Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH RESEPTIR DAN APLIKASI OBAT

PENERAPAN PELAYANAN FARMASI KLINIK

Oleh :
PPDH Periode I Tahun 2019/2020

Jinsi Rifdy Hilungara B94191004


Deviana Prasindy B94191013
Radhitya Aryo Nugroho B94191022
Ayu Khoirunnisa B94191053

Dosen : Prof Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt, MSc

BAGIAN RESEPTIR DAN APLIKASI OBAT


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang tidak
hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada pasien,
bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat dalam tim
pelayanan kesehatan (Restriyani dan Mazziyah 2016).
Farmasi klinik merupakan penerapan pengetahuan obat untuk kepentingan
pasien dengan memperhatikan kondisi penyakit pasien dan kebutuhannya untuk
mengerti terapi obat. Penerapan farmasi klinik dikenal sejak tahun 1960 karena adanya
penekanan fungsi farmasi untuk dapat bekerja secara langsung bersentuhan dengan
pasien. Munculnya istilah farmasi klinik karena adanya suatu kejadian berupa
ketidakpuasan pasien pada norma praktik pelayanan kesehatan pada saat itu, sehingga
memungkinkan keharusan adanya kebutuhkan yang meningkat terhadap tenaga
kesehatan professional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan.
Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan
masalah terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah
Sakit mengharuskan adanya perluasan dari paradigma baru yang berorientasi pada
pasien dengan filosofi pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care) (Aslam 2003).
Pelayanan farmasi klinik terbukti efektif dalam menangani terapi pada pasien. Selain
itu, pelayanan tersebut juga efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal tersebut didukung dengan melakukan
pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat. Pelayanan ini terbukti menurunkan
angka kematian di rumah sakit secara signifikan (Ikawati 2010).
Penerapan standar pelayanan kefarmasian aspek farmasi klinik yang minimal
meliputi pelayanan dan pengkajian resep, pelayanan informasi obat dan pemberian
konseling terhadap pasien yang optimal dapat memberikan jaminan bahwa obat yang di
berikan rasional, bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau. Pelayanan dan pengkajian
resep dapat menurunkan kemungkinan terjadinya alergi, interaksi obat, reaksi obat yang
tidak dikehendaki dan efek samping obat. Selain itu dengan pemberian informasi obat
dan konseling dapat meningkatkan kepatuhan pasien serta meminimalkan masalah
terkait obat.

Tujuan

- Memberikan informasi mengenai pelayanan farmasi klinik di rumah sakit.


- Menjelaskan pelayanan informasi tenaga farmasi.
- Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisis dan evaluasi.
TINJAUAN PUSTAKA

Farmasi

Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu


penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan
dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup
pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis,
pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan
obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan
obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi,
dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai (Gennaro 1990). Berikut
perkembangan profesi kefarmasian yang telah mengalami  perubahan dan dibagi
menjadi 3 periode yaitu:

 Periode Tradisional (sebelum tahun 60 an)


Dalam periode ini fungsi farmasis adalah menyediakan, membuat/meracik, dan
mendistribusikan produk berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di
apotek sebagai peracik obat saja. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi
industri dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali
industri farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam
jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh
industri maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter,
farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis di
resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan
demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.

 Tahap Transisi ( 1960-1970 )


Pada periode ini terjadi banyak perkembangan antara lain: ilmu kedokteran
cenderung semakin spesialistis serta ditemukannya obat-obat baru yang lebih
efektif. Seiring dengan semakin pesatnya jumlah obat, semakin meningkat pula
permasalahn yang timbul terkait penggunaan obat yaitu munculnya masalah
kesehatan akibat efek samping obat, interaksi antar obat, teratogenesis dll. Selain itu
biaya kesehatan semakin meningkat akibat penggunaan teknologi canggih di bidang
kesehatan yang sangat mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara
kualitatif maupun kuantitatif, disertai dengan semakin meningkatnya tuntutan
masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi.
Kecenderungan tersebut mengakibatkan adanya suatu kebutuhan yang meningkat
terhadap tenaga profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai
pengobatan yang tidak lain adalah farmasis (apoteker). Akibat situasi tersebut
akhirnya muncullah istilah pelayanan farmasi klinis.
 Periode Masa Kini (dimulai tahun 1970)
Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi
berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih pada
pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan memberian pelayanan pengobatan
rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di
rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat
langsung dalam pengobatan pasien. Karakteristik pelayanan farmasi klinis di rumah
sakit adalah :
1. Berorientasi kepada pasien
2. Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
3. Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan
memberi informasi bila diperlukan
4. Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum pengobatan
dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
5. Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
6. Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinis, farmasis adalah ahli
pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan
memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan
lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan
penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.

Pelayanan Farmasi Klinik

Farmasi klinik adalah suatu disiplin ilmu yang fokus terhadap aplikasi keahlian
farmasi dalam membantu memaksimalkan khasiat obat dan meminimalkan toksisitas
obat pada pasien. Peran farmasi klinik menyediakan pelayanan kefarmasian kepada
pasien. Hal ini dapat didefinisikan sebagai terapi obat yang bertanggungjawab untuk
tujuan tercapainya hasil yang jelas yakni meningkatkan kualitas hidup pasien. Hasil ini
dapat berupa penyembuhan penyakit, penghilangan gejala, memperlambat proses
penyakit atau pencegahan penyakit. Dalam pencapaian hasil ini, apoteker secara
profesional, etis dan legal bertanggungjawab langsung kepada pasien terhadap kualitas
pelayanan. Pelayanan farmasi klinik diberikan secara langsung sebagai bagian dari
pelayanan terhadap pasien dan atau profesional kesehatan lain yang terlibat dalam
perawatan pasien. Pelayanan farmasi umumnya memiliki tujuan dalam bidang
kefarmasian yaitu:
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun
fasilitas yang tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan kode etik profesi.
3. Meberikan pelayanan informasi dan konseling mengenai obat.
4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan.
6. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan oleh


apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient
safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi
klinik meliputi:pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite, pemantauan terapi obat,
monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing sediaan steril dan
pemantauan kadar obat dalam darah.
Beberapa faktor risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan pelayanan
farmasi klinik adalah:
1. Karakteristik kondisi klinik pasien Karakteristik kondisi klinik pasien seperti
umur, gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun,
fungsi ginjal dan fungsi hati beresiko terhadap kesalahan dalam terapi.
2. Penyakit pasien Faktor risiko penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu: tingkat
keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan dan tingkat cidera yang
ditimbulkan oleh keparahan penyakit.
3. Farmakoterapi pasien Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien
meliputi: toksisitas, profil reaksi obat tidak dikehendaki, rute dan teknik
pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas, rute dan teknik pemberian, dan
ketepatan terapi.

Aspek-Aspek dalam Pelayanan Farmasi Klinik

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian di


rumah sakit. Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient
safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (Kemenkes RI 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2014
tentang “Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit”, aspek pelayanan farmasi
klinik meliputi:
1) Pengkajian dan Pelayanan Resep
2) Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
3) Rekonsilisasi Obat
4) Pelayanan Informasi Obat (PIO)
5) Pemberian Konseling
6) Visite
7) Pemantauan Terapi Obat (PTO)
8) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
9) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
10) Dispensing
11) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Farmasi Klinik di Rumah Sakit Amal Usaha Milik Muhammadiyah


(Indah dan Utami 2016)

Berikut gambaran profil pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit Amal
Usaha Milik Muhammadiyah berdasarkan item kegiatan farmasi klinik :
a. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian dan pelayanan resep merupakan pelaksanaan pelayanan
farmasi klinik yang paling banyak dilakukan di Rumah Sakit Swasta Amal
Usaha Milik Muhammadiyah di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan
persentase pelaksanaan adalah 100%. Umumnya pengkajian dan pelayanan
resep adalah hal yang paling pertama yang harus dilakukan oleh apoteker dalam
melakukan penerimaan resep dari dokter. Pengkajian dan pelayanan resep
dilakukan untuk mencegah terjadinya kelalaian pencantuman informasi,
penulisan resep yang buruk dan penulisan resep yang tidak baik (Arhayani
2007).

Berdasarkan Permenkes RI No.58 tahun 2014 pengkajian dan pelayanan


resep meliputi seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta melakukan
pengkajian dan pelayanan resep telah sesuai dengan peraturan dan teori yang
ada. Apoteker telah melakukan telaah resep atau skrining resep, meliputi :
administrasi, farmasetik dan klinik. Apoteker juga melakukan dispensing dan
penyerahan obat kepada pasien secara baik.

b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Pelaksanaan penelusuran riwayat penggunaan obat di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta dilakukan dengan cara tanya jawab dengan pasien,
ataupun keluarga pasien dan melihat data rekam medis rumah sakit. Jika sudah
diperoleh data, maka apoteker akan membandingkan dengan data yang ada di
rekam medis. Data yang harus diperoleh adalah nama obat, indikasi obat,
frekuensi, bentuk sediaan, lama penggunaan obat, reaksi obat yang tidak
dikehendaki termasuk riwayat alergi dan kepatuhan penggunaan obat (Aslam et
al. 2003). Dari beberapa penjelasan, terlihat bahwa Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah melakukan
penelusuran riwayat penggunaan obat sesuai dengan aturan yang ada. Hanya
saja belum terlalu sempurna, hal ini dikarenakan setiap rumah sakit kekurangan
tenaga kerja, sehingga akan memakan waktu yang lama jika harus melakukan
semua poin yang ada, akan tetapi untuk kedepannya setiap rumah sakit akan
memperbaikai dan mulai merubah cara mereka demi kepentingan pasien.

c. Rekonsiliasi Obat
Pelaksanaan rekonsiliasi obat di beberapa rumah sakit hampir sama
dengan pelaksanaan penelusuran riwayat penggunaan obat. Tujuan dari
rekonsiliasi obat adalah memastikan informasi yang akurat tentang obat,
mengidentifikasi ketidaksesuaian informasi obat dari dokter (Yusuf 2015).
Berdasarkan Permenkes RI No.58 tahun 2014 rekonsiliasi obat dilakukan
dengan cara pengumpulan data, komparasi dan konfirmasi informasi dari dokter.
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta melakukan rekonsiliasi obat
telah sesuai dengan teori yang ada, yaitu dengan cara menanyakan kepada
pasien, apakah pasien membawa obat dari rumah kemudian membandingkan
dengan pengobatan di rumah sakit. Jika pasien membawa obat dari rumah, maka
obat-obatan tersebut diperiksa kelayakannya, apakah telah sesuai dengan
penyakit yang diderita pasien. Jika terjadi ketidaksesuaian maka apoteker akan
menghubungi dokter yang menangani pasien tersebut.

d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Pelayanan Informasi
Obat di lakukan dengan beberapa cara, yang pertama yaitu pelayanan informasi
obat yang diberikan kepada pasien, serta yang kedua pelaksanaan informasi
kesehatan bagi masyarakat seperti penyuluhan kepada masyarakat, dimana
apoteker di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakata terlibat dalam
kegiatan penyuluhan.
Kegiatan pelayanan informasi obat adalah kegiatan yang meliputi tanya
jawab mengenai informasi obat tidak hanya kepada pasien tetapi terhadap tenaga
kesehatan lainnya, menerbitkan bulletin, melakukan penelitian, memberikan
pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kerja kefarmasian ataupun tenaga
kesehatan lainnya (Permenkes RI 2014).

e. Konseling
Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas
pelayanan, tetapi dipengaruhi pula oleh perilaku pasien (Muliawan 2008). Salah
satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah dengan cara konseling
(Depkes RI 2008). Pada Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
konseling dilakukan dengan cara apoteker memberikan penjelasan bagaimana
cara penggunaan obat. Apoteker memberikan konsultasi kepada pasien dan
didokumentasikan pada buku konsultasi obat, tanpa blanko tertulis dari pasien.
Hasil konseling sebaiknya didokumentasikan pada buku konsultasi obat agar
tidak terjadi kesalahan pada pengobatan berikutnya (Permenkes RI 2014).
Konseling di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Nanggulan belum
dilakukan secara baik, konseling yang dilakukan hanya memberikan informasi
singkat mengenai cara penggunaan obat, efek samping obat dan fungsi dari obat
itu sendiri. Permintaan konseling secara tertulis belum dilakukan di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Nanggulan, dikarenakan jumlah dari tenaga kerja di
rumah sakit ini masih kurang.

f. Visite
Visite adalah kegiatan farmasi klinik yang sangat jarang dilakukan,
dikarenakan kurangnya tenaga kerja yang berkompeten untuk melakukan
kegiatan ini di rumah sakit. Visite dapat dilakukan secara mandiri oleh apoteker
atau dilakukan secara tim dengan tenaga kesehatan lain. Visite di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta hanya dilakukan di beberapa bangsal saja,
belum semua bangsal. Kegiatan visite masih sebatas pemantauan terapi obat,
sampai dengan menentukan obat yang sesuai untuk pasien, dan hanya sekedar
memberikan saran kepada pasien mengenai obat yang sesuai untuk kondisi
pasien.

g. Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan terapi obat merupakan salah satu kegiatan farmasi klinik
yang sudah banyak dilakukan di beberapa rumah sakit, hanya saja pelaksanaan
ini belum dilakukan secara sempurna dan belum sesuai dengan aturan yang ada.
Tatalaksana pemantauan terapi obat di Rumah Sakit yang baik dan benar adalah
dimulai dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah
terkait obat, rekomendasi terapi dan rencana pemantauan. Pada Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah pemantauan terapi obat tidak lakukan kepada semua
pasien, hanya kepada pasien dengan penyakit yang perlu perhatian khusus,
seperti pendertai gagal jantung atau TB. Hal ini dilakukan karena keterbatasan
tenaga kerja. Sedangkan untuk pelayanan farmakokinetik klinik belum
dilakukan, dikarenakan belum mempunyai alat yang menunjang untuk
melakukan kegiatan ini.

h. Monitoring Efek Samping Obat


Monitoring efek samping obat sangat penting untuk dilakukan.
Monitoring efek samping obat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta dilakukan jika ada laporan terjadinya efek samping obat, maka
apoteker akan mengidentifikasi dan melakukan monitoring efek samping obat.

i. Evaluasi Penggunaan Obat


Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta melakukan evaluasi
penggunaan obat kepada pasien rawat inap saja. Pelaksanaanya seperti evaluasi
pada pasien yang menggunakan antibiotik. Pentingnya melakukan evaluasi
penggunaan obat adalah untuk memastikan penggunaan obat secara rasional
pada pasien, terutama penggunaan antibiotik (Siregar 2004). Kegiatan evaluasi
yang dilakukan hanya sebatas evaluasi sederhana seperti penggunaan antibiotik,
belum melakukan evaluasi penggunaan obat secara menyeluruh.

j. Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk obat
dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses pelarutan atau
penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker di sarana
pelayanan kesehatan. Dispensing sediaan steril sudah dilakukan oleh Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pendukung untuk terlaksananya
kegiatan dispensing sediaan steril yaitu, sarana dan prasarana serta apoteker
ataupun petugas yang ahli di bidangnya (Siregar 2004).

k. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)


Pemantauan kadar obat dalam darah belum dilakukan di Rumah Sakit
ini. dikarenakan belum memiliki alat yang menunjang untuk melakukan kegiatan
ini. Pentingnya melakukan pemantauan kadar obat dalam darah adalah untuk
memastikan pemberian obat yang optimal berdasarkan konsentrasi target,
sehingga dengan demikian penyesuaian dosis dapat dilakukan (Usman 2007).

Penerapan Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Hewan

Pelayanan kefarmasian sebagai salah satu unsur dari pelayanan utama di rumah
sakit, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan di rumah
sakit. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan sarana bagi masyarakat dalam
memperoleh sediaan obat. Pada saat ini telah terjadi perkembangan pada pelayanan
kefarmasian, dimana pelayanan yang tadinya berorientasi pada produk menjadi
memberikan pelayanan termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau kepada
pasien dalam memperoleh dan menggunakan obat dengan tepat (Depkes RI 2004).
Praktek kefarmasian merupakan kegiatan terpadu, dengan tujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat
dan kesehatan. Hal tersebut berlaku juga pada pelayanan farmasi di bidang veteriner.
Pelayanan farmasi di bidang veteriner sangat dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan
terapi obat pada klinik atau rumah sakit hewan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2014 tentang “Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit”, aspek pelayanan farmasi klinik yang seharusmya juga
dilakukan pada klinik dan rumah sakit hewan meliputi:

1. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Pengkajian dan pelayanan resep di rumah sakit hewan atau klinik hewan
dilakukan oleh apoteker yang selalu berjaga di apotek atau bagian layanan farmasi
rumah sakit guna melayani peracikan obat atau mempersiapkan obat untuk pasien
rawat inap maupun rawat jalan. Penggunaan resep sangat penting guna menghindari
penyalahgunaan obat-obatan serta melindungi pasien dari kesalahan dosis dan
pemakaian obat. Saat ini masih sangat jarang apotek khusus hewan, sehingga
diperlukan pelayanan farmasi di klinik hewan atau rumah sakit hewan guna
menunjang pelayanan resep dari dokter hewan.

2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Riwayat penggunaan obat sangat penting guna mengetahui keberhasilan atau
kegagalan terapi masa lampau. Klinik hewan atau rumah sakit hewan biasanya
mempunyai rekam medik pasien yang datang dan masih disimpan minimal 3 tahun
untuk membantu pengobatan selanjutnya.

3. Rekonsiliasi Obat
Kegiatan ini perlu dilakukan di klinik atau rumah sakit hewan agar tidak
terjadi kesalahan informasi penggunaan dan dosis obat pada pasien dan sangat
penting untuk memastikan bahwa owner mengerti tentang pengobatan yang
dilakukan pada hewannya.

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan yang penting bagi
apoteker dan dokter hewan dalam memberikan informasi kepada kliennya atau
pemilik hewan mengenai dosis, cara penggunaan dan efek samping dari terapi obat
yang diberikan kepada pasiennya. Pelayanan informasi obat dapat dibantu
menggunakan etiket atau label yang jelas pada sediaan obat.

5. Pemberian Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan owner untuk
memberikan informasi tentang obat-obat yang sedang digunakan. Konseling daam
praktiknya di bidang veteriner masih belum berjalan dengan lancar dan jarang yang
melakukannya. Pada praktiknya, dokter hewan yang memberikan informasi tentang
terapi pengobatan dan semua informasi tentang obat-obatan yang sedang
digunakan.

6. Visite
Visite pada pelayanan klinik atau rumah sakit hewan juga masih sangat jarang
dilakukan optimal. Apoteker menyiapkan terapi obat-obatan untuk pasien rawat
inap namun yang memberikan terapi tetap dokter hewan atau paramedik, sehingga
untuk visite apoteker jarang dilakukan. Kegiatan visite sebaiknya dilakukan juga
oleh apoteker bersamaan dengan visite yang dilakukan oleh dokter agar mengetahui
secara jelas jika ada keluhan owner mengenai penggunaan sediaan obat-obatan.

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Pemantauan terapi obat oleh apoteker dapat membantu jika terdapat kesalahan dosis
ataupun penggunaan obat pada resep dokter yang diberkan. Kerjasama antara
apoteker dengan dokter hewan dapat membantu meminimalisir terjadinya kesalahan
terapi obat.

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) harus selalu dilakukan. Penggunaan
obat pada setiap hewan berbeda dosis maupun cara pemberiannya. Terkadang, dosis
yang tepat masih menimbulkan efek samping yang berat pada beberapa individu,
sehingga perlu dilakukan monitoring selalu oleh dokter hewan.

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan kegiatan yang penting dalam
bidang veteriner. Beberapa obat seperti antibiotik harus selalu dievaluasi
penggunaannya karena resiko resistensi terutama pada hewan sangat tinggi.
Berbeda dengan manusia, penggunaan obat pada hewan terutama pada ras-ras
tertentu harus sangat hati-hati dan memperhatikan indikasi dan kontraindikasi dari
sediaan obat tersebut, sehingga evaluasi penggunaan obat harus sering dilakukan.

10. Dispensing
Dispensing merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi,
interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat
dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.
Dokter hewan dapat melakukan dispensing, sehingga pasien terkadang tidak perlu
membeli obat ke apotek, disamping memang masih jarang sekali apotek khusus
untuk obat hewan. Pada pelayanan farmasi di klinik hewan hampir kebanyakan
dokter hewan melakukan dispensing sehingga dapat membantu klien untuk
mendapatkan obat yang sesuai untuk hewannya.

11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)


Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter. Sama
halnya dengan pelayanan farmasi pada rumah sakit umum, ini juga perlu dilakukan
oleh dokter hewan di klinik dan dokter hewan beserta apoteker di rumah sakit
hewan.
DAFTAR PUSTAKA

Arhayani. 2007. Perencanaan dan penyiapan pelayanan konseling obat serta pengkajian
resep bagi pasien rawat jalan di rumah sakit imanuel bandung [tesis]. Bandung
(ID): Institut Teknologi Bandung.
Aslam M, Chik KT, dan Adji P. 2003. Farmasi Klinik. Jakarta (ID): PT. Elex
Komputindo.
Aslam M., Tan CK, Prayitno A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta (ID): Elex Media
Komputindo.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta
(ID): Depkes RI.
Gennaro AR. 1990. Remington’s Pharmaceutical Sciences. Pennsylvania : Mack
Publishing
Ikawati Z. 2010. Farmasi klinis terbkti tingkatkan hasil terapi pada pasien. [internet].
[diunduh pada 2019 Aug 20]. Terdapat pada:http//www.ugm.ac.id/berita/2133-
farmasi.klinis.terbukti.efektif.tingkatkan.hasil.terapi.pada.pasien.
Indah WN, dan Utami P. 2016.Profil penerapan farmasi klinik di rumah sakit amal
usaha milik muhammadiyah di daerah istimewa Yogyakarta. Yogyakarta (ID):
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
[Kemenkes RI] kementrian kesehatan RI. 2014. Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit.[internet]. [diunduh pada 2019 Agustus 18]. Terdapat pada
http:////75_1203407607_STANDAR_PELAYANAN_FARMASI_DI.pdf
Muliawan BT. 2008. Pelayanan Konseling Akan Meningkatkan Kepatuhan Pasien pada
Terapi Obat. [Diunduh 9 Juni 2011]. Tersedia pada
http://www.binfar.depkes.go.id/def_menu.php.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta (ID): Depkes RI
Restriyani M dan Mazziyah N. 2016. Persepsi Dokter dan Perawat Tentang Peran
Apoteker dalam Pelayanan Farmasi klinik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Yogyakarta (ID): UMY
Siregar CJP. 2004. Farmasi Rumah Sakit dan Penerapan. Jakarta (ID): EGC.
Usman E. 2007. Pemakaian obat dengan margin of safety yang sempit seharusnya
memerlukan therapy drug monitoring [tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas.
Yusuf H. 2015. Pengaruh rekonsiliasi obat terhadap rendahnya kejadian medication
error di rumah sakit [skripsi]. Padang (ID): Universitas Andalas.

Anda mungkin juga menyukai