Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Swamedikasi adalah penggunaan obat-obatan oleh seseorang untuk mengobati
segala keluhan ringan pada diri sendiri atas inisiatif sendiri atau tanpa konsultasi
medis yang berkaitan dengan indikasi, dosis, dan lama penggunaan (Agabna, 2014).
Di Indonesia, pengobatan dapat dilakukan secara mandiri menggunakan obat
tradisional dan obat konvensional baik dari golongan obat bebas maupun obat bebas
terbatas. Adapun keuntungan dari swamedikasi salah satunya yaitu mengurangi beban
pelayanan medis dan obat untuk mengatasi keluhan-keluhan ringan, sering kali sudah
tersedia di rumah. Di sisi lain, terdapat risiko dari swamedikasi yaitu gejala
tersamarkan dan tidak dikenali yang sebenarnya merupakan penyakit serius serta
risiko efek samping dari pemakaian obat yang kurang tepat (Tan dan Rahardja, 2010).
Dalam pelaksanaan swamedikasi harus memenuhi kriteria penggunaan obat
yang rasional, yaitu ketepatan dalam pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak
adanya efek samping berbahaya yang ditimbulkan, tidak adanya kontraindikasi, tidak
adanya interaksi dan tidak adanya polifarmasi. Swamedikasi yang rasional diperlukan
peran seorang apoteker. Yaitu, peran apoteker harus mampu memberikan pelayanan
pengobatan kepada pasien secara professional dengan jaminan bahwa obat yang akan
diberikan kepada pasien adalah tepat, aman, dan efektif.
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan salah satu bentuk pekerjaan
kefarmasian berupa sebuah pelayanan langsung serta bertanggung jawab terhadap
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan pasien. Pelayanan informasi obat
sangat penting dalam upaya menunjang budaya pengelolaan dan penggunaan obat
secara rasional. Pelayanan informasi obat sangat diperlukan, terlebih lagi banyak
pasien yang belum mendapatkan informasi obat secara memadai tentang obat yang
digunakan, karena penggunaan obat yang tidak benar dan ketidak patuhan meminum
obat bisa membahayakan pasien. Pelayanan informasi obat ditujukan untuk
meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang
tepat. Salah satu manfaat dari pelayanan informasi obat adalah meningkatkan
kepatuhan pasien dalam penggunaan obat yang rasional oleh pasien sehingga angka

1
kematian dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan
(Dianita, dkk, 2017 ; Tumiwa dkk, 2014).
Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan saran,
melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah suatu kegiatan bertemu
dan berdiskusinya seseorang yang membutuhkan (klien) dan seseorang yang
memberikan (konselor) dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien
memperoleh keyakinan akan kemamouannya dalam pemecahan masalah.
Konseling kepada pasien yang dilakukan apoteker merupakan komponen
pelayanan kefarmasian yang bertujuan meningkatkan terapetik dengan
memaksimalkan penggunaan obat dengan tepat (ASHP, 1997). Dengan demikian
pasien dapat merasakan manfaatnya dengan meningkatkan kualitas hidup dan kualitas
pelayanan Kesehatan. Esensi semua konseling adalah membantu orang untuk
mengatasi masalah atau persoalan penting secara efektif.
2.1 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Swamedikasi?
2. Apakah yang dimaksud dengan Pelayanan Informasi Obat (PIO)?
3. Apakah yang dimaksud dengan Konseling?
4. Bagaimana perbedaan antara Swamedikasi, PIO dan Konseling?
3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang bagaimana Swamedikasi
2. Untuk mengetahui tentang bagaimana Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Untuk mengetahui tentang bagaimana Konseling dalam pengobatan
4. Untuk mengetahui perbedaan antara Swamedikasi, PIO dan Konseling dalam
pengobatan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Swamedikasi
2.1.1 Definisi Swamedikasi
Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri.
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi penyakit dan keluhan
ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk,
influenza/flu, maag, kecacingan dan diare (Depkes, 2006).
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk penanggulangan secara cepat
dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis, mengurangi
beban pelayanan kesehatan pada keterbatasan sumber daya dan tenaga, serta
meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang
jauh dari puskesmas. Keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak
dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit
maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain. Swamedikasi juga
merupakan salah satu upaya untuk mencapai kesehatan bagi semua yang
memungkinkan masyarakat dapat hidup produktif secara sosial dan
ekonomi (Notosiswoyo dan Supardi, 2005)
2.2.1 Pelaksanaan Swamedikasi
Menurut Depkes tahun 2008, beberapa hal yang penting untuk
diketahui masyarakat ketika akan melakukan swamedikasi
a. Kenali secara akurat gejala penyakit yang dialami
b. Obat yang digunakan adalah obat yang tergolong sebagai obat
bebas,obat bebas terbatas dan obat wajib apotek
c. Obat golongan tersebut dapat diperoleh diapotek atau toko obat berizin.
d. Sebelum menggunakan obat, bacalah sifat,cara pemakaian, dan tanggal
kadaluarsa obat pada etiket, brosur atau kemasan obat agar
penggunaannya tepat dan aman
e. Cara pemilihan obat
1. Obat tidak untuk digunakan secara terus menerus
2. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket
atau brosur obat

3
3. Bila obat diminum menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan
hantikan penggunaannya dan tanyakan kepada apoteker atau
dokter
4. Hindari penggunaan obat lain,walaupun gejala penyakit sama
5. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lengkap,
tanyakan kepada apoteker.
f. Gunakan obat tepat waktu, sesuai dengan atauran penggunaan,
contohnya:
1. Tiga kali sehari berarti obat diminum dengan aturan setiap 8
jam sekali
2. Obat diminum sebelum atau sesudah makan
g. Pemakaian obat secara oral adalah cara yang paling lazim karena
praktis, mudah dan aman. Cara yang terbaik adalah meminum obat
degan segelas air putih matang
h. Cara penyimpanan obat harus memperhatikan hal-hal berikut :
1. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup
rapat.
2. Simpan obat pada suhu kamar dan terhindari dari sinar matahari
langsung atau seperti yang tertera pada kemasan
3. Simpan obat ditempat yang tidak panas atau tidak lembab
karena dapat menimbulkan kerusakan obat
4. Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
5. Jauhkan dari jangkauan anak-anak
2.3.1 Penggolongan Obat dalam Swamedikasi
Menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No 36 tahun
2009 obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
Menurut Depkes tahun 2006 obat dapat dibagi menjadi empat
golongan, yang dapat diguanakn sebagai pengobatan swamedikasi antara
lainnya :
a. Obat Bebas

4
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas dipasaran dan dapat
dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.

Gambar 1. Logo Obat Bebas


b. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat
keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan
disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan
etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam.

Gambar 2. Logo Obat Bebas Terbatas

Gambar 3. Peringatan Khusus Obat Bebas Terbatas


c. Obat Wajib Apotik
Obat Wajib Apotik yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh
Apoteker kepada pasien di Apotik tanpa resep dokter. Daftar Obat
Wajib Apotik (DOWA) dibagi menjadi DOWA 1, DOWA 2, dan
DOWA 3.
Apoteker di apotik dalam melayani pasien yang memerlukan
obat diwajibkan :

5
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien
yang disebutkan dalam Obat Wajib Apotik yang bersangkutan
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya,
kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu
diperhatikan oleh pasien
2.4.1 Penggunaan Obat yang Rasional
Menurut Depkes tahun 2008, batasan penggunaan obat yang rasional adalah :
a. Tepat diagnosis
Obat diberikan sesuai dengan diagnosis, sehingga bila diganosis tidak
ditegakkan dengan benar dapat menyebabkan pasien salah dalam
memilih obat.
b. Tepat indikasi penyakit
Obat yang diberikan sesuai dengan penyakit pasien
c. Tepat pemilihan obat
Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi yang sesuai dengan
penyakit pasien
d. Tepat dosis
Dosis, jumlah,cara,waktu, dan lama pemberian obat harus sesuai
sehingga efek terapi dapat dicapai
1. Tepat jumlah : jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah
yang cukup
2. Tepat cara pemberian : untuk obat tertentu memiliki cara
pemberian yang berbeda, ada obat yang diminum bersama susu
tidak megurangi efektivitas dan sebaliknya.
3. Tepat interval waktu pemberian Waktu pemberian obat dibuat
sederhana dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien, karena
semakin sering frekuensi pemberian obat perhari semakin
rendah tingkat ketaatan minum obat.
4. Tepat lama pemberian obat Lama pemberian obat harus tepat
sesuai dengan penyakitnya masingmasing.
e. Tepat penilaian kondisi pasien

6
Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien,antara lain harus
memperhatikan kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, meyusui,
lanjut usia atau bayi
f. Waspada efek samping
g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat dan harga terjangkau
h. Tepat tindak lanjut Bila sakit masih berlanjut setelah dilakukan
pengobatan sendiri maka konsultasikan kedokter
i. Tepat penyerahan obat Obat yang disiapkan, diserahkan kepada pasien
dengan informasi yang tepat
j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan
2.5.1 Faktor-Faktor yang Meningkatkan Perilaku Swamedikasi
Ada beberapa faktor penyebab swamedikasi yang keberadaaanya
hingga saat ini semakin mengalami peningkatan. Beberapa faktor penyebab
tersebut berdasarkan WHO tahun 1998, antara lain sebagai berikut :
a. Faktor sosial ekonomi
Meningkatkan pemahaman, pengembangan tingkat pendidikan, dan
perluasan akses informasi yang dikombinasikan dengan peningkatan
kepedulian tiap individu dalam kesehatan pribadi, mengakibatkan
meningkatnya upaya kesehatan tiap individu.
b. Gaya hidup
Meningkatnya kesadaran akibat pengaruh faktor gaya hidup tertentu,
seperti tidak merokok dan mengkonsumsi makanan seimbang untuk
memelihara kesehatan dan mencegah sakit.
c. Kemudahan memperoleh produk obat
Komsumen lebih memilih produk yang tersedia (obat Over The
Counter) dari pada harus keklinik atau fasilitas kesehatan lainnya.
d. Managemen terhadap penyakit akut, kronik, kekambuhan dan
rehabilitasi
Saat ini individu yang sudah didiagnosis secara medis dimungkinkan
managemen pengobatannya sebagian dikontrol dengan pengobatan
sendiri atau dengan terapi non obat.
e. Sarana kesehatan dan faktor lingkungan

7
Perilaku bersih dan nutrisi yang tercukupi, ketersediaan air dan sanitasi
berkontribusi pada kemampuan individu untuk menjaga kesehatan dan
mencegah penyakit.
f. Faktor demografi dan epidemiologi
Perubahan demografi pada populasi yang lanjut usia membutuhkan
perubahan managemen kesehatan. Seperti kenaikan epidemiologi dari
perubahan pola penyakit yang mengakibatkan meningkatnya biaya
upaya kesehatan.
g. Managemen dan rehabilitasi penyakit
Sekarang ini banyak penelitian yang mengakui bahwa kondisi
diagnosis medis tertentu dapat secara tepat ditangani melalui
swamedikasi oleh atau tanpa mengkonsumsi obat sama sekali.
Beberapa swamedikasi mungkin merupakan suatu kebutuhan
masyarakat itu sendiri
h. Ketersediaan produk baru
Produk baru, produk yang lebih efektif diharapkan tepat untuk
pengobatan sendiri, saat ini sedang dikembangkan. Kemudian beberapa
produk jangka panjang dengan batas keamanan tinggi telah diatur
ulang sebagai produk Over The Counter.
2.6.1 Batasan dalam Swamedikasi
Menurut PERMENKES No.919/MENKES/PER/X/1993 tentang
kriteria obat yang dapat diberikan tanpa resep, yaitu :
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak
dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksudkan tidak memberikan risiko
pada kelanjutan penyakit
c. Pengunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan
d. Penggunaanya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonenesia
e. Obat dimaksudkan memiliki risiko khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
2.2 Pelayanan Informasi Obat (PIO)
2.2.1 Definisi PIO

8
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan
lain-lain.
2.2.2 Pelaksanaan PIO
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan)
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi
5. Melakukan penelitian penggunaan Obat
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah
7. Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan
formulir.

9
Gambar 4. Formulir Pelayanan Informasi Obat
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi
Obat:
1. Topik Pertanyaan
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon)
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data
laboratorium)
5. Uraian pertanyaan
6. Jawaban pertanyaan
7. Referensi
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data
Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.
Keputusan Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan No
HK.00.DJ.II.924 menuliskan prosedur tetap dalam PIO:
1. Menyediakan dan memasang spanduk, poster, booklet, leaflet yang
berisi informasi obat pada tempat yang mudah dilihat oleh pasien
2. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak
langsung dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak biasa, etis, dan
bijaksana melalui penelusuran literatur secara sistematis untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan

10
3. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara
sistematis
2.2.3 Tujuan PIO
1. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional,
berorientasi pada pasien, tenaga kesehatan dan pihak lain
2. Menyediakan dan memberi informasi obat kepada pasien, tenaga
kesehatann dan pihak lain.
3. Menyediakan informasi utuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat terutama bagi PFT/KFT (panitia farmasi dan
terapi)
2.2.4 Sasaran PIO
1. Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat
serta regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter
memerlukan informasi dari apoteker agar ia dapat membuat
keputusan yang rasional. Informasi obat diberikan langsung oleh
apoteker, menjawab pertanyaan dokter melalui telepon atau sewaktu
apoteker menyertai tim medis dalam kunjungan ke ruang perawatan
pasien atau dalam konferensi staf medis
2. Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada PRT dalam
rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi
obat tentang berbagai aspek obat pasien, terutama tentang pemberian
obat. Perawat adalah profesional kesehatan yaang paling banyak
berhubungan dengan pasien karena itu, perawatlah yang pada
umumnya yang pertama mengamati reaksi obat merugikan atau
mendengar keluhan mereka. Apoteker adalah yang paling
siap,berfungsi sebai sumber informasi bagi perawat. Informasi yang
dibutuhkan perawat pada umumnya harus praktis dan ringkas,
misalnya frekuensi pemberian dosis, metode pemberian obat, efek
samping yang mungkin, penyimpanan obat, inkompatibilitas
campuran sediaan intravena, dll
3. Pasien / Keluarga

11
Pasien Informasi yang dibutuhkan pasien/keluarga pasien, pada
umumnya adalah informasi praktis dan kurang ilmiah dibandingkan
dengan informasi yang dibutuhkan profesional kesehatan. Informasi
obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai kunjungan
tim medik ke ruang pasien; sedangkan untuk pasien rawat jalan,
informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya. Informasi obat untuk
pasien/keluarga pasein pada umumya mencangkup cara penggunaan
obat, jangka waktu penggunaan, pengaruh makanan pada obat,
penggunaan obat bebas dikaitkan dengan resep obat, dan sebagainya
4. Apoteker
Setiap apoteker suatu rumah sakit masing-msaing mempunyai tugas
ataufungsi tertentu, sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada
bidang tertentu. Apoteker yang langsung berinteraksi dengan
profesional kesehatan dan pasien, yang menerima pertanyaan
mengenai informasi obat dan pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya
dengan segera, diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih
mendalami pengetahuan informasi obat. Apoteker apotek dapat
meminta bantuan informasi obat dari sejawat di rumah sakit

5. Kelompok, Tim, Kepanitiaan, dan Peneliti


Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi
obat kepada kelompok profesional kesehatan, misalnya mahasiswa,
masyarakat, peneliti, dan kepanitiaan yang berhubungan dengan obat.
Kepanitiaan di rumahsakit yang memerlukan informasi obat antara
lain, panitia farmasi dan terapi, panitia evaluasi penggunaan obat,
panitia sistem pemantauan kesalahan obat, panitia sistem
pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan, tim pengkaji
penggunaan obat retrospektif, tim program pendidikan “in-service” dan
sebagainya.
2.3 Konseling
2.3.1 Definisi Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan

12
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan
pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami Obat yang digunakan.
Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan elemen
kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya
melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga harus
berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana dijelaskan
dalam konsep Pharmaceutical Care.
2.3.2 Tujuan Konseling
a. Tujuan Umum
1. Meningkatkan keberhasilan terapi memaksimalkan efek terapi
2. Meminimalkan resiko efek samping
3. Meningkatkan cost effectiveness
4. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi
b. Tujuan Khusus
1. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan
pasien
2. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
3. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya
4. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan
penyakitnya
5. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
6. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem
7. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya
sendiri dalam hal terapi
8. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
9. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien
2.3.3 Manfaat Konseling
a. Bagi Pasien
1. Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan

13
2. Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
3. Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri
4. Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu
5. Menurunkan kesalahan penggunaan obat
6. Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi Menghindari
reaksi obat yang tidak diinginkan
7. Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan
b. Bagi Apoteker
1. Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan.
2. Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai
tanggung jawab profesi apoteker
3. Menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan
penggunaan obat ( Medication error )
4. Suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga
menjadi upaya dalam memasarkan jasa pelayanan
2.3.4 Prinsip Dasar Konseling
Prinsip dasar konseling adalah terjadinya kemitraan atau korelasi
antara pasien dengan apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku pasien
secara sukarela. Pendekatan Apoteker dalam pelayanan konseling mengalami
perubahan model pendekatan dari pendekatan “Medical Model” menjadi
Pendekatan “Helping model”.

Medical Model Helping Model


1. Pasien passive 1. Pasien terlibat secara aktif
2. Dasar dari kepercayaan 2. Kepercayaan didasarkan dari
ditunjukkan berdasarkan citra profesi hubungan pribadi yang berkembang
setiap saat
3. Mengidentifikasi masalah dan 3. Menggali semua masalah dan
menetapkan solusi memilih cara pemecahan masalah
4. Pasien bergantung pada petugas 4. Pasien mengembangkan rasa
kesehatan percaya dirinya untuk memecahkan
masalah
5. Hubungan seperti ayah-anak 5. Hubungan setara (seperti teman)

14
Tabel 1. Hal – hal yg perlu diperhatikan oleh apoteker :
“Mengerti kebutuhan, keinginan, dan pilihan dari pasien”
a. Menentukan kebutuhan
Konseling tidak terjadi bila pasien datang tanpa ia sadari apa yang
dibutuhkannya. Seringkali pasien datang tanpa dapat mengungkapkan
kebutuhannya, walaupun sebetulnya ada sesuatu yang dibutuhkan.
Oleh karena itu dilakukan pendekatan awal dengan mengemukakan
pertanyaan terbuka dan mendengar dengan baik dan hati-hati.
b. Perasaan
Apoteker harus dapat mengerti dan menerima perasaan pasien
(berempati). Apoteker harus mengetahui dan mengerti perasaan pasien
(bagaimana perasaan menjadi orang sakit) sehingga dapat berinteraksi
dan menolong dengan lebih efektif. Beberapa bentuk perasaan atau
emosi pasien dan cara penanganannya adalah sebagai berikut :
1. Frustasi membantu menumbuhkan rasa keberanian pasien untuk
mencari alternatif jalan lain yang lebih tepat dan meminimalkan
rasa ketidaknyamanan dari aktifitas hariannya yang tertunda.
2. Takut dan cemas membantu menjernihkan situasi apa yang
sebenarnya ditakutinya dan membuat pasien menerima keadaan
dengan keberanian yang ada dalam dirinya
3. Marah mencoba jangan ikut terbawa suasana marahnya, dan
jangan juga begitu saja menerima kemarahannya tetapi mencari
tahu kenapa pasien marah dengan jalan mendengarkan dan
berempati.
4. Depresi usahakan membiarkan pasien mengekspresikan
penderitaannya, membiarkan privasinya, tetapi dengarkan jika
pasien ingin berbicara.
5. Hilang kepercayaan diri
6. Merasa bersalah
2.3.5 Sasaran Konseling
a. Pasien rawat jalan
Pemberian konseling untuk pasien rawat jalan dapat diberikan pada
saat pasien mengambil obat di apotik, puskesmas dan di sarana
kesehatan lain. Kegiatan ini bisa dilakukan di counter pada saat

15
penyerahan obat tetapi lebih efektif bila dilakukan di ruang khusus
yang disediakan untuk konseling. Pemilihan tempat konseling
tergantung dari kebutuhan dan tingkat kerahasian / kerumitan akan hal-
hal yang perlu dikonselingkan ke pasien. Konseling pasien rawat jalan
diutamakan pada pasien yang :
1. Menjalani terapi untuk penyakit kronis, dan pengobatan jangka
panjang. (Diabetes, TBC, epilepsi, HIV/AIDS, dll )
2. Mendapatkan obat dengan bentuk sediaan tertentu dan dengan
cara pemakaian yang khusus Misal : suppositoria, enema, inhaler,
injeksi insulin dll
3. Mendapatkan obat dengan cara penyimpanan yg khusus. Misal :
insulin dll
4. Mendapatkan obat-obatan dengan aturan pakai yang rumit,
misalnya : pemakaian kortikosteroid dengan tapering down
5. Golongan pasien yang tingkat kepatuhannya rendah, misalnya :
geriatrik, pediatri
6. Mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit ( digoxin,
phenytoin, dll )
7. Mendapatkan terapi obat-obatan dengan kombinasi yang banyak
(polifarmasi )
b. Pasien rawat inap
Konseling pada pasien rawat inap, diberikan pada saat pasien akan
melanjutkan terapi dirumah. Pemberian konseling harus lengkap
seperti pemberian konseling pada rawat jalan, karena setelah pulang
dari rumah sakit pasien harus mengelola sendiri terapi obat dirumah.
Selain pemberian konseling pada saat akan pulang, konseling pada
pasien rawat inap juga diberikan pada kondisi sebagai berikut :
1. Pasien dengan tingkat kepatuhan dalam minum obat rendah.
Kadang-kadang dijumpai pasien yang masih dalam perawatan
tidak meminum obat yang disiapkan pada waktu yang sesuai atau
bahkan tidak diminum sama sekali.
2. Adanya perubahan terapi yang berupa penambahan terapi,
perubahan regimen terapi, maupun perubahan rute pemberian.
2.3.6 Sarana Penunjang

16
Dalam melaksanakan kegiatan konseling dibutuhkan beberapa sarana untuk
menunjang kegiatan. Sarana yang dibutuhkan tergantung dari jumlah
pelayanan, kapasitas kegiatan, dan target yang ingin dicapai. Sarana penunjang
terdiri dari :
a. Ruang atau tempat konseling
Untuk melaksanakan kegiatan konseling yang efektif sebaiknya
konseling tidak dilakukan hanya di counter pada saat penyerahan obat,
tetapi diruang khusus untuk konseling. Ruang yang disediakan untuk
konseling sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Tertutup dan tidak banyak orang keluar masuk, sehingga privacy
pasien terjaga dan pasien lebih leluasa menanyakan segala sesuatu
tentang pengobatan
2. Tersedia meja dan kursi yang cukup untuk konselor maupun klien
(pasien)
3. Mempunyai penerangan yang cukup dan sirkulasi udara yang
bagus
4. Letak ruang konseling tidak terlalu jauh dari tempat pengambilan
obat (apotik)
5. Jika jumlah pasien banyak dan mempunyai beberapa tenaga
Apoteker sebagai konselor, sebaiknya ruang konseling lebih dari
satu
b. Alat bantu konseling
Agar konseling menjadi lebih efektif ada beberapa alat bantu yang
dapat digunakan. Alat bantu yang digunakan terdiri dari perlengkapan
yang diperlukan oleh apoteker sebagai konselor dalam melakukan
konseling maupun alat bantu yang diberikan kepada pasien.
Perlengkapan Apoteker dalam melaksanakan konseling :
1. Panduan konseling, berisi daftar (check list) untuk mengingatkan
Apoteker point-point konseling yang penting
2. Kartu Pasien, berisi identitas pasien dan catatan kunjungan pasien
3. Literatur pendukung
4. Brosur tentang obat-obat tertentu, memberikan kesempatan kepada
pasien untuk membaca lagi jika lupa.

17
5. Alat peraga, dapat menggunakan audiovisual, gambar-gambar,
poster, maupun sediaan yang berisi placebo
6. Alat komunikasi untuk mengingatkan pasien untuk mendapatkan
lanjutan pengobatan
Alat bantu yang diberikan kepada pasien : Alat bantu pengingat pasien
minum obat biasanya diperlukan pada pengobatan penyakit kronis atau
penyakit-penyakit lain yang membutuhkan terapi jangka panjang dan
dan memerlukan kepatuhan dalam penggunaannya. Misalnya :
penggunaan analgesik untuk nyeri kanker, penggunaan obat anti TBC,
penggunaan obat anti retroviral, terapi stroke, diabetes, dll. Alat bantu
yang diberikan berupa :
1. Kartu pengingat pengobatan, kartu ini diberikan Apoteker kepada
pasien untuk memantau penggunaan obat pasien. Pasien dapat
memberikan tanda pada kartu tersebut setiap harinya sesuai dengan
dosis yang diterimanya. Kartu tersebut memuat nama pasien, nama
obat, jam minum obat, tanggal pasien harus mengambil (refill)
obat kembali.
2. Pemberian Label, sebagian pasien membutuhkan bantuan untuk
membaca label instruksi pengobatan yang terdapat pada obatnya.
3. Medication chart, berupa bagan waktu minum obat. Biasanya
dibuat untuk pasien dengan regimen pengobatan yang kompleks
atau pasien yang sulit memahami regimen pengobatan
4. Pil dispenser, akan membantu pasien untuk mengingat jadwal
minum obat dan menghindari kelupaan jika pasien melakukan
perjalanan jauh dari rumah. Wadah pil dispenser bisa untuk
persediaan harian maupun mingguan
5. Kemasan penggunaan obat per dosis unit, pengemasan obat per
unit dosis membutuhkan peralatan yang mahal. Dapat
dilaksanakan jika regimen pengobatan terstandar dan merupakan
program pemerintah.
2.3.7 Pelaksanaan Konseling
a. Penentuan prioritas pasien
Dalam kegiatan pelayanan kefarmasian sehari-hari, pemberian
konseling tidak dapat diberikan pada semua pasien mengingat waktu

18
pemberian konseling yang cukup lama. Oleh sebab itu diperlukan
seleksi pasien yang perlu diberikan konseling. Seleksi pasien dilakukan
dengan penentuan prioritas pasien-pasien yang dianggap perlu
mendapatkan konseling. Prioritas pasien yang perlu mendapat
konseling :
1. Pasien dengan populasi khusus ( pasien geriatri, pasien pediatri,
dll)
2. Pasien dengan terapi jangka panjang (TBC, Epilepsi, diabetes, dll)
3. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus
(Penggunaan kortikosteroid dengan ”tappering down” atau
”tappering off” )
4. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan indeks terapi
sempit ( digoxin, phenytoin, dll )
5. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan menjalankan terapi
rendah
b. Persiapan dalam melakukan konseling
Untuk menerapkan suatu konseling yang baik maka Apoteker harus
memiliki persiapan. Apoteker sebaiknya melihat dahulu data rekam
medik pasien. Ini penting agar apoteker dapat mengetahui
kemungkinan masalah yang terjadi seperti interaksi obat maupun
kemungkinanan alergi pada obat-obatan tertentu. Selain itu apoteker
juga harus mempersiapkan diri dengan informasi – informasi terbaru
yang berhubungan dengan pengobatan yang diterima oleh pasien.
c. Pertanyaan dalam konseling
Pemilihan kalimat tanya merupakan faktor yang penting dalam
mewujudkan keberhasilan komunikasi. Pertanyaan yang digunakan
sebaiknya adalah open-ended questions. Dengan pertanyaan model ini
memungkinkan apoteker memperoleh beberapa informasi yang
dibutuhkan dari satu pertanyaan saja. Pertanyaan dengan jawaban ”ya”
atau ”tidak", sebaiknya dihindari. Begitu juga dengan pertanyaan yang
berasal dari pendapat Apoteker. Open-ended questions akan
menghasilkan respon yang memuaskan sebab pertanyaan ini akan
memberikan informasi yang maksimal. Kata tanya sebaiknya dimulai
dengan ”bagaimana” atau ”mengapa”.

19
d. Tahapan konseling
1. Pembukaan
Pembukaan konseling yang baik antara apoteker dan pasien dapat
menciptakan hubungan yang baik, sehingga pasien akan merasa
percaya untuk memberikan informasi kepada Apoteker. Apoteker
harus memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum memulai sesi
konseling. Selain itu apoteker harus mengetahui identitas pasien
(terutama nama) sehingga pasien merasa lebih dihargai. Hubungan
yang baik antara apoteker dan pasien dapat menghasilkan
pembicaraan yang menyenangkan dan tidak kaku. Apoteker dapat
memberikan pendapat tentang cuaca hari ini maupun bertanya
tentang keluarga pasien. Apoteker harus menjelaskan kepada pasien
tentang tujuan konseling serta memberitahukan pasien berapa lama
sesi konseling itu akan berlangsung. Jika pasien terlihat keberatan
dengan lamanya waktu pembicaraan, maka apoteker dapat bertanya
apakah konseling boleh dilakukan melalui telepon atau dapat
bertanya alternatif waktu/hari lain untuk melakukan konseling yang
efektif.
2. Diskusi
Diskusi untuk mengumpulkan informasi dan identifikasi masalah
Pada sesi ini Apoteker dapat mengetahui berbagai informasi.

e. Dokumentasi

20
Gambar 5. Dokumentasi Konseling

BAB III

21
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Swamedikasi
biasanya dilakukan untuk mengatasi penyakit dan keluhan ringan yang banyak
dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza/flu, maag,
kecacingan dan diare
2. Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker
dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan
kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada
profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk
Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
3. Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan elemen kunci dari
pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan
kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga harus berinteraksi dengan
pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana dijelaskan dalam konsep
Pharmaceutical Care.

DAFTAR PUSTAKA

22
Agabna, M.N. A., 2014. Self-Medication. Sudan Journal of Rational Use of Medicine, p.4

American Society of Health-System Phamacist, 1997, ASHP Guideline on


PhamacistConducted Patient Education and Conducted Patient Education and
Conseling, Am. J. Health-Syst. Pharm, 54: 162-73.

ASHP. 1997. Guidline on Pharmacist Conducted Patient Education and Cpunseling,


Voolume 54. American Journal of Health System Pharmacy

Departemen Kesehatan RI. Permenkes RI No. 917/Menkes Per/x/1993 Tentang


Penggolongan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1993.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:


Depkes RI; 2006.

Departemen Kesehatan RI. Materi pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan


memilih obat bagi tenaga kesehatan. 2008.

Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009


Tentang Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI: 2009.

Dianita P. S., dkk. 2017. Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Kabupaten Magelang Berdasarkan Permenkes RI. Dorland, W.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian
di Sarana Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2007.

Julianti, E. dan Widayanti, S. 2004. Pelayanan informasi obat rumah sakit umum daerah DR.

Soetomo. Prosiding kongres ilmiah XI ISFI, 3-6 kuli 1996 : jawa tengah

Permenkes RI, Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Supardi, S. dan Notosiswoyo, M. Pengobatan sendiri sakit kepala, batuk, dan pilek pada
masyarakat di Desa Ciwalen. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2005;2(3):134–44.

Tan, H.T., dan Rahardja, K., 2010. Obat-obat Sederhana untuk Gangguan Sehari-hari.
Jakarta: Gramedia, hal.x.

23
Tumiwa N. N. G, et al., 2014. Pelayanan Informasi Obat Terhadap Kepatuhan Minum Obat
Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal
Ilmiah Farmasi –Vol. 3 No. 3.

WHO - World Health Organization. The Role of The Pharmacist in Selfcare and
Selfmedication

24

Anda mungkin juga menyukai