Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Self-medication (pengobatan sendiri) adalah penggunaan obat-obatan dengan maksud


terapi tanpa saran dari profesional atau tanpa resep. Pengobatan sendiri termasuk
memperoleh obatobatan tanpa resep, membeli obat berdasarkan resep lama yang pernah
diterima, berbagi obatobatan dengan kerabat atau anggota lingkaran sosial seseorang atau
menggunakan sisa obat- obatan yang disimpan di rumah. Berdasarkan data dari laporan
Kementrian (Osemene Dan Lamekanra, 2012 ).
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012, terdapat 44,14% masyarakat Indonesia
yang berusaha untuk melakukan pengobatan sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013
juga mencatat sejumlah 103.860 (35,2%) rumah tangga dari 294.959 rumah tangga di
Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi (Andikary dkk,2014).
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi
kesalahan pengobatan (medication error). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan
sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-
obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang termasuk dalam golongan obat
bebas dan bebas terbatas relatif aman digunakan untuk pengobatan sendiri atau swamedikasi
(Kemenkes, 2014).
Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu, cara
pemakaian, efek samping dan interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
Pemilihan jenis obat disesuaikan dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi dengan obat
yang sedang diminum (Djunarko Dan Hendrawati, 2011) Dalam (Restiyono,2016)
Antibiotik bukan obat berbahaya, tetapi obat-obat ini hanya boleh diresepkan jika infeksi
bakteri terbukti ada. Namun masih banyak masyarakat yang cenderung melakukan
swamedikasi antibiotik untuk penyakit yang dideritanya.
Swamedikasi antibiotik memiliki dampak secara medis, yaitu dapat terjadi resistensi
yang dapat memperparah penyakit. Karena tidak semua penyakit memerlukan antibiotik.
Fenomena swamedikasi antibiotik tidak hanya di perkotaan saja tetapi di desa pun sama.

1
Posisi desa Kajen yaitu di pertengahan antara kota dengan pedesaan. Oleh karena itu sangat
penting untuk menganalisis factor-faktor yang mempengaruhi swamedikasi antibiotik.

1.2 Rumusan masalah


a. Apa yang dimaksud dengan swamedikasi ?
b. Apa saja Obat yang boleh di swamedikasikan ?
c. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi swamedikasi ?
d. Bagaimana dampak dari swamedikasi antibiotk?
1.3 Tujuan
a. Untuk memahami tentang swamedikasi yang baik dan benar
b. Untuk mengetahui obat yang boleh di berikan pada saat swamedikasi
c. Untuk mengetahui faktor-faktor dari swamedikasi
d. Untuk memahami dampak dari swamedikasi

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi

Pengobatan sendiri adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan pengobatan
sakit ringan (minor illnesses), tanpa resep atau intervensi dokter. Pengobatan sendiri yang sesuai
aturan adalah apabila cara menggunakan obat sesuai dengan keterangan yang tercantum dalam
kemasan. Selain mempunyai keuntungan, pengobatan sendiri yang tidak sesuai aturan selain
dapat membahayakan kesehatan juga pemborosan waktu dan biaya karena harus melanjutkan
upaya pencarian pengobatan (Restiyono,2016).

Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri, biasanya dilakukan


untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti
demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan
pengobatan masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan
pengobatan (medication error) (KEMENKES, 2002)

2.2 Syarat Swamedikasi

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan swamedikasi menurut WHO
adalah penyakit yang diderita adalah penyakit dan gejala ringan yang tidak diperlukan untuk
dating kedokter atau tenaga medis lainya selain itu obat yang dijual obat golongan over the
counter (OTC). (WHO, 2000)

hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan swamedikasi

berikut ini merupakan bebrapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan swamedikasi

1. kenali gejala penyakit yang dialami


2. obat yang digunakan adalah obat yang tergolong sebagai obat bebas, obat bebas terbatas,
dan obat wajib apotek.
3. obat golongan tersebut dapat diperoleh di apotek atau toko obat yang memeiliki izin..

3
4. sebelum menggunakan obat, bacalah sifat dan cara pemakaian , dan tanggal kadaluarsa
obat pada etiket, brosur, atau kemasan obat agar penggunaanya tepat dan aman.
5. cara pemilihan obat
untuuk menetapkan jenis obat yang dibutuhkan perlu diperhatikan :
a. Pemilihan obat yang sesuai dengan gejala atau keluhan penyakit.
b. Kondisi khusus seperti hamil, menyusui, lanjut usis, dan lain-lain
c. Pengalaman alergi atau reaksi lain yang tidak diinginkan terhadap penggunaan obat
tertentu.
d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan interaksi
obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
e. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan kepada
apoteker.
6. kenali efek samping obat yang digunakan agar dapat diperkirakan apakah suatu keluhan
yang timbul kemudian merupakan suatu penyakit baru atu efek samping obat.
7. Cara penggunaan obat harus memperhatikan hal-hal berikut :
a. obat tidak untuk digunakan secara terus menerus
b. gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur obat
c. bila obat yang menimbulkan hal-hal yang tidak dinginkan, hentikan penggunaannya dan
tanyakan kepada apoteker atau dokter.
d. Hindari menggunakan obat orang lain, walaupun gejala penyakit yang sama..
8. gunakan obat tepat waktu, sesuai dengan aturan penggunaan
9. pemakain obat secara oral adalah cara yang paling lazim dan praktis, mudah, dan aman
(Depkes, 2008)
2.3 Terapi Rasional
Pada tindakan pengobatan sendiri atau swamedikasi dibutuhkan penggunaan obat yang
rasional. Menurut WHO (1985) pengobatan yang rasional adalah bila pasien menerima obat
yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang
paling murah untuk pasien dan masyarakat. Secara praktis penggunaan obat dikatakan
rasional jika memenuhi kriteria, tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat,
tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama pemberian,

4
waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, tepat informasi, tepat tindak
lanjut (follow up), tepat penyerahan obat (dispensing).
a. Tepat diagnose
Obat diberikan sesuai dengan diagnose. Apabila diagnosa tidak ditegakkan dengan benar
maka pemilihan obat akan salah.
b. Tepat indikasi
Tepat indikasi adalah adanya kesesuaian antara diagnosis pasien dengan obat yang
diberikan.
c. Tepat obat
Tepat obat adalah pemilihan obat dengan memperhatikan efektivitas, kemanan,
rasionalitas dan murah, Tepat obat meliputi ketepatan kelas terapi dan jenis terapi,
kemanfaatan, kemudahan mendapatkan.
d. Tepat dosis regimen
Tepat dosis regimen adalah pemberian obat yang tepat dosis (takaran obat), tepat rute
(cara pemberian), tepat saat (waktu pemberian), tepat interval (frekuensi) dan tepat lama
pemberian (durasi).
e. Tepat Pasien
Tepat pasien adalah obat yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien yang meliputi
umur, faktor genetik, kehamilan, alergi dan penyakit lain
f. Waspada Efek Samping
Waspada terhadap resiko efek samping yang dimiliki oleh setiap obat dan dikaitkan pula
dengan keadaan riwayat klinis pasien. (Depkes, 20008)

2.4 Jenis Obat pada Swamedikasi


Sesuai dengan peraturan mentri kesehatan No. 919/MenKes/PER/X/1993 tentang
kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, antara lain : tidak dikontraindikasikan
pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan lanjut usia diatas 65 tahun; pengobatan
sendiri dengan obat dimaksudkan untuk tidak memberikan risiko lebih lanjut terhadap
penyakitnya; dalam penggunaannya tidak diperlukan alat atau cara khusus yang hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti injeksi; obat yang digunakan memiliki

5
risiko efek samping minimal dan dapat dipertanggungjawabkan khasiatnya untuk
pengobatan sendiri.
Pada tahun 1998, WHO mensyaratkan obat yang digunakan dalam swamedikasi harus
didukung dengan informasi tentang bagaimana cara penggunaan obat; efek terapi yang
diharapkan dari pengobatan dan kemungkinan efek samping yang tidak diharapkan;
bagimana efek obat tersebut dimonitoring; interaksi yang mungkin terjadi; perhatian dan
peringatan mengenai obat; lama penggunaan; dan kapan harus menemui dokter.
Kelompok obat yang baik digunakan untuk swamedikasi adalah obat-obat yang
termasuk dalam obat Over the Counter (OTC dan Obat Wajib Apotek (OWA). Obat OTC
terdiri dari obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep dokter, meliputi obat bebas, dan
obat bebas terbatas. Sedangkan untuk Obat Wajib Apotek hanya dapat digunakan
dibawah pengawasan Apoteker (BPOM, 2004).
a. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual secara bebas diwarung kelontong, toko obat dan
apotek. Pemakaian obat bebas ditujukan untuk mengatasi penyakit ringan sehingga tidak
memerlukan pengawasan dari tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera
pada kemasan, hal ini dikarenakan jenis zat aktif pada obat bebas relatif aman. Efek
samping yang ditimbulkan pun minimum dan tidak berbahaya. Karena semua informasi
penting untuk swamedikasi dengan obat bebas tertera pada kemasan atau brosur
informasi di dalamnya, pembelian obat sangat disarankan dengan kemasannya. Logo
khas obat bebas adalah tanda berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Yang termasuk obat golongan ini contohnya adalah analgetik antipiretik (parasetamol),
vitamin dan mineral (BPOM, 2004).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan obat bebas adalah : lihat
tanggal kedaluwarsa obat; baca dengan baik keterangan tentang obat pada brosur;
perhatikan indikasi penggunaan karena merupakan petunjuk kegunaan obat untuk

6
penyakit; perhatikan dengan baik dosis yang digunakan, untuk dewasa atau anak-anak;
perhatikan dengan baik komposisi zat berkhasiat dalam kemasan obat; perhatikan
peringatan-peringatan khusus dalam pemakaian obat, perhatikan tentang kontraindikasi
dan efek samping obat (Depkes, 2006).
b. Golongan Obat Terbatas

Golongan obat ini disebut juga obat W (atau Waarschuwing) yang artinya waspada.
Diberi nama obat bebas terbatas karena ada batasan jumlah dan kadar dari zat aktifnya,
seperti Obat Bebas. Obat Bebas Terbatas mudah didapatkan karena dijual bebas dan
dapat dibeli tanpa resep dokter. Terdapat pula tanda peringatan ”P” dalam labelnya.
Kenapa disebut ”terbatas” karena ada batasan jumlah dan kadar isinya. Label ”P” ada
beberapa macam yaitu:
1. P.No. 1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
2. P.No. 2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur jangan ditelan
3. P.No. 3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan.
4. P.No. 4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar
5. P.No. 5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan
6. P.No. 6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan
Meskipun begitu idealnya obat ini hanya dijual di apotek atau toko obat berizin yang
dikelola oleh minimal asisten apoteker dan harus dijual dengan bungkus/kemasan aslinya.
Hal itu disebabkan obat ini sebenarnya masih termasuk dalam obat keras, artinya obat
bebas terbatas aman hanya jika digunakan sesuai dengan petunjuk. Oleh karenanya, obat
bebas terbatas dijual dengan disertai beberapa peringatan dan informasi memadai bagi
masyarakat luas. Obat ini dapat dikenali lewat lingkaran biru dengan garis tepi berwarna
hitam yang mengelilingi. Contoh obat bebas terbatas : obat batuk, obat flu, obat pereda
rasa nyeri, obat yang mengandung antihistamin (Depkes, 2006).

7
c. Obat wajib apotek
Obat Wajib Apotek adalah golongan obat yang wajib tersedia di apotek. Merupakan
obat keras yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Obat ini aman dikonsumsi bila sudah
melalui konsultasi dengan apoteker. Tujuan digolongkannya obat ini adalah untuk
melibatkan apoteker dalam praktik swamedikasi. Tidak ada logo khusus pada golongan
obat wajib apotek, sebab secara umum semua obat OWA merupakan obat keras. Sebagai
gantinya, sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VII/1990
tentang DOWA 1; No 924/MenKes/Per/ X/1999 tentang DOWA 2; No
1176/MenKes/SK/X/1999 tentang DOWA 3 diberikan Daftar Obat Wajib Apotek untuk
mengetahui obat mana saja yang dapat digunakan untuk swamedikasi. Obat wajib apotek
terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan,
obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat
kulit topikal (BPOM, 2004).
2.5 Keuntungan dan Kekurangan swamedikasi
Keuntungan swamedikasi menurut Tan dan Kirana, (1993), adalah obat untuk
gangguan sehari-hari seringkali memang sudah tersedia dirumah. Selain itu bagi orang yang
tinggal di desa terpencil, dimana belum ada praktek dokter, pengobatan sendiri akan
menghemat banyak waktu dan biaya yang diperlukan untuk pergi ke kota mengunjungi
seorang dokter. Menurut Anief (1997) dalam (Supardi,2005) keuntungan yang lain yaitu
lebih mudah, cepat, tidak membebani sistem pelayanan kesehatan dan dapat dilakukan oleh
diri sendiri. Bagi konsumen obat, pengobatan sendiri dapat memberi keuntungan yaitu bila ia
dapat menghemat biaya ke dokter, menghemat waktu ke dokter dan segera dapat beraktifitas
kembali.
Menurut Holt (1986) dalam Supardi (2005), keuntungan swamedikasi antara lain
aman bila digunakan sesuai dengan petunjuk (efek samping dapat diperkirakan), efektif
untuk menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self-limiting, yaitu sembuh sendiri
tanpa intervensi tenaga kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu mengunjungi fasilitas /
profesi kesehatan, biaya pembelian obat relatif lebih murah daripada biaya pelayanan
kesehatan, menghindari rasa malu dan stress apabila harus menampakkan bagian tubuh
tertentu dihadapan tenaga kesehatan, dan membantu pemerintah untuk mengatasi
keterbatasan jumlah tenaga kesehatan pada masyarakat.

8
Kekurangan swamedikasi yaitu obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak
digunakan sesuai dengan aturan, penggunaan obat bisa salah karena informasi dari iklan obat
kurang lengkap, pemborosan waktu dan biaya apabila salah menggunakan obat, dapat timbul
reaksi obat yang tidak diinginkan, seperti sensitivitas, alergi, efek samping atau resistensi.
Selain itu juga bisa tidak efektif karena salah diagnosis dan pemilihan obat, serta sulit
bertindak objektif karena biasanya pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu
dan lingkungan sosialnya.
Ciri umum mengenai swamedikasi antara lain :
a. Dipengaruhi oleh perilaku seseorang yang dikarenakan kebiasaan, adat, tradisi
ataupun kepercayaan
b. Dipengaruhi faktor sosial politik dan tingkat pendidikan
c. Dilakukan bila dirasa perlu
d. Tidak termasuk dalam kerja medis profesional
e. Bervariasi praktiknya dan dilakukan oleh semua kelompok masyarakat.
Dalam penyelenggaraan kesehatan, idealnya swamedikasi menjadi langkah awal yang
utama dilakukan masyarakat sebelum berkonsultasi dengan dokter atau dokter spesialis
yang memang ahli dibidangnya (Sukasediati et al., 1996). Swamedikasi dilakukan
masyarakat untuk mengatasi gejala penyakit penyakit ringan yang dapat dikenali sendiri.
Menurut Winfield dan Richards (1998) kriteria penyakit ringan yang dimaksud adalah
penyakit yang jangka waktunya tidak lama dan dipercaya tidak mengancam jiwa pasien
seperti sakit kepala, demam, batuk pilek, mual, sakit gigi, dan sebagainya.
Keinginan untuk merawat diri, mengurus keluarga yang sakit, kurang puas terhadap
pelayanan kesehatan yang tersedia, dan semakin banyaknya pilihan obat merupakan
beberapa contoh faktor yang mendukung pelaksanaan praktik swamedikasi (Phalke et al.,
2006). Masyarakat berharap dapat lebih terlibat aktif dalam pengelolaan kesehatan diri
dan keluarga. Di zaman modern hal tersebut dapat disimpulkan dengan dua alasan utama,
yaitu ketersediaan informasi yang dapat diakses bebas melalui media manapun serta
keterbatasan waktu yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan begitu, dimanapun berada,
masyarakat cenderung dapat mengatasi masalah kesehatan yang sifatnya sederhana dan
umum diderita. Selain itu, cara ini terbukti lebih murah dan lebih praktis (BPOM, 2004).

9
2.6 Penghentian Swamedikasi
Pengobatan swamedikasi harus dihentikaan menurut BPOM, 2014 harus dihentikan bila :
1. Timbul gejala lain seperti pusing, mual, muntah dan sakit kepala
2. Terjadi reaksi alergi seperti gatal-gatal dan kemerahan pada kulit
3. Sudah minum obat atau dengan dosis yang salah
2.7 Peran Apoteker Dalam Swamedikasi
Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai
pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam
swamedikasi. Obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas relatif
aman digunakan untuk pengobatan sendiri atau swamedikasi (KepMenkes RI, 2002).

10
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan jurnal yang dilakukan Restiyono pada tahun 2016 tentang faktor yang
mempengaruhi swamedikasi yaitu :
1. Usia
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berpikir dan bekerja. Pada usia yang semakin tua maka seseorang semakin banyak
pengalaman sehingga pengetahuannya semakin bertambah. Karena pengetahuannya
banyak maka seseorang akan lebih siap dalam menghadapi sesuatu (Notoatmodjo, 2003)
2. Pendidikan
pendidikan yang rendah dapat menyebabkan timbulnya pola pemikiran yang irasional dan
adanya kepercayaan-kepercayaan kepada takhayul. Ibu yang seperti ini akan sulit
menerima hal-hal baru. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan tidak terdapat
hubungan pendidikan dengan swamedikasi antibiotic.
3. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan pekerjaan dengan swamedikasi
antibiotik pada ibu rumah tangga di Kelurahan Kajen Kabupaten Pekalongan.
4. Pengetahuan tentang antibiotik
Responden yang mempunyai pengetahuan baik dan perilaku swamedikasi yang tepat
dalam pengobatan mandiri menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki responden
berpengaruh terhadap perilaku responden terutama dalam penggunaan Antibiotik.
Responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang antibiotik dalam pengobatan
mandiri dapat disebabkan salah satunya karena adanya motivasi responden untuk
menjaga kesehatan.
Hal ini dapat disebabkan karena ibu yang pengetahuan yang baik memungkinkan untuk
melakukan analisa terhadap kebutuhan fisik dan keluarganya dan memilih upaya-upaya
untuk meningkatkan aktifitas peningkatan kesehatan.

11
Ada berbagai hal yang melatarbelakangi ibu melakukan swamedikasi antibiotik, yaitu:
a. Biaya pengobatan yang mahal Merupakan penilain konsumen dari murah sampai mahal
dalam berobat ke dokter.
b. Kemudahan Pengobatan Merupakan kecepatan proses memperoleh obat tanpa harus
menunggu pemeriksaan dari dokter.
c. Pesan iklan Merupakan esan dari perusahaan farmasi untuk menginformasikan obat dan
manfaatnya bagi kesembuhan suatu penyakit.
d. Tingkat pendidikan Merupakan ukuran tinggi rendahnya jenjang pendidikan yang dimiliki
oleh ibu rumah tangga.
e. Informasi dari pihak lain Merupakan informasi dari seseorang yang didasarkan
pengalamannya dalam menggunakan suatu obat.
Disebutkan Oleh Niken bahwa seseorang melakukan swamedikasi dilatar belakangi oleh
pengalaman atau keluarga, pernah menggunakan sisa obat orang lain, menggunakan kopi
resep dokter. Dan meningkatnya perilaku swamedikasi disebabkan karna perkembangan
teknologi farmasi yang inivatif, jenis atau merk obat yang beredar telah diketahui atau
dikenal oleh masyarakat luas. Berubahnya peraturan tentang obat dan farmasi. Kesadaran
masyarakat akan pentingnya arti sehat.
5. Sumber informasi
Berlandaskan pada Permenkes No. 919/MENKES/PER/X/1993 secara sederhana
swamedikasi didefinisikan sebagai upaya seseorang dalam mengobati gejala sakit tanpa
berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu, namun bukan berarti tanpa petunjuk medis,
justru pasien harus mencari informasi obat yang sesuai dengan penyakitnya dan apoteker
dapat memberikan informasi obat yang objektif dan rasional.

Dampak positif dari swamedikasi antara lain: Pencegahan maupun pengobatan yang lebih
dini dan biaya yang lebih terjangkau dan cepat. Namun memiliki dampak negative terkait dengan
pengobatan menggunakan antibiotik yang kurang rasional yang disebabkan karna masyarakat
awam tidak mengetahui latar belakang pasti sebuah penyakit disebabkan oleh bakteri, virus, atau
parasit lainnya. Sedangkan dalam penggunaan antibiotik hanya efektif jika penyebab penyakit
adalah bakteri.

12
Disinilah peran Farmasi Apoteker untuk membimbing dan memilihkan obat yang tepat.
Pasien dapat meminta informasi kepada apoteker agar pemilihan obat lebih tepat. Selain
apoteker, tenaga farmasi lain seperti asisten apoteker mempunyai peran penting dalam
menyampaikan informasi obat kepada masyarakat. Seperti penyampaian informasi tentang
penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional. Informasi yang diberikan harus benar, jelas
dan mudah dimengerti serta cara penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan, selektif, etika,
bijaksana dan hati-hati. Informasi yang diberikan kepada pasien sekurangkurangnya meliputi:
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan/ minuman/
aktifitas yang hendaknya dihindari selama terapi dan informasi lain yang diperlukan (Anief,
1997).

13
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

1. Swamedikasi adalah upaya pengobatan yang dilakukan sendiri, biasanya dilakukan


untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami
masyarakat.
2. Obat-obat yang boleh di swamedikasikan yaitu golongan obat bebas, obat bebas
terbatas dan obat wajib apotik.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi swamedikasi seperti usia, pengetahuan, pekerjaan,
dan sumber informasi.
4. Swamedikasi antibiotik memiliki dampak secara medis, yaitu dapat terjadi resistensi
yang dapat memperparah penyakit.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Osemene, K. P., & Lamikanra, A. (2012). A study of the prevalence of self-medication


practice among university students in Southwestern Nigeria. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research, 11(4), 683-689.
2. Adhikary, M., Tiwari, P., Singh, S., & Karoo, C. (2014). Study of self-medication
practices and its determinant among college students of Delhi University North Campus,
New Delhi, India. International Journal of Medical Science and Public Health, 3(4), 406-
409.
3. Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
4. restiyono, ady. 2016. analisis faktor yang berpengaruh dalam swamedikasi antibiotik
pada ibu rumah tangga di kelurahan kajen kebupaten pekalongan. ponegoro. jurnal
promosi kesehatan indonesia vol. 11 / no. 1
5. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002/
tentang Perubahan atas Peraturan Mentri No: 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
6. Departemen kesehatan republic Indonesia. 2008. Materi pelatihan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan memilih obat bagi tenaga kesehatan. Jakarta : departemen
kesehatan republik Indonesia.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat
Wajib Apotek No. 2
8. BPOM, 2004, Pengobatan Sendiri. Majalah Info Pom, 5(6): 1-5.
9. Depkes, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta

10. Bpom. 2014. Menuju swamedikasi yang awam. Jakarta : info pom
11. Supardi, S., dan Notosiswoyo, M., 2005, Pengobatan Sendiri Sakit Kepala,
Demam, Batuk, dan Pilek pada Masyarakat , Majalah Ilmu Kefarmasian, 2(3) 135 - 143

15

Anda mungkin juga menyukai