Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH MANAJEMEN PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI

PENGENDALIAN PERSEDIAAN FARMASI DAN PENGELOLAAN


FARMASI MENJADI SATU PINTU

Disusun oleh:
FG-4
Agatha Corintias 1506766874
Aulia Elfa Rosdina 1506677452
Dya Iqtha Poetri Afdhal 1506767233
Farah Khalida Salsabila 1506677433
Hana Rotua Selvi 1506767031
Nur Azizah 1506677130
Putri Zahra Ardiyanita 1506725211
Putu Pradnya Paramitha 1506767082
Ruzicka Ilma Faradisi 1506767012
Sabrina Nur Amalia 1506767170

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah yang bertopik Pengendalian Persediaan Farmasi di IFRS
dan Pengelolaan Farmasi menjadi Satu Pintu ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Manajemen Sediaan Farmasi. Pengumpulan data dan informasi
dalam penulisan makalah dilakukan melalui studi pustaka dan literatur, dengan
mencari dan mengumpulkan informasi fakta multisumber melalui buku-buku,
jurnal ilmiah dan website atau situs-situs internet resmi yang terkait dengan topik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing mata kuliah
Manajemen Sediaan Farmasi yaitu Ibu Eme Stepani Sitepu, M.Sc., Apt. yang
telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman serta pihak-pihak yang telah
membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu sehingga makalah ini dapat
penulis selesaikan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
di dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun penulis harapkan sehingga ke depannya penulis dapat menyusun
makalah dengan lebih baik.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang telah
meluangkan waktunya untuk membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

Depok, Desember 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..........................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................2
1.4 Sistematika Penulisan .........................................................................2
BAB 2 ISI ....................................................................................................3
2.1 Pengertian Sistem Satu Pintu .............................................................3
2.2 Sistem Satu Pintu ...............................................................................4
2.3 Manfaat Sistem Satu Pintu ................................................................5
2.4 Tujuan Sistem Satu Pintu ...................................................................5
2.5 Organisasi .........................................................................................6
2.6 Keuntungan dan Kerugian Sistem Satu Pintu ...................................6
2.7 Pengendalian Persediaan ...................................................................7
2.8 Inventory Control, Metode dan Klasifikasi Pengendalian ................8
2.9 Model Sistem Pengendalian ABC ....................................................15
2.10 Model Sistem Pengendalian EOQ .................................................20
2.11 Model Sistem Pengendalian VEN .................................................25
2.12 Model Sistem Pengendalian JIT ....................................................28
2.13 Model Sistem Pengendalian Kombinasi ABC dan VEN ...............30
BAB 3 PENUTUP.....................................................................................33
3.1 Kesimpulan .......................................................................................33
3.2 Saran .................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................34

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, perusahaan atau pabrik ingin menghasilkan produk atau
jasa yang terbaik untuk konsumennya, tidak terkecuali di bidang farmasi.
Untuk dapat mewujudkannya, harus ada manajemen yang baik guna
mengelola produk. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan efisiensi
dan efektivitas operasional perusahaan atau pabrik.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, banyak hal yang dapat
dilakukan di mulai dari perencanaan hingga penggunaan. Pengendalian
persediaan termasuk salah satu aspek penting dalam mengelola obat yaitu
untuk mencegah kelebihan atau kekosongan obat dalam penyimpanan dan
menghindari terjadinya kerusakan pada obat. Pengendalian persediaan
termasuk dalam alur manajemen pengelolaan baik di industri farmasi maupun
di rumah sakit dan apotek. Pengendalian persediaan memiliki berbagai
macam metode yang berbeda tergantung strategi yang dirancang oleh rumah
sakit.
Selain pengendalian persediaan, di rumah sakit terdapat sistem satu
pintu yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui
Instalasi Farmasi sehingga tidak ada pengelolaan sediaan farmasi yang
dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi di rumah sakit. Diharapkan dengan
melakukan pengendalian persediaan dan menjalankan sistem satu pintu,
rumah sakit dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional guna
menjamin mutu obat dan mengutamakan kesehatan pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan sistem satu pintu?
2. Apa yang dimaksud dengan pengendalian sediaan farmasi?
3. Bagaimana cara mengendalikan sediaan farmasi dengan model ABC,
EOQ, VEN, JIT, kombinasi ABC dan VEN?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan antara lain:
1. Mengetahui sistem satu pintu sesuai peraturan
2. Mengetahui sistem pengendalian sediaan dengan berbagai metode
3. Memenuhi tugas manajemen sediaan kefarmasian

1.4 Sistematika Penulisan


BAB 1: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Sistematika Penulisan
BAB 2: ISI
2.1 Pengertian Sistem Satu Pintu
2.2 Sistem Satu Pintu
2.3 Manfaat Sistem Satu Pintu
2.4 Tujuan Sistem Satu Pintu
2.5 Organisasi
2.6 Keuntungan dan Kerugian Sistem Satu Pintu
2.7 Pengendalian Persediaan
2.8 Inventory Control, Metode dan Klasifikasi Pengendalian
2.9 Model Sistem Pengendalian ABC
2.10 Model Sistem Pengendalian EOQ
2.11 Model Sistem Pengendalian VEN
2.12 Model Sistem Pengendalian JIT
2.13 Model Sistem Pengendalian Kombinasi ABC dan VEN
BAB 3: PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB 2
ISI

2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Sistem Satu Pintu


Pelayanan kefarmasian rumah sakit di Indonesia menggunakan
pelayanan sistem satu pintu. Adapun dasar hukum yang mengatur hal tersebut
antara lain:
a. PMK No. 58 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit dilaksanakan di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit melalui sistem satu pintu.
b. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Pasal 15 ayat 3 tentang Rumah Sakit
menyatakan bahwa “Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan
bahan medis habis pakai di rumah sakit harus dilakukan oleh Instalasi
Farmasi sistem satu pintu”
c. SK Dirjen Pelayanan Medis Nomor 0428/ Yanmed/RSKS/SK/1989
tentang Petunjuk Pelaksanaan SK Menkes Nomor 085/Men-
kes/Per/I/1989 tentang Penulisan Obat Generik di Instansi Pelayanan
Kesehatan Milik Pemerintah, Pasal 8 ayat 2-C pasal 9 ayat 1-4 bahwa
“Unit distribusi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (Apotek Rumah Sakit)
secara bertahap harus difungsikan sepenuhnya sebagai satu-satunya
apotik rumah sakit yang berkewajiban melaksanakan pelayanan obat-
obatan di rumah sakit.”
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, sistem
satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan
formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan untuk
mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan demikian semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung jawab
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak ada pengelolaan Sediaan

3
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang
dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan
proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam
ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit menyatakan bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan
Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh
Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat Kesehatan yang dikelola oleh
Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat medis habis pakai/peralatan
non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu jantung,
implan, dan stent.
Tanggung Jawab IFRS:
a. Mengendalikan persediaan farmasi untuk semua unit perawatan (rawat
inap, rawat jalan, gawat darurat, bedah sentral),
b. Pengadaan dan pemberian informasi untuk semua pihak rumah sakit,dan
c. Melakukan pekerjaan kefarmasian.

2.2. Pengelompokkan Sistem Satu Pintu


Sistem satu pintu terdiri dari:
a. Satu kebijakan
1) Formularium RS
2) Tata laksana obat (TLO)
3) Harga jual obat seragam
4) Menentukan distributor yang tepat
b. Satu SOP
1) Pelayanan
2) Pelaporan
3) Monitoring dan evaluasi
c. Satu pengawasan operasional

4
1) Laporan rutin dari pihak ke 3
2) Monitoring pengelolaan obat
3) Evaluasi pengelolaan obat
4) Pertemuan rutin dgn pihak ke 3
5) Tindak lanjut
d. Satu Sistem Informasi
1) Konseling obat
2) Pengkajian penggunaan obat
3) Logistik (pengadaan, persediaan, penyimpanan, penghapusan,
pengawasan)

2.3. Manfaat Sistem Satu Pintu


Adapun manfaat sistem satu pintu antara lain:
a. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;
b. Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;
c. Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai;
d. Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai;
e. Pemantauan terapi obat;
f. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien);
g. Kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang akurat; dan
h. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.

2.4. Tujuan Sistem Satu Pintu


Sistem satu pintu merupakan satu kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium, pengadaan dan pendistribusian sediaan farmasi, alat

5
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan
kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi. Dengan demikian semua
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang beredar di
RS merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi, sehingga tidak ada
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di
RS yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi.

2.5. Struktur Organisasi dalam Pelayanan Kefarmasian Sistem Satu Pintu

Gambar 1. Struktur Organisasi Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

2.6. Keuntungan dan Kerugian Sistem Satu Pintu


a. Keuntungan Sistem Satu Pintu
1) Memudahkan monitoring penggunaan obat
2) Dapat mengetahui kebutuhan obat secara mengeyluruh, sehingga
memudahkan perencanaan obat
3) Menjamin mutu obat yang tersedia sesuai persyaratan kefarmasian
4) Dapat dilaksanakan pelayaan obat dengan sistem unit dose ke semua
ruang rawat
5) Dapat dilaksanakan pelayanan informasi obat dan konseling baik bagi
pasien rawat jalan maupun rawat inap

6
6) Dapat dilaksanakan MESO oleh deartemen farmasi dan terapi
7) Dapat melakukan pengkajian penggunaan obat di RS
b. Kerugian Sistem Satu Pintu
1) Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat belum baik.
2) Sulitnya melaksanakan kegiatan perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, dan distribusi karena sulit melakukan perkiraan.

2.7. Pengendalian Persediaan


Pengendalian persediaan atau inventory control atau inventory
management merupakan suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya
sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah
ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat
di unit-unit pelayanan.
Tujuan penting dari pengelolaan persediaan adalah untuk mencapai
keseimbangan antara biaya pembelian, biaya penahanan dan biaya
kekurangan. Untuk mempertahankan keseimbangan tersebut, biaya yang
relevan perlu diidentifikasi dan diperhitungkan kemudian diperiksa apakah
mereka saling berhubungan. Pengendalian persediaan perlu dilakukan karena
beberapa alasan, yaitu:
a. Untuk memastikan ketersediaan
Dalam sistem pasokan farmasi, seseorang tidak dapat meramalkan
permintaan dengan tepat dan akurat atau yakin tentang kinerja pemasok.
Manajemen persediaan yang tepat memungkinkan penyerapan fluktuasi
pasokan dan permintaan dan mengurangi risiko kehabisan stok.
b. Untuk menjaga kepercayaan dalam sistem
Jika suatu saat farmasi kehabisan stok, pasien kehilangan
kepercayaan pada sistem dan mencari obat ke tempat lain sehingga sistem
dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien.
c. Untuk mengurangi biaya unit obat-obatan
Memesan obat dalam jumlah besar memungkinkan diskon
kuantitas dari pemasok dan mengurangi biaya pengiriman dan biaya
pembersihan pelabuhan (port-cleaning).

7
d. Untuk menghindari biaya kekurangan
Jika pesanan darurat diperlukan untuk mengatasi kehabisan stok,
biaya unit cenderung jauh lebih tinggi daripada untuk pesanan reguler.
Selain itu, ketika program penjualan farmasi beroperasi, kehabisan stok
menghasilkan pendapatan yang hilang karena klien pergi ke tempat lain
untuk obat-obatan.
e. Untuk meminimalkan biaya pemesanan
Biaya pembelian meningkat ketika barang sering dipesan. Biaya
ini termasuk gaji dan tunjangan untuk pembelian dan anggota staf
akuntansi, biaya ruang kantor, utilitas, persediaan, dan biaya lain yang
terkait dengan tender dan pesanan regular. Oleh karena itu pembelian
dalam jumlah yang tepat akan menghindari seringnya pembelian.
f. Untuk memungkinkan fluktuasi permintaan
Perubahan permintaan untuk obat-obatan tertentu sering tidak
dapat diprediksi dan persediaan yang memadai memungkinkan sistem
untuk mengatasi fluktuasi permintaan.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, pengelolaan persediaan perlu
dilakukan untuk menghindari persediaan stok yang terlalu banyak karena
dapat meningkatkan kemungkinan stok kadaluarsa, rusak, usang atau dicuri.

2.8. Model Pengendalian Persediaan dan Frekuensi Reorder

Gambar 2. Model Pengendalian Persediaan yang Ideal

8
Pada model pengendalian persediaan yang ideal, untuk merespon
permintaan yang ada, persediaan sediaan farmasi tidak boleh habis; stok terus
menurun hingga satu titik dimana order harus diperlukan. Stok terdiri dari dua
komponen, working stock dan safety stock (SS). Dalam model ini, perlakuan
supplier sesuai rencana, pengiriman tepa waktu, kuantitas order (Qo)
diterima, dan level persediaan dijadikan ke titik maksimum (Qo + SS). Rata-
rata working stock adalah setengah dari kuantitas order.
Rata-rata working stock = ½ Qo I = SS + ½ Qo
Keterangan:
I = Rata-rata Persediaan
SS = Safety Stock
Qo = Kuantitas order

Pemesanan dalam jumlah yang besar dan jarang akan meningkatkan


tingkat persediaan. Working stock dapat dikurangi dengan melakukan
pemesanan dalam jumlah lebih sedikit dan lebih sering.

Gambar 3. Dampak Interval Reorder pada Rata-Rata Persediaan

a. Model pengendalian persediaan digunakan untuk mengatur pembelian


harus ditentukan
1) Safety stock (berapa banyak stok yang harus disimpan untuk
mencegah kehabisan stok),
2) Frekuensi pemesanan (periode waktu antara order pertama dengan
order berikutnya), dan
3) Kuantitas pemesanan (jumlah unit yang di order).

9
b. Model pengendalian persediaan berdasarkan frekuensi pemesanan:
1) Periodic review model: pemesanan bisa dilakukan hanya pada interval
tertentu, dan barang dipesan setiap interval waktu.
2) Perpetual review model: pemesanan bisa dilakukan kapan saja,
pengguna menentukan kapan pemesanan diperlukan dan berapa
banyak yang dipesan.

c. Beberapa model pengendalian persediaan yang umum


1) Annual purchasing: periodic review model dengan interval setiap satu
tahun. Jumlah pemesanan dihitung dengan proses kuantifikasi skala
besar. Setelah itu, dilakukan negosiasi untuk pembelian.

Keuntungan model ini:


a) Regulasi keuangan dan keadaan mempengaruhi keputusan
b) Satu pengadaan lebih mudah diatur daripada pembelian yang
sering, bergantung pada kapasitas staff dan informasi yang
tersedia.
c) Harga sediaan farmasi per unit biasanya lebih rendah bila beli
dalam jumlah yang besar.
d) Tradisi turun temurun

Kerugian model ini:


a) Konsumsi sebenarnya sering berbeda dengan perkiraan,
menyebabkan kekurangan dan kelebihan stok; pesanan darurat
yang mahal diperlukan
b) Rata-rata level stok dan biaya penyimpanan lebih tinggi
c) Supplier lokal yang menyuplai mungkin akan merasa sulit dengan
pengiriman tunggal yang sangat besar.
d) Dibutuhkan ruang penyimpanan yang lebih besar
e) Uang untuk sekali bayar dalam jumlah yang besar sulit
didapatkan, terutama jika diperlukan mata uang yang tinggi
nilainya.

10
2) Scheduled purchasing: periodic review model dimana pemesanan
dilakukan pada interval yang ditentukan (mis: tiap minggu, tiap
bulan).

Keuntungan :
a) Kuantitas estimasi daripada kuantitas tetap
b) Sistem penjadwalan lebih suka menggunakan supplier lokal
karena dia mengijinkan untuk membagi permintaan mereka dalam
satu tahun.
c) Biaya penyimpanan lebih rendah.
d) Ruang penyimpatan lebih kecil dari annual purchasing
e) Berbagai macam barang dibeli dengan frekuensi cukup sering
dalam jumlah yang lebih sedikit akan mengurangi resiko
kelebihan stok dan pemesanan darurat.
f) Pengadaan dapat merespon kebutuhan lebih cepat dan dapat
memanfaatkan anggaran dengan lebih baik.
g) Pengadaan dan workload tersebar merata selama setahun
h) Biaya pengadaan dapat diatur dengan baik, terutama pada
pengadaan yang panjang dan sulit.
i) Mendukung sistem pengadaan, dimana order dari semua partner
dijadikan order tunggal.

Pembelian tidak selesai sebelum akhir tahun yang akan


menimbulkan konflik dengan regulasi batas waktu. Kekurangan
disebabkan kurangnya perkiraan atau adanya perubahan permintaan
akan lebih berkurang dibanding annual purchasing, tetapi tetap bisa
muncul dengan periode review lebih dari 3-6 bulan. Peningkatan
inflasi dan devaluasi merupakan masalah, hal ini perlu ditentukan saat
persetujuan kontrak; jika kontrak terpisah dinegosiasi setiap interval
pemesanan, biaya biasanya akan meningkat tiap tahunnya. Strategi
yang baik adalah dengan mengadakan barang yang penting sebanyak
mungkin, Bersama dengan barang yang akan naik harganya diawal

11
tahun. Scheduled purchasing sangat efektif ketika pola konsumsinya
relatif stabil, setidaknya untuk durasi antara waktu pemesanan.
Apabila dibutuhkan fluktuasi yang besar dari bulan ke bulan,
perpetual purchasing lebih dianjurkan.
3) Perpetual purchasing: model dimana level stok direview secara terus-
menerus dan pemesanan dilakukan setiap kali stok berada di bawah
level minimum. Kelebihannya dapat dengan cepat merespon
perubahan konsumsi, karena persediaan direview secara terus menerus
dan pemesanan dilakukan cukup sering. Persyaratan untuk
menggunakan perpertual purchasing:
a) Dibutuhkan stok records terkini dan akurat
b) Komputer dengan software yang sesuai untuk mengatur
persediaan
c) Akses yang baik dan komunikasi dengan suplier dan pengguna,
dengan lead time kurang dari 1 bulan
d) Kesiapan dan kesanggupan untuk pembayaran, keculi supliers
mau menunggu pembayarannya.
e) Kontrak secara forma tidak digunakan.

4) Draw-downs from framework contracts


Kontrak kerja menetapkan syarat dan ketentuan penting dari
perjanjian pengadaan, seperti kerangka waktu, harga, spesifikasi
produk, kuantitas dan kondisi kinerja pemasok. Selama masa kontrak,
supplier memegang stok, sampai menerima pesanan untuk pembelian
tertentu. Setiap pemesanan merupakan kontrak terpisah yang
mengikuti kerangka kerja dengan beberapa penambahan spesifik,
seperti tanggal pengiriman.
d. Faktor dalam menghitung kuantitas reorder
1) Konsumsi rata-rata. Kadang disebut permintaan, digunakan untuk
memperkirakan jumlah yang akan dipesan berikutnya. Konsumsi
berikutnya tidak diketahui sehingga harus diperhatikan. Namun, factor
lainnya juga sama pentingnya. Meskipun konsumsi diprediksi akurat,

12
kekosongan bisa terjadi jika lead time kurang diperhatikan atau jika
daktor lain ada salah perhitungan/prediksi.
2) Lead time. Waktu antara pemesanan dan penerimaan barang dari
supplier tertentu, Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam
pemesanan kembali. Jika lead time brefluktuasi (mis: 2 bulan, 6 bulan,
2 bulan, 6 bulan, dst), perlu dilakukan analisis lead time atau
menghitung standar deviasinya.
3) Safety stock. Stok yang harus sedia untuk mencegah kehabisan stok.
Ketika lead times dan konsumsi diprediksi dan stabil, safety stock
tidak terlalu diperlukan. Namun, ketika pola konsumsi dan lead times
sangat bervariasi, safety stock ini siperlukan.
4) Reorder level. Kuantitas sisa stok yang mengharuskan reorder
dilakukan. Pada sistem pemesanan maksimum-minimum, level ini
disebut level stok minimum. Jumlah stok ini bisa jadi sama dengan
jumlah safety stock.
5) Maximum stock. Stok yang diperlukan untuk mencukupi permintaan
hingga pemesanan berikutnya setelah barang diterima.
6) Stock position. Total stok yang ada dan stok yang sedang dipesan,
dikurangi dengan stok yang dikembalikan ke supplier. Dikatakan stok
berlebih jika selama beberapa bulan stok masih ada, atau stok masih
ada ketika pemesanan berikutnya dilakukan.
7) Procurement period. Periode pengadaan mencakup waktu hingga
pemesanan berikutnya dilakukan. Dalam scheduled system, periode ini
mungkin beberapa kali dalam sebulan; dalam perpetual system,
mungkin bisa setiap beberapa hari atau minggu.

e. Faktor Lainnya
1) Budget status. Managemen anggaran mempunyai 2 dasar. Yang
pertama, system suplai menyiapkan anggaran untuk tiap bahan/obat,
jumlah yang spesifik untuk satu tahun. Kemudian, pemesanan selama
setahun dipantau. Untuk meningkatkan jumlah pemesanan suatu obat,
jumlah obat lain harus dikurangi, agar anggarannya tercukupi.

13
2) Access to funds. Dipastikan dananya ada untuk pembelian. Meskipun
anggaran telah dibuat, dananya belum tentu ada saat pembelian
dilakukan.
3) Ukuran kemasan dan minimum pemesanan. Pemesanan disesuaikan
dengan kemasan yang disediaan oleh supplier. Apabila kita butuh 900
kapsul, kita bisa memesan 9 botol berisi 100 kapsul. Namun, jika
kemasannya 1 botlol berisi 1000 kapsul, maka kita pesan 1 botol
berisi 1000 kapsul.
4) Perkiraan perubahan penggunaan. Jika perubahan diantisipasi pada
siklus pemesanan berikutnya sesuai pada formulasi atau obat esensial,
dananya perlu direncanakan.
5) Perkiraan kenaikan harga. Jika diketahui bahwa harga akan meningkat
untuk suatu obat atau kelompok obat tertentu sebelum siklus order
berikutnya, biasanya bahan-bahan tersebut akan disorder dalam
jumlah yang lebih besar sehingga lebih murah. Hal ini dapat dilakukan
jika dari pola konsumsi diprediksikan obat tersebut akan habis
sebelum kadaluarsa.
6) Biaya pengiriman. Jika biaya pengiriman diprediksi akan meningkat,
maka jumlah pemesanan akan ditingkatkan sama seperti prediksi
kenaikan harga obat.
7) Potongan harga bila pesan dalam jumlah yang besar. Beberapa
supplier secara rutin menawarkan diskon. Misalnya, diskon 10% pada
jumlah pemesanan tertentu. Atau gratis satu pada pembelian 12 paket.
System reorder yang digunakan harus cuup fleksibel untuk dapat
memanfaatkan diskon tersebut.
8) Kerugian pencurian dan pembuangan obat. Bila terdapat kehilangan
obat akibat pencurian atau terbuang, mereka perlu dipertimbangkan
dalam jumlah pemesanan.
9) Kapasitas penyimpanan. Jumlah obat yang dipesan harus disesuaikan
dengan ruang penyimpanan yang ada.
10) Short-dated products. Produk sediaan tertentu memiliki masa berlaku
yang terbatas. Pada kasus tersebut, kuantitas order harus dibatasi

14
untuk prediksi konsumsi tiap bulannya untuk mencegah resiko obat
kadaluarsa.

2.9. Model Sistem Pengendalian Persediaan ABC


Ada beberapa model sistem pengendalian persediaan, yaitu model
ABC, EOQ, VEN dan JIT. Pengendalian persediaan berhubungan dengan
aktivitas pengaturan persediaan bahan-bahan agar dapat menjamin persediaan
dan pelayanannya kepada pasien. Salah satu pengendalian persediaan adalah
dengan model ABC (Always Better Control) atau analisis pareto. Sistem
analisis ABC ini berguna dalam sistem pengelolaan obat, yaitu dapat
menentukan frekuensi pemesanan obat dan menentukan prioritas pembelian
obat berdasarkan nilai atau harga obat.
Analisis ABC adalah suatu metode kategorisasi persediaan yang
terdiri dari pengelompokkan obat menjadi tiga kategori, yaitu A, B dan C. A
merupakan kategori obat yang nilai penggunaannya paling tinggi, sedangkan
C adalah kategori obat yang nilai penggunaannya paling rendah. Metode ini
bertujuan untuk menarik perhatian manajer pada obat-obat yang bersifat kritis
(obat kategori A), bukan pada obat yang kurang berarti (obat kategori C).
Analisis ABC ini menekankan kepada persediaan yang mempunyai nilai
penggunaan yang relatif tinggi atau mahal. Pendekatan ABC menyatakan
bahwa suatu perusahaan harus menilai barang-barang (obat) dari A hingga C,
berdasarkan pada aturan berikut:
a. Kategori A adalah obat yang nilai konsumsi tahunannya tertinggi; 80%
dari nilai konsumsi tahunan perusahaan dialokasikan hanya untuk 20%
persediaan total.
b. Kategori B adalah obat dengan nilai konsumsi medium; 15% nilai
konsumsi tahunan dialokasikan untuk 30% persediaan total.
c. Kategori C adalah obat dengan nilai konsumsi tahunan terendah; 5% nilai
konsumsi tahunan dialokasikan untuk 50% persediaan total.

Tabel 1. Pengelompokkan Obat Berdasarkan Analisis ABC

15
Nilai konsumsi tahunan dihitung dengan rumus:
Nilai konsumsi tahunan = Permintaan Tahunan x Harga Barang per
Unit
Melalui kategorisasi ini, manajer pengadaan dapat mengidentifikasi
persediaan yang penting, dan memisahkannya dari obat lainnya, terutama
obat-obat yang jumlahnya banyak tetapi tidak terlalu menguntungkan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis ABC adalah:
a. Pada obat kelas A, persediaan dan biaya dikurangi dengan mengatur
pembelian yang lebih sering dan pengiriman dalam jumlah lebih sedikit.
b. Pada obat kelas A, penurunan harga yang besar dicari dan penyimpanan
harus diperhatikan.
c. Pada obat kelas A, dilakukan kontrol yang ketat dalam hal pencatatan
pemesanan oleh staf.
d. Pada obat kelas C, dijamin bahwa barang selalu ada dalam persediaan.
e. Mengukur tingkat kesesuaian penggunaan obat dengan penyakit yang ada
dan kebutuhan kesehatan masyarakat.
f. Menurunkan tingkat persediaan yang dibutuhkan dan menurunkan biaya
yang dibutuhkan dengan cara mengubah frekuensi pembelian atau
distribusi dari obat kategori A yang jumlahnya relatif sedikit.
g. Dapat diupayakan pencarian obat dengan harga pembelian paling murah
khususnya untuk obat kategori A, sehingga memungkinkan penghematan
biaya.

Tahapan dalam menentukan kategori obat adalah:

16
a. Cari tahu harga satuan obat dan jumlah penggunaan masing-masing obat
selama periode waktu tertentu. Pastikan kuantitas setiap obat dihitung
pada periode waktu yang sama.
b. Hitung harga total yang dibutuhkan untuk pembelian setiap obat dalam
periode waktu tertentu dengan cara: harga satuan obat dikalikan perkiraan
penggunaan obat tahunan. Kemudian jumlahkan semua harga total dari
tiap obat.
c. Hitung persentase nilai dari harga total pada setiap obat.
d. Urutkan obat dari nilai persentase paling tinggi hingga nilai persentase
paling rendah.
e. Hitung persentase kumulatif nilai persediaan total.
f. Hitung juga persentase jumlah persediaan.
g. Tentukan batas untuk kategori A, B dan C.
h. Kategori A berada pada persen kumulatif 0-80%.
i. Kategori B berada pada persen kumulatif >80-95%.
j. Kategori C berada pada persen kumulatif >95-100%.

Gambar 4. Contoh Kurva dalam Penerapan Model Sistem Pengendalian


Persediaan ABC

17
Contoh kasus:
Tabel 2. Daftar Nama, Jumlah dan Harga Obat yang Digunakan

Nama Obat Jumlah Unit Harga Unit (Rp)


Amoksisilin kaplet 500 mg 500 28.200
Piridoksin tablet 500 mg 100 17.100
Paracetamol tablet 500 mg 200 49.500
Metampiron tablet 500 mg 100 55.600
Klorokuin tablet 150 mg 50 65.900
Kloramfenikol salep mata 1% 50 1.600
Kalsium laktat tablet 500 mg 30 41.000
Ibuprofen tablet 400 mg 20 19.000
Garam oralit 200 ml 100 8.800
Asam askorbat tablet 50 mg 30 18.700
Tabel 3. Hasil Analisis ABC

No Nama Obat Kemasan Jumlah Harga Total % %Kum Kategori


(Rp) Harga
(Rp)

1 Amoksisilin Botol 500 28.200 14.100.000 37,40 37,40 A


kaplet
2 Paracetamol Botol 200 49.500 9.900.000 26,26 63,66 A
tablet
3 Metampiron Botol 100 55.600 5.560.000 14,75 78,41 A
tablet
4 Klorokuin Botol 50 65.900 3.295.000 8,74 87,15 B
tablet
5 Piridoksin Botol 100 17.100 1.710.000 4,53 91,68 B
tablet
6 Kalsium laktat Botol 30 41.000 1.230.000 3,26 94,94 B
tablet
7 Garam oralit Sachet 100 8.800 888.000 2,35 97,29 C
8 As. askorbat Botol 30 18.700 561.000 1,48 98,77 C
tablet
9 Ibuprofen Kotak 20 19.000 380.000 1,01 99,78 C
tablet
10 Kloramfenikol Tube 50 1.600 80.000 0,22 100,00 C
salep
Total 37.704.000

18
Contoh kasus lain:
Tabel 4. Daftar Nama, Jumlah dan Harga Obat yang Digunakan

Tabel 5. Hasil Analisis ABC

Tabel 6. Pengelompokkan Obat Berdasarkan Hasil Analisis ABC

Masing-masing obat harus menerima perlakuan sesuai dengan


kelasnya:
a. Barang kategori A harus mendapatkan pengendalian persediaan yang
ketat, tempat penyimpanan yang lebih aman dan peramalan penjualan

19
yang lebih baik; pemesanan kembali seharusnya sering dilakukan, dengan
pemesanan kembali mingguan atau bahkan harian; menghindari
persediaan habis pada barang kategori A merupakan suatu prioritas.
b. Barang kategori B memanfaatkan dari status menengah antara A dan C;
aspek penting dari kategori B adalah pemantauan potensi perkembangan
ke arah kategori A atau C.
c. Pemesanan kembali barang kategori C dibuat jarang; kebijakan
persediaan yang khas untuk barang kategori C terdiri atas memiliki hanya
satu unit di tangan, dan memesan kembali hanya ketika pembelian
sebenarnya dilakukan; pendekatan ini mengarah kepada situasi persediaan
habis setelah setiap pembelian yang dapat menjadi situasi yang dapat
diterima, karena barang kategori C menunjukkan permintaan yang rendah
dan risiko yang lebih tinggi berupa biaya persediaan yang terlampau
banyak.
Hasil analisis ABC mempengaruhi peninjauan tingkat persediaan
barang. Barang kategori A umumnya akan memiliki pengaruh yang lebih
besar pada investasi yang sudah diperhitungkan dan pembelian pembelanjaan.
Oleh karena itu, harus dikendalikan secara lebih agresif dalam hal tingkat
persediaan minimum dan maksimum; barang yang tidak aktif akan jatuh ke
bawah daftar prioritas; bagian bawah kategori C merupakan posisi terbaik
untuk memulai ketika melakukan peninjauan periodik.
Batasan antara kategori A dan B mungkin tidak ditetapkan dengan
mencolok. Tujuan dari pengklasifikasian ini adalah untuk memastikan bahwa
staf pembelian menggunakan sumber hingga efisiensi yang maksimum
dengan memusatkan pada barang-barang yang memiliki penghematan
potensial terbesar. Oleh karena itu, pengendalian yang selektif akan lebih
efektif daripada pendekatan yang memperlakukan semua barang secara
identik.

2.10. Model Sistem Pengendalian Persediaan EOQ


Teknik pengendalian persediaan merupakan tindakan atau proses
yang sangat penting dalam menghitung berapa jumlah optimal tingkat

20
persediaan serta kapan saatnya mulai mengadakan pemesanan kembali.
Jumlah yang dipesan hendaknya menghasilkan biaya-biaya yang minimal
dalam persediaan. Untuk itu, dilakukan usaha-usaha untuk memperkecil
biaya-biaya yang merupakan komponen biaya dasar dalam persediaan,
yakni biaya pemesanan (ordering cost) dan biaya penyimpanan (carrying
cost) melalui perhitungan jumlah pemesanan yang ekonomis (economic
order quantity). Model Economic Order Quantity (EOQ) adalah teknik
pengendalian persediaan tertua dan banyak digunakan. Pertama kali
diterapkan oleh Ford W. Harris pada tahun 1915 dan masih digunakan
oleh sebagian besar perusahaan hingga saat ini. EOQ adalah jumlah
pembelian persediaan pada setiap kali pesan dengan biaya yang paling
rendah. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan perbedaan antara
pendapatan dengan biaya yang berkaitan dengan pengelolaan persediaan,
dimana biaya pemesanan dan biaya penyimpanan merupakan biaya yang
signifikan terhadap pengadaan persediaan.
Teknik EOQ dapat digunakan untuk membantu menentukan
persediaan yang efisien. Model EOQ ini tidak hanya menentukan jumlah
pemesanan yang optimal tetapi yang lebih penting lagi adalah menyangkut
aspek finansial dari keputusan-keputusan tentang kuantitas pemesanan
tersebut. Jika perusahaan/layanan kesehatan sudah menghitung kuantitas
pemesanan yang paling optimal atau EOQ, maka selanjutnya haruslah
ditentukan saat pemesanan dari masing-masing item persediaan atau lebih
dikenal dengan istilah ROP (Reorder Point). ROP ialah saat atau titik di
mana harus diadakan pesanan lagi sedemikian rupa sehingga kedatangan
atau penerimaan material yang dipesan adalah tepat pada waktu di mana
persediaan di atas safety stock. Persediaan pengaman atau safety stock
adalah suatu jumlah persediaan minimum yang selalu ada dalam
perusahaan, yang berguna untuk menghindari risiko kehabisan bahan.
Penggunaaan EOQ dan ROP untuk mengetahui berapa jumlah pesanan
yang optimal dan kapan pesanan dilakukan agar tercapai biaya yang
terendah serta proses produksi tidak terhambat akibat kurang atau tidak
adanya persediaan.

21
Model EOQ memiliki beberapa kriteria atau karakteristik di
antaranya:
a. Harga per unit barang bersifat konstan
b. Permintaan atau kebutuhan dalam satu tahun bersifat konstan
c. Pada saat memesan barang, tidak mengalami kehabisan barang atau
stock out
d. Biaya penyimpanan dan biaya pemesanan konstan

Metode EOQ juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya


adalah:
a. Tingkat permintaan diketahui dan bersifat konstan
b. Persediaan pengaman/safety stock tidak diperhitungkan
c. Semua barang harus dihitung EOQ nya satu per satu sehingga
menimbulkan ketidakefisiensian waktu
d. Sistem tersebut hanya menggunakan data yang lampau
e. Perubahan harga tidak diperhitungkan

Penerapan metode EOQ relatif mudah, namun menggunakan


beberapa asumsi, yaitu:
a. Demand atau tingkat permintaan diketahui dan bersifat konstan.
b. Lead time atau waktu tunggu yang diperlukan mulai saat pemesanan
dilakukan sampai barang tiba diketahui dan bersifat konstan.
c. Pesanan diterima sekaligus pada satu waktu tertentu yang sudah
diketahui.
d. Quantity discount tidak dimungkinkan.
e. Variabel cost hanya terdiri dari biaya pemesanan (ordering cost) dan
biaya penyimpanan (holding or carrying cost).
f. Stockouts/shortages atau kekosongan stok dapat dihindarkan jika
pemesanan dilakukan tepat waktu.

22
Gambar 5. Grafik Model Persediaan EOQ
Perumusan metode EOQ didapat dari biaya total karena tujuan
utama dari penggunaan metode EOQ adalah untuk meminimalkan biaya
persediaan total yang mencakup biaya pembelian, biaya simpan bahan
baku, dan biaya pengadaan.
Perhitungan EOQ
a. Economic Order Quantity (EOQ) atau banyaknya jumlah barang yang
harus dipesan

2 × 𝐶𝑜 × 𝑆
𝐸𝑂𝑄 = √
𝐶𝑚 × 𝑈

b. Economic Order Interval atau periode waktu untuk melakukan


pemesanan selanjutnya

2 × 𝐶𝑜
𝐸𝑂𝐼 = √
𝐶𝑚 × 𝑈 × 𝑆

Keterangan:
Co : Cost per Order (sekali pesan)
Cm : Cost of Maintenance dari persediaan dalam setahun
S : Jumlah permintaan setahun
U : Cost per unit

Contoh soal:
Instalasi RS.Manfar menggunakan NaCl 0,9% 1 Liter sejumlah
1200 botol per tahun. Harga perbotolnya Rp 390.000,- Rumah sakit

23
memperkirakan Carryng Cost Interest Rate = 20% dan biaya pemesanan
yaitu Rp 40.000,-/order. Kepala IFRS ingin mengetahui berapa banyak
NaCl 0,9% yang harus dipesan setiap kali pemesanan.
Jawab:

2 × 40000 × 1200 96000000


𝐸𝑂𝑄 = √ =√ = 35,08 ≈ 36 𝑏𝑜𝑡𝑜𝑙
0,2 × 390000 78000

Sehingga kuantitas persediaan yang harus dipesan yaitu 36 botol.

2 × 40000 80000
𝐸𝑂𝐼 = √ =√ = 0,029 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
0,2 × 390000 × 1200 93600000

= 0,35 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 = 10,52 ℎ𝑎𝑟𝑖


Sehingga pemesanan dilakukan setiap 10-11 hari sekali atau satu
bulan 3 kali.

Jenis-Jenis EOQ
a. EOQ dengan stock out
Stock out terjadi apabila jumlah permintaan lebih besar dari
jumlah persediaan yang ada. Hal ini biasanya terjadi karena karena ada
tambahan permintaan dari konsumen. Dalam situasi terjadi kekurangan
persediaan ini, perusahaan akan menghadapi dua kemungkinan yaitu:
1) Membatalkan permintaan
2) Barang yang masih kurang akan dipenuhi kemudian

Sebagian besar perusahaan tidak akan mengambil


kemungkinan pertama karena akan mengurangi citra dari perusahaan
dan akan kehilangan pelanggan. Sehingga perusahaan akan mengambil
keputusan bahwa barang yang tidak dapat dipenuhi saat ini akan
dikirim kemudian. Dengan demikian barang yang masih kurang akan
dipenuhi pada proses produksi selanjutnya. Akan tetapi hal ini
membuat perusahan mengalami biaya tambahan karena melakukan
proses produksi tambahan (set up cost = Sc).

24
Keterangan:
EOQs : Jumlah pemesanan optimal dengan stock out
D : Tingkat permintaan per waktu perencanaan
P : Biaya setiap kali memesan
S : Biaya penyimpanan per waktu perencanaan
Cs : Biaya tambahan untuk satu putaran produksi

b. EOQ dengan safety stock


Kapasitas lebih terjadi karena persediaan yang ada tidak
seluruhnya terserap pasar sehingga penumpukan persediaan di dalam
gudang. Hal ini terjadi karena jumlah persediaan (Ps) lebih dari jumlah
permintaan (D).
Perumusan jumlah pemesanan yang paling optimal dengan
adanya kapasitas lebih sebagai berikut:

Keterangan :
EOQ1 : Jumlah perencaan optimal dengan safety stock
D : Tingkat permintaan per waktu perencaan
P : Biaya setiap kali memesan
S : Biaya penyimpanan per waktu perencanaan
Ps : Jumlah persediaan

2.11. Model Sistem Pengendalian Persediaan VEN


Sistem VEN merupakan suatu sistem dalam pengelolaan obat
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat yang terbatas dengan
cara mengelompokkan obat yang didasarkan kepada dampak tiap jenis
obat terhadap kesehatan pasien. Semua jenis obat yang tercantum dalam
daftar obat dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut, yaitu:
a. Kelompok V (Vital) : Kelompok obat yang vital yaitu obat yang harus
ada yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan. Obat-obatan
yang termasuk dalam kelompok ini antara lain obat penyelamat (life

25
saving drugs), obat untuk pelayanan kesehatan pokok (vaksin, dll), dan
obat untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian terbesar.
b. Kelompok E (Essential) : Kelompok obat yang terbukti efektif untuk
menyembuhkan penyakit tapi tidak vital. Obat-obatan ini bekerja
secara kausal, yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit.
c. Kelompok N (Non-Essential) : Merupakan obat penunjang yaitu obat
yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan
kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan. Kelompok obat
non-essensial meliputi berbagai macam obat yang digunakan untuk
penyakit yang dapat sembuh sendiri, obat yang diragukan manfaatnya
dibanding obat lain yang sejenis.

Penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan untuk:


a. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang
tersedia. Obat-obatan yang perlu ditambah atau dikurangi dapat
didasarkan atas pengelompokan obat menurut VEN.
b. Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V
agar diusahakan tidak terjadi kekosongan obat. Untuk menyusun daftar
VEN perlu ditentukan lebih dahulu kriteria penentuan VEN. Kriteria
sebaiknya disusun oleh suatu tim. Dalam menentukan kriteria perlu
dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan masing-masing wilayah.
Kriteria yang disusun dapat mencakup berbagai aspek antara lain:
aspek klinis, konsumsi, target kondisi, dan biaya.

Berikut ini terdapat tabel yang memaparkan contoh obat-obatan


yang diklasifikasikan berdasarkan sistem VEN.
Tabel 7. Contoh Obat-Obatan Berdasarkan Sistem VEN

26
Langkah-langkah dalam menentukan sistem VEN:
a. Menyusun kriteria dalam menentukan VEN.
b. Menyediakan data pola penyakit.
c. Merujuk pada pedoman pengobatan.
d. Pemantauan status pasien dilakukan berdasarkan sistem VEN dengan
memperhatikan nama obat, satuan kemasan, jumlah obat diadakan,
obat yang sudah dan belum diterima.

Berikut ini terdapat pedoman sampel untuk menentukan kategori


sistem VEN.
Tabel 8. Pedoman Sampel Untuk Menentukan Kategori Sistem VEN

27
2.12. Model Sistem Pengendalian Persediaan JIT
Just In Time atau sering disingkat dengan JIT adalah suatu sistem
produksi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tepat
pada waktunya sesuai dengan jumlah yang dikehendakinya.Tujuan sistem
produksi Just In Time (JIT) adalah untuk menghindari terjadinya
kelebihan kuantitas/jumlah dalam produksi (overproduction), persediaan
yang berlebihan (excess Inventory) dan juga pemborosan dalam waktu
penungguan (waiting).
Istilah “Just In Time” jika diterjemahkan langsung ke dalam
bahasa Indonesia adalah Tepat Waktu, jadi Sistem Produksi Just In Time
atau JIT ini dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan Sistem
Produksi Tepat Waktu. Tepat Waktu disini berarti semua persedian bahan
baku yang akan diolah menjadi barang jadi harus tiba tepat waktunya
dengan jumlah yang tepat juga. Semua barang jadi juga harus siap
diproduksi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan oleh pelanggan pada
waktu yang tepat pula. Dengan demikian Stock Level atau tingkat
persedian bahan baku, bahan pendukung, komponen, bahan semi jadi
(WIP atau Work In Progress) dan juga barang jadi akan dijaga pada
tingkat atau jumlah yang paling minimum. Hal ini dapat membantu
perusahaan dalam mengoptimalkan Cash Flow dan menghindari biaya-
biaya yang akan terjadi akibat kelebihan bahan baku dan barang jadi.
Tujuan utama dari JIT adalah menghilangkan pemborosan dan
konsisten dalam meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu penggunaan

28
istilah JIT seringkali diartikan dengan “zero inventories”. JIT pada
dasarnya berusaha menghilangkan semua biaya (pemborosan) yang tidak
memberikan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan. Untuk
mencapai tujuan JIT tersebut, diperlukan asumsi sebagai berikut: 1.
Ukuran lot kecil, 2. Konsistensi kualitas tinggi, 3. Pekerja dapat
diandalkan, 4. Persediaan menjadi minimum atau sebisa mungkin menjadi
nol, 5. Mesin dapat diandalkan, 6. Rencana produksi stabil, 7. Kepastian
jadwal operasi, 8. Keseragaman komitmen dan pandangan antara
manajemen perusahaan dan karyawan, di mana memiliki komitmen yang
tinggi terhadap penerapan JIT yang dilakukan di perusahaan.
Dalam menjalankan sistem produksi Just In Time atau sistem
produksi JIT ini, diperlukan ketelitian dalam merencanakan jadwal-jadwal
produksi mulai jadwal pembelian bahan produksi, jadwal penerimaan
bahan produksi, jadwal jalannya produksi, jadwal kesiapan produk hingga
ke jadwal pengiriman barang jadi. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan
manufakturing modern saat ini menggunakan berbagai perangkat lunak
(Software) yang canggih dalam merencanakan jadwal produksi yang
didalamnya juga termasuk mengeluarkan pesanan pembelian (purchase
order) dan pengendalian jumlah persedian (Inventory). Software Produksi
tersebut juga dapat melakukan penukaran informasi mulai dari Pemasok
(vendor) hingga ke Pelanggan (Customer) melalui Electronic Data
Interchange (EDI) untuk memastikan kebenaran sampai ke data-data yang
paling rinci (detail).
Kelebihan Sistem Produksi Just In Time (JIT):
a. Tingkat Persediaan atau Stock Level yang rendah sehingga
menghemat tempat penyimpanan dan biaya-biaya terkait seperti biaya
sewa tempat dan biaya asuransi.
b. Bahan-bahan produksi hanya diperoleh saat diperlukan saja sehingga
hanya memerlukan modal kerja yang rendah.
c. Dengan Tingkat persedian yang rendah, kemungkinan terjadinya
pemborosan akibat produk yang ketinggalan zaman, lewat kadaluarsa
dan rusak atau usang akan menjadi semakin rendah.

29
d. Menghindari penumpukan produk jadi yang tidak terjual akibat
perubahan mendadak dalam permintaan.
e. Memerlukan penekanan pada kualitas bahan-bahan produksi yang
dipasok oleh Supplier (Pemasok) sehingga dapat mengurangi waktu
pemeriksaan dan pengerjaan ulang.

Kelemahan sistem produksi Just In Time (JIT)


a. Sistem Produksi Just In Time tidak memiliki toleransi terhadap
kesalahan atau “Zero Tolerance for mistakes” sehingga akan sangat
sulit untuk melakukan perbaikan/pengerjaan ulang pada bahan-bahan
produksi ataupun produk jadi yang mengalami kecacatan. Hal ini
dikarenakan tingkat persediaan bahan-bahan produksi dan produk jadi
yang sangat minimum.
b. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemasok baik dalam
kualitas maupun ketepatan pengiriman yang pada umumnya diluar
lingkup perusahaan manufakturing yang bersangkutan. Keterlambatan
pengiriman oleh satu pemasok akan mengakibatkan terhambatnya
semua jadwal produksi yang telah direncanakan.
c. Biaya Transaksi akan relatif tinggi akibat frekuensi Transaksi yang
tinggi.
d. Perusahaan Manufaktring yang bersangkutan akan sulit untuk
memenuhi permintaan yang mendadak tinggi karena pada
kenyataannya tidak ada produk jadi yang lebih.
Banyak Perusahaan Manufaktur yang menerapkan sistem produksi
Just In Time ini menikmati keuntungan yang signifikan, namun
keberhasilan Sistem Produksi Just In Time sangat tergantung pada
komitmen seluruh karyawan perusahaan mulai dari level yang terendah
hingga pada level yang tertinggi.

2.13. Model Sistem Pengendalian Persediaan Kombinasi ABC dan VEN


Meskipun metode ABC dan VEN sudah dapat diterapkan dengan
baik, akan tetapi metode tersebut masih memiliki kekurangan. Pada
metode ABC, hanya berdasarkan nilai harga dari barang dan jumlah

30
konsumsinya saja. Padahal di rumah sakit sebuah barang yang memiliki
nilai harga dan konsumsi rendah mungkin saja menjadi barang paling
vital. Selain itu, pada metode VEN kekurangannya adalah sulit dalam
pengalokasian dana, terlebih lagi jika dana yang dimiliki hanya sedikit.
Oleh karena itu, diperlukan metode kombinasi antara keduanya.
Metode Kombinasi ABC dan VEN
Jenis obat yang termasuk kategori A (dalam analisis ABC) adalah
benar-benar yangdiperlukan untuk menanggulangi penyakit terbanyak dan
obat tersebut statusnya V (dari analisa VEN). Sebaliknya jenis obat
dengan status N harusnya masuk dalam kategori C.

Mekanismenya adalah sebagai berikut:


a. Obat yang masuk kategori NC menjadi prioritas pertama untuk
dikurangi ataudihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih
kurang, maka obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya dan obat
yang masuk kategori NA menjadi prioritas berikutnya. Jika setelah
dilakukan dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih juga
kurang lakukan langkah selanjutnya.
b. Pendekatan sama dengan pada saat pengurangan obat pada kriteria
NC, NB, NA dimulai dengan pengurangan obat kategori EC, EB dan
EA (Maimun, 2008).

Pada kombinasi akan membuat 9 kategori yaitu AV,AE, AN, BV,


BE, BN, CV,CE, CN, kemudian akan di kelompokan lagi menjadi 3
kelompok.
a. Kelompok prioritas
1) Stok harus selalu ada dan tidak ada toleransi kekosongan
2) Harus diadakan tanpa memperdulikan sumber anggaran
3) Pada analisis ABC dsan VEN termasuk ke dalam kelompok AV,
BV, dan CV
b. Kelompok utama
1) Stok harus adan dan toleransi kekosongan 48 jam
2) Dialokasikan pengadaannya dari sumber dana tertentu

31
3) Pada analisis ABC dan VEN, termasuk ke dalam kelompok AE,
BE, dan CE
c. Kelompok tambahan
1) Stok tidak harus ada dan kekosongan boleh lebih dari 48 jam
2) Dialokasikan pengadaannya setelah obat prioritas dan utama
terpenuhi
3) Pada analisis ABC dan VEN, termasuk ke dalam kelompok AN,
BN, dan CN

32
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem satu pintu merupakan kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan untuk
mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dalam sistem ini juga terdapat pengendalian persediaan yang memiliki
beberapa jenis yakni model sistem pengendalian ABC, model sistem
pengendalian EOQ, model sistem pengendalian VEN, model sistem
pengendalian JIT, dan model sistem pengendalian kombinasi ABC dan VEN.
Model sistem pengendalian ini banyak digunakan di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu adanya kritik dan saran dari seluruh pihak sangat diharapkan
untuk makalah ini. Sebaiknya dalam pembuatan makalah selanjutnya, materi
yang ada lebih diperbanyak dan juga mengambil dari banyak sumber dapat
dipertanggungjawabkan agar dapat memperluas pembahasan mengenai
pengendalian persediaan farmasi dan pengelolaan farmasi menjadi satu pintu.

33
DAFTAR PUSTAKA
Bab II Landasan Teori. [Online]. Diakses 5 November 2018, dari:
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5585/3/T1_162010029_B
AB%20II.pdf.
Dewanty, Mega. (2012). Pengendalian Persediaan Obat Generik Melalui Analisis
ABC Indeks Kritis di Seksi Logistik Perbekalan Kesehatan Rumah Sakit
Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2012. Skripsi. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Peminatan Manajemen Rumah Sakit.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
RI dan Japan International Cooperation Agency. (2008). Pedoman
Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit halaman 27. Jakarta:
JICA.
Khuriyati, Layla Izzatul. 2015. Pengendalian PErsediaan Obat Kemoterapi
Melalui Pendekatan Analisis ABC Indeks Kritis di Ruang Pencampuran
Instalasi Farmasi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015.
Universitas Indonesia
lsa Ria, R. (2012). Analisis Pengadaan Barang Umum Dengan Metode EOQ Pada
Bagian Logistik Rumah Sakit Pertamina Jaya. Diakses dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20314019-S_Ruth%20Elsa%20Ria.pdf
Maimun, Ali. 2008. Perencanaan Obat Antibiotik Berdasarkan Kombinasi Metode
Konsumsi dengan Analisis ABC dan Reorder Point terhadap Nilai
Persediaan dan Turn Over Ratio Di Instalasi Farmasi RS Darul Istiqomah
Kaliwungu Kendal (Tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Organisasi dan Tata
Kerja Kementrian Kesehatan.
Quick, JD., Rankin, Dias, Vimal. (2012). Inventory and Management in
Managing Drug Supply. Third Edition, Managing access to medicines and
health technologies Chapter 23. Arlington: Management Scienc es for
Health.

34
Setiawan, Ari. (2014). Analisis Perbandingan Metode Perusahaan, Economic
Order Quantity dan Period Order Quantity dalam Mengoptimalisasi
Pengendalian Persediaan Bahan Baku. [Online]. Diakses 5 November
2018, dari:
http://repository.upi.edu/6299/6/S_MTK_0900409_Chapter3.pdf
Suciati, S. dan Wiku B. B. Adisasmito. 2006. Analisi Perencanaan Obat
Berdasarkan ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi. Universitas
Indonesia. Jakarta
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 15 ayat (3)
Utari, A. (2015). Cara Pengendalian Persediaan Obat Paten dengan Metode
Analisis ABC, Metode Economic Order Quantity (EOQ), Buffer Stock
dan Reorder Point (ROP) di Unit Gudang Farmasi RS Zahirah Tahun
2014. Jurnal Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah.
https://doi.org/10.1074/jbc.M107233200
Warisman, R., Sudjana, N., Ilmu, J., Bisnis, A., Administrasi, F. I., Brawijaya, U.,
Bahan P. (2011). PENGGUNAAN TEKNIK EOQ (Economic Order
Quantity) dan ROP (Repeat Orde ), 5(1).

35

Anda mungkin juga menyukai