Anda di halaman 1dari 5

Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA)

Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi
masalah kesehatan yang ringan, dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan
pengobatan sendirisecara tepat, aman dan rasional. Melakukan pengobatan sendiri secara tepat,
aman dan rasional dapat dicapai melalui bimbingan apoteker yang disertai dengan informasi yang
tepat sehingga menjamin penggunaan yang tepat dari obat tersebut.
Peran apoteker di apotik dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta
pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan
sendiri.

Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter, namun
harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan penggunaan obat DOWA harus dengan
bimbingan apoteker. Daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri
Kesehatan. Sampai saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep
dokter.

Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam:

1. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/ MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek
berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1
2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/ Menkes / Per / X / 1993 tentang DaftarObat Wajib
Apotek No.2
3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib
Apotek No.3
Obat Esensial
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling diperlukan untuk pelayanan kesehatan, mencakup
upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan
kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan melalui Daftar Obat Esensial Nasional, Pedoman
Pengobatan, Formularium Rumah Sakit dan Informatorium Obat Nasional Indonesia. Keempat
komponen ini merupakan komponen yang saling terkait untuk mencapai peningkatan ketersediaan
dan suplai obat serta kerasionalan penggunaan obat.

Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan
yang diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.

Dari sisi medis, obat esensial sedikit banyak dapat dikaitkan dengan obat pilihan (drug of choice).
Dalam hal ini hanya obat yang terbukti memberikan manfaat klinik paling besar, paling aman, paling
ekonomis, dan paling sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada yang dimasukkan
sebagai obat esensial.
Tujuan kebijakan obat esensial adalah untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan
penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya
yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kriteria obat esensial yang dibuat oleh Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) dan juga telah diadopsi di Indonesia adalah sebagai berikut:

 Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit risk ratio) yang paling menguntungkan pasien
 Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan hayati (bioavailability)
 Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
 Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan
fasilitas kesehatan
 Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
 Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung
dan tidak langsung
 Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,maka pilihan
diberikan kepada obat yang:
o Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
o Sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak menguntungkan
o Stabilitas yang paling baik
o Paling mudah diperoleh
o Obat yang telah dikenal
 Obat jadi kombinasi tetap, dengan kriteria sebagai berikut:
o Obat bermanfaat bagi pasien hanya bila dalam bentuk kombinasi tetap
o Kombinasi tetap terbukti memberikan khasiat dan keamanan lebih baik dibanding
masing-masing komponennya
o Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat
untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut.
o Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat dan keamanan
o Kombinasi antibakteri harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi
atau efek merugikan lain.
Di Indonesia, penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus di semua
unit pelayanan kesehatan.

Obat Generik
Obat yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai oleh masing-
masing produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan promosi untuk masing-masing
produknya, maka harga obat dengan nama dagang umumnya lebih mahal. Kebijakan obat generik
adalah salah satu kebijakan untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan dengan
nama bahan aktifnya.
Agar para dokter dan masyarakat dapat menerima dan menggunakan obat generik, diperlukan
langkah-langkah pengendalian mutu secara ketat. Di Indonesia, kewajiban menggunakan obat
generik berlaku di unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah.

Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka kebijakan
tersebut mencakup komponen-komponen berikut:

 Produksi obat generik dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Produksi dilakukan
oleh produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan kebutuhan akan obat
generik dalam pelayanan kesehatan.
 Pengendalian mutu obat generik secara ketat.
 Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan sesuai dengan
Cara Distribusi Obat yang Baik
 Peresepan berdasarkan nama generik, bukan nama dagang.
 Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit-unit pelayanan
kesehatan.
 Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara
berkesinambungan.
 Pemantauan dan evaluasi berkala terhadap penggunaan obat generik.
Mutu obat generik tidak perlu diragukan mengingat setiap obat generik juga mendapat perlakuan
yang sama dalam hal evaluasi terhadap pemenuhan kriteria khasiat, keamanan dan mutu obat.
Namun, sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa penggunaan obat generik mulai menurun.
Untuk itu hasil dari pemeriksaan mutu dan informasi mengenai obat generik harus selalu
dikomunikasikan kepada pemberi pelayanan maupun ke masyarakat luas.

Formularium Rumah Sakit


Bagi suatu rumah sakit, tidak mungkin untuk menyediakan semua jenis obat yang ada di pasaran
untuk pelayanan rumah sakit. Untuk itu dikembangkan kebijakan formularium rumah sakit, yang
pada dasarnya adalah merupakan upaya pemilihan obat di rumah sakit. Setiap rumah sakit di
negara maju dan juga dibanyak negara berkembang umumnya telah menerapkan formularium
rumah sakit. Formularium rumah sakit (FRS) pada hakekatnya merupakan daftar produk obat yang
telah disepakati untuk dipakai di rumah sakit yang bersangkutan, beserta informasi yang relevan
mengenai indikasi, cara penggunaan dan informasi lain mengenai tiap produk. FRS yang telah
disepakati di satu rumah sakit perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh (commitment) dari pihak-
pihak yang terkait, meliputi:
 Pengelola obat menyediakan obat-obat di rumah sakit sesuai dengan FRS
 Dokter menggunakan obat-obat yang ada di FRS.
Formularium Rumah Sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan
Terapi (KFT) Rumah Sakit berdasarkan DOEN dan disempurnakan dengan mempertimbangkan
obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku.

Mengingat pengembangan dan penerapan FRS adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui
penggunaan obat yang aman, efektif, rasional dan juga dalam rangka efisiensi biaya pengobatan,
maka pengembangan FRS perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait di rumah sakit, yakni pihak
pengelola obat, manajemen rumah sakit, dan keahlian- keahlian klinik yang ada. Keputusan untuk
memasukkan suatu obat dalam FRS harus didasarkan atas kesepakatan akan kriteria tertentu yang
mencakup bukti, manfaat klinis obat, keamanan obat, kesesuaian obat dengan pelayanan yang ada
di rumah sakit dan biaya. Faktor-faktor ini harus dikaji secara ilmiah dari sumber-sumber informasi
ilmiah yang layak dipercaya. Kajian tidak cukup hanya berdasarkan informasi yang diberikan oleh
produsen obat.

FRS yang telah dikembangkan harus disosialisasikan di kalangan dokter, dan dalam penerapannya
harus dilakukan pemantauan secara berkesinambungan. Hasil pemantauan dipakai untuk
pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran.

Pedoman Pengobatan
Di banyak sistem pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang, saat ini
banyak dikembangkan dan dilaksanakan pedoman pelayanan termasuk pedoman pengobatan
dalam berbagai tingkat pelayanan. Unit-unit pelayanan kesehatan, baik di tingkat primer, sekunder
maupun tersier, membutuhkan suatu pedoman pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan
efektifitas, keamanan maupun cost-effectiveness tindakan farmakoterapi yang diberikan.
Kebutuhan pedoman pengobatan dilator-belakangi oleh banyaknya alternatif pengobatan yang ada
untuk setiap jenis penyakit dan juga adanya kebiasaan pengobatan yang sangat beragam di antara
para dokter berdasarkan pengalamannya masing-masing. Prinsip kedokteran berdasarkan bukti
(evidence based medicine) menuntut bahwa alternatif terapi yang terbukti secara ilmiah paling
bermanfaat, paling aman, paling sesuai dan paling ekonomis untuk pasien yang harus dipilih dan
diberikan kepada pasien.
Agar pedoman pengobatan dapat memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya, maka beberapa
hal berikut perlu mendapatkan perhatian:

 Pedoman pengobatan dikembangkan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dan handal.
 Pedoman pengobatan dikembangkan dengan melibatkan berbagai faktor dalam sistem
pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
 Pedoman pengobatan perlu disosialisasikan kepada para dokter.
 Perlu pemantauan ketaatan terhadap pedoman pengobatan melalui audit atau studi
penggunaan obat di unit-unit pelayanan kesehatan.
 Pedoman pengobatan memuat penyakit yang umum dijumpai di unit pelayanan kesehatan.
 Pedoman pengobatan harus disesuaikan dengan sarana pelayanan dan pelaku pelayanan
yang ada.
Mengembangkan pedoman pengobatan dan menyebarluaskannya ke unit-unit pelayanan kesehatan
saja tidak akan memberikan banyak dampak perubahan terhadap kebiasaan penggunaan obat.
Pedoman pengobatan perlu dipakai dan ditaati oleh para dokter dalam pelaksanaan pelayanan dan
secara berkala dilakukan pemeriksaan (audit) dan pemantauan (monitoring) kebiasaan penggunaan
obat. Hasil pemeriksaan dan pemantauan ini perlu diumpanbalikkan kepada para dokter sebagai
masukan yang diharapkan akan meningkatkan mutu penggunaan obatnya.

Masalah Dalam Penggunaan Obat


Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak ekonomis atau yang lebih
populer, dengan istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan
kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit
pelayanan kesehatan, misalnya di rumah sakit, puskesmas, praktek pribadi, maupun di masyarakat
luas.
Penggunaan obat yang tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak imbang dengan manfaat
yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat. Dengan kata lain, penggunaan obat dapat
dinilai tidak rasional jika:

 Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru


 Pemilihan obat tidak tepat, artinya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling
bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis
 Cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi
pemberian dan lama pemberian
 Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaan-keadaan yang
tidak memungkinkan penggunaan suatu obat, atau mengharuskan penyesuaian dosis (misalnya
penggunaan aminoglikosida pada gangguan ginjal) atau keadaan yang akan meningkatkan
risiko efek samping obat
 Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien atau
keluarganya
 Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tidak
diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak langsung.
Latar belakang penyebab terjadinya masalah penggunaan obat bersifat kompleks karena berbagai
faktor ikut berperan. Ini mencakup faktor yang berasal dari dokter, pasien, sistem dan sarana
pelayanan yang tidak memadai, dan dari kelemahan-kelemahan regulasi yang ada. Tidak kalah
pentingnya adalah faktor yang berasal dari promosi obat yang berlebihan dan adanya informasi
yang tidak benar mengenai manfaat dan keamanan suatu obat. Masalah penggunaan obat tidak
semata- mata berkaitan dengan kekurangan informasi dan pengetahuan dari profesional kesehatan
(dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya) maupun pasien atau masyarakat, tetapi juga
berkaitan dengan kebiasaan yang sudah mendalam, dan perilaku pihak-pihak yang terlibat
didalamnya.

Untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, semua profesional kesehatan harus mewaspadai
lima hal yang harus tepat dalam pemberian obat yaitu: “Tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat
rute pemberian dan tepat waktu pemberian”. Dalam manajemen risiko, semua hal yang harus tepat
ini diubah/ dibalik menjadi kategori medication error. Beberapa masalah dalam pemberian obat yang
dikategorikan sebagai medication error, adalah sebagai berikut:
1. Memberikan obat yang salah yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak diresepkan
untuk pasien tersebut.
2. Kelebihan jumlah sediaan yang diberikan, yaitu apabila sediaan yang diberikan lebih besar
dari total jumlah sediaan pada saat diminta oleh dokter. Contoh: apabila dokter meminta obat
untuk diberikan hanya pada pagi hari namun pasien juga menerima obat untuk digunakan pada
sore hari.
3. Kesalahan dosis atau kesalahan kekuatan obat yaitu apabila pada sediaan yang diberikan
terdapat kesalahan jumlah dosis
4. Kesalahan rute pemberian yaitu apabila obat diberikan melalui rute yang berbeda dengan
yang seharusnya, termasuk juga sediaan yang diberikan pada tempat yang salah. Contoh: obat
seharusnya diteteskan pada telinga sebelah kanan tetapi diteteskan pada telinga sebelah kiri.
5. Kesalahan waktu pemberian yaitu apabila waktu pemberian obat berbeda dari seharusnya
tanpa ada alasan yang kuat dan memberikan perbedaan efek yang cukup signifikan.
6. Kesalahan bentuk sediaan yaitu apabila bentuk sediaan yang diberikan berbeda dengan
yang diminta oleh dokter Contoh: memberikan tablet padahal yang diminta adalah suspensi

Anda mungkin juga menyukai