Anda di halaman 1dari 18

Fitria Rahma Fauzi 10027121036

Rika Zahara Dewi 10027121037


Safitri Dwi Ulfa 10027121038
Elna Pabashi Permana 10027121039
Maulana Yusuf Assyidiq 10027121040
Mahasiswa PKPA VI Universitas Bakti Tunas Husada Tasikmalaya

1. Farmasi klinik
Farmasi klinik merupakan suatu keahlian yang profesional dalam bidang
kefarmasian yang bertujuan untuk keamanan, kerasionalan dalam penggunaan terapi
obat pasien (Rikomah, 2016). Menurut American College of Clinical Pharmacy
(ACCP), farmasi klinik adalah disiplin ilmu kesehatan di mana apoteker memberikan
perawatan pasien untuk mengoptimalkan terapi pengobatan dan meningkatkan taraf
kesehatan dan pencegahan penyakit. Pada masa sekarang terjadi peningkatan tuntutan
masyarakat dalam hal kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kefarmasian
(pharmaceutical care). Hal ini mendorong apoteker agar memperluas paradigma
mengenai pelayanan kefarmasian, yang awalnya berorientasi pada produk (drug
oriented) diperluas menjadi berorientasi pada pasien (patient oriented).
Istilah farmasi klinik mulai di lingkungan masyarakat pada tahun 1960-an di
Amerika. Hal ini muncul karena adanya penekanan fungsi dan tugas apoteker agar
dapat bekerja langsung berhadapan dengan pasien (Rikomah, 2016). Pada tahun 1960-
an di seluruh dunia khususnya di Amerika pelayanan kesehatan terpusat kepada
dokter, hal ini menyebabkan hubungan apoteker dengan pasien sangat minim.
Didasarkan pada alasan tersebut sehingga munculah konsep farmasi klinik pada awal
1960-an di University of Michigan. Institusi pendidikan ini merupakan institusi
pertama yang menganugerahkan gelar dokter farmasi di luar California (Miller,1981).
Konsep farmasi klinik juga di munculkan dalam konfrensi tentang obat di tahun 1965
yang diselenggarakan Carnahan House, dan didukung oleh American Society Of
Hospital Pharmacity (ASHP). Hasil konfrensi itu disajikan dalam proyek percontohan
yang disebut 9th floor project yang dilakukan oleh University Of California. Pada
tahun 1990, Helper dan Strand memperkenalkan istilah “pharmaceutical care” yang
kemudian istilah ini yang dipromosikan oleh organisasi farmasi dunia. Secara historis,
telah banyak perubahan yang terjadi pada profesi kefarmasian di Inggris, khususnya
yang terjadi pada abad 20-an.
Tujuan Dan Sasaran Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik
Dalam pelaksanaan kegiatan farmasi klinik tujuan dan sasaran yang ingin dicapai
diantaranya: (Rikomah,2016)
a. Memaksimalkan efek terapi obat
Memaksimalkan efek terapi obat merupakan salah satu tujuan dari pelayanan
farmasi klinik. Pada prakteknya dalam memaksimalkan efek terapi obat ialah
dengan memberikan saran dan masukan kepada dokter mengenai obat yang tepat
dan paling efektif terhadap pasien yang didasarkan pada kondisi pasien.
b. Meminimalkan efek samping terapi
Pada pemilihan suatu terapi untuk pasien salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan ialah efek samping terapi. Dalam hal ini kegiatan farmasi klinik
dapat meminimalkan dan menurunkan resiko kejadian efek samping yang
mengarah ke DRPs. Kegiatan farmasi klinik yang dilakukan ialah dengan cara
memantau terapi dan memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
c. Meminimalkan biaya pengobatan
Kegiatan farmasi klinik memberikan manfaat pada pasien salah satunya
meminimalkan biaya pengobatan. Penerapannya berupa mencegah terjadinya
polifarmasi, dimana pasien akan mendapatkan keuntungan pembiayaan yang
minimal sedangkan pada pasien rawat inap keuntungan yang didapat ialah
berkurangnya lama waktu rawat inap pasien di rumah sakit.
d. Menghormati pilihan pasien
Setiap intervensi atau tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan dalam hal ini
apoteker harus menjunjung tinggi keputusan pasien. Serta pasien dan keluarga
pasien berhak diberitahu mengenai intervensi atau tindakan yang dilakukan.
Terdapat beberapa karakteristis Praktek Farmasi Klinik. Karakteristik dalam
pelaksanaan pelayanan farmasi klinik antara lain: (Tan, C.K, 2003)
a. Berorientasi pada pasien;
b. Terlibat langsung pada proses pengobatan di bangsal rumah sakit;
c. Bersifat pasif, dengan memberikan intervensi setelah pengobatan dilakukan;
d. Bersifat aktif, dengan cara memberikan informasi serta saran kepada dokter
sebelum dimulai nya pengobatan;
e. Bertanggung jawab atas setiap saran dan masukan yang diberikan;
f. Menjadi pendamping (partner) dokter.
Layanan farmasi klinik di Rumah Sakit dilakukan berdasarkan Permenkes
No.72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit yang
merupakan hasil perubahan dari Permenkes No.34 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Permenkes No.58 yang masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat.
Berikut merupakan butir kegiatan farmasi klinik yang tertera pada Permenkes No.72
Tahun 2016:
1. Pelayanan Dan Pengkajian Resep
Apoteker wajib melakukan pengkajian resep sesuai dengan persyaratan
administrasi, farmasetik, maupun klinis untuk pasien rawat jalan dan rawat inap.
Tujuan dari pengkajian resep ini untuk menganalisa kesalahan terkait obat,
apabila ditemukan masalah terkait obat maka apoteker wajib mengkonsultasikan
kepada dokter penulis resep. Proses pelayanan resep diawali dari penerimaan,
pemeriksaan ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi termasuk proses peracikan,
penyerahan obat atau alat kesehatan yang disertai pemberian informasi.
a. Persyaratan administrasi di dalam resep adalah:
1) Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;
2) Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
3) Tanggal Resep;
4) Ruangan/unit asal Resep.
b. Persyaratan farmasetik di dalam resep adalah:
1) Nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan
2) Dosis dan Jumlah Obat
3) Stabilitas
4) Aturan dan cara penggunaan.
c. Persyarat klinis di dalam resep adalah:
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat
2) Duplikasi pengobatan
3) Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
4) Kontraindikasi
5) Interaksi Obat.
2. Penelusuran Riwayat Konsumsi Obat
Kegiatan menelusuri penggunan obat pasien bertujuan untuk mendapatkan
informasi tentang obat-obatan yang pernah atau sedang dikonsumsi pasien. Untuk
mendapatkan informasi, dilakukan wawancara atau melihat data rekam
medik/cacatan penggunaan obat pasien.
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara
membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah pasien dapatkan.
Tujuan dari kegiatan ini untuk mencegah tejadinya kesalahan dalam pengobatan
(medication error) seperti duplikasi obat, kesalahan dosis, interaksi obat, ataupun
obat yang tidak berikan.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pemberian dan penyediaan
informasi mengenai obat-obatan serta memberikan rekomendasi pengobatan yang
akurat, terkini dan komprehensif kepada tenaga kesehatan serta pasien maupun
masyarakat. Tujuan kegiatan ini antara lain:
a. Menyediakan informasi mengenai obat untuk pasien, tenaga kesehatan lain
serta di lingkungan masyarakat.
b. Menyediakan informasi yang dapat dijadikan acuan dalam pembuatan
kebijakan mengenai obat-obatan/sediaan farmasi.
c. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional
5. Konseling
Konseling adalah suatu kegiatan pemberian saran dari seorang apoteker terkait
terapi obat kepada pasien dan/atau keluarganya. Tujuan dari pelaksanaan
konseling antara lain: mencegah atau meminimalkan drug related problem,
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, membimbing dan
mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga dapat mencapai tujuan
pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien serta meningkatkan
hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien.
6. Visite
Visite adalah kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara individu maupun bersama tim kesehatan lain, yang bertujuan
untuk mengamati kondisi paasien secara langsung, memantau terapi obat,
menganalisa terkait masalah obat, meningkatkan terapi obat yang rasional. Visite
tidak hanya dilakukan pada pasien rawat inap tetapi juga dapat dilakukan pada
pasien yang telah keluar dari rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun
instruksi yang ditetapkan dalam program rumah sakit yang disebut pelayanan
kefarmasian di rumah (home pharmacy care).
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
PTO merupakan proses yang mencakup kegiatan yang memastikan terapi obat
yang aman, efektif, dan rasional bagi terapi pasien.
a. Tahapan dalam pelaksanaan PTO:
1) Pengumpulan data pasien
2) Melakukan identifikasi masalah terkait obat-obatan
3) Merekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
4) Pemantauan;
5) Tindak lanjut
b. Faktor-faktor yang harus diperhatikan:
1) Kemampuan dalam penelusuran informasi terhadap bukti terbaru dan
terpercaya (evidence best medicine)
2) Kerahasiaan informasi
3) Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
MESO adalah kegiatan pemantauan terhadap setiap respon yang tidak
diinginkan setelah mengkonsumsi obat dalam dosis lazim yang bertujuan untuk
mencegah (profilaksis), diagnosa, maupun terapi. Tujuan dilaksanakan MESO
adalah menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
tidak dikenal, berat dan frekuensi jarang ditemukan. Hal-hal yang perlu
dilaporkan di dalam MESO yaitu setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek
samping, baik yang belum diketahui penyebabnya (KTD/AE) ataupun yang
sudah pasti suatu ESO. Pelaporan MESO dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
lain diantaranya dokter, apoteker, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
a) Kegiatan dalam proses pemantauan dan pelaporan ESO
1) Mendeteksi adanya kejadian ESO
2) Mengidentifikasi obat dan pasien yang memiliki resiko tinggi kejadian
ESO; 3.)Mengevaluasi laporan kejadian ESO dengan menggunakan
algoritma Naranjo.
b) Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan MESO:
1) Kerjasama dengan tim/komite farmasi dan terapi dan ruang rawat;
2) Ketersediaan formulir MESO.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
EPO merupakan program yang terstruktur dan berkesinambungan mengenai
evaluasi penggunaan obat pasien. Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini antara
lain: mendapatkan gambaran terbarukan mengenai pola penggunaan obat, dapat
membandingkan pola penggunaan obat dalam periode tertentu, menilai
pengaruh intervensi terhadap pola penggunaan obat.
a. Kegiatan EPO meliputi:
1) Mengevaluasi konsumsi obat secara kualitatif
2) Mengevaluasi konsumsi obat secara kuantitatif.
b. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1) Indikator pelayanan
2) Indikator peresepan
3) Indikator fasilitas.
10. Dispensing sediaan steril
Kegiatan ini wajib dilakukan di instalasi farmasi, hal ini bertujuan agar
sterilitas dan stabilitas produk tetap terjamin dan agar mencegah petugas
terkena paparan zat berbahaya, serta untuk menghindari kesalahan dalam
pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi:
a. Pencampuran sediaan obat suntik
Aktivitas ini dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan pasien, dengan
syarat kompatibilitas dan stabilitas obat tetap terjamin walaupun wadah
dan dosis telah ditetapkan.
1) Kegiatan pencampuran sediaan obat suntik antara lain:
a) Mencampur sediaan intravena (i.v) kedalam cairan infus;
b) Melarutkan sediaan i.v bentuk serbuk dengan menggunakan
pelarut yang sesuai.
2) Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan:
a) Terdapat ruangan khusus
b) Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
c) HEPA filter
b. Penyiapan nutrisi parenteral
Adalah kegiatan mencampurkan nutrisi parenteral yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang telah terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan
pasien.
1) Kegiatan penyiapan nutrisi parenteral meliputi:
a. Mencampurkan sediaan protein, lipid, vitamin, karbohidrat,
mineral untuk kebutuhan perorangan
b. Mengemas ke dalam kantong khusus nutrisi
2) Faktor-faktor yang harus diperhatikan:
a) Sarana dan peralatan
b) Terdapat ruangan khusus
c) Tim yang terdiri atas dokter, perawat, ahli gizi, apoteker,
d) Lemari pencampuran Biologic Safety Cabinet
e) Terdapat kantong khusus untuk nutrisi parenteral
f) Penanganan sediaan sitostatika
Bahan sitostatika merupakan zat/obat yang dapat merusak dan
membunuh sel normal dan sel kanker. Istilah sitostatika biasa digunakan untuk
zat-zat yang memiliki efek genotoksik, mutagenik, onkogenik, teratogenic dan
efek-efek berbahaya lainnya. Pada operasionalnya dalam persiapan maupun
pelaksanaannya harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan dilengkapi
dengan alat pelindung diri yang memadai. Kegiatan penanganan sediaan
sitostatika antara lain:
1. Melakukan perhitungan dosis dengan akurat
2. Melarutkan sediaan sitostatika meggunakan pelarut yang sesuai
3. Mencampur sediaan sitostatika sesuai protokol pengobatan
4. Mengemas sediaan dalam kemasan tertentu
5. Membuang limbah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Merupakan gambaran hasil pemeriksaan kadar obat tertentu yang
dilakukan atas permintaan dokter yang menangani ataupun usulan apoteker
yang diajukan kepada dokter. Hal ini dilakukan atas alasan indeks terapi obat
yang sempit. Tujuan dilakukan PKOD adalah untuk mengetahui kadar obat
dalam darah. Kegiatan PKOD antara lain:
a. Menilai kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD
b. Melakukan diskusi dengan dokter untuk persetujuan pelaksanaan PKOD
c. Menganalisa hasil PKOD serta memberikan rekomendasi.
2. High Alert
a. Pengertian High Alert dan LASA
Menurut Permenkes RI No.72 Tahun 2016 Obat High Alert adalah obat yang
harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadinya kesalahan atau kesalahan
serius (Sentinel Event) dan obat yang beresiko tinggi menyebabkan reaksi obat yang
tidak diinginkan (ROTD).
High alert juga didefinisikan oleh The Institute For Healthcare Improvement
(IHI) sebagai obat yang kemungkinan besar menyebabkan bahaya ketika digunakan.
The Joint Commission menggambarkan high alert sebagai obat yang memiliki resiko
tinggi menyebabkan bahaya ketika misuse.
Obat High alert adalah obat-obatan yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
menyebabkan/ menimbulkan adanya komplikasi / membahayakan pasien secara
signifikan jika terdapat kesalahan penggunaan (dosis, interval, dan pemilihannya).
LASA atau Look Alike Sound Alike , yaitu obat yang memiliki kemasan mirip
atau obat yang memiliki nama yang terdengar mirip
a. Jenis Obat High Alert
Berdasarkan Permenkes No. 72 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Rumah Sakit, Kelompok Obat high-alertdiantaranya:
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA)
Contoh Obat LASA :
NO Nama Obat Nama Obat Keterangan
1. Azitromycin ERItromycin Sound Alike
2. CIPROfloxacin LEVOfloxacin Sound Alike
3. CEFTRIAXONE CEFOTAXIME Look Alike
4. Amlodipine 5 mg Amlodipine 10 mg Dosis Berbeda

2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang


lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
Contoh : KCL 7,46% ml, NaCl 3% 500 ml
3. Obat-Obat sitostatika contoh : Holoxan
Daftar Obat High Alert
Kelas/kategori obat
Adrenergic agonists IV (epinephrine, phenylephrine, noreinephrine)
Adrenergik antagonists IV (propanolol, metoprolol, labetolol)
Anesthetic agents, general, inhaled and IV (propofol, ketamine)
Antiarrhythmic, IV (lidocaine, amiodarone)
Antithrombotic agents, including :
 Anticoagulants (warfarin, low-molecular-wight heparin, IV unfractioned
heparin)
 Factor Xa inhibitors (fondaparinux)
 Direct thrombin inhibitors (argatroban, bivalirudin, dabigatran etexillate,
lepirudin)
 Thrombolytics (alteplase, reteplase, tenecteplase)
 Glycoprotein IIb/IIIa inhibitors (eptifibatide)
Cardioplegic solutions
Chemotherapeutic agents, parenteral and oral
Dextrose, hypertonic, 20% or greater
Dyalisis solutions, peritoneal and hemodialysis
Epidural or intrathecal medications
Hypoglicemics, oral
Inotropic medications, IV (digoxin, milrinone)
Insulin, subcutaneous and IV
Liposomal forms of drugs (liposomal amphotericin B) and conventional
counterparts (amphotericin B desoxycholate)
Moderate sedation agents, IV (dexmedetomidine, midazolam)
Moderate sedation agents, oral, for children (chloral hydrate)
Narcotics/opioids
 IV
 Transdermal
 Oral (including liquid concentrates, immediate and sustained-release
formulations)
Neuromuscular blocking agents (succinylcholine, rocuronium, vecuronium)
Parenteral nutrition preparations
Radiocontrast agents, IV
Sterile water for injection, inhalation, and irrigation (excluding pour bottles) in
containers of 100 mL or more
Sodium chloride for injection, hypertonic, greater than 0.9% concentration
Obat spesifik
Epoprostenol (Fiolan), IV
Magnesium sulfate injection
Methotrexate, oral, non-oncologic use
Opium tincture
Oxytocin, IV
Nitroprusside sodium for injection
Potassium chloride for injection concentrate
Potassium phosphates injection
Promethazine, IV
Vasopressin, IV or intraosseous

Contoh obat LASA sebagai berikut :

a. Cara Penyimpanan Obat High Alert


Penyimpanan obat High Alert adalah sebagai berikut:
1. Petugas menyimpan obat yang masuk dalam kategori obat- obatan high alert dan
elektrolit konsentrat yang sudah diberi label oleh petugas sesuai dengan jenis
dan stabilitas produk obat-obatan tersebut
2. Obat –obatan high alert dan elektrolit konsentrat diletakan pada tempat khusus
yang sudah diberi tanda/ selotip merah pada sekeliling tempat penyimpanan obat
high alert dan terpisah dari obat lainnya
3. Penyimpanan obat high alert, injeksi konsentrat pekat digudang farmasi
ditempatkan pada tempat yang terpisah dari obat-obatan yang lain dan dilakukan
penandaan/ diberikan label high alert
4. Obat narkootik dan insulin disimpan terpisah dari obat high alert lainnya
5. Petugas menyimpan obat-obatan dengan menata obat yang masuk terlebih
dahulu atau obat yang mempunyai waktu kadaluarsa obat dibagian depan agar
dipakai terlebih dahulu di pelayanan.
b. Pelabelan Obat High Alert
Pemberian label khusus obat yang sering menyebabkan terjadinya kesalahan,
obat beresiko tinggi yang dapat menyebabkan dampak yang tidak diinginkan.
Pelabelan obat high alert dilakukan digudang farmasi dengan cara sebagai berikut
(SK.Direktur,2018) :
1 . Obat high alert diberi tanda/ label seelotip merah pada keliling penyimpanan
obat high alert
2 . Penyimpanan obat high alert, injeksi konsentrat pekat dilakukan penandaan/
diberikan label obat high alert. Contoh label obat high alert.

high alert

Label Obat High Alert

c. Suhu Penyimpanan

Penyimpanan obat berdasarkan suhu adalah sebagai berikut(Anief,2010) :

1. Obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu 2- 8ᵒC maka disimpan
dalam lemari pendingin

2. Obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu ruangan yaitu 15-30ᵒC
maka disimpan dalam lemari yang diberikan penanda khusus
3. Penyimpanan suhu sejuk adalah suhu antara 8ᵒC dan 15ᵒC bila perlu disimpan
dalam lemari pendingin.
d. Penyimpanan Lasa
1. LASA (Look Alike Sound Alike) merupakan sebuah peringatan (warning)
untuk keselamatan pasien (patient safety) : obat-obatan yang bentuk / rupanya
mirip dan pengucapannya / namanya mirip TIDAK BOLEH diletakkan
berdekatan.
2. Obat kategori Look Alike Sound Alike (LASA) diberikan penanda dengan
stiker LASA pada tempat penyimpanan obat.
3. Apabila obat dikemas dalam paket untuk kebutuhan pasien, maka diberikan
tanda LASA pada kemasan primer obat
4. Walaupun terletak pada kelompok abjad yang sama harus diselingi dengan
minimal 2 (dua) obat dengan kategori LASA diantara atau ditengahnya.
5. Biasakan mengeja nama obat dengan kategori LASA saat memberi/menerima
instruksi.
3. Penyimpanan Narkotika dan Psikotropika
Menurut peraturan menteri kesehatan republik Indonesai nomor 3 tahun 2015
tentang peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan narkotika, psikotropika,
dan prekursor. Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus
mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi.
1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat
berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang
selain Narkotika.
3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan
barang selain Psikotropika.
4) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku dilarang
digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor Farmasi dalam bentuk
bahan baku.
a. Persyaratan gudang khusus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi
dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda
2) Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi
3) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi
4) Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab
5) Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain
yang dikuasakan.
b. Ruang khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat
2) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi
3) Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda
4) Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan
5) Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk.
c. Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harusmemenuhi
syarat sebagai berikut:
1) Terbuat dari bahan yang kuat
2) Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda
3) Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi
Farmasi Pemerintah
a) Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum,untuk
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
b) Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggungjawab/Apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasiwajib memenuhi
Cara Produksi Obat yang Baik, Cara DistribusiObat yang Baik, dan/atau standar
pelayanan kefarmasian sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika harus memiliki
tempatpenyimpanan Narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas:
a. Gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku
b. Gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
4. Pembuatan SIPA di Rumah Sakit
Persyaratan Registrasi:
Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki ijazah Apoteker
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
c. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker
d. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktik
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Untuk memperoleh SIPA atau SIKA:
a. Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan
b. Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:
1) Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN
2) Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan
dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas
produksi atau distribusi/penyaluran
3) Surat rekomendasi dari organisasi profesi
4) Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4
sebanyak 2 (dua) lembar
c. Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus
dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian
pertama, kedua, atau ketiga
d. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan
dinyatakan lengkap.
5. Mekanisme Kerja Obat Statin
a. Mekanisme kerja obat statin
Statin bekerja dengan secara kompetitif memblokir situs aktif dari enzim
pembatas laju pertama dan kunci dalam jalur mevalonat, reduktase HMG-CoA.
Penghambatan situs ini mencegah substrat akses, sehingga menghalangi konversi
HMG-CoA menjadi asam mevalonat. Di dalam hati, ini mengurangi kolesterol hati
sintesis, yang mengarah ke peningkatan produksi mikrosomal HMG-CoA reduktase
dan peningkatan reseptor LDL permukaan sel ekspresi. Ini memfasilitasi peningkatan
pembersihan LDL-c dari aliran darah dan pengurangan berikutnya dalam sirkulasi
Tingkat LDL-c sebesar 20% hingga 55%. Selain mengurangi LDL-c dan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular, statin mungkin memiliki efek pleiotropik tambahan
yang tidak terkait lipid. Ini termasuk perbaikan fungsi endotel, stabilisasi plak
aterosklerotik, anti-inflamasi, imunomodulato dan efek antitrombotik, efek pada
metabolisme tulang, dan penurunan risiko demensia. Manfaat tambahan ini terutama
dianggap muncul karena penghambatan sintesis intermediet isoprenoid dari jalur
mevalonat.
b. Karakteristik Struktural dan Farmakokinetik Statin

Komponen aktif statin adalah bagian asam 3,5-dihidroksiglutarat yang


dimodifikasi, yang secara struktural mirip dengan substrat endogen, HMG-CoA, dan
mevaldyl CoA. perantara keadaan transisi. Situs aktif ini mengikat dan menghambat
aktivitas reduktase HMG-CoA dalam proses stereoselektif yang membutuhkan statin
untuk memiliki konfigurasi 3R,5R. Perbedaan molekuler dan klinis statin muncul dari
cincin yang melekat pada bagian aktif, yang dapat berupa naftalena tereduksi sebagian
(lovastatin, simvastatin, pravastatin), pirol (atorvastatin), indol (fluvastatin), pirimidin
(rosuvastatin), piridin (cerivastatin), atau kuinolin (pitavastatin). Substituen pada
cincin menentukan kelarutan dan sifat farmakologis dari statin. Hidrofilisitas
(pravastatin dan rosuvastatin) berasal dari situs aktif ditambah substituen polar
lainnya, sedangkan lipofilisitas (atorvastatin, lovastatin, fluvastatin, pitavastatin,
simvastatin, dan cerivastatin) muncul karena penambahan nonpolar substituen.

Statin berbeda dalam karakteristik farmakokinetiknya karena sebagian dalam


bentuk pemberiannya dan sebagian lagi pada lipofilisitas (Tabel 1). Simvastatin dan
lovastatin diberikan sebagai bentuk lakton tidak aktif yang diubah menjadi bentuk
aktif dalam tubuh. Sebaliknya, atorvastatin, fluvastatin, pravastatin, rosuvastatin, dan
pitavastatin diberikan secara bentuk asam aktif. Statin hidrofilik membutuhkan
ambilan yang dimediasi pembawa ke dalam hati, sedangkan statin lipofilik mampu
berdifusi secara pasif melalui membran sel, yang menurun hepatoselektivitas mereka
karena mereka juga dapat berdifusi ke tisu. Statin lipofilik umumnya dibersihkan
melalui proses oksidatif biotransformasi, sedangkan statin hidrofilik diekskresikan
tidak berubah. Metabolisme terjadi terutama melalui CYP3A4 untuk simvastatin,
lovastatin, dan atorvastatin, sedangkan fluvastatin dimetabolisme terutama melalui
CYP2C9. Selain itu, semua statin adalah substrat dari beberapa transporter membran.

Perbedaan simvastatin dan atorvastatin dalam cara kerja:


1. Cara kerja simvastatin:
Simvastatin berfungsi untuk membantu menurunkan kolesterol jahat (LDL)
dan trigliserida, serta meningkatkan kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah. Statin
jenis ini mampu mengurangi jumlah kolesterol yang dihasilkan organ hati. Saat
kadar LDL dan trigliserida menurun, sementara HDL dalam darah meningkat secara
bersamaan, peluang tersumbatnya pembuluh darah semakin kecil. Akibatnya,
simvastatin juga berfungsi menurunkan risiko penyakit jantung serta mencegah
terjadinya stroke.
2. Cara kerja atorvastatin
Sementara itu, atorvastatin berfungsi untuk menurunkan jumlah kolesterol dalam
tubuh dengan cara menghambat enzim yang bertugas memproduksi kolesterol di hati.
Seperti halnya simvastatin, atorvastatin juga mencegah kolesterol menempel dan
menyumbat pembuluh darah, sehingga menurunkan kolesterol jahat (LDL) dan
trigliserida serta meningkatkan kolesterol baik (HDL). Obat ini pun mampu
menurunkan risiko penyakit jantung serta mencegah terjadinya stroke.
Simvastatin dan atorvastatin memiliki perbedaan waktu minum yang cukup
signifikan. Pada simvastatin, obat ini bekerja jauh lebih efektif ketika dikonsumsi
pada malam hari sehingga akan mengurangi lebih banyak kolesterol LDL dibanding
jika dikonsumsi pada pagi hari. Selain karena selain waktu produksi kolesterol banyak
ketika malam hari, kebanyakan obat golongan statin memiliki waktu atau efek
kerjanya yang singkat contohnya simvastatin. Namun, tidak demikian dengan
atorvastatin yang bekerja sama efektifnya meskipun dikonsumsi saat malam ataupun
pagi hari. Obat ini diketahui memiliki waktu yang lebih panjang yaitu sekitar 14 jam
sehingga dapat diminum kapanpun. Untuk efek samping dari obat golongan statin
yaitu rhabdomiolisis terutama dengan obat yang memiliki transporter sama di
OATP1B1.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Clinical Pharmacy, 2008, The Definition of Clinical Pharmacy,


Pharmacother, 28(6):816–817.
Aslam, M., Tan, C.K., & Prayitno, A., 2003, Farmasi Klinis, Jakarta, Gramedia Elex Media
Komputindo.
Kementerian Kesehatan, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Miller J., 1981, History of Clinical Pharmacy and Clinical Pharmacology, J Clin Pharmacol.
21: 195-197.
Setya Enti Rikomah, 2016, Farmasi Klinik, Yogyakarta : Deepublish
Permenkes, 2015. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
TentangPeredaran, Penyimpanan ,Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kemenkes RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2018, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Tentang Pengawasan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan
Perbekalan Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Jakarta.
Permenkes, 2011. Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Menteri
Kesehatan Rebuplik Indonesia
Natali, dkk. 2019. Statin Toxicity “Mechanistic Insights and Clinical Implication”.
Circulation Reasearch

Anda mungkin juga menyukai