Anda di halaman 1dari 17

Pelayanan Farmasi Klinik adalah pelayanan sediaan farmasi berpusat pada individu (person centered-care) yang

dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau bersama tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mengoptimalkan keluaran farmakoterapi yang diterima pasien.
Adapun kegiatan pelayanan farmasi klinik yang sering dilakukan, adalah sebagai berikut:

1. Pemantauan terapi obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat
yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.

 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak
dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan
terapi.

 Rekonsiliasi obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien.
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat.
 Penelusuran riwayat penggunaan obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh
Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara
atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.

 Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor)
kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian
konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.

 Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama
tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat,
memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan
menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
 Evaluasi penggunaan obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.

 Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)


Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada
dokter.

 Pelayanan Swamedikasi
Pelayanan Swamedikasi adalah pelayanan farmasi klinik secara mandiri menggunakan sediaan farmasi yang
berdasarkan peraturanperundangan dapat diserahkan oleh apoteker tanpa resep dokter untuk penanganan gangguan
ringan (Responding to symtoms) dan terdokumentasi dalam catatan pengobatan pasien.
Sejarah Farmasi Klinik •
 Tahun 1870 : Pembuatan dan Pengolahan sediaan farmasi
 Tahun 1952 : Distribusi dan dispensing
 Tahun 1960 : Distribusi dan farmasi klinis yang mengarah pada dispensing dan
konsultasi
 Tahun 1990 : Pharmaceutical care

Perkembangan Farmasi Klinis Dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu,


1. Periode Tradisional
 Periode dimana lebih ditekankan pada penyediaan dan pembuatan produk yang
berkhasiat obat
 Pembuatan bahan obat, baik alam maupun sintetik menjadi sediaan atau produk
yang sesuai
 Industri farmasi mulai tumbuh pesat sehingga peran farmasis makin menyempit
2. Periode Transisional
 Ilmu kedokteran masuk ke era spealistis dan perkembangan obat2 baru
semakin pesat
 Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik disebabkan peningkatan ilmu
pengetahuan, penggunaan teknologi canggih yang mahal, Meningkatnya
jumlah penduduk, meningkatnya permintaan pelayanan medis dan farmasi
yang lebih bermutu, sehingga biaya kesehatan semakin meningkat
 Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi bangsal ( Ward Pharmacy )
dan farmasi klinis ( Clinical Pharmacy )

3. Periode Farmasi Klinis (masa kini)


 Farmasi Klinis berkembang untuk menanggapi keprihatinan masyarakat
terhadap tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang terkait dalam
penggunaan obat,cepatnya peningkatan biaya perawatan
kesehatan,tingginya harapan masyarakat serta ledakan pengetahuan medis
dan ilmiah
 Farmasi Klinis merupakan praktek kefarmasian yang berorientasi kepada
pasien bukan pada produk farmasi, sehingga ada interaksi antara farmasis,
pasien dan tenaga kesehatan lainnya
 Farmasis berkontribusi dlm proses peresepan,yaitu sebelum,selama dan
sesudah resep ditulis
4. Periode Pharmaceutical care (masa depan)
Mengapa ada konsep baru dan apakah itu Pharmaceutical Care
- 1960 - 1990 terjadi Ledakan jumlah obat
- 1961: 656 jenis 1999: 8000 jenis • 1971: 140.000 kematian & 1 juta dirawat • 20%
perawatan disebabkan kecelakaan obat • 50% sebetulnya dapat dihindarkan • 45-
65% pasien memakai obat tidak sesuai dengan anjuran
1. 8. Periode Pharmaceutical Care • Fakta (1) – Seperlima pasien rawat inap mengalami drug
therapy problems even in the most advanced medical institutions – 76 billion dollar (US) –
Penderitaan pasien? • Brigham and Women’s Hospital: – 6.5% nonobstetric patients
suffered an adverse drug event (30% serius)
2. 9. Periode Pharmaceutical Care • Penelitian lain: – Karena adanya medication error LOS
meningkat 5 hari, biayanya bertambah $6.000 $3 juta dollar/tahun untuk RS pendidikan
dengan tt 700. • Bedell 1991: – 64 % cardiac arrest di teaching hospital karena kesalahan
pemakaian obat. • Penelitian lain: – Medication Errors rata-rata terjadi 10-20% (walaupun
tidak semua serius)
3. 10. Periode Pharmaceutical Care • Is a Practice • Patient focused • Interaksi langsung
dengan pasien • Terapi obat rasional: tepat, efektif, aman, nyaman, biaya • Quality of life •
Definite outcome • Terdokumentasi • DRP (Drug Related Problem)
4. 11. FARMASI KLINIK A discipline concern with application of pharmaceutical expertise to
help maximise drug efficacy and minimise drug toxicity in individual patients” (Clinical
Resourse and Audit Group (1996)
5. 12. FARMASI KLINIK • Farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu penerapan pengetahuan
obat untuk kepentingan penderita, dengan memperhatikan kondisi penyakit penderita dan
kebutuhannya untuk mengerti terapi obatnya, dan pelayanan ini memerlukan hubungan
profesional antara apoteker, penderita, dokter, perawat, dan yang terlibat dalam medis.
6. 13. FARMASI KLINIK 4 DASAR FILOSOFINYA : 1. MAMAKSIMALKAN EFEK TERAPI 2.
MEMINIMALKAN RISIKO PENGOBATAN 3. MEMINIMALKAN BIAYA PENGOBATAN 4.
MENGHORMATI PILIHAN PASIEN (Prof.Nicholar Barber,1990)
7. 14. FARMASI KLINIK – ilmu kesehatan khusus yang menerapkan prinsip ilmu farmakologi,
toxikologi, farmakokinetik & therapeutic untuk pelayanan pasien oleh farmasis – Contoh
pemanfaatan • Pelayanan dosis • Pelayanan Total Parenteral Nutrition • Therapeutic Drug
Monitoring • Dll • Pelayanan farmasi bagi pasien yang dilakukan oleh farmasis dengan tujuan
terapi yang rasional (aman,cost effective) • Dapat dilaksanakan di apotik, rumah sakit,
nursing homes  memonitor terapi obat, mengoptimasi terapi, minimasi side efek.
8. 15. FARMASI KLINIK Landasan Hukum : (SK Menkes No. 436/MenKes/SK/VI/1993)
Pelayanan FarKlin meliputi : • Konseling • Monitoring ESO • Pencampuran obat suntik
secara aseptis • Analisa efektivitas biaya • Penentuan kadar obat dalam darah •
Penanganan obat sitostatika • TPN / Total parenteral nutrisi • Pemantauan penggunaan obat
• Pengkajian penggunaan obat
9. 16. TUJUAN FARMASI KLINIK : 1. Memaksimalkan efek terapeutik, meliputi : • Ketepatan
indikasi • Ketepatan pemilihan obat • Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi pasien • Evaluasi terapi
10. 17. TUJUAN FARMASI KLINIK : 2. Meminimalkan resiko : • Memastikan resiko sekecil
mungkin bagi pasien • Meminimalkan masalah ketidak”aman”an pemakaian obat, meliputi
ESO, dosis, interaksi dan kontraindikasi
11. 18. TUJUAN FARMASI KLINIK : 3. Meminimalkan biaya : • Jenis obat yang dipilih adalah
yang paling efektif dalam hal biaya dan rasionalitas • Terjangkau oleh kemampuan pasien
atau rumah sakit
12. 19. TUJUAN FARMASI KLINIK : 4. Menghormati pilihan pasien : • Keterlibatan pasien dalam
proses pengobatan akan menentukan keberhasilan terapi • Hak Pasien harus diakui dan
diterima semua pihak.
13. 20. Dampak dari Pelayanan FarKlin : • Relasi yang baik antar tim kesehatan (dokter,
perawat dan farmasis) • Menjamin penerapan pengobatan berbasis bukti (Evidence based
medicine) • Perbaikan perawatan pasien dengan pelayanan yang standar dan konsisten •
Mempromosikan praktek dengan biaya yang efektif • Memperluas keamanan pemberian
obat • Memperbaiki khasiat dan meminimalkan toksisitas • Meningkatkan kepuasan kerja
14. 21. Kompetensi seorang Farmasis Klinis: • Mengaplikasikan pengetahuan terapeutik •
Mengkorelasikan keadaan penyakit dengan pemilihan obat • Menggunakan catatan kasus
pasien • Menginterpretasikan data pemeriksaan laboratorium • Menerapkan pendekatan
penyelesaian masalah yang sistematik • Mengidentifikasi kontra indikasi obat • Mengenal
reaksi yang tidak dikehendaki (karena obat) yang mungkin terjadi • Membuat keputusan
tentang formulasi dan stabilitas • Mengkaji literatur medis dan obat
15. 22. Kompetensi seorang Farmasis Klinis: • Menulis laporan medis • Merekomendasi
pengaturan dosis • Mengkomunikasikan secara efektif kepada tenaga kesehatan terkait •
Menanggapi pertanyaan secara lisan • Membuat instruksi / perintah yang jelas •
Berargumentasi terhadap suatu kasus • Memberikan pendapat atau saran kepada tenaga
profesional kesehatan dan pasien dan keluarga pasien • Menyajikan laporan kasus
16. 23. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : 1. Pelayanan Informasi Obat  Informasi obat adalah
suatu pengetahuan atau data yang terdokumentasi yang disebarkan secara ilmiah dan
obyektif yang mencakup : - farmakologi - toksikologi - indikasi obat - nama kimia, struktur
dan sifat-sifatnya - mekanisme kerja, waktu onset dan durasi kerja - dosis yang
direkomendasikan - jadwal pemberian, cara pemberian - absorpsi, metabolisme,
detoksifikasi, ekskresi - efek samping,kontraindikasi, interaksi
17. 24. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : 2. Pelayanan pendidikan/konseling penderita Pelayanan
konseling adalah pemberian nasehat atau saran tentang hal-hal yang berkaitan dengan
terapi obat kepada penderita atau kepada anggota tim kesehatan lainnya
18. 25. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : 3.Pemantauan dan pelaporan reaksi obat yang
merugikan Reaksi obat merugikan (ROM) menurut WHO adalah setiap respon tubuh
terhadap obat yang berbahaya dan atau tidak diharapkan dan muncul pada dosis terapi dan
digunakan pada manusia untuk keperluan pencegahan, terapi diagnostik dan untuk
mengubah atau memodifikasi fungsi fisiologi tubuh Pemantauan ROM adalah kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi
pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan
terapi.
19. 26. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : Kegiatan Monitoring ESO, meliputi : • Menganalisa
laporan Efek Samping Obat • Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yangmempunyai
resiko tinggi mengalami Efek Samping Obat • Mengisi formulir Efek Samping Obat •
Melaporkan ke Panitia Efek Samping Obat Nasional
20. 27. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : 4. Partisipasi dalam Evaluasi dan Pemantauan terapi
obat  Pemantauan terapi obat adalah proses yang menjamin bahwa penderita mendapat
pengobatan dengan biaya yang rendah, obat yang berkhasiat dan mendapat manfaat yang
maksimal dengan efek samping yang minimal  Penerapan prinsip farmakokinetika obat
seperti absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi, termasuk sifat fisikokimia obat dalam
menyeleksi dosis dan interval dosis yang tepat pada pengobatan untuk pengobatan
penderita secara individu.
21. 28. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : Pemantauan terapi obat yang dilakukan mencakup : -
kesesuaian terapi dengan regimen obat - duplikasi terapi dalam regimen obat - kesesuaian
rute dan metode pemberian - tingkat pemenuhan regimen obat - interaksi obat 
mengevaluasi efektifitas terapi/mengatasi ESO - toksisitas atau efek yang merugikan -
adanya gejala fisik/klinik yg sesuai dg terapi obat pd penderita - memeriksa kadar obat dg
indeks terapi sempit atas permintaan dr
22. 29. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : 5. Pencatatan Pengobatan Penderita dan Profil
Pengobatan Penderita • Sejarah pengobatan adalah rekaman yang ringkas tetapi lengkap
mengenai terapi pengobatan yang meliputi obat resep dan obat bebas yang digunakan pada
masa lalu dan sekarang. • Profil pengobatan penderita adalah rekaman yang berisi informasi
mengenai terapi obat yang digunakan penderita selama di rumah sakit
23. 30. Ruang Lingkup Farmasi Klinik : 6.Memberi saran kepada Direktur RS dan dokter : •
Berpartisipasi dalam Komite Farmasi Dan Terapi • Aktip dalam Penyusunan Formularium •
Merasionalkan penggunaan obat • Ikut menyusun kebijakan penulisan resep (protokol /
pedoman pengobatan ) • Memberi informasi tentang pemakaian obat secara finansial •
Membuat kajian obat –obat baru • Ikut aktip dalam pengendalian infeksi  Penyusunan
Pedoman Penggunaan Antibiotika
24. 31. Aktifitas Farmasi Klinis : • Pemantauan dan pemeriksaan peresepan • Menanyakan
riwayat pemakaian obat saat pasien masuk rumah sakit • Mewawancara pasien •
Mencermati penyiapan dan penyimpanan obat • Memeriksa ketepatan penggunaan obat •
Menilai kesesuaian bentuk sediaan obat yangdigunakan • Membuat penilaian terapeutik •
Mengidentifikasi pasien dan faktor resiko medikasi
25. 32. Aktifitas Farmasi Klinis : • Memeriksa kesesuaian obat dan ketepatan dosis obat yang
dipergunakan • Memberikan informasi obat • Memantau terapi obat • Mengkonsultasi pasien
• Mengelola rekam medis • Menerapkan kebijakan dan Pedoman peresepan • Membantu
memformulasikan dan menerapkan kebijakan peresepan • Terlibat dalam Penelitian dan Uji
coba
26. 33. Karakteristik Pelayanan FarKlin : Berkembangnya pelayanan FarKlin yg berorientasi
pasien memberikan karateristik pelayanan farmasi klinis ssb: • Berorientasi pada pasien •
Terlibat langsung di bangsal rumah sakit • Bersifat pasif  dengan melakukan intervensi
setelah pengobatan dimulai atau memberikan informasi kalau diperlukan • Bersifat aktif 
dengan memberikan masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai atau
menerbitkan buletin – buletin informasi obat atau pengobatan
27. 34. Karakteristik Pelayanan FarKlin : • Bertanggungjawab terhadap setiap saran atau
tindakan yang dilekukan • Menjadi mitra dan pendamping dokter Maka diperlukan farmasis
yang mempunyai kemampuan Keterampilan dalam menilai kerasionalan obat

BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian Farmasi Klinik


Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia.
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu
farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian
(Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan.
Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan
resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu
tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang
berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek,
puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan obat),
harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.
Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik sebagai :
“  A discipline concerned with the application of pharmaceutical expertise to help maximise
drug efficacy and minimize drug toxicity in individual patients”. 
Menurut Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu
kesehatan yang bertanggung jawab  untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai
dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi
dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus dan atau pelatihan yang
terstruktur. Dapat dirumuskan tujuan farmasi klinik yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat,
meminimalkan resiko/toksisitas obat, meminimalkan biaya obat.
Kesimpulannya, farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu kesehatan di mana farmasis
memberikan asuhan (“care”; bukan hanya jasa pelayanan klinis) kepada pasien dengan tujuan
untuk mengoptimalkan terapi obat dan mempromosikan kesehatan, wellness dan prevensi
penyakit.

2.2   Tujuan Farmasi Klinik


1.    Memaksimalkan efek terapeutik
1)   Efektivitas terapi meliputi:
a.    Ketepatan indikasi
b.    Ketepatan pemilihan obat
c.    Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien
d.   Evaluasi terapi
2.    Meminimalkan resiko
1)   Memastikan risiko yang sekecil mungkin bagi pasien
2)   Meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis, interaksi,
dan kontra indikasi
3.     Meminimalkan biaya
1)   Untuk rumah sakit dan pasien
a.    Apakah jenis obat yang dipilih adalah yang paling efektif dalam hal biaya dan rasional ?
b.    Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit ?
c.    Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan keamanan yang sama
4.    Menghormati pilihan pasien
1)   Keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menetukan keberhasilan terapi.
2)   Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihan

2.3   Sejarah Farmasi Klinik


Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya
dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
1.    Periode / tahap tradisional
Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan
mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di apotek
sebagai peracik obat. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi
perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan obat
jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar
pembuatan obat oleh industri maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep
dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis di
resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan demikian peran
profesi kefarmasian makin menyempit.
2.    Tahap Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan tahun 1960-an/1970-an
1)   Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam bidang farmakologi dan
banyaknya macam obat yang mulai membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa
ketinggalan dalam ilmunya. Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-alat diagnosa baru
serta penyakit-penyakit yang baru muncul (atau yangbaru dapat didefinisikan) membingungkan
para dokter. Satu profesi tiadak dapat lagi menangani semua pengetahuan yang berkembang
dengan pesat.
2)   Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik berkembang pesat sekali dalam dekade-dekade
tersebut. Akan tetapi keuntungan dari segi terapi ini membawa masalah-masalah tersendiri
dengan meningkatnya pula masalah baru yang menyangkut obat; antara lain efek samping obat,
teratogenesis, interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, dan interaksi obat-uji laboratorium.
3)   Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik amtara lain disebabkan oleh penggunaan teknologi
canggih yang mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif maupun
kuantitatif, serta meningkatnya jumlah penduduk lansia dalam struktur demografi di negara-
negara maju, seperti Inggris. Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal, pemerintah
melakuakn berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas biaya (cost-effectiveness),
termasuk dalam hal belanja obat (drugs expenditure).
4)   Tuntunan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi disertai tuntunan
pertanggungjawaban peran para dokter dan farmasis, sampai gugatan atas setiap kekurangan atau
kesalahan pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut terjadi secara paralel dengan perubahan peranan
farmasis yang semakin sempit. Banyak orang mempertanyakan peranan farmasis yang
overtrained dan underutilised, yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai
dengan pendidikan mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi bangsal (ward
pharmacy) atau farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode
transisi ini. Masa transisi ini adalah masa perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan
peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional yang dilakukan oleh bebrapa perintis dan sifatnya
masih individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit,
meskipun masukan mereka masih terbatas. Banyak farmasis mulai mengembangkan fungsi-
fungsi baru dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih
cukup lambat. Diantara para dokter, farmasis dan perawat, ada yang mendukung, tetapi adapula
yang menolaknya.
3.       Tahap Masa Kini
Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi berorientasi
pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih pada pasien. Farmasis
ditekankan pada kemampuan memberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi perubahan yang
mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga
farmasi di bangsal dan terlibat langsung dalam pengobatan pasien. 
Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :
1)   Berorientasi kepada pasien
2)   Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
3)   Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi
bila diperlukan
4)   Bersifat aktif, dengan memberi  masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau
menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
5)   Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
6)   Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem pelayanan kesehatan  pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli
pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan memberikan
rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis
merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan
cost effective.
4.    Tahap Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Gagasan ini masih dalam proses perkembangan. Diberikan disini untuk perluasan wawasan
karena kita akan sering mendengar konsep ini. Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care)
didefinisikan oleh Cipolle, Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in which the
practitioner takes responsibility for a patient’s drug therapy needs, and is held accountable for
this commitment”. Dalam prakteknya, tanggung jawab terapi obat diwujudkan pada pencapaian
hasil positif bagi pasien.
Proses pelayanan kefarmasian dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu;
1)        Penilaian (assessment): untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan kepada pasien
terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk mengidentifikasi setiap masalah terapi
obat yang muncul, atau memerlikan pencegahan dini.
2)        Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a Care Plan): secara bersama – sama,
pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk menyelesaikan dan mencegah masalah
terapi obat dan untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan ini (dan intervensi) didesain untuk:
a.    Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul
b.    Mencapai tujuan terapi individual
c.    Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian
3)        Evaluasi: mencatat hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi
dan menilai kembali munculnya masalah baru.
Ketiga tahap proses ini terjadi secara terus – menerus bagi seorang pasien. Konsep perencanaan
pelayanan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi
pelayanan kefarmasian telah diterapkan secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan
dasar  adalah farmasis bertanggungjawab terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien
sama seperti seorang dokter atau perawat bertanggungjawab terhadap pelayanan medis dan
keperawatan yang mereka berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan
yang terpusat kepada pasien dan tanggungjawab farmasis terhadap morbiditas dan mortalitas
yang berkaitan dengan obat.

2.4  Farmasi Klinik di berbagai Belahan Dunia


1.      Farmasi Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European Society of
Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan
yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan
pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan
standar untuk keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983).  Pada tahun
itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan prosiding simposium
bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health Care’ di mana
berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World
Health Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan
farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989).
Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical Pharmacy in
Europe”  yang merefleksikan perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan
kesehatan (Bonal et al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan
itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial
ekonomi, dan hubungan profesional (Waldo et al, 1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS,
apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan
obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkatkan
penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan hal ini berarti:
a.     Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap
kondisi tertentu pasien.
b.    Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan
kepatuhan pasien terhadap terapi.
c.     Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP,
2009).
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara
Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik.
Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan
sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.
2.      Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan
pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS
di Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan
pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik
yang menjadi referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan
dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam
pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan
juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro,
2002)

3.    Farmasi Klinik di Indonesia


Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an,
dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai
institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh
tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi
klinik di Indonesia.
Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi
menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan
memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi
pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan
kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan
besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains
yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih
sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang penyakit dan
pengobatan
Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM,
telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti
patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan
kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan
di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian
sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap
peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan
Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa
sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik,
walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta
merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah
RS di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin
bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik mestinya
bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa.  Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-
upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa
adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar
meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik
ini dimulai. 

2.5  Macam – Macam Aktivitas Farmasi Klinik


Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik
meliputi :
1.      Pemantauan pengobatan
Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan
tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara
langsung
2.      Seleksi obat
Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang
obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
3.    Pemberian informasi obat
Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara
kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan
pasien
4.    Penyiapan dan peracikan obat
Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
5.    Penelitian dan studi penggunaan obat. 
Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi,
farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.

6.    Therapeutic drug monitoring (TDM). 


Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat
7.    Uji klinik. 
Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
8.    Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya
farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia.
2.6    Pelayanan farmasi klinik
1.      Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari
Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan
dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling Obat bertujuan
untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki
(ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan Obat bagi pasien (patient safety). Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk:
meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien; menunjukkan perhatian serta
kepedulian terhadap pasien; membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat;
membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan Obat dengan penyakitnya;
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; mencegah atau meminimalkan
masalah terkait Obat; meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi; mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan membimbing dan mendidik
pasien dalam penggunaan Obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien. Kegiatan dalam konseling Obat meliputi: membuka komunikasi antara
Apoteker dengan pasien; mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan Obat
melalui Three Prime Questions; menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat; memberikan penjelasan kepada
pasien untuk menyelesaikan masalah pengunaan Obat; melakukan verifikasi akhir dalam rangka
mengecek pemahaman pasien; dan dokumentasi. Baca Juga: Pedoman Konseling Faktor yang
perlu diperhatikan dalam konseling Obat: a. Kriteria Pasien: pasien kondisi khusus (pediatri,
geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui); pasien dengan terapi jangka
panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-lain); pasien yang menggunakan obat-
obatan dengan instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off); pasien
yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin); pasien yang
menggunakan banyak Obat (polifarmasi); dan pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan
rendah. b. Sarana dan Peralatan: ruangan atau tempat konseling; dan alat bantu konseling (kartu
pasien/catatan konseling).
2.      Monitoring ESO
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon
terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. MESO bertujuan:
a.    menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal,
frekuensinya jarang;
b.    menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan;
c.    mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan
hebatnya ESO;
d.   meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang idak dikehendaki; dan
e.    mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a.    mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b.    mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami ESO;
c.    mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d.   mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
e.    melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a.    kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan
b.    ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
3.      Pencampuran obat suntik secara aseptis
Pencampuran obat suntik harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik untuk
menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya
serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat. Dispensing sediaan steril bertujuan: a.
menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; b. menjamin
sterilitas dan stabilitas produk; c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan d.
menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
4.      Analisa efektivitas biaya
Analisis cost effectiveness (analisis efektivitas biaya) pada prinsipnya adalah
membandingkan output yang dihasilkan dari berbagai kombinasi input, sehingga bisa
diperkirakan kombinasi biaya terendah yang menghasilkan output yang diharapkan atau bisa
pula mengidentifikasi output yang terbaik dari suatu biaya yang besarannya sudah ditentukan.
Kesemuanya mengacu pada prinsip efektifitas. Analisis cost effectiveness adalah suatu bentuk
analisis ekonomi yang membandingkan biaya dengan hasil (efek) dari dua atau lebih tindakan.
Analisis cost effectiveness berbeda dari analisis cost-benefit (biaya-manfaat) yang memberikan
nilai moneter untuk ukuran dari efek. Analisis cost effectiveness sering digunakan dalam bidang
pelayanan kesehatan dan pendidikan, dimana tidak memungkinkan untuk menggunakan nilai
uang untuk mengukur efek kesehatan dan pendidikan.
5.      Penentuan kadar obat dalam darah
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan
kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit
atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan:
a.    mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b.    memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi: melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan
melakukan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan menganalisis hasil Pemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan memberikan rekomendasi.
6.      Penanganan obat sitostatika
Penanganan Sediaan Sitostatik Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat
kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi
yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan
obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri,
mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien
sampai pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus
sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai. Kegiatan dalam
penanganan sediaan sitostatik meliputi: melakukan perhitungan dosis secara akurat; melarutkan
sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai; mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan
protokol pengobatan; mengemas dalam kemasan tertentu; dan membuang limbah sesuai prosedur
yang berlaku. Faktor yang perlu diperhatikan: ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi
yang sesuai; lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; HEPA filter; Alat Pelindung Diri
(APD); sumber daya manusia yang terlatih; dan cara pemberian Obat kanker.
7.      TPN (Total Parenteral Nutrisi)
Total Parenteral Nutrition (TPN) atau Total Nutrition Admixture (TNA) merupakan terapi
pemberian nutrisi secara intravena kepada pasien yang tidak dapat makan melalui mulut.
Tujuannya adalah mengganti dan mempertahankan nutrisi-nutrisi penting tubuh melalui infus
intravena ketika (dan hanya ketika) pemberian makanan secara oral bersifat kontraindikasi atau
tidak mencukupi. TPN digunakan ketika diperlukan saja dikarenakan oleh risiko yang terkait
dengan terapi ini dan tingginya biaya untuk melakukan terapi ini.
TPN diberikan pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.    Pasien yang sangat kekurangan gizi tanpa asupan oral lebih dari 1 minggu
b.    Pankreatitis berat
c.    Radang usus berat (Crohn’s disease dan ulcerative colitis)
d.   Operasi usus yang ekstensif
e.    Obstruksi usus kecil
f.     Kehamilan (pada kasus mual dan muntah yang berat)
g.    Pasien dengan cedera di kepala
Kebutuhan dan Pertimbangan Dasar Terapi TPN
Nutrisi dan cairan dasar
a.    Dekstrosa, sumber utama kalori; 1 gram dekstrosa memberikan energi sebesar 2,4 kilokalori
(kkal)
b.    Asam amino, untuk sistesis protein yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perbaikan
jaringan; 1 gram asam asmino memberikan energi sebesar 4 kkal
c.    Lemak, untuk kebutuhan asam lemak esensial dan sebagai sumber kalori; 1 gram lemak
memberikan energi sebesar 9 kkal
d.   Elektrolit, Na, K, Mg, Ca, fosfat
e.    Vitamin
f.     Trace elements, Cu, Cr, Zn, Mn, Se
Antagosis reseptor-H2  histamin, untuk mencegah dan mengobati tukak pada GI atas dan tukak
yang terkait dengan stres; pengobatan ini sering disertakan pada formulasi TPN.
Agar tidak melebihi batas normal cairan sehari-hari, nutrisi-nutrisi tersebut biasanya diberikan
sebagai larutan hipertonis dengan konsentrasi tinggi. Kerusakan vena yang diakibatkan oleh
pemberian larutan TPN hipertonis diminimalisasi dengan melakukan pemberian larutan TPN
melalui vena pusat berdiameter besar yang aliran darahnya cepat. Hal ini memungkinkan larutan
TPN menjadi cepat terencerkan karena mengalir ke dalam tubuh.
Jalur Pemberian
TPN diberikan melalui pembuluh vena, yang secara umum dibagi menjadi dua jalur, yaitu
melalui vena sentral (Central Vein Nutrition / CPN) dan vena perifer (Peripheral Parenteral
Nutrition  / PPN). PPN memiliki resiko komplikasi lebih jarang dan biaya lebih murah.
Sedangkan pada pemberian melalui jalur sentral (central line), nutrisi parenteral dimasukkan
mulai vena subklavian menuju vena cava superior melalui operasi.
Terdapat jalur khusus perifer yang dimasukkan melalui vena median basilika atau vena
sefalis dan berujung di vena subklavian. Jalur ini dapat digunakan sebagai regimen CPN dengan
keamanan menyamai PPN. Jalur ini disebut Peripherally Inserted Central Catheters (PICC).
Jalur PICC dapat digunakan untuk berbagai suplai makanan dan dapat diaplikasikan pada bagian
manapun yang memungkinkan (Dartford & Gravesham NHS Trust, 2006).
Regimentasi Pemberian
Untuk dewasa, pemberian TPN dimulai dengan tunjangan parsial yang lalu ditingkatkan
untuk mencapai target kalori dalam 24 jam. Salah satu metode umum untuk memulai terapi
adalah dengan menyediakan setengah dari volume dan nutrien yang diharapkan pada hari
pertama kemudian ditingkatkan untuk memenuhi target hari selanjutnya.
Metode umum kedua ialah menyediakan volume target TPN dengan nutrien sekitar 50%
total target hari pertama. Emulsi lipid harus diberikan sebagai infus terpisah, paling tidak pada
hari pertama. Pemberian hari selanjutnya ialah untuk memenuhi jumlah nutrien yang ditargetkan
(Rollins, 2002).
Komposisi Total Parenteral Nutrition
TPN ditujukan untuk menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan seperti pada diet normal.
Penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan pasien secara individual. TPN terdiri dari air,
protein, karbohidrat, lemak, elektrolit, trace elements, dan vitamin.
1.        Air
Kebutuhan air pada dewasa normal adalah 30-35 ml/kg/hari. Pasien dengan kondisi tertentu
seperti diare, muntah, berkeringat, dan demam memerlukan jumlah air yang lebih besar.
Kebutuhan air juga dipengaruhi oleh beberapa penyakit seperti gangguan jantung, saluran
pernafasan, hati, dan ginjal.
2.    Energi dan nitrogen
Kebutuhan energi pada pasien sulit ditentukan dan kemungkinan dapat mencapai 12000 kJ/hari.
Kebutuhan energi meningkat pada pasien dengan luka bakar, sepsis, pireksia dan trauma
sehingga pasien perawatan intensif membutuhkan energi dalam jumlah besar.
a.    Sumber energi
Glukosa adalah sumber karbohidrat yang paling banyak dipilih. Larutan glukosa pekat diberikan
untuk memenuhi kebutuhan kalori dan diberikan dalam bentuk infus melalui vena sentral untuk
menghindari trombosis. Emulsi lemak menyediakan asam lemak esensial bagi tubuh dan berguna
sebagai pembawa vitamin larut lemak. Intralipid adalah emulsi lipid/water yang menyediakan
sumber energi 4600 kJ/L (10%) atau 8400 kJ/L (20%). Meskipun lipid tidak lazim digunakan
sebagai sumber energi, sebaiknya diberikan setidaknya tiap minggu untuk mencegah defisiensi
asam lemak.
b.    Sumber nitrogen
Satu gram nitrogen setara dengan 6,25 gram protein, yang setara dengan 5-6 gram asam amino.
Albumin dibutuhkan jika terjadi hipoalbuminemia yang sering terjadi pada pasien dalam kondisi
sakit kritis.\ Nutrisi mikro 
Elektrolit, vitamin, mineral, dan trace elements penting untuk menyediakan sumber nutrisi
menyeluruh dan mencegah ketidakseimbangan atau defisiensi yang mungkin timbul.
Larutan elektrolit untuk nutrisi parenteral mengandung Na, K, Ca, Mg, Cl, dan asetat dalam
berbagai konsentrasi, atau berupa garam elektrolit tunggal. Larutan asam amino dapat
mengandung klorida dan asetat, atau fosfat, dan ada yang mengandung berbagai jenis elektrolit.
Jumlah tiap-tiap elektrolit yang ditambahkan bersifat individual bergantung kebutuhan pasien.
Vitamin dibutuhkan tubuh dalam proses metabolisme. Vitamin-vitamin larut air seperti asam
askorbat, vitamin B6, niasin, riboflavin, dan vitamin B12 biasanya tersedia dalam bentuk injeksi
tunggal. Sedangkan vitamin larut lemak, seperti vitamin A, D, E, K dapat ditambahkan ke dalam
formulasi nutrisi parenteral.
Trace elements  esensial dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang kecil, yaitu zink, tembaga,
mangan, besi, krom, molibdenum, dan selenium. Trace elements ini berperan sebagai kofaktor
dalam sistem enzim.
Bahan tambahan lain: insulin dibutuhkan bila glukosa hipertonik diberikan terkait insulin
endogen yang tidak memadai atau adanya resistensi insulin. (James-Chatgilaou, 1998; Rollins,
2002)
4.      Pemantauan penggunaan obat
Pemantauan penggunaan Obat merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah
meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi: pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat,
respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); pemberian rekomendasi
penyelesaian masalah terkait Obat; dan pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
Tahapan PTO: pengumpulan data pasien; identifikasi masalah terkait Obat; rekomendasi
penyelesaian masalah terkait Obat; pemantauan; dan tindak lanjut. Faktor yang harus
diperhatikan: kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan
terpercaya (Evidence Best Medicine); kerahasiaan informasi; dan kerjasama dengan tim
kesehatan lain (dokter dan perawat).
5.      Pengkajian penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan
kuantitatif. Tujuan EPO yaitu:
a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat;
b. membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu;
c. memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
d. menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
a. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
b. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. indikator peresepan;
b. indikator pelayanan; dan
c. indikator fasilitas.

Anda mungkin juga menyukai