Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pharmaceutical Care
Pelayanan kefarmasian atau Pharmaceutical Care adalah bentuk
pelayanan dan bentuk tanggung jawab langsung kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi yang mencapai hasil pasti untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien (Permenkes RI, 2016). Pelayanan kefarmasian dalam dua dekade
terakhir telah mengalami pergeseran orientasi dari memberikan dan meracik obat-
obatan, menjadi terlibat dalam penyediaan perawatan kefarmasian dan pelayanan
khusus (Strand and Hepler, 1990). Model pelayanan khusus ini menggabungkan
gagasan tentang tenaga kefarmasian yang terlatih memberikan pelayanan
kefarmasian dengan manajemen penanganan suatu penyakit. Hal ini dilakukan
melalui penilaian keadaan pasien, parameter subjektif dan objektif dari penyakit,
follow up serta kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lainnya untuk
keberhasilan terapi pasien (Hughes et al, 2001).
Tujuan dari pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah
untuk meningkatkan mutu pelayanan di apotek yang kemudian akan dapat
menjamin keamanan pasien. Selain itu, pengaturan standar pelayanan kefarmasian
di apotek ini juga untuk menjamin terselenggaranya pelayanan obat dan
perbekalan farmasi yang rasional dengan memperhatikan aspek mutu, manfaat,
harga, kemudahan akses, serta keamanan masyarakat dan lingkungannya
(Permenkes RI, 2016).
Dalam Pasal 3 Permenkes RI No. 73 Tahun 2016 dijelaskan bahwa
standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi 2 bagian, yaitu pengelolaan
bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan sediaan farmasi, serta pelayanan
farmasi klinik. Dalam mengelola sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai, apotek melakukan kegiatan perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, serta pencatatan dan pelaporan.
Sedangkan standar pelayanan farmasi klinik mencakup kegiatan monitoring efek
samping obat, pemantauan terapi obat, pelayanan kefarmasian di rumah,
konseling, pelayanan informasi obat, dispensing, pengkajian resep.
Pelayanan kefarmasian di apotek tentunya tidak terlepas dari peran
apoteker sebagai pengelola apotek. Apoteker di apotek harus memberikan edukasi
kepada pasien terkait pengobatan, menjawab berbagai pertanyaan pasien, serta
memberikan cukup waktu kepada semua pasien apabila ada hal yang belum
mereka pahami terkait pengobatan. Selain itu, apoteker juga harus mengecek
ulang pengobatan yang diterima pasien (Ahmed Alomi et al, 2016). Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan medikasi yang bisa berakibat
fatal bagi pasien.
2.2. Perkembangan Pharmaceutical Care
Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan
erat dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya,
pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan apoteker
sebagai penanggung jawab apotek, dengan pesatnya perkembangan ilmu
kefarmasian maka apoteker atau dikenal pula dengan sebutan farmasis, telah dapat
menempati bidang pekerjaan yang makin luas. Apotek, rumah sakit, lembaga
pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium pengujian mutu,
laboratorium klinis, laboratorium forensik, berbagai jenis industri meliputi
industri obat, kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka,
nutraseutikal, health food, obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi
obat serta badan asuransi kesehatan adalah tempat-tempat untuk farmasis
melaksanakan pengabdian profesi kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian saat ini telah semakin berkembang selain
berorientasi kepada produk (product oriented) juga berorientasi kepada pasien
(patient oriented) seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan dan pergeseran budaya rural menuju urban yang
menyebabkan peningkatan dalam konsumsi obat terutama obat bebas, kosmetik,
kosmeseutikal, health food, nutraseutikal dan obat herbal.
Berbagai tuntutan yang ada di masyarakat menjadi tantangan untuk
pengembangan dunia kefarmasian seperti : Pharmaceutical care yaitu obat sampai
ketangan pasien dalam keadaan baik, efektif dan aman disertai informasi yang
jelas sehingga penggunaannya tepat dan mencapai kesembuhan; timbulnya
penyakit baru 10 dan perubahan pola penyakit yang memerlukan pencarian obat
baru atau obat yang lebih unggul ditinjau dari efektivitas dan keamanannya;
meningkatnya penyalagunaan obat dan ketergantungan pada narkoba dan
psikotropika merupakan tuntutan untuk dapat mengawasi penggunaan obat
tersebut, mencari/mensintesis obat yang lebih aman dan mampu memberikan
informasi tentang bahaya penyalahgunaan obat; farmasis sebagai partner dokter
memacu farmasis untuk menguasai lebih mendalam ilmu farmakologi klinis dan
farmakoterapi serta ilmu farmasi sosial dan komunikasi; farmasis sebagai
penanggung jawab pengadaan obat di apotek, rumah sakit, pedagang besar
farmasi, puskesmas dll. harus menguasai farmakoekonomi dan manajemen
farmasi; tuntutan farmasis untuk dapat berperan dalam perkembangan industri
Farmasi perkembangan drug delivery system, pengembangan cara produksi dan
metode control kualitas; farmasis untuk menempati bidang pemerintahan yang
berfungsi dalam perizinan, pengaturan, pengawasan, pengujian, pemeriksaan dan
pembinaan; perkembangan farmasi veteriner, perkembangan medical devices (alat
kesehatan, pereaksi diagnostik).
Untuk dapat mengakomodasi semua tuntutan tersebut diperlukan sistem
pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan tenaga farmasi dengan bekal ilmu
pengetahuan keprofesian yang mutakhir. Jumlah farmasis di Indonesia saat ini
masih kurang dari 10.000 sehingga rasio terhadap penduduk Indonesia lebih
kurang 1:20.000, sedangkan di negara lain rasionya jauh lebih kecil, Jepang
(1:660), Thailand (1:1.000), Perancis (1:1.300), Amerika Serikat (1:1.430),
Australia (1:1.700) dan Cina (1:5.000). Farmasis di Thailand proaktif memberikan
informasi obat dari rumah ke rumah (family pharmacist), untuk aktivitas seperti
ini diperlukan jumlah tenaga farmasis yang cukup.
2.3 Kendala Dalam Pelaksaan Phamceutical Care
A. Kendala Di Indonesia
Pelaksanaan pelayanan farmasi di Indonesia mulai berkembang pada
tahun 2000-an. Menurut Rikomah (2016) kegiatan farmasi di Indonesia masih
relatif sangat sedikit dikarenakan beberapa kendala antara lain pengetahuan teknis
yang masih kurang, kurang rasa percaya diri, kurangnya kemampuan
berkomunikasi, tekanan kelompok kerja, kurangnya staf di Instalasi farmasi serta
9 belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan lain
di rumah sakit. Kendala-kendala ini yang menghambat perkembangan farmasi di
Indonesia. Didalam lingkungan pendidikan farmasi, kurikulum pembelajaran
masih bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar dan untuk
pendidikan yang kearah klinik masih sangat minim, inilah yang menyebabkan
masih rendahnya kemampuan berkomunikasi dan kurangnya rasa percaya diri
pada apoteker. Diawali dengan adanya beberapa apoteker yang menempuh
pendidikan mengenai farmasi klinik di luar negeri dan juga terjadi restrukturisasi
pada Departemen Kesehatan dengan dibentuknya Direktorat Jendral Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan Direktorat Bina farmasi Komunitas Dan
Klinik dibawahnya, hal ini tentu dapat mengakomodasikan pekerjaan kefarmasian
menjadi salah satu pelayanan kesehatan utama. Dalam rangka mendukung
perkembangan farmasi klinik di Indonesia, sektor pendidikan hadir untuk
mendukung upaya tersebut yaitu salah satu institusi pendidikan di Indonesia
Universitas Gadjah Mada membuka program studi magister farmasi klinik.
B. Kendala Di Negara Lain
Istilah pelayanan farmasi mulai di lingkungan masyarakat pada tahun
1960-an di Amerika. Hal ini muncul karena adanya penekanan fungsi dan tugas
apoteker agar dapat bekerja langsung berhadapan dengan pasien (Rikomah, 2016).
Pada 6 tahun 1960-an di seluruh dunia khususnya di Amerika pelayanan
kesehatan terpusat kepada dokter, hal ini menyebabkan hubungan apoteker
dengan pasien sangat minim. Didasarkan pada alasan tersebut sehingga munculah
konsep farmasi klinik pada awal 1960-an di University of Michigan. Institusi
pendidikan ini merupakan institusi pertama yang menganugerahkan gelar dokter
farmasi di luar California (Miller,1981). Konsep farmasi klinik juga di munculkan
dalam konfrensi tentang obat di tahun 1965 yang diselenggarakan Carnahan
House, dan didukung oleh American Society Of Hospital Pharmacity (ASHP).
Hasil konfrensi itu disajikan dalam proyek percontohan yang disebut 9th floor
project yang dilakukan oleh University Of California. Pada tahun 1990, Helper
dan Strand memperkenalkan istilah “pharmaceutical care” yang kemudian istilah
ini yang dipromosikan oleh organisasi farmasi dunia. Secara historis, telah banyak
perubahan yang terjadi pada profesi kefarmasian di Inggris, khususnya yang
terjadi pada abad 20-an.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Alomi, Y., Kurdy, L., Aljarad, Z., Basudan, H., Almekwar, B.,
Almahmood, S., 2016. Patient satisfaction of pharmaceutical care of
primary care centers at Ministry of Health in Saudi Arabia. J. Pharm.
Pract. Community Med. 2, 79–87. doi:10.5530/jppcm.2016.3.4.

Blaxter, Loraine, Christina Hughes and Malcolm Tight. (2001). How to Research
Second Edition. Philadelphia: Open University Press.

Russel R. Miller. 1981. History of Clinical Pharmacy and Clinical Pharmacology.


The Journal of Clinical Pharmacology. american collage of clinical
pharmacology

Setya Enti Rikomah, 2016, Farmasi Klinik, Yogyakarta : Deepublish

Anda mungkin juga menyukai