Anda di halaman 1dari 26

Pidato Pengukuhan Guru Besar.

(akhirnya)
25 02 2010
Alhamdulillah,. setelah sekian lama berkutat mencari ide untuk menulis pidato,
mencoba menyusunnya, dan

in action on the stage
menyiapkan segala ubo rampe-nya sampe tidak sempat mikirin blog ini, akhirnya
hari ini terselenggaralah acara Pidato Pengukuhanku sebagai Guru Besar di bidang
Farmakologi dan Farmasi Klinik, yang Alhamdulillah, cukup lancar dan sukses.
Aku belum sempat cerita tentang story behind the scene yah.. ntar aja klo
udah sempat. Sekarang aku up-load dulu secara utuh isi pidato yang aku bacakan
hari ini. Semoga bermanfaat
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas
Gadjah Mada
Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar Universitas
Gadjah Mada
Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas
Gadjah Mada
Yang terhormat Rektor, para Wakil Rektor Senior dan Wakil Rektor Universitas
Gadjah Mada,
Yang terhormat rekan-rekan sejawat, para dosen, mahasiswa, para tamu undangan,
para sanak keluarga dan hadirin semuanya.
Salam sejahtera bagi kita semua,
Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur tak henti-hentinya kami panjatkan ke
hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan ijinNya, sehingga kita
semua dapat hadir dalam majelis yang mulia ini.
Pada hari ini, saya akan menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru
Besar dalam Ilmu Farmakologi dan Farmasi Klinik, sebagai pertanggungjawaban
ilmiah dan moral sebagai Guru Besar, sekaligus ungkapan terimakasih saya atas
kesempatan yang diberikan almamater menekuni bidang ini sehingga mencapai
tahap sekarang ini. Dalam kesempatan berbahagia ini perkenankanlah saya
mengucapkan terimakasih kepada Ketua Majelis Guru Besar yang telah
memberikan kehormatan pada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan
dengan judul :
PELAYANAN FARMASI KLINIK PADA ERA GENOMIK: SEBUAH
TANTANGAN DAN PELUANG
Hadirin yang saya hormati,
Judul tersebut sengaja saya pilih setelah lama mengamati, mendalami dan mencoba
terlibat dalam perkembangan farmasi klinik beberapa tahun terakhir, di mana saya
sendiri saat ini masih menjadi pengelola Program Studi S2 Farmasi Klinik di
Fakultas Farmasi UGM. Di sisi lain, era molekuler/genomik sudah menjadi warna
pula dalam dunia sains kesehatan, sehingga hal ini merupakan tantangan buat
farmasis atau apoteker, bukan saja mereka yang berada dalam ranah
pengembangan obat, namun juga pada pelayanan kefarmasian. Jika farmasis siap
menghadapinya, saya yakin era genomik bisa menjadi momentum bagi farmasis
untuk lebih meningkatkan eksistensinya dengan mengambil peran lebih besar.
Pada kesempatan ini saya ingin menguraikan mulai dari sejarah, perkembangan
pada era sekarang, serta tantangan dan peluang dalam pelayanan kesehatan.
Profesi Farmasi di Indonesia
Tonggak sejarah munculnya profesi apoteker di Indonesia dimulai dengan
didirikannya Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946, yang kemudian
menjadi Fakultas Farmasi UGM, dan di Bandung tahun 1947. Lembaga
Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini
mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-
masa selanjutnya. Hingga saat ini, jumlah pendidikan tinggi farmasi membengkak
sangat besar, yaitu mencapai 61 perguruan tinggi farmasi (PTF), dengan perincian :
13 PTF terakreditasi A, 13 PTF terakreditasi B, 21 PTF terakreditasi C, dan
sisanya belum terakreditasi (APTFI, 2009).
Dengan pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian, maka farmasis saat ini
menempati ruang lingkup pekerjaan yang makin luas. Beberapa tempat pekerjaan
kefarmasian antara lain adalah di apotek, rumah sakit, lembaga pemerintahan,
perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium pengujian mutu, laboratorium
klinis, laboratorium forensik, berbagai jenis industri farmasi meliputi industri obat,
kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka, nutraseutikal, health food,
obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi obat serta badan asuransi
kesehatan. Salah satu cabang ilmu/pelayanan kefarmasian adalah farmasi klinik.
Sejarah munculnya Farmasi Klinik
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan
penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien.
Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru,
di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek
pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap
tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai
pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of
Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981).
Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan
kesehatan sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien
sangat minimal. Konsep farmasi klinik muncul dari sebuah konferensi tentang
informasi obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House, dan
didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu
disajikan proyek percontohan yang disebut 9
th
floor project yang
diselenggarakan di University of California. Perkawinan antara pemberian
informasi obat dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS mengawali
kelahiran suatu konsep baru dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota
delegasi konferensi disebut sebagai farmasi klinik (DiPiro, 2002). Hal ini
membawa implikasi terhadap perubahan kurikulum pendidikan farmasi di Amerika
saat itu, menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis yang memiliki
keahlian klinik.
Perubahan visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan ketika
Hepler dan Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990 memperkenalkan
istilah pharmaceutical care. Pada dekade berikutnya, kata itu menjadi semacam
kata sakti yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi farmasi di dunia.
Istilah pharmaceutical care, yang di-Indonesia-kan menjadi asuhan kefarmasian,
adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan berorientasi
terhadap outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam ini, farmasis
menjadi salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung
jawab padaoutcome pengobatan.
Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin diperkuat
pada tahun 2000, ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika American
College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan sebuah makalah
berjudul, A vision of pharmacys future roles, responsibilities, and manpower
needs in the United States.

Untuk 10-15 tahun ke depan, ACCP menetapkan
suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia pelayanan kesehatan yang
akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk pencegahan dan penyembuhan
penyakit (ACCP, 2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus dipastikan adanya
farmasis klinik yang terlatih dan mendapat pendidikan memadai.
Dalam sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan dalam
terapi. Mereka bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan
rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain.
Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah yang dapat dipercaya
tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi terkait dengan
penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective.
Konsep farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di dunia,
termasuk Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara
berdasarkan kondisi masing-masing.
Berikut akan saya paparkan perkembangan farmasi klinik di bagian dunia yang
lain, yaitu Eropa, Australia, dan Indonesia sendiri sebagai perbandingan.
Farmasi Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European
Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997).
Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai
tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun 1983, ESCP
mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian
dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983). Pada tahun itu, Federation
Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan prosiding simposium
bertemakan Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health
Care di mana berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis (Breimer et al,
1983). Sejak itu, World Health Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain
mulai mengenal dan memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan
kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992, ESCP
mempublikasikan The Future of Clinical Pharmacy in Europe yang
merefleksikan perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan
kesehatan (Bonal et al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di
berbagai negara, dan itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan,
ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan hubungan profesional
(Waldo et al, 1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker
di RS, apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi
peresepan dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas
farmasi klinik adalah meningkatkan penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan
hal ini berarti:
Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif
untuk setiap kondisi tertentu pasien.
Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau
terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau
pemerintah (ESCP, 2009).
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di
semua negara Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama
menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting
farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari
pengalaman di Amerika dan Inggris.
Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah
memberikan pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi
farmasis yang bekerja di RS di Australia adalah The Society of Hospital
Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun
1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi
referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi
klinik dan dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga
digunakan dalam pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan
farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi,
baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)
Hadirin yang terhormat,
Macam aktivitas farmasi klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi
klinik meliputi :
1. Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi,
memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan
memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung
2. Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan
pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau
daftar obat yang digunakan.
3. Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan
melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur
pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
4. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik
obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
5. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain
meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan
farmakoekonomi.
6. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan
pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik
untuk optimasi regimen dosis obat.
7. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta
berpartisipasi dalam uji klinik.
8. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi,
khususnya farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia. Bagaimana
dengan Indonesia?
Farmasi Klinik di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun
2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi
klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya
penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah
satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia. Masih
dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi
menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal
perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut
memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju.
Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan
peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah
pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih
cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih
sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang
penyakit dan pengobatan.
Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya
di UGM, telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan
farmasi klinik, seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi
Farmasi Klinik dan Komunitas.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan
kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi
Departemen Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di
bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu
pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang
itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan
Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain,
beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan
pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan
berarti perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan
perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang
yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin bahwa
pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik
mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa. Kiranya ke depan,
perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang
kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada
pasien akan benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang
diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai.
Manfaat farmasi klinik dalam optimasi hasil terapi
Banyak penelitian telah membuktikan peran farmasi klinik terhadap
berbagai outcome terapi pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup,
kepuasan), sisi klinik (kontrol yang lebih baik pada penyakit kronis), dan sisi
ekonomis (pengurangan biaya kesehatan). Hasil review publikasi antara tahun
1984-1995 oleh Inditz et al (1999) menyimpulkan bahwa pelayanan farmasi klinik
efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan, dan efektif dalam
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terutama diperoleh dengan
melakukan pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat.
Bond et al (1999) juga melaporkan bahwa pelayanan farmasi klinik dapat
menurunkan angka kematian di RS secara signifikan. Terdapat perbedaan sampai
195 kematian/tahun/RS antara RS yang menjalankan aktivitas farmasi klinik
dengan yang tidak. Sebuah studi lain yang dilakukan di Massachusetts General
Hospital di Boston menjumpai bahwa partisipasi farmasis dalam visite (kunjungan)
ke bangsal perawatan intensive care unit(ICU) dapat mengurangi sampai 66%
kejadian efek samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena kesalahan
dalam perintah pengobatan (Leape et al, 1999).
Dalam hal outcome klinis, misalnya pada terapi antikoagulan, pengaturan
penggunaan antikoagulan yang berlebihan dengan cara melakukan pemantauan
melalui telepon oleh farmasis klinik telah berhasil meningkatkanoutcome klinis
pasien dibandingkan dengan cara pelayanan farmasi secara tradisional (Witt dan
Humphries, 2003).
Bagaimana di Indonesia? Karena setiap negara memiliki situasi berbeda dalam hal
pelayanan farmasi klinik, perlu dilakukan juga pengamatan serupa terhadap
dampak pelayanan farmasi terhadap peningkatan hasil terapi maupun kualitas
hidup pasien. Adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak
terjadi masalah terkait dengan penggunaan obat (drug-related problem, DRP) di
berbagai tempat pelayanan kesehatan.
Di sebuah RS di Kalimantan Timur misalnya, dijumpai 88,6% pasien diabetes
mellitus mengalami DRP, dengan masalah terbanyak adalah adanya indikasi
penyakit yang tidak diterapi secara memadai (Utami, 2009). Dari 52 pasien
hemodialisis di sebuah RS di Jawa Timur, 90,4% mengalami DRP, dengan jenis
terbanyak adalah pasien tidak menerima obat (Irawaty, 2009). Kejadian serupa
masih banyak dijumpai, misalnya DRP pada penatalaksanaan stroke (Rahajeng,
2006), penggunaan antibiotika profilaksis (Blegur, 2007), penatalaksanaan nyeri
kanker (Guswita, 2007), dengan berbagai jenis DRP lainnya.
Karena itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya dapat mengurangi
kejadian DRP tersebut, dan lebih jauh dapat meningkatkan hasil terapi pasien.
Intervensi farmasis dalam hal pemberian konseling pada pasien diabetes mellitus
berhasil meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup pasien (Ikawati et al, 2008;
Hermawan, 2009). Demikian pula pada pasien hipertensi di sebuah RS di Jawa
Tengah, konseling farmasis dapat meningkatkan pencapaian target tekanan darah
yang diinginkan (Kusumaningjati, 2008).
Hadirin yang berbahagia,
Perkembangan dunia kesehatan di era genomik
Pada dua dekade terakhir kita menyaksikan kemajuan pemahaman baru tentang
proses dasar fisiologis maupun patologis pada manusia sampai ke tingkat
molekuler. Penelitian di bidang ini mendapatkan momentum dalam beberapa tahun
terakhir, didorong dengan selesainya proyek genom manusia (human
genome project) pada tahun 2001 (Oak Ridge National Laboratory, 2009)
dan International HapMap Project (Anonim, 2009
1
). Kemajuan teknologi telah
memungkinkan identifikasi protein-protein regulator dan sistem signaling
kompleks yang berperan penting dalam proses fisiologis normal maupun dalam
kondisi patologis pada semua sistem organ utama. Elusidasi sekuens genom
manusia dan kemajuan lain telah memberikan kesempatan untuk penemuan
terobosan yang mengarahkan kepada pandangan fundamental terhadap fungsi
sistem biologis, dan menciptakan kesempatan unik untuk mentranslasikan ilmu
dasar menuju pengobatan secara klinis.
Kita juga menyaksikan kemajuan pemahaman ilmiah mengenai hubungan antara
gen manusia dengan respon terhadap pengobatan, yang kemudian dikenal dengan
istilah farmakogenetik/genomik. Istilah farmakogenetik pertama kali dikenalkan
oleh Vogel pada tahun 1959 (Shin et al, 2009), dan digunakan untuk
menggambarkan hasil observasi klinis mengenai perbedaan yang diwariskan dalam
hal respon terhadap obat (Evan et al, 2003). Farmakogenomik merupakan aplikasi
farmakogenetik, dan pada prakteknya istilah ini dapat saling dipertukarkan
penggunaannya. Telah diketahui bahwa proteinlah yang beraksi sebagai enzim
pemetabolisme obat, transporter, dan reseptor yang terdapat di seluruh tubuh, yang
memperantarai respons tubuh terhadap obat. Variasi gen yang mengkode protein-
protein ini seringkali hanya melibatkan perbedaan basa tunggal saja, yang
disebut Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs). Adanya SNP ini menyebabkan
perbedaan respon tehadap obat antar-individu, dan menjelaskan mengapa obat
tidak selalu efektif untuk semua pasien dan memiliki efek samping terhadap
sekelompok orang tetapi tidak untuk kelompok orang lainnya (Clemerson et al,
2008).
Hingga saat ini di AS terdapat kurang lebih 50 macam obat yang telah
memasukkan informasi farmakogenetik pada pelabelannya. Obat-obat ini antara
lain antijamur (voriconazol), obat kardio-vaskuler dan hematologi (warfarin),
antikonvulsan (karbamazepin), antikanker (azatioprin, irinotecan, trastuzumab,
dan cetuximab), dan antipsikotik (atomoxetin) (Frueh et al, 2008). Informasi
farmakogenetik diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan/penemuan obat
dan dalam pelayanan klinis pasien.
Dalam lingkup pelayanan klinis, informasi farmakogenetik dapat digunakan untuk
memprediksi penetapan dosis obat. Jika hasil tes farmakogenetik menunjukkan
adanya polimorfisme genetik yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim
pemetabolisme, maka ketersediaan obat dalam darah dapat meningkat sehingga
dosis perlu diturunkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya efek toksik. Dan
sebaliknya jika aktivitas enzim meningkat. Namun tentu perlu diketahui juga
bahwa faktor genetik bukanlah satu-satunya penentu respon pasien terhadap obat.
Perlu dipertimbangkan pula faktor lain yang berpengaruh terhadap efek obat.
Memang, praktek klinik yang menggunakan informasi farmakogenetik masih jauh
dari pelaksanaan, bahkan di negara maju sekalipun. Namun demikian, terkadang
kemajuan teknologi kesehatan dapat terjadi jauh lebih cepat dari yang
diperkirakan, maka bukan tidak mungkin aplikasi serupa sudah ada di depan mata.
Atau, kalaupun belum dapat diaplikasikan, pengetahuan ini sangat penting untuk
dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam masalah pengobatan. Hal ini diyakini
akan memberikan nilai tambah bagi farmasis dalam dunia klinik. Dalam hal
aplikasi farmakogenetik, farmasis, akan memegang peran penting di masa depan.
Aplikasi penemuan farmakogenetik membutuhkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik obat. Karena farmasis memahami
farmakokinetik dan farmakodinamik, maka mestinya ia akan memegang peran
yang signifikan dalam aplikasi farmakogenetik. Bahkan para ahli menyarankan
bahwa farmasis sebaiknya memiliki akses untuk mendapatkan informasi genetik
pasien untuk bisa memberikan pelayanan kefarmasian secara individual sebelum
mereka menyiapkan resep (Haga dan Burke, 2008).
Namun demikian, sebelum semua itu menjadi realita, ada satu langkah yang
mestinya sudah bisa dilakukan oleh farmasis klinik dalam rangka meningkatkan
pelayanan kefarmasian yaitu dengan lebih memfokuskan kepada ilmu-ilmu khas
kefarmasian.
Peluang farmasis di era genomik
Pada era genomik yang mengedepankan faktor genetik sebagai salah satu
kontributor terhadap respon pasien terhadap obat, maka dapat dikatakan bahwa
terapi dan hasilnya bersifat individual. Dengan analogi yang sama, respon terapi
pada satu etnis mungkin akan berbeda dengan etnis lain, termasuk kejadian efek
samping obat atau adverse drug reactions. Karena itu pada era genomik di mana
terapi mengarah kepada individualisasi terapi, ada beberapa hal yang perlu
dikembangkan dan ditekankan pelaksanaannya oleh farmasis (farmasis klinik),
antara lain:
1. Therapeutic drug monitoring (TDM)
Istilah ini merupakan istilah khusus untuk pemantauan kadar obat dalam
darah. TDM perlu dilakukan terutama untuk obat-obat dengan kisar terapi sempit,
di mana peningkatan kadar sedikit saja dalam darah dapat memberikan
peningkatan efek terapi yang signifikan, termasuk efek toksiknya. Beberapa obat
yang memiliki kisar terapi sempit dan idealnya menjalani TDM antara lain
golongan antiepilepsi (fenitoin, karbamazepin, asam valproat), antibiotika
golongan aminoglikosida (gentamicin, vancomicin, kanamicin), litium, dan
obat-obat anti retroviral (obat HIV) (Birkett et al, 1997).
TDM juga sangat membantu pada terapi yang kompleks dan melibatkan interaksi
berbagai obat dalam tubuh pasien. Sangat mungkin satu orang pasien menerima
obat hingga 10-15 macam, yang satu dengan lainnya mungkin berinteraksi secara
siginifikan. Suatu obat dapat menurunkan atau meningkatkan ketersediaan hayati
obat lain dalam tubuh, baik dengan mekanisme farmakokinetika maupun
farmakodinamika, sehingga TDM akan sangat berguna untuk memastikan regimen
dosis obat.
Lebih lanjut, mengkombinasikan TDM dengan informasi farmakogenetik tentu
akan menguntungkan pasien untuk mendapatkan regimen dosis yang tepat dan
aman. Contoh obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang
relevan disajikan pada tabel.
Tabel. Obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan
(Bukaveckas, 2004)
Nama obat Polimorfisme genetik
Siklosporin CYP3A5 dan MDR1
Asam valproat CYP2C9 dan CYP2A6
Fenitoin CYP2C9
Karbamazepin CYP3A
Warfarin CYP2C9
Digoksin MDR1
Kuinidin CYP2D6
Teofilin CYP1A2
Kajian cost-effectiveness tentang TDM sudah banyak dilaporkan,
bahwa TDM terbukti cost-effeetive untuk penggunaan antibiotika golongan
aminoglikosida, obat antiepilepsi, dan imunosupresan (Touw et al, 2007). Namun
pelaksanaan TDM masih menjadi kendala di Indonesia karena berbagai alasan.
Pemahaman tentang pentingnya TDM dan individualisasi dosis nampaknya masih
beragam antar pelaku pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya TDM diatur melalui kebijakan kesehatan nasional, sehingga dapat
segera terealisasi, seperti yang sudah dilaksanakan di negara-negara maju.
Kombinasi TDM dengan test farmakogenetik nampaknya masih jauh dari realita,
namun pengetahuan dan persiapan farmasis menuju era individualisasi terapi perlu
terus dikembangkan.
2. Farmakovigilans (pharmacovigilance)
Khusus untuk keamanan obat, perlu dilakukan upaya-upaya identifikasi dan
pencegahan ADR dengan cara lain, misalnya dengan farmakovigilans.
Farmakovigilans merupakan cabang ilmu farmakologi yang terkait dengan deteksi,
penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek yang tidak diinginkan (adverse
effects), terutama efek samping jangka pendek maupun panjang obat, produk
biologis, herba, maupun obat tradisional, dengan tujuan mengidentifikasi informasi
baru tentang bahaya karena obat, dan mencegah bahaya itu pada pasien (WHO,
2002).
Polimorfisme genetik, sekali lagi, merupakan salah satu sumber variasi respon obat
di dalam tubuh. Dalam kaitannya dengan ADR, perhatian lebih banyak ditujukan
terhadap faktor farmakokinetik, khususnya metabolisme obat (Pirmohamed dan
Park, 2001). Namun demikian, variasi genetik pada target aksi obat (faktor
farmakodinamik) mungkin pula berperan. Oleh sebab itu, sangat penting kita
memiliki informasi kejadian ADR pada populasi khusus orang Indonesia. Pada
umumnya kita selalu merujuk buku-buku teks untuk melihat signifikansi
kejadian ADR, namun lupa bahwa informasi tersebut kebanyakan bersumber dari
ras Kaukasia. Untuk itu perlu kiranya disusun database ADR atau efek samping
khusus populasi Indonesia, mengingat Indonesia sangat kaya akan keragaman
etnis, sehingga memungkinkan adanya variasi genetik dan hasil pengobatan.
Satu contoh menarik adalah penggunaan metamizol (antalgin) sebagai analgetik.
Antalgin mudah dijumpai di berbagai tempat pelayanan kesehatan di Indonesia,
meskipun sudah dilarang penggunaannya di Amerika (1977), Swedia (1974), dan
di beberapa negara lain termasuk Jepang, Australia, dan beberapa negara Eropa
(Anonim, 2009
2
), karena menyebabkan ADR fatal yaitu agranulositosis dan
diskrasia darah (Bottiger dan Westerholm, 1973). Sementara itu di Mexico, India,
Brazil, Rusia, dan di negara dunia ketiga lain, termasuk Indonesia, obat ini masih
tersedia secara luas dan termasuk analgesik populer. Adanya kontroversi tentang
angka prevalensi kejadian agranulositosis di berbagai negara, memunculkan
dugaan kuat adanya faktor genetik sebagai penyebab perbedaan tersebut. Karena
itu perlu dilakukan kajian apakah memang terdapat perbedaan kerentanan antar
berbagai ras terhadap adverse effect antalgin yang disebabkan faktor genetik, atau
memang sistem pelaporan efek samping di Indonesia yang belum berjalan dengan
baik sehingga belum bisa menjadi dasar penarikan suatu obat dari pasar oleh badan
otoritas.
Karena itu selama pemantauan terapi, identifikasi dan pelaporan kejadian ADR
menjadi penting, dan farmasis dapat mengambil peran kunci ketika menerapkan
praktek farmasi klinik.
3. Pelayanan Informasi Obat dan Konseling pada Pasien
Aktivitas ini mestinya merupakan aktivitas awal seorang farmasis sebagai tenaga
yang berkompeten di bidang obat. Saya ingin menekankan bahwa pada era
genomik, penjelasan bagaimana aksi obat dan bagaimana proses patologis terjadi,
sudah mencapai ke tingkat molekuler, terutama pada tingkat protein. Karena itu,
pengetahuan tentang mekanisme molekuler penyakit dan obat-obat baru yang
makin selektif terhadap target aksi spesifik di tingkat molekuler perlu dikuasai,
dengan selalu meng-update pengetahuan terkini. Hal ini akan memberikan nilai
tambah bagi farmasis ketika harus memberikan pelayanan informasi obat, terutama
pada sejawat tenaga kesehatan lain.
Di sisi lain, pengetahuan teknis farmasetis yang merupakan kompetensi khas
farmasis harus pula dikuasai untuk bisa memberikan saran dan rekomendasi pada
sejawat dalam hal penyiapan obat pasien. Tak boleh dilupakan adalah ilmu-ilmu
dasar kefarmasian dalam penggunaan obat yang sangat diperlukan untuk
pencerahan kepada pasien, yang semuanya ini bertujuan meningkatkan hasil terapi.
Konseling tentang pengobatan kepada pasien perlu terus ditingkatkan untuk
memastikan bahwa pasien dapat menggunakan obatnya dengan cara yang benar
sehingga dapat dicapai hasil terapi yang optimal.
Di akhir pidato ini saya ingin menggaris bawahi bahwa profesi farmasis klinik
terus berkembang dan menjadi kebutuhan, dan itu memerlukan kesiapan dan
komitmen farmasis untuk terus meningkatkan kompetensi dan mengikuti semua
perkembangan di bidang ilmu kesehatan hingga tingkat advanced. Hal ini akan
meningkatkan percaya diri dan kepercayaan dari sejawat tenaga kesehatan,
sehingga bisa memposisikan diri sebagai mitra penting dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang terbaik pada pasien, dengan semangat empati dan
peduli.
Upaya-upaya untuk membuktikan peran farmasis klinik dalam
meningkatkan outcome terapi bagi pasien harus terus dilakukan, sehingga akan
semakin membuka peluang diterimanya profesi farmasis di dalam tim pelayanan
kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien.
Saya juga menghimbau kepada pemegang kebijakan di Departemen Kesehatan
untuk lebih mengakomodasi peran farmasis dalam pelayanan kesehatan sebagai
anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih memiliki akses terhadap pemantauan
pasien. Pelaksanaan farmasi klinik di berbagai negara dapat menjadi acuan,
tentunya dengan tetap mendasarkan pada sistem pelayanan kesehatan yang berlaku
di Indonesia.
Penutup
Hadirin yang kami hormati
Sebagai akhir dari pidato pengukuhan ini, pekenankanlah saya sekeluarga
menyampaikan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT atas segala
karunia, rahmat, dan petunjukNya, sehingga pada hari ini saya mendapat
kesempatan dan kehormatan melakukan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di
Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik. Sungguh semua capaian ini tak lepas dari
ijin dan perkenanNya yang telah memberi kemudahan dan kelancaran saya dalam
bertugas.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan
Menteri Pendidikan Nasional yang telah mempercayai saya sebagai Guru Besar.
Demikian juga kepada Rektor UGM beserta jajarannya, Pimpinan Senat Akademik
dan Anggota Senat Akademik, Pimpinan dan Anggota Majelis Guru Besar UGM,
yang telah menyetujui dan mengusulkan jabatan yang terhormat dan mulia ini.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Dekan, Ketua dan Anggota Senat
Fakultas Farmasi UGM, yang telah menyetujui dan mengusulkan pengangkatan
Guru Besar ini. Kepada Kepala Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik beserta
para senior, serta seluruh sejawat dosen dan civitas akademika lainnya, yang telah
banyak membantu dan bekerjasama dengan baik sehingga proses pengusulan Guru
Besar dapat berjalan lancar, kami ucapkan banyak terimakasih.
Kebanggaan dan penghargaan yang tinggi saya haturkan pula pada guru-guru saya
di SD Santa Maria Purwokerto, SMP Negeri 1 Purwokerto, dan SMA Negeri 1
Purwokerto yang telah membekali kami dengan ilmu sehingga kami dapat
melanjutkan pendidikan tinggi. Semoga gelar ini bisa menjadi ungkapan rasa
terimakasih dari hati yang terdalam. Demikian pula kepada seluruh Bapak ibu
dosen di Fakultas Famasi UGM yang telah mendidik saya sejak tahun 1987 ketika
pertama kali kami diterima sebagai mahasiswa Fak Farmasi, sampai sekarang ini,
hingga saya dapat mencapai jenjang akademik tertinggi. Terimakasih kami
haturkan kepada Ibu Prof. Dr. Retno S. Sudibyo, MSc, Apt. Dan Prof. Dr. Umar
Anggoro Jenie, MSc, Apt, dosen pembimbing skripsi saya pada waktu itu yang
memperkenalkan pada dunia penelitian.
Ucapan terimakasih yang tulus saya haturkan juga kepada yang terhormat Prof.
Drs. Moh Anief, Apt, Dekan pada saat itu, yang telah menawari posisi sebagai
dosen kepada saya ketika saya lulus S1 pada tahun 1992. Kepada Prof Dr. A.
Mursyidi, Prof Dr. Ibnu Gholib Gandjar, DEA, Apt, dan Prof Dr Marchaban,
DESS Apt, selaku dekan-dekan semasa kami mulai bekerja sebagai dosen di
Fakultas Farmasi UGM sejak tahun 1993, yang telah banyak mendorong dan
memberi saya kesempatan untuk mengembangkan diri dan berkarya di fakultas,
saya mengucapkan terimakasih yang tulus. Tak lupa, ucapan terimakasih saya
sampaikan kepada Bapak Ibu dosen Bagian Farmasetika yang merupakan tempat
saya bergabung ketika pertama kali diterima menjadi dosen di Fakultas, yang telah
membimbing dan mengarahkan ketika awal-awal pengabdian saya. Kepada
Bapak/ibu dosen Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik yang menjadi tempat
pengabdian saya berikutnya mulai tahun 2004, ucapan terimakasih tak terhingga
atas dukungan dan kerjasamanya sehingga saya bisa mencapai gelar yang mulia
ini. Terimakasih setulusnya saya haturkan juga kepada senior saya Prof Dr.
Sismindari, Prof. Dr. Sudjadi, Prof. Dr. Subagus Wahyuono, yang menjadi
mentor dan membuka tangannya semenjak saya pulang studi S3 sehingga saya
banyak termotivasi mengajukan proposal penelitian dan aktif menjalankan
penelitian hingga saat ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih juga saya
sampaikan kepada Profesor Kazutaka Maeyama di Ehime University Japan, yang
telah membimbing saya dalam menyelesaikan program doktor di bidang
Farmakologi di Department of Pharmacology Ehime University School of
Medicine, Jepang, dan hingga saat ini selalu terbuka untuk bekerja sama dalam
pengembangan ilmu.
Semua pencapaian ini tentu tidak lepas dari doa dan dukungan yang tak putus-
putus dari orangtua tercinta kami. Untuk itu, ucapan terimakasih dan sembah bakti
yang tulus saya haturkan kepada ayahanda tercinta (alm) Bp. Drs. M. Iskak, dan
ibunda Isworowati, yang telah mendukung dengan segala cinta kasih dan daya
upayanya sehingga saya bisa bersekolah tinggi. Kepada ayah dan ibu mertua (Alm)
Bp. Harun Tjiptodiharjo dan (Alm) Ibu Sukini, kami ucapkan terimakasih yang
tulus. Khusus untuk alm Ibu Sukini, walau belum pernah bertemu di dunia,
terimakasih telah melahirkan seseorang yang kini menjadi pendamping terbaik
saya dalam hidup berkeluarga. Ucapan terimakasih saya tujukan juga kepada
semua adik-adik : Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, Triana Nugrahenny, S.Psi, Agung
Kurniawan, SE, Akt., Ridho Pamungkas, SIP., beserta suami/istri masing-masing,
dan alm adik Rina Lestari, yang telah membangun persaudaraan yang penuh cinta
kasih. Kepada adik-adik ipar: Edy-Nur, Endang-Bidin, Enis, Emi, dan Ening-
Bahiej, terimakasih pula atas dukungannya. Terimakasih juga pada Mbak Hartini,
SE dan Mbak Dessy Setyaningrum, SE, yang telah mendukung dan membantu
dalam berbagai urusan sehari-hari, sehingga telah sangat mengakselerasi
pencapaian kami sebagai guru besar.
Akhirnya, terimakasih tak terhingga saya sampaikan kepada suami tercinta yang
telah penuh pengertian dan dukungan menghantarkan saya untuk memperoleh
semua pencapaian ini: Dr. Ir. Eko Hanudin, MS., dan anak-anakku tercinta : Handy
Aulia Zharfani, Hannisa Fazania Hasna, dan Handhika Azka Aunnuha. Tanpa
dukungan suami dan anak-anak tercinta, tak mungkin saya mencapai derajat
terhormat ini. Khusus untuk suamiku tercinta, jadilah selalu telagaku, tempat
bermuara semua suka dukaku, dan menjadi tempatku merenangi kehidupan sampai
akhir hayatku.
Terakhir kepada hadirin sekalian, saya sampaikan terimakasih atas kehadiran, dan
kesabarannya dalam mengikuti Pidato Pengukuhan saya hari ini. Mohon maaf
sekiranya terdapat hal-hal yang kurang berkenan.
Alhamdulillahirabil aalamiin
Wassalamu alaikum wr wb.


DAFTAR PUSTAKA
American College of Clinical Pharmacy, 2008, The Definition of Clinical
Pharmacy, Pharmacother, 28(6):816817
Anonim, 2009
1
, International HapMap Project, http://www.genome.
gov/10001688, (diakses pada tanggal 10 Desember 2009)
Anonim, 2009
2
,
Metamizole, http://www.medic8.com/medicines/ Metamizole.html, diakses pada
tanggal 15 Desember 2009
APTFI, 2009, Daftar Akreditasi Perguruan Tinggi Farmasi
Indonesia, http://aptfi.or.id/?cat=16 (diakses tanggal 10 Desember 2009)
Birkett DJ, 1997, Therapeutic Drug Monitoring, Aust Prescr, 20:9-11
Blegur F, 2007, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Luka Operasi
Bersih di RSUD Prof Dr WZ Johanes Kupang periode Oktober-Desember
2004, Thesis, Magister Farmasi Klinik UGM, Yogyakarta
Bonal J, Burden M, Delporte JP, eds. 1993, The Future of clinical pharmacy in
Europe.: European Society of Clinical Pharmacy, Noordwijk
Bond CA, Raehl CL, Franke T., 1999, Clinical Pharmacy Services, Pharmacist
Staffing, and Drug Costs in United States Hospitals. Pharmacother, 19(12):1354
62
Breimer DD, ed., 1983, Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary
Health Care. Proceedings of the 42nd international congress of FIP, Copenhagen
1982, The Hague.
Bukaveckas BL, 2004, Adding Pharmacogenetics to the Clinical Laboratory:
Narrow Therapeutic Index Medications as a Place to Start, Arch Pathol Lab
Med, 128 (12): 13301333
Clemerson, JP., Payne, EK., Bissell, P., Anderson, C., 2006, Pharmacogenetics, the
Next Challenge for Pharmacy?, Pharm World Sci, 28:126130
DiPiro, TJ, 2002, Encyclopedia of Clinical Pharmacy, Dekker, hl 900
ESCP, 1983, The Clinical Pharmacist: education document, Barcelona
ESCP, 2009, What is Clinical
Pharmacy, http://www.escpweb.org/ site/cms/contentViewArticle.asp?article=1712
Evans WE, McLeod HL, 2003, PharmacogenomicsDrug Disposition, Drug
Targets, and Side Effects. N Engl J Med, 348(6):538549.
Frueh FW, Amur S, Mummaneni P, 2008, Pharmacogenomic Biomarker
Information in Drug Labels Approved by the United States Food and Drug
Administration: Prevalence of Related Drug Use. Pharmacother, 28:992-8.
Guswita, 2007, Evaluasi Penggunaan Analgesik Opioid pada Penanganan Nyeri
Kanker Pasien Rawat Inap di RS Kanker Dharmais Jakarta selama September-
November 2006, Thesis, Magister Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Haga S, Burke W, 2008, Pharmacogenetic testing: not as Simple as it
Seems, Genet Med, 10(6):391-395
Hepler CD, Strand LM, 1990, Opportunities and Responsibilities in
Pharmaceutical Care, Am J Hosp Pharm, 47 (3):533-543
Hermawan, A.R., 2009, Pengaruh Konseling Farmasis terhadap Hasil Terapi dan
Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr
Abdul Rivai Tanjung Redeb Kalimantan Timur, Thesis,Magister Farmasi Klinik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ikawati, Z., Andayani, T.M., Dwipawestri, A.S., Kurnia, V.E., 2008, The Role of
Pharmacist Counseling to Improve Clinical Outcome and Quality of Life of
Diabetes Patients in Yogyakarta, presented on The 8th Asian Conference on
Clinical Pharmacy, Surabaya.
Inditz MES, Artz MB, 1999, Value Added to Health by Pharmacists. Soc Sci
Med, 48:647-60.
Irawaty, Y., 2009, Kajian Drug-related Problem pada Pelaksanaan Pasien
Hemodialisis di RSAL dr Ramelan Surabaya, Thesis, Magister Farmasi Klinik
UGM, Yogyakarta
Kusumaningjati, Y., 2008, Pengaruh Konseling Farmasi terhadap Luaran Terapetik
Pasien Hipertensi di RSU Kardinah Tegal, Thesis, Magister Farmasi Klinik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Leape LL, Cullen DJ, Clapp MD, 1999, Pharmacist Participation on Physician
Rounds and Adverse Drug Events in the Intensive Care Unit, JAMA; 282(3):267-
70
Leufkens H, Hekster Y, Hudson S, 1997, Scenario Analysis of the Future of
Clinical Pharmacy, Pharm World Sci, 19(4): 182-185.
Lunde I, Dukes MNG, 1989, The Role and Functions of
the Community and Hospital Pharmacist in the Health Care Systems in Europe.
WHO Collaborating Centre for Clinical Pharmacology and Drug Policy Science,
Groningen
Miller J, 1981, History of Clinical Pharmacy and Clinical Pharmacology, J Clin
Pharmacol. 21: 195-197
Oak Ridge National Laboratory, 2009, Human Genome Project information, http:
// http://www.ornl.gov/sci/techresources/
Human_Genome/home.shtml (diakses pada tanggal 10 Desember 2009).
Pirmohamed M, Park BK, 2001, Genetic Susceptibility to Adverse Drug
Reactions, Trends Pharmacol Sci, 22 (6): 298
Shin J, Kayser SR, Langae TY, 2009, Pharmacogenetics: From Discovery to
Patient Care, Am J Health Syst Pharm, 66(7):625-637
Utami, S., 2009, Kajian Drug-related Problem pada Pasien Diabetes Melitus yang
Dirawat Inap di RSU Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada Bulan Oktober-
Desember 2005, Thesis, Magister Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Waldo DR, Sonnefeld ST, Lemieux JA, McKusick DR, 1999, Health Spending
through 2030: Three Scenarios. Health Affair 231-42
WHO, 2002, The Importance of Pharmacovigilance: Safety Monitoring of
Medicinal Product, United Kingdom
Witt, M.D., Humphries, TL., 2003, A Retrospective Evaluation of the
Management of Excessive Anticoagulation in an Established Clinical Pharmacy
Anticoagulation Service Compared to Traditional Care, J Thrombosis
Thrombolysis 15(2), 113118
Touw DJ, Neef C, Thomson AH, Vinks AA, 2007, Cost-effectiveness of
Therapeutic Drug Monitoring: an Update, EJHP Science, 13 (4): 83-91
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
FOTO
Nama : Zullies Ikawati
Tempat/tg lahir : Purwokerto, 6 Des. 1968
NIP : 196812061993032001
Pangkat/Gol/jabatan : Pembina/IVb/Guru Besar
e-mail : ikawati@yahoo.com, zullies_ikawati@ugm.ac.id
Website : http://zulliesikawati.wordpress.com
Kantor : Bag Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fak Farmasi UGM
Rumah : Jl. Kaliurang Km 6,7 Gg Sumatera E-117, Yogyakarta
Data Keluarga
Nama Suami : Dr. Ir. Eko Hanudin, MS
Nama anak-anak : 1. Handy Aulia Zharfani (Afan) 13 tahun
2. Hannisa Fazania Hasna (Hanni) 7 tahun
3. Handhika Azka Aunnuha (Dhika) 4 tahun
Riwayat Pendidikan
1982 : Lulus SD Santa Maria Purwokerto
1984 : Lulus SMP Negeri 1 Purwokerto
1987 : Lulus SMA Negeri 1 Purwokerto
1992 : Lulus S1 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
1993 : Lulus Apoteker, Fakultas Farmasi Univ Gadjah Mada
2001 : PhD in Pharmacology, Ehime Uni Sch of Medicine, Japan
Riwayat Jabatan/Pekerjaan:
1993 skrg : Dosen Fakultas Farmasi UGM
2001 skrg : Pengelola Magister Farmasi Klinik Fak Farmasi UGM
2007- 2009 : Kepala Lab Farmakoterapi dan Farmasi Klinik Bagian
Farmakologi dan Farmasi Klinik Fak Farmasi UGM
2007 skrg : Mitra Bestari Jurnal Ilmiah Farmasi UII
2009- skrg : Mitra Bestari Majalah Obat Tradisional Fak Farmasi UGM
Publikasi Ilmiah (2000 2009, terseleksi)
1. Ikawati, Z., Hayashi, M., Nose, M., Maeyama, K., 2000. The lack of
compound 48/80-induced contraction on isolated trachea of mast cell-
deficient Ws/Ws rats in vitro: The role of connective tissue mast cells. Eur. J.
Pharmacol 402, 297-306
2. Ikawati, Z., Nose, M., Maeyama, K., 2001. Do mucosal mast cells contribute
to the immediate asthma response ?. Jpn. J. Pharmacol 86, 38-46
3. Ikawati, Z., Wahyuono, S., Maeyama, K., 2001. Screening of several
Indonesian medicinal plants for their inhibitory effect on histamine release from
RBL-2H3 cells. J. Ethnopharmacol. 75, 249-256
4. Ikawati, Z., Oka, Y., Nose, M., Maeyama, K., 2001. Functional differences
between the connective tissue and mucosal mast cells on the contraction of isolated
rat trachea, International Sendai Histamine Symposium 2000, Sendai,
Japan, Proceeding
5. Ikawati, Z., Sudjadi, Sismindari, Elly W., Puspitasari, D., 2003. Induction of
apoptosis by protein fraction isolated from the leaves of Mirabilis jalapa L on
HeLa and Raji cell-line, Oriental Pharm Exp Med, 3:151-156
6. Ikawati Z, Sismindari, Sudjadi, 2006, Cytotoxicity against tumor cell lines of
a ribosome-inactivating protein (RIP)-like protein isolated from leaves of Mirabilis
jalapa L, Malay J Pharm Sci, 4(1).
7. Ikawati Z., Supardjan, AM., Cahyaningrum, H., Inayati, Z., 2007, Anti
inflammatory effect of Pentagamavunon-0 (PGV-0) and its potassium salt (K-
PGV-0) on ovalbumin-induced active cutaneous anaphylactic reaction in Wistar
rats, Proceeding of International Symposium on Recent Progress of Curcumin
Research, Yogyakarta
8. Nugroho, A.N., Ikawati, Z., Sardjiman, Maeyama, K., 2009. Effects of
benzylidenecyclopentanone analogues of curcumin on histamine release from
mast cells, Biol Pharm J, 32 (5)
Kegiatan Penelitian (3 tahun terakhir, sebagai Ketua Peneliti):
1. Sintesis, aktivitas, dan toksisitas Gamavuton sebagai anti rheumatoid
arthritis, Proyek Insentif Riset Terapan Kementrian Negara Riset dan Teknologi,
tahun 2007-2008
2. Kajian interaksi farmakokinetika kombinasi ekstrak daun legundi dan rimpang
temulawak dengan cetirizin dan pseudoefedrin sebagai anti alergi, Proyek Riset
Unggulan, Universitas Gadjah Mada, tahun 2008
3. Pengembangan formula ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L) dan rimpang
temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb) sebagai fitofarmaka untuk anti
alergi Proyek Insentif Riset Peningkatan Kapasitas Sistem Produksi, Kementerian
Negara Riset dan Teknologi, tahun 2009-2011
4. Pengaruh Marmin, senyawa aktif dari Aegle marmelos Correa, terhadap
sintesis dan pelepasan histamin pada sel mast, Proyek Hibah Kolaborasi
Internasional, LPPM UGM, tahun 2009
5. Pemetaan polimorfisme genetik sitokrom P450 subtipe CYP2D6, CYP2C9,
dan CYP2C19 pada populasi etnis Jawa di Indonesia, Proyek Hibah Kompetitif
Penelitian Kerjasama Internasional dalam rangka Publikasi Internasional, DP2M
DIKTI, tahun 2009
Penulisan Buku :
1. Pengantar Farmakologi Molekuler, 2006, Penerbit Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, cetak ulang tahun 2008
2. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan, tahun 2007, Penerbit Pustaka
Adipura, Yogyakarta
3. Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah Kecanduannya, 2009, ditulis bersama
Hartati Nurwijaya, PT Elexmedia Computindo
Penghargaan yang pernah diperoleh:
1. Meraih ISFI Award sebagai Pemenang I pada Kelompok Riset Dasar dalam
kegiatan Kompetisi Hasil Riset Farmasi I Pengembangan Obat Alami Indonesia
yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), LIPI dan
BPPT tahun 2005
2. Penghargaan Insan Berprestasi UGM dalam rangka Dies Natalis UGM ke 57
tahun 2006 sebagai Pengembang RPKPS terbaik
3. Second Winner for Oral presentation in Regional Conference on Molecular
Medicine di Malaysia, tahun 2009

komentar : 15 Comments
Tag: farmakogenetik, farmasi klinik, genomik, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas
Gadjah Mada, Zullies Ikawati
Kategori : Aktivitas
Farmasis klinik, riwayatmu dulu dan
eksistensimu sekarang
23 01 2009
Belum lagi sempat aku menulis sedikit pandanganku terhadap tulisan
pada Blog mas Dani yang berjudul Clinical Pharmacist make economic sense, sudah muncul lagi tulisan
berjudul Siapa Bilang Apoteker Tidak Diperlukan?, yang menurutku saling berkaitan. (salut deh, Mas
konsisten ber-posting. Aku sendiri belakangan agak kendor nih. Maklum masih belajaran).
Tulisan pertama agak khusus membicarakan tentang farmasis klinik. Mungkin buat temen-temen
netter yang masih awam dengan istilah farmasis klinik, sedikit deh aku ceritakan. Istilah farmasi klinik mulai
muncul di tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu penekanan pada fungsi apoteker yang bekerja langsung
bersentuhan dengan pasien. Menurut ibu Koda-Kimble (salah satu perintis gerakan farmasi klinik, sekarang
menjadi dekan pada School of Pharmacy University of California di San Francisco), praktek apoteker di sana
pada saat itu (1960-an) bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat berpusat pada dokter. Kontak apoteker
dengan pasien sangat minimal. Ada istilah yang digunakan beliau untuk menggambarkan lulusan farmasi pada
saat itu yaitu : Over-educated, Underutilized, Apathetic, Isolated, Inferiority complex. Itu keadaan di Amerika
tahun 1960-an. Lhokok mirip seperti keadaan di Indonesia sekarang ya. hehe.. pliss deh! Mudah-
mudahan enggak lah. Karenanya, ibu Koda-Kimble dan sejawatnya memunculkan suatu wacana baru untuk
pekerjaan kefarmasian. Upaya-upaya awal yang akan dilakukan adalah:
Focus on the Patient
Pharmaceutical centers
Patient record systems
OTC counter-prescribing
Counseling on prescription drugs
Emergence of continuing education
Therapeutic approach
Pathophysiology
Symptom management
Tapi saat itu wacana itu juga tidak mudah diterima. Mengapa? Belum ada role model!
Tapi beliau tidak mudah menyerah. Pada tahun 1965, beliau cs mengusulkan suatu proposal ke pimpinan rumah
sakit sbb:
School will establish a staff Drug Stations on the hospital wards
Will relieve nurses of certain drug-related duties
Will make it possible for the physician, if he so wishes, to discuss drug usage with the pharmacist at the
time the decision is being made
Will provide students with experience in applying classroom knowledge to practical aspects of drug usage
in therapeutic situations
Seperti apa kesan-kesan yang muncul ketika program ini pertama kali dilaksanakan?
Bu Koda Kimble menggambarkan sebagai berikut :
Physician confusion
Pharmacist presence on the wards
Pharmacist intrusion on drug prescribing
Dokter-dokter agak bingung, lho kok apoteker masuk ke bangsal-bangsal? Kok apoteker ikut campur
urusan peresepan obat ya ?
Nurse enthusiasm
Quick access to medicines
Pharmacist drug expertise
Tapi para perawat malah senang dan antusias, karena mereka bisa lebih cepat mendapatkan pelayanan obat,
sudah siap pakai lagi, karena disiapkan oleh apotekernya. Perawat juga merasakan bahwa urusan obat memang
keahliannya apoteker, jadi mereka bisa lebih focus pada perawatan pasien.
Pharmacist exhaustion
Long hours, rapidly expanding roles, new knowledge
Continual mental pressure to perform at a very high level at all times.
Tapi apotekernya lumayan kecapekan.. waktu kerjanya jadi lebih lama, perannya jadi bertambah dan berubah
dengan cepat, perlu pengetahuan baru. Selain itu juga terdapat semacam tekanan mental juga, karena mereka
mesti berada pada kondisi prima dalam pelayanan. Mesti siap setiap kali dibutuhkan.
Visitors dubious
Impressed
An ivory tower phenomenon
Pasien atau pengunjung masih ragu-ragu, tapi mereka terkesan. Apoteker yang semula seperti ada di menara
gading kini mulai turun ke bumi
Singkat cerita, setelah melalui perjuangan yang berdarah-darah, maka kini profesi apoteker mendapat
tempat yang sangat layak di sana. Dan gerakan farmasi klinik ini makin menyebar luas ke berbagai belahan
dunia, termasuk di Indonesia. Sayangnya, nampaknya wacana farmasi klinik ini belum banyak dipahami,
apalagi diterima, oleh sejawat dokter. Mereka memandang apoteker tidak perlu ikut-ikut campur menemui
pasien. Apalagi turut dalam proses terapi. Persis deh..kayak dokter-dokter jaman dulu di Amerika hehe
(jadi kayaknya kita nih hidup seperti keadaan di AS 50-an tahun yang lalu). Tapi tentunya apoteker juga harus
introspeksi. jangan berharap dokter bisa segera menerima keberadaan apoteker, kalau performa apoteker
sendiri masih meragukan.. jangan-jangan apotekernya sendiri juga belum siap berubah dan mengambil peran
baru yang lebih signifikan dalam pelayanan pada pasien. Haloo, bagaimana nih sejawat ??
Nah, seperti yang sering disebut-sebut, maka filosofi pelayanan farmasi klinik adalah pharmaceutical
care (asuhan kefarmasian). Care itu bisa berarti peduli.. artinya, seorang apoteker mesti peduli dan penuh
empati pada pasien, sehingga pasien bisa merasakan manfaat keberadaannya. Asuhan kefarmasian ini
sebenarnya bisa dilaksanakan di mana-mana, di RS, apotek, atau di tempat lain. Untuk hal ini, aku punya sedikit
cerita.
Kemaren, seorang mahasiswa bimbingan thesisku, bu Nurjanah namanya, datang menemuiku untuk
konsultasi thesisnya. Ia mahasiswa S2 Magister Farmasi Klinik berasal dari Sulawesi Tenggara. Oya, thesisnya
mengambil topik Kajian penggunaan obat antihipertensi pada pasien jantung di sebuah RS di Kendari. Waktu
konsultasi thesis, sempatlah dia ngobrol tentang pengalamannya selama mengerjakan thesis. Katanya, gara-gara
dia mengerjakan thesisnya, ia malah sekarang jadi laris dicari pasien untuk konsultasi obat hehe. Ceritanya,
dalam mengambil data, ia langsung mewawancarai pasien. Suatu kali ada pasien subyek penelitiannya yang
mengeluhkan bahwa setelah mengkonsumsi sekian macam obat antihipertensi, kok sekarang ayam jagonya
jadi ngga bisa berkokok lagi, alias impoten. Pasien itu menduga bahwa ada salah satu obat (kebetulan itu adalah
spironolakton, suatu diuretik) yang menyebabkan impotensi tadi, dan ia pun berkonsultasi pada apoteker kita
tadi, bagaimana jika ia menghentikan obat tersebut, boleh apa tidak. Bu Nurjanah lalu memeriksa macam obat-
obat yang diterima pasien, dan ternyata memang ada sejenis antihipertensi golongan beta bloker yang memang
sering dilaporkan menyebabkan impotensi. Beliau menyarankan kepada pasien utk berkonsultasi ke dokter,
bagaimana jika mengurangi dosis obat tersebut. Apa yang terjadi ? Seminggu kemudian, sang pasien menemui
ibu kita tadi dengan sumringah, dan katanya, .. Terimakasih, bu. saya sekarang sudah hidup lagi
hehe
Aku rasa, ini adalah salah satu bentuk pelayanan kefarmasian yang bisa bermanfaat bagi pasien. Aku
turut bangga, teman-teman sejawat sudah mulai banyak menggunakan ilmunya untuk membantu pasien, yang
pada gilirannya akan memberikan kesan positif terhadap keberadaan apoteker. Dan apoteker di Sulawesi
Tenggara bolehlah dicontoh semangatnya, katanya saat ini sedang memperjuangkan untuk mendapatkan insentif
dari Gubenur dengan besaran yang sama dengan dokter dan dokter gigi, tentunya setelah kinerjanya
memberikan asuhan kerfarmasian dirasakan gunanya. Dan satu hal lagi Kepala Dinas Kesehatannya apoteker
loo!
J adi, siapa bilang apoteker tidak diperlukan lagi ?
Kaitannya dengan peranan farmasis klinik dalam menghemat biaya pengobatan pasien, aku juga punya
cerita lain. Tapi kali ini berasal dari penelitian sejawat, yaitu bu Fita. Penelitiannya menjumpai bahwa ternyata
banyak unnecessary drug therapy yang dijumpai di RS. Oya, untuk menentukan bahwa suatu obat benar-
benar diperlukan pasien atau tidak, beliau bekerja sama dengan klinisi (dokter) senior untuk meng-assess, yaitu
dengan mengamati kondisi medis riil pasien dan mengecek obat-obatan yang digunakan. Dan begitulah.
ternyata banyak obat yang diresepkan yang sebenernya tidak benar-benar diperlukan, dan jika itu dikonversi ke
biaya, tenyata banyak biaya-biaya pemborosan yang mungkin memberatkan pasien. Kalau saja farmasi
kliniknya sudah aktif, dokternya mau bekerja sama dengan apoteker dalam proses terapi pasien, mungkin
akan banyak biaya-biaya yang bisa dihemat. Thats still a dream I hope it will come true.
O,ya paragraf bagian sini adalah iklan hehe Sebagai pengelola program Magister Farmasi Klinik UGM,
kami mengundang sejawat untuk sama-sama menambah bekal ilmu dan meningkatkan ke-pede-an dengan
belajar di Magister Farmasi Klinik UGM, supaya nanti bisa lebih pede dan profesional dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasiannya. Farmasis klinik, gitu loh !! Keterangan lebih lanjut, klik disini hehe..
Dah dulu yaaa

komentar : 11 Comments
Tag: apoteker, farmasi klinik, Koda-Kimble, pharmaceutical care
Kategori : Aktivitas
Tulisan akhir tahun (tentang apoteker)
31 12 2008
Dear netter,
Bela-belain aku nulis hari ini supaya ada monumen tulisan akhir tahun he..he.
Tapi sebenernya sih isinya ngalor-ngidul saja Yang jelas, hari ini aku merasa
tersanjung. seorang senior Apoteker memberikan apresiasi terhadap tulisan di
blog ini dan me-link-kan blog alakadarnya ini pada blog-nya yaitu Portal
Apoteker. Akupun memberikan link di blog ini bagi Portal Apoteker pada Situs
Khusus Apoteker. Silakan dikunjungi. (Thanks, Mas Dani, tapi nanti kalo blog
ini mulai ngaco isinya, nggak usah segan-segan didelete aja link-nya, Mas.
Bener). Sungguh, aku pun mengapresiasi dengan sepuluh jempol ke atas
terhadap Blog Portal Apoteker yang memang menjadi media berbagi untuk sejawat
apoteker Indonesia di seluruh dunia. Tulisan-tulisan kritisnya terhadap berbagai hal
menyangkut profesi apoteker wajib dibaca.. Suerr !
Tapi ngomong-ngomong soal profesi apoteker, aku jadi malu sendiri. Apakah
aku seorang apoteker beneran? Bukan juga. aku memang punya ijazah apoteker,
tapi tidak praktek kefarmasian. Kalau ditanya profesiku apa, ya mungkin akan aku
bilang dosen atau guru. Dosen yang apoteker atau apoteker yang dosen,
entahlah mana yang lebih tepat. Pernah juga sih, ada yang tanya, mengapa aku
tidak pegang Apotek atau punya Apotek. Wah. terus terang, alasan utamanya
adalah waktu. Tugas menjadi dosen, apalagi pingin jadi dosen yang baik hehe,
sudah cukup menyita waktu. Sementara, apoteker itu idealnya juga selalu ada di
apotek memberikan pelayanannya. Hal ini tentu sulit sekali dicapai jika bekerja di
dua tempat. Belum lagi tugas domestik rumah tangga sebagai seorang ibu
hmm. tak kurang banyaknya. Tapi setidaknya, aku juga berupaya menjunjung
tinggi profesi apoteker dan sekaligus mempraktekkan sedikit ilmu kefarmasian,
setidaknya melalui blog ini, atau ketika memberi kuliah atau menjadi pemateri di
suatu seminar.
Dan blog ini. aduh, sungguh masih jauh untuk berkontribusi terhadap
perkembangan profesi apoteker. Karena ini adalah blog pribadi, jadinya lebih
banyak ngobrol ngalor-ngidul, ngomongin pengalaman pribadi, atau bicara ala
kadarnya sekedar menumpahkan keinginan menulis Jadi malu kalau diharapkan
terlalu banyak. Tapi siapa tau ada yang bisa mengambil manfaatnya dari tulisan di
blog ini. Blog ini tidak punya misi khusus, jadi isinya memang campur-campur.
Kadang tulisan sebagai apoteker, kadang sebagai dosen, kadang sebagai ibu,
kadang sebagai manusia kecil di hadapan Tuhannya.. dan apa saja lah yang lagi
melintas di pikiran. Kalaupun ada manfaatnya bagi sejawat apoteker, mungkin
bisa melalui bahan-bahan kuliah di Fakultas, terutama untuk topik-topik
farmakoterapi, paling tidak sebagai refreshing. Jelek-jelek gini, pernah juga sih
saya diundang untuk mengisi acara sejawat ISFI di daerah untuk Pendidikan
Berkelanjutan untuk Apoteker. Juga beberapa kali mengisi Pelatihan Farmasi
Klinik dan jadi pemateri pada PUKA (Penataran dan Uji Kompetensi
Apoteker). Makalah-makalah presentasi saya tadi Insya Allah akan diupload
bertahap untuk bisa dimanfaatkan sejawat dan juga adik-adik mahasiswa. Tapi
untuk itu perlu kunjungi blog saya
dihttp://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/?page_id=98 , karena dari blog ini agak sulit
untuk mendownload (butuh waktu lebih lama karena muter dulu ke situs lain). Tapi
kalau ternyata belum sempet diupload jangan kecewa, ya. sering-sering aja
ditengok hehe..
Nah, terkait dengan profesi apoteker, ada satu komentar yang pernah aku
dapatkan ketika mempostingkan tentang Somadryl sebagai obat kuat wanita.
Katanya (aku kutip sesuai aslinya), kayaknya apoteker itu lebih pinter mengobati
daripada dokter deh, setuju g bu?. (dari
theRons, http://ronirizqi.wordpress.com). He..he pasti bisa jadi sumber polemik
nih kalau Cak Moki baca (bercanda). Terlepas dari serius atau tidak komentar
tadi, tapi pada intinya peran apoteker dalam proses terapi memang belum banyak
diterima atau diketahui banyak kalangan. Padahal mahasiswa Farmasi UGM
jaman sekarang (mulai angkatan 2001, yang memilih minat Farmasi Klinik dan
Komunitas) mendapatkan pelajaran Farmakoterapi sampai 10 SKS kuliah dan 5
SKS praktikum. Jadi apoteker pun punya ilmunya. Tapi memang dari segi
kewenangan, Apoteker sejauh ini tidak berwenang dalam menentukan macam
terapi yang diberikan kepada pasien, walaupun ia boleh memberi saran atau
rekomendasi kepada dokter untuk suatu pilihan terapi atau dosis yang sesuai.
Masalahnya adalah, dokternya mau apa tidak menerima saran tersebut. Biasanya
ada semacam gengsi, atau bahkan ada rasa semacam diintervensi.. Padahal,
sebenernya pekerjaan dokter bisa lebih ringan lho kalau misalnya ia mau berbagi
peran dengan apoteker untuk memilihkan jenis obatnya, karena ilmu apoteker
tentang obat dan berbagai efek dan adverse efeknya tentunya lebih daripada dokter.
Sebagai contohnya, ini cerita nyata lho kebetulan aku pernah membimbing satu
skripsi mahasiswa tentang Kajian penatalaksanaan rhinitis alergi di sebuah RS.
Data mencatat bahwa beberapa orang pasien mendapatkan obat dari dokter yang
sama, dengan nama paten yang berbeda padahal isinya sama!!. Ada juga yang
mendapat obat paten dan generik bersama-sama, padahal isinya sama!! Coba, siapa
yang salah? Apakah dokternya, yang hanya hafal nama paten yang disodorkan oleh
detailer, sehingga tidak tau bahwa isinya sama? Apakah apotekernya? Kalau mau
fair, apoteker ya ikut salah, kalau sampai komposisi obat demikian bisa sampai
ditangan pasien. Di mana fungsi penjaminannya sehingga terjadi duplikasi obat
seperti itu?? Masih untung cuma obat alergi/antihistamin. coba kalau obat
diabetes misalnya, apa ngga pasiennya syok hipoglikemik karena gula darah turun
drastis karena makan obat antidiabetes dobel?
Perlu tahapan yang panjang untuk bisa mencapai sinergi dokter-apoteker seperti
yang sudah terjadi di negara-negara maju. Alih-alih merasa dibantu, malah ada
sebagian dokter menganggap bahwa farmasis klinik akan berperan seperti polisi,
yang akan mencari-cari kesalahan peresepan dokter. Oh, no, no! Tentu tidak
demikian. Kita semua kan manusia yang bisa salah atau alpa. Dan saya rasa kita
memang perlu saling bekerja sama, yang semuanya ditujukan untuk kepentingan
pasien. Itu saja.
Nah, kayaknya memang peran apoteker perlu ditingkatkan supaya lebih menjamin
keamanan pengobatan pada pasien. Buat netter yang orang awam, tidak perlu
ragu-ragu jika ingin menanyakan sesuatu terkait dengan obat kepada apoteker. Cari
saja tuh apotekernya di apotek. Dan tentunya sejawat apoteker juga perlu
menyiapkan diri untuk mengambil peran itu. Kesan pertama yang positif, akan
membantu memposisikan apoteker di mata masyarakat

Anda mungkin juga menyukai