Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi merupakan salah satu dari berbagai macam bidang profesional
kesehatan yang mengkombinasi ilmu kesehatan dan ilmu kimia, mempunyai
peran dan tanggung jawab dalam memastikan keefektivitasan dan keamanan
penggunaan obat. Dalam mempelajari ilmu farmasi selain pemahaman terhadap
konsep juga ditekankan pada pentingnya mengembangkan kemampuan berfikir
dan memecahkan suatu masalah. Salah satu ilmu yang mendasar dari farmasi
yaitu Farmasi Klinik (Potter, 2010).
Farmasi klinik adalah cabang farmasi di mana apoteker klinis memberikan
perawatan pasien langsung yang mengoptimalkan penggunaan obat-obatan dan
meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan pencegahan penyakit. Apoteker klinis
merawat pasien di semua pengaturan perawatan kesehatan tetapi gerakan
farmasi klinis awalnya dimulai di dalam rumah sakit dan klinik. Apoteker klinis
sering bekerja dalam kolaborasi dengan dokter, asisten dokter, praktisi perawat,
dan profesional kesehatan lainnya. Apoteker klinis dapat mengadakan perjanjian
praktik kolaborasi formal dengan penyedia layanan kesehatan lain, umumnya
satu atau lebih dokter, yang memungkinkan apoteker meresepkan obat dan
memesan tes laboratorium.
Penggunaan obat off-label didefinisikan sebagai peresapan untuk induksi,
pemberian dosis, atau untuk bentuk sediaan yang tidak lolos dalam proses
persetujuan Food and Drug Associations (FDA). FDA akan memproses
peredaran obat dengan cara melakukan uji klinis secara acak akan
menunjukan khasiat untuk indikasi tertentu sebelum obat dipasarkan (Wittich
dkk, 2012).
Hingga saat ini banyak peneliti menyebutkan banyaknya penggunaan
obat off-label pada ibu hamil. Alasan utama penggunaan obat off-label pada
ibu hamil adalah menghindari komplikasi masalah eklampsia atau
meningkatkan kapasitas adaptasi postnatal yang mungkin tertjadi misalnya
sepsis ataupun respiratori (Rayburn pada Murdiana, 2016). Selain itu
kemungkinan sudah terdapat bukti klinis dari obat tersebut meski
belum terdaftar di BPOM dan sebagian obat off-label yang sudah
dilakukan penelitian (BPOM, 2015).

1
Salah satu target dalam Millennium Development Goals yaitu
meningkatkan kesehatan dan mewujudkan akses kecepatan reproduksi bagi
semua wanita, dengan mengurangi resiko kematian (Sarwono, 2005).
Penggunaan obat pada pasien obstetric dan ginekologi tidak dapat
sembarangan, terutama untuk ibu hamil. Penggunaan obat pada kehamilan
memerlukan perhatian khusus, karena sebagian besar obat dapat melintas
iplasenta, sehingga terdapat kemungkinan obat bisa bersifat teratogenik
sehingga dapat menyebabkan kecacatan pada janin (Yulianti, et al, 2009)
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran dan kajian penggunaan obat secara off label
pada pasien ditinjau dari ketepatan pasien, dosis, indikasi, dan ketepatan obat di
Rumah Sakit Siti Khadija?
1.3 Tujuan
Mengetahui gambaran dan hasil kajian penggunaan obat secara off label
pada pasien ditinjau dari ketepatan pasien, dosis, indikasi, obat di Rumah Sakit
Siti Khadija.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Farmasi Klinik
terapi pengobatan dan meningkatkan taraf kesehatan dan pencegahan
penyakit. Pada masa sekarang terjadi peningkatan tuntutan masyarakat dalam
hal kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kefarmasian
(pharmaceutical care). Hal ini mendorong apoteker agar memperluas paradigma
mengenai pelayanan kefarmasian, yang awalnya berorientasi pada produk (drug
oriented) diperluas menjadi berorientasi pada pasien (patient oriented). Dengan
adanya perluasan paradigma ini, tenaga kefarmasian khususnya apoteker
diharuskan memiliki kompetensi untuk mendukung pelayanan farmasi klinik
merupakan suatu keahlian yang profesional dalam bidang kefarmasian yang
bertujuan untuk keamanan, kerasionalan dalam penggunaan terapi obat pasien
(Rikomah, 2016).
Menurut American College of Clinical Pharmacy (ACCP), farmasi klinik
adalah disiplin ilmu kesehatan di mana apoteker memberikan perawatan pasien
untuk mengoptimalkan farmasi klinik yang berkualitas. Pelayanan kefarmasian
(pharmaceutical care) adalah penyediaan pelayanan langsung dan bertanggung
jawab mengenai terapi dengan tujuan tercapainya hasil yang pasti dan
meningkatkan kualitas hidup pasien.
a. Sejarah Perkembangan Farmasi Klinik
Istilah farmasi klinik mulai di lingkungan masyarakat pada tahun 1960-an
di Amerika. Hal ini muncul karena adanya penekanan fungsi dan tugas apoteker
agar dapat bekerja langsung berhadapan dengan pasien (Rikomah, 2016).
Pada tahun 1960-an di seluruh dunia khususnya di Amerika pelayanan
kesehatan terpusat kepada dokter, hal ini menyebabkan hubungan apoteker
dengan pasien sangat minim. Didasarkan pada alasan tersebut sehingga
munculah konsep farmasi klinik pada awal 1960-an di University of Michigan.
Institusi pendidikan ini merupakan institusi pertama yang menganugerahkan
gelar dokter farmasi di luar California (Miller,1981).
Konsep farmasi klinik juga di munculkan dalam konfrensi tentang obat di
tahun 1965 yang diselenggarakan Carnahan House, dan didukung oleh
American Society Of Hospital Pharmacity (ASHP). Hasil konfrensi itu disajikan

3
dalam proyek percontohan yang disebut 9th floor project yang dilakukan oleh
University Of California. Pada tahun 1990, Helper dan Strand memperkenalkan
istilah “pharmaceutical care” yang kemudian istilah ini yang dipromosikan oleh
organisasi farmasi dunia. Secara historis, telah banyak perubahan yang terjadi
pada profesi kefarmasian di Inggris, khususnya yang terjadi pada abad 20-an.
Menurut Prayitno (2003) perubahan-perubahan yang terjadi ini dibagi
dalam beberapa periode/tahap, yaitu:
1. Tahap tradisional ( sebelum 1960-an)
Dalam tahap ini, peran dari tenaga kefarmasian khususnya apoteker yaitu
membuat, menyediakan, dan mendistribusikan produk yang memiliki khasiat
sebagai obat. Pada periode ini terjadi perkembangan pesat dibidang industri
sehingga terjadi produksi obat jadi secara besar-besaran oleh industri farmasi.
Hal ini menyebakan perubahan pada profesi kefarmasian yaitu terjadi
peningkatan kebutuhan tenaga kefarmasian dalam bidang industri farmasi
sedangkan pada pelayanan farmasi klinik terjadi perubahan dalam pelayanan
resep dokter, tenaga kefarmasian tidak lagi berperan banyak dalam peracikan
obat, karena obat yang diresepkan sudah dalam bentuk obat jadi yang tinggal
diberikan pada pasien, ini menyebabkan profesi kefarmasian pada bidang
pelayan kefarmasian menjadi semakin sempit.
2. Tahap Transisional
Perkembangan-perkembangan yang terjadi pada periode ini, yang
menjadi awal mula dikenalnya farmasi klinik diantaranya:
a) Ilmu kedokteran berkembang semakin spesialistis
Kemajuan pesat yang terjadi pada dunia kedokteran khususnya pada
bidang farmakologi serta semakin banyak muncul penyakit baru dan alat-alat
diagnosa baru yang menyulitkan para dokter untuk menangani pasien mulai dari
diagnosis penyakit, penetuan terapi yang tepat dan efektif, dikarenakan alasan
tersebut satu profesi saja sudah dianggap tidak dapat lagi menangani semua
pengetahuan tentang penyakit yang sekaligus merangkap tentang obat-obatan.
b) Obat-obat baru
Dalam periode produksi obat-obat baru yang efektif berkembang pesat.
Akan tetapi dengan berkembang nya obat-obat baru yang efektif menimbulkan
masalah terkait obat baru tersebut yaitu efek samping dan interaksi obat yang
belum terdata secara lengkap.

4
c) Meningkatnya biaya kesehatan pada sektor publik
Terjadinya peningkatan biaya dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain meningkatnya permintan pelayanan kesehatan
secara kuantitatif dan kualitatif, penggunaan teknologi canggih yang mahal.
c) Tuntutan masyarakat dalam pelayanan medis dan pelayanan farmasi
Tuntutan masyarakat akan pelayanan medis dan pelayanan farmasi yang
bermutu yang disertai tanggung jawab profesi dokter dan apoteker, hingga
adanya gugatan atas kesalahan dan kekurangan dalam pelayanan kesehatan.
Kecenderungan ini mengakibatkan kebutuhan akan tenaga professional yang
memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai pengobatan yang tidak lain
seorang apoteker.
3. Tahap masa kini
Pada tahap ini mulai terjadi perluasan paradigma dikalangan tenaga
kefarmasian khusunya apoteker yang bekerja pada sektor farmasi klinik yang
semula hanya berorientasi pada produk (drug oriented) sekarang juga
berorientasi pada pasien (patient oriented). Dalam sistem kesehatan khususnya
pada sektor pelayanan farmasi klinik, apoteker adalah ahli pengobatan dalam
memberikan terapi dan bertugas melakukan evaluasi pengobatan serta
memberikan rekomendasi pengobatan baik kepada pasien ataupun kepada
tenaga kesehatan lain. Apoteker berperan penting sebagai sumber ilmiah yang
berkaitan dengan penggunaan obat yang tepat dan cost effective.
2.1.2 Pengertian Obat Off Label
Obat off-label adalah obat diluar indikasi yang tertera dalam label dan
belum atau diluar persetujuan oleh badan atau lembaga yang berwenang atau
jika di Indonesia adalah Badan POM, sedangkan di US adalah FDA (Food Drug
Administration). Obat yang telah disetujui atau approved oleh FDA atau BPOM
akan mendapat label approved yang berisi informasi tentang cara dan dosis
penggunaanya berdasarkan hasil uji klinis. Peresepan atau penggunaan obat off
label ini sangat umum sekali saat ini. Sebagian orang mungkin akan khawatir
dengan maraknya dokter yang meresepkan obat offlabel jika mengetahui bahwa
obat off-label diluar persetujuan oleh badan yang berwenang (Dresser dan
Frader, 2009).
Tujuan pemberian izin edar adalah untuk menjamin bahwa obat telah diuji
keamanan, efikasi dan kualitasnya. Obat yang beredar ditujukan untuk orang

5
dewasa memiliki izin yang menjelaskan indikasi khusus, dosis dan rute
pemberian obat, atau disebut on-label. Namun demikian, beberapa obat yang
digunakan untuk pasien dewasa tidak memiliki izin penggunaan pada pasien
dewasa atau penggunaan diluar ketentuan izin yang diberikan untuk obat, atau
disebut off-label (Victor, 2007).
Ketentuan yang berlaku bahwa semua obat yang. beredar harus memiliki
izin untuk diedarkan atau izin penjualan, yang dikeluarkan oleh Badan POM.
Seperti telah dijelaskan diatas sistem perizinan dirancang untuk menjamin bahwa
obat telah diuji efikasi, keamanan dan kualitasnya. Perusahaan farmasi
mengajukan permintaan izin edar obat dan dalam pengajuan dijelaskan indikasi,
dosis, cara pemberian dan kelompok usia pasien yang akan menggunakan obat
tersebut. Di dalam permintaan izin, informasi mengenai penggunaan pada pasien
dewasa mungkin terbatas atau belum ada. Sebetulnya obat yang tidak diberi izin
untuk penggunaan yang tidak dicantumkan pada labelnya tidak berarti obat tidak
aman (belum dibuktikan keamanannya), kadang-kadang penggunaan off-label
hanya dianggap sebagai ketidakpatuhan produsen obat terhadap izin yang
diberikan (Victor, 2007).
Penggunaan obat off-label adalah penggunaan umum yang biasa
digunakan untuk praktek klinik dan tersebar luas di seluruh dunia. Namun,
penggunaan obat-obatan di luar indikasi dapat menyebabkan beberapa masalah.
Bukti tentang penggunaan obat-obatan ini yang tidak sesuai indikasi sangat tidak
disetujui, dan dokter memiliki sedikit informasi tentang bagaimana
menggunakannya. Selain itu, penggunaan obat off-label dapat menyebabkan
efek samping dan risiko yang mungkin lebih besar daripada manfaat potensial.
Masalah etika dan hukum yang berkaitan dengan promosi komersial
penggunaan obat offlabel ini juga telah meningkat (Danés, et al., 2014).
Sejak tahun 2009, undang-undang Spanyol mengatur dan
mengklasifikasikan ketersediaan penggunaan obat dalam situasi khusus, yaitu
penggunaan obat-obatan dalam kondisi yang tidak disetujui, penggunaan obat
harus diteliti dan penggunaan obat-obatan yang tidak dipasarkan di dalam
negeri. Saat ini, hanya laporan dokter yang digunakan untuk membenarkan
penggunaan obat off-label dan diperlukan persetujuan pasien. Namun demikian,
meluasnya penggunaan obat off-label ini mungkin sering meningkatkan
pemakaian obat, terutama di rumah sakit. Untuk menghindari risiko yang tidak

6
beralasan dan efikasi biaya obat yang terbatas, Catalan Health Service telah
menempatkan prosedur internal di tempat. Peraturan ini menyatakan bahwa
komite obat dan terapi dari setiap rumah sakit perlu melakukan evaluasi dari
semua kasus penggunaan obat off-label dalam situasi khusus, dan direktur
medis dari setiap rumah sakit harus memberikan otorisasi individu untuk setiap
pasien (Danés, et al., 2014).
Beberapa penelitian telah mengevaluasi penggunaan obat offlabel, tetapi
mereka sering berfokus pada kelompok-kelompok tertentu dari obat atau obat-
obatan, seperti obat antikanker, rituximab, atau pada populasi tertentu, seperti
anak-anak. Namun, sangat sedikit penelitian yang telah mengevaluasi hasil klinis
obat off-label dalam hal efektivitas dan keamanan serta biaya yang terkait
(Danés, et al., 2014).
Jika tidak ada bukti klinis yang mendukung penggunaan offlabel,
penggunaan tersebut tidak direkomendasikan. Menurut beberapa penulis, prinsip
Evidence Based Medicine (EBM) yang diterapkan dalam membuat keputusan
klinis tentang off-label, maka seharusnya terdapat etika dan hukumnya, bahkan
dalam kasus ini sering timbul adanya dilema mengenai penggunaan obat off-
label. Namun, telah ditemukan tingginya prevalensi penggunaan obat offlabel
dan unlicensed drug dengan izin edar. Hal ini penting untuk pemegang izin edar
dan pihak peraturan nasional dan internasional yang berwenang untuk
memantau setiap masalah keamanan dan untuk mengambil tindakan yang tepat,
serta untuk mengidentifikasi prioritas penelitian dan studi klinis untuk
menyelesaikan pertanyaan penting tentang penggunaan off-label dan obat tanpa
izin. Pihak berwenang harus menggunakan bukti klinis yang ada pada
penggunaan off-label dan obat tanpa izin dalam pengambilan keputusan dan
dukungan melakukan uji klinis yang ketat (Palcevski, et al., 2012).
2.1.2 Klasifikasi Obat Off Label
Penggunaan obat off-label diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Off-label usia
Obat dikategorikan sebagai obat off-label usia jika digunakan diluar
rentang usia yang telah disetujui. Parasetamol yang diberikan kepada bayi
prematur adalah salah satu contoh penggunaan obat off-label usia / berat
(Kimland dan Odlind, 2012; Pratiwi, et al., 2013).

7
2) Off-label dosis
Informasi dosis merupakan hal penting dalam pengobatan karena profil
farmakokinetik dan farmakodinamik setiap rentang usia individu berbeda-beda.
Obat yang diberikan dengan dosis lain dari yang tercantum pada izin edar atau
izin penjualan dikategorikan sebagai obat off-label dosis (Pratiwi, et al., 2013).
3) Off-label indikasi
Obat dikategorikan sebagai off-label indikasi jika digunakan diluar indikasi
yang tertera pada leaflet (Kimland dan Odlind, 2012).
4) Off-label kontraindikasi
Obat dikatakan termasuk kategori off-label kontraindikasi jika
menimbulkan kontraindikasi saat diberikan kepada pasien yang usianya tidak
sesuai dengan peruntukan obatnya (Pratiwi, et al., 2013).
2.1.3 Contoh Penggunaan Obat Off-label
Berikut beberapa contoh obat off-label (AHFS, 2005):
1) Actiq (oral transmucosal fentanyl citrate), digunakan secara offlabel untuk
mengatasi nyeri kronis yang bukan disebabkan oleh kanker, meskipun
indikasi yang disetjui oleh FDA adalah untuk nyeri kanker.
2) Carbamazepine, suatu obat anti epilepsi, banyak dipakai sebagai mood
stabilizer.
3) Gabapentin, disetujui sebagai anti kejang dan neuralgia (nyeri saraf) post
herpes, banyak dipakai secara off-label untuk gangguan bipolar,
tremor/gemetar, pencegah migrain, nyeri neuropatik, dll.
4) Sertraline, yang disetujui sebagai anti-depressant, ternyata banyak juga
diresepkan off-label sebagai pengatasan ejakulasi dini pada pria.
Banyak obat off-label yang akhirnya sudah menjadi on-label, seperti
aspirin sebagai antiplatelet, sildenafil untuk disfungsi ereksi, magnesium sulfat
untuk tokolitik pada preeklamsia, amitriptilin untuk neuropati pada kanker, dll.
2.1.4 Alasan Penggunaan Obat Off-label
Alasan penggunaan obat off-label adalah kurangnya respon klinis pada
pengobatan sebelumnya, intoleransi atau kontraindikasi dengan alternatif atau
alasan lain seperti tersedianya obat yang disetujui sesuai indikasi atau pasien
dengan pengobatan alternatif karena alasan klinis atau logistik (Danés, et al.,
2014).

8
Pengobatan off-label tidak selalu buruk dan merugikan, pengobatan ini
sangat bermanfaat terutama ketika pasien telah kehabisan opsi dalam terapinya,
misal dalam kasus kanker. American Society Cancer menyatakan bahwa
pengobatan kanker sering melibatkan penggunaan obat kemoterapi off-label, hal
ini disebabkan karena satu jenis obat kanker hanya disetujui untuk satu jenis
kanker saja. Penggunaan obat kanker off-label secara kombinasi sering
digunakan untuk terapi standar kanker (Dresser dan Frader, 2009).
Beta blocker adalah salah satu contoh obat off-label yang
menguntungkan. FDA menyetujui obat ini digunakan sebagai terapi hipertensi,
namun secara luas obat ini diakui oleh ahli kardiologi/jantung sebagai standar
perawatan/terapi pada pasien gagal jantung (heart failure). Pada kenyataanya
saat ini, beberapa beta blocker secara resmi telah disetujui oleh FDA sebagai
standar perawatan/terapi pasien gagal jantung (Dresser dan Frader, 2009).

9
BAB III
HASIL PENGAMATAN
3.1 Tabel Pengamatan
No Nama Obat Indikasi (On Label) Off Label
1. Domperidone Mual muntah Untuk merangsang
prodiksi asi.
2. Metoclopramide Mual muntah Untuk merangsang
prodiksi asi.
3. Metformin Obat diabetes Terapi PCOS untuk
mengontrol kadar gula
darah.
4. Misoprostol Obat maag Indusi persalinan/
menghasilkan
pendarahan.
3.2 Gambar

10
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu mengenai Obat Off-Label, dimana menurut
Desser dan Frader (2009), Obat off-label adalah obat diluar indikasi yang tertera
dalam label dan belum atau diluar persetujuan oleh badan atau lembaga yang
berwenang atau jika di Indonesia adalah Badan POM, sedangkan di US adalah
FDA (Food Drug Administration). Obat off-label diidentifikasikan sebagai obat
yang tidak diresepkan menurut informasi resmi obat, termasuk usia pasien,
indikasi yang tidak sesuai dengan label registrasi, dosis obat, dan rute
administrasi. Label adalah laporan tertulis yang menyediakan petunjuk rinci
mengenai persetujuan penggunaan dan dosis, yang didasarkan pada hasil studi
klinis yang pembuat obat sampaikan ke FDA/BPOM. (Pandolfini et al, 2005).
Pada percobaan Obat Off Label ini kami mengambil data obat pasien di
Rs. Siti Khadija. Dari data yang kami dapatkan yaitu obat pertama adalah
domperidone untuk mual muntah yang dapat merangsang prodiksi asi, dimana
menurut H. et al., (2014) Domperidone adalah obat yang membantu
memfasilitasi gerakan peristaltik dan pengosongan lambung melalui mekanisme
penghambatan dopamine D2-receptor dalam saluran gastrointestinal dan
berbagai sistem Saraf pusat dan perifer. Domperidone adalah agen prokinetik
yang digunakan sebagai terapi lini kedua untuk gastroparesis pada pasien yang
tidak memberikan efek pada pemberian metoclopramide. Selain itu, efek
samping utama dari domperidone adalah prolactinemia yang memilik fungsi
untuk merangsang laktasi (galactogogue). Dengan mekanisme Kerja memblok
dopamine D2-receptor pada hipofisis anterior, domperidone menstimulasi
pengeluaran prolactin yang berperan penting dalam inisiasi laktasi. Potensi
domperidone menjadi stimulan produksi susu diakui pada awal
perkembangannya, dengan investigasi yang ditargetkan menunjukkan
peningkatan yang nyata dalam prolaktin serum. Pemberian domperidone oral
(30mg/hari) memperlihatkan peningkatan prolaktin serum secara signifikan dan
produksi ASI pada ibu dengan insufficient milk supply (IMS). (E.W.-X. et al.,
2008).
Obat kedua adalah obat metoclopramide untuk mual muntah yang dapat
merangsang prodiksi asi, dimana menurut Danes (2014), Metoclopramide

11
merupakan antagonis reseptor dopamin-2, dimana dapat mempengaruhi banyak
sistem reseptor di dalam dinding saluran cerna. Efek dari dopamin pada
reseptor-reseptor di saluran cerna adalah menginhibisi tekanan pada lower
esophageal sphincter (LES), dan motilitas dari gastroduodenal. Oleh karena itu,
efek metoclopramide dapat meningkatkan tonus LES, tonus gaster, tekanan
dalam gaster, koordinasi antroduodenal, serta mempercepat pengosongan
gaster. metoclopramide juga memiliki efek antiemesis, yang tercapai melalui
inhibisi reseptor dari D2 dan 5-HT3 pada chemoreceptor trigger zone. Zona
rangsang muntah ini terdapat di area postrema sistem saraf pusat.
Metoclopramide juga dapat menurunkan sensitivitas transmisi sinyal, dari saraf-
saraf aferen viseral di saluran cerna ke medullary chemoreceptor trigger zone.
Sehingga metoclopramide digunakan sebagai antimuntah dan antimual untuk
premedikasi kemoterapi atau pemeriksaan radiologi saluran cerna atas, pasca
operasi, serta penderita gastroparesis diabetikum dan refluk gastroesofagus.
Obat ketiga yaitu obat metformin untuk diabetes sebagai terapi PCOS
untuk mengontrol kadar gula darah. Dimana menurut Olokoba (2012), Metformin
merupakan obat antidiabetes oral yang umumnya direkomendasikan sebagai
pengobatan lini pertama pada diabetes melitus tipe 2 apabila kadar glukosa
darah tidak terkontrol dengan modifikasi gaya hidup. Metformin dapat
mengurangi sekresi glukosa hepatic dan meningkatkan penyerapan glukosa,
aman untuk penderita dm tanpa gangguan hati dan ginjal. Metformin sebagai
obat antidibetes oral pilihan pertama sering menimbulkan reaksi obat yang
merugikan (ROM) yang berupa efek samping gangguan gastrointestinal seperti
diare, mual, muntah, dan perut kembung. Faktor risiko terkait reaksi efek
samping pada penggunaan metformin yang terjadi terutama gangguan
gastrointestinal antara lain dipengaruhi oleh faktor usia, cara minum obat, dan
dosis dari obat metformin
Dan obat keempat yaitu obat misoprostol yaitu obat maag untuk Indusi
persalinan/menghasilkan pendarahan. Misoprostol adalah obat yang digunakan
untuk pencegahan ulkus gaster akibat obat antiinflamasi non steroid, untuk
kematian janin dalam kandungan, mengeluarkan konsepsi pada abortus dini
serta saat ini banyak digunakan sebagai induksi persalinan. Misoprostol
diabsorpsi secara baik dan melewati deesterifikasi cepat oleh hati untuk
kemudian menjadi bentuk asam bebas, yang bermain dalan efek klinisnya nanti.

12
Tidak seperti struktur dasarnya, bentuk asam bebas ini dapat dideteksi dalam
plasma. Efek yang terjadi pada pemberian misoprostol oral dosis tunggal adalah
peningkatan tonus intrauterine. Dengan penggunaan yang berulan dan teratur
maka efek kontraksi regulernya baru akan muncul. Konsentrasi plasma dari
misoprostol sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kontraksi yang reguler.
Kontraksi regular sangat diperlukan untuk keberhasilan induksi atau proses
aborsi. Pada serviks, analog prostaglandin mengurangi hidroksipolidin dari
serviks, disintegrasi dan disolusi kolagen sehingga serviks dapat melebar.

13
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran data dibagian rekam medis, didapatkan 4
data yaitu obat domperidone untuk mual muntah yang dapat merangsang
prodiksi asi, metoclopramide untuk mual muntah yang dapat merangsang
prodiksi asi, obat metformin untuk diabetes sebagai terapi PCOS untuk
mengontrol kadar gula darah, dan obat keempat yaitu obat misoprostol yaitu obat
maag untuk Indusi persalinan/menghasilkan pendarahan.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Praktikan
Kepada Praktikan diharapkan agar dapat bekerjasama dan saling
membantu satu sama lainnya.
5.2.2 Saran Untuk Asisten
Kepada para asisten diharapkan dapat membangkitkan semangat kepada
kami sebagai praktikan agar proses belajar dan praktik akan lebih hidup dan
memberikan nilai-nilai edukatif.
Saran Untuk Jurusan
5.2.3 Saran Untuk Jurusan
Agar jurusan dapat melengkapi sarana dan prasarana agar dapat
memberikan kenyamanan pada mahasiswa dalam melakukan aktivitas di
kampus Universitas Negeri Gorontalo.
5.2.4 Saran Untuk Laboratorium
Agar alat-alat di laboratorium dapat dilengkapi atau diperbaiki agar
seluruh aktivitas di dalam laboratorium dapat berjalan dengan lancar tanpa ada
masalah apapun.

14

Anda mungkin juga menyukai