Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sejak dulu setiap orang sakit akan berusaha mencari obatnya, maupun
cara pengobatannya. Dalam pengobatan suatu penyakit tidak selalu dengan
menggunakan obat, misalnya dipijat, dikerok dengan menggunakan mata
uang logam, dioperasi, dipotong dan sebagainya (Anief, 2018).
Definisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa,
pengobatan, melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada
manusia dan pada hewan (Anief, 2018).
Farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat mencampur,
meracik formulasi obat, identifikasi, kombinasi analisis dan
standarisasi/pembakuan obat serta pengobatan, termasuk pula sifat-sifat obat
dan distribusinya serta penggunaanya yang aman. Farmasi dalam bahasa
yunani disebut farmakon yang berarti medika atau obat, sedangkan ilmu resep
adalah ilmu yang mempelajari tentang cara penyediaan obat-obatan menjadi
bentuk tertentu (meracik) hingga siap digunakan sebagai obat (Syamsuni,
2017).
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah berubah paeadigmanya dari
orientasi obat kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut.
Apoteker/asisten apoteker sebagai tenaga farmasi dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat
berinteraksi langsung dengan pasien. Pelayanan kefarmasian adalah bentuk
pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan
kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Menurut PP 51 tahun
2009 pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
(Anggraeni, 2019).

1
Penggolongan pelayanan farmasi sebagai salah satu pelayanan
penunjang medik terpeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti ruang
operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien
menghadapai beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan farmasi. Mereka mempunyai posisi yang cukup kuat sehingga
dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk
pelayanannya saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya (Anggraeni,
2019).
Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di
puskesmas adalah apoteker. Kompetensi apoteker di puskesmas ialah mampu
menyediakan dan memberikan pelayanan yang bermutu, mampu mengambil
keputusan secara professional, mampu berkomunikasi yang baik dengan
pasien maupun profesi kesehatan lainnya dengan menggunakan bahasa
verbal, non verbal, maupun bahasa lokal, dan selalu belajar sepanjang karier
baik pada jalur formal maupun informal, sehingga ilmu dan keterampilan
yang dimiliki selalu baru (up to date). Sedangkan asisten apoteker hendaknya
dapat membantu pekerjaan apoteker dalam melaksanakan pelayanan
kefarmasian tersebut (Anggraeni, 2019).
Farmasi klinik menurut Clinical Resources and Audit Group (1996)
adalah disiplin ilmu yang berfokus kepada praktek kefarmasian untuk
meningkatkan efikasi dan meminimalkan toksisitas obat secara individual
terhadap pasien. Batasan tersebut menyelipkan tujuan filosofis dari farmasi
klinik yaitu untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, serta
menghormati pilihan pasien. Konsep farmasi klinik mulai muncul sekitar
awal tahun 1960-an di dua universitas terkemuka di Amerika yaitu Michigan
dan Kentucky (Miller,1981). Konferensi tentang informasi obat pada tahun
1965 telah diselenggarakan di Carnahan House serta didukung oleh American
Society of Hospital (Anshari & Mulyani, 2013).
Secara filosofis, tujuan dari farmasi klinis adalah agar efek terapi bisa
tercapai secara maksimal, meminimalkan resiko yang tidak diinginkan,

2
meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien terhadap
pemilihan terapi yang akan mereka lakukan (Rikomah, 2018).
Saat ini disiplin ilmu farmasi klinis semakin dibutuhkan dengan adanya
paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien.
Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas seperti apotek,
puskesmas, klinik, balai pengobatan. Tempat dimanapun terjadi peresepan
ataupun penggunaan obat harus memiliki kompetisi yang dapat mendukung
pelayanan farmasi (Rikomah, 2018).
Mengingat pentingnya kebutuhan ilmu farmasi klinis sebagaimana
telah dijelaskan diatas maka dari itu makalah ini dibuat untuk meningkatkan
konsep asuhan kefarmasian dan ilmu farmasi klinik serta memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Farmasi Klinik.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini ialah sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep asuhan kefarmasian ?
2. Bagaimana sejarah kefarmasian klinik ?
3. Bagaimanakah perkembangan farmasi klinik ?
4. Bagaimana etika dan standar farmasi klinik ?
5. Apa tujuan farmasi klinik ?
6. Bagaiman ruang lingkup farmasi klinik itu sendiri ?
7. Mengapa farmasi klinik itu penting ?
8. Siapakah sasaran farmasi klinik ?
I.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep asuhan kefarmasian.
2. Untuk mengetahui sejarah kefarmasian.
3. Untuk mengetahui perkembangan farmasi klinik.
4. Untuk mengetahui etika dan standar farmasi klinik.
5. Untuk mengetahui tujuan farmasi klinik.
6. Untuk mengetahui ruang lingkup farmasi klinik.

3
7. Untuk mengetahui pentingnya farmasi klinik.
8. Untuk mengetahui sasaran farmasi klinik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Konsep Asuhan Kefarmasian
A. Definisi farmasi klinik
Istilah Pharmaceutical care (asuhan farmasi ) mulai diperkenalkan
tahun 1990 oleh Hepler dan Strand. Sejak saat itu peningkatan peran
farmasis pada sistem pelayanan kesehatan berkembang pesat itdak hanya
terjadi Amerika, namun juga merebak ke berbagai belahan benua, antara
lain di Eropa seperti yang telah di prediksi oleh Europe Society of
Clinical Pharmacy. Peningkatan peran yang terjadi secara universal di
berbagai negara tersebut sesungguhnya dipicu oleh perkembangan
teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, social ekonomi,
dan hubungan professional. Perkembangan peran farmasis yang
berorientasi pada pasien semakin menguat pada tahun 2000-an. Pada
masa ini, organisasi profesi farmasis klinik di Amerika yaitu American
College of Clinical Pharmacy (ACCP) telah mempublikasikan sebuah
makalah berjudul, Sebuah Visi masa depan terkait peran, tanggung
jawab,. Berdasarkan visi tersebut maka sudah seharusnya farmasis dapat
memainkan peran lebih besar sebagai penyedia pelayanan kesehatan
yang akuntabel terkait intervensi obat untuk pencegahan dan
penyembuhan penyakit (Anshari. 2018).
Farmasi klinik adalah suatu keahlian profesional dalam bidang–
bidang kesehatan yang bertanggung jawab untuk keamanan,
kerasionalan, dan penggunaan terapi obat oleh pasien melalui penerapan
ilmu pengetahuan dan fungsi terspesialisasi (Rikoma, 2018).
Farmasi klinik merupakan penerapan pengetahuan obat untuk
kepentingan pasien dengan memperhatikan kondisi penyakit pasien dan

4
kebutuhannya untuk mengerti terapi obat. Memerlukan data dan
interprestasi data penderita serta keterlibatan penderita dan interaksi
langsung dengan penderita (Rikoma, 2018).
Clinical Resources and Adult Group (1996) mendefinisikan
farmasi klinik sebagai : “A discipline concered with the application of
pharmaceutical expertise to help maximmise drug efficacy and minimize
drug toxicity in individual patients” (Rikoma, 2018).
Farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu
kesehatan yang bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat
yang aman dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan
pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien
yang memerlukan pendidikan khusus dana tau pelatihan terstruktur
(Rikoma. 2018).
B. Konsep asuhan kefarmasian
Konsep pharmaceutical care yang diperkenalkan oleh Hepler dan
Stand pada akhir tahun 1980-an tampaknya menawarkan kepada farmasi
sesuatu yang kurang untuk pertumbuhan penuh sebagai profesi:
seperangkat nilai-nilai bersama yang universal dalam pekerjaan. Selain
peran tradisional mereka dalam mengerjakan resep dengan uji
kelayakan, farmasis harus menerima tanggung jawab penuh untuk hasil
terapi obat. Mereka akan secara aktif merawat pasien dan menjadi
pendukung terapi meraka. Ketika Douglas Hepler berbicara di pharmacy
in the 21st century conference pada tahun 1989, kelompok pemimpin
farmasi Amerika yang berkumpul mendukung pharmaceutical care
sebagai arah masa depan dan profesi. Selama periode waktu yang sama
ini, American Council of Pharmaceutical Education mengumumkan
niatnya untuk hanya akan mengakreditasi setelah tahun 2001
program0program yang mengarah ke gelar doctor of pharmacy. Undang-
undang Omnibus Budget Reconciliation tahun 1990 (OBRA’90)
memasukkan ketentuan yang menyerukan farmasis untuk memanfaatkan
keahlian mereka untuk mempromosikan hasil obat yang rasional. Hal ini

5
ditetapkan untuk kemajuan professional besar melalui pergeseran
paradigm ganda dalam pendidikan dan dalam metode praktik (Saud.
2019).
Tahun 1990-an awalnya digembor-gemborkan sebagai
“pharmaceutical era”, menyaksikan pertumbuhan besar dalam sector
obat resep perawatan kesehatan, dengan upaya berikutnya untuk
mengendalikan biaya yang meledak melalui sekelompok metode yang
secara halus disebut “managed care”. Terjebak diantara banyaknya resep
yang harus dikerjakan dan waktu yang dihabiskan untuk berselisih
dengan pharmacy benefit manager terkait masalah cakupan, sebagian
besar farmasis komunitas tidak punya waktu nyata untuk “care”. Ketika
generasi pertama mahasiswa yang dididik dalam paradigm
pharmaceutical care terbatas , mereka menyatakan kekecewaan, sama
seperti para pendahulu mereka satu generasi sebelumnya (Saud. 2019).
Farmasi klinik menurut Clinical Resources and Group (1996)
adalah disiplin ilmu yang berfokus kepada praktek kefarmasian untuk
meningkatkan efikasi dan meminimalkan toksisitas obat secara
individual terhadap pasien. Batasan tersebut menyelipkan tujuan
filosofis dari farmasi klinik yaitu untuk memaksimalkan efek terapi,
meminimalkan resiko, serta menghormati pilihan pasien. Konsep farmasi
klinik mulai muncul sekitar awal tahun 1960-an di dua universitas
terkemuka di Amerika yaitu Michigan dan Kentucky. Konferensi tentang
informasi obat pada tahun 1965 telah diselenggarakan di Carnahan
House serta didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy
(ASHP). Mereka telah membangun proyek percontohan yang
diselenggarakan di Uneversitas California. Konsep tersebut meliputi
pemberian informasi obat sekaligus pemantauan terapi pasien oleh
farmasis yang bertugas di Rumah Sakit (Anshari. 2019).
Istilah Pharmaceutical care (asuhan farmasi ) mulai diperkenalkan
tahun 1990 oleh Hepler dan Strand. Sejak saat itu peningkatan peran
farmasis pada sistem pelayanan kesehatan berkembang pesat itdak hanya

6
terjadi Amerika, namun juga merebak ke berbagai belahan benua, antara
lain di Eropa seperti yang telah di prediksi oleh Europe Society of
Clinical Pharmacy. Peningkatan peran yang terjadi secara universal di
berbagai negara tersebut sesungguhnya dipicu oleh perkembangan
teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, social ekonomi,
dan hubungan professional. Perkembangan peran farmasis yang
berorientasi pada pasien semakin menguat pada tahun 2000-an. Pada
masa ini, organisasi profesi farmasis klinik di Amerika yaitu American
College of Clinical Pharmacy (ACCP) telah mempublikasikan sebuah
makalah berjudul, Sebuah Visi masa depan terkait peran, tanggung
jawab,. Berdasarkan visi tersebut maka sudah seharusnya farmasis dapat
memainkan peran lebih besar sebagai penyedia pelayanan kesehatan
yang akuntabel terkait intervensi obat untuk pencegahan dan
penyembuhan penyakit (Anshari. 2019).
II.2 Sejarah perkembangan pelayanan kefarmasian
Istilah kefarmasian klinik mulai dikenal masyarakat pada tahun 1960-
an. Pertama kali di amertika, karena adanya penekanan fungsi farmasis untuk
dapat bekerja secara langsung bersentuhan dengan pasien. Pada tahun ini,
farmi klinik merupakan sebagai suatu ilmu yang focus kepada pelayanan
kefarmasian, munculnya ilmu farmasi ini karena ditemui suatu kejadian
berupa ketidak puasan pasien pada norma praktek pelayanan kesehatan pada
saat itu, sehingga memungkinkan keharusan adanya kebutuhan yang
meningkat terhadap tenaga kesehatan professional yang memiliki
pengetahuan komperehensif mengenai pengobatan (Rikomah. 2018).
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di
Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
1. Periode / tahap tradisional
Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan,
membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga
farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai peracik obat. Periode ini
mulai mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi

7
perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali industri farmasi.
Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah
besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh
industri maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep
dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena
obat yang tertulis di resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan
kepada pasien. Dengan demikian peran profesi kefarmasian makin
menyempit.
2. Tahap Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan tahun 1960
an/1970-an
a. Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam
bidang farmakologi dan banyaknya macam obat yang mulai
membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa ketinggalan
dalam ilmunya. Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-alat
diagnosa baru serta penyakit-penyakit yang baru muncul (atau
yangbaru dapat didefinisikan) membingungkan para dokter. Satu
profesi tiadak dapat lagi menangani semua pengetahuan yang
berkembang dengan pesat.
b. Obat-obat baru
Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik berkembang
pesat sekali dalam dekade-dekade tersebut. Akan tetapi keuntungan
dari segi terapi ini membawa masalah-masalah tersendiri dengan
meningkatnya pula masalah baru yang menyangkut obat; antara lain
efek samping obat, teratogenesis, interaksi obat-obat, interaksi obat-
makanan, dan interaksi obat-uji laboratorium.
c. Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik
Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik antara lain
disebabkan oleh penggunaan teknologi canggih yang mahal,
meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif

8
maupun kuantitatif, serta meningkatnya jumlah penduduk lansia
dalam struktur demografi di negara-negara maju, seperti Inggris.
Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal, pemerintah
melakuakn berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas biaya
(cost-effectiveness), termasuk dalam hal belanja obat (drugs
expenditure).
d. Tuntunan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi
Masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu
tinggi disertai tuntunan pertanggungjawaban peran para dokter dan
farmasis, sampai gugatan atas setiap kekurangan atau kesalahan
pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut terjadi secara paralel
dengan perubahan peranan farmasis yang semakin sempit. Banyak
orang mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan
underutilised, yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak
dimanfaatkan sesuai dengan pendidikan mereka. Situasi ini
memunculkan perkembangan farmasi bangsal (ward pharmacy) atau
farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan
Inggris dalam periode transisi ini. Masa transisi ini adalah masa
perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan
jenis-jenis pelayanan profesional yang dilakukan oleh bebrapa
perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah
kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan
mereka masih terbatas. Banyak farmasis mulai mengembangkan
fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi
tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat. Diantara para
dokter, farmasis dan perawat, ada yang mendukung, tetapi adapula
yang menolaknya.
3. Tahap Masa Kini

9
Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula
pelayanan farmasi berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan
farmasi yang berorientasi lebih pada pasien. Farmasis ditekankan pada
kemampuan memberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi
perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di
rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan
terlibat langsung dalam pengobatan pasien. 
Dalam sistem pelayanan kesehatan  pada konteks farmasi klinik,
farmasis adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas
melakukan evalusi pengobatan dan memberikan rekomendasi
pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis
merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan penggunaan
obat yang aman, tepat dan cost effective.
4. Tahap Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Gagasan ini masih dalam proses perkembangan. Diberikan disini
untuk perluasan wawasan karena kita akan sering mendengar konsep ini.
Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care) didefinisikan oleh
Cipolle, Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in which the
practitioner takes responsibility for a patient’s drug therapy needs, and is
held accountable for this commitment”. Dalam prakteknya, tanggung
jawab terapi obat diwujudkan pada pencapaian hasil positif bagi pasien.
Peran profesi farmasi selain meracik obat yang sekarang telah
diambil alih fungsinya oleh industry dan dalam evaluasi penggunaan
obat memunculkan banyak masalah. Hal tersebut mengubah peranan
profesi farmasi dari orientasinya dari semula kepada obat (drug-
oriented) menjadi kepada pasien (patient-oriented), peran farmasis tidak
hanya menjual obat tetapi tetapi lebih kepada menjamin ketersediaan
obat yang berkualitas yang cukup, aman, tepat dengan harga terjangkau
serta informasi yang memadai serta pemantauan dan evaluasi
penggunaan (Rikomah. 2018).
II.3 Perkembangan Farmasi Klinik di Dunia

10
A. Perkembangan farmasi klinik di eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai dengan didirikannya
European ociety of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979
(Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus
mengenai tujuan, peran, dan nilai tambah farmasi klinik terhadap
pelayanan pasien. Pada tahun 1983 ESCP mengkompilasi dokumen
pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian dan
keterampilan seorang farmasi klinik. Pada tahun itu, Federation
Internationale pharmaceutique (FIP) mempublikasikan prosiding
symposium bertemakan ‘Roles and Responsibility of the Pharmacist in
Primary Health Care’. Adanya penjelasan dan ketetapan dari FIP tentang
keterampilan seorang farmasi klinik, sehingga memungkinkan WHO dan
instansi kesehatan lain mulai mengenal, menelaah, dan seterusnya
memperjuangkan farmasis merupakan bagian dari tenaga pelayanan
kesehatan yang professional di bidangnya.
ESCP mempublikasikan ‘The future of Clinical Pharmacy in
Europe’ yang mereflesikan perubahan cepat tentang peran farmasi di
dalam sistem pelayanan kesehatan (Boneal et al, 1993). Perubahan
tersebut terjadi secara universal di berbagai Negara, dan terkait dengan
perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika,
social ekonomi, dan hubungan professional (Waldo et al, 1991)
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasis klinik
tidaklah sama dengan di semua negara Eropa. Inggris merupakan tempat
yang dekat di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik.
Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam
pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di
Amerika dan Inggris.
B. Perkembangan farmasi klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sait
pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi
utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di Australia adalah

11
The Society of Hospital Pharmacist of Australia (SHPA), yang didirikan
pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Stndar
pelayanan faemasi klinik yang menjadi referensi utama pemberian
pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dan standar ini adalah pelayanan tentang
tujuan farmasi klinik yang terpilih. Standar ini juga digunakan dalam
pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayananfarmasi
klinik di Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi,
baik di tingkat S1 maupun Pasca sarjana.
C. Farmasi klinik di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru
berkembang pada tahun 2000-an, dimulai dengan adanya beberapa
sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi
pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi
klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor
lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia
(Rikomah. 2018).
Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang
semula berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian
ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan
pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi
pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri
selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran
dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah
pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang
masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah
klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa
gamang berbicara tentang penyakit dan pengobatan (Rikomah. 2018).
Sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di
UGM, telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan
farmasi klinik, seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya

12
minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas. Bersamaan dengan itu, mulai
tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian di
Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen
Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di
bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah
satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang.
Menangkap peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah
satu pioner dalam pendidikan Farmasi Klinik dengan dibukanya Program
Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa sejawat farmasis rumah
sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik,
walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan
farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya
masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang yang
cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin
bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan
farmasis klinik mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian
serupa.  Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk
membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa
adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar
meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika
gerakan farmasi klinik ini dimulai (Rikomah. 2018).
Outcomes yang diharapkan dari adanya peran farmasi kinik yaitu :
1. Kesembuhan (cure of disease)
2. Pengurangan gejala penyakit (elimination of reduction of patient’s
symptoms)
3. Perlambatan proses terjadinya penyakit (arresting or slowing of a
disease process)
4. Pencegahan penyakit atau gejala penyakit (preventing a disease or
symptoms)
II.4 Etika dan Standar

13
A. Konsep umum etika kefarmasian
1. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian sistem pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
2. System penyimpanan obat dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi obat,serta disusun secara alvabetis,serta
menggunakan system vivo dan vevo
B. Karakteristik pelayanan farmasi klinik
1. Berorientasi kepada pasien
Paradigma tentang farmasi telah bergeser dari farmasi yang
berorientasi keproduk (drug oriental) bergeser kefokus kepada
pelayanan farmasi ke pasien ( patient oriental) dengan tujuan
memaksimalkan hasil terapeutik dari pengobatan yang diberikan ke
pasien dengan memberikan pengobatan sesuai dengan kebutuhan
pasien.
2. Terlihat langsung diruang perawatan dirumah sakit dibangsal bukti
adanya farmasi klinik yaitu salah satunya didapatkan farmasis diruang
rawat atau ditempat tidur pasien sehingga ada keterlibatan langsung
farmasis dalam pemberian terapi dan pemantauan penggunaan obat
pasien serta memantau perkembangan kesehatan pasien
3. Farmasi bersifat pasif
Farmasis bersifat pasif yaitu farmasis mampu dengan
melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberikan
informasi mengenai obat yang diterima pasien
4. Farmasis bersifat aktif
Farmasi bersifat aktif yaitu farmasi mampu memberikan
masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau
menerbitkan bulletin atau brosur dengan tujuan untuk memberikan
informasi obat kepada pasien
5. Farmasis bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang
dilakukan

14
6. Menjadi mitra dan pendamping dokter
Farmasi yang mampu tampil di depan umum baik pasien,
keluarga pasien, dokter atau tenaga kesehatan lain dengan
kemampuan pengetahuan mengenal obat baik dapat menjadi mitra
kerja dan pendamping dokter dalam pemberian terapi kepada pasien
II.5 Tujuan Farmasi Klinis
Tujuan farmasi klinik yaitu memaksimalkan efek terapeutik
obat,meminimalkan resiko atau toksisitas obat,meminimalkan biaya
obat,menghormati pilihan pasien (Rikomah. 2018).
1. Memaksimalkan efek terapeutik
Pengobatan yang diberikan kepada pasien harus sesuai dengan
kebutuhan pasien yang disesuaikan dengan gejala klinik yang dirasakan
pasien,sehingga meminimalisir kejadian yang tidak diharapkan dari
kemungkinan kesalahan penggunaan obat,sehingga tujuan terapi bisa
didapatkan semaksimal mungkin.Efek terapi yang diharapkan meliputi:
a) Ketepatan Pemilihan Obat
Kepedulian farmasi melibatkan banyak hal bukan sekedar
memperhatikan terapi obat,kepedulian farmasi juga meliputi keputusan
tentang penggunaan obat yang akan digunakan oleh pasien secara
individual.Pertimbangan keputusan pemilihan penggunaan obat
meliputi cara pemberian,rute pemberian,jangka waktu atau lama
terapi,pelayanan informasi obat yang tepat,sehingga diperoleh
ketepatan penggunaan obat.
b) Ketepatan Indikasi
Tepat indikasi merupakan point penting untuk mencegah adanya
DRPs (Drug Related Problems).Tepat indikasi yaitu pasien mengalami
keluhan penyakit atau masalah medis dan mendapatkan penanganan
medis sesuai dengan terapi yang cocok dengan kebutuhan pasien.
c) Ketepatan Penggunaan Dosis Sesuai Dengan Kebutuhan dan Kondisi
Pasien

15
Pemberian obat kepada pasien harus diperhatikan kondisi
pasien,penggunaan dosis orang dewasa berbeda dengan penggunaan
dosis untuk anak-anak,dosis yang diberikan kepada pasien anak harus
di dasarkan berat badan anak dalam satuan kgBB,sehingga di dapatkan
ketepatan penggunaan dosis sesuai kebutuhan pasien.
d) Evaluasi Terapi
Evaluasi terapi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk
menjamin mutu,efektivitas dan keamanan obat yang telah diberikan
kepada pasien,dengan demikian dapat meminimalisir adanya kesalahan
pengobatan,dan sebagai pedoman untuk pemberian terapi pada pasien
berikutnya yang menderita keluhan penyakit yang sama.
2. Meminimalkan Resiko/Toksisitas
Salah satu tujuan dari adanya kepedulian farmasis yaitu dengan
melakukan pelayanan dengan cara memastikan resiko yang sekecil
mungkin bagi pasien,meminimalkan masalah pedoman untuk pemberian
terapi pada pasien berikutnya yang menderita keluhan penyakit yang
sama.
3. Meminimalkan Biaya Obat
Pelayanan farmasi yang salah satunya memberikan keuntungan
kepada pasien,terutama pasien dengan ekonomi menengah kebawah
seperti mengurangi biaya pengobatan pasien,dapat dilakukan dengan cara
memastikan bahwa obat tepat penyakit,tepat pasien dan tepat lama
terapi,sehingga dapat mengurangi resiko lama rawatan pasien di rumah
sakit.
4. Menghormati Pilihan Pasien
Pelayanan farmasi bersifat adil yaitu dengan memberikan
kebebasan kepada pasien dalam hal pemilihan obat dan menghormati
keputusan yang di ambil pasien,dan tidak mengesampingkan faktor yang
terkait dengan obat pasien seperti faktor farmakokinetika dan
farmakodinamika obat yang dipilih pasien.keterlibatan pasien dalam

16
proses pengobatan akan menentukan keberhasilan terapi.Hak pasien harus
diakui dan diterima semua pihak.

II.6 Ruang Lingkup Farmasi Klinis (Rikomah, 2018).


Ruang lingkup kegiatan farmasi klinik menurut SK Menkes No. 436/
Menkes/SK/VI/1993, meliputi:
1. Pemantauan penghormatan
Pemantauan penghormatan pasien merupakan suatu proses
kegiatan farmasi klinik baik di apotek maupun di Rumah Sakit dengan
tujuan untuk memastikan bahwa pasien telah minum obat dengan tepat,
baik tepat waktu pemberian maupun tepat cara penggunaan, bila
pemantauan pengobatan dilakukan di apotek tujuannya adalah
memastikan bahwa seseorang pasien mendapatkan obat yang sesuai
dengan kebutuhan pasien atau gejala penyakit pasien dengan artian efek
samping yang minimal.
Pemantauan pengobatan dapat dilakukan dengan cara:
a). Menganalisis terapi yang telah diberikan kepada pasien
seorang pasien yang telah mendapatkan pengobatan tidak
begitu saja ditinggalkan, tetapi perlu dipantau secara rutin
pengobatan pasien, sehingga dari pantauan tersebut dapat dilakukan
analisis terapi yang mungkin terjadi adanya efek yang tidak
diharapkan dari pengobatan pasien.
b). Memberikan pengarahan kepada praktisi kesehatan tentang
kebenaran pengobatan.
Peranan farmasi klinik selain beriorentasi kepada pasien,
juga memberikan edukasi kepada tenaga kesehatan lainnya
berkaitan dengan obat baik mengenai rute penggunaan obat, cara
menggunakan, waktu pemerian obat agar didapatkan pengobatan
yang tepat kepada pasien.

17
c). Memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung.
Kegiatan farmasi klinik salah satunya yaitu memberikan
pelayanan kefarmasian kepada pasien secara langsung di ruang awal
pasien terkait dengan pengobatan pasien diantaranya memberikan
edukasi, informasi dan konseling mengenai obat yang telah diterima
pasien
2. Seleksi obat
Seleksi obat dilakukan oleh farmasis bekerja sama dengan dokter
dan pemegang kebijakan dibidang obat dalam penyusunan
formulatorium obat dan atau daftar obat yang digunakan. Salah satu
peranan farmasi klinik dalam hal proses penggunaan obat yang akan
digunakan pasien adalah dengan memberikan intervensi pada dokter
terkait dengan obat yang akan diberikan kepada pasien meliputi
pemilihan sediaaan obat dan dosis yang tepat untuk seorang pasien
tertentu.
3. Pemberian informasi obat
Farmasis bertanggung jawab mencari informasi dan melakukan
evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur
pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan
pasien.
4. Penyiapan dan peracikan obat
Kepedulian farnmasi selain kegiatannya terjun langsung ke
pasien, farmasis juga mampu menyiapkan dan melakukan peracikan
obat sesuai dengan kebutuhan pasien selain itu juga disesuaikan dengan
lembar resep yang diterima pasien.
5. Penelitian dan studi penggunaan obat
Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan
obat, farmakoepidemilogi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
Seorang farmasis harus mempunyai ilmu khususnya tentang obat yang
ter update, karena ilmu yang baru berkaitan tentang obat tidak pernah

18
habis dan tidak pernah ketinggalan jaman, bahkan ada ilmu ilmu baru
terkait dengan penemuan-penemuan obat baru.
6. Terapeutic Drug Monitoring (TDM)
Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat
dalam darah. Dalam hal ini seorang farmasis diharuskan mempunyai
ilmu farmasi klinik yang luas dan mendalam terkait dengan pemantauan
kadar obat didalam darah dari obat yang digunakan pasien, dengan
tujuan agar tidak terjadi kemungkinan yang terkait dengan kesalahan
penggunaan obat dalam hal ini dosis obat, agar tidak menyebabkan
toksik.
7. Uji klinik
Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta
berpartisipasi dalam uji klinik.
8. Monitoring efek samping obat
Kegiatan farmasis klinik salah satunya yaitu melakukan
monitoring efek samping obat. Efek samping obat merupakan salah satu
reaksi yang tidak diinginkan yang terjadi selama pasien menerima obat
atau merupakan reaksi yang merugikan. Efek samping ini tidak selalu
dengan cepat dideteksi atau diketahui selama pasien menggunakan
obat . Efek samping ada yang segera terjadi setelah pasien meminum
obat.
9. Penanganan obat sitostatika
Kegiatan penanganan obat sitostatika atau obat kanker harus
sangat diperhatikan, karena obat-obat sitostaika apabila tertumpah atau
terkena kulit maka dapat membahayakan, sehingga dibutuhkan teknik
khusus dalam hal penanganan obat sitostatika.
10. Penyiapan total parental nutrisi
Penyiapan total nutrisi parenteral merupakan salah satu kegiatan
farmasi klinik yang dilakukan kepada pasien yang tidak dapat menelan
makanan.
11. Melakukan konseling

19
Konseling mengenai obat yang akan, atau sedang atau telah
digunkan oleh pasien sangat membantu dalam pencapaian tujuan
kegiatan farmasi klinis yaitu meningkatkan kualitas hidup pasien

II.7 Pentingnya farmasi klinik


Pelayanan farmasi klinis terbukti efektif dalam menangani terapi pada
pasien (Rikomah. 2018).
A. Pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik yang berorientasi kepada pasien sangat
diperlukan, guna untuk meningkatkan kealitas hidup pasien. Beberapa
bukti peranan farmasi klinis sangat diperlukan yaitu :
1. Mengurangi biaya pelayanan kesehatan
Dengan adanya peranan dan kegiatan farmasi klinik yang
dilakukan oleh tenaga farmasis di sarana pelayanan kesehatan,
kegiatan farmasi klinik menguntungkan bagi pasien terutama dalam
menekan atau mengurangi biaya pengobatan pasien.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dapat diperoleh
dengan melakukan kegiatan pemantauan resep dan pelaporan efek
samping obat.
3. Menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan
Tujuan dari adanya pelayanan farmasi klinik kepada semua
lapisan masyarakat khususnya pasien dalam hal ini yaitu
meningkatkan kualitas hidup pasien, dengan menerapkan atau
menegakkan pengobatan yang rasional sehingga dapat mengirangi
atau menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan
dikarenakan kesalahan dalam pengobatan.
4. Menurunkan kecepatan kejadian mortalitas di rumah sakit

20
Sebuah studi observasional multisenter di USA menunjukkan
bahwa kecepatan kejadian mortalitas di RS menurun dengan
meningkatnya tenaga kesehatan di Rumah Sakit seperti farmasis,
dokter, perawat, teknik kedokteran.
5. Meningkatkan efikasi terapi dan menurunkan reaksi dari obat yang
tidak diinginkan/ merugikan
6. Menurunkan kecepatan kejadian efek samping obat hingga 60%
kejadian efek samping obat dapat dicegah yang disebabkan oleh
kesalahan peresepan di Rumah Sakit Boston.
Adanya pengurangan angka kejadian efek samping obat yang
disebabkan oleh pemakaian obat menunjukkan bahwa partisipasi
farmasis dalam kunjungan ke bangsal perawatan terutama ICU
sangat besar peranannya atau pengaruhnya.
B. Masalah yang terkait dengan Drug Related Problems (DRPs)
Di Indonesia masih banyak ditemui permasalahan terkait dengan
penggunaan obat drug related problems (DRPs) di berbagai tempat
pelayanan kesehatan (Rikomah. 2018).
II.8 Sasaran Farmasi Klinik
Kegiatan farmasi klinik berupaya focus atau konsen terhadap
kesembuhan pasien, sehingga kegiatan ini mempunyai sasaran kegiatan
dengan tujuan utama meningkatkan kualitas hidup pasien (Rikomah. 2018).
Sasaran farmasi klinik yaitu target dari kegiatan farmasi klinik dalam
hal membantu pengobatan pasien, sampai pasien sembuh. Sasaran kegiatan
ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu (Rikomah. 2018) :
1. Kegiatan penggunaan obat dan pembekalan kesehatan/farmasi yang
rasional, dilakukan dengan cara:
a. Memaksimalkan efek terapi obat
Memaksimalkan efek terapi merupakan salah satu tujuan dari
kegiatan farmasi klinik, sebagai contih penggunaan obat yang paling
efektif yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan obat
berdasarkan merk obat terkenal.

21
b. Meminimalkan resiko/efek samping terapi
Kegiatan farmasi klinik salah satunya ialah mencegah adanya
kegiatan yang tidak diharapkan dari penggunaan obat oleh pasien
yaitu dengan meminimalkan adanya efek samping obat dengan cara
mencegah adanya pemakaian obat yang mungkin mengarah ke
DPRs. Sebagai contoh untuk menimbulkan resiko atau
meminimalkan efek samping obat dilakukan dengan cara memantau
terapi dan memantau kapatuhan pasien terhadap terapi.
c. Meminimalkan biaya pengobatan
Dengan adanya kegiatan farmasi klinik yang salah satunya
yaitu mencegah adanya polifarmasi, dengan itu pasien akan
mendapatkan keuntungan berupa biaya yang minimal selain itu juga
mengurangi lama rawat inap pasien di rumah sakit.
d. Menghormati pilihan pasien
Setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
berkaitan dengan gejala penyakit pasien harus diketahui pasien
dengan keluarga pasien, misalnya dalam pengambilan keputusan
pemilihan pengobatan pasien menginginkan obat yang bagus, tenaga
kesehatan dapat memberikan obat tersebut setelah disesuaikan
dengan kondisi klinik dan fisiologi pasien.
2. Mencegah dan mengurangi kejadian kesalahan-kesalahan klinik (clinical
error) yang terjadi seperti (Rikomah. 2018) :
a. Alergi obat
b. Pemakaian tidak benar
c. Duplikasi dari obat
d. Efek aditif
e. Penjadwalan obat yang tidak benar
f. Interaksi obat dengan obat
g. Reaksi obat yang merugikan

22
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Farmasi klinik adalah suatu keahlian profesional dalam bidang –bidang
kesehatan yang bertanggung jawab untuk keamanan, kerasionalan, dan
penggunaan terapi obat oleh pasien melalui penerapan ilmu pengetahuan
dan fungsi terspesialisasi.
2. Secara filosofis, tujuan dari farmasi klinis adalah agar efek terapi bisa
tercapai secara maksimal, meminimalkan resiko yang tidak diinginkan,
meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien
terhadap pemilihan terapi akan mereka lakukan.
3. Konsep pharmaceutical care(asuhan kefarmasian) yang diperkenalkan
oleh Hepler dan Stand pada akhir tahun 1980-an tampaknya
menawarkan kepada farmasi sesuatu yang kurang untuk pertumbuhan
penuh sebagai profesi: seperangkat nilai-nilai bersama yang universal
dalam pekerjaan.
4. Perkembangan peran farmasis yang berorientasi pada pasien semakin
menguat pada tahun 2000-an. Pada masa ini, organisasi profesi farmasis
klinik di Amerika yaitu American College of Clinical Pharmacy (ACCP)
telah mempublikasikan sebuah makalah berjudul, Sebuah Visi masa
depan terkait peran, tanggung jawab.
III.2. Saran

23
Mematuhi Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai dengan
peraturan yang berlaku agar menjadi seorang Apoteker yang baik.

24

Anda mungkin juga menyukai