Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang masalah


Rute per oral merupakan pemberian obat yang paling umum
dalam penelitiandan pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi
pemberian oral tidak selalumenghasilkan efek yang diinginkan atau dapat
diterima oleh pasien. Obat yangabsorpsinya tidak baik di saluran
gastrointestinal dan tidak stabil oleh enzim proteolitikmerupakan beberapa
masalah pada pemberian obat pada rute oral. Beberapa obatmenyebabkan
iritasi lokal pada lambung atau saluran gastrointestinal atas
ataumembutuhkan dosis lebih dari 500 mg.

Populasi pasien tertentu, umumnya anak-anak,orang tua dan


pasien yang sulit menelan, seringnya kesulitan untuk mengonsumsi tabletdan
kapsul oral. Sebagai tambahan, pengobatan beberapa penyakit paling
baikdilakukan dengan pemberian langsung pada tempat yang
sakit, umumnya pada penyakitdi mata, mulut, dermal, rongga oral, dan
jaringan anorektal. Pemberian oral dapat digunakan untuk tujuan drug
targeted untuk jaringan yang terkena penyakit, namun terpaparnya seluruh
kompartemen tubuh pada pemberian obat melalui oral tidak efisien dan bisa
memicu efek yang tidak diinginkan.Pemberian obat rektal dapat diterima
baik untuk penghantaran obat lokal dan sistemik. Pemberian obat rektal
efektif digunakan untuk mengobati penyakit local padaarea anorektal juga
untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari pemberianoral.
Obat-obat yang mengalami metabolisme lintas pertama ketika diberikan
oral,masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute
rektal. Formulasi penghantaran obat melalui rektal terdapat dalam berbagai
bentuk sediaan, antara lainsupositoria, gel, aerosol,
Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian y
ang umumnyaditerima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal
untuk penggunaan tertentudan masalah terapeutik tertentu memberikan rute
penghantaran obat alternatif yang dapat sukses diterapkan dalam terapi obat.

Biofarmasetik Page 1
Obat yang diberikan lewat rectum dapat ditujukan untuk pengobatan local
(misalnya : wasir, radang rectum, konstipasi) maupun untuk aktivitas
sistemik bila cara lain sulit dilakukan, misalnya :
- Penderita dalam keadaan muntah atau terdapat gangguan saluran cerna.
- Bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah lambung yang asam
atau oleh enzim usus.
- Bila zat aktif mengalami kerusakan pada pelintasan pertama melalui hati.
- Bila penderita menolak untuk menelan obat dengan alas an karakter
organoleptis sediaan yang tidak menyenangkan atau karena resiko iritasi
lambung atau untuk menghindari cara pemberian parenteral.
Penggunaan lewat rektum mempunyai beberapa kekurangan, yaitu :
- Awal aktivitas terapetik lebih sering lambat dibandingkan cara
pemberian lainnya.
- Jumlah zat total zat aktif yang diserap kadang-kadang lebih kecil
dibandingkan cara pemberian lainnya.
Bentuk sediaan yang diberikan dengan cara ini terutama berupa supositoria,
laveman, dapar rectum dan kapsul rektum.

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari rectum?
b. Bagaimana evaluasi biofarmasetik sediaan yang diberikan melalui
rectum?
c. Apa saja factor patofisiolohi ysng mempengaruhi penyerapan obat di
rectum?
1.3. Tujuan
a. Mengetahui anatomi dan fisologi dari rectum
b. Mengetahui evaluasi bioframsetik sediaan yang diberikan melalui rectum
c. Mengetahui factor patofisiologi apa saja yang mempengaruhi penyerapan
obat di rectum

Biofarmasetik Page 2
BAB II
ISI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Rektum
2.2.1 Bentuk dan Ukuran
Rektum adalah bagian akhir saluran cerna yang terdiri atas dua
bagian yaitu bagian superior yang cembung dan bagian inferior yang
cekung.
Bagian pelvinal melebar membentuk ampula recti yang berfungsi
untuk menampung feses.
Panjang total rectum pada wanita dewasa rata-rata 15-19 cm, 12-
14 cm bagian pelvinal dan 5-6 cm bagian perineal.
Anus sebagai bagian akhir rectum didukung oleh otot gelang (musculus
sphincterani) di bagian dalam dan luar.
2.2.2 Struktur Anatomi
Struktur anatomi rectum berbeda dari kolon, walau tidak ada
batas yang pasti kedua organ tersebut.
Terdapat empat lapisan rectum, dari arah luar ke dalam berurutan
:
lapisan serosa pertional (tunica serosa peritonealis)
lapisan otot (tunica muscularis) dengan lapisan luar serabut yang
memanjang dan bagian dalam serabut yang melingkar.
Lapisan bawah mukosa (tunica sub mucosa) atau celluleuse yang
mengandung plexus vena haemorhaidales.
Lapisan mukosa (tunica mucosa) yang pada bagian-bagian tetentu
menunjukan sifat umum usus besar.
Pada permukaan bagian dalam rectum kosong ditemukan lipatan
mukosa yang longitudinal dan lipatan ini menghilang bila usus
meregang. Rektum pelvinal mempunyai lipatan permanen setengah
bulat yang merupakan valvula rectum (disebut juga valvula dari
HOUSTON) dan membentuk lipatan transversal. Mukosa ini terdiri
dari lapisan sederhana sel-sel epitel silindrik dan tidak mempunyai
jojot usus (kebalikan dari usus).

Biofarmasetik Page 3
Bagian perineal rectum mempunyai kanal dan kutub Morgani,
yang membentuk tonjolan longitudinal seperti sarang burung. Dengan
bertambahnya umur maka rektum mengalami perubahan zat yaitu
adanya pigmen dan ketebalan akibat adanya jaringan penghubung atau
karena atropi.

2.2.3 Vaskularis Darah dan Getah Bening


Rektum dialiri oleh tiga jenis vena haemorhaidales :
- Vena haemorhaidales superior yang bermuara ke vena mesentericum
inferior, selanjutnya masuk ke dalam vena porta, dan juga membawa
darah langsung ke peredaran darah.
- Venae haemorhaidales medialis dan vena haemorhaidales inferor
yang bermuara ke vena cava inferior dengan perantaraan venae
iliaca interna selanjutnya membawa darah ke peredaran umum
(kecuali hati).

Anyaman vena-vena tersebut dimulai dari suatu pleksus sub-


mukosa yang kaya yaitu plexus haemorrhoidales dan yang membentuk
suatu anastomose porto-cava yang penting. Sulit untuk mengetahui
dengan tepat dari bagian mana zat aktif akan menembus, sesudah
melewati mukosa dan mengikuti aliran darah.
Anyaman getah bening juga terdiri dari tiga kelompok kanal :
- kanal bagian bawah (canalis inferior) yang berasal dari anus menuju
ganglion inguinalis di permukaan.
- kanal bagian tengah (canalis medialis) yang mengikuti Venae
haemorhaidales medialis dan berakhir dalam ganglion hypogastrium.
- kanal bagian atas (canalis superior) yang terutama mengalirkan getah
bening dari ampula recti dan rectum superior yang selanjutnya
menuju ganglion mesentericum inferior.

Vaskularisasi pada wanita mungkin lebih baik karena sejumlah


obat dapat diseerap lebih cepat pada wanita dibandingkan pria.

Biofarmasetik Page 4
2.2.4 Persarafan
Persarafan rectum terdiri dari :
- Anyaman haemorrhoidales bagian atas (plexus haemorrhoidales
superior)
- Anyaman haemorrhaidales yang keluar dari plexus hipogastricum
- Saraf haemorrhidales atau saraf anus yang merupakan cabang dari
plexus sacralis.

2.2.5 Fungsi Rektum


Rektum mempunyai dua peran mekanik, yaitu sebagai tempat
penampung feses dan mendorongnya saat pengeluaran.
Adanya mukosa memungkinkan terjadinya penyerapan yang tidak
dapat diabaikan, hal ini menguntungkan pada pengobatan dengan
supositoria dan lavemen nutritive.

2.2.6 Cara Transpor Zat Aktif dalam Tubuh Setelah Pemberian dan
Penyerapan Melalui Rektum

Penelitian tentang penyerapan zat aktif dari supositoria, pertama


kali dilakukan oleh Ravaud pada tahun 1936 (gambar 1).
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penyerapan di rectum dapat
terjadi dengan tiga cara, yaitu :
- lewat pembuluh darah secara langsung.
- lewat pembuluh getah bening
- lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.
Ravaud menyatakan bahwa bila supositoria tinggal di daerah
anal, penyerapan terjadi melalui pembuluh darah secara langsung dan
lewat pembuluh getah bening sehingga tidak melalui sawar hepatic.
Hanya vena inferior dan vena intermedier yang berperan dan
membawa zat aktif melalui vena iliaca ke vena cava inferior.

Biofarmasetik Page 5
Ravaud juga berpendapat bahwa faktor anatomik dapat
menjelaskan mengapa zat aktif tertentu yang dirusak oleh hati menjadi
lebih aktif bila diberikan lewat rektal dibandingkan pemberian per oral.

Zuns pada tahun 1930 melakukan percobaan pada katak dengan


obat strikinin sulfat. Hasil penelitian memperkuat hasil penelitian dari
Ravaud, karena pada dosis tertentu strikinin akan menimbulkan
konvulsi setelah 7 menit bula diberikan melalui rectal, 14 menit bila
obat diberikan ke usus besar dan 30 menit setelah pemberian ke dalam
esophagus. Kelebihan terapiutik sediaan perektal dibandingkan per
bukal telah dibuktikan.
Cestari mengungkapkan data-data serupa beberapa tahun
kemudian yaitu pada tahun 1941. Demikian pula halnya dengan
peniadaan kinina ternyata lebih lambat bila diberikan per rectal
dibandingkan per oral (serbuk terbagi). Skema dari Ravaud tentang
peredaran darah rectum tidak menunjukkan hubungan yang bermakna
dari data cuplikan tanpa perlakuan anatomik.

Biofarmasetik Page 6
Beberapa tahun kemudian, tahun 1948 Bucher meneliti efek
supositoria yang mengandung natrium folat berlabel pada tikus
menyatakan bahwa tergantung pada posisi supositoria dalam rectum,
ternyata 75 % zat aktif berada diperedaran darah umum dan 25 %
dalam vena porta atau 50 % dalam keduanya. Hal tersebut
membuktikan bahwa sawar hati tidak sepenuhnya dihindari.
Tahun 1951, Canals mempelajari penyerapan kalsium radioaktif
melalui rectal, dan ternyata ditemukan adanya radioaktif yang tertukar
di dalam vena porta beberapa saat setelah pemberian supositoria
berlabel.
Pada masa yang sama Quevauviller dan Jund mempelajari
keadaan rectum secara terperinci setelah pemberian supositoria
berlabel pada manusia. Dari klise radiografik ditemukan bahwa
supositoria akan selalu naik 5-6 cm di atas anus ( hal ini tergantung
pada zat pembawa, missal minyak coklat (oleum cacao) atau emulsi air
dalam minyak). Data yang sama juga diperoleh dari daerah yang diluar
aliran vena haemorrhoidales inferior yaitu daerah anal. penyerapan
dimulai dari vena haemorrhoidales, terutama vena haemorrhoidales
superior menuju vena porta melalui vena mesentricum inferior.
Gambaran ini ternyata lebih rumit karena adanya anastomosis antara
vena haemorrhoidales bagian bawah dan atas. Jadi sebagian darah dari
vena haemorrhoidales melewati vena porta.
Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu
melalui saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra.
Menurut Fabre dan Regnier, pengaruh tersebut hanya berlaku untuk
obat-obat larut lemak.
Selain itu perlu dicatat bahwa umumnya rectum selalu kosong,
kecuali saat defikasi.
Adanya sejumlah feses di luar saat defikasi kadang-kadang tidak
dapat diabaikan, karena telah dibuktikan bahwa pemberian lavement
pembersih sebelum pemberian obat oral per rektum dapat memperbaiki
penyerapan. Selain feses, selain feses di rectum terdapat senyawa lain,

Biofarmasetik Page 7
tetapi dalam jumlah kecil, ampula recti mengandung sedikit air (sekitar
2 ml) dan senyawa kental sejenis “mucin”.
Derajat keasaman pH cairan rectum juga menjadi objek penelitian
yang hasilnya kadang saling bertentangan. Peneliti tertentu menyatakan
bahwa pH rectum mirip pH usus besar yaitu 6,8, sedangkan peneliti
lain berpendapat sekitar 5,4. Namun dengan pengukuran diteliti dapat
dibuktikan bahwa cairan rectum bersifat netral yaitu 7,2-7,4.
Kemampuan pendaparan cairan rectum tidak bermakna,
tergantung pada sifat senyawa yang ada di dalamnya.
Jadi mukosa rectum dalam keadaan tertentu bersifat permeable
sempurna. Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari
penyerapan bukal dan hal ini membuktikan bahwa posologi harus
bersifat individu (missal pada pemberian tetrasiklin, bensil
penisilin,paracetamol, insulin,trevintik). Selain itu penyerapan
tergantung pada derajat pengosongan saluran cerna, jadi tidak dapat
diberlakukan hal yang umum. Bahkan beberapa obat tertentu tidak
diserap oleh mukosa rectum (penislin, vitamin B12).
Kelebihan cairan rektum dibandingkan cara bukal menurut
Ravaud hanya berlaku pada senyawa tertentu, karena dalam hal ini
sawar hepatik masih berperan penting. vena haemorrhoidales .

2.2. Evaluasi biofarmasetik sediaan yang diberikan melalui

rektum

Di antara semua bentuk sediaan yang diberikan melalui


rectum,supositoria telah lebih dulu digunakan dan menjadi objek penulisan ini.

Di tinjau dari sudut biofarmasetika, supositoria dapat di definisi


kansebagai berikut :supositoria merupakan sedian obat bentuk padat yang dibuat
dengan zat pembawa lipofil aatau hidrofil, dengan bentuk dan kekerasan yang
memudahkan pemasu kannya kedalam rectum ,sedangkan zat aktif dilepaskan
secara difusi pada suhu tubuh atau dengan pelarutan kedalam cairan rektum.

Biofarmasetik Page 8
Supositoria kadang-kadang diganti dengan kapsul rektum yang terdiri
atas cangkang dari gelatin lunak dan diisi dengan zat pasta. Evaluasi
biofarmasetik supositoria tergantung pada :

- Cara kerja supositoria


- Kinetik pelepasan dan penyerapan zat aktif

MEKANISME KERJA SUPOSITORIA

Pemahaman anatomi rectum dan cara penyebaran zat aktif dalam organ
tubuh dari rektum, dibagi atas tiga kelompok yaitu :

a. Supositoria berefek mekanik


b. Supositoria berefek setempat
c. Supositoria berefek sistemik

Pembagian ini tentu saja tidak mutlak, karena beberapa supositoria


sederhana, sepertisupositoria oleum cacao hanya dapat memberikan efek
mekanik,sedangkan sebagian besar supositoria obat efek mekaniknya kurang
bermakna dibandingkan supositoriab erefek setempat atau sistemik.

a. supositoria berefek mekanik

Bahan dasar supositoria berefek mekanik tidak peka pada penyerapan


dibandingkan supositoria dengan pembawa gliserin atau oleum cacao yang
digunakan sebagai pencahar.

Supositoria mulai berefek bilaterjadi kontak yang menimbulkan reflex


defikasi, namun pada keadaan konstipasi reflekst ersebut lemah.

Pada efek kontak tersebut, terutama pada supositoria gliserin, terjadi


fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitasgliserin terhadap air. Hal
tersebut menimbulkan eksudasi usus sehingga menimbulkan gerakan peristaltik.

Biofarmasetik Page 9
b. Supositoria berefek setempat

Termasuk dalam kelompok ini adalah supositoria anti wasir, misalnya


supositoria ratanhiadari farmakope inggris (BP), yaitu senyawa yang efeknya
disebabkan oleh adanya sifat astringent atau peringkaspori.

Formula supositoria anti wasir sangat banyak dan sebagian besar sangat
spesifik .kedalam basis supositoria yang sangat beragam kadang-kadang
ditambahkan senyawa peringkaspori, baik dengan cara penyempitan maupun
hemostatik, seperti senyawa hamamelidis atau buah sarangan dari india,
adrenalin aataupun antiseptic seperti jodoform. Pemakaian setempat juga
berlaku untuk supositoria betanaftol yang digunakan sebagai obat cacing.

c.Supositoria berefek sistemik

Supositoria berefek sistemik adalah supositoria yang mengandung senyawa


yang diserap dan berefek pada organ tubuh selain rektum.

Pada kelompok ini termasuk:

1. Supositori anutritif
2. Supositoria obat

1.. supositoria nutritif

Supositoria nutritive digunakan pada penyakit tertentu dimana


saluran cerna tidak dapat menyerap makanan. Dengan demikian makanan
diberikan lewat lavement atau supositoria dan bagi penderita pemberian
supositoria tersebut tidak melelahkan dan lebih nyaman. Oleh sebab itulah
kini diusaha kan dibuat formula supositorianutritif, walau rectum dapat
menyerap namun tidak dapat mencerna jadi dalam hal inihanya dapat
dierikan makanan yang langsung diserap (misalnyapepton).

Biofarmasetik Page 10
2. supositoria obat

Supositoria tersebut mengandung zat aktif yang harus diserap, mempunyai


efek sistemik dan bukan efek setempat. Masalah penyerapan itulah yang kini
akan dibahas.

Bila supositoria obat di masuk kan kedalam rektum, pertama-tama akan


timbul efekr efleks, selanjutnya supositoria melebur atau melarut dalam
cairan rectum hingga zat aktif tersebar di permukaan mukosa, lalu berefek
setempat dan selanjutnya memasuki sistem vena haemorrhoidales atau
system getah bening.

kinetika pre-disposisizataktif

Sebelum menampakkan efeknya, baik efek setempat atau efek sistemik,


terlebih dulu zat aktif harus lepas dari sediaannya. Untuk supositori aatau
kapsul rectal keseluruhan kineti kater sebut dirangkum dalam skema beriku
tini yang dikutp dari jaminet (2)

Penyerapan zat aktif terjadi setelah proses pelepasan pemindahan,pelarutan


dan penembusan kecairan rectum dan keseluruhan proses tersebut dirangkum
dalam istilah “ kinetic pelepasan atau kinetik pre-disposisi “(A), sedang
kanfenomena difusi dan penyerapan disebut “ kinetic penyerapan”(B).

Biofarmasetik Page 11
Keseluruhan proses kinetik yang berurutan tersebut tidak dapat saling
dipisahkan dan terdapat sejumlah factor yang berpengaruh pada berbagai
tahap tersebut.

faktor yang mempengaruhi kinetic pre-disposisizataktif

Karena cara pemberiannya yang khusus, ada kemungkinan terjadi reflex


penolakan, melebihi cara pemberian bentuk sediaan yang lain,maka
supositoria harus segera melepaskan zat aktifnya agar segera menimbulkan
efek seefektif cara pemberian oral(17,25,126). Kecepatan dan keefektifan
sediaan supositoria sangat ditentukan oleh afinitas basis terhadap zat
aktif,parameter yang harus diperhatikan pada semua keadaan.

Kinetic pre-disposisi terdiri atas dua tahap :

a. Penghancuran sediaan
b. Pemindahan dan pelarutan zat aktif kedalam cairan rektum, diikuti difusi
menuju membran yang akan di bacanya (untuk efek setempat) atau
berdifusi melintasi membran agar dapat mencapai sistemperedaran darah
(efek sistemik).
a. Penghancuran sediaan
Kepentingan tahap ini di tunjuk kan terutama pada pemberian lavement
yang mengandung larutan zat aktif yang menimbulkan efek farmakologik
jauh lebih cepat dari pemberiaan supositoria yang mengandung zat aktif
yang sama.
Proses penghancuran sediaan merupakan fungsi dari basisnya.bila
basisnya melebur dalam rektm maka suhu leburnya merupakan factor
penentu,seperti diketahui suhu rectum adalah sekitar 37oc.
Beberapa peneliti menggambarkan keseluruhan fenomena tersebut
(peleburan dan pencairan masa) dalam istilah “jarak peleburan” yang
merupakan rentang suhu awal peleburan hingga suhu penjernihan.
Jadi tergantung pada zat pembawa yang digunakan, setelah proses
peeburan atau pelarutan maka masa yang kental akan melapisi
permukaan mukosa. Dari lapisan ini lahzat aktif akan berpindah kecairan

Biofarmasetik Page 12
rektum.Sifat cairan tersebut sangat bergantung kepada sifat fisika zat
pembawa :
a. Konsistensi : masa yang keras lebih sulit pecah dibandingkan
masa yang agak lunak seperti kapsul rectum atau gelatin
lunak, yang dapat menyebabkan pelepasan yang lebihcepat.
b. Kekentalan setela peleburan :dengan menggunakan
parasetamol sebagai perunut, moes membuktikan bahwa laju
pelepasan zat aktif dari supositoria lebih lambat bila
kekentalan zat yang melebur lebih tinggi.
c. Kemampuan pecah : zat pembawa yang kental akan
menyulitkan pemecahan dan pembentukan lapisan dari
sebagian permukaan yang kontak dengan mukosa akan
memperlambat pelepasan , termasuk semua keadaan yang
mempengaruhi kontak tersebut.

Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan dan daya adesi zat


pembawa berlemak untuk supositoria ,dapat ditambahkan surfaktan
dengan HLB antara 4-9 yang dapat menimal kanefek sebaliknya.

b. Transfer zat aktif kedalam cairan rektum


Transfer zat aktif dari zat pembawa yang melebur atau terlarut pada
mukosa rektum (merupakan tahap penentu dalam rangkaian proses yang terkait)
tidak hanya sebagai fungsi dari sifat lapisan yang terpapar namun juga
keadaannya dalam supositoria dan beberapa sifat fisiko-kimianya :

1) Sifat zat aktif dalam supositoria


Sebagai fungsi dari kelarutannya dalam zat pembawa, zat aktif dalam
supositoria dapat dibuat tersuspensi atau terlarut.
Sekarang banyak zat yang terlarut dalam basis tetapi dilepaskan lebih
lambat dan lebih teratur bila disuspensikan dalam basisnya. Jadi, diperlukan
pemakaian zat aktif yang larut-air dan hidrofil. Pemakaian basis hidrofil
untuk senyawa yang lipofil tidak selalu diperlukan, karena laju pelarutan zat
pembawa dan kekentalan akhir dalam cairan rektum merupakan faktor yang

Biofarmasetik Page 13
paling penting. Dari semua pembawa, pelepasan yang paling lambat terjadi
dari pembawa lemak.
Sebaliknya, penggunaan supositoria dengan zat aktif teremulsi
tampaknya tidak memperbaiki pelepasan zat aktif, karena zat aktif tersebut
terlarut dalam butiran air yang teremulsi dalam fase lemak.
Pengurangan laju pemindahan zat aktif dapat juga terjadi bila
supositoria mengandung zat aktif larut-air yang disuspensikan dalam zat
berlemak dengan indeks hidroksil yang tinggi. Pada kontak dengan cairan
rektum, adanya zat mono atau digliserida dalam pembawa akan
mempermudah proses pengemulsian sebagian cairan rektum didalam leburan
pembawa lemak. Cairan tersebut selanjutnya akan melarutkan zat aktif dalam
tetesan (dalam bentuk larutan jenuh), yang teremulsi dalam leburan pembawa
dan membatasi perpindahan zat aktif. Indeks hidroksil zat pembawa tidak
berperan bila nilainya lebih kecil dari 50.
2) Kelarutan zat aktif
Bila zat aktif sangat larut-lemak dan dalam dosis kecil maka kecil pula
untuk menembus cairan rektum yang sedikit. Sebaliknya, jika zat aktif yang
larut-lemak tetapi konsentrasinya mendekati jenuh akan menembus cairan
rektum dengan mudah.
3) Koefisien partisi zat aktif dalam fase lemak dan cairan rektum
Zat aktif larut-lemak mula-mula akan terlarut dalam basis supositoria
sebelum melewati permukaan film-cair dengan berbagai mekanisme difusi
sederhana.
Zat aktif yang larut air harus dapat mencapai permukaan film cairan
dengan berbagai mekanisme transpor, misalnya dengan pengendapan. Setelah
mencapai permukaan tersebut, zat aktif selanjutnya akan dibasahi oleh fase
air dan lepas dari basis dengan proses pelarutan. Bila senyawa semakin larut
maka pencapaian permukaan tersebut semakin cepat.
Koefisien partisi zat aktif diantara basis berlemak dan cairan rektum
lebih besar dibandingkan koefisien partisi zat aktif dalam fase lemak dan air,
karena terlebih dahulu terjadi keseimbangan antara dua kelarutan.

Biofarmasetik Page 14
4) Ukuran partikel zat aktif
Dalam sediaan supositoria tidak dianjurkan menggunakan partikel yang
berukuran terlalu kecil karena dapat menyebabkan peningkatan kekentalan
dari massa yang melebur dan selanjutnya akan menghambat tahap lanjutan.
Kristal yang kecil dapat terpapar lebih baik, larut lebih cepat dalam
cairan rektum dan segera dapat meninggalkan fase lemak. Sedangkan partikel
besar akan mengendap lebih cepat dan segara kontak dengan mukosa. Bila zat
aktif telah terlarut maka selanjutnya akan menembus membran biologik dan
mencapai peredaran darah atau tinggal dan memberikan efek setempat.

Faktor yang mempengaruhi kinetika penyerapan zat aktif yang


diberikan per rektum

1) Kedudukan supositoria setelah pemakaian


Bila zat aktif dilepaskan pada ampula recti bagian atas maka zat
tersebut oleh darah akan dibawa kehati atau mengikuti “perlintasan hati
pertama”.
2) Waktu-tinggal supositoria didalam rektum
Untuk suatu alasan yang belum jelas (terutama intoleransi),
supositoria ditolak oleh subyek hingga jumlah yang diserap berkurang.
3) pH cairan rektum
Membran rektum terdiri dari sel epitel yang sifat lipidnya serupa
dengan mukosa lambung. Pada keadaan tersebut penyerapan terjadi
terutama oleh mekanisme transpor pasif yang tergantung pada :
- Koefisien partisi zat aktif dalam minyak/air
- pKa zat aktif
- pH cairan yang merendam membran
Penyerapan rektum tergantung pada derajat ionisasi zat aktif. Zat
aktif yang tak terionkan pada pH rektum (7,2-7,4) akan diserap lebih
cepat. Karena kemampuan mendapar yang rendah dari cairan rektum,
maka pH rektum mudah diubah dengan penambahan dapar yang sesuai

Biofarmasetik Page 15
dengan pH pembawa yang digunakan pada pembuatan supositoria,
sehingga dapat meningkatkan penyerapan sejumlah zat aktif.
4) Konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum
Mekanisme perlintasan membran terutama terjadi secara difusi
pasif, laju perpindahan secara langsung tergantung pada konsentrasi zat
aktif dalam cairan rektum, semakin tinggi konsentrasi maka semakin
cepat laju penyerapan. Oleh sebab itulah maka senyawa organik
tertentu (seperti garam natrium tolbutamida, barbiturat, asam salisilat)
diserap lebih cepat dari bentuk asam yang bersangkutan. Penyerapan
zat aktif dalam dosis kecil lebih sempurna dibandingkan dosis besar
yang memungkinkan penyerapan diperlama.
Konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum merupakan fungsi dari
kelarutan dan laju pelarutan zat aktif dalam cairan tersebut. Kelarutan
itu sendiri tergantung pada sifat zat aktif (garam, ukuran kristal, bentuk
kristal dan lain-lain) dan kelarutan tersebut dapat diubah dengan
mengubah tetapan dielektrik cairan atau dosis (parasetamol, PEG) asal
tidak melewati batas tertentu karena bila tidak akan terjadi penurunan
penyerapan.
Perlu diperhatikan pula kemungkinan pembentukan kompleks
antara zat aktif dengan zat pembawa yang dapat menghambat terjadinya
penyerapan dan hal itu sesungguhnya merupakan ketidakcampuran
obat.
Penyerapan zat aktif dari supositoria tidak segera terjadi dan
aktivitas farmakologinya sering menampakkan sedikit penyimpangan
waktu dibandingkan dengan pemberian cara oral. Jumlah keseluruhan
zat aktif yang diserap dari suatu supositoria dapat dihitung menurut cara
Ritschel dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh
Higuchi untuk bentuk salep.
 Bila zat aktif larut dalam zat pembawa
Jumlah Q zat aktif yang diserap setiap satuan luas permukaan
dihitung menurut persamaan sebagai berikut :

Biofarmasetik Page 16
h = Tebal lapisan leburan supositoria yang menutupi mukosa
C0 = Konsentrasi zat aktif yang terlarut dalam pembawa (g.cm-3)
D = Koefisien difusi zat aktif dalam pembawa (cm2.s-1)
t = Waktu setelah pemakaian supositoria (detik)

Jumlah (%) yang mencapai organ sasaran R dihitung dengan


persamaan berikut ini :
R = 100 Q
h . C0
Persamaan tersebut telah disederhanakan oleh W.I. Higuchi
dan berlaku hingga 30-50% zat aktif dilepaskan.
Q = 2 C0 √D . t
π

R = 200 √D . t
π . h2

Menurut Weiss, pada persamaan tersebut harus


dipertimbangkan koefisien partisi zat aktif.

 Bila zat aktif tersuspensi dalam pembawa, maka dipakai hipotesa


sebagai berikut :
1) Partikel zat aktif dalam keadaan halus, jadi ukurannya lebih kecil
dari tebal lapisan leburan basis supositoria
2) Konsentrasi zat aktif yang tersuspensi setiap satuan volume lebih
besar dari yang terlarut dalam volume yang sama
3) Laju pelarutan partikel yang tersuspensi lebih tinggi dari laju
difusi

Biofarmasetik Page 17
4) Tidak ada interaksi antara pembawa yang melebur dan mukosa
5) Zat aktif yang dilepaskan pada permukaan leburan pembawa-
mukosa diserap dengan cepat oleh mukosa
6) Jarak rata-rata antara partikel yang tersuspensi kecil

Dengan demikian harga Q dapat dihitung menurut persamaan


sebagai berikut :
Q = jumlah yang diserap setiap satuan luas
C0 = konsentrasi zat aktif yang tersuspensi dalam pembawa
Cs = kelarutan zat aktif dalam pembawa
D = tetapan difusi zat aktif dalam pembawa

Dengan penyusunan kembali, diperoleh persamaan :


Q =√ (2C0 - Cs) . Cs . D . t
Persamaan tersebut berlaku sampai semua partikel zat aktif
terlarut. Bila Cs dapat diabaikan terhadap C0 maka diperoleh
persamaan :
Q =√ 2 C0 . Cs . D . t

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa jumlah zat aktif


tersuspensi, yang dilepaskan dan diserap setelah difusi, berbanding
lurus dengan akar kuadrat konsentrasi zat aktif yang tak terlarut,
kelarutannya dalam pembawa, koefisien difusi dalam pembawa dan
lama pemberian. Proses difusi dapat dihambat oleh bahan pengental
seperti bentonit, koloid silika.

Biofarmasetik Page 18
EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI ZAT AKTIF YANG TERDAPAT
DALAM SEDIAAN SUPOSITORIA

Sejumlah faktor yang mempengaruhi penyerapan zat aktif dalam sediaan


rektum telah diungkapkan oleh Wagner (54): “untuk mendapatkan hasil
percobaan invivo yang terkendali dengan baik, maka cara pemberian per-rektum
tidak boleh dianggap sebagai cara pengganti rutin untuk pemberiaan atau obat.”
Cara pemberian rektum dapat disarankan bila data-data peenlitian mendukung
hal ini. “ bila zat aktif diserap dengan baik pada pemberian peroral, maka tidak
dapat dipastikan bahwa obat akan diserap dengan cara yang sama setelah
pemberian per-rektum.”

Evaluasi ketersediaan hayati zat aktif dalam sediaan supositoria harus


mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

- Zat aktif yang terserap

- Komponen pembawa yang digunakan

- Proses fabrikasi dan cara penyimpanan sediaan obat

3.3.1 Studi zat aktif

Ketersediaan suatu obat merupakan fungsi dari pelarutan zat aktif


dalam cairan biologik yang menyelubungi membran dan kriteria fisiko-
kimia obat zat aktif tersebut (ukuran partikel, bentuk molekul, derajat
ionisasi, dan lain-lain).

Kriteria tersebut ditinjau dari berbagai kepentingan. Perhatian terutama


harus dicurahkan pada koefisien partisi minyak/air dan selanjutnya dapat
dilihat pengaruhnya terhadap laju pelepasan zat aktif dari sediaan. Hal
tersebut juga harus ditentukan bila zat aktif ditujuakan untuk pengobatan
terhadap jaringan rektum setempat atau bila pemakaiannya dimaksudkan
untuk mendapatkan efek sistemik. Dalam hal terkahir ini harus ditentukan:

Biofarmasetik Page 19
1. Ketersediaan obat

2. Ketersediaanhayati absolutnya dibandingkan pada cara pemberian


intravena atau bila mungkin dibandingkan dengan semua cara
pemberian (per-oral misalnya).

3.3.1.1 Zat aktif diserap

Sangat mungkin terjadi bahwa zat aktif yang diserap dengan baik pada
pemberian per-oral tetapi tidak diserap pada pemberian per-rektum dengan
alasan sebagai berikut:

a. Zat aktif sangat mengiritasi mukosa rektum sehingga segera


dikeluarkan lagi.

b. Zat aktif diserap dengan mekanisme khusus (transpor aktif atau difusi
sederhana), sedangkan didalam rektum hanya ada transpor pasif.

c. Sangat sukar larut, ampulla recti yang pendek tidak memungkinkan


terjadinya penyerapan yang cukup untuk mendapatkan efek teraupetik
(berbeda dengan saluran cerna).

d. pH cairan di ampulla recti tidak sesuai untuk kelarutan dan pelarutan


zat aktif.

e. Bila untuk proses penglarutannya diperlukan bahan surfaktan alami


yaitu garam empedu.

f. Bila penyerapannya tergantung pada keadaan dan jumlah makanan yang


tidak terdapat direktum.

Sedangkan untuk zat aktif yang tidak dapat diserap disaluran cerna,
baik karena dirusak oleh enzim proteolitik atau asam lambung yang kuat,
maka zat aktif tersebut mungkin diserap dengan mudah oleh mukosa
rektum.

Biofarmasetik Page 20
Studi penyerapan rektum dapat dikelompokkan atas 2 bagian yaitu:

1. Kelompok pertama berkaitan dengan penetapan kadar zat aktif didalam


darah atau dalam air kemih atau dalam jaringan maupun penetapan aksi
farmakologik.

2. Kelompok kedua berkaitan dengan penetapan penyerapan yang


dievaluasi dari kurva kadar obat dalam darah atau penetapan kadar
dalam air kemih yang diperoleh dengan pengambilan cuplikan dalam
rentang waktu tertentu.

Kedua penelitian tersebut dapat memberikan informasi yang sangat


berguna, walaupun hanya sebagai pendekatan pada masalah sesunggguhnya.
Dasar hipotesanya adalah baahwa laju penyerapan rektum berhubungan
langsung dengan konsentrasi zat aktif yang disimpan dalam jaringan
maupun jumlah yang diperlukan untuk mendapatkan aksi farmakologik.
Studi tersebut tidak mengukur laju penyerapan zat aktif pada tempat
pemberian. Dengan menggunakan senyawa berlabel, Riegelman dan kawan-
kawan dengan teliti telah menetapkan penyerapan rektum, walaupun hal itu
bukan merupakan cara yang mudah untuk dikerjakan. Dengan demikian
cara kedua lebih digunakan untuk mempalajari proses penyerapan.

3.3.1.2 Penentuan ketersediaanhayati absolut zat aktif dari sediaan rektum

Mengacu pada defenisi ketersediaan hayati absolut (atau rendemen


penyerapan absolut), penentuan ini terutama diperlukan untuk
membandingkan kadar zat aktif dalam darah yang diperoleh setelah
pemberian intravena dan rektum.

Beberapa hal harus dipertimbangkan untuk menghindari kesalahan yang


tidak dikehendaki dalam penetapn ini.

Untuk percobaan tersebut, lebih disukai menggunakan larutan zat aktif


dengan pemberian melalui rektum. Bila bahan sukar larut, maka dapat

Biofarmasetik Page 21
dibuat suspensi yang diberikan per-rektum. Sedangkan pemberian intravena
dapat diganti dengan intramuskular, ataupun per-oral yang diperlukan
sebagai cara pemberian pembanding (juga dapat menyebabkan toksisitas zat
aktif seperti bila yang diberikan secara intravena).

Pada penelitian ini lebih disukai menggunakan larutan dalam air untuk
mencegah pengaruh bahan pembawa terhadap proses penyerapan, selain itu
konsistensi larutan sebaiknya ditingkatkan untuk menghindari masuknya
obat ke dalam kolon dalam jumlah banyak, serta menjaga selama mungki
sediaan berada direktum dengan mencegah terjadinya refleks defikasi yang
disebabkan oleh cairan tersebut. Selain itu perlu dihindari penggunaan
sediaan gel yang rapuh, yang dapat menghambat proses pelepasan zat aktif.

Bila mungkin, zat aktif dibuat terlarut dan dalam keadaan kurang
terdiosiasi sehingga lebih larut-lemak, serta didapar pada pH yang sesuai.
Seperti pada sebagian besar zat aktif, bentuk yang paling larut dari zat aktif,
walaupun terdisosiasi, dapat lebih baik diserap dari pada bentuk yang tidak
larut. Mungkin pula tidak ada perbedaan bermakna antara kedua bentuk
tersebut, misalnya yang ditujukan oleh atropin (atau bentuk sulfatnya),
bentuk tak terdisosiasi yang sukar larut diserap dengan baik daripada bentuk
yang larut terdisosiasi. Oleh sebab itu dianjurkan agar mengulangi
percobaan untuk semua bentuk sediaan yang memungkinkan.

Dosis zat aktif yang diberikan per-rektum, pada tahap awal percobaan
paling tidak sama dengan dosis per-oral atau perinjeksi intravena. Jumlah
total cairan yang diberikan agak berbeda : 5 ml untuk manusia dan 3 ml
untuk hewan percobaan (kelinci atau anjing).

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam protokol adalah:

1. Supositoria sebaiknya diberikan pada subyek manusia setelah


didefikasi, untuk menghindari hal-hal yang mempengaruhi penyerapan.

Biofarmasetik Page 22
2. 2-3 hari sebelum percobaan subyek hewan harus diit karbohidrat, selain
itu liang anal selama waktu percobaan harus disumbat. Dengan
perbandingan dan penilaian statistik data yang diperoleh dari dua seri
percobaan (per-rektum dan intravena atau per-oral) maka ketersediaan
hayati absolut zat aktif dapat diramalkan.

Bila data yang diperoleh belum cukup, percobaan dapat diulang dengan
beberapa cara, misalnya:

1. Meningkatkan dosis zat aktif yang diberikan. Bila pemberian obat


dengan dosis lebih besar 2 kali dari dosis oral tidak memberikan hasil
yang lebih baik, maka lebih baik cara tersebut ditinggalkan.

2. Mengganti atau mengubah pembawa larutan dengan pertimbangan


kelarutan zat aktif sebagai fungsi dari tetapan dielektrik cairan atau
dengan menggunakan bahan yang dapat meningkatkan kelarutan atau
surfaktan. Tetapi hal itu akan meningkatkan laju pelarutan zat aktif
dalam cairan rektum atau menghambat pelepasan zat aktif kedalam
pembawa atau terjebak didalam misel.

3. Memastikan adanya hubungan antara kadar obat dalam darah dan efek
farmakologik atau efek terapetik, bila tidak maka semua pekerjaan akan
sia-sia.

3.3.2 Pemilihan zat tambahan yang diperlukan untuk pembuatan supositoria

Bila ketersediaan hayati absolut zat aktif telah ditetapkan, maka langkah
selanjutnya adalah pelaksanaan pembuatan supositoria yang baik dan benar.
Dalam bagian ini akan dibahas pemilihan zat pembawa dan zat tambahan
yang paling baik untuk membuat sediaan yang telah ditetapkan.

Biofarmasetik Page 23
3.3.2.1 Evaluasi ketersediaanhayati relatif suatu zat aktif

Untuk mempelajari, membandingkan dan memilih formula yang paling


sesuai, diperlukan evaluasi ketesdiaanhayati relatif suatu zat aktif dalam
berbagai formula. Penentuan ini melibatkan penentuan kadar dalam darah
setelah pemberian per-rektum dari larutan atau suspensi, sebagai percobaan:
pendahuluan setiap formula yang diteliti. Perbandingan luas daerah bawah
kurva dapat mencerminkan nilai ketersediaanhayati relatif zat aktif yang
terdapat dalam berbagai formula. Perbandingan ini dilakukan juga dengan
membandingkan tinggi puncak maksimum, waktu yang diperlukan untuk
memperolehnya dan lama aksi obat dalam batas daerah konsentrasi efektif.

Tentunya harus dihindari waktu laten yang lama, karean waktu laten
yang lama berarti pelepasan zat aktif terlalu lama, sehingga kemungkinan
terjadi penolakn supositoria yang tidak dapat diabaikan dan harus diteliti.
Penelitian terakhir dari Gobaldi menetapkan ketersediaanhayati supositoria
aspirin terhadap waktu retensi sediaan pada subyek percobaan. Jadi evaluasi
ketersediaanhayati relatif harus dikerjakan bersamaan dengan studi toleransi
setempat dari formula yang kadang-kadang menimbulkan banyak masalah.

Bila studi kurva kadar obat dalam darah tidak memungkinkan, maka
percobaan dapat dialihkan pada penentuan pengeluaran lewat air kemih,
atau pengukuran efek farmakologik atau malahan menentukan kadar zat
aktif yang tersedia direktum dibandingkan dengan kadar awal pemberian
dan studi zat aktif yang dapat diserap.

Percobaan tersebut hanya dapat diterapkan pada subyek manusia. Bila


akan digunakan hewan percobaan kesulitan lain timbul yaitu penyesuaian
data dengan data dari subyek manusia. Berbagai tidakan pengamatan harus
dilakukan untuk menghindari berbagai kesalahan:

1. Harus mempertimbangkan rerata suhu rektum hewan percobaan yang


digunakan, misalnya suhu rektum kelinci adalah sekitar 39 °C (38,4 -
39,6 °C) yang lebih tinggi dari suhu rektum manusia (36,9 °C).

Biofarmasetik Page 24
2. Harus dihindari pemakaian hewan yang dibius, karena umumnya
pembiusan disertai dengan suatu perubahan suhu rektum.

3. Harus dipertimbangkan anatomi rektum setiap jenis hewan percobaan


untuk pembuatan sediaan dan terutama untuk jarak pemberian.

3.3.2.2 Pemilihan bahan pembawa

Pemilihan bahan pembawa selama bertahun-tahun telah mengabaikan


ketersediaanhayati relatif zat aktif.

Pemilihan bahan pembawa terutama mempertimbangkan sifat fisiko-


kimia zat aktif:

1. Zat aktif lart air, lebih disukai menggunakan basis berlemak dengan
suhu lebur kecil dari suhu rektum.

2. Zat aktif sukar larut, maka sebaiknya digunakan dalam partikel halus
atau dengan mengubha pH cairan rektum atau mengubah tetapan
dielektrik bahan pembawa.

3. Zat aktif dalam bentuk cairan dan dapat melarutkan pembawa, maka
harus dipilih pembawa yang mempunyai konsistensi (untuk pembawa
larut air) atau suhu lebur (untuk pembawa lemak) yang lebih tinggi dari
zat aktif tersebut.

4. Zat aktif dapat bereaksi dengan bahan pembawa tertentu dan


menghasilkan campuran eutektik dengan suhu lebur yang sangat
rendah, maka diperlukan pembawa dengan konsistensi dan suhu lebur
yang sesuai.

Biofarmasetik Page 25
5. Bila terdapat senyawa hidrofil atau berair atau hidrogliserin, maka
sebaiknya dipilih pembawa dengan konsistensi yang dapat diemulsikan
dengan cepat.

6. Bila bobot jenisnya sangat tinggi, maka sebaiknya dipilih bahan


pembawa dengan laju pelarutan yang cepat.

Hal yang penting mengenai bahan pembawa adalah efek yang


ditimbulkan pada kapasitas penampakan. Pada penelitian terakhir,
dibuktikan bahwa setelah penyimpanan pembawa berlemak dalam bentuk
serpih lebih jelek dari bentuk bola atau bentuk dengan akibat pengurangan
kapasitas penampakannya.

Pemilihan bahan pembawa tersebut dimaksudkan untuk mengatur laju


pelepasan dan penyerapan zat aktif dalam supositoria, dan hal itu sangat
penting karena kesalahan pada tahap ini dapat berakibat fatal dan dapat
menyebabkan efek sistemik yang tidak dikehendaki.

Dua pilihan lainnya adalah dengan melakukan:

1. Penambahan bahan lainnya yang diperlukan

Seperti halnya pada pembahasan ketersediaanhayati absolut sediaan


cair, maka dalam masa pembawa kadang-kadang diperlukan penambahan:

a. Bahan pengental

Untuk menjaga agar zat aktif tetap tersuspensi, mencegah penimbunan


pada satu tempat atau pengerasan massa. Namun hal itu dapat
mengakibatkan hambatan pelepasan zat aktif dengan cara yang tak dapat
diabaikan (pengental yang digunakan umumnya aluminium stearat, silika
koloidal, setil alkohol, seresin).

b. Surfaktan

Biofarmasetik Page 26
Dapat memberikan penampakan supositoria yang baik atau
memudahkan pelepasan dan penyerapan zat aktif. Sejumlah penelitian telah
dilakukan walau dilaksanakan dengna cara yang berbeda dan dengan
berbagai zat aktif dan kadang-kadang berbagai tipe muatan ion (anionik,
kationik, dan nonionik).

c. Air

Untuk membuat emulsi supositoria dalam keadaan tertentu air sangat


berperan dan dapat menyebabkan kerusakan zat aktif atau bahan yang
berlemak dan kadang -kadang memudahkan pertumbuhan mikroba.

d. Antioksidan dan bahan warna

Yang merupakan bahan yang dapat ditambahkan kedalam supositoria


harus benar-benar diteliti kemungkinan adanya ketidakcampuran dengan zat
aktif. Telah dipastikan adanya pengaruh bahan-bahan tersebut terhadap
ketersediaanhayati zat aktif.

2. Cara Pembuatan

Cara pembuatan supositoria sangat berpengaruh terhadap pelepasan dan


penyerapan zat aktif yang terdapat dalam supositoria. Pembuatan supositoria
baik di laboratorium maupun diindustri didasarkan atas proses peleburan, yaitu
semua bahan dilebur dan dicampur lalu dituangkan ke dalam cetakan dan
dinginkan. Baru kemudian diuji.

Hal-hal yang perlu diperhatikan :

1. Suhu peleburan masa supositoria

2. Cara memasukkan zat aktif kedalam supositoria

Biofarmasetik Page 27
1. Suhu peleburan masa supositoria

Contohnya oleum cacao bila dilebur pada suhu diatas 35℃ (37-380), maka
pemadatan oleum cacao dihambat oleh pembentukan polimorf metastabil yang
mempunyai suhu lebur mendekati suhu kamar, sehingga dalam penyimpanan
menjadi masa seperti pasta.

Jadi pemanasan hanya boleh dilakukan pada suhu sekitar 350C dan
supositoria harus disimpan selama beberapa waktu sebelum diloloskan agar
gliserida yang digunakan mempunyai polimorf yang sama. Bila digunakan
polimorf modern (semisintetik) maka fenomena peleburan dibawah suhu kamar
praktis tidak terjadi. Sedangkan bila digunakan gliserida metastabil maka
penambahan dalam supositoria harus dilakukan dengan hati-hati (104,105).

Moes menunjukan bahwa perubahan bentuk metastabil ke bentuk stabil


selama penyimpanan menyebabkan perubahan suhu lebur dan perubahan
parameter reologi pada 370C, “callorite” pada bahan tambahan tertentu dapat
mengubah secara nyata pola penyerapan zat aktif dalam supositoria.
Berdasarkan percobaannya Moes menyimpulkan bahwa bahan pembawa
berlemak dengan sifat fisik yang mudah berubah selama penyimpanan sebaiknya
tidak digunakan dalam supositoria untuk tujuan pengobatan sistemik.

2. Penambahan Zat Aktif

Sebaiknya zat aktif yang tidak larut disuspensikan dalam pembawa.


Karena ukuran partikel mempengaruhi proses pelepasan dan penyerapan zat
aktif. maka sebaiknya pilih ukuran yang optimum dan dikontrol selama proses
pembuatannya.

Biofarmasetik Page 28
Tabel 1 pengaruh surfaktan dalam supositoria

Zat aktif Surfaktan Hasil Acuan

Amindopirin Tween-span 20-40 ^ pelepasan in vitro 112

Aminofilina Surfaktan dg HLB ^ pelepasan in vitro 79


11-14

Efdrina Surfakta ber HLB ^ pelepasan in vitro 79


diatas 9

Gliseril-quaiakolat Berbagai surfaktan ^ Penyerapan 83

Na PAS Tween & Na lauril ^ Penyerapan 91

Natrium iodida Tween 20 & Na ^ Penyerapan 43


lauril
43

Penisilina Na lauril sulfat ^ Penyerapan 113


Streptomisina

Penobarbital Tween ^ Penyerapan 111

Span penyerapan 111

sulfamida Emulgator a/m ^ Penyerapan 60

sulfamida Tween- na lauril ^ Penyerapan 32


sulfat

Biofarmasetik Page 29
Beberapa metoda pembuatan supositoria yang di usulkan :

1. Zat aktif dilarutkan dala masa leburan dan tetap berada sebagai larutan dalam
supositoria, disebut juga larutan padat.

2. Bahan padat dilarutkan dalam masa yang melebur, dikristalkan di dalam


supositoria selama proses pemadatan.

3. Zat aktif dilarutkan dalam eter atau pelarut organik lainnya dan selanjutnya
ditambahkan ke dalam leburan basis. Pelarut selanjutnya menguap dan
menghasilkan endapan halus zat aktif didalam masa supositoria.

3.3.3 Studi in vitro

Dari uji in vitro dapat diketahui :

- faktor yang mempengaruhi kinetik predisposisi zat aktif :

- suhu peleburan

- Laju pencairan dan peleburan pada supositoria dengan bahan


pembawa

berlemak atau

- Laju pelarutan pada supositoria dengan pembawa larut air

- Kemampuan penampakan leburan pembawa

- Faktor yang mempengaruhi kinetik penyerapan zat aktif :

- Laju Pelarutan Zat aktif dalam cairan rektum

- Laju Penembusan senyawa melintasi membran

Biofarmasetik Page 30
3.3.3.1 Studi in vitro tentang predisposisi zat aktif

a. Suhu lebur supositoria

Selain dengan pipa kapiler cara yang paling sederhana adalah dengan
menggunakan beker berisi air yang diletakkan pada penangas air dengan suhu
sekitar 370C, dan dalam beker tersebut dietakkan supositoria berbasis lemak.
Metoda tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan laju pelarutan

b. Laju pelelehan

Berbagai metoda yang telah diungkapkan diantaranya adaah dengan


menggunakan alat komersial erweka (115), tetapi lebih disukai menggunakan
metoda setnikar dan fantelli yang mengukur waktu pelelehan dengan
menggunakan wadah selofan yang direndam air pada suh 370C dengan
penekanan menirukan rektum. Kesulitan yang ditemukan adalah bahwa kedua
teknik tersebut tidak dapat memberikan hasil yang dapat diproduksi ulang, oleh
karenanya tim belgia Jeminet menyukai teknik Krowezynki.

Tim tersebut telah membuktikan bahwa :

1. Peningkatan suhu lebur akibat penyimpanan akan menghambat difusi zat aktif

direktum, dan menghambat proses penyerapannya.

2. Cara pendinginan (perlahan atau tiba-tiba) setelah penuangan leburan

supositoria tidak menunjukan perbedaan yang nyata pada laju peleburan,

demikian pula pengaruh cara fibrikasi dan setelah penyimpanan dalam waktu

yang lama.

3. Penyimpanan supositoria dalam suhu lemari es dapat mengawetkan tanpa

mengakibatkan perbedaan laju peleburan secara nyata baik setelah selesai

dibuat maupun saat disimpan lama.

Biofarmasetik Page 31
Sedangkan penambahan bahan pengental seperti silikon koloida belum
dapat dibuktikan karena waktu peleburan yang singkat dan dalam batas-batas
yang dianjurkan, namun secara invivo dibuktikan adanya penurunan
ketersediaan hayati zat aktif dalam supositoria.

c. Penampakan

Dimaksudkan untuk membuktikan pengaruh surfaktan tertentu terhadap


penampakan. Czetch-Lindelwald (76) mengukur penampakan pada suhu 400C
dari bahan pembawa yang dioleskan pada selembar kertas saring yang
mengandung gom arab, gliserin, dan air. Sedangkan Villeymel melakukan
pengukuran pada suhu 370C dan meletakkan pembawa diatas gelas arloji.

3.3.3.2 Metoda pengujian difusi zat aktif

- Menggunakan beaker yang mengandung air pada suhu 370C. Cuplikan cairan
difusi diambil dalam rentang waktu tertentu hingga dapat dievaluasi jumlah
zat aktif yang larut

- Untuk Senyawa antiseptik atau antibiotik digunakan teknik difusi ( statik )


diatas media pebenihan jeli dengan selapis mikroba baku. Pelepasan zat aktif
dikaitkan dengan luas daerah hambatan media tersebut. Namun metoda ini
memeiliki kesalahan yang disebabkan oleh struktur kimi dan ukuran molekul
tertentu dapat menghambat difusi ke dalam media dan sisi tebal lapisan media
tidak tepat sama.

- Akhirnya diusulkan satu seri metoda yang berkaitan dengan difusi zat aktif
melintasi membran, percobaan dilakukan pada suhu fisiologik.

Teknik tersebut terdiri atas dua kelompok yaitu :


a. Supositoria kontak dengan jumlah cairan tertentu dengan suatu pengadukan

sederhana.

Biofarmasetik Page 32
b.Cairan mengalir melintasi ruang pelarutan yang didalamnya terdapat

Supositoria yang terbungkus dalam membran dialisa, proses terjadi dalam

Sirkulasi tertutup

2.3 FAKTOR PATO-FISIOLOGIK YANG MEMPENGARUHI


PENYERAPAN MELALUI REKTUM

Hanya sedikit penelitian yang membahas pengaruh faktor fisiologik


atau patofisiologik yang dapat mempengaruhi penyerapan melalui rektum.
Perlu diperhatikan bahwa subyek demam menunjukan penyerapan yang
lebih baik bila zat aktif berada dalam pembawa berlemak, seperti pada
percobaan supositoria yang menggunakan perunut aspirin (148).

Sebaiknya subjek dengan gangguan transisi saluran cerna dengan diare


tidak dapat diberi pengobatan sisteik melalui rektum, juga penderita wasir.
Sebaiknya penggunaan salep pada penderita wasir.

Masalah terakhir yang terkait dengan cara pemberian supositoria tentu


saja hal itu harus diberikan setelah pencucian rektum atau pembersihan feses
dalam rektum dengan lavement, dan bila disukai pada subyek yg puasa. Bila
keadaan tersebut dipenuhi diharapkan terjadi penyerapan yang bermakna
seperti halnya pemberian obat per-oral. Namun hal itu jarang dilakukan,
sehingga berpendapat bahwa hal tsb merupakan alasan penolakan pemberian
supositoria dan levament pada masyarakat.

Biofarmasetik Page 33
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Rektum adalah bagian akhir saluran cerna yang terdiri atas dua bagian
yaitu bagian superior yang cembung dan bagian inferior yang cekung. Bagian
pelvinal melebar membentuk ampula recti yang berfungsi untuk menampung
feses.

Pada evaluasi biofarmasetik pemberian direktum biasanya supositoria


yang dibahas dimana Supositoria kadang-kadang diganti dengan kapsul rektum
yang terdiri atas cangkang dari gelatin lunak dan diisi dengan zat pasta. Evaluasi
biofarmasetik supositoria tergantung pada :

- Cara kerja supositoria


- Kinetik pelepasan dan penyerapan zat aktif

Hanya sedikit penelitian yang membahas pengaruh faktor fisiologik atau


patofisiologik yang dapat mempengaruhi penyerapan melalui rektum. Perlu
diperhatikan bahwa subyek demam menunjukan penyerapan yang lebih baik bila
zat aktif berada dalam pembawa berlemak, seperti pada percobaan supositoria
yang menggunakan perunut aspirin (148).

Biofarmasetik Page 34

Anda mungkin juga menyukai