Anda di halaman 1dari 9

MODUL INTI I

SELEKSI DAN SPESIFIKASI

I. DESKRIPSI SINGKAT

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


a. Tujuan pembelajaran umum
Setelah pelatihan ini, peserta mampu menerapkan seleksi dan spesifikasi obat sesuai
standar
b. Tujuan pembelajaran khusus
Setelah menyelesaikan materi peserta dapat:
1. Menjelaskan dan melakukan seleksi obat untuk pengadaan
2. Melakukan mekanisme penyusunan dan kriteria obat essensial dan daftar obat
fornas, DOEN, Narkotik, Obat
3. menetapkan spesifikasi dan mutu obat untuk pengadaan
4. Memahami dan menerapkan hal khusus suatu obat untuk seleksi obat

III. POKOK BAHASAN DAN ATAU SUB POKOK BAHASAN


1.1 Seleksi Obat untuk pengadaan
a. Konsep dan kebijakan obat esensial dan daftar obat FORNAS, DOEN, Narkotika,
Pedoman pengobatan
b. program,pedoman pengobatan dan daftar obat kriteria BPJS
c. Pedoman pengobatan yang berlaku (PPK1, Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas, Pedoman Pengobatan di RS)
d. Karakteristik obat yang dibutuhkan
2.1 Mekanisme penyusunan dan kriteria obat essensial dan daftar obat fornas,
DOEN,Narkotik,Obat
3.1 Spesifikasi dan mutu obat untuk pengadaan
a. Acuan standar spesifikasi dan mutu obat
b. Spesifikasi obat yang baik
c. Manfaat dan fungsi spesifikasi obat
d. Tanggung jawab staf pengadaan dalam proses spesifikasi
4.1 Standar acuan suhu penyimpanan obat/vaksin, volume/ukuran obat, sarana khusus
lain.
4.2 Regulasi pembatasan peredaran obat: obat keras/bebas terbatas/bebas, obat
narkotika/psikotropika
IV. BAHAN BELAJAR
1. Undang-undang
2. Permenkes
3. Buku pedoman
4. Internet

V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

VI. URAIAN MATERI


A. Seleksi untuk pengadaan
1. Konsep Obat Esensial dan penerapannya
DOEN adalah daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan diupayakan
tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan jenjangnya. DOEN
merupakan standar obat nasional minimal untuk pelayanan kesehatan. DOEN
dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan dan
pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan dayaguna dan hasilguna biaya yang
tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.Jika dalam pelayanan kesehatan
diperlukan obat diluar DOEN, dapat disusun dalam Formularium (RS) atau Daftar obat
terbatas lain (Daftar Obat PKD, Fornas). Selain itu ada pula informasi obat beredar
(bukan hanya OE) yang netral (tidak memihak produsen) yang resmi diterbitkan oleh
BdnPOM yaitu Informatorium Obat Nasional Indonesia.
Penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus di
semua fasilitas pelayanan kesehatan.Bentuk sediaan dan kekuatan sediaan yang
tercantum dalam DOEN adalah mengikat. Besar kemasan yang diadakan untuk masing-
masing fasilitas pelayanan kesehatan didasarkan pada efisiensi pengadaan dan
distribusinya dikaitkan dengan penggunaan. Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan
melalui DOEN, Pedoman Pengobatan, Formularium Rumah Sakit, Daftar obat terbatas
lain dan Informatorium Obat Nasional Indonesia yang merupakan komponen saling
terkait untuk mencapai peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan
penggunaan obat.
DO EN Indonesia sebagai produk kebijakan di bidang obat, sudah diterbitkan
sejak 1980 dan direvisi setiap 3-4 th. UU kes 39/2019 mengamanatkan revisi setiap 2
tahun. Acuan revisi DOEN adalah DOE WHO yang selalu direvisi setiap 2 tahun,
pedoman pengobatan penyakit yang disusun oleh organisasi profesi terkait, informasi
produk yang independen
2. Pedoman Pengobatan/standar terapi
Pedoman Pengobatan disusun secara sistematik untuk membantu dokter dalam
menegakkan diagnosis dan pengobatan yang optimal untuk suatu penyakit tertentu.
Pedoman Pengobatan disusun untuk setiap tingkat fasilitas pelayanan kesehatan,
seperti Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Pedoman Diagnosis dan Terapi di
Rumah Sakit, Pedoman Pedoman Praktik Klinik tingkat I. Pedoman pengobatan ini
memuat informasi penyakit, terutama penyakit yang umum terjadi dan keluhan-
keluhannya serta informasi tentang obatnya yang meliputi kekuatan, dosis dan lama
pengobatan.
Pedoman nasional pengobatan program penyakit disusun oleh sekelompok
ahli dalam suatu komite nasional untuk TB, HIV/AIDS dan malaria. Obat dalam
pedoman-pedoman ini masuk dalam DOEN dan ForNas
3. Formularium Nasional (ForNas)
Formularium nasional adalah perluasan dari DOEN yang di seleksi
berdasarkan mekanisme dan kriteria yang sama dengan pemilihan OE oleh Komite
nasional dengan komposisi yang sama dengan Komite Nasional seleksi DOEN.
ForNas ini menjadi pegangan belanja obat bagi program Jaminan Kesehatan
Nasional. Obat dalam ForNas, masuk dalam e-katalog untuk keperluan pengadaan
obat nasional. Sama seperti DOEN, ForNas direvisi secara berkala
4. Spesifikasi dan mutu obat
Obat yang akan dipilihuntuk pengadaan sektor harus memenuhi standar mutu,
sesuai yang tercantum dalam kompendium resmi, dalam hal ini Farmakope Indonesia.
Jika obat tersebut belum tercantum dalam FI, maka dapat digunakan acuan lain,
umumnya Farmakope Internasional, USP, BP. Secara internasional, pengadaan obat
oleh international agency untuk negara-negara berkembang harus memenuhi syarat
prekualifikasi WHO (WHO prequalified), dengan tujuan agar setiap orang
memperoleh obat yang memenuhi syarat mutu, keamanan dan khasiat. Prekualifikasi
WHO dinilai oleh badan pengawas obat yang ketat (Stringent Regulatory
Authority/SRA) seperti FDA (Amerika), TGA (Australia), EMA (Eropa).
Di Indonesia Farmakope Indonesia (FI) adalah standar mutu suatu obat yang
masuk dalam kategori Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan demikian
persyaratan FI sifatnya mengikat dan harus diacu baik sebagai bahan baku maupun
sediaan jadi, saat obat mulai diproduksi sampai obat dalam perdagangan dan
pengelolaan serta penyimpanannya. Dalam FI nama obat dicantumkan sebagai nama
generik INN. Persyaratan mutu obat meliputi bentuk sediaan atau bahan baku, batas
kadar, pemerian, identifikasi, kemurnian, uji disolusi, uji keseragaman sediaan,
persyaratan mikrobiologi dan potensi hayati. penetapan kadar, wadah, penandaan
dan cara penyimpanan.
B. Mekanisme penyusunan dan kriteria obat essensial dan daftar obat fornas,
DOEN,Narkotik,Obat
Pemilihan obat untuk masuk dalam DOEN, dilakukan melalui forum Komisi
Pemilihan DOEN, yang beranggotakan multi disiplin:para ahli penyakit/spesialis, dokter
gigi, apoteker, dokter puskesmas, dokter RS kab/kota, dokter RS propinsi, ahli
farmakologi, perwakilan BdnPOM, pengelola obat tingkat nasional, penanggung jawab
nasional program penyakit yang menggunakan obat dan para penentu kebijakan dibidang
obat.
Kriteria Pemilihan Obat Esensial didasarkan pada sifat obat yang
a. Memiliki rasio manfaat-resiko(benefit-risk ratio)yang paling menguntungkan
penderita.
b. Terjamin mutunya,termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.
c. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.
d. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga,sarana
dan fasilitas kesehatan.
e. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita.
f. Memiliki rasio manfaat-biaya(benefit-costratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak langsung.
g. Bila terdapat lebih dari satu pilihan obat yang memiliki efek terapi yang serupa,
pilihan dijatuhkan pada :
 Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
 Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan
 Obat yang stabilitasnya lebih baik
 Mudah diperoleh
h. Obat kombinasi dosis tetap, harus memenuhi kriteria berikut
 Hanya bermanfaat bagi penderita jika dalam bentuk kombinasi tetap;
 Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi dari
pada masing-masing komponen
 Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang
tepat untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut
 Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya(benefit cost ratio)
 Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi
terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya

C. Spesifikasi dan mutu obat untuk pengadaan


Obat yang akan dipilihuntuk pengadaan sektor harus memenuhi standar mutu,
sesuai yang tercantum dalam kompendium resmi, dalam hal ini Farmakope Indonesia.
Jika obat tersebut belum tercantum dalam FI, maka dapat digunakan acuan lain,
umumnya Farmakope Internasional, USP, BP. Secara internasional, pengadaan obat
oleh international agency untuk negara-negara berkembang harus memenuhi syarat
prekualifikasi WHO (WHO prequalified), dengan tujuan agar setiap orang
memperoleh obat yang memenuhi syarat mutu, keamanan dan khasiat. Prekualifikasi
WHO dinilai oleh badan pengawas obat yang ketat (Stringent Regulatory
Authority/SRA) seperti FDA (Amerika), TGA (Australia), EMA (Eropa).
Di Indonesia Farmakope Indonesia (FI) adalah standar mutu suatu obat yang
masuk dalam kategori Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan demikian
persyaratan FI sifatnya mengikat dan harus diacu baik sebagai bahan baku maupun
sediaan jadi, saat obat mulai diproduksi sampai obat dalam perdagangan dan
pengelolaan serta penyimpanannya. Dalam FI nama obat dicantumkan sebagai nama
generik INN. Persyaratan mutu obat meliputi bentuk sediaan atau bahan baku, batas
kadar, pemerian, identifikasi, kemurnian, uji disolusi, uji keseragaman sediaan,
persyaratan mikrobiologi dan potensi hayati. penetapan kadar, wadah, penandaan
dan cara penyimpanan.
Seleksi obat merupakan tanggung jawab khas profesi farmasi. Obat yang
digunakan harus mematuhi pedoman pengobatan, karenanya merupakan dasar
efisiensi perencanaan dan pengadaan obat.
Spesifikasi merupakan tanggung jawab khas profesi farmasi. Spesifikasi
merupakan kriteria dasar pengadaan obat yang harus tercantum dalam surat
pemesanan dan kontrak. Speisifikasi juga merupakan dasar inspeksi penerimaan obat,
harus tercantum dalam BAST sesuai kontrak

D. Standar acuan suhu penyimpanan obat/vaksin, volume/ukuran obat, sarana


khusus lain
IF penyimpanan harus produk rantai dingin memiliki :
a. chiller atau cold room (suhu 2°- 8°), untuk menyimpan vaksin dan serum dengan
suhu penyimpanan pada suhu 2°- 8°C, biasanya digunakan untuk penyimpanan
vaksin campak, BCG, DPT, TT, DT, Hepatitis B, DPT-HB.
b. freezer atau freezer room (suhu -15° s/d –25°C) untuk menyimpan vaksin OPV.
Penyimpanan vaksin dalam chiller dan freezer, hendaknya disusun tidak terlalu
padat sehingga sirkulasi udara dapat dijaga, jarak antara kotak vaksin sekitar 1-2
cm. Chiller / freezer harus berjarak minimal 15 cm dengan dinding bangunan.
Suhu dimonitor minimal 3 (tiga) kali sehari setiap pagi, siang dan sore serta harus
didokumentasikan. Pelarut BCG, pelarut campak dan penetes polio dapat
disimpan pada suhu kamar dan tidak diperbolehkan terpapar sinar matahari
langsung.
Penanganan vaksin jika sumber listrik padam:
a. hidupkan genset.
b. jika genset tidak berfungsi dengan baik, maka dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
• jangan membuka pintu chiller / freezer / cold room / freezer room.
• periksa termometer, pastikan bahwa suhu masih di antara 2°- 8°C untuk chiller /
cold room atau ≥ -15°C untuk freezer / freezer room.
• Jika suhu chiller / cold room mendekati 8°C, masukkan cool pack (2°- 8°C)
secukupnya.
• Jika suhu freezer / freezer room mendekati -15°C, masukkan cold pack (-20°C )
atau dry ice secukupnya.
• Jika keadaan ini berlangsung lebih dari 1 hari, maka vaksin harus dievakuasi ke
tempat penyimpanan yang sesuai deng dengan persyaratan.

E. Regulasi pembatasan peredaran obat: obat keras/bebas terbatas/bebas, obat


narkotika/psikotropika

Dalam peredaran, obat di kelompokkan ke dalam obat keras, napza, obat bebas
terbatas dan obat bebas.
a. Obat keras, semua obat pada dasarnya harus digunakan secara hati-hati. Obat
keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh berdasarkan resep dokter,
dengan cara penggunaan yang jelas. Obat keras dapat diperoleh dari , rumah
sakit apotik dan puskesmas mempunyai logo huruf K warna merah dalam
lingkaran hitam. Berdasarkan margin of safety yang cukup luas suatu obat,
beberapa obat keras dinilai aman diperoleh tanpa resep dokter, dapat
dikelompokkan ke dalam obat bebas terbatas

K
b. Narkotik dan Psikotropik, Obat keras jenis tertentu yang perlu pengawasan
dan pengendalian adalah kelompok narkotika dan psikotropika atau disingkat
napza. Napza pada dasarnya adalah obat yang memiliki efek terapetik baik,
misalnya morfin HCl adalah analgetik kuat yang diperlukan oleh penderita
kanker pada stadium terminal. Namun karena obat tersebut memiliki efek lain
yang sering disalahgunakan, maka obat ini termasuk dalam obat yang
dikendalikan. Pengendalian ini dimaksudkan agar tidak disalahgunakan dan
pasien yang benar-benar membutuhkan, dapat memperolehnya. Di sarana
penyimpanan obat dan pelayanan kefarmasian, napza disimpan ditempat
khusus dan terkunci. Daftar obat napza termasuk precursor, diatur dalam UU
Narkotika dan Psikotropika
c. Obat bebas terbatas, Pada dasarnya adalah obat keras yang dalam jumlah
dan dosis terbatas, -berdasarkan margin of safety- dapat diperoleh tanpa resep
dokter. Obat golongan ini apat diperoleh dari RS, apotik, puskesmas, dan toko
obat. Suatu hal kritikal dalam obat bebas terbatas ini adalah cara penggunaan
yang harus dibaca dan dipatuhi oleh pengguna. Oleh karena itu, kemasan obat
terbatas harus memfasilitasi keterbatasan tersebut. Obat kelompok ini dapat
dikenali dengan logo bulatan berwarna biru

d. Obat bebas adalah obat yang diedarkan dan dapat dibeli langsung oleh
pengguna tanpa membutuhkan resep dokter. Obat kelompok ini dapat dikenali
dengan logo bulatan hijau.
VII. REFERENSI
A. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Daerah Kepulauan,
Depkes RI, Jakarta
B. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2013 tentang petunjuk pelaksanaan
pengadaan obat dengan prosedur e-purchasing berdasarkan e-catalogue
C. Daftar Obat Esensial Nasional
D. Formularium Nasional
E. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas
F. Permenkes nomor 3 tahun 2015 ttng peredaran, peyimpanan, pemusnahan, pelaporan
narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi
G. UU nomor 39 tahun 2009 tentang Narkotika

VIII. LAMPIRAN
a. Lembar kerja
b. Informasi lain

Anda mungkin juga menyukai