Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi adalah suatu profesi kesehatan yang berhubungan dengan pembuatan
dan distribusi dari produk yang berkhasiat obat, ini meliputi seni dan ilmu
pengetahuan dari sumber alam atau sintetik menjadi material atau produk yang cocok
dipakai untuk mencegah, dan mendiagnosa penyakit. Dalam farmasi juga
mempelajari berbagai ilmu terapan, diantaranya adalah matematika, fisika, biologi,
kimia, dan masih banyak cabang ilmu lainnya. Salah satu Ilmu yang mendasardari
farmasi yaitu farmakognosi (Dirjen POM, 1979).
Farmakognosi merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang bagian-
bagian tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai obat alami yang telah
melewati berbagai macam uji seperti uji farmakodinamik, uji toksikologi dan uji
biofarmasetika. Kata Farmakognosi berasal dari dua perkataan Yunani yaitu
Pharmakon yang berarti obat dan gnosis yang berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi
farmakognosi berarti pengetahuan tentang obat, di Indonesia farmakognosi
dikhususkan ilmu yang mempelajari tentang obat dari bahan nabati, hewani dan
mineral. Farmakognosi juga mencakup suatu proses berupa maserasi dan evaporasi
yang merupakan salah satu aspek dari farmakognosi (Gunawan, 2004).
Skrining fitokimia atau disebut juga penapisan fitokimia merupakan uji
pendahuluan dalam menentukan golongan senyawa metabolit sekunder yang
mempunyai aktivitas biologi dari suatu tumbuhan. Skrining fitokimia tumbuhan
dijadikan informasi awal dalam mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat
didalam suatu tumbuhan. Dalam percobaan ini, skrining fitokimia dilakukan dengan
menggunakan pereaksi-pereaksi tertentu sehingga dapat diketahui golongan senyawa
kimia yang terdapat pada tumbuhan tersebut (Nainggolan et al., 2019).
Skrining fitokimia merupakan metode yang digunakan untuk mempelajari
komponen senyawa aktif yang terdapat pada sampel, yaitu mengenai struktur
kimianya, biosintesisnya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya,

1
isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis
tanaman. Letak geografis, suhu, iklim dan kesuburan tanah suatu wilayah sangat
menentukan kandungan senyawa kimia dalam suatu tanaman. Sampel tanaman yang
digunakan dalam uji fitokimia dapat berupa daun, batang, buah, bunga dan akarnya
yang memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam
pembuatan obat modern maupun obat-obatan tradisional (Agustina, dkk. 2016)
Fitokimia atau kimia tumbuhan mempelajari aneka ragam senyawa organik
yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan yaitu mengenai struktur kimianya,
biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah serta
fungsi biologinya. Tumbuhan menghasilkan berbagai macam senyawa kimia organik,
senyawa kimia ini bisa berupa metabolit primer maupun metabolit sekunder,
metabolit sekunder juga dikenal sebagai hasil alamiah metabolism. Berdasarkan hasil
biosintetiknya, metabolit sekunder dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar yakni
terpenoid (tripenoid, steroid, dan saponin) alkaloid dan senyawa-senyawa fenol
(flavonoid dan tannin).
Kandungan senyawa metabolit sekunder dalam suatu tanaman dapat diketahui
dengan metode pendekatan yang memberikan informasi adanya senyawa metabolit
sekunder. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode skrining fitokimia.
Uji fitokimia terhadap kandungan senyawa kimia metabolit sekunder
merupakan Langkah awal yang penting dalam penelitian mengenai tumbuhan obat
atau dalam hal pencarian senyawa aktif baru yang berasal dari bahan adalm yang
dapat menjadi precursor bagi sintesis obat-obat baru atau menjadi prototype senyawa
aktif tertentu. Oleh karenanya, metode uji fitokimia harus merupakan uji sederhana
tetapi terandalkan. Metode uji fitokimia yang banyak digunakan adalah metode reaksi
warna dan pengendapan yang dapat dilakukan di lapangan atau di laboratorium.
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih
atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari system siklik. Alkaloid
sering kali beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang
menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Uji sederhana, tapi

2
sama sekali tidak sempurna untuk alkaloid dalam daun atau buah adalah rasa pahitnya
di lidah (Harbone, 1996).
Flavonoid sering terdapat sebagai glikosida, golongan terbesar flavonoid
berciri mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai tiga karbon dengan salah
satu dari cincin benzene. Efek flafonoid terhadap macam-macam organism sangat
banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung
flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid tertentu merupakan
komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati
gangguan hati (Robinson, 1995).
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat menimbulkan bus ajika
dikocok dalam air pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel
darah merah. Saponin digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormone steroid
yang digunakan dalam bidang Kesehatan. Dua jenis saponin yang sering dikenal yaitu
glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai
rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi
tidak larut dalam eter (Robinson, 1995).
Triterpenoid adalah senyawa kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu
skaulena. Triperpenoid dapat digolongkan menjadi triperna sebenarnya, steroid,
saponin dan glikosida jantung (Harbone, 1996).
Pelarut yang digunakan harus mempunyai kepolaran yang berbeda. Hal ini
disebabkan kandungan kimia dari suatu tumbuhan hanya dapat terlarut pada pelarut
yang sama kepolarannya, sehingga suatu golongan senyawa dapat dipisahkan dari
senyawa lainnya (Sumarnie et al, 2005).
1.2 Maksud Percobaan
1. Mahasiswa diharapkan mampu memahami metode skrining fitokimia
2. Mahasiswa diharapkan mampu melakukanmetode skrining fitokima
3. Mahasiswa mampu mengetahui senyawa yang terkandung dalam daun
bandotan (grenatum conyzoides)

3
1.3 Tujuan Percobaan
1. Agar mahasiswa mampu memahami metode skrining fitokimia
2. Agar mahasiswa mampu melakukan metode skrining fitokimia
3. Agar mahasiswa mampu mengetahui senyawa kimia yang terkandung dalam
daun bandotan (grenatum conyzoides)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Simplisia
Simplisia atau herbal yaitu bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan
lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60°C (Ditjen POM, 2008).
Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang masih
berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk (Gunawan,
2010).
Jadi simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia mineral (Melinda, 2014).
Jenis-jenis simplisia antara lain :
a. Simplisia Nabati
Simplisa nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman
atau eksudat tanaman.Yang dimaksud dengan eksudat tanaman adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanamannya (Melinda, 2014).
b. Simplisia Hewani
Simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni Contohnya adalah minyak
ikan dan madu. (Nurhayati Tutik, 2008)
c. Simplisia Mineral
Simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau
yang telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni.
Contohnya serbuk seng dan serbuk tembaga (Meilisa, 2009)

5
Proses Pembuatan Simplisia
a. Sortasi Basah
Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar.
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing
seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak serta pengotoran
lainnya harus dibuang. Tanah yang mengandung bermacam-macam mikroba dalam
jumlah yang tinggi. Oleh karena itu pembersihan simplisia dan tanah yang terikut
dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Depkes RI, 1979).
b. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang
melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air
dan mata air, air sumur dan PDAM, karena air untuk mencuci sangat mempengaruhi
jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Misalnya jika air yang digunakan untuk
pencucian kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat
bertambah dan air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut dapat mempercepat
pertumbuhan mikroba. Bahan simplisia yang mengandung zat mudah larut dalam air
yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin
(Melinda, 2014).
c. Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan untuk memperoleh
proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan
dikeringkan maka semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu
pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga menyebabkan berkurangnya
atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi
komposisi, bau, dan rasa yang diinginkan. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau,
dengan alat mesin perajangan khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan
dengan ukuran yang dikehendaki (Kartasapoetra, 1992).

6
d. Pengeringan
Menurut Nugroho, (2012) proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan
sebagai berikut :
a. Menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi kapang
dan bakteri.
b. Menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif.
c. Memudahkan dalam hal pengolahan proses selanjutnya (ringkas, mudah
disimpan, tahan lama, dan sebagainya).
Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila
kadar airnya dapat mencapai kurang dan 10%. Hal-hal yang perlu diperhatikan dari
proses pengeringan adalah suhu pengeringan, lembaban udara, waktu pengeringan
dan luas permukaan bahan. Suhu yang terbaik pada pengeringan adalah tidak
melebihi 60° , tetapi bahan aktif yang tidak tahan pemanasan atau mudah menguap
harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30° sampai 45°. Terdapat
dua cara pengeringan yaitu pengeringan alamiah (dengan sinar matahari langsung
atau dengan diangin-anginkan) dan pengeringan buatan dengan menggunakan
instrumen (Zahro, 2009).
e. Sortasi Kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan.
Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong atau bahan yang
rusak (Somantri, 2002).
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman
yang tidak diinginkan atau pengotoran-pengotoran lainnya yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering.

7
f. Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu
ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara
simplisia satu dengan lainnya (Winarto, 1977).
Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia
adalah harus inert, artinya tidak bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu
melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan
bahan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air.
2.1.2 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan metode yang digunakan untuk mempelajari
komponen senyawa aktif yang terdapat pada sampel, yaitu mengenai struktur
kimianya, biosintesisnya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya,
isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis
tanaman. Letak geografis, suhu, iklim dan kesuburan tanah suatu wilayah sangat
menentukan kandungan senyawa kimia dalam suatu tanaman. Sampel tanaman yang
digunakan dalam uji fitokimia dapat berupa daun, batang, buah, bunga dan akarnya
yang memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam
pembuatan obat modern maupun obat-obatan tradisional (Agustina, dkk. 2016).
Skrining fitokimia merupakan tahapan awal yang dilakukan untuk
mengidentifikasi kandungan metabolit sekunder dalam suatu tanaman. Skrining
fitokimia biasanya meliputi pemeriksaan kandungan senyawa flavonoid, tannin,
alkaloid, steroid, saponin, glikosida dan terpenoid. (Harbone, 1987)
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol alam yang terbesar.
Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pasti ditemukan pada
setiap telaah ekstrak tumbuhan (Markham, 1988).
Ketahanan oksidasi dapat dibedakan dari adanya gugus hidroksil pada rantai
C3. Dalam tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon
flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak

8
reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Pada tumbuhan flavonoid ini
berfungsi sebagai pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, antimikroba dan
antivirus (Robinson, 1995).
Flavonoid dapat dijadikan obat tradisional karena flavonoid dapat bekerja
sebagai inhibitor pernafasan, menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase,
protein kinase, DNA polimerase dan lipooksigenase. Flavonoid terbukti mempunyai
efek biologis antioksidan yang sangat kuat yaitu sebagai antioksidan yang dapat
menghambat penggumpalan keping-keping sel darah, merangsang pembentukan
produksi nitrit oksida (NO) yang berperan melebarkan pembuluh darah
(vasorelaction) dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker (Winarsi, 2007)
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, air.
Sebaliknya, aglikon flavonoid yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan
flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut
seperti eter dan kloroform (Markham, 1988).
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan mengecualikan
alga dan hornwort. Flavonoid terdapat pada bagian tumbuhan termasuk daun, akar,
kayu, kulit, tepung sari, nektar, bunga, buah buni dan biji Segi penting penyebaran
flavonoid dalam tumbuhan ialah adanya kecenderungan kuat bahwa tetumbuhan
secara taksonomi berkaitan akan menghasilkan flavonoid yang jenisnya serupa
(Markham,1988).
b. Tannin
Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang ada di
tanaman dan disintesis oleh tanaman. Tanin merupakan senyawa.yang mempunyai
berat molekul 500 hingga 3000. Senyawa tersebut mengandung gugus hidroksi
fenolik yang memungkinkan membentuk ikatan silang yang efektif dengan senyawa
protein (Hidayah, 2016).
Tanin memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya pembusukan daun
dan menurunkan tingkat konsumsi hewan untuk makanan. Tanin dapat dijumpai pada

9
hampir semua jenis tumbuhan hijau baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat
rendah dengan kadar yang berbeda-beda. Tanin merupakan zat yang keberadaanya
tersebar..luas dalam..tanaman, seperti..daun, buah..yang belum matang, batang, dan
kulit kayu. Kandungan tanin pada buah yang belum matang digunakan sebagai
sumber energi dalam proses metabolisme dalam bentuk oksidasi tanin. Tanin yang
dikatakan sebagai sumber asam dan pahit pada buah (Nadiah, 2014).
Sifat utama tanin tergantung pada gugus phenolik-OH yang terkandung,
senyawa ini memiliki daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun. Tanin
bekerja sebagai zat astringent, menyusutkan jaringan dan menutup struktur protein
pada kulit dan mukosa (Sukorini, 2006).
c. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa
dengan satu atau lebih atom nitrogen yang umumnya berada dalam gabungan sistem
siklik. Golongan senyawa ini biasanya memiliki aktivitas farmakologis pada manusia
dan hewan. Ciri-ciri alkaloid umumnya berbentuk padat (kristal), meskipun dalam
suhu kamar ada yang cair (misalkan nikotin), memutar bidang polarisasi, berasa
pahit, bentuk garam larut dalam air dan larut dalam pelarut organik dalam bentuk
bebas atau basanya (Harborne, 1997).
Sebagian besar alkaloid yang ditemukan dialam umumnya mempunyai
keaktifan fisiologis tertentu, ada yang beracun dan ada juga yang digunakan untuk
obat. Contohnya morfin dan striknin merupakan senyawa alkaloid yang terkenal
memiliki efek fisiologis dan psikologis. Sifat-sifat fisiologis alkaloid menarik 9
perhatian para ahli kimia. Pada tumbuhan, alkaloid dapat ditemukan dibagian biji,
daun, ranting dan kulit batang. Kadar alkaloid dalam jaringan tumbuhan kurang dari
1% akan tetapi kulit batang dari tumbuhan kadang-kadang mengandung 10- 15%
alkaloid seperti kulit batang kina yang mengandung sekitar 10% kuinin (Sjamsul
Arifin Achmad, 1986).
Metode yang biasa digunakan untuk pemurnian dan karakterisasi senyawa
alkaloid yaitu mengandalkan sifat kimia alkaloid yaitu kebasaannya dan pendekatan

10
khusus harus dikembangkan untuk beberapa alkaloid (seperti rutaekarpina, kolkisina,
risinina) yang tidak bersifat basa. Alkaloid diperoleh dengan cara mengekstraksi
bahan tumbuhan menggunakan asam yang melarutkan alkaloid sebagai garam atau
bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya lalu basa
bebas diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya.
Beberapa alkaloid sintesis dapat terbentuk jika menggunakan pelarut yang reaktif.
Untuk alkaloid yang dapat menguap seperti nikotina dapat dimurnikan dengan cara
penyulingan uap dari larutan yang dibasakan. Larutan dalam air yang bersifat asam
dan mengandung alkaloid dapat dibasakan kemudian diekstraksi dengan pelarut
organik sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal
dalam air (Padmawinata, 1995).
Menurut Meyer’s Conversation Lexicions (1896), alkaloid terjadi secara
karakteristik didalam tumbuh-tumbuhan dan sering dibedakan berdasarkan
kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa alkaloid terdiri atas karbon, hidrogen dan
nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai dengan namanya
yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya sepasang 10 elektron
bebas yang terdapat pada nitrogen sehingga dapat mendonorkan sepasang
elektronnya. Mendefenisikan alkaloid tunggal sulit dilakukan dan sudah berjalan
selama bertahun-tahun. Berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan, istilah senyawa
alkaloid yang beragam harus ditinggalkan (Hesse, 1981).
Menurut Evans (1996), secara umum alkaloid dapat digolongkan berdasarkan
strukturnya menjadi alkaloid heterosiklik dan alkaloid non heterosiklik. Atom N pada
alkaloid non heterosiklik dapat berupa atom N primer (meskalin), sekunder (efedrin),
tersier (atropin) dan kuartener (tubokurarin). Sedangkan alkaloid heterosiklik dapat
diklasifikasikan lagi berdasarkan struktur cincin yang dimilikinya yakni pirol atau
pirolidin (higrin), pirolizidin (seneklonin), piridin dan piperidin (piperin, lobelin),
tropan (kokain), kuinolin (kuinin, kuinidin), aporfin (boldin), kuinolizidin (spartein),

11
indol atau benzopirol (ergometrin), indilizidin (swainsonin), imidazol (pilokarpin),
purin (kafein), steroidal (solanidin), dan terpenoid (akonitin) (Cahyan, 2012).
Struktur tropana Alkaloid juga dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
tumbuhan seperti alkaloid tembakau, alkaloid amaryllidaceae, alkaloid erythrina dan
sebagainya. Alkaloid tertentu tidak hanya ditemukan pada satu suku tumbuhan
tertentu saja, seperti nikotin yang tidak hanya ditemukan pada tumbuhan jenis
tembakau suku solanaceae tetapi ditemukan juga pada tumbuhan lain yang termasuk
dalam jenis tumbuhan tembakau. Cara ini memiliki kelemahan yaitu alkaloid yang
berasal dari tumbuhan tertentu dapat memiliki struktur yang berbeda (Astuti, 2007).
Alkaloid juga dapat diklasifikasikan berdasarkan asal usul biogenesisnya.
Dengan cara ini dapat menjelaskan antara berbagai alkaloid yang diklasifikasikan
berdasarkan jenis cincin heterosiklik. Percobaan-percobaan biosintesis menunjukkan
bahwa alkaloid hanya berasal dari beberapa asam amino tertentu saja. Alkaloid
dibedakan menjadi tiga macam yaitu alkaloid alisiklik, alkaloid aromatik jenis
fenilalanin dan alkaloid aromatik jenis indol.
a. Alkaloid alisiklik adalah alkaloid yang berasal dari asam-asam amino ornitin
dan lisin.
b. Alkaloid aromatik jenis fenilalanin adalah alkaloid yang berasal dari
fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidroksifenilalanin.
c. Alkaloid aromatik jenis indol adalah alkaloid yang berasal dari triptofan
(Sjamsul Arifin Achmad, 1986).
d. Steroid
Steroid adalah molekul bioaktif penting dengan kerangka dasar 17 atom C
yang tersusun dari 4 buah gabungan cincin, 3 diantaranya yaitu sikloheksana dan
siklopentana (Dang et al., 2018).
Senyawa steroid berupa kristal berbentuk jarum dengan karakteristik
mengandung gugus OH, gugus metil, dan memiliki ikatan rangkap yang tidak
terkonjugasi (Suryelita et al., 2017).

12
Struktur dasar senyawa steroid (Elks, 1976) Steroid memiliki peran
pentingdalam dunia medis, salah satunya yaitu androgen yang merupakan hormon
steroid yang berfungsi sebagai agen yang menstimulasi organ seksual pada wanita
(Nogrady, 1992).
Tugas utama steroid endogen atau yang secara alami terdapat dalam tubuh
yaitu berperan dalam proses regulasi metabolisme seperti metabolisme energi, air dan
keseimbangan natrium, fungsi reproduksi dan fungsi perilaku dan kognitif. Selain itu,
senyawa steroid sintetis dalam jumlah besar secara struktural yang memiliki target
spesifik telah menunjukkan aktifitasnya terhadap beberapa penyakit seperti kanker,
gangguan hati, kardiovaskular, inflamasi, dan penyakit lainnya yang berhubungan
dengan hormon sterid (Bhawani et al., 2011).
Salah satu kandungan steroid yang ada pada tanaman adalah campestrol.
Sama seperti β-sitosterol yang sering ditemukan di tanaman, campesterol memiliki
efektifitas sebagai antikanker. β-sitosterol berguna untuk mencegah berbagai macam
kanker seperti kanker rahim, payudara, prostat dan usus (Awad et al., 2000).
e. Saponin
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies
tanaman konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu dan dipengaruhi oleh varietas
tanaman dan pertumbuhan. Saponin juga termasuk senyawa aktif permukaan yang
kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan bersifat seperti sabun.
Senyawa tersebut larut..dalam air dan alkohol namun tidak dalam eter (Illing, Safitri,
& Erfiana, 2017).
Menurut Ridwan & Muliani (2013) Saponin diketahui mempunyai efek anti
jamur dan anti serangga. Kandungan saponin lebih banyak ditemukan pada bagian
tanaman yang berumur muda dibandingkan dengan yang tua, saponin merupakan
senyawa pertahanan alami pada tanaman, dan memiliki kemampuan hemolitik
(Purnamaningsih, Nururrozi, & Indarjulianto, 2017).

13
Senyawa tersebut dapat bekerja sebagai racun perut yang zatnya dapat masuk
ke tubuh larva melalui mulut kemudian meracuni larva, selain itu juga memiliki sifat
toksik bagi hewan- hewan kecil (Ogbuagu, 2008).

2.2 Uraian Bahan


2.2.1 Alkohol (Dirjen Pom, 1979)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, etil, alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih mudah menguap


dan mudah bergerak bau khas, rasa panas mudah
terbakar, dan memberikan nyala biru.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam kloroform p dan
eter
Khasiat : Sebagai anti septik
Kegunaan : Sebagai pembersih luka
Penyimpanan : Simpan dalam wadah yang tertutup
2.2.2 Aquadest (Dirjen Pom, 1979)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Aquadest, air suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :

14
Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
berasa
Kelarutan : Larut dalam semua jenis pelarut
Khasiat : Sebagai larutan
Kegunaan : Zat tambahan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap
2.2.3 FeCl3 (Dirjen Pom, 1979)
Nama resmi : FERRI CHLORIDIUM
Nama lain : Besi (III) klorida
Rumus molekul : FeCI3
Berat molekul : 162,2 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, warna hitam kehijauan


Kelarutan : Larut dalam air, larutan beropalesensi
Khasiat : Senyawa analgesik
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.4 Asam klorida (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACIDUM HYDROCHLORYDUM
Nama lain : Asam Klorida
Rumus molekul : HCl
Berat molekul : 36,46 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan, tidak berwarna, berasap, bau merangsang.

15
Kelarutan : Jika diencerkan dengan 2 bagian air, asap dan bau
hilang
Khasiat : -
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadaah tertutup rapat
2.2.5 Libermen Burchard (Dirjen Pom, 1979)
Nama resmi : ACIDUM SULFURICUM
Nama lain : Asam Sulfat
Rumus molekul : H2SO4
Berat molekul : 98,7 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan kental seperti minyak, korosif, tidak


berwarna; jika ditambahkan ke dalam air
menimbulkan panas.
Kelarutan : Mudah larut dalam air
Khasiat : -
Kegunaan : -
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.2.6 Anhidrida Asam Asetat (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACIDUMACETIC ANHIDRIDA
Nama lain : Asam asetat andidrida
Rumus molekul : 102,09 g/mol
Berat molekul : CH3(CO)2O
Rumus struktur :

16
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, berbau tajam,
mengandung tidak kurang dari 95% C4H6O3
Kelarutan : Larut dalam air
Khasiat : -
Kegunaan : Pelarut dan pemberian gugus pada setil
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.2.7 Magnesium (Dirjen POM, 1995)
Nama resmi : MAGNESII HYDROXIDUM
Nama lain : Magnesium hidroksida
Rumus molekul : Mg(OH)2
Berat molekul : 8,32g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk putih


Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan etanol larut dalam
asam encer
Khasiat : -
Kegunaan : -
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.8 Mayer (HgCl2 ( Dirjen POM, 1979 ))
Nama resmi : HYDRAGYRI SUBCHLORIDUM
Nama lain : Raksa ( I ) Klorida, Kalomel
Rumus molekul : HgCl2
Berat molekul : 271,52 g/mol
Rumus struktur :

17
Pemerian : Serbuk halus, berat; putih; tidak berbau; hampir
tidak berasa. Jika kena udara, lambat laun warna
menjadi tua.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam etanol (95%)
p, dalam eter p, dan dalam asam encer dingin.
Khasiat : Laksativum
Kegunaan : -
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya.
2.2.9 Kl ( Dirjen POM, 1979 )
Nama resmi : KALII IODIDUM
Nama lain : Kalium Iodida
Rumus molekul : Kl
Berat molekul : 166,00 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Hablur heksahedral, transparan atau tidak


berwarna, opak dan putih, atau serbuk butiran
putih, higroskopik.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, lebih mudah larut
dalam air mendidih; larut dalam etanol (95%) p;
mudah larut dalam gliserol p
Khasiat : Anti jamur
Kegunaan : -
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.10 Metanol (Dirjen Pom, 1979)
Nama resmi : METANOL
Nama lain : Metanol

18
Rumus molekul : CH3OH
Berat molekul : 32,04 g/mol

Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, gliserin, bau khas.


Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, membentuk cairan
jernih tidak berwarna.
Khasiat : -
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.3 Uraian Bahan
2.3.1 Klasifikasi Daun Bandotan (Ageratum conyzoides L)
Tanaman Bandotan memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan.
Klasifikasi tanaman Bandotan (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991):
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Ageratum
Spesies : Ageratum conyzoides L.
2.3.3 Morfologi Daun Bandotan
Bandotan mempunyai jenis daun yangbertangkai tunggal, letaknya bersilang
dan berhadapan. Daun bandotan memiliki bentuk bulat telur yang pada bagian
panggkalnya membulat dengan ujung yang runcing. Tepian daun bandotan bergerigi,
umunya memiliki ukuran lebar 0,5-6 cm, dan panjang 1-10 cm, bagian permukaan

19
atas maupun bawah daun mempunyai rambut panjang dengan kelenjar yang terletak
di permukaan bawah daun, warnanya hijau (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991)
2.3.4 Kandungan Kimia Daun Bandotan
Tanaman bandotan yang memiliki nama ilmiah Ageratum conyzoides L yang
merupakan salah satu tumbuhan obat yang cukup mudah didapatkan di Indonesia.
Manfaat dari tumbuhan ini umumnya dimanfaatkan sebagai obat bisul, luka luar yang
berdarah, eksema, serta digunakan untuk mengobati beberapa jenis penyakit infeksi
dari bakteri. Selain itu bandotan umumnya juga digunakan sebagai perawatan rambut,
diuretik, dan penyegar badan (Depkes, 1979; Syamsuhidayat & Hutapea, 1991;
Wijayakusuma, 1994). Dan juga ekstrak daun etanol 96% bisa dimanfaatkan sebagai
antimikroba (Gunawan & Mulyani, 2004). Ektrak daun bandotan dengan etanol 96%
juga mempunyai manfaat sebagai antivirus (Solizhati, 2010).
Daun bandotan dengan esktrak etanol 96% teridentifikasi golongan senyawa
yaitu flavonoid, triterpenoid, minyak atsiri dan saponin (Solizhati, 2010). Hal tersebut
juga dilaporkan oleh Amadi et al., (2012), yang menyebutkan bahwa bandotan
memiliki senyawa flavonoid.

20
BAB III
METODE KERJA
3.1 Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum Farmakognosi ”Skrining Fitokimia” dilaksanakan pada hari Selasa,
28 September 2021 pukul 11.45 WITA sampai dengan selesai di Laboratorium Bahan
Alam, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri
Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada saat praktikum yaitu Batang pengaduk,
Cawan porselin, Lap halus, Rak tabung, Spatula, Pipet tetes, Tabung reaksi.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada saat praktikum yaitu Aquadest, Air
panas, Alkohol 70%, Metanol 96%, Eksrtak kental bandotan, Fecl3, Hcl, Pereaksi
dragendroff, Pereaksi Liberman burchard, Pereaksi Meyer, Serbuk Magnesium,
Tissu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Skrining Fitokimia
1. Disiapaknalat dan bahan.
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
3. Dimasukkan ekstrak kental daun bandotan kedalam cawan porselin.
4. Ditambahkan metanol 96%.

21
5. Diaduk hingga larut.
6. Disiapkan 6 tabung reaksi dan diberi label senyawa pada masing-masing    
tabung
7. Dimasukkan larutan daun bandotan secukupnya kedalam masing-masing
tabung reaksi.

3.3.2 Alkaloid Dragendroff


1. Ditamabahkan pereaksi dragendroff dalam tabung reaksi yang berisi larutan
daun bandotan
2. Dikocok sampai terjadi terjadi perubahan warna dan adanya endapan
3.3.3 Alkaloid meyer
1. Ditambahkan pereaksi meyer kedalam tabung reaksi sebanyak 5 tetes
2. Dikocok sampai muncul endapan putih
3.3.4 Saponin
1. Ditambahkan air panas kedalam tabung reaksi yang berisi larutan daun
bandotan
2. Dikocok dan diamati hingga terbentuknya busa
3.3.5 Flavonoid
1. Ditambahkan serbuk magnesium kedalam tabung yang berisi larutan daun
bandotan
2. Ditambahkan kembali Hcl sebanyak 5 tetes
3. Dikocok sampai terjadi perubahan warna merah
3.3.6 Tanin
1. Ditambahkan Fecl3 sebanyak 5 tetes kedalam tabung yang berisi larutan daun
bandotan
2. Dikocok sampai terjadi perubahan warna hijau kebiruan
3.3.7 Steroid

22
1. Ditambahkan pereaksi liberman burchard kedalam tabung yang berisi larutan
daun bandotan
2. Dikocok sampai terjadi perubahan warna hijau tua

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Hasil

Gambar 4.1.1
Hasil Uji Fitokimia

4.1.2 Pengamatan
Nama Senyawa Hasil
tanaman Pereaksi Ket.
Pembanding Larutan uji

23
Alkaloid 1. Dragen
droff +

2. Meyer
Daun
Berwarna hijau Berwarna hijau
Bandotan
tua dan tidak tua dan
terdapat terdapat
endapan endapan

Saponin Air panas

+
Berwarna hijau Berwarna hijau
tua dan tidak tua dan
terdapat busa terdapat busa
putih putih

Flavonoid Serbuk
magnesium +
dan HCl
Berwarna hijau Berwarna
tua merah jingga

Tanin FeCl3

24
-

Berwarna hijau Berwarna hijau


tua tua
(tidak terjadi
perubahan)

Steroid Libermen
burchard +

Hijau tua Hijau kebiruan

Senyawa Reaksi
1. Dragendroff
Alkaloid CBi (NO3)3 + 3KI BiI3 + 3KNO3
BiI3 + KI K [BiI4]

2. Mayer (Marliana dkk., 2005)


HgCl2 + 2KI HgI2 + 2KCl
HgI2 + 2KI K2 [HgI2]

Saponin 1. Air panas

25
Flavonoid 1. Serbuk magnesium dan HCl (Septyaningsih, 2010)

Tanin 1. FeCl3 (Sa’adah, 2010)

Steroid 1. Liberman Burchard (Burke, 2014)

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan mengenai skrining fitokimia
dimana menurut Kristianti dkk (2008), skrining fitokimia merupakan cara untuk
mengidentifikasi bioaktif yang belum tampak melalui tes atau pemeriksaan yang

26
dapat dengan cepat memisahkan antara bahan alam yang memiliki kanfungan
fitokimia tertentu dengan bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia
tertentu. Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian
fitokimia, yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa
yang terkandung dalam tanaman yang diteliti.
Pada skrining fitokimia kali ini, dilakukan uji alkaloid, saponin, flavonoid,
tannin, dan steroid didaun bandotan dimana menurut Menurut Wink (2008), alkaloid
merupakan senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki atom nitrogen,
yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan, sebagian besar alkaloid
bersumber dari tumbuh-tumbuhan, terutama angiosperm. Menurut Patra dan Saxena
(2009), saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada
tanaman tingkat tinggi serta beberapa hewan laut dan merupakan kelompok senyawa
yang beragam dalam struktur, sifat fitokimia dan efek biologisnya. Menurut
Rajalakshmi dan S. Narasimhan (1985), flavonoid merupakan salah satu kelompok
senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan didalam jaringan
tanaman. Horvart (1981), tanin merupakan suatu senyawa fenol yang memiliki berat
molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus bersangkutan,
seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan protein dan
beberapa makromolekul. Menurut Samejo dkk., (2013), steroid merupakan terpenoid
lipid yang dikenal dengan empat cincin kerangka dasar karbon yang menyatu.
Sampel yang digunakan pada praktikum kali ini adalah tumbuhan bandotan
(Ageratum conyzoides) dimana menurut Prasad (2011), tumbuhan bandotan
merupakan sejenis tanaman pengganggu yang banyak ditemukan dipinggir jalan,
hutan, lading, dan tanah terbuka. Menurut Kamboj dan Saluja (2010), kandungan
fitokimia pada tanaman bandotan menunjukan adanya senyawa alkaloid, saponin,
steroid, terpenoid, fenol dan asam lemak.
Adapun alat yang digunakan yaitu batang pengaduk, cawan porselin, lap halus,
pipet tetes, rak tabung, spatula dan tabung reaksi. Bahan yang digunakan adalah

27
alcohol 70%, aquadest, dragen draff, libermen burchard, ekstrak kental daun
bandotan, etanol 96%, HCL, FeCl3, serbuk magnesium, dan tisu.
Langkah pertama yang dilakukan sebelum masuk ke tahap kerja adalah
menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu, kemudian membersihkan alat dengan
alkohol 70%, dimana Menurut siswadono (1995), tujuan digunakan alkohol karena
alkohol bersifat bakterisid untuk antiseptik atau desinfektan yang dapat menurunkan
tegangan permukaan sel bakteri dan denaturasi bakteri. Desinfektan adalah zat kimia
yang menghancurkan atau mengurangi pertumbuhan mikroorganisme patogen/parasit
pada permukaan benda mati sedangkan antiseptik berupa zat atau substansi yang
menghentikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen/parasit pada
permukaan banda hidup/mahkluk hidup. Selanjutnya, diambil ekstrak kental daun
daun bandotan dan dimasukan kedalam cawan porselin. Menurut Puro (2012),
digunakannya cawan porelin sebagai wadah untuk dilarutkannya atau mereaksikan
suatu sampel dengan pelarut.
Langkah selanjutnya, diukur etanol 96% sebanyak 20 ml dimana menurut
Atmojo (2011), pengukuran penting dilakukan untuk menghindari kesalahan saat
pengukuran bobot suatu bahan yang akan ditimbang. Kemudian, dimasukan etanol
96% kedalam cawan porselin yang berisi ekstrak kental dimana menurut Astuti
(2013), etanol 96% digunakan untuk melarutkan ekstrak kental. Tahap selanjutnya,
larutan sampel diaduk hingga larut karena menurut Sangi (2013), pengadukan
bertujuan untuk menghomogenkan larutan dari suatu sampel. Kemudian larutan
dimasukan kedalam tabung-tabung reaksi yang telah diberi label untuk menguji
kandungan metabolit sekunder yang ada dalam sampel daun bandotan.
4.2.1 Uji Alkaloid
Pada uji alkaloid digunakan dua reagen yakni reagen mayer dan reagen
dragendroof dimana menurut Harbone (1987), reagen dragendroof adalah reagen
warna dan endapan untuk mendeteksi senyawa alkaloid dalam sampel uji, sedangkan
menurut Afifah (2012), reagen mayer adalah reagen pengendali alkaloid yang
digunakan untuk mendeteksi kandungan senyawa alkaloid dalam sampel.

28
Tahap pertama yang dilakukan yaitu dengan menetesi larutan sampel daun
bandotan dengan pereaksi dragendroof sebanyak 1-5 tetes kemudian dikocok hingga
homogen. Menurut Hariyatmi (2004), untuk dapat mempengaruhi proses distribusi
suatu larutan sehingga dapat mempengaruhi proses reaksi antara reagen dan larutan
sampel.
Dari uji alkaloid menggunakan pereaksi dragendroof, didapatkan hasil bahwa
terdapat endapan pada sampel sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel daun
bandotan positif mengandung senyawa alkaloid karena menurut Sangi (2008), apabila
terdapat endapan pada penambahan pereaksi, maka identifikasi menunjukan adanya
senyawa alkaloid pada sampel.
Selanjutnya uji kandungan senyawa alkaloid dengan pereaksi mayer yaitu
dengan menambahkan reagen mayer pada larutan sampel sebanyak 1-5 tetes sambil
dikocok hingga homogen dan didapati endapan pada sampel sehingga menunjukan
bahwa sampel mengandung senyawa alkaloid karena menurut Manosroi (2016),
Adanya endapan berwarna kecoklatan menunjukan adanya kandungan senyawa
alkaloid pada sampel tersebut.
4.2.2 Uji Flavonoid
Pada uji kandungan senyawa flavonoid digunakan serbuk magnesium dan HCL
sebagai pereaksi dimana menurut Robinson (1995), penambahan serbuk Mg dan HCL
bertujuan untuk mereduksi benzopiron yang terdapat dalam struktur flavonoid
sehingga terbentuk garam flavilum berwarna putih.
Uji flavonoid pada sampel ekstrak kental daun bandotan dilakukan dengan
menuangkan serbuk Mg secukupnya bersamaan dengan larutan HCL sebanyak 1-5
tetes kemudian dikocok hingga homogen dan didiamkan beberapa saat. Hasil yang
didapatkan pada percobaan uji kali ini didapati perubahan warna pada sampel dari
warna hijau tua menjadi merah jingga sehingga sampel tersebut positif mengandung
senyawa flavonoid dimana menurut Sangi (2008), adanya kandungan flavonoid pada
sampel ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi kuning, jingga, merah tua,

29
sampai magenta. Perubahan warna ini terjadi karena adanya reduksi magnesium
dengan HCL pekat.
4.2.3 Uji Saponin
Pada uji kandungan saponin digunakan air panas sebagai pereaksi dengan cara
menuangkan air panas sebanyak 1-5 tetes kedalam larutan sampel kemudian dikocok
hingga homogen dimana menurut Hariyatmi (2004), pengocokan dilakukan untuk
dapat mempengaruhi proses distribusi suatu larutan sehingga dapat mempengaruhi
proses reaksi antara reagen dan larutan sampel.
Hasil yang didapatkan dari pengujian yang dilakukan terdapat busa pada larutan
sampel menunjukan bahwa sampel daun bandotan positif mengandung saponin
dimana menurut Faizal (2013), adanya kandungan saponin ditandai dengan adanya
buih ketika dikocok karena terbentuknya larutan koloidal pada air sedangkan menurut
Pang (2012), adanya kandungan saponin ditandai dengan terbentuknya buih karena
penurunan tegangan permukaan pada cairan atau air yang disebabkan karena adanya
senyawa sapo.
4.2.4 Uji Steroid
Uji kandungan steroid dilakukan dengan menggunakan Lieberman Burchard
sebagai pereaksi dimana menurut Heinrich (2004), pereaksi Lieberman Burchard
merupakan campuran antara asam anhidrat asetat dan asam sulfat pekat. Asam asetat
anhidrat digunakan untuk mengekstraksi kolesterol dan membentuk turunan asetil
dari steroid sedangkan asam sulfat ditetesi melewati dinding akan menghasilkan
warna hijau untuk steroid termasuk kolesterol.
Pengujian kandungan steroid dilakukan dengan cara menetesi larutan sampel
dengan pereaksi Lieberman Burchard sebanyak 1-5 tetes kemudian dikocok hingga
homogen dan didiamkan selama beberapa saat. Pada pengujian yang dilakukan
terdapat adanya perubahan warna dari hijau tua menjadi hijau kebiruan yang
menunjukan bahwa sampel mengandung senyawa steroid karena menurut Harmita
(2004), adanya senyawa steroid pada sampel ditandai dengan perubahan warna
menjadi hijau biru dikarenakan adanya gas gugus hidroksi (-OH) dari steroid bereaksi

30
dengan larutan Lieberman Burchard dan meningkatkan konjugasi dari ikatan tak
jenuh dalam cincin yang berdekatan.
4.2.5 Uji Tanin
Pada uji kandungan tanin digunakan FeCl3 sebagai pereaksi dimana menurut
Agustina (2016), tujuan penambahan FeCl3 untuk menentukan apakah sampel yang
diuji mengandung gugus fenol yang ditunjukan dengan adanya perubahan warna.
Uji tanin pada sampel daun bandotan dilakukan dengan menetesi larutan
sampel dengan pereaksi FeCl3 sebanyak 1-5 tetes kemudian dikocok sampel dan
didiamkan beberapa saat. Dalam uji kandungan senyawa tanin yang dilakukan, tidak
terdapat perubahan apapun pada sampel sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel
daun bandotan tidak mengandung senyawa tanin karena menurut Rahman (2018),
adanya senyawa tanin pada sampel ditandai dengan perubahan warna menjadi
kehijauan.
Berdasarkan pengamatan organoleptik yang dilakukan pada setiap senyawa
dengan menggunakan pereaksi yang sesuai, didapati bahwa sampel ekstrak kental
daun bandotan positif mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, dan saponin. Menurut
Wink (2008), alkaloid berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan dan senyawa
simpanan yang mampu mempertahankan keseimbangan ion pada tumbuhan paku,
sedangkan flavonoid berfungsi untuk melindungi struktur sel dan sebagai
antiinflamasi. Menurut Haris (2011), saponin memiliki aktivitas antimikroba,
antifungi, dan anti peradangan sehingga sering digunakan untuk pengobatan diare.
Kemungkinan kesalahan yang dilakukan pada percobaan kali ini yaitu
kesalahan dalam pengumpulan data dan jumlah pereaksi yang digunakan dalam
pengujian yang tidak tepat yang sangat berpengaruh pada hasil akhir dari identifikasi
senyawa yang dilakukan.

31
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Skrining fitokimia merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi kandungan senyawa metabolit sekunder suatu bahan alam. Skrining
fitokimia merupakan tahap pendahuluan yang dapat memberikan gambaran mengenai
kandungan senyawa tertentu dalam bahan alam yang akan diteliti. Skrining fitokimia
dapat dilakukan, baik secara kualitatif, semi kuantitatif, maupun kuantitatif sesuai
dengan tujuan yang diinginkan. Metode skrining fitokimia secara kualitatif dapat
dilakukan melalui reaksi warna dengan menggunakan suatu pereaksi tertentu. Hal
penting yang mempengaruhi dalam proses skrining fitokimia adalah pemilihan
pelarut dan metode ekstraksi. Pelarut yang tidak sesuai memungkinkan senyawa aktif
yang diinginkan tidak dapat tertarik secara baik dan sempurna.
Telah dilakukan skrining fitokimia terhadap daun bandotan (grenatum
conyzoides). Positif mengandunng alkaloid, flavonoid, saponin, dan streoid serta
tanin.
Beberapa senyawa kimia yang terkandung dalam daun bandotan diantaranya
yaitu minyak atsiri, turunan terpen, asam amino, kumarin, tanin, sulfur, glikosida dan
kalium klorida.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Jurusan

32
Agar jurusan dapat melengkapi sarana dan prasarana agar dapat memberikan
kenyamanan pada mahasiswa dalam melakukan aktivitas di kampus Universitas
Negeri Gorontalo.
5.2.2 Saran Untuk Laboratorium
Agar alat-alat di laboratorium dapat dilengkapi atau diperbaiki agar seluruh
aktivitas di dalam laboratorium dapat berjalan dengan lancar tanpa ada masalah
apapun.

5.2.3 Saran Untuk Asisten

Kepada para asisten diharapkan dapat membangkitkan semangat kepada kami


sebagai praktikan agar proses belajar dan praktik akan lebih hidup dan memberikan
nilai-nilai edukatif.

33

Anda mungkin juga menyukai