PENDAHULUAN
Biofarmasetik Page 1
Obat yang diberikan lewat rectum dapat ditujukan untuk pengobatan local
(misalnya : wasir, radang rectum, konstipasi) maupun untuk aktivitas
sistemik bila cara lain sulit dilakukan, misalnya :
- Penderita dalam keadaan muntah atau terdapat gangguan saluran cerna.
- Bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam
atau oleh enzim usus.
- Bila zat aktif mengalami kerusakan pada pelintasan pertama melalui hati.
- Bila penderita menolak untuk menelan obat dengan alas an karakter
organoleptis sediaan yang tidak menyenangkan atau karena resiko iritasi
lambung atau untuk menghindari cara pemberian parenteral.
Penggunaan lewat rektum mempunyai beberapa kekurangan, yaitu :
- Awal aktivitas terapetik lebih sering lambat dibandingkan cara
pemberian lainnya.
- Jumlah zat total zat aktif yang diserap kadang-kadang lebih kecil
dibandingkan cara pemberian lainnya.
Bentuk sediaan yang diberikan dengan cara ini terutama berupa supositoria,
laveman, dapar rectum dan kapsul rektum.
Biofarmasetik Page 2
BAB II
ISI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum
2.2.1 Bentuk dan Ukuran
Rektum adalah bagian akhir saluran cerna yang terdiri atas dua
bagian yaitu bagian superior yang cembung dan bagian inferior yang
cekung.
Bagian pelvinal melebar membentuk ampula recti yang berfungsi
untuk menampung feses.
Panjang total rectum pada wanita dewasa rata-rata 15-19 cm, 12-
14 cm bagian pelvinal dan 5-6 cm bagian perineal.
Anus sebagai bagian akhir rectum didukung oleh otot gelang (musculus
sphincterani) di bagian dalam dan luar.
2.2.2 Struktur Anatomi
Struktur anatomi rectum berbeda dari kolon, walau tidak ada
batas yang pasti kedua organ tersebut.
Terdapat empat lapisan rectum, dari arah luar ke dalam berurutan
:
lapisan serosa pertional (tunica serosa peritonealis)
lapisan otot (tunica muscularis) dengan lapisan luar serabut yang
memanjang dan bagian dalam serabut yang melingkar.
Lapisan bawah mukosa (tunica sub mucosa) atau celluleuse yang
mengandung plexus vena haemorhaidales.
Lapisan mukosa (tunica mucosa) yang pada bagian-bagian tetentu
menunjukan sifat umum usus besar.
Pada permukaan bagian dalam rectum kosong ditemukan lipatan
mukosa yang longitudinal dan lipatan ini menghilang bila usus
meregang. Rektum pelvinal mempunyai lipatan permanen setengah
bulat yang merupakan valvula rectum (disebut juga valvula dari
HOUSTON) dan membentuk lipatan transversal. Mukosa ini terdiri
dari lapisan sederhana sel-sel epitel silindrik dan tidak mempunyai
jojot usus (kebalikan dari usus).
Biofarmasetik Page 3
Bagian perineal rectum mempunyai kanal dan kutub Morgani,
yang membentuk tonjolan longitudinal seperti sarang burung. Dengan
bertambahnya umur maka rektum mengalami perubahan zat yaitu
adanya pigmen dan ketebalan akibat adanya jaringan penghubung atau
karena atropi.
Biofarmasetik Page 4
2.2.4 Persarafan
Persarafan rectum terdiri dari :
- Anyaman haemorrhoidales bagian atas (plexus haemorrhoidales
superior)
- Anyaman haemorrhaidales yang keluar dari plexus hipogastricum
- Saraf haemorrhidales atau saraf anus yang merupakan cabang dari
plexus sacralis.
2.2.6 Cara Transpor Zat Aktif dalam Tubuh Setelah Pemberian dan
Penyerapan Melalui Rektum
Biofarmasetik Page 5
Ravaud juga berpendapat bahwa faktor anatomik dapat
menjelaskan mengapa zat aktif tertentu yang dirusak oleh hati menjadi
lebih aktif bila diberikan lewat rektal dibandingkan pemberian per oral.
Biofarmasetik Page 6
Beberapa tahun kemudian, tahun 1948 Bucher meneliti efek
supositoria yang mengandung natrium folat berlabel pada tikus
menyatakan bahwa tergantung pada posisi supositoria dalam rectum,
ternyata 75 % zat aktif berada diperedaran darah umum dan 25 %
dalam vena porta atau 50 % dalam keduanya. Hal tersebut
membuktikan bahwa sawar hati tidak sepenuhnya dihindari.
Tahun 1951, Canals mempelajari penyerapan kalsium radioaktif
melalui rectal, dan ternyata ditemukan adanya radioaktif yang tertukar
di dalam vena porta beberapa saat setelah pemberian supositoria
berlabel.
Pada masa yang sama Quevauviller dan Jund mempelajari
keadaan rectum secara terperinci setelah pemberian supositoria
berlabel pada manusia. Dari klise radiografik ditemukan bahwa
supositoria akan selalu naik 5-6 cm di atas anus ( hal ini tergantung
pada zat pembawa, missal minyak coklat (oleum cacao) atau emulsi air
dalam minyak). Data yang sama juga diperoleh dari daerah yang diluar
aliran vena haemorrhoidales inferior yaitu daerah anal. penyerapan
dimulai dari vena haemorrhoidales, terutama vena haemorrhoidales
superior menuju vena porta melalui vena mesentricum inferior.
Gambaran ini ternyata lebih rumit karena adanya anastomosis antara
vena haemorrhoidales bagian bawah dan atas. Jadi sebagian darah dari
vena haemorrhoidales melewati vena porta.
Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu
melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra.
Menurut Fabre dan Regnier, pengaruh tersebut hanya berlaku untuk
obat-obat larut lemak.
Selain itu perlu dicatat bahwa umumnya rectum selalu kosong,
kecuali saat defikasi.
Adanya sejumlah feses di luar saat defikasi kadang-kadang tidak
dapat diabaikan, karena telah dibuktikan bahwa pemberian lavement
pembersih sebelum pemberian obat oral per rektum dapat memperbaiki
penyerapan. Selain feses, selain feses di rectum terdapat senyawa lain,
Biofarmasetik Page 7
tetapi dalam jumlah kecil, ampula recti mengandung sedikit air (sekitar
2 ml) dan senyawa kental sejenis “mucin”.
Derajat keasaman pH cairan rectum juga menjadi objek penelitian
yang hasilnya kadang saling bertentangan. Peneliti tertentu menyatakan
bahwa pH rectum mirip pH usus besar yaitu 6,8, sedangkan peneliti
lain berpendapat sekitar 5,4. Namun dengan pengukuran diteliti dapat
dibuktikan bahwa cairan rectum bersifat netral yaitu 7,2-7,4.
Kemampuan pendaparan cairan rectum tidak bermakna,
tergantung pada sifat senyawa yang ada di dalamnya.
Jadi mukosa rectum dalam keadaan tertentu bersifat permeable
sempurna. Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari
penyerapan bukal dan hal ini membuktikan bahwa posologi harus
bersifat individu (missal pada pemberian tetrasiklin, bensil
penisilin,paracetamol, insulin,trevintik). Selain itu penyerapan
tergantung pada derajat pengosongan saluran cerna, jadi tidak dapat
diberlakukan hal yang umum. Bahkan beberapa obat tertentu tidak
diserap oleh mukosa rectum (penislin, vitamin B12).
Kelebihan cairan rektum dibandingkan cara bukal menurut
Ravaud hanya berlaku pada senyawa tertentu, karena dalam hal ini
sawar hepatik masih berperan penting. vena haemorrhoidales .
rektum
Biofarmasetik Page 8
Supositoria kadang-kadang diganti dengan kapsul rektum yang terdiri
atas cangkang dari gelatin lunak dan diisi dengan zat pasta. Evaluasi
biofarmasetik supositoria tergantung pada :
Pemahaman anatomi rectum dan cara penyebaran zat aktif dalam organ
tubuh dari rektum, dibagi atas tiga kelompok yaitu :
Biofarmasetik Page 9
b. Supositoria berefek setempat
Formula supositoria anti wasir sangat banyak dan sebagian besar sangat
spesifik .kedalam basis supositoria yang sangat beragam kadang-kadang
ditambahkan senyawa peringkaspori, baik dengan cara penyempitan maupun
hemostatik, seperti senyawa hamamelidis atau buah sarangan dari india,
adrenalin aataupun antiseptic seperti jodoform. Pemakaian setempat juga
berlaku untuk supositoria betanaftol yang digunakan sebagai obat cacing.
1. Supositori anutritif
2. Supositoria obat
Biofarmasetik Page 10
2. supositoria obat
kinetika pre-disposisizataktif
Biofarmasetik Page 11
Keseluruhan proses kinetik yang berurutan tersebut tidak dapat saling
dipisahkan dan terdapat sejumlah factor yang berpengaruh pada berbagai
tahap tersebut.
a. Penghancuran sediaan
b. Pemindahan dan pelarutan zat aktif kedalam cairan rektum, diikuti difusi
menuju membran yang akan di bacanya (untuk efek setempat) atau
berdifusi melintasi membran agar dapat mencapai sistemperedaran darah
(efek sistemik).
a. Penghancuran sediaan
Kepentingan tahap ini di tunjuk kan terutama pada pemberian lavement
yang mengandung larutan zat aktif yang menimbulkan efek farmakologik
jauh lebih cepat dari pemberiaan supositoria yang mengandung zat aktif
yang sama.
Proses penghancuran sediaan merupakan fungsi dari basisnya.bila
basisnya melebur dalam rektm maka suhu leburnya merupakan factor
penentu,seperti diketahui suhu rectum adalah sekitar 37oc.
Beberapa peneliti menggambarkan keseluruhan fenomena tersebut
(peleburan dan pencairan masa) dalam istilah “jarak peleburan” yang
merupakan rentang suhu awal peleburan hingga suhu penjernihan.
Jadi tergantung pada zat pembawa yang digunakan, setelah proses
peeburan atau pelarutan maka masa yang kental akan melapisi
permukaan mukosa. Dari lapisan ini lahzat aktif akan berpindah kecairan
Biofarmasetik Page 12
rektum.Sifat cairan tersebut sangat bergantung kepada sifat fisika zat
pembawa :
a. Konsistensi : masa yang keras lebih sulit pecah dibandingkan
masa yang agak lunak seperti kapsul rectum atau gelatin
lunak, yang dapat menyebabkan pelepasan yang lebihcepat.
b. Kekentalan setela peleburan :dengan menggunakan
parasetamol sebagai perunut, moes membuktikan bahwa laju
pelepasan zat aktif dari supositoria lebih lambat bila
kekentalan zat yang melebur lebih tinggi.
c. Kemampuan pecah : zat pembawa yang kental akan
menyulitkan pemecahan dan pembentukan lapisan dari
sebagian permukaan yang kontak dengan mukosa akan
memperlambat pelepasan , termasuk semua keadaan yang
mempengaruhi kontak tersebut.
Biofarmasetik Page 13
paling penting. Dari semua pembawa, pelepasan yang paling lambat terjadi
dari pembawa lemak.
Sebaliknya, penggunaan supositoria dengan zat aktif teremulsi
tampaknya tidak memperbaiki pelepasan zat aktif, karena zat aktif tersebut
terlarut dalam butiran air yang teremulsi dalam fase lemak.
Pengurangan laju pemindahan zat aktif dapat juga terjadi bila
supositoria mengandung zat aktif larut-air yang disuspensikan dalam zat
berlemak dengan indeks hidroksil yang tinggi. Pada kontak dengan cairan
rektum, adanya zat mono atau digliserida dalam pembawa akan
mempermudah proses pengemulsian sebagian cairan rektum didalam leburan
pembawa lemak. Cairan tersebut selanjutnya akan melarutkan zat aktif dalam
tetesan (dalam bentuk larutan jenuh), yang teremulsi dalam leburan pembawa
dan membatasi perpindahan zat aktif. Indeks hidroksil zat pembawa tidak
berperan bila nilainya lebih kecil dari 50.
2) Kelarutan zat aktif
Bila zat aktif sangat larut-lemak dan dalam dosis kecil maka kecil pula
untuk menembus cairan rektum yang sedikit. Sebaliknya, jika zat aktif yang
larut-lemak tetapi konsentrasinya mendekati jenuh akan menembus cairan
rektum dengan mudah.
3) Koefisien partisi zat aktif dalam fase lemak dan cairan rektum
Zat aktif larut-lemak mula-mula akan terlarut dalam basis supositoria
sebelum melewati permukaan film-cair dengan berbagai mekanisme difusi
sederhana.
Zat aktif yang larut air harus dapat mencapai permukaan film cairan
dengan berbagai mekanisme transpor, misalnya dengan pengendapan. Setelah
mencapai permukaan tersebut, zat aktif selanjutnya akan dibasahi oleh fase
air dan lepas dari basis dengan proses pelarutan. Bila senyawa semakin larut
maka pencapaian permukaan tersebut semakin cepat.
Koefisien partisi zat aktif diantara basis berlemak dan cairan rektum
lebih besar dibandingkan koefisien partisi zat aktif dalam fase lemak dan air,
karena terlebih dahulu terjadi keseimbangan antara dua kelarutan.
Biofarmasetik Page 14
4) Ukuran partikel zat aktif
Dalam sediaan supositoria tidak dianjurkan menggunakan partikel yang
berukuran terlalu kecil karena dapat menyebabkan peningkatan kekentalan
dari massa yang melebur dan selanjutnya akan menghambat tahap lanjutan.
Kristal yang kecil dapat terpapar lebih baik, larut lebih cepat dalam
cairan rektum dan segera dapat meninggalkan fase lemak. Sedangkan partikel
besar akan mengendap lebih cepat dan segara kontak dengan mukosa. Bila zat
aktif telah terlarut maka selanjutnya akan menembus membran biologik dan
mencapai peredaran darah atau tinggal dan memberikan efek setempat.
Biofarmasetik Page 15
dengan pH pembawa yang digunakan pada pembuatan supositoria,
sehingga dapat meningkatkan penyerapan sejumlah zat aktif.
4) Konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum
Mekanisme perlintasan membran terutama terjadi secara difusi
pasif, laju perpindahan secara langsung tergantung pada konsentrasi zat
aktif dalam cairan rektum, semakin tinggi konsentrasi maka semakin
cepat laju penyerapan. Oleh sebab itulah maka senyawa organik
tertentu (seperti garam natrium tolbutamida, barbiturat, asam salisilat)
diserap lebih cepat dari bentuk asam yang bersangkutan. Penyerapan
zat aktif dalam dosis kecil lebih sempurna dibandingkan dosis besar
yang memungkinkan penyerapan diperlama.
Konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum merupakan fungsi dari
kelarutan dan laju pelarutan zat aktif dalam cairan tersebut. Kelarutan
itu sendiri tergantung pada sifat zat aktif (garam, ukuran kristal, bentuk
kristal dan lain-lain) dan kelarutan tersebut dapat diubah dengan
mengubah tetapan dielektrik cairan atau dosis (parasetamol, PEG) asal
tidak melewati batas tertentu karena bila tidak akan terjadi penurunan
penyerapan.
Perlu diperhatikan pula kemungkinan pembentukan kompleks
antara zat aktif dengan zat pembawa yang dapat menghambat terjadinya
penyerapan dan hal itu sesungguhnya merupakan ketidakcampuran
obat.
Penyerapan zat aktif dari supositoria tidak segera terjadi dan
aktivitas farmakologinya sering menampakkan sedikit penyimpangan
waktu dibandingkan dengan pemberian cara oral. Jumlah keseluruhan
zat aktif yang diserap dari suatu supositoria dapat dihitung menurut cara
Ritschel dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh
Higuchi untuk bentuk salep.
Bila zat aktif larut dalam zat pembawa
Jumlah Q zat aktif yang diserap setiap satuan luas permukaan
dihitung menurut persamaan sebagai berikut :
Biofarmasetik Page 16
h = Tebal lapisan leburan supositoria yang menutupi mukosa
C0 = Konsentrasi zat aktif yang terlarut dalam pembawa (g.cm-3)
D = Koefisien difusi zat aktif dalam pembawa (cm2.s-1)
t = Waktu setelah pemakaian supositoria (detik)
R = 200 √D . t
π . h2
Biofarmasetik Page 17
4) Tidak ada interaksi antara pembawa yang melebur dan mukosa
5) Zat aktif yang dilepaskan pada permukaan leburan pembawa-
mukosa diserap dengan cepat oleh mukosa
6) Jarak rata-rata antara partikel yang tersuspensi kecil
Biofarmasetik Page 18
EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI ZAT AKTIF YANG TERDAPAT
DALAM SEDIAAN SUPOSITORIA
Biofarmasetik Page 19
1. Ketersediaan obat
Sangat mungkin terjadi bahwa zat aktif yang diserap dengan baik pada
pemberian per-oral tetapi tidak diserap pada pemberian per-rektum dengan
alasan sebagai berikut:
b. Zat aktif diserap dengan mekanisme khusus (transpor aktif atau difusi
sederhana), sedangkan didalam rektum hanya ada transpor pasif.
Sedangkan untuk zat aktif yang tidak dapat diserap disaluran cerna,
baik karena dirusak oleh enzim proteolitik atau asam lambung yang kuat,
maka zat aktif tersebut mungkin diserap dengan mudah oleh mukosa
rektum.
Biofarmasetik Page 20
Studi penyerapan rektum dapat dikelompokkan atas 2 bagian yaitu:
Biofarmasetik Page 21
dibuat suspensi yang diberikan per-rektum. Sedangkan pemberian intravena
dapat diganti dengan intramuskular, ataupun per-oral yang diperlukan
sebagai cara pemberian pembanding (juga dapat menyebabkan toksisitas zat
aktif seperti bila yang diberikan secara intravena).
Pada penelitian ini lebih disukai menggunakan larutan dalam air untuk
mencegah pengaruh bahan pembawa terhadap proses penyerapan, selain itu
konsistensi larutan sebaiknya ditingkatkan untuk menghindari masuknya
obat ke dalam kolon dalam jumlah banyak, serta menjaga selama mungki
sediaan berada direktum dengan mencegah terjadinya refleks defikasi yang
disebabkan oleh cairan tersebut. Selain itu perlu dihindari penggunaan
sediaan gel yang rapuh, yang dapat menghambat proses pelepasan zat aktif.
Bila mungkin, zat aktif dibuat terlarut dan dalam keadaan kurang
terdiosiasi sehingga lebih larut-lemak, serta didapar pada pH yang sesuai.
Seperti pada sebagian besar zat aktif, bentuk yang paling larut dari zat aktif,
walaupun terdisosiasi, dapat lebih baik diserap dari pada bentuk yang tidak
larut. Mungkin pula tidak ada perbedaan bermakna antara kedua bentuk
tersebut, misalnya yang ditujukan oleh atropin (atau bentuk sulfatnya),
bentuk tak terdisosiasi yang sukar larut diserap dengan baik daripada bentuk
yang larut terdisosiasi. Oleh sebab itu dianjurkan agar mengulangi
percobaan untuk semua bentuk sediaan yang memungkinkan.
Dosis zat aktif yang diberikan per-rektum, pada tahap awal percobaan
paling tidak sama dengan dosis per-oral atau perinjeksi intravena. Jumlah
total cairan yang diberikan agak berbeda : 5 ml untuk manusia dan 3 ml
untuk hewan percobaan (kelinci atau anjing).
Biofarmasetik Page 22
2. 2-3 hari sebelum percobaan subyek hewan harus diit karbohidrat, selain
itu liang anal selama waktu percobaan harus disumbat. Dengan
perbandingan dan penilaian statistik data yang diperoleh dari dua seri
percobaan (per-rektum dan intravena atau per-oral) maka ketersediaan
hayati absolut zat aktif dapat diramalkan.
Bila data yang diperoleh belum cukup, percobaan dapat diulang dengan
beberapa cara, misalnya:
3. Memastikan adanya hubungan antara kadar obat dalam darah dan efek
farmakologik atau efek terapetik, bila tidak maka semua pekerjaan akan
sia-sia.
Bila ketersediaan hayati absolut zat aktif telah ditetapkan, maka langkah
selanjutnya adalah pelaksanaan pembuatan supositoria yang baik dan benar.
Dalam bagian ini akan dibahas pemilihan zat pembawa dan zat tambahan
yang paling baik untuk membuat sediaan yang telah ditetapkan.
Biofarmasetik Page 23
3.3.2.1 Evaluasi ketersediaanhayati relatif suatu zat aktif
Tentunya harus dihindari waktu laten yang lama, karean waktu laten
yang lama berarti pelepasan zat aktif terlalu lama, sehingga kemungkinan
terjadi penolakn supositoria yang tidak dapat diabaikan dan harus diteliti.
Penelitian terakhir dari Gobaldi menetapkan ketersediaanhayati supositoria
aspirin terhadap waktu retensi sediaan pada subyek percobaan. Jadi evaluasi
ketersediaanhayati relatif harus dikerjakan bersamaan dengan studi toleransi
setempat dari formula yang kadang-kadang menimbulkan banyak masalah.
Bila studi kurva kadar obat dalam darah tidak memungkinkan, maka
percobaan dapat dialihkan pada penentuan pengeluaran lewat air kemih,
atau pengukuran efek farmakologik atau malahan menentukan kadar zat
aktif yang tersedia direktum dibandingkan dengan kadar awal pemberian
dan studi zat aktif yang dapat diserap.
Biofarmasetik Page 24
2. Harus dihindari pemakaian hewan yang dibius, karena umumnya
pembiusan disertai dengan suatu perubahan suhu rektum.
1. Zat aktif lart air, lebih disukai menggunakan basis berlemak dengan
suhu lebur kecil dari suhu rektum.
2. Zat aktif sukar larut, maka sebaiknya digunakan dalam partikel halus
atau dengan mengubha pH cairan rektum atau mengubah tetapan
dielektrik bahan pembawa.
3. Zat aktif dalam bentuk cairan dan dapat melarutkan pembawa, maka
harus dipilih pembawa yang mempunyai konsistensi (untuk pembawa
larut air) atau suhu lebur (untuk pembawa lemak) yang lebih tinggi dari
zat aktif tersebut.
Biofarmasetik Page 25
5. Bila terdapat senyawa hidrofil atau berair atau hidrogliserin, maka
sebaiknya dipilih pembawa dengan konsistensi yang dapat diemulsikan
dengan cepat.
a. Bahan pengental
b. Surfaktan
Biofarmasetik Page 26
Dapat memberikan penampakan supositoria yang baik atau
memudahkan pelepasan dan penyerapan zat aktif. Sejumlah penelitian telah
dilakukan walau dilaksanakan dengna cara yang berbeda dan dengan
berbagai zat aktif dan kadang-kadang berbagai tipe muatan ion (anionik,
kationik, dan nonionik).
c. Air
2. Cara Pembuatan
Biofarmasetik Page 27
1. Suhu peleburan masa supositoria
Contohnya oleum cacao bila dilebur pada suhu diatas 35℃ (37-380), maka
pemadatan oleum cacao dihambat oleh pembentukan polimorf metastabil yang
mempunyai suhu lebur mendekati suhu kamar, sehingga dalam penyimpanan
menjadi masa seperti pasta.
Jadi pemanasan hanya boleh dilakukan pada suhu sekitar 350C dan
supositoria harus disimpan selama beberapa waktu sebelum diloloskan agar
gliserida yang digunakan mempunyai polimorf yang sama. Bila digunakan
polimorf modern (semisintetik) maka fenomena peleburan dibawah suhu kamar
praktis tidak terjadi. Sedangkan bila digunakan gliserida metastabil maka
penambahan dalam supositoria harus dilakukan dengan hati-hati (104,105).
Biofarmasetik Page 28
Tabel 1 pengaruh surfaktan dalam supositoria
Biofarmasetik Page 29
Beberapa metoda pembuatan supositoria yang di usulkan :
1. Zat aktif dilarutkan dala masa leburan dan tetap berada sebagai larutan dalam
supositoria, disebut juga larutan padat.
3. Zat aktif dilarutkan dalam eter atau pelarut organik lainnya dan selanjutnya
ditambahkan ke dalam leburan basis. Pelarut selanjutnya menguap dan
menghasilkan endapan halus zat aktif didalam masa supositoria.
- suhu peleburan
berlemak atau
Biofarmasetik Page 30
3.3.3.1 Studi in vitro tentang predisposisi zat aktif
Selain dengan pipa kapiler cara yang paling sederhana adalah dengan
menggunakan beker berisi air yang diletakkan pada penangas air dengan suhu
sekitar 370C, dan dalam beker tersebut dietakkan supositoria berbasis lemak.
Metoda tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan laju pelarutan
b. Laju pelelehan
1. Peningkatan suhu lebur akibat penyimpanan akan menghambat difusi zat aktif
demikian pula pengaruh cara fibrikasi dan setelah penyimpanan dalam waktu
yang lama.
Biofarmasetik Page 31
Sedangkan penambahan bahan pengental seperti silikon koloida belum
dapat dibuktikan karena waktu peleburan yang singkat dan dalam batas-batas
yang dianjurkan, namun secara invivo dibuktikan adanya penurunan
ketersediaan hayati zat aktif dalam supositoria.
c. Penampakan
- Menggunakan beaker yang mengandung air pada suhu 370C. Cuplikan cairan
difusi diambil dalam rentang waktu tertentu hingga dapat dievaluasi jumlah
zat aktif yang larut
- Akhirnya diusulkan satu seri metoda yang berkaitan dengan difusi zat aktif
melintasi membran, percobaan dilakukan pada suhu fisiologik.
sederhana.
Biofarmasetik Page 32
b.Cairan mengalir melintasi ruang pelarutan yang didalamnya terdapat
Sirkulasi tertutup
Biofarmasetik Page 33
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rektum adalah bagian akhir saluran cerna yang terdiri atas dua bagian
yaitu bagian superior yang cembung dan bagian inferior yang cekung. Bagian
pelvinal melebar membentuk ampula recti yang berfungsi untuk menampung
feses.
Biofarmasetik Page 34