Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) dan juga telah diadopsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit risk ratio) yang paling menguntungkan pasien
Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan hayati (bioavailability)
Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan
fasilitas kesehatan
Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak langsung
Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,maka pilihan
diberikan kepada obat yang:
o Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
o Sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak menguntungkan
o Stabilitas yang paling baik
o Paling mudah diperoleh
o Obat yang telah dikenal
Obat jadi kombinasi tetap, dengan kriteria sebagai berikut:
o Obat bermanfaat bagi pasien hanya bila dalam bentuk kombinasi tetap
o Kombinasi tetap terbukti memberikan khasiat dan keamanan lebih baik dibanding
masing-masing komponennya
o Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang
tepat untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut.
o Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat dan keamanan
o Kombinasi antibakteri harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
resistensi atau efek merugikan lain.
Di Indonesia, penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus di semua
unit pelayanan kesehatan.
Obat Generik
Obat yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai oleh
masing-masing produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan promosi untuk masing-
masing produknya, maka harga obat dengan nama dagang umumnya lebih mahal. Kebijakan obat
generik adalah salah satu kebijakan untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan
dengan nama bahan aktifnya.
Agar para dokter dan masyarakat dapat menerima dan menggunakan obat generik, diperlukan
langkah-langkah pengendalian mutu secara ketat. Di Indonesia, kewajiban menggunakan obat
generik berlaku di unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah.
Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka
kebijakan tersebut mencakup komponen-komponen berikut:
Produksi obat generik dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Produksi
dilakukan oleh produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan
kebutuhan akan obat generik dalam pelayanan kesehatan.
Pengendalian mutu obat generik secara ketat.
Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan sesuai dengan
Cara Distribusi Obat yang Baik
Peresepan berdasarkan nama generik, bukan nama dagang.
Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit-unit
pelayanan kesehatan.
Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara
berkesinambungan.
Pemantauan dan evaluasi berkala terhadap penggunaan obat generik.
Mutu obat generik tidak perlu diragukan mengingat setiap obat generik juga mendapat perlakuan
yang sama dalam hal evaluasi terhadap pemenuhan kriteria khasiat, keamanan dan mutu obat.
Namun, sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa penggunaan obat generik mulai menurun.
Untuk itu hasil dari pemeriksaan mutu dan informasi mengenai obat generik harus selalu
dikomunikasikan kepada pemberi pelayanan maupun ke masyarakat luas.
Formularium Rumah Sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan
Terapi (KFT) Rumah Sakit berdasarkan DOEN dan disempurnakan dengan mempertimbangkan
obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku.
Mengingat pengembangan dan penerapan FRS adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan
melalui penggunaan obat yang aman, efektif, rasional dan juga dalam rangka efisiensi biaya
pengobatan, maka pengembangan FRS perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait di rumah
sakit, yakni pihak pengelola obat, manajemen rumah sakit, dan keahlian- keahlian klinik yang
ada. Keputusan untuk memasukkan suatu obat dalam FRS harus didasarkan atas kesepakatan
akan kriteria tertentu yang mencakup bukti, manfaat klinis obat, keamanan obat, kesesuaian obat
dengan pelayanan yang ada di rumah sakit dan biaya. Faktor-faktor ini harus dikaji secara ilmiah
dari sumber-sumber informasi ilmiah yang layak dipercaya. Kajian tidak cukup hanya
berdasarkan informasi yang diberikan oleh produsen obat.
FRS yang telah dikembangkan harus disosialisasikan di kalangan dokter, dan dalam
penerapannya harus dilakukan pemantauan secara berkesinambungan. Hasil pemantauan dipakai
untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran.
Pedoman Pengobatan
Di banyak sistem pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang, saat ini
banyak dikembangkan dan dilaksanakan pedoman pelayanan termasuk pedoman pengobatan
dalam berbagai tingkat pelayanan. Unit-unit pelayanan kesehatan, baik di tingkat primer,
sekunder maupun tersier, membutuhkan suatu pedoman pengobatan yang bertujuan untuk
meningkatkan efektifitas, keamanan maupun cost-effectiveness tindakan farmakoterapi yang
diberikan.
Agar pedoman pengobatan dapat memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya, maka beberapa
hal berikut perlu mendapatkan perhatian:
Penggunaan obat yang tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak imbang dengan manfaat
yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat. Dengan kata lain, penggunaan obat dapat
dinilai tidak rasional jika:
Latar belakang penyebab terjadinya masalah penggunaan obat bersifat kompleks karena berbagai
faktor ikut berperan. Ini mencakup faktor yang berasal dari dokter, pasien, sistem dan sarana
pelayanan yang tidak memadai, dan dari kelemahan-kelemahan regulasi yang ada. Tidak kalah
pentingnya adalah faktor yang berasal dari promosi obat yang berlebihan dan adanya informasi
yang tidak benar mengenai manfaat dan keamanan suatu obat. Masalah penggunaan obat tidak
semata- mata berkaitan dengan kekurangan informasi dan pengetahuan dari profesional
kesehatan (dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya) maupun pasien atau masyarakat,
tetapi juga berkaitan dengan kebiasaan yang sudah mendalam, dan perilaku pihak-pihak yang
terlibat didalamnya.
Untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, semua profesional kesehatan harus mewaspadai
lima hal yang harus tepat dalam pemberian obat yaitu: Tepat pasien, tepat obat, tepat dosis,
tepat rute pemberian dan tepat waktu pemberian. Dalam manajemen risiko, semua hal yang
harus tepat ini diubah/ dibalik menjadi kategori medication error. Beberapa masalah dalam
pemberian obat yang dikategorikan sebagai medication error, adalah sebagai berikut:
1. Memberikan obat yang salah yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak diresepkan
untuk pasien tersebut.
2. Kelebihan jumlah sediaan yang diberikan, yaitu apabila sediaan yang diberikan lebih
besar dari total jumlah sediaan pada saat diminta oleh dokter. Contoh: apabila dokter
meminta obat untuk diberikan hanya pada pagi hari namun pasien juga menerima obat
untuk digunakan pada sore hari.
3. Kesalahan dosis atau kesalahan kekuatan obat yaitu apabila pada sediaan yang diberikan
terdapat kesalahan jumlah dosis
4. Kesalahan rute pemberian yaitu apabila obat diberikan melalui rute yang berbeda dengan
yang seharusnya, termasuk juga sediaan yang diberikan pada tempat yang salah. Contoh:
obat seharusnya diteteskan pada telinga sebelah kanan tetapi diteteskan pada telinga
sebelah kiri.
5. Kesalahan waktu pemberian yaitu apabila waktu pemberian obat berbeda dari seharusnya
tanpa ada alasan yang kuat dan memberikan perbedaan efek yang cukup signifikan.
6. Kesalahan bentuk sediaan yaitu apabila bentuk sediaan yang diberikan berbeda dengan
yang diminta oleh dokter Contoh: memberikan tablet padahal yang diminta adalah
suspensi
Singkatan Maksud
Error Rekomendasi
sebenarnya
Nama Obat Jangan
Singkatan: menyingkat nama
MTX Metotreksat Mitosantron obat
MS Morfin Sulfat Magnesium
Sulfat
(MgSO4)
Stemmed names:
Nitro drip Nitroprusid Nitrogliserin
Simbol
/ Memisahkan 1 (angka 1); Tuliskan per
dua dosis atau contoh lain jangan menuliskan
untuk misalnya simbolnya
mengindikasikan 25unit/10
per unit dibaca
sebagai 110
unit
+ Tanda tambah Salah dibaca Tuliskan dan
sebagai
angka 4
Nilai desimal
1 mg Salah dibaca Pencantuman
sebagai 10 angka Nol
mg setelah koma
Nol setelah nilai desimal (contoh 1.0
berbahaya karena
mg)
dapat disalah
artikan, karena itu
jangan digunakan
Singkatan istilah. Pada umumnya, istilah-istilah dari obat dan sediaan sebaiknya ditulis secara
lengkap. Misalnya penulisan sediaan injeksi antibiotik dengan kekuatan 1 gram seringkali ditulis
1 g. Hal ini sebaiknya ditulis secara lengkap yaitu 1 gram.
Kekuatan dan kuantitas. Kekuatan atau kuantitas dari sediaan kapsul, tablet hisap, tablet, dan
lain-lain harus ditetapkan oleh dokter penulis resep.
Jika apoteker menerima resep yang tidak lengkap untuk suatu sediaan yang digunakan secara
sistemik dan berpendapat bahwa pasien tidak perlu kembali ke dokter, prosedur seperti berikut
ini dapat diterapkan:
a. Harus dilakukan usaha untuk menghubungi dokter penulis resep untuk memastikan
maksudnya.
b. Jika usaha yang dilakukan untuk menghubungi dokter penulis resep berhasil, sesudah itu
jika memungkinkan apoteker harus mengusahakan supaya kuantitas, kekuatan yang dapat
digunakan, dan dosis dapat disisipkan/disusulkan oleh penulis resep pada resep yang
tidak lengkap tersebut.
c. Selanjutnya, meskipun dokter penulis resep telah berhasil dihubungi, perlu
didokumentasikan secara tertulis pada resep bahwa dokter sudah dihubungi dan
tambahkan informasi mengenai kuantitas dan kekuatan yang dapat digunakan dari
sediaan yang tersedia, dan dosis sesuai indikasi. Catatan tersebut sebaiknya diberi nama
dan tanggal oleh apoteker.
d. Apabila dokter penulis resep tidak dapat dihubungi dan atau apoteker ragu-ragu dalam
mengambil keputusan, resep yang tidak lengkap tersebut sebaiknya dikirimkan kembali
kepada dokter penulis resep.
Eksipien/Bahan Tambahan
Bahan resmi, yang dibedakan dari sediaan resmi, tidak boleh mengandung bahan yang
ditambahkan, kecuali secara khusus diperkenankan dalam monografi. Apabila diperkenankan,
pada penandaan harus tertera nama dan jumlah bahan tambahan tersebut. Kecuali dinyatakan lain
dalam monografi atau dalam ketentuan umum Farmakope Indonesia, bahan-bahan yang
diperlukan seperti bahan dasar, penyalut, pewarna, penyedap, pengawet, pemantap dan pembawa
dapat ditambahkan ke dalam sediaan resmi untuk meningkatkan stabilitas, manfaat atau
penampilan maupun untuk memudahkan pembuatan. Bahan tambahan tersebut dianggap tidak
sesuai dan dilarang digunakan, kecuali (a) bahan tersebut tidak membahayakan dalam jumlah
yang digunakan, (b) tidak melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk memberikan efek
yang diharapkan, (c) tidak mengurangi ketersediaan hayati, efek terapi atau keamanan dari
sediaan resmi, (d) tidak mengganggu dalam pengujian dan penetapan kadar.
Udara dalam wadah sediaan resmi dapat dikeluarkan atau diganti dengan karbondioksida,
helium, nitrogen atau gas lain yang sesuai. Gas tersebut harus dinyatakan pada etiket, kecuali
dinyatakan lain dalam monografi.
British Pharmacopoeia (BP) mengatur bahwa sediaan yang harus dibuat segar berarti bahwa
sediaan tersebut harus dibuat tidak lebih dari 24 jam sebelum sediaan tersebut digunakan. Tujuan
pengaturan agar suatu sediaan sebaiknya dibuat baru menunjukkan bahwa perubahan/peruraian
cenderung terjadi apabila sediaan tersebut disimpan selama lebih dari 4 minggu pada
temperatur 15-250C.
Kata air tanpa keterangan lain berarti merupakan air yang direbus dan air purifikasi yang
didinginkan.
Keamanan di rumah
Pasien harus diingatkan untuk menyimpan semua obat jauh dari jangkauan anak-anak. Semua
sediaan padat, cair oral dan eksternal harus diserahkan dalam wadah yang dapat ditutup yang
tidak dapat dibuka oleh anak-anak kecuali jika:
Produk Komplemen
Dewasa ini, informasi mengenai obat herbal atau produk komplemen telah semakin banyak
ditemui. Namun, IONI hanya menyajikan informasi mengenai produk yang dikategorikan
sebagai obat. Referensi mengenai obat herbal atau produk komplemen beserta interaksi obat
herbal dengan obat dari bahan kimia antara lain dapat dilihat pada Buku Informatorium
Suplemen MakananBadan POM.
Nama Obat
Nama obat harus muncul pada etiket kecuali dokter menginstruksikan hal lain.
a. Kekuatan obat harus dinyatakan dalam kemasan/etiket, jika sediaan (bentuk tablet, kapsul
atau bentuk sediaan lain) memiliki berbagai kekuatan yang berbeda.
b. Jika dokter menginginkan ada keterangan seperti misalnya tablet sedatif pada etiket
obat, dokter harus menuliskannya pada resep
c. Nama obat dapat tidak ditulis jika terdapat beberapa kandungan obat (merupakan
kombinasi)
d. Nama obat yang ditulis pada etiket harus sama dengan nama obat yang tertulis pada resep
Jika terdapat keraguan terhadap keabsahan suatu resep, apoteker harus menghubungi dokter
penulis resep.
Proses farmakoterapi
Pada waktu pasien berhadapan dengan dokter, seharusnya dilakukan proses konsultasi secara
lengkap untuk menentukan atau memperkirakan diagnosis dan memberikan tindakan terapi
setepat mungkin. Kerangka konsep proses konsultasi medis secara lengkap mencakup proses
berikut ini:
Penggalian riwayat penyakit atau anamnesis. Kegiatan ini bertujuan untuk mencari
informasi mengenai gejala dan riwayat penyakit.
Pemeriksaan pasien. Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan
perkusi. Pada beberapa keadaan mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan, misalnya
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan sebagainya, untuk mendukung
penegakan diagnosis penyakit.
Penegakan diagnosis. Berdasarkan gejala dan tanda-tanda serta hasil pemeriksaan,
diagnosis penyakit ditegakkan. Diagnosis pasti tidak selalu dapat ditegakkan secara
langsung, sehingga diperlukan perawatan atau pengobatan yang bersifat sementara
sebelum diagnosis pasti ditegakkan.
Pemberian terapi. Terapi dapat dilakukan dengan obat (farmakoterapi), bukan obat, atau
kombinasi keduanya. Tergantung pada penyakit atau masalah yang diderita oleh pasien,
terapi yang diperlukan mungkin istirahat total, fisioterapi, terapi bedah, pemberian
nutrisi, dan sebagainya. Jika diperlukan terapi obat, maka dipilih obat yang secara ilmiah
telah terbukti paling bermanfaat untuk kondisi penyakitnya, paling aman dan paling
ekonomis serta paling sesuai untuk pasien.
Pemberian informasi. Pasien atau keluarganya perlu diberi penjelasan mengenai penyakit
yang dideritanya serta terapi yang diperlukan. Penjelasan ini akan meningkatkan
kepercayaan dan ketaatan pasien dalam menjalani pengobatan.
Karena proses konsultasi medis antara dokter dan pasien ini telah menjadi proses yang rutin,
seringkali hal ini justru kurang banyak diperhatikan dalam kenyataan praktek klinis. Para dokter
perlu diingatkan kembali akan pentingnya proses-proses ini sebelum memutuskan untuk
memberikan obat.
Indikasi tepat.
Penilaian kondisi pasien tepat.
Pemilihan obat tepat, yakni obat yang efektif, aman, ekonomis, dan sesuai dengan kondisi
pasien.
Dosis dan cara pemberian obat secara tepat.
Informasi untuk pasien secara tepat.
Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat.
Dalam konsep pelayanan kesehatan modern saat ini, pasien bukan lagi dianggap sebagai obyek
keputusan terapi, tetapi juga subyek yang berhak untuk mengetahui serta ikut memutuskan
alternatif apa yang akan diberikan.
Penulisan Resep
Resep merupakan dokumen legal yang digunakan sebagai sarana komunikasi secara profesional
dari dokter kepada penyedia obat, agar penyedia obat memberikan obat kepada pasien sesuai
dengan kebutuhan medis yang telah ditentukan oleh dokter.
Resep harus ditulis secara jelas dan mudah dimengerti. Harus dihindari penulisan resep yang
menimbulkan ketidakjelasan, keraguan, atau salah pengertian mengenai nama obat serta takaran
yang harus diberikan. Menulis resep secara tidak jelas seperti yang sering terjadi saat ini,
merupakan kebiasaan yang tidak benar.
Resep harus memuat unsur-unsur informasi mengenai pasien, pengobatan yang diberikan dan
nama dokter yang menulis resep. Informasi tentang pasien mencakup nama, jenis kelamin, dan
umur. Di beberapa unit pelayanan kesehatan di negara-negara tertentu, diagnosis juga sering
ditulis dalam resep. Ini memungkinkan dilakukan pengecekan ulang terhadap jenis obat yang
ditulis oleh dokter pada saat pemberi obat menyediakan obatnya. Informasi tentang obat
mencakup nama obat (seyogyanya nama generik, kecuali kalau memang benar-benar diperlukan
nama dagang), bentuk sediaan dan kekuatan sediaan, cara dan aturan penggunaan, serta jumlah
satuan yang diinginkan. Informasi mengenai dokter mencakup nama dokter, alamat, keahlian,
nomor ijin dokter atau ijin praktek. Beberapa pesan khusus bila perlu ditulis secara jelas,
misalnya diminum berapa jam sebelum makan, diminum pada saat perut kosong dan sebagainya.
Resep harus memuat tanda tangan dokter secara resmi.
Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan berperan penting dalam mengikuti kemajuan-kemajuan mutakhir di
bidang farmakoterapi, terutama jika dikaitkan dengan prinsip kedokteran berdasarkan bukti
(evidence based medicine). Kemajuan farmakoterapi dan penemuan obat-obat baru sedemikian
pesatnya, sehingga dokter harus selalu mengikuti kemajuan-kemajuan ini agar dapat menelaah
serta memilih secara kritis, obat yang layak digunakan dalam praktek.
Adalah sikap yang keliru untuk menerapkan begitu saja suatu obat yang baru tanpa menelaah dan
membandingkannya dengan pilihan utama yang sudah ada, dalam hal manfaat klinis, keamanan,
biaya dan kesesuaian dengan situasi dan kondisi pasien yang harus menggunakan obat.
Para dokter juga harus dapat menelaah dan memilih alternatif sumber informasi maupun media
(misalnya kegiatan ilmiah) yang akan diikuti untuk pendidikan berkelanjutan. Banyak media
ilmiah yang sebenarnya merupakan ajang promosi obat baru, namun dikemas sedemikian rupa
sehingga pesannya tersamarkan. Organisasi-organisasi profesi sering menyelenggarakan kegiatan
pendidikan berkelanjutan, tetapi sayangnya juga seringkali tidak dapat lepas dari beban promosi
obat baru.
Dalam perkembangan pelayanan kedokteran di tingkat global ini, perlu dikembangkan suatu
mekanisme atau sistem pendidikan berkelanjutan yang benar-benar terakreditasi, bebas dari
pesan-pesan promosi produk teknologi kedokteran dan obat.
Membaca dan mengerti isi resep. Perlu diteliti keabsahan resep, asal resep, nama obat,
bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan cara penggunaannya. Jika ada keraguan,
konsultasikan dengan kolega lain atau tanyakan kepada dokter pembuat resep.
Menyediakan obat secara benar. Teliti ketersediaan obat, waktu kadaluwarsa, serta
cermati bentuk dan kekuatan sediaan.
Menentukan jumlah obat. Menghitung jumlah tablet atau kapsul harus dilakukan dalam
cawan yang bersih. Pengukuran sediaan cair harus memakai alat pengukur yang bersih,
misalnya gelas ukur.
Mengemas dan memberi etiket. Obat harus diserahkan ke pasien dengan kemasan dan
etiket berisi informasi yang lengkap dan tepat. Kemasan yang baik akan memberikan
kesan yang baik terhadap pelayanan yang diberikan. Informasi yang jelas dan lengkap
akan menghindari kekeliruan penggunaan. Informasi pada etiket harus lengkap memuat
nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis serta frekuensi dan cara penggunaan.
Nama pasien, tanggal serta identitas dan alamat apotik harus jelas. Nama obat sebaiknya
tidak ditutup dengan etiket yang diberikan oleh apotik, karena konsumen berhak atas
informasi obat yang dikonsumsinya.
Menyerahkan obat dan memberikan informasi. Pada waktu menyerahkan obat ke pasien
atau keluarganya, informasi yang lengkap mengenai nama obat, kegunaan, efek yang
diinginkan, efek yang tidak diinginkan yang harus diwaspadai dan bagaimana
menghadapinya, dan juga efek yang tidak diinginkan namun tidak berbahaya, hal-hal
yang harusdiperhatikan serta cara penggunaan obat harus diberikan. Informasi mengenai
obat ini sebaiknya diberikan melalui proses konsultasi obat pada konsumen, yang
memungkinkan adanya komunikasi dua arah antara apoteker dan konsumen. Pada akhir
proses konsultasi ini, harus diyakini betul bahwa pasien menjadi tahu dan mengerti
terhadap semua informasi obat yang akan dikonsumsinya. Hal ini akan meningkatkan
kepatuhan pasien untuk mengikuti anjuran pengobatan.
Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa di mana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena
interaksi ini. Akibat yang tidak dikehendaki dari peristiwa interaksi ini ada dua kemungkinan
yakni meningkatnya efek toksik atau efek samping obat atau berkurangnya efek klinis yang
diharapkan. Mekanisme interaksi dapat dibagi menjadi:
Interaksi farmasetik
Interaksi farmakokinetik, dan
Interaksi farmakodinamik.
Interaksi farmasetik terjadi jika antara dua obat yang diberikan bersamaan tersebut terjadi
inkompabilitas atau terjadi reaksi langsung, yang umumnya di luar tubuh dan berakibat
berubahnya atau hilangnya efek farmakologis obat yang diberikan. Sebagai contoh, pencampuran
penisilin dan aminoglikosida akan menyebabkan hilangnya efek farmakologik yang diharapkan.
Interaksi farmakokinetik terjadi jika perubahan efek obat terjadi dalam proses absorpsi, distribusi
obat dalam tubuh, metabolisme, atau dalam proses ekskresi di ginjal. Interaksi dalam proses
absorpsi terjadi jika absorpsi suatu obat dipengaruhi oleh obat lain. Misalnya, absorpsi tetrasiklin
berkurang bila diberikan bersamaan dengan logam berat seperti kalsium, besi, magnesium atau
aluminium, karena terjadi ikatan langsung antara molekul tetrasiklin dan logam-logam tersebut
sehingga tidak dapat diabsorpsi. Interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat-obat
dengan ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat-obat lain dengan ikatan protein yang lebih
lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Akibatnya kadar obat bebas yang tergusur ini
akan lebih tinggi pada darah dengan segala konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan
efek toksik. Sebagai contoh, peningkatan efek toksik antikoagulan warfarin atau obat
hipoglikemik (tolbutamid, klorpropamid) karena pemberian bersama dengan fenilbutason, sulfa
atau asetosal. Interaksi dalam proses metabolisme terjadi kalau metabolisme suatu obat dipacu
atau dihambat oleh obat lain. Ini akan mengakibatkan menurunnya atau meningkatnya kadar
obat, dengan segala akibatnya. Obat-obat yang dikenal luas, sebagai pemacu metabolisme
(enzyme inducer) termasuk rifampisin dan obat-obat antiepilepsi. Sedangkan obat yang dikenal
sebagai penghambat metabolisme (enzyme inhibitor) misalnya simetidin, INH dan eritromisin.
Obat-obat yang mengalami metabolisme di hati dapat dipengaruhi oleh obat-obat ini. Kasus
kegagalan kontrasepsi sering dilaporkan pada pasien-pasien yang menggunakan kontrasepsi
steroid dan pada saat bersamaan menjalani pengobatan dengan rifampisin, oleh karena
menurunnya kadar steroid dalam darah. Interaksi dalam proses ekskresi terjadi kalau ekskresi
suatu obat (melalui ginjal) dipengaruhi oleh obat lain. Contoh yang populer adalah
penghambatan ekskresi penisilin oleh probenesid, berakibat meningkatnya kadar antibiotik
dalam darah. Interaksi ini justru dimanfaatkan untuk meningkatkan kadar penisilin dalam darah.
Interaksi farmakodinamik terjadi di tingkat reseptor dan mengakibatkan berubahnya efek salah
satu obat, yang bersifat sinergis bila efeknya menguatkan, atau antagonis bila efeknya saling
mengurangi. Sebagai contoh adalah meningkatnya efek toksik glikosida jantung pada keadaan
hipokalemia. Dokter harus selalu waspada terhadap kemungkinan interaksi jika memberikan dua
obat atau lebih bersamaan apapun mekanismenya. Daftar interaksi yang bermakna secara klinis
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Daftar Narkotika golongan I dalam
lampiran I telah ditambahkan sehingga menjadi sebagaimana tercantum pada lampiran
Permenkes RI Nomor 13 Tahun 2014. Obat yang termasuk narkotika golongan I adalah tanaman
Papaver somniferum L (kecuali bijinya), opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko),
tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman ganja, tetrahidrocannabinol, delta-9-
tetrahydro-cannabinol, asetorfina, acetil-alfa-metilfentanil, alfa-metilfentanil, alfa-
metiltiofentanil, beta-hidroksifentanil, beta-hidroksi-3-metilfentanil, desomorfina, etorfina,
heroina, ketobemidona, 3-metilfentanil, 3- metiltiofentanil, MPPP, para-fluorofentanil, PEPAP,
tiofentanil, brolamfetamina (DOB), DET, DMA, DMHP, DMT, DOET, etisiklidina (PCE),
etriptamina, katinona, (+)-lisergida (LSD, LSD-25), MDMA, meskalina, metkatinona, 4-
metilaminoreks, MMDA, N-etil MDA, N-hidroksi MDA, paraheksil, PMA, psilosina, psilotsin,
psilosibina, rolisiklidina (PHP, PCPY), STP, DOM, tenamfetamina (MDA), tenosiklidina (TCP),
TMA, amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina (PCP),
levamfetamina, levometamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon, zipepprol,
sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan narkotik, 5-APB, 6-APB, 25B-
NBOMe, 2-CB, 25C-NBOMe (2C-C-NBOMe), dimetilamfetamin (DMA), DOC, etkatinona,
JWH-018, MDPV, mefedron (4-MMC), metilon, 4-Metilkatinona, MPHP, 251-NBOMe (2C-I-
NBOMe), pentedrone, PMMA, XLR-11.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, obat-obat yang termasuk golongan
psikotropika golongan I adalah brolamfetamina, etisiklidina, etriptamina, katinon, (+)-lisergida,
metkatinon, psikosibina, rolisiklidina, tenamfetamina, tenosiklidina. Psikotropika golongan II
adalah amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina, levamfetamina,
meklokualon, metamfetamina, metakualon, metilfenidat, sekobarbital, zipepprol. Psikotropika
golongan III adalah amobarbital, buprenorfina, butalbital, glutetimida, katina, pentazosina,
pentobarbital, siklobarbital. Psikotropika golongan IV adalah allobarbital, alprazolam,
amfepramona, aminorex, barbital, benzfetamina, bromazepam, brotizolam, delorazepam,
diazepam, estazolam, etil amfetamina, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamina,
fendimetrazina, fenobarbital, fenproporeks, fentermina, fludiazepam, flurazepam, halazepam,
haloksazolam, kamazepam, ketazolam, klobazam, kloksazolam, klonazepam, klorazepat,
klordiazepoksida, klotiazepam, lefetamina, loprazolam, lorazepam, lo rmetazepam, mazindol,
medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb, metilfenobarbital, metiprilon, midazolam,
nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazolam, pemolina, pinazepam, pipradol,
pirovalerona, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam, triazolam, vinilbital.
Selain narkotika dan psikotropika, prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan
untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan
Pemerintah.
Laporan efek samping yang serius diperlukan untuk membandingkan suatu obat dengan obat lain
dalam kelas terapi yang sama. Laporan overdosis (sengaja atau tidak sengaja) dapat mempersulit
penilaian dari efek samping obat yang tidak diinginkan, tetapi merupakan informasi penting pada
potensi toksik dari obat.
Untuk obat yang profil keamanannya sudah diketahui dengan baik tidak perlu dilaporkan, efek
samping yang bahayanya relatif kecil seperti mulut kering dengan anti depresan trisiklik atau
konstipasi dengan opioid tidak perlu dimasukan dalam pelaporan.
Masalah Khusus
Efek obat yang tertunda.
Beberapa reaksi (misalnya kanker, retinopati klorokuin, dan fibrosis retroperitoneal)
terjadi/muncul beberapa bulan atau tahun setelah pemberian. Bila ada kecurigaan harus
dilaporkan. Pada lansia, dokter perlu mengawasi terjadinya reaksi ini karena risikonya lebih
besar.
Jika bayi lahir dengan abnormalitas kongenital atau pada kasus abortus dengan malformasi,
dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan sebagai reaksi obat dan perlu mencatat seluruh
riwayat pengobatan selama hamil termasuk self medication.
Untuk anak diperlukan pemantauan khusus untuk mengidentifikasi dan melaporkan reaksi yang
tidak diinginkan, termasuk yang disebabkan oleh penggunaan obat-obat yang tidak disetujui (off-
label); semua reaksi yang dicurigai harus dilaporkan.
Jangan gunakan obat jika indikasinya tidak jelas. Jika pasien dalam kondisi hamil, jangan
gunakan obat kecuali benar-benar dibutuhkan.
Alergi dan idiosinkrasi merupakan sebab penting terjadinya reaksi ini. Pasien perlu
ditanyakan adanya riwayat reaksi sebelumnya.
Tanyakan pada pasien apakah sedang mengkonsumsi obat lain, termasuk self medication,
karena bisa terjadi interaksi obat.
Umur dan penyakit hati atau renal memperlambat metabolisme dan eksresi sehingga
dibutuhkan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan variasi
kecepatan metabolisme, khususnya isoniazid dan anti depresan.
Resepkan obat sesedikit mungkin dan beri petunjuk yang jelas, terutama pada lanjut usia
dan pasien yang nampaknya sulit mengerti instruksi yang diberikan.
Jika mungkin gunakan obat-obat yang sudah dikenal. Jika menggunakan obat baru, harus
diperingatkan terhadap efek samping atau kejadian yang tidak diharapkan.
Jika kemungkinan terjadinya reaksi pada pasien cukup serius perlu untuk
memperingatkan pasien.
Pemantauan keamanan penggunaan obat dilakukan melalui program Monitoring Efek Samping
Obat (MESO) karena beberapa jenis efek samping yang tidak terdeteksi pada tahap
pengembangan obat dapat timbul setelah penggunaan obat secara luas pada jangka waktu lama.
Di Indonesia, Program MESO
dimulai sejak tahun 1975, dan dicanangkan pada tahun 1981. Tujuan utama program MESO
Nasional ini adalah mendeteksi sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang
tidak diinginkan yang terjadi di Indonesia, untuk mencegah kejadian efek samping serupa secara
luas. Dengan pelaksanaan MESO diharapkan akan diperoleh informasi baru mengenai efek
samping obat (ESO), tingkat kegawatan serta frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera
dilakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Dalam program MESO Nasional, digunakan pelaporan secara sukarela (voluntary reporting)
bagi tenaga kesehatan dan wajib bagi industri farmasi. Pemilihan metode ini karena merupakan
sistem yang relatif sedikit membutuhkan biaya dan bila terlaksana dengan baik cukup efektif
untuk pengumpulan laporan ESO dari profesi kesehatan. Keuntungan lain dari sistem ini adalah
kemungkinan dapat menemukan ESO yang jarang terjadi, fatal atau gawat. Disamping itu
kualitas laporan ESO cukup objektif karena tidak dikaitkan dengan suatu kewajiban atau biaya.
Namun kelemahan sistem pelaporan secara sukarela ini adalah bergantung pada peran aktif
dokter, dokter gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lain, dan tenaga kesehatan tersebut di Rumah
Sakit pada khususnya sebagai sumber yang potensial dalam pelaporan ESO.
Secara fungsional pusat MESO Nasional berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM).
Untuk pelaksanaan MESO, dibentuk Panitia MESO Nasional yang bertugas untuk menilai
laporan ESO yang diterima, menganalisis data hasil evaluasi, dan memberikan rekomendasi
tindak lanjut yang perlu dilakukan. Dalam penyelenggaraan MESO, Pusat MESO Nasional
bekerjasama dengan WHO Collaborating Center for International Drug Monitoring. Dalam
kerjasama ini, Pusat MESO Nasional secara teratur menerima informasi mengenai MESO dari
WHO dan juga memberikan masukan kepada WHO. Formulir laporan MESO tersedia di
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan
PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan. Selain MESO, Badan POM juga memonitor efek
samping obat tradisional; efek samping suplemen makanan dan efek samping kosmetik dengan
menggunakan Formulir Monitoring Efek Samping Obat Tradisional MESOT), Formulir
Monitoring Efek Samping Suplemen Makanan (MESOSM) dan Formulir Monitoring Efek
Samping Kosmetik (MESK)
Formulir laporan monitoring kategori produk tersebut di atas dapat diperoleh Direktorat
Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan
Makanan
Mukosa mulut
Sisa obat yang tertinggal dengan atau diaplikasikan langsung pada mukosa mulut terutama dapat
menyebabkan inflamasi atau ulserasi; perlu juga diingat kemungkinan terjadi alergi.
Tablet asetosal diijinkan untuk dilarutkan dalam sulkus untuk mengatasi sakit gigi dapat
membuat titik putih yang kemudian menjadi ulkus.
Zat tambahan, terutama minyak-minyak esensial, dapat menyebabkan kulit sensitif, tetapi
pembengkakan mukosa yang terjadi biasanya tidak terlalu nyata.
Pasien yang diberi obat sitotoksik mudah sekali terserang ulkus terutama pada mukosa oral,
misalnya metotreksat. Obat-obat lain yang menyebabkan ulkus meliputi emas, nikorandil,
AINS, pankreatin, penisilamin, dan proguanil. Kaptopril (dan penghambat ACE lainnya)
dapat menyebabkan stomatitis.
Berbagai bentuk eritema (termasuk sindrom Steven-Johnson) dapat terjadi setelah penggunaan
bermacam-macam obat, seperti
antibakteri, golongan sulfonamid, dan antikonvulsan; mukosa mulut dapat terjadi ulserasi yang
meluas, dengan lesi pada kulit dengan karakter khusus. Lesi mulut pada toxic epidermal
necrolysis (Lyells sindrom) telah dilaporkan terjadi pada obat-obat. Erupsi lisenoid dikaitkan
dengan penggunaan AINS, metildopa, klorokuin, antidiabetik oral, diuretik tiazid, dan emas.
Pewarnaan yang menetap pada gigi umumnya disebabkan oleh tetrasiklin. Tetrasiklin
mempengaruhi gigi jika diberikan pada saat sekitar 4 bulan dalam kandungan sampai usia 12
tahun. Semua tetrasiklin dapat menyebabkan noda yang menetap, pewarnaan yang mengganggu
penampilan, warna berkisar dari kuning hingga abu-abu. Fluor yang tertelan dalam jumlah
berlebihan dapat menyebabkan florosis dental yang disertai bintik putih pada enamel dan
hipoplasia atau lubang. Suplementasi fluor kadang dapat menyebabkan bintik putih ringan jika
diberikan dosis yang terlalu besar pada usia anak. Perhitungkan juga jumlah fluor yang
terkandung dalam air minum. Ostenonekrosis pada rahang telah dilaporkan pada pasien yang
mendapat bisfosfonat secara intravena, tetapi jarang bila digunakan dengan cara oral. Pada
pembedahan gigi selama dan sesudah pengobatan, jika mungkin bifosfonat harus dihindari. Lihat
juga bab tentang bifosfonat.
Periodontium
Pertumbuhan gingival yang terlalu cepat (gingival hyperplasia) merupakan efek samping dari
fenitoin dan kadang-kadang akibat siklosporin atau nifedipin (dan beberapa antagonis kalsium
lain). Trombositopenia mungkin berkaitan dengan obat dan dapat menyebabkan perdarahan pada
daerah gusi, yang mungkin secara spontan atau akibat dari trauma ringan (seperti sikat gigi).
Kelenjar Ludah
Umumnya efek obat berakibat pada kelenjar ludah yaitu mengurangi aliran (xerostomia). Pasien
dengan mulut kering yang menetap mungkin higienitas mulutnya kurang; hal ini dapat
berkembang menjadi karies gigi, dan infeksi pada mulut. (terutama kandidiasis). Penggunaan
yang berlebihan dari diuretik dapat juga mengakibatkan xerostomia. Banyak obat yang
mengakibatkan xerostomia, terutama antimuskarinik (antikolinergik), antidepresan (termasuk
antidepresan trisiklik, dan selective serotonin re-uptake inhibitors), baklofen, bupropion,
klonidin, opioid, dan tizanidin. Beberapa obat (seperti klozapin, neostigmin) dapat meningkatkan
produksi ludah tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali jika pasien mengalami kesulitan menelan,
Rasa sakit pada kelenjar ludah telah dilaporkan pada pemberian beberapa antihipertensi (seperti:
klonidin, metildopa) dan alkaloid vinka. Bengkak pada kelenjar ludah dapat diakibatkan oleh
Iodida, obat antitiroid, fenotiazin, ritodrin dan sulfonamid.
Pengecap
Sensasi rasa dapat berkurang ketajamannya atau berubah. Obat yang mengakibatkan sensasi rasa
meliputi amiodaron, kaptopril (dan penghambat ACE lain), karbimazol, emas, griseofulvin,
garam litium, metronidazol, penisilamin, penindion, propafenon, terbinafin, dan zopiklon.
Jika memungkinkan, injeksi intramuskular harus dihindarkan karena menyebabkan rasa sakit
pada anak.
Seyogyanya obat yang diresepkan untuk anak memang obat yang mempunyai lisensi khusus
untuk anak, namun demikian anak sering membutuhkan obat yang tidak mempunyai lisensi
khusus.
Kerja obat dan profil farmakokinetika obat pada anak (terutama yang masih sangat muda)
mungkin berbeda dengan orang dewasa.
Obat tidak secara ekstensif diujikan pada anak sebelum diijinkan untuk beredar
Banyak obat yang tidak secara khusus diindikasikan untuk anak.
Formula yang sesuai mungkin tidak tersedia untuk dosis yang tepat yang diperbolehkan
bagi anak
Sifat dan jenis penyakit dan efek samping yang tidak diinginkan mungkin berbeda antara
anak dan orang dewasa.
Meskipun sediaan bentuk cair terutama disediakan untuk anak, namun sediaan ini mengandung
gula yang mempercepat kerusakan gigi. Untuk terapi jangka panjang, dianjurkan menggunakan
sediaan obat yang tidak mengandung gula.
Menetapkan kekuatan sediaan obat dalam bentuk kapsul atau tablet penting dilakukan karena
sebetulnya banyak anak yang bisa menelan kapsul atau tablet dan menyukai obat dalam bentuk
padat. Orang tua mempunyai peranan yang penting dalam membantu menentukan sediaan yang
tepat untuk anak. Apabila dibutuhkan resep obat berbentuk sediaan cair yang diberikan secara
oral kurang dari 5 ml, maka bisa diberikan bentuk sediaan tetes yang diberikan secara oral. Pada
pemberian sediaan tetes secara oral, hendaknya orang tua anak diberi tambahan informasi untuk
jangan menambahkan sediaan tersebut pada susu atau makanan bayi/anak.
Apabila diberikan bersama dengan susu atau makanan bayi/anak, kemungkinan bisa terjadi
interaksi atau dosis yang diberikan berkurang karena anak tidak menghabiskan susu atau
makanan tersebut.
Orang tua harus diperingatkan agar menjauhkan semua obat dari jangkauan anak.
Pada umumnya dosis tersebut tidak boleh melebihi dosis maksimum orang dewasa. Misalnya:
jika dosis ditentukan 8 mg/kg (maksimum 300 mg), seorang anak dengan berat 10 kg, dosis yang
diberikan 80 mg, tetapi jika berat anak 40 kg dosis yang diberikan 300 mg (bukan 320 mg).
Anak mungkin memerlukan dosis per kilogram yang lebih besar dibandingkan dengan orang
dewasa karena kecepatan metabolismenya lebih tinggi. Beberapa masalah yang perlu
dipertimbangkan antara lain, anak yang gemuk akan mendapat dosis yang terlalu besar, untuk itu
dosis harus diperhitungkan berdasarkan berat ideal dan dikaitkan dengan tinggi badan dan umur.
Penghitungan berdasarkan luas permukaan tubuh lebih akurat dibandingkan dengan berat badan
karena fenomena fisiologis tubuh lebih dekat berhubungan dengan luas permukaan tubuh. Rata-
rata luas permukaan tubuh pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg adalah 1,8 m2. Untuk
anak-anak rumus yang bisa digunakan adalah:
Metode persentase dari dosis dewasa digunakan untuk menghitung dosis obat yang memiliki
cakupan terapi yang lebar antara dosis terapetik dan dosis toksik. Hati-hati dengan penggunaan
obat baru yang mempunyai potensi toksik.
Frekuensi Dosis
Umumnya antibakteri diberikan dalam waktu tertentu dalam beberapa hari. Untuk menghindari
anak bangun pada malam hari diberikan beberapa fleksibilitas. Misalnya dosis malam hari
diberikan pada saat mau tidur.
Mungkin memiliki efek yang membahayakan terhadap kehamilan dan angka dalam
kurung menunjukkan trimester yang berisiko.
Belum diketahui bahayanya terhadap kehamilan.
Daftar ini disusun berdasarkan data penggunaan obat pada manusia, tetapi juga mencakup data
uji pada hewan untuk beberapa obat yang jika tidak dicantumkan bisa menyesatkan.
Obat hanya boleh diresepkan pada masa kehamilan jika manfaat bagi ibu lebih besar daripada
risiko pada janin dan jika mungkin semua obat harus dihindari selama trimester pertama. Obat
yang sudah secara luas digunakan pada kehamilan dan biasanya aman harus lebih dipilih
dibandingkan obat baru atau obat yang belum diuji coba, tetapi dengan menggunakan dosis
efektif terendah. Beberapa obat telah diketahui bersifat teratogenik pada manusia.
Namun tidak diragukan lagi bahwa tidak ada obat yang aman jika diberikan pada awal
kehamilan. Prosedur screening (USG) merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui
risiko cacat yang mungkin terjadi.
Bila obat tidak ada dalam daftar tidak berarti obat tersebut aman digunakan pada kehamilan.
Toksisitas pada bayi dapat terjadi jika obat masuk ke dalam ASI dengan jumlah yang bermakna
secara farmakologis. Pada beberapa obat, kadar dalam ASI dapat melebihi kadar di dalam
plasma ibu sehingga dosis terapetik pada ibu dapat menyebabkan toksik pada bayi. Beberapa
obat dapat menghambat refleks mengisap pada bayi (seperti fenobarbital). Secara teoritis, obat di
dalam ASI dapat menyebabkan hipersensivitas pada bayi, meskipun dalam kadar sangat rendah
untuk menghasilkan efek farmakologis. Pada Lampiran 5: Menyusui, dicantumkan daftar obat
yang:
harus digunakan dengan perhatian atau yang dikontraindikasikan pada wanita menyusui
dengan pertimbangan di atas
berdasarkan bukti terkini dapat diberikan selama menyusui karena terdistribusi dalam
ASI dalam jumlah yang sangat kecil untuk dapat menimbulkan efek yang membahayakan
bayi
belum diketahui menimbulkan efek yang membahayakan bayi, meskipun terdistribusi
dalam ASI dalam jumlah yang bermakna.
Banyak obat yang belum memiliki cukup bukti yang dapat dijadikan acuan, karena itu
disarankan hanya obat-obat essensial saja yang diberikan pada wanita menyusui. Dikarenakan
kurangnya informasi tersebut, daftar pada lampiran tersebut hanya sebagai panduan; apabila obat
tidak terdapat dalam daftar bukan berarti obat tersebut aman untuk digunakan pada wanita
menyusui.
Pada pasien lansia keseimbangan antara manfaat pemberian dengan bahaya yang mungkin
timbul dari beberapa obat-obatan dapat berubah. Oleh karena itu, obat untuk pasien lansia harus
ditinjau secara berkala dan obat-obatan yang tidak bermanfaat harus dihentikan.
Untuk mengatasi gejala seperti sakit kepala, sulit tidur dan pusing lebih tepat menggunakan
pendekatan non farmakologikal, bila hal ini berhubungan dengan tekanan sosial seperti
menjanda, kesepian dan diusir/dikucilkan keluarga.
Pada beberapa kasus pemberian obat-obat profilaksis mungkin tidak tepat jika obat-obat tersebut
dapat menyebabkan komplikasi dengan pengobatan yang sedang dijalani atau menyebabkan efek
samping yang sebenarnya bisa dihindari, terutama pada pasien lansia dengan prognosis atau
kondisi kesehatan yang buruk. Bagaimanapun, pasien lansia tidak dapat mengesampingkan obat-
obatan yang dapat membantu mereka, seperti antikoagulan atau obat anti platelet untuk fibrilasi
atrial, antihipertensi, statin, dan obat untuk osteoporosis.
Bentuk Sediaan
Pasien lansia yang lemah sulit untuk menelan tablet; jika tertinggal di mulut, dapat menyebabkan
ulserasi. Karena itu mereka harus selalu menelan tablet atau kapsul dengan menggunakan banyak
cairan sambil berdiri untuk menghindari kemungkinan ulserasi esofageal. Jika memungkinkan
akan sangat membantu bila dapat berdiskusi dengan pasien untuk kemungkinan pemberian obat
dalam bentuk cairan.
Pengobatan Sendiri
Seperti halnya pada pasien dengan usia lebih muda, pengobatan sendiri dengan produk obat
bebas (OB) atau obat bebas terbatas (OBT) atau mengkonsumsi obat yang diresepkan untuk
penyakit-penyakit sebelumnya (atau bahkan mengkonsumsi obat dari orang lain) dapat
menambah komplikasi. Diskusi dengan pasien dan keluarganya atau lebih baik kunjungan ke
rumah mungkin diperlukan untuk menetapkan apa yang sebaiknya diberikan pada pasien lansia.
Sensitivitas
Akibat penuaan pada sistem saraf menyebabkan melemahnya kepekaan pada banyak obat yang
biasa digunakan, seperti analgesik opioid, benzodiazepin, antipsikotik dan obat antiparkinson, di
mana semua harus digunakan dengan hati-hati. Begitu juga, organ-organ yang lain akan makin
peka terhadap efek obat seperti obat antihipertensi dan AINS.
Farmakokinetik
Efek yang paling penting dari lansia adalah berkurangnya klirens ginjal. Banyak pasien lansia
akan mengalami perlambatan ekskresi obat, dan makin rentan terhadap obat nefrotoksik.
Penyakit akut dapat menyebabkan penurunan klirens ginjal secara cepat, terutama bila disertai
dehidrasi. Demikian juga metabolisme beberapa obat dapat menurun pada pasien lansia.
Perubahan farmakokinetik dapat ditandai dengan meningkatnya kadar obat dalam jaringan pada
pasien lansia, terutama pada pasien yang lemah sehingga memerlukan pengurangan dosis. Obat-
obatan dengan indeks terapetik sempit harus diberikan dengan pengurangan dosis, contohnya
adalah digoksin dan aminoglikosida dan pengurangan dosis sebanyak 50% sebagai dosis awal
dianjurkan pada banyak kasus. Penyesuaian dosis dapat tidak diperlukan untuk obat dengan
indeks terapetik yang luas, contoh: penisilin. Bagaimanapun, profesi kesehatan harus waspada
terhadap obat-obat yang potensial menimbulkan masalah pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.
Farmakodinamik
Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan umur
seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik lansia lebih kompleks dibanding
farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit dikuantifikasi; di samping itu
bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang ada harus dalam keadaan bebas pengaruh
efek perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh degenerasi
reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya
berkurang.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada lansia dengan
beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:
Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah akibat
perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis
faktor-faktor pembekuan pada lansia.
Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik yang berarti. Hal ini
menunjukkan bahwa pada lansia sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih
lanjut data menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada pasien lansia memerlukan
dosis yang lebih kecil dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh
memang lebih kuat dibandingkan pada usia dewasa muda. Triazolam: pemberian obat ini pada
warga lansia dapat mengakibatkan postural sway- nya bertambah besar secara signifikan
dibandingkan dewasa muda.
Sensitivitas obat yang berkurang pada lansia juga terlihat pada pemakaian obat propranolol.
Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada usia 50 65 tahun ternyata
lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25 30 tahun. Efek tersebut adalah pada
reseptor 1; efek pada reseptor 2 yakni pelepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian
isoprenalin tidak terlihat.
Hipnotik
Banyak psikotik dengan waktu paruh yang panjang menyebabkan efek hangover seperti
mengantuk, sempoyongan, bahkan cacian dan kebingungan. Hipnotik dengan waktu paruh
pendek dapat digunakan, walaupun juga dapat meyebabkan masalah (bagian 4.1.1). Penjelasan
singkat mengenai hipnotik kadang-kadang berguna untuk membantu pasien dengan penyakit
akut atau kegawatan yang lain, tetapi setiap upaya harus dibuat untuk menghindari
ketergantungan. Benzodiazepin mengurangi keseimbangan, yang dapat mengakibatkan terjatuh.
Diuretik
Diuretik diresepkan pada pasien lansia dan tidak boleh digunakan dalam jangka waktu lama
untuk mengatasi udema gravitasional yang biasanya memberikan respon terhadap meningkatkan
pergerakan, mengangkat kaki dan menggunakan support stocking. Pemberian diuretik untuk
beberapa hari dapat mempercepat pengecilan udem tetapi jarang memerlukan terapi yang
berlanjut.
AINS
Pendarahan yang terkait dengan asetosal dan golongan AINS lain lebih sering terjadi pada lansia
yang dapat berakibat serius atau fatal. AINS juga menimbulkan efek yang membahayakan bagi
pasien penyakit jantung atau gagal ginjal sehingga menempatkan pasien lansia ini memiliki
risiko khusus. Karena pasien lansia makin peka terhadap efek samping AINS, maka dibuat
beberapa anjuran sebagai berikut:
Untuk osteoartritis, lesi pada jaringan lunak dan nyeri pada punggung, pertama coba
lakukan langkah-langkah seperti pengurangan berat badan (jika mengalami obesitas),
hangatkan, olahraga dan gunakan tongkat untuk berjalan
Untuk osteoartritis, lesi jaringan lunak, nyeri pada punggung dan nyeri karena artritis
rematoid, pertama kali gunakan parasetamol yang biasanya cukup untuk mengurangi
nyeri.
Alternatif lain, gunakan AINS dosis rendah (misalnya dapat diberikan ibuprofen sampai
1,2 g sehari)
Untuk mengurangi nyeri yang tidak dapat diatasi oleh obat lain, dapat diberikan
parasetamol dosis penuh ditambah AINS dosis rendah
Jika diperlukan, dosis AINS dapat ditingkatkan atau berikan analgesik opioid bersama
parasetamol
Jangan berikan 2 macam obat golongan AINS secara bersamaan
Jika pengobatan dengan AINS perlu dilanjutkan, lihat saran untuk profilaksis AINS yang
menyebabkan ulkus peptikum pada bagian 1.3.
Obat Lain
Obat lain yang biasanya menyebabkan efek yang tidak diinginkan adalah obat antiparkinson,
antihipertensi, psikotropik dan digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dengan usia
sangat lanjut adalah 125 mcg sehari (62,5 mcg pada pasien dengan penyakit ginjal); dosis yang
lebih rendah seringkali tidak mencukupi tetapi biasanya terjadi toksisitas pada pemberian 250
mcg sehari.
Obat yang menyebabkan gangguan pada darah lebih jauh lebih sering terjadi pada lansia. Begitu
juga obat yang dapat menyebabkan depresi sumsum tulang belakang (misalnya kotrimoksasol,
mianserin) harus dihindarkan kecuali tidak ada alternatif lain yang tersedia. Pada umumnya
pasien lansia memerlukan dosis pemeliharaan warfarin yang rendah dibandingkan dengan
dewasa muda; dengan kemungkinan pendarahan yang mungkin terjadi cenderung lebih serius.
Pedoman
Selalu pertimbangkan bahwa obat memang benar-benar diindikasikan
Pembatasan. Sebaiknya obat yang diberikan terbatas saja dengan efek obat pada pasien lansia
sudah diketahui dengan pasti.
Penurunan Dosis. Umumnya dosis untuk pasien lansia lebih rendah dibandingkan untuk pasien
dengan usia yang lebih muda. Dosis biasanya dimulai dari 50% dosis dewasa. Pemakaian
beberapa obat (misalnya antidiabetik kerja panjang seperti glibenklamid dan klorpropamid) harus
dihindari sama sekali.
Pengkajian secara berkala. Secara berkala buat kajian terhadap resep obat yang diberikan
berulang. Berdasarkan pemantauan kemajuan klinis, beberapa pasien dapat dihentikan pemberian
beberapa obatnya. Bila fungsi ginjal menurun kemungkinan diperlukan pengurangan dosis
beberapa obat.
Sederhanakan Regimen. Pengobatan dengan regimen yang sederhana akan menguntungkan bagi
pasien lansia. Hanya obat dengan indikasi jelas yang diresepkan dan apabila memungkinkan
diberikan 1 atau 2 kali sehari. Regimen yang interval dosisnya membingungkan harus dihindari.
Terangkan Dengan Jelas. Tulis instruksi secara lengkap pada setiap resep (termasuk
pengulangan resep) jadi kemasan harus diberi label dengan petunjuk lengkap. Hindari keterangan
seperti petunjuk. Kemasan yang mudah rusak oleh anak-anak mungkin tidak sesuai.
Pengulangan dan Pemusnahan. Beritahukan pasien apa yang harus dilakukan bila obat sudah
habis, dan juga bagaimana menyingkirkan obat apabila tidak diperlukan lagi. Resepkan dengan
jumlah yang sesuai. Apabila petunjuk ini diikuti diharapkan banyak lansia akan mampu
mengatasi masalah terkait obat yang digunakan. Jika instruksi ini tidak diikuti maka perlu diikut
sertakan pihak ketiga (biasanya keluarga atau teman) untuk membantu.