TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Simplisia
Simplisia atau herbal yaitu bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60°C (Ditjen POM,
2008).
Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang
masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk
(Gunawan, 2010).
Jadi simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Melinda, 2014).
Jenis-jenis simplisia antara lain :
a. Simplisia Nabati
Simplisa nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman.Yang dimaksud dengan eksudat tanaman adalah isi
sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya (Melinda, 2014).
b. Simplisia Hewani
Simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni Contohnya adalah
minyak ikan dan madu. (Nurhayati Tutik, 2008).
c. Simplisia Mineral
Simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau yang
telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Contohnya
serbuk seng dan serbuk tembaga (Meilisa, 2009).
2.1.2 Proses Pembuatan Simplisia
a. Sortasi Basah
Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar.
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak serta
pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah yang mengandung bermacam-macam
mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu pembersihan simplisia dan
tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Depkes RI, 1979).
b. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
misalnya air dan mata air, air sumur dan PDAM, karena air untuk mencuci sangat
mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Misalnya jika air yang
digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan
simplisia dapat bertambah dan air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut
dapat mempercepat pertumbuhan mikroba. Bahan simplisia yang mengandung zat
mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam
waktu yang sesingkat mungkin (Melinda, 2014).
c. Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan untuk memperoleh
proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang
akan dikeringkan maka semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat
waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga menyebabkan
berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga
mempengaruhi komposisi, bau, dan rasa yang diinginkan. Perajangan dapat
dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajangan khusus sehingga diperoleh
irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki (Kartasapoetra, 1992)
d. Pengeringan
Menurut Nugroho, (2012) proses pengeringan simplisia, terutama
bertujuan sebagai berikut :
a. Menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi
kapang dan bakteri.
b. Menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif.
c. Memudahkan dalam hal pengolahan proses selanjutnya (ringkas, mudah
disimpan, tahan lama, dan sebagainya).
Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel
bila kadar airnya dapat mencapai kurang dan 10%. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dari proses pengeringan adalah suhu pengeringan, lembaban udara,
waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu yang terbaik pada
pengeringan adalah tidak melebihi 60° , tetapi bahan aktif yang tidak tahan
pemanasan atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin,
misalnya 30° sampai 45°. Terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan
alamiah (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-anginkan) dan
pengeringan buatan dengan menggunakan instrumen (Zahro, 2009).
e. Sortasi Kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses
pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong atau
bahan yang rusak (Somantri, 2002).
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian
tanaman yang tidak diinginkan atau pengotoran-pengotoran lainnya yang masih
ada dan tertinggal pada simplisia kering.
f. Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu
ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara
simplisia satu dengan lainnya (Winarto, 1977).
Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus
simplisia adalah harus inert, artinya tidak bereaksi dengan bahan lain, tidak
beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran,
serangga, penguapan bahan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air.
2.1.3 Ekstraksi Maserasi
Menurut Harbone (1987). Ekstraksi adalah pemisahan zat yang diinginkan
dan zat yang tidak berguna. Teknik pemisahannya didasarkan pada distribusi zat
terlarut antara dua atau lebih pelarut campuran. Ada dua jenis ekstraksi yaitu
ekstraksi secara dingin dan secara panas.
Maserasi adalah pemisahan zat target dengan zat sisa menggunakan
prinsip sifat polaritas dimana akan ada pelarut yang sifat polaritasnya sesuai
dengan zat target. Maserasi merupakan metode yang paling sederhana dalam
pemisahan zat, yaitu dengan cara merendam bahan alam yang telah dikeringkan
dalam suatu campuran pelarut. Keuntungan dari metode ini adalah dapat
digunakan secara praktis serta menggunakan alat dan bahan sederhana serta dapat
menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak. Selain itu, senyawa dalam simplisia
relatif terhindar dari perubahan kimia oleh senyawa-senyawa atau adanya
pemanasan (Pratiwi,2009).
2.1.4 Evaporasi
Menurut L. Mc Cabe (1999), Evaporasi (penguapan) dapat didefinisikan,
yakni sebagai perpindahan kalor ke dalam zat cair yang dapat atau bisa mendidih.
Panas tersebut dapat atau bisa disuplai dengan segala macam cara, baik secara
alami serta penambahan steam. Selain itu Evaporasi juga dapat dimaksud sebagai
salah satu kaedah utama dalam industri kimia untuk memekatkan larutan yang
encer. Tujuan evaporasi ini adalah untuk mengurangi volem dari suatu produk
hingga pada batas-batas tertentu tanpa menyebabkan adanya kehilangan zat-zat
yang dapat mengandung gizi.
2.1.5 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan metode yang digunakan untuk mempelajari
komponen senyawa aktif yang terdapat pada sampel, yaitu mengenai struktur
kimianya, biosintesisnya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya,
isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis
tanaman. Letak geografis, suhu, iklim dan kesuburan tanah suatu wilayah sangat
menentukan kandungan senyawa kimia dalam suatu tanaman. Sampel tanaman
yang digunakan dalam uji fitokimia dapat berupa daun, batang, buah, bunga dan
akarnya yang memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah
dalam pembuatan obat modern maupun obat-obatan tradisional (Agustina, dkk.
2016).
Skrining fitokimia merupakan tahapan awal yang dilakukan untuk
mengidentifikasi kandungan metabolit sekunder dalam suatu tanaman. Skrining
fitokimia biasanya meliputi pemeriksaan kandungan senyawa flavonoid, tannin,
alkaloid, steroid, saponin, glikosida dan terpenoid. (Harbone, 1987)
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol alam yang
terbesar. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pasti
ditemukan pada setiap telaah ekstrak tumbuhan (Markham, 1988).
Ketahanan oksidasi dapat dibedakan dari adanya gugus hidroksil pada
rantai C3. Dalam tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik,
menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Pada
tumbuhan flavonoid ini berfungsi sebagai pengaturan tumbuh, pengaturan
fotosintesis, antimikroba dan antivirus (Robinson, 1995).
Flavonoid dapat dijadikan obat tradisional karena flavonoid dapat bekerja
sebagai inhibitor pernafasan, menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase,
protein kinase, DNA polimerase dan lipooksigenase. Flavonoid terbukti
mempunyai efek biologis antioksidan yang sangat kuat yaitu sebagai antioksidan
yang dapat menghambat penggumpalan keping-keping sel darah, merangsang
pembentukan produksi nitrit oksida (NO) yang berperan melebarkan pembuluh
darah (vasorelaction) dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker (Winarsi,
2007)
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol,
air. Sebaliknya, aglikon flavonoid yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon,
dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam
pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988).
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan
mengecualikan alga dan hornwort. Flavonoid terdapat pada bagian tumbuhan
termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nektar, bunga, buah buni dan biji
Segi penting penyebaran flavonoid dalam tumbuhan ialah adanya kecenderungan
kuat bahwa tetumbuhan secara taksonomi berkaitan akan menghasilkan flavonoid
yang jenisnya serupa (Markham,1988).
Gambar A
Rumus struktur
flavonoid
b. Tannin
Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang ada di
tanaman dan disintesis oleh tanaman. Tanin merupakan senyawa.yang mempunyai
berat molekul 500 hingga 3000. Senyawa tersebut mengandung gugus hidroksi
fenolik yang memungkinkan membentuk ikatan silang yang efektif dengan
senyawa protein (Hidayah, 2016).
Tanin memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya pembusukan daun
dan menurunkan tingkat konsumsi hewan untuk makanan. Tanin dapat dijumpai
pada hampir semua jenis tumbuhan hijau baik tumbuhan tingkat tinggi maupun
tingkat rendah dengan kadar yang berbeda-beda. Tanin merupakan zat yang
keberadaanya tersebar..luas dalam..tanaman, seperti..daun, buah..yang belum
matang, batang, dan kulit kayu. Kandungan tanin pada buah yang belum matang
digunakan sebagai sumber energi dalam proses metabolisme dalam bentuk
oksidasi tanin. Tanin yang dikatakan sebagai sumber asam dan pahit pada buah
(Nadiah, 2014).
Sifat utama tanin tergantung pada gugus phenolik-OH yang terkandung,
senyawa ini memiliki daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun. Tanin
bekerja sebagai zat astringent, menyusutkan jaringan dan menutup struktur protein
pada kulit dan mukosa (Sukorini, 2006).
Gambar B
Rumus struktur Tanin
c. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan senyawa metabolit sekunder yang bersifat
basa dengan satu atau lebih atom nitrogen yang umumnya berada dalam gabungan
sistem siklik. Golongan senyawa ini biasanya memiliki aktivitas farmakologis
pada manusia dan hewan. Ciri-ciri alkaloid umumnya berbentuk padat (kristal),
meskipun dalam suhu kamar ada yang cair (misalkan nikotin), memutar bidang
polarisasi, berasa pahit, bentuk garam larut dalam air dan larut dalam pelarut
organik dalam bentuk bebas atau basanya (Harborne, 1997).
Sebagian besar alkaloid yang ditemukan dialam umumnya mempunyai
keaktifan fisiologis tertentu, ada yang beracun dan ada juga yang digunakan untuk
obat. Contohnya morfin dan striknin merupakan senyawa alkaloid yang terkenal
memiliki efek fisiologis dan psikologis. Sifat-sifat fisiologis alkaloid menarik 9
perhatian para ahli kimia. Pada tumbuhan, alkaloid dapat ditemukan dibagian biji,
daun, ranting dan kulit batang. Kadar alkaloid dalam jaringan tumbuhan kurang
dari 1% akan tetapi kulit batang dari tumbuhan kadang-kadang mengandung 10-
15% alkaloid seperti kulit batang kina yang mengandung sekitar 10% kuinin
(Sjamsul Arifin Achmad, 1986).
Metode yang biasa digunakan untuk pemurnian dan karakterisasi senyawa
alkaloid yaitu mengandalkan sifat kimia alkaloid yaitu kebasaannya dan
pendekatan khusus harus dikembangkan untuk beberapa alkaloid (seperti
rutaekarpina, kolkisina, risinina) yang tidak bersifat basa. Alkaloid diperoleh
dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan menggunakan asam yang melarutkan
alkaloid sebagai garam atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium
karbonat dan sebagainya lalu basa bebas diekstraksi dengan pelarut organik
seperti kloroform, eter dan sebagainya. Beberapa alkaloid sintesis dapat terbentuk
jika menggunakan pelarut yang reaktif. Untuk alkaloid yang dapat menguap
seperti nikotina dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutan yang
dibasakan. Larutan dalam air yang bersifat asam dan mengandung alkaloid dapat
dibasakan kemudian diekstraksi dengan pelarut organik sehingga senyawa netral
dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam air (Padmawinata, 1995).
Menurut Meyer’s Conversation Lexicions (1896), alkaloid terjadi secara
karakteristik didalam tumbuh-tumbuhan dan sering dibedakan berdasarkan
kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa alkaloid terdiri atas karbon, hidrogen
dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai dengan
namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya sepasang
10 elektron bebas yang terdapat pada nitrogen sehingga dapat mendonorkan
sepasang elektronnya. Mendefenisikan alkaloid tunggal sulit dilakukan dan sudah
berjalan selama bertahun-tahun. Berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan, istilah
senyawa alkaloid yang beragam harus ditinggalkan (Hesse, 1981).
Menurut Evans (1996), secara umum alkaloid dapat digolongkan
berdasarkan strukturnya menjadi alkaloid heterosiklik dan alkaloid non
heterosiklik. Atom N pada alkaloid non heterosiklik dapat berupa atom N primer
(meskalin), sekunder (efedrin), tersier (atropin) dan kuartener (tubokurarin).
Sedangkan alkaloid heterosiklik dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan struktur
cincin yang dimilikinya yakni pirol atau pirolidin (higrin), pirolizidin
(seneklonin), piridin dan piperidin (piperin, lobelin), tropan (kokain), kuinolin
(kuinin, kuinidin), aporfin (boldin), kuinolizidin (spartein), indol atau benzopirol
(ergometrin), indilizidin (swainsonin), imidazol (pilokarpin), purin (kafein),
steroidal (solanidin), dan terpenoid (akonitin) (Cahyan, 2012).
Struktur tropana Alkaloid juga dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
tumbuhan seperti alkaloid tembakau, alkaloid amaryllidaceae, alkaloid erythrina
dan sebagainya. Alkaloid tertentu tidak hanya ditemukan pada satu suku
tumbuhan tertentu saja, seperti nikotin yang tidak hanya ditemukan pada
tumbuhan jenis tembakau suku solanaceae tetapi ditemukan juga pada tumbuhan
lain yang termasuk dalam jenis tumbuhan tembakau. Cara ini memiliki kelemahan
yaitu alkaloid yang berasal dari tumbuhan tertentu dapat memiliki struktur yang
berbeda (Astuti, 2007).
Alkaloid juga dapat diklasifikasikan berdasarkan asal usul biogenesisnya.
Dengan cara ini dapat menjelaskan antara berbagai alkaloid yang diklasifikasikan
berdasarkan jenis cincin heterosiklik. Percobaan-percobaan biosintesis
menunjukkan bahwa alkaloid hanya berasal dari beberapa asam amino tertentu
saja. Alkaloid dibedakan menjadi tiga macam yaitu alkaloid alisiklik, alkaloid
aromatik jenis fenilalanin dan alkaloid aromatik jenis indol.
a. Alkaloid alisiklik adalah alkaloid yang berasal dari asam-asam amino
ornitin dan lisin.
b. Alkaloid aromatik jenis fenilalanin adalah alkaloid yang berasal dari
fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidroksifenilalanin.
c. Alkaloid aromatik jenis indol adalah alkaloid yang berasal dari triptofan
(Sjamsul Arifin Achmad, 1986).
Gambar C
Rumus struktur Alkaloid
d. Steroid
Steroid adalah molekul bioaktif penting dengan kerangka dasar 17 atom C
yang tersusun dari 4 buah gabungan cincin, 3 diantaranya yaitu sikloheksana dan
siklopentana (Dang et al., 2018).
Senyawa steroid berupa kristal berbentuk jarum dengan karakteristik
mengandung gugus OH, gugus metil, dan memiliki ikatan rangkap yang tidak
terkonjugasi (Suryelita et al., 2017).
Struktur dasar senyawa steroid (Elks, 1976) Steroid memiliki peran
pentingdalam dunia medis, salah satunya yaitu androgen yang merupakan hormon
steroid yang berfungsi sebagai agen yang menstimulasi organ seksual pada wanita
(Nogrady, 1992).
Tugas utama steroid endogen atau yang secara alami terdapat dalam tubuh
yaitu berperan dalam proses regulasi metabolisme seperti metabolisme energi, air
dan keseimbangan natrium, fungsi reproduksi dan fungsi perilaku dan kognitif.
Selain itu, senyawa steroid sintetis dalam jumlah besar secara struktural yang
memiliki target spesifik telah menunjukkan aktifitasnya terhadap beberapa
penyakit seperti kanker, gangguan hati, kardiovaskular, inflamasi, dan penyakit
lainnya yang berhubungan dengan hormon sterid (Bhawani et al., 2011).
Salah satu kandungan steroid yang ada pada tanaman adalah campestrol.
Sama seperti β-sitosterol yang sering ditemukan di tanaman, campesterol
memiliki efektifitas sebagai antikanker. β-sitosterol berguna untuk mencegah
berbagai macam kanker seperti kanker rahim, payudara, prostat dan usus (Awad et
al., 2000).
Gambar C
Rumus Struktur steroid
e. Saponin
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
spesies tanaman konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu dan dipengaruhi
oleh varietas tanaman dan pertumbuhan. Saponin juga termasuk senyawa aktif
permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan bersifat
seperti sabun. Senyawa tersebut larut..dalam air dan alkohol namun tidak dalam
eter (Illing, Safitri, & Erfiana, 2017).
Menurut Ridwan & Muliani (2013) Saponin diketahui mempunyai efek
anti jamur dan anti serangga. Kandungan saponin lebih banyak ditemukan pada
bagian tanaman yang berumur muda dibandingkan dengan yang tua, saponin
merupakan senyawa pertahanan alami pada tanaman, dan memiliki kemampuan
hemolitik (Purnamaningsih, Nururrozi, & Indarjulianto, 2017).
Senyawa tersebut dapat bekerja sebagai racun perut yang zatnya dapat
masuk ke tubuh larva melalui mulut kemudian meracuni larva, selain itu juga
memiliki sifat toksik bagi hewan- hewan kecil (Ogbuagu, 2008).
Gambar E
Rumus struktur Saponin