Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH FARMASI KESEHATAN MASYARAKAT

Tantangan, Peluang, dan Peranan Farmasi


Dalam Peningkatan Kesehatan Dipedesaan

Disusun Oleh Kelompok III :


Indah Sari Natalia (3105001)
Rika Sri Anggraini (3105061)
Fitrini (3105011)
Nurfadillah (3105041)
Hayatul Fisilmi Khaffah (3105055)
Yerich Septa Sugiharo (3105059)
Frandika Tri Wahyudi (3105019)
Prastika Purnama Sari (3105063)

Dosen Pengampu :
Dr. apt. Ifmaily., M.Kes

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

PERINTIS PADANG

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan pada zaman sekarang ini merupakan hal yang amat sangat penting dalam
kehidupan manusia, karena untuk melakukan setiap aktifitas memerlukan kondisi fisik yang
sehat, sehingga setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis untuk
mencapai tujuan hidup yang diinginkannya. Upaya peningkatan kualitas dari tenaga
kesehatan sangat dibutuhkan agar tercapainya peningkatan pembangunan nasional
khususnya dibidang kesehatan, serta meningkatkan mutu sumber daya manusia yang dapat
melaksanakan kewajibannya dengan baik dan tercapai masyarakat yang sehat pula. Peran
masyarakat tidak lepas dari pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kefarmasian baik
dipuskesmas maupun diapotek terdekat. Hal ini didasarkan pada daerah pedesaan yang jauh
dari fasilitas kesehatan sehingga hanya mengandalkan apotek dan puskesmas sebagai sarana
kesehatan utama (Harlianti M. S, 2016).

Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (PP No 51, 2009). Semakin pesatnya
perkembangan pelayanan apotek dan semakin tingginya tuntutan masyarakat, apoteker
dituntut untuk mampu memenuhi keinginan dan selera masyarakat yang terus berubah dan
meningkat dimana masyarakat tidak lagi hanya sekedar membeli obat namun berkeinginan
untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai obat yang diterima. Pada proses
pelayanan kefarmasian seorang apoteker harus mampu mengambil keputusan yang tepat
untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi akibat medication error serta mampu
mengatasi masalah terkait obat (drug related problems). Pekerjaan apoteker harus sesuai
dengan standar yang berlaku,yaitu sesuai standar pelayanan farmasi apotek yang diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.73 tahun 2016 yang meliputi sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, pelayanan resep (meliputi peracikan,penyerahan obat serta pemberian
informasi obat), konseling, memonitor penggunaan obat, edukasi, promosi kesehatan, dan
evaluasi terhadap pengobatan (antara lain dengan membuat catatan pengobatan pasien)
sehingga dapat menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Pekerjaan
apoteker juga berpengaruh terhadap pelayanan dipuskesmas termasuk kedalam Peraturan
Menteri Kesehatan No.74 tahun 2016 pasal 2 tentang pengaturan standar pelayanan
kefarmasian dipuskesmas bertujuan untuk (pratiwi, H 2017):

a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian

b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian

c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety).

Dengan pasal diatas maka peran apoteker sangat diperlukan ditengah masyarakat
yang dapat diorientasikan dari puskesmas dan apotek sebagai wadah bagi masyarakat untuk
melakukan pelayanan informasi obat sehingga terhindarnya masalah ketidakrasionalan
penggunaan obat bagi pasien. Seiring dengan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan
kefarmasian maka sumber daya manusia khususnya apoteker harus ditingkatkan diera
globalisasi saat ini. Dengan kondisi ini, kebutuhan akan keterampilan yang beragam dari
tiap-tiap individu menjadi hal utama. Pekerjaan tidak hanya membutuhkan pendidikan dan
gelar saja, namun juga kecakapan, keterampilan, kepribadian serta mental yang dapat
menentukan kesuksesan seseorang dalam bekerja.

Perkembangan yang terjadi juga dapat menimbulkan berbagai permasalahan, sehingga


hal inilah yang menjadi tantangan apoteker untuk menyelesaikannya. Adapun tantangan
yang dialami apoteker yaitu; tuntutan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dipedesaan
yang masih kurang memadai, ketersediaan jumlah apoteker yang tidak sebanding dengan
banyaknya jumlah masyarakat dipedesaan, kurangnya penerapan pekerjaan profesi apoteker
sesuai dengan PP No. 51 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pemerintah deaerah harus
menempatkan apoteker di semua lini pelayanan kesehatan termasuk dipedesaan khususnya
puskesmas. Tentunya dengan adanya landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan
profesi apoteker memiliki peluang dalam menjalankan praktek kefarmasian di pedesaan
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan masyarakat dapat mengetahui
peran apoteker secara langsung.
Dengan adanya pembahasan tantangan, peluang, dan peran apoteker inilah diharapkan
mahasiswa apoteker saat ini dan dimasa yang akan datang dapat meningkatkan kualitas diri,
meningkatkan pelayanan kefarmasian dalam pemberian kerasionalan obat, serta dapat
menjadi professional.

1.2 Tujuan makalah

1. Membandingkan 3 definisi paling umum dari “pedesaan” yang digunakan oleh berbagai
instansi pemerintah
2. Menjelaskan demografi khas penduduk yang tinggal di daerah pedesaan di suatu negara
3. Meninjau tujuan dan prioritas orang sehat tahun 2010 dan orang sehat di perdesaan tahun
2010 (RHP2010)
4. Mengidentifikasi kesenjangan perawatan kesehatan yang terjadi antara daerah perkotaan
dan pedesaan
5. Menentukan perilaku tidak sehat dan faktor-faktor umum lainnya yang dapat
mengakibatkan kesehatan yang buruk bagi penduduk pedesaan
6. Menjelaskan tantangan perawatan kesehatan yang umum di masyarakat pedesaan dan
kuliah khusus di praktik farmasi pedesaan
7. Mengidentifikasi pendekatan pemberian layanan kesehatan alternatif untuk pelayanan
medis yang kurang terlayani di pedesaan
8. Menjelaskan proses telefarmasi untuk memberikan layanan farmasi ke masyarakat
pedesaan terpenci di Dakota dan Alaska
9. Diskusikan pentingnya mendidik dan melatih para profesional kesehatan untuk mengatasi
masalah kebutuhan perawatan kesehatan pada penduduk pedesaan tersebut
10. Identitas RHP2010 merupakan strategi dan intervensi berbasis masyarakat sedang
dilaksanakan untuk mengatasi kesenjangan dan masalah kesehatan masyarakat.
11. meningkatkan kualitas hidup masyarakat dari obat yang diterima di daerah pedesaan
khusus pelayanan kefarmasian diapotek dan puskesmas
12. meningkatkan distribusi sumber daya tenaga kesehatan khususnya profesi apoteker di
masyarakat pedesaan
13. meningkatkan pelayanan kefarmasian di daerah pedesaan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan kefarmasian terus berkembang, tidak lagi terbatas hanya pada penyiapan obat
dan penyerahan obat pada pasien, tetapi perlu adanya interaks iantara tenaga kefarmasian dengan
pasien dan dengan profesional kesehatan lainnya. Apoteker bekerja dalam rangkaian variasi yang
lebar, dalam bentuk farmasi komunitas (retail dan pelayanan kesehatan),farmasi rumah
sakit(dalam berbagai bentuk dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar), industri farmasi
farmasi dan lingkungan akademis. Disamping itu apoteker juga terlibat administrasi pelayanan
kesehatan, penelitian, organisasi kesehatan internasional dan organisasi non pemerintah.

Obat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem kesehatan adalah domain
apoteker. Tanggung jawab apoteker terbentang sejak proses produksi sampai obat dikonsumsi.
Keluarnya PP 51 tahun 2009 bukanlah akhir tetapi lebih merupakan awal dari prosesreinventing
profesi apoteker di Indonesia. Berhasil atau tidaknya implementasi PP ini selain tergantung
padalaw enforcement juga dipengaruhi langsung oleh komitmen para apoteker untuk
melaksanakannya. Pekerjaan Kefarmasian diselenggarakan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dalam upaya pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Pekerjaan kefarmasian hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kefarmasian yang memiliki keahlain dan kewenangan yang berdasarkan pada
Standar Profesi dan paradigma Pelayanan Kefarmasian. Standar Profesi dan paradigma
Pelayanan Kefarmasian merupakan pedoman yang harus diikuti oleh tenaga kefarmasian dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian (Bhagawan, W.S, 2017).

A. Kompetensi umum apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian harus


mempunyai kemampuan sebagai berikut :

1.Menguasai Ilmu Kefarmasian


2.Menguasai Asuhan Kefarmasian
3.Menguasai Regulasi Kefarmasian
4.Menguasai Manajemen Praktek Kefarmasian
5.Menguasai Akuntabilitas Praktek Kefarmasian
6.Menguasai Komunikasi Kefarmasian
7.Pendidikan dan Pelatihan Kefarmasian

8.Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian

Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri
atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Tenaga teknis kefarmasian
adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker. Tenaga kefarmasian melakukan praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan
kefarmasian, salah satunya puskesmas. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas),
antara lain disebutkan puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan (Dinkes)
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja.

Secara nasional standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di
satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja
dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau
RW). Puskesmas perawatan adalah puskesmas yang berdasarkan surat keputusan Bupati atau
Walikota menjalankan fungsi perawatan dan untuk menjalankan fungsinya diberikan tambahan
ruangan dan fasilitas rawat inap yang sekaligus merupakan pusat rujukan antara. Masing-masing
puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada kepala Dinkes
Kabupaten/Kota. Salah satu upaya kesehatan wajib yang harus diselenggarakan oleh setiap
puskesmas adalah upaya pengobatan, yang terkait dengan pelayanan kefarmasian.

B. Adapun bidang pelayanan kefarmasian terhadap pasien meliputi :

1. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis,
bijaksana dan terkini diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien.
Informasi yang perlu diberikan kepada pasien adalah kapan obat digunakan dan berapa banyak;
lama pemakaian obat yang dianjurkan; cara penggunaan obat; dosis obat; efek samping obat;
obat yang berinteraksi dengan kontrasepsi oral; dan cara menyimpan obat.
2. Pelayanan konseling obat
Konseling obat adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker
dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan obat.
Apoteker perlu memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan
kesehatan lainnya, sehingga yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau
penggunaan obat yang salah, terutama untuk penderita penyakit kronis seperti kardiovaskular,
diabetes, tuberkulosis dan asma.
3. Home care
Pelayanan Residensial (home care) adalah pelayanan apoteker sebagai care giver dalam
pelayanan kefarmasian di rumah pasien, khususnya untuk kelompok lansia, pasien
kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis, asma, dan penyakit kronis lainnya. Untuk kegiatan ini
apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien (patient medication record). Dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 disebutkan pelayanan resep atau penyerahan obat resep
dokter di pelayanan kefarmasian (salah satunya puskesmas) harus dilakukan oleh
apoteker.1Menurut Uyung Pramudiarja (2011) hanya 10% puskesmas yang memiliki apoteker.4
Masalah penelitian adalah belum diketahui bagaimana peran apoteker di puskesmas dan
permasalahan pelayanan kefarmasi-an di puskesmas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan
informasi tentang peran apoteker dan permasalahannya dalam pelayanan kefarmasian di
puskesmas perawatan. Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan bagi pihak yang terkait
untuk meningkatkan ketersediaan apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas.
Dalam diskusi kelompok diketahui pelayanan kefarmasian di puskesmas seharusnya
mencakup pelayanan informasi obat, konseling dan home care. Pelayanan informasi obat
dilakukan oleh apoteker pada saat ikut kunjungan ke posyandu balita dan lansia, terkait dengan
penyuluhan obat, obat tradisonal, vaksin dan imunisasi. Informasi obat dilakukan oleh apoteker
terkait jadwal yang dibuat oleh program promosi kesehatan berupa komunikasi langsung
dihadapan pasien rawat jalan sebelum pelayanan puskesmas dimulai. Per-masalahan adalah
apoteker merasa kurang mampudalam PIO kepada tenaga kesehatan, khususnya kepada dokter
spesialis, masih memerlukan pembinaan dan pelatihan, tambahan ilmu yang terkait prosedur
birokrasi, prosedur tetap karena sudah ISO, komunikasi dan farmakoterapi.
Apoteker tenaga honorer merasa lebih rendah dibandingkan dengan PNS. Konseling obat
terhadap pasien degeneratif kronik, seperti tuberculosis, geriatri, hipertensi dan diabetes belum
dilaksanakan dengan maksimal, karena keterbatasan tenaga dalam pelayanan obat di Puskesmas,
dan tidak tersedianya ruangan konseling obat untuk pasien yang membutuhkan. Visite dilakukan
bersama dokter (bersifat observasi saja), atau bisa juga dilakukan secara mandiri setelah selesai
pelayanan resep, sehingga waktu lebih fleksibel. Umumnya di puskesmas perawatan visite
dilakukan kepada pasien bersalin. Home care pemberian obat bagi pasien TBC yang tidak bisa
datang, juga pasien hipertensi dan diabetes, dilakukan oleh perawat, bukan farmasis.
Permasalahan adalah peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian belum dikenal dan
tidak tercantum dalam tugas pokok dan fungsi bagian farmasi. Pembagian tugas dan job
description yang jelas bagi apoteker sebagai penanggung jawab obat di Puskesmas, perlu
prosedeur tetap. Berkaitan dengan ketersediaan apoteker, jam kerja puskesmas dan beban kerja
yang ada, maka apoteker hampir tidak mungkin melaksanakan pelayanan kefarmasi-an dengan
baik. Pengurus Daerah IAI mengusulkan agar dibuat peraturan menteri kesehatan agar Pedoman
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dijadikan sebagai Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.

Pelayanan kefarmasian di puskesmas belum berjalan, hasil ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya. Survei tentang persepsi tenaga kesehatan terhadap pelayanan kefarmasian di
puskesmas sesuai dengan PP No. 51 tahun 2009 telah dilakukan di empat Puskesmas di
Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan masih ada tenaga
kesehatan di puskesmas yang belum mengetahui tentang pelayanan kefarmasian (22,7%) dan
tentang peran apoteker di puskesmas (12,37%). Pelayanan obat di puskesmas yang disurvei
seluruhnya dilaksanakan oleh asisten apoteker (100%). Pendapat tenaga kesehatan tentang
pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi waktu yang dibutuhkan dalam melayani resep ≤
10 menit (78,3%), adanya etiket/label aturan pakai (100%), adanya informasi obat (92,7%), dan
adanya konseling atau tanya-jawab antara pasien dengan petugas pelayanan obat (87,6%). Secara
umum persepsi tenaga kesehatan di puskesmas terhadap pelayanan kefarmasian adalah baik,
yaitu 68,0% setuju dengan penempatan apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas.

C. Peran Apoteker.

Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut:


1. informasi obat dilakukan pada saat penyerahan obat resep kepada pasien, sebelum pelayanan
puskesmas dimulai, dan pada saat kunjungan ke posyandu balita dan posyandu lansia

2. konseling obat dilakukan terbatas mengingat ketersediaan waktu dan belum ada ruangan

3. visite pasien sudah dilakukan, baik dengan dokter maupun sendiri kepada pasien bersalin
rawat inap,

4. home care belum berjalan dengan baik.

D. Tantangan Apoteker dalam pelayanan kefarmasian dan permasalahan dalam kebijakan


penempatan apoteker di puskesmas adalah :

1. Dinkes Kabupaten/kota mengetahui bahwa menurut peraturan perundangan diperlukan tenaga


apoteker di puskesmas, tetapi dalam perencanaan kebutuhan masih belum dianggap prioritas
dibandingkan tenaga kesehatan lain,

2. Usulan kebutuhan tenaga kesehatan oleh Dinkes Kabupaten/Kota belum didasarkan atas
kebutuhan riil organisasi dan perhitungan beban kerja sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan, sehingga formasi yang disetujui oleh BKN terbatas,

3. Dengan formasi yang terbatas, penempatan tenaga

E. Contoh kasus sebagai akibat dari perlunya peran apoteker dalam penjelasan
penggunaan obat vitamin A sebagai pencegahan penyakit anemia bagi Ibu hamil dipuskesmas
area desa

1. Latar Belakang Jurnal

Anemia pada kehamilan merupakan salah satu kelainan dalam kehamilan terutama di
negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 30% wanita
hamil mengalami anemia dan penyebabnya karena anemia defisiensi besi atau defisiensi asam
folat (1). Klasifikasi anemia menurut WHO adalah ringan (10-11,9gr%), sedang (7-9,9gr%0 dan
berat (< 7 gr%). Secara fisiologis anemia pada ibu hamil adalah karena terjadinya perubahan
volume plasma dimulai pada 6 minggu kehamilan, dimana sel darah merah tidak bertambah,
sehingga menyumbang penurunan fisologis konsentrasi Hb. Prevalensi anemia di setiap Negara
berbeda dengan kisaran 41,8%. Di Amerika prevalensi mulai terendah 5,5 % sedangkan di
Gambia prevalensi tertinggi mencapai 75%. Prevalensi anemia di Indonesia 37,1%. Kejadian
anemia bisa terjadi sebelum hamil atau terjadi saat kehamilan. Anemia dalam kehamilan
disebabkan karena defisiensi besi dan berhubungan dengan pola nutrisi yang rendah akan zat
besi.

Anemia merupakan faktor penting dalam kehamilan karena berhubungan dengan


kejadian morbiditas ataupun mortalitas pada ibu dan janin. Faktor risiko anemia antara lain
umur, riwayat anemia pada kehamilan sebelumnya, sosial ekonomi. Penelitian Abhriha et al
(2014) didapatkan paritas, frekuensi makan dan konsumsi daging kurang dari 1 kali/ minggu
merupakan faktor risiko anemia.

Dampak dari anemia antara lain persalinan prematur, bayi berat lahir rendah, sedangkan
pada ibu anemia akan berdampak pada 20-40% terhadap kejadian kematian ibu seperti kegagalan
jantung, pre eklamsia, perdarahan postpartum dan infeksi postpartum. Penelitan Abuaouf (2015)
di dapatkan bahwa anemia berdampak terhadap ibu dan janin. Pada Janin akan menyebabkan
risiko infeksi perinatal, perkembangan janin terhambat/IUGR, BBLR. Sedangkan dampak
anemia pada ibu antara lain preeklamsia, perdarahan. Sosial ekonomi merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian anemia pada ibu. Kondisi sosial ekonomi memiliki
kaitan yang erat dengan masalah kesehatan. Kondisi sosial ekonomi yang rendah akan
berpengaruh terhadap penyediaan kecukupan mineral yang berfek pada kejadian anemia pada
ibu.

2. Tujuan Jurnal

 Mengetahui gambaran ibu hamil dengan anemia


 Meningkatkan prevalensi angka konsumsi vitamin A pada ibu hamil dengan bantuan
apoteker
 Memaksimalkan program pemerintah untuk masyarakat khususnya pada ibu hamil yang
mengalami anemia

3. Pembahasan
Berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa gambaran ibu hamil dengan anemia 49 (84,5%)
responden rentang usia tidak berisiko, 51 responden (88%) dengan pendidikan tinggi, 35 (60%)
responden dengan paritas multigravida, 33 (57%) responden dengan jarak kehamilan > 2 tahun,
54 (93%) tidak memiliki riwayat anemia sebelumnya. Prevalensi anemia di negara berkembang
antara 33-75% sedangkan di negara maju prevalensi anemia 15%. Perbedaan prevalensi anemia
tergantung di setiap negara. Pada prinsipnya ibu hamil membutuhkan 20 mg zat besi setiap
harinya. Banyak faktor yang berpengaruh salah satunya adalah jarak kehamilan. Dalam
penelitian ini didapatkan 33 (57%) responden dengan jarak kehamilan lebih dari 2 tahun.
Penelitian sebelumnya didapatkan umur, pendapatan, tidak berhubunagn dengan kejadian
anemia. Konsumsi buah 2-3 kali seminggu berhungan dengan penurunan kejdian anemia.
Kurangnya mikronutrien meningkatkan bioavaibility terhadap zat besi. Pemeriksaan kehamilan
secara dini dan pemeriksaan secara rutin selama kehamilan memberikan keuntungan pada ibu
untuk dapat meningkatkan kesehatan ibu dan janinnya.

Pada penelitian diatas terdapat presentasi umur dan pendidikan pada ibu hamil yang
mengalami anemia. Umur < 20 tahun merupakan usia berisiko untuk terjadinya anemia karena
pada usia tersebut organ reproduksi belum berfungsi dengan baik, selain itu pada usia tersebut
merupakan masa pertumbuhan, sehingga asupan gizi digunakan untuk tumbuh kembangnya.
Sedangkan pada pendidikan didapatkan bahwa pendidikan berhubungan dengan kejadian
anemia. Hal ini diperkirakan karena pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan ibu terutama
dalam hal menyiapkan makanan yang bernutrisi. Selain itu pendidikan berpengaruh terhadap
kesiapan dan pengetahuan dalam menjalani kehamilan dan persalinan.

Presentasi angka kejadian anemia ini seyognyanya dapat diatasi dengan peran apoteker
yang optimal di apotek ataupun puskesmas yang ada didaerah pedesaan karena pada saat pasien
berobat, apoteker bisa memberikan konsultasi atau pemberian pelayanan informasi obat
mengenai pentingnya mengonsumsi tablet penambah darah untuk mengurangi angka kejadian
resiko misalnya kematian pada bayi, berat badan yang kurang pada bayi, kematian pada ibu dan
lain-lain. Tentu ini menjadi perhatian pemerintah dan tenaga kesehatan untuk turut andil dalam
mencegah terjadinya factor resiko yang diakibatkan penyakit anemia pada ibu hamil.

Demografi
Menurut definisi Biro Sensus dan data sensus 2000, 59,l juta orang (21% dari populasi
A.S) dan 97% dari luas lahan di Amerika Serikat dianggap pedesaan. Dari populasi pedesaan,
kurang dari setengah (49%) tinggal di negara-negara nonmetro. Lebih banyak penduduk
pedesaan saat ini tinggal di daerah metro daripada di daerah non metro (30 juta : 29 juta).
Populasi di wilayah metropolitan dan non metropolitan meningkat masing-masing sebesar 14%
dan 10%, dari tahun 1990 hingga 2000. Meskipun ada kecenderungan selama bertahun-tahun
migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan di Amerika Serikat, jumlah penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan telah meningkat. terus tumbuh dan saat ini lebih besar dari yang
pernah ada. Dari 1990 hingga 2000, 70% dari populasi pedesaan A.S. meningkat dalam
populasi. Kepadatan populasi Amerika Serikat adalah 79,6 orang per mil persegi, dibandingkan
dengan 9,3 per mil persegi di Dakota utara dan 1,1 per mil persegi di Alaska. Di Dakota Utara,
68% dari 53 kabupaten adalah perbatasan (tidak lebih dari 6 orang per mil persegi),
dibandingkan dengan 25,1% dari kabupaten AS.

Biro Sensus mendefinisikan daerah perkotaan berdasarkan kepadatan penduduk. Definisi


wilayah perkotaan mencakup kota pusat (tempat sentral) dan daerah sekitarnya yang padat
penduduk (wilayah padat penduduk) dan mengabaikan klasifikasi atau batas wilayah. Satu
wilayah perkotaan, mengandung beberapa kabupaten. Daerah perkotaan harus memiliki populasi
inti 1000 orang per mil persegi dan dapat berisi daerah yang berdekatan dengan minimal 500
penduduk per mil persegi. Jenis daerah perkotaan didefinisikan oleh Census Bureau yaitu daerah
perkotaan (Urban area) dan kelompok perkotaan (urban Cluster). Daerah perkotaan
didefinisikan sebagai area dengan populasi 50.000 orang atau lebih. sedangkan Kelompok
perkotaan adalah area perkotaan dengan kurang dari 50.000 populasi tetapi lebih dari 2.500
orang. Census Bureau mendefinisikan daerah pedesaan sebagai semua wilayah di luar daerah
perkotaan dan permukiman kurang dari 2.500 orang.

Kantor Manajemen dan Anggaran (KMA) atau The Office of Management and Budget
(OMB) mendefinisikan area dalam hal status metropolitan atau Metropolitan Statistics Area
(MSA). Penunjukan metropolitan (metro) atau non-metropolitan (nonmetro) ditentukan oleh
daerah. Peneliti ekonomi paling sering menggunakan area nonmetro dalam menilai populasi
pedesaan, pekerjaan, dan pendapatan. Wilayah metro didefinisikan sebagai satu atau lebih
kabupaten yang memiliki daerah perkotaan inti berpenduduk 50.000 atau lebih, termasuk dengan
kabupaten yang berdekatan secara sosial dan ekonomi terintegrasi dengan kabupaten inti kota,
yang diukur dengan jumlah orang yang bepergian ke tempat kerja. Semua daerah di luar wilayah
metro dianggap sebagai daerah non metro. Pada tahun 2000, KMA/OMB diganti dengan Core-
Based Statistical Areas (CBSAs). Secara umum, istilah "perkotaan" dan "pedesaan" sering
digunakan dengan istilah "metropolitan" dan "non metropolitan."

Pada tahun 2003, Economic Research Service (USDA-ERS) menetapkan Rural-Urban


Commuting Area Codes (RUCAS). Skema klasifikasi ini memiliki 10 kode primer dan 30 kode
sekunder. Kode 10 umumnya digunakan untuk daerah pedesaan dalam skema ini berdasarkan
arus perpindahan populasi. Sistem kode ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dan
berbagai definisi perkotaan versus pedesaan tergantung pada kombinasi kode yang digunakan
oleh para peneliti. Meskipun cukup baru, kode RUCAS telah banyak digunakan oleh para
peneliti dan pembuat kebijakan, terutama untuk penggunaan kesehatan pedesaan. Urban
Influence Codes (UICS) dan Rural-Urban Continum Codes (RUCCS) juga telah dikembangkan
dan digunakan oleh USDA-ERS untuk meningkatkan karakterisasi wilayah pedesaan.

Jumlah populasi cenderung meningkat ketika seseorang berpindah dari metro ke


nonmetro atau perkotaan ke pedesaan. 15-20% individu berusia 65 atau lebih tinggal di daerah
pedesaan. Pertumbuhan populasi A.S, diperkirakan akan melambat antara sekarang dan tahun
2050, namun, jumlah lansia diperkirakan akan terus meningkat. Dengan bertambahnya populasi
baby boom (lansia) yang besar, pada tahun 2030 orang yang berusia 65-74 tahun akan meningkat
dari 6% menjadi 10%. Usia 75 atau lebih diperkirakan mencapai 9% pada tahun 2030 dan 12%
pada tahun 2050. Sektor yang paling cepat berkembang dari populasi AS adalah orang yang
berusia 85 tahun ke atas. Di seluruh negara, jumlah orang yang berusia 19 tahun ke bawah
meningkat 1,3% antara tahun 2000 dan 2004, sementara jumlah usia 85 tahun ke atas meningkat
14,6%. Di Dakota utara selama periode yang sama, jumlah orang berusia 85 tahun keatas
meningkat 11,5% dan jumlah orang berusia 19 tahun kebawah menurun 13%. Terjadi penurunan
jumlah penduduk yang lebih muda dan peningkatan penduduk lansia didaerah pedesaan.

Semakin banyak penduduk pedesaan bermigrasi ke daerah perkotaan. Di Dakota Utara


antara tahun 1950 dan 2000, persentase populasi yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari
73% menjadi 45%, sementara populasi di sektor perkotaan meningkat dari 26% menjadi 54%.
Diperkirakan pada tahun 2020, populasi Dakota Utara akan menjadi 59% di perkotaan dan 41%
di pedesaan.

Karakteristik umum populasi pedesaan meliputi:


a. Proporsi penduduk lansia di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan
b. Proporsi penduduk lansia yang lebih tinggi di daerah pedesaan adalah wanita.
c. Tingkat pendidikan pada umumnya lebih rendah dipenduduk pedesaan (kurang pendidikan
setelah sekolah menengah).
d. Proporsi penduduk pedesaan miskin atau hampir miskin ( pendapatan kurang dari 125%).
e. Penduduk di daerah pedesaan lebih mungkin memiliki kesehatan buruk.
f. Penduduk pedesaan lebih cenderung memiliki keterbatasan kegiatan karena kondisi
kesehatan kronis.
g. Penduduk daerah pedesaan memiliki persentase lebih tinggi yang tidak diasuransikan.
h. Penduduk pedesaan lebih sedikit mendapatkan kunjungan perawatan rawat jalan
dibandingkan penduduk di perkotaan.
i. Frekuensi kunjungan kesehatan gigi lebih rendah untuk penduduk desa yang lansia.
Sensus tahun 2000 menunjukkan bahwa ras dan etnis minoritas membentuk sekitar 17%
dari populasi di daerah pedesaan. Kelompok ras dan etnis terbesar di daerah pedesaan termasuk
Hispanik kulit hitam, Afrika Amerika, dan penduduk asli Amerika Indian atau Alaska, dengan
Afrika-Amerika dominan di Selatan, Hispanik di Barat, dan Indian Amerika di Barat / Barat
Daya. Kelompok etnis yang paling cepat tumbuh di Amerika pedesaan adalah populasi Hispanik
25%. Dari tahun 1990 hingga 2000, populasi pedesaan Hispanik meningkat lebih dari 70%,
dengan semua kelompok ras dan etnis meningkat 30%.
Masalah dan Prioritas Kesehatan Pedesaan
Tiga perempat (75%) dari daerah di Amerika Serikat ditetapkan sebagai pedesaan, tetapi
hanya sekitar 20% populasi A.S. Faktor geografis, ekonomi, lingkungan, dan sosial serta usia,
jenis kelamin, dan etnis dapat memengaruhi kebutuhan kesehatan secara keseluruhan, akses ke
perawatan kesehatan, dan kualitas perawatan kesehatan penduduk pedesaan. Penduduk pedesaan
lebih banyak lansia, perempuan, kurang berpendidikan, miskin, tidak diasuransikan, menetap,
obesitas, dan terlibat dalam penyalahgunaan alkohol dan zat lainnya, serta merokok, kekurangan
penyedia layanan kesehatan, kurangnya akses ke perawatan kesehatan, tidak mengejar
perawatan pencegahan, memiliki kondisi kesehatan kronis yang tidak diobati dan tidak
terkontrol, dan telah meningkatkan risiko kematian akibat cedera yang tidak disengaja.
Faktor demografis, geografis, dan budaya di daerah pedesaan sering menyebabkan
hambatan bagi penduduk yang mencari perawatan serta hambatan bagi penyedia layanan
kesehatan dalam memberikan perawatan, sehingga penduduk pedesaan memiliki risiko kesehatan
yang buruk karena sumber perawatan yang terbatas. Kesenjangan kesehatan pedesaan di
berbagai daerah di Amerika Serikat dijelaskan dalam Urban and Rural Health Chartbook
(2001). Tabel 17-2 memuat daftar masalah dan prioritas yang diidentifikasi secara nasional.
Tabel 17-1 Faktor Terkait Kesehatan di Wilayah Metro vs Nonmetro
Persentasi Populasi
Faktor
Metro Nonmetro
Usia >65 tahun 11,8 15,3
Kemiskinan 9,1 16
Tidak diasuransikan 12,2 21
Obesitas 17,7 22,7
Merokok 21,6 28,5
Kurang olahraga 30,9 46,3
Angka kematian akibat cedera 29,1 54,1
Metro: daerah perkotaan
Nonmetro: daerah pedesaan

Tabel 17-2 Prioritas Kesehatan Pedesaan yang Diidentifikasi oleh Ahli Kesehatan Nasional dan
Negara.
Area Prioritas % Responden yang mengidentifikasi
area prioritas (n=44)
Akses keperawatan kesehatan 73
(termasuk satu atau lebih dari yang
berikut)
 Akses ke layanan medis darurat 32
 Akses ketenaga kesehatan 29

 Akses kelayanan kesehatan 29

(umum)
 Akses ke asuransi kesehatan 26

 Akses keperawatan primer 24

Kesehatan mental 49
Kesehatan mulut 41
Program pendidikan dan berbasis 29
masyarakat
Diabets 26
Pencegahan cedera dan kekerasan 26
Nutrisi dan kelebihan berat badan 21
Infrastruktur kesehatan masyarakat 21
Tembakau / rokok 21
Kesehatan ibu, bayi dan anak 18
Keselamatan dan kesehatan kerja 18
Kanker 15
Kesehatan lingkungan 15
Penyakit jantung dan stroke 15
Item diidentifikasi oleh setidaknya 15% responden dan ahli kesehatan pedesaan negara, termasuk
organisasi kesehatan pedesaan negara, lembaga kesehatan masyarakat pedesaan setempat, klinik
kesehatan pedesaan dan pusat kesehatan masyarakat, dan rumah sakit pedesaan.

U.S Department of Health and Human Services department (HHS) / Departemen


kesehatan dan layanan kemanusiaan amerika serikat, Orang Sehat 2010 / Healthy People
(HP2010) mengidentifikasi 467 tujuan untuk meningkatkan kesehatan nasional secara
keseluruhan dalam 28 area. Tujuan ini dimaksudkan untuk menetapkan prioritas dan
menyarankan tindakan oleh pemerintah nasional, negara bagian, dan pemerintah daerah dan oleh
penyedia layanan kesehatan dan lembaga berbasis masyarakat secara nasional. Tujuan
keseluruhan dari HP2010 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan harapan hidup orang
Amerika dan untuk menghilangkan kesenjangan kesehatan di antara berbagai segmen populasi
Orang Sehat 2020 (HP2020) saat ini sedang dikembangkan oleh HHS. Ini akan fokus pada
kesehatan dan kesejahteraan, mengubah prioritas kesehatan masyarakat, dan isu-isu yang muncul
terkait dengan kesiapsiagaan dan pencegahan. Visi, misi, tujuan, dan area fokus HP 2020 akan
dirilis pada tahun 2009, dan tujuan HP2020 akan dirilis pada 2010, bersama dengan pedoman
untuk mencapai target 10 tahun yang baru direvisi.

Kurangnya Cakupan dan Akses


Akses ke perawatan berkualitas, termasuk akses ke asuransi, perawatan primer, dan
layanan medis darurat di daerah pedesaan adalah perhatian utama para ahli perawatan kesehatan
pedesaan.
Asuransi Kesehatan Pada tahun 2007, ada 45,7 juta orang Amerika tanpa asuransi
kesehatan. Cakupan asuransi kesehatan dianggap sebagai indikator utama untuk akses
keperawatan. Cakupan asuransi kesehatan adalah penentu penting untuk status cacat kesehatan
dan untuk mendapatkan perawatan dokter, layanan pencegahan, dan perawatan kesehatan secara
keseluruhan. masyarakat di daerah pedesaan memiliki kemungkinan lebih besar untuk tidak
diasuransikan daripada penduduk yang tinggal di perkotaan (20% : 17%). Status asuransi
kesehatan mempengaruhi akses tepat waktu penduduk pedesaan ke layanan perawatan kesehatan,
termasuk layanan medis darurat. Penduduk pedesaan yang tidak diasuransikan cenderung tidak
memiliki sumber perawatan reguler, mendapatkan layanan perawatan pencegahan (Skrining/
deteksi kanker, perawatan gigi, prenatal, dan diabetes), mendapatkan tes yang diperlukan, dan
menggunakan obat resep. Karena penduduk pedesaan yang tidak diasuransikan cenderung
menunda mencari perawatan sehingga kondisi kesehatan kronis mereka cenderung lebih serius.
Di daerah-daerah, lebih banyak penduduk yang tinggal di daerah pedesaan melaporkan kesehatan
yang buruk, tidak ada kunjungan ke profesional kesehatan dalam satu tahun terakhir, dan kurang
percaya diri dalam mendapatkan layanan yang dibutuhkan.

Hispanik (Spanyol) (36%) dan Afrika-Amerika (21%) lebih cenderung tidak


diasuransikan daripada kulit putih (14%). Yang mungkin tidak diasuransikan adalah usia 19-24
tahun (32%) dan mereka yang terpisah pasangannya (33%). Sekitar 12% dari semua anak di
Amerika Serikat (8,5 juta) tidak diasuransikan. Warga yang bekerja di daerah pedesaan
cenderung tidak memiliki akses ke asuransi karena pekerjaan mereka (misal Bisnis yang lebih
kecil mungkin tidak menawarkan asuransi yang disponsori oleh perusahaan). Tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi dan upah yang lebih rendah secara keseluruhan di daerah pedesaan
mengakibtkan kurangnya asuransi kesehatan pada penduduk pedesaan.

Perawatan Primer
Pakar kesehatan pedesaan nasional dan negara bagian mendaftar akses ke tenaga
perawatan kesehatan, akses ke layanan kesehatan, dan akses ke perawatan primer sebagai
perhatian utama (Tabel 17-2). Akses tepat waktu ke perawatan primer adalah faktor penting
dalam menghindari rawat inap yang dapat dicegah. dan secara efektif mengelola perawatan
kondisi kesehatan kronis. Perekrutan dan retensi penyedia perawatan primer adalah fokus utama
dari petugas kesehatan pedesaan negara.

Tabel 17 -3 jumlah dokter per 100.000 orang


Dokter Spesialis Perkotaan Pedesaan
Praktek umum 28,1 26,1
Dokter Anak 17,5 5,2
Internis umum 35,4 11,8
Spesialis obgyn 13,7 5,1
Spesialis lainnya 134,1 40,1

Meskipun 20-25% populasi A.S. (dan 75% dari daerah A.S.) berada di daerah pedesaan,
hanya sekitar 10% dari dokter praktik memberikan layanan ke daerah pedesaan.
Ketidakseimbangan dokter antara daerah perkotaan dan pedesaan sangat jelas berkenaan dengan
spesialis medis (Tabel 17-3). Pemerintah federal menunjuk daerah dengan kekurangan penyedia
layanan kesehatan medis, gigi, atau mental sebagai daerah kekurangan profesional kesehatan.
The Health Resources and services Administration (HRSA) / Administrasi Sumber Daya dan
Layanan Kesehatan menggunakan rasio satu dokter perawatan primer per 3500 populasi (3500:
1) dalam mendefinisikan area kekurangan perawatan medis primer. Pada 30 September 2008,
ada 6033 area dengan kekurangan dokter perawatan primer, 4043 dengan kekurangan perawatan
gigi, dan 3059 dengan perawatan kesehatan mental. Ada 64 juta orang yang tinggal di daerah
kekurangan dokter perawatan primer. Tambahan 16.336 praktisi dokter perawatan primer akan
diperlukan untuk mencapai rasio praktisi perawatan primer yang direkomendasikan HRSA 2000:
1. Sekitar 15% dari populasi orang dewasa di AS tidak memiliki tempat praktek dokter, klinik,
atau tempat lain yang dipilih atau disukai untuk menerima perawatan secara rutin.
Karena kurangnya dokter di banyak lokasi pedesaan, Penyedia perawatan primer non-
dokter / Nonphysician primary care providers (NPPCPs) diandalkan untuk layanan perawatan
primer. Karena NPPCPs dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan perawatan primer pada
pasien pedesaan dan tidak menuntut gaji tinggi dari seorang dokter, mereka adalah solusi yang
masuk akal dan terjangkau bagi banyak masyarakat pedesaan. Praktek NPPCPs sedikit lebih
banyak di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan (Tabel 17-4). Ketertarikan dalam
praktik perkotaan meningkat, mungkin karena pekerjaan yang lebih menarik, gaji yang lebih
tinggi, dan berkurangnya jam kerja dibandingkan di lokasi pedesaan. Masih harus ditentukan
apakah NPPCPs akan secara signifikan meningkatkan akses ke perawatan medis primer untuk
masyarakat pedesaan yang kurang terlayani atau jika seperti dokter, mereka akan terpikat pada
praktik khusus di lokasi perkotaan yang lebih besar.

Kekurangan nasional dari kesehatan profesional lainnya menyebabkan kesulitan


tambahan untuk daerah pedesaan yang perlu merekrut dan mempertahankan pekerja untuk
memberikan layanan penting. Pada 2014, 400.000 perawat baru harus direkrut untuk
menggantikan perawat yang saat ini berada di dunia kerja yang berusia di atas 55 dan hampir
pensiun. Selain itu, dibutuhkan peningkatan 1,2 juta perawat untuk memenuhi kebutuhan asuhan
keperawatan bangsa. Jumlah apoteker pada 2020 diperkirakan 304.986, dibandingkan dengan
236.227 pada 2007. Peran apoteker diperluas sebanyak 420.000 apoteker pada tahun 2020.
Laporan Proyek Tenaga Kerja Farmasi Nasional pada tahun 2002 memperkirakan 157.000 posisi
apoteker tambahan perlu diisi pada tahun 2020.

Tabel 17-4 Jumlah penyedia perawatan primer non fisik per 100.000 orang
Penyedia non dokter Jumlah Perkotaan Pedesaan

Praktisi perawat 55.730 20,08 24,72

Asisten dokter 31.084 11,66 11,91

Bidan perawat bersertifikat 5.337 1,90 2,47


Dengan populasi lansia yang menuntut dan membutuhkan lebih banyak layanan
perawatan kesehatan, dan dengan kekurangan tenaga kesehatan, akses ke layanan perawatan
primer di daerah pedesaan kemungkinan akan terus menjadi tantangan utama. Solusi inovatif
akan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan di pedesaan Amerika. Model-
model baru pemberian perawatan kesehatan harus dapat diakses dan terjangkau sambil
memenuhi standar kualitas. Model mungkin perlu dirancang khusus sesuai dengan karakteristik
geografis dan demografis masyarakat pedesaan (yaitu, komunitas 2.500 orang atau lebih sedikit
yang terisolasi dari jarak jauh, memiliki sedikit sumber daya, dan mengandung infrastruktur
minimal kemungkinan akan membutuhkan sistem pemberian perawatan yang terstruktur.

Layanan Medis Darurat


Terdapat kesenjangan besar dalam akses ke layanan medis darurat / Emergency Medical
Services (EMS) antara masyarakat pedesaan dan perkotaan. Wilayah pedesaan mungkin secara
geografis terisolasi dari layanan ini, tidak memiliki fasilitas perawatan kesehatan yang memadai
dan profesional untuk memberikan layanan darurat, dan kekurangan sumber daya keuangan
untuk mengembangkan dan mempertahankan layanan seperti itu. Banyak daerah terpencil yang
tidak memiliki rumah sakit. Meskipun kecelakaan dan cedera terjadi dengan frekuensi yang
sama di daerah pedesaan dan perkotaan, cedera di daerah pedesaan seringkali lebih serius dan
mengancam jiwa. Penduduk desa memiliki risiko lebih besar untuk cedera serius dan kematian
karena cedera yang tidak disengaja. Alasan utama untuk morbiditas dan mortalitas yang lebih
tinggi dari cedera yang tidak disengaja di daerah pedesaan adalah keterlambatan waktu
penemuan dan waktu respons. Perbedaan yang signifikan ada antara daerah pedesaan dan
perkotaan di rata-rata waktu respons terhadap kecelakaan mobil yang fatal, waktu antara
kecelakaan dan pemberitahuan personel darurat, antara pemberitahuan dan kedatangan personel
darurat, dan antara kedatangan di lokasi kecelakaan dan kedatangan di rumah sakit semuanya
lebih lama di daerah pedesaan (Tabel 17-5).
Waktu respons rata-rata di Amerika Serikat sejak kecelakaan mobil hingga kedatangan
personel darurat adalah 18 menit untuk lokasi pedesaan, hanya 10 menit untuk daerah perkotaan.
Selain itu, risiko kematian ditemukan tujuh kali lebih tinggi bagi para korban di daerah pedesaan
jika waktu tanggap darurat lebih lama dari 30 menit. Waktu yang berlalu antara panggilan awal
dan perawatan pasien di rumah sakit sangat penting untuk kelangsungan hidup korban
kecelakaan. Karena waktu dan jarak tempuh yang besar di daerah pedesaan, penduduk pedesaan
beresiko lebih tinggi untuk kematian akibat cedera yang tidak disengaja.

Tabel 17 – 5 Waktu respon ambulan di area perkotaan : pedesaan


Waktu respon (Menit) Perkotaan Pedesaan

Memberitahu kecelakaan 3,51 6,96

Memberitahu kedatangan 6,09 11,32

Kedatangan ke rumah sakit 26,21 35,96

Sidebar 17 - 2
Penemuan kapid, stabilisasi, dan perawatan darurat bagi para korban trauma sangat
penting untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian. R.Adams Cowley, seorang militer,
istilah waktu emas berdasarkan data Perang Dunia-1 menunjukkan bahwa jika para prajurit yang
menderita trauma pertempuran besar menerima perawatan shock yang memadai dalam 1 jam,
peluang mereka untuk bertahan hidup secara signifikan lebih tinggi (Table 17- 6). waktu emas /
golden hour adalah konsep yang diterima secara luas dalam layanan medis darurat, pentingnya
mengangkut korban trauma ke fasilitas medis secepat mungkin. Satu jam setelah cedera
traumatis mayor diyakini sering menentukan hidup atau mati korban trauma. 10 menit pertama
perawatan oleh teknisi medis darurat / Emergency medical technicians (EMTs) atau paramedis di
lokasi trauma juga sangat penting untuk kelangsungan hidup korban trauma. Tanpa stabilisasi
yang tepat dalam waktu itu, peluang pasien untuk bertahan hidup diyakini lebih rendah. Periode
waktu 10 menit ini, biasanya disebut sebagai platinum 10 adalah fokus utama EMT dan pelatihan
paramedis.

Perilaku Kesehatan dan Faktor Risiko


Masalah dan kondisi tertentu yang lazim pada populasi pedesaan menjadi perhatian
khusus para pakar kesehatan pedesaan dan dibahas secara singkat di bagian ini. Selain itu, ada
kekhawatiran mengenai kesehatan mental, mulut, ibu, bayi, dan anak serta bidang lain yang tidak
dibahas dalam bab ini. Beberapa faktor meningkatkan risiko penduduk pedesaan terhadap
kesehatan yang buruk (Tabel 17-7). Secara umum, penduduk pedesaan lebih tua, kurang
pendidikan, dan lebih miskin. Pergeseran populasi, khususnya kaum muda, dari komunitas
pedesaan ke perkotaan telah meninggalkan populasi pedesaan yang terisolasi. Masyarakat telah
berjuang untuk mempertahankan populasi mereka, terutama keluarga pekerja yang lebih muda
(warga yang membayar pajak). Kehilangan penduduk mengakibatkan hilangnya pendapatan,
yang mengakibatkan hilangnya bisnis komunitas (misalnya, farmasi, toko kelontong, toko
perangkat keras), yang mengakibatkan hilangnya layanan penting yang diperlukan untuk
menarik keluarga baru ke masyarakat. Hilangnya pendapatan pajak mengakibatkan kurangnya
sumber daya yang tersedia untuk mendukung layanan perawatan kesehatan yang diperlukan
penduduk pedesaan (mis., layanan ambulans, rumah sakit, klinik, panti jompo, farmasi).

Table 17-6 konsep golden hour (waktu emas)


Waktu dari cedera
Tingkat kematian (%)
sampai pengobatan
1 10
2 11
3 12
4 33
5 36
6 41
8 75
10 75

Table 17-7 faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat pedesaan

Penduduk pedesaan lebih cenderung :

 Kurangnya perawatan kesehatan primer yang konsisten

 Gaya hidup yang tidak sehat dan obesitas

 Kebiasaan diet yang buruk

 Mengkonsumsi lemak dan kalori lebih tinggi

 Merokok
 Mengkonsumsi alkohol

 Meninggal karena cedera yang tidak disengaja.

 meninggal karena cedera kendaraan bermotor.

 Bunuh diri

 Menderita keterbatasan dalam aktivitas karena kondisi kesehatan kronis.

Penduduk pedesaan lebih kecil kemungkinannya :

 Menggunakan Sabuk Pengaman.

 Memanfaatkan layanan kesehatan deteksi dan pencegahan

Kurangnya akses ke fasilitas perawatan kesehatan, profesional, dan layanan mungkin


mengharuskan penduduk pedesaan (termasuk pasien lanjut usia dan pasien sakit parah) untuk
pergi tanpa perawatan atau melakukan perjalanan jauh untuk menerima perawatan. Farmasi dan
penutupan rumah sakit, jarak perjalanan yang jauh untuk layanan dokter, dan kurangnya pilihan
penyedia layanan telah dilaporkan. Selain itu, meskipun sebagian besar penduduk lansia di
daerah pedesaan, Medicare membelanjakan lebih sedikit pada penerima manfaat lansia pedesaan
daripada penduduk lansia perkotaan. Perbedaan ini berkontribusi terhadap kekurangan dana
rumah sakit pedesaan, rumah sakit pedesaan diharuskan untuk menyediakan banyak layanan
yang sama dengan rumah sakit perkotaan. Semua faktor ini berkontribusi pada peningkatan
risiko penduduk dengan kesehatan yang buruk, penyakit kronis, mengonsumsi lebih banyak obat,
membutuhkan lebih banyak pemantauan, dan membutuhkan lebih banyak layanan perawatan
jangka panjang seperti panti jompo, kehidupan yang dibantu, perawatan kesehatan di rumah, Dan
rumah sakit. Sistem perawatan kesehatan akan ditantang untuk menemukan cara untuk
memberikan populasi layanan yang hemat biaya, meningkatkan isolasi, dan sumber daya
keuangan yang terbatas untuk mendukung layanan perawatan kesehatan.

Kanker
Meskipun tingkat kematian akibat kanker serupa antara daerah pedesaan dan perkotaan,
penduduk pedesaan beresiko lebih besar untuk diagnosis tertunda dan kanker yang lebih lanjut
pada diagnosis awal. Penduduk pedesaan cenderung memiliki lebih sedikit akses ke layanan
diagnostik, penyaringan, dan pencegahan kanker. Diagnosis yang terlambat sering membuat
pengobatan kurang efektif dan menyebabkan hasil yang lebih buruk.

Diabetes
Diabetes mellitus 2-5 kali lebih umum di Afrika Amerika, Hispanik, Amerika Indian atau
Alaska Pribumi, Kepulauan Pasifik, dan Asia daripada di populasi lain. Resiko diabetes tipe 2
semakin meningkat dengan bertambahnya usia hingga usia 70 dan sedikit lebih besar pada
wanita daripada pria. Hingga 25-50% penduduk lansia berisiko tinggi menderita diabetes.
Diabetes terkait erat dengan faktor-faktor risiko dan gaya hidup tidak sehat yang terjadi di daerah
pedesaan, termasuk obesitas, pola makan dan gizi yang buruk (asupan lemak dan karbohidrat
berlebihan), aktivitas fisik (kurang olahraga), dan penggunaan alkohol berat. Dengan populasi
pedesaan menjadi semakin meningkat, Program deteksi dan pencegahan diabetes sangat penting
di masyarakat pedesaan karena akses terbatas ke layanan perawatan kesehatan.

Penyakit Jantung dan Stroke


Merokok, diet tinggi lemak, penggunaan alkohol berlebihan, dan gaya hidup yang
membuat penduduk pedesaan berisiko tinggi terkena penyakit jantung dan stroke. Selain itu,
sikap, persepsi, dan kurangnya pendidikan tentang kesehatan sehingga masyaraka pedesaan
beresiko menderita penyakit jantung dan stroke. Selain itu, masyarakat pedesaan tidak memiliki
akses untuk layanan pasien jantung dan stroke, seperti layanan rehabilitasi, ahli diet, ahli terapi
okupasi dan fisik, spesialis olahraga, dan pekerja sosial, seperti yang tersedia di daerah
perkotaan. Kurangnya motivasi untuk mencari dan menyelesaikan layanan ini mungkin juga
menjadi faktor. Dalam satu studi, hanya 28% pasien pedesaan yang menghadiri program
rehabilitasi jantung dan hanya 17% dari peserta ini yang benar-benar menyelesaikan program.

Obesitas
Karena perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat, obesitas lebih banyak terjadi di daerah
pedesaan daripada di perkotaan. Obesitas atau kelebihan berat badan adalah di antara 10
indikator kesehatan terkemuka (Tabel 17-8). Pada orang gemuk, risiko kematian adalah 1,5 kali
dan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner 2x lebih besar dari pada orang yang tidak
gemuk. Obesitas meningkatkan risiko hipertensi, stroke, penyakit jantung, penyakit kandung
empedu, dan berbagai jenis kanker. Berat badan berlebih juga dikaitkan dengan gangguan
psikologis, kesulitan hamil, menstruasi tidak teratur, intoleransi glukosa, diabetes tipe 2, dan
kolesterol tinggi. Semakin tinggi tingkat penyakit kronis pada penduduk pedesaan kemungkinan
terkait dengan semakin besar prevalensi obesitas di daerah pedesaan. Penyebab obesitas dan
berat badan berlebih di penduduk pedesaan termasuk asupan lemak dan kalori yang lebih tinggi,
kurangnya diet dan pendidikan gizi, akses terbatas ke ahli gizi dan spesialis gizi, kurang
olahraga, dan karena kurangnya fasilitas olahraga. Upaya untuk mencegah obesitas harus
ditujukan pada perubahan perilaku individu, pilihan makanan yang sehat (menurunkan konsumsi
lemak dan kalori), dan aktivitas fisik teratur.
Tabel 17-8 Healthy People 2010 : 10 indikator kesehatan
1. Aktifitas fisik
2. Kelebihan berat badan / Obesitas
3. Merokok
4. Penyalahgunaan obat- obatan
5. Perilaku seksual yang bertanggung jawab
6. Kesehatan mental
7. Cedera dan kekerasan
8. Kualitas lingkungan
9. Imunisasi
10. Akses ke perawatan kesehatan

Penggunaan Alkohol, Tembakau, dan Obat-Obatan Lain.


Penggunaan alkohol, tembakau, dan obat-obatan lain memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap morbiditas dan moralitas pada penduduk pedesaan. Penduduk pedesaan
beresiko tinggi untuk masalah kesehatan dan cedera yang terkait dengan penyalahgunaan
alkohol dan obat-obatan lain berdasarkan gaya hidup mereka yang tidak sehat, sangat bergantung
pada transportasi dan kebutuhan untuk menempuh jarak yang jauh, jalan pedesaan yang
berbahaya, bekerja di pekerjaan yang rawan cedera dengan mesin-mesin berat, dan akses terbatas
ke fasilitas pendidikan, konseling, dan perawatan. Remaja di pedesaan (usia 12-17 tahun)
beresiko lebih daripada remaja diperkotaan untuk menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan
terlarang (9,6% : 8,7) untuk terlibat dalam pesta minuman keras (12% : 8,6 %), telah
menggunakan alkohol atau zat terlarang dalam sebulan terakhir (60,7% : 52,6%).

Praktik Farmasi di Pedesaan


Praktek farmasi pedesaan di Apotek yang berpenduduk 2.500 orang atau lebih hampir
merupakan apotek berlayanan lengkap yang menyediakan obat resep, alat bantu kesehatan dan
kecantikan, dan hadiah, kartu ucapan, dan barang-barang lain yang dibutuhkan oleh masyarakat
pedesaan. Apoteker biasanya berfungsi sebagai konsultan di panti jompo setempat. Apoteker
komunitas juga biasanya adalah apoteker yang bertanggung jawab di rumah sakit setempat,
berdasarkan kontrak sebagai konsultan. Apotek komunitas pedesaan dapat memberikan obat
resep langsung ke rumah sakit atau dapat melayani rumah sakit melalui apotek di tempat sendiri.
Jika ada klinik yang terpisah dari rumah sakit, apoteker juga akan berfungsi sebagai sumber
informasi obat untuk praktisi perawat, asisten dokter, atau dokter yang berpraktik di klinik itu.
Rumah sakit di pedesaan yang berpenduduk 2.500 orang hampir selalu merupakan rumah sakit
dengan akses federal. Ini berarti bahwa rumah sakit tidak memiliki lebih dari 25 tempat tidur.
Oleh karena itu, apoteker komunitas membuat pengaturan untuk atau menyediakan semua
layanan farmasi yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Rumah sakit yang berada di 15.000 orang,
bahkan pada saat itu, mereka tidak memiliki cakupan apoteker 24 jam, selama 7 hari. Beberapa
rumah sakit di memiliki satu apoteker penuh waktu, tetapi staf apoteker biasanya terbatas pada 5
hari kerja, selama 8 jam per hari.
Indian Health Service (IHS) memberikan peluang bagi apoteker untuk berlatih di
lingkungan pedesaan pada 48 rumah sakit dan lebih dari 230 klinik. Dalam komunitas pedesaan,
apoteker tidak hanya harus memiliki keahlian dalam komunitas farmasi tetapi juga harus mampu
mengarahkan operasi farmasi rumah sakit pedesaan yang kecil. Tanggung jawab di rumah sakit
mencakup berpartisipasi dalam komite farmasi dan terapeutik, bersedia untuk konsultasi dengan
perawat dan praktisi lain, dan menerima resep di rumah sakit, di apotek dan kemudian
menyediakan obat-obatan kepada pasien. Apoteker konsultan dapat mengunjungi apotek rumah
sakit setiap hari untuk secara pribadi menyiapkan obat khusus untuk pasien di sana atau untuk
memeriksa dan menyetujui obat yang sebelumnya disiapkan oleh teknisi farmasi sebelum
diberikan kepada pasien. Penggunaan teknologi telefarmasi membantu apoteker memberikan
layanan ke panti jompo dan rumah sakit pedesaan kecil. Layanan apoteker konsultan untuk panti
jompo dilakukan oleh konsultan apoteker keliling, tetapi seringkali layanan tersebut diberikan
oleh apoteker komunitas dari apotek setempat.

Apoteker dibantu oleh asisten apoteker untuk menyiapkan resep sehingga apoteker
memiliki lebih banyak waktu untuk manajemen terapi obat dan melakukan konseling kepada
pasien.

Apoteker pedesaan memiliki keuntungan karena mengetahui sebagian besar dokter


daerah, dokter tingkat menengah, dokter gigi, dokter hewan, dan pasien secara pribadi dan
mungkin bergabung dengan mereka dalam kegiatan yang tidak terkait dengan pekerjaan.
Keterlibatan dalam organisasi masyarakat akan memberikan kesempatan untuk berbicara dan
mengikuti kegiatan pendidikan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat. Apoteker pedesaan dapat terlibat dalam kegiatan kesehatan masyarakat, mereka
dapat mengandalkan apoteker sebagai konsultan untuk memberitahu tentang cara penggunaan
obat yang tepat kepada masyarakat dan siswa di sekolah.

Manajemen terapi obat dan manajemen penyakit tertentu memberikan peluang tambahan
untuk keterlibatan apoteker pedesaan dalam kesehatan masyarakat. Dimulai dengan manajemen
terapi pada pasien diabetes, sehingga menunjukkan pentingnya peran apoteker terhadap hasil
kesehatan pasien. Pada bulan Juli 2008, North Dakota memulai program di beberapa negara
untuk membayar apoteker yang mempraktikkan dan menyediakan layanan manajemen
pengobatan kepada pasien diabetes. Sebanyak 82 apotek yang dapat dikunjungi oleh pasien
secara teratur untuk meninjau terapi obat mereka, mengukur dan memantau kadar gula pasien.
Asosiasi Apoteker Dakota Utara akan segera mengimplementasikan program ini untuk
membantu pasien di masyarakat pedesaan untuk mengelola penyakit lain. Apoteker pedesaan
dapat menghabiskan waktu 20-30 menit dengan pasien diabetes jika tersedia teknisi farmasi yang
kompeten untuk menyiapkan obat sehingga apoteker dapat melakukan konseling dengan pasien.

Apoteker di masyarakat pedesaan juga dapat berkontribusi untuk kesehatan masyarakat


melalui keterlibatan dalam imunisasi. Perawat kesehatan masyarakat sering berotasi melalui
komunitas pedesaan dan memberikan imunisasi secara berkala. Apoteker pedesaan, dapat
memberikan imunisasi ini ketika pasien menebus resep obat mereka. Apoteker pedesaan dapat
memiliki dampak signifikan pada kesehatan masyarakat secara keseluruhan dengan
meningkatkan tingkat imunisasi.

Telehealth sebagai Pendekatan Alternatif untuk Penyampaian Perawatan Kesehatan


Telehealth adalah pengiriman layanan perawatan kesehatan dengan mempertimbangkan
jarak dan menggunakan teknologi informasi serta komunikasi, untuk memberikan perawatan
kepada populasi jauh dan kurang terlayani secara medis. Istilah telehealth dan telemedis sering
digunakan secara bergantian. Yang termasuk pelayanan telemedicine yaitu kardiologi,
dermatologi, telinga, hidung, dan tenggorokan, terbakar, terapi berbicara, operasi plastik,
manajemen penyakit, catatan medis elektronik untuk sistem kesehatan pedesaan, HIV/AIDS,
perawatan rumah, kesehatan mental, farmasi, rehabilitasi dan perawatan darurat. Layanan
telehealth disediakan untuk semua jenis pasien, termasuk bayi, lansia, tidak diasuransikan,
berpenghasilan rendah, minoritas, kurang terlayani secara medis, dan pasien berisiko tinggi dan
mereka yang membutuhkan layanan spesialis medis yang hanya tersedia di daerah perkotaan.
Layanan telehealth digunakan dalam berbagai pengaturan termasuk rumah sakit, klinik medis,
panti jompo, apotek, sekolah, penjara, departemen kesehatan, dan bahkan rumah pasien.
Misalnya, seorang spesialis kardiologi dapat meninjau elektrokardiogram pasien yang direkam di
fasilitas pedesaan terpencil. Melalui telemedicine, layanan spesialis dapat dibuat tersedia untuk
dokter lokal atau praktisi tingkat menengah di daerah pedesaan ketika pasien harus melakukan
perjalanan jauh untuk layanan khusus. Ahli radiologi sering memberikan layanan kepada
masyarakat pedesaan dengan membaca x-ray yang ditransmisikan secara elektronik atau
pemindaian jarak jauh. Pembedahan telah dilakukan oleh robotik oleh seorang spesialis di
fasilitas jauh menggunakan teknologi telemedicine.

Telefarmasi
Telefarmasi adalah suatu cara untuk memberikan perawatan farmasi kepada pasien
dilokasi terpencil dimana mereka mungkin tidak memiliki kontak fisik dengan apoteker.
Menyediakan layanan kepada masyarakat pedesaan terpencil yang kurang terlayani secara medis.
Ini telah digunakan untuk memulihkan, mempertahankan, dan membangun layanan farmasi di
komunitas pedesaan di mana akses ke apoteker dan layanan farmasi terbatas atau tidak ada.
Melalui penggunaan teknologi konferensi video telefarmasi dan kamera, seorang apoteker dapat
mengawasi proses dispensing obat dan konseling pasien. Apoteker melakukan pemeriksaan
pekerjaan yang dilakukan oleh Asisten apoteker, termasuk memverifikasi resep dokter, etiket
obat, bentuk sediaan dan melakukan tinjauan pemanfaatan obat, serta memberikan konseling
kepada pasien, jika perlu ke dokter atau perawat. Telefarmasi telah dievaluasi sebagai cara yang
aman dan hemat biaya dalam memberikan layanan farmasi kepada masyarakat pedesaan.
Telefarmasi telah terbukti dapat meningkatkan pendapatan apotek pedesaan.
Pengalaman Telefarmasi Dakota Utara Pada tahun 2000, dakota utara menjadi negara
bagian pertama yang mengeluarkan peraturan administratif yang mengizinkan apotek di daerah
pedesaan untuk beroperasi tanpa memerlukan seorang apoteker secara fisik hadir di lokasi. Pada
September 2008, 72 situs telefarmasi telah didirikan, 51 situs tersebut adalah apotek dan 21
adalah apotek di rumah sakit. Sekitar 40.000 warga pedesaan telah mendapatkan layanan
farmasi, proyek ini telah menghasilkan sekitar $ 12,5 juta dalam pengembangan ekonomi untuk
masyarakat pedesaan. Telefarmasi berkesempatan untuk meningkatkan atau mendapatkan rekam
medis elektronik dari pasien dalam jarak jauh.

Apotek atau apotek dirumah sakit terpencil ini dikelola oleh tenaga teknis kefarmasian
yang sudah terdaftar dan memiliki pengalaman kerja satu tahun atau lebih. TTK menyiapkan
resep sambil diawasi oleh apoteker melalui audio dan video (Gambar 17-1). Kamera dengan
resolusi tinggi di meja resep memungkinkan TTK untuk menunjukkan kepada apoteker resep
asli, label lengkap, obat-obatan yang diambil, dan label tambahan apa pun untuk dipasang
(Gambar 17-2). Setelah apoteker di pusat melakukan pemeriksaan akhir dan menyetujui resep,
pasien diundang ke ruang konseling dan apoteker memberikan konseling pengobatan wajib
melalui teknologi konferensi video (menggunakan televisi). monitor dan Polycom (Audio
berkualitas bagus), tujuan dari telefarmasi di North Dakota adalah untuk memastikan bahwa
apoteker memberikan konseling tentang penggunaan obat kepada pasien, sehingga tidak ada
pasien yang tidak mendapatkan informasi terkait obatnya.

Jaminan kualitas kebutuhan telepon diDakota utara sangat penting untuk menjamin
keselamatan pasien. Yang boleh bekerja di lokasi telefarmasi adalah tenaga teknis yang sudah
menyelesaikan program pelatihan yang diakui oleh masyarakat Amerika Serikat dan memiliki
sertifikat serta harus memiliki pengalaman kerja minimal l tahun. Selain itu, apoteker yang
bertanggung jawab harus mengunjungi apotek pedesaan setidaknya sebulan sekali untuk
memverifikasi bahwa semua pencatatan rekaman dan telefarmasi sudah terpenuhi. Beberapa
negara yang mengembangkan aturan telefarmasi baru baru ini membutuhkan kunjungan
mingguan oleh apoteker yang bertanggung jawab. Apoteker melakukan evaluasi pengobatan
pasien, melakukan peninjauan obat, memeriksa dosis yang tepat, pedoman pengobatan obat, dan
tes laboratorium dan kemudian menyetujui resep obat dan memberikan obat kepada pasien.

Wireless mobile telepharmacy cart (gambar 17-3) digunakan di rumah sakit terpencil
untuk memungkinkan perawat dan dokter di daerah perawatan pasien untuk memiliki 24-jam
akses ke apotek untuk melakukan konsultasi terkait terapi obat.

Layanan manajemen terapi pengobatan dapat disediakan melalui telepharmacy, dan


bahkan-setiap pasien akan dapat mengakses informasi melalui televisi mereka sendiri dan
berbicara dengan apoteker atau penyedia kesehatan lainnya dari rumah mereka sendiri. Setelah
catatan kesehatan elektronik menjadi mudah tersedia, seorang spesialis akan dapat meninjau
kesehatan pedesaan. Klinik-klinik ini di daerah pedesaan kecil jarang memiliki sumber daya
untuk menyediakan apoteker sendiri dan layanan farmasi. Kemampuan untuk memperluas
jangkauan seorang apoteker untuk tatap muka dengan pasien pada jarak jauh menawarkan
hampir tak terbatas kesempatan untuk menyediakan perawatan pasien.

Pengalaman telefarmasi Alaska


The Alaska Native Medical Center (ANMC), terletak di Anchorage, menyediakan layanan
kesehatan ke Departemen kesehatan. Area layanan melebihi 170. 000 persegi Miles dari South
central Alaska, termasuk lebih dari 50 desa. Populasi di pedesaan berkisar 50 sampai 900.
Sebagian besar desa-desa yang diakses hanya dengan perahu atau pesawat kecil. Akses
masyarakat untuk mengatasi lebih lanjut dibatasi oleh hidup yang sederhana dan cuaca ekstrim.

Karena populasi kecil dan sumber keuangan yang terbatas, posisi perawatan kesehatan
untuk desa-desa yang terisolasi tidak mudah dibenarkan. Untuk daerah yang memiliki penyedia
kesehatan, perekrutan dan retensi sulit, Kebanyakan klinik tidak memiliki dokter, Perawat
Praktisi, Asisten dokter, apoteker, dan penghapusan obat-obatan terlarang.
Program Telefarmasi Alaska Native medical center (ANMC)
Program telefarmasi ANMC dimulai pada tahun 2002 sebagai program untuk menilai
kelayakan karena menggunakan teknologi yang tersedia di Alaska. Perawatan untuk daerah
terpencil. Yang termasuk peralatan telefarmasi adalah alat videoconferencing, scanner kode bar,
dan terkait peripheral seperti pencetak, mesin fax, dan telepon. Model telefarmasi di Dakota
utara memiliki seorang teknisi apotek terdaftar yang mempersiapkan resep , membeli persediaan
obat di apotek resmi. Dokter, asisten dokter, atau perawat praktisi mengirimkan resep melalui
resep elektronik pada apoteker di Pusat Farmasi. Apoteker meninjau urutan obat dan profil obat
pasien, dan kemudian memeriksa reaksi obat yang merugikan, masalah ekskresi obat, dan alergi.
Setelah obat ditinjau dan disetujui oleh apoteker, apoteker secara elektronik memberikan resep
ke TTK untuk mengambilkan obat pasien dan mencetak label obat. Setelah itu pasien akan
melakukan konseling dengan apoteker, apoteker memberikan instruksi tentang penggunaan obat
yang tepat dan menjawab pertanyaan dari pasien. Jika terjadi masalah terkait obat maka pasien
harus kembali ke rumah sakit untuk ditindak lanjuti.

Perangkat pengeluaran obat otomatis terbuat dari baja berat dengan kaca depan anti
peluru. Mekanisme triple lock memungkinkan obat obat dapat disimpan di dalam. Perangkat
pengeluaran otomatis dapat menampung 120 obat yang dikemas berbeda. Obat-obatan dikemas
untuk rangkaian terapi yang khas, atau persediaan 30 hari untuk obat-obatan kronis. Wadah obat
disiapkan di apotek ANMC di Anchorage, Kode batang dua dimensi pada wadah obat
memungkinkan kode obat nasional, ukuran paket, nomor lot, dan tanggal kadaluwarsa untuk
diunggah ke aplikasi telefarmasi.

Setiap obat diberikan level kuantitas tinggi dan rendah. Ketika tingkat kuantitas rendah
tercapai, obat ditampilkan pada laporan pengisian yang dijalankan setiap hari oleh teknisi apotek
di apotek ANMC. Teknisi farmasi kemudian menyiapkan obat-obatan untuk pengisian kembali
perangkat pengeluaran otomatis dan mengirimkan obat-obatan ke klinik terpencil melalui
Layanan Pos A.S. Klinik biasanya menerima obat mereka dalam 2 atau 3 hari; namun,
keterlambatan lebih dari 3 minggu telah terjadi karena cuaca buruk atau peralatan yang tidak
dapat dioperasikan di bandara. Ketika obat diterima di klinik, staf memuat masing-masing obat
ke dalam perangkat pengeluaran otomatis, menggunakan pemindaian kode batang untuk
mencegah kesalahan pemuatan. Kegiatan-kegiatan tersebut masuk ke dalam aplikasi telefarmasi
secara real time. Teknisi farmasi memantau aktivitas pemuatan untuk memastikan bahwa hal itu
dilakukan dengan cepat dan akurat. Setiap perbedaan dalam jumlah pemuatan mudah
diidentifikasi dan diselidiki.

Dalam model telefarmasi ini, resep dan formulir kunjungan dikirim melalui faks ke
apoteker di ANMC. Apoteker melakukan tinjauan klinis prospektif dari resep, memastikan
kepatuhan terhadap ruang lingkup praktik pembantu kesehatan masyarakat, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah pengobatan, memasukkan resep ke dalam catatan medis elektronik, dan
mencetak label resep berkode bar ke klinik jarak jauh . Penyedia di klinik memindai kode batang
pada label resep menggunakan aplikasi telefarmasi, dan obat dilepaskan dari perangkat
pengeluaran otomatis. Sebagai verifikasi terakhir, kode batang pada wadah obat yang dirilis
dipindai. Selanjutnya, penyedia menempelkan label resep yang disetujui apoteker ke wadah obat.
Pasien ditawarkan kesempatan untuk berkonsultasi dengan apoteker menggunakan peralatan
konferensi video atau telepon.

Apoteker secara efisien mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah seperti kesalahan


dosis dan obat yang diresepkan pasien yang alergi atau yang bisa berbahaya selama kehamilan,
dan mereka memastikan bahwa resep lengkap dan memenuhi persyaratan peraturan. Manfaat
tambahan dari program telefarmasi adalah peningkatan persediaan obat-obatan, penurunan biaya
karena pemborosan, peningkatan keamanan penggunaan obat, dan pemanfaatan yang lebih baik
dari penyedia layanan kesehatan untuk memberikan perawatan pasien langsung. Hambatan yang
dihadapi termasuk pengiriman peralatan besar, lokasi perangkat pengeluaran otomatis dalam
ruang klinik, resistensi penyedia untuk memasukkan seorang apoteker ke dalam tim perawatan
kesehatan, masalah privasi, dan biaya peralatan dan layanan.

Perangkat lunak telefarmasi memungkinkan berbagai laporan dihasilkan dan ditinjau oleh
apotek ANMC. Penarikan obat dapat ditanggapi dengan lebih efisien melalui aplikasi telefarmasi.
Laporan bulanan dijalankan untuk mengidentifikasi obat-obatan yang segera kadaluwarsa, dan
obat obat diganti terlebih dahulu. Laporan penggunaan memastikan tingkat persediaan sesuai.
Laporan lain memungkinkan peluang peningkatan kualitas diidentifikasi.

Jaringan telefarmasi ANMC akan diperluas untuk mencakup 30 lokasi desa terpencil pada
akhir 2009. Klinik terjauh berjarak lebih dari 1.200 mil dari apotek pusat di Anchorage, dan yang
terdekat berjarak 45 mil. Model telefarmasi dapat berhasil memperluas layanan farmasi ke
populasi yang jauh. Akses ke perawatan farmasi yang berkualitas ditingkatkan, perawatan pasien
meningkat, dan sumber daya digunakan lebih efisien.

Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan: Menangani Kebutuhan Kesehatan Pedesaan


Standar akreditasi saat ini untuk sekolah farmasi mengharapkan sekolah untuk
meningkatkan penekanannya pada pendidikan dan pelatihan kesehatan masyarakat, termasuk
penyediaan perawatan berbasis populasi dan layanan promosi kesehatan dan pencegahan
penyakit yang efektif. Diperlukan program untuk mendukung pelatihan dan pengalaman dalam
kesehatan masyarakat untuk siswa dan praktisi apoteker. Beberapa sekolah farmasi menawarkan
Doktor Farmasi / doctor of pharmacy (PharmD) dan Magister Kesehatan Masyarakat/ Master of
Public Health (MPH). Banyak disiplin ilmu lain juga menawarkan gelar gabungan (MD / MPH,
MSN / MPH, PA / MPH, DVM / MPH, DO / MPH). Tingkat MPH membutuhkan 42 jam dengan
persyaratan inti dan mata kuliah pilihan meliputi biostatistik, ilmu kesehatan lingkungan,
epidemiologi, kebijakan dan manajemen kesehatan, dan ilmu sosial dan perilaku. Program MPH
disiplin-disiplin sedang dikembangkan yang memungkinkan farmasi, keperawatan, obat-obatan,
dan disiplin ilmu lain untuk membuat kurikulum (trek) khusus mereka sendiri untuk membekali
para profesional perawatan kesehatan dengan keterampilan untuk secara efektif memberikan
program dan layanan kesehatan masyarakat yang bermakna (yaitu, promosi kesehatan ,
pencegahan penyakit, intervensi, dan pendidikan) kepada pasien dan komunitas mereka. Program
MPH terapan ini mengandung tujuh kompetensi interdisipliner dalam bidang-bidang berikut:
kepemimpinan, keanekaragaman dan budaya, komunikasi dan informatika, profesionalisme,
biologi kesehatan masyarakat, perencanaan program, dan pemikiran sistem (lihat Gambar 21-2).
Pendekatan kesehatan masyarakat ini menciptakan model baru untuk pelatihan tim
profesional kesehatan interdisipliner dengan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang
diperlukan untuk bekerja secara efektif dengan masyarakat pedesaan untuk meningkatkan
kesehatan warga. Sekolah akan perlu mengembangkan situs pelatihan klinis dan pengalaman
dalam kesehatan masyarakat untuk siswa farmasi, dengan fakultas yang memenuhi syarat untuk
rotasi pengalaman siswa dan residensi. Komunitas pedesaan akan menjadi lokasi yang ideal bagi
mahasiswa dan praktisi farmasi untuk menerapkan pelatihan mereka dan mengembangkan
program promosi kesehatan dan pencegahan penyakit (termasuk intervensi yang ditargetkan).
Apoteker yang terlatih dalam kesehatan masyarakat dapat bekerja dengan ahli epidemiologi
negara dan petugas kesehatan negara, menggunakan data populasi untuk mendefinisikan bidang
kebutuhan (masalah kesehatan masyarakat) di negara bagian dan untuk menargetkan
penyaringan preventif, pendidikan, dan intervensi untuk memenuhi kebutuhan specilic
masyarakat pedesaan.
Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada pengaruh dari apoteker dan layanan farmasi
dalam meningkatkan kesehatan masyarakat pada populasi sasaran. Sekolah farmasi juga dapat
menawarkan program pendidikan berkelanjutan dan sertifikat untuk apoteker yang berfokus pada
kesehatan masyarakat, yang dapat disusun untuk akhirnya mengarah ke gelar MPH jika
diinginkan.
Standar akreditasi baru telah memberikan tekanan pada sekolah-sekolah untuk
menemukan sejumlah guru yang memadai untuk pelatihan pengalaman, baik untuk pengalaman
praktik farmasi lanjutan dan pengalaman praktik farmasi pengantar. Ini memberikan peluang
bagi sekolah farmasi untuk mengembangkan kemitraan dengan masyarakat pedesaan untuk
menyediakan program perawatan kesehatan, layanan, pendidikan, dan profesional kesehatan
yang sangat dibutuhkan sebagai imbalan dari pengalaman pelatihan klinis bagi siswa. Di North
Dakota State University (NDSU), semua siswa farmasi harus menyelesaikan rotasi dalam
komunitas dengan populasi tidak lebih dari 5.000 orang. Lebih dari 40 guru di berbagai lokasi di
seluruh North Dakota dan Minnesota menawarkan rotasi pedesaan untuk siswa farmasi NDSU,
memaparkan siswa pada praktik dan gaya hidup pedesaan yang sebaliknya tidak akan mereka
alami dan berpotensi meningkatkan keinginan mereka untuk berlatih di komunitas pedesaan.

Beberapa tantangan dan hambatan harus diatasi dalam mengembangkan pengalaman


pelatihan klinis untuk siswa di daerah pedesaan. Salah satunya adalah membuat siswa tertarik
meninggalkan daerah perkotaan untuk tinggal dan berlatih di lingkungan pedesaan yang kecil.
Keterasingan dan kurangnya fasilitas perkotaan (termasuk hiburan) tidak menarik bagi banyak
siswa. Untuk alasan ini, sekolah-sekolah di negara-negara pedesaan seperti North Dakota telah
menjadikan rotasi pedesaan sebagai persyaratan bagi semua siswa. Tanpa persyaratan ini, banyak
siswa kemungkinan tidak akan memilih opsi ini sendiri. Biaya transportasi dan perumahan ekstra
dapat menambah beban keuangan siswa. Tunjangan dapat disediakan untuk membantu
membujuk siswa untuk mengejar rotasi pedesaan dan membantu membiayai biaya tambahan
yang dikeluarkan siswa. Lokasi pedesaan mungkin memiliki perumahan yang terbatas untuk
siswa. Sekolah yang mempertimbangkan rotasi pedesaan harus menentukan ketersediaan
perumahan di masyarakat untuk mendukung pelatihan pengalaman siswa yang berkelanjutan.
Kemitraan dengan fasilitas kesehatan setempat seringkali dapat membantu pengaturan
perumahan siswa.

Volume, variasi, kompleksitas, dan tingkat ketajaman pengalaman perawatan pasien


dapat dibatasi di daerah pedesaan. Pasien yang sakit kritis biasanya dipindahkan ke fasilitas
perawatan tersier perkotaan. Kurangnya akses ke profesional kesehatan lainnya juga dapat
menimbulkan masalah. Untuk alasan ini, penting bagi sekolah farmasi untuk memilih komunitas
pedesaan yang dapat memberikan keluasan dan kedalaman pasien, kondisi kesehatan, dan
paparan interprofesional yang diperlukan untuk memenuhi standar akreditasi dan memberikan
pengalaman klinis yang komprehensif bagi siswa. Beberapa negara sedang mengembangkan
pusat pengajaran regional di komunitas pedesaan tertentu untuk menyediakan infrastruktur untuk
pengalaman pelatihan siswa, termasuk akses ke fasilitas kesehatan (yaitu, rumah sakit, klinik
medis, panti jompo, apotek komunitas), tim interdisipliner profesional kesehatan, dan jumlah
yang cukup. Fakultas dapat ditempatkan di lokasi pelatihan pedesaan yang berkelanjutan ini
untuk membangun praktik klinis aktif, memberikan pendidikan dan layanan perawatan kesehatan
yang berharga kepada masyarakat (dan masyarakat pedesaan sekitarnya), dan membantu dalam
pengawasan siswa. Teknologi konferensi video dapat digunakan untuk menghubungkan fakultas
pedesaan, mahasiswa, dan fasilitas, mengurangi isolasi mereka dan meningkatkan interaksi untuk
memperkaya pengalaman pendidikan.

Sekolah-sekolah farmasi harus mempertimbangkan kebutuhan pedesaan dalam keputusan


penerimaan mereka, pengalaman pelatihan klinis siswa, penempatan staf pengajar, program
penjangkauan, dan layanan untuk fasilitas kesehatan, masyarakat, dan profesi. Para profesional
kesehatan yang lahir dan besar di masyarakat pedesaan lebih mungkin untuk berpraktik di
lingkungan kota kecil, dan kelompok minoritas yang kurang terwakili, kurang beruntung, dan
lebih cenderung melayani populasi yang kurang terwakili, kurang beruntung dan minoritas. Jika
negara membutuhkan apoteker untuk melayani di daerah pedesaan atau untuk melayani populasi
minoritas, sekolah farmasi harus mempertimbangkan untuk secara aktif merekrut siswa dari
komunitas pedesaan kecil dan dari populasi yang kurang terwakili dan minoritas. Program
pengampunan pinjaman, beasiswa, dan insentif masyarakat lainnya dapat dibuat tersedia untuk
menarik calon apoteker untuk berpraktik di daerah pedesaan. Program untuk membantu lulusan
dengan kepemilikan farmasi juga dapat bermanfaat bagi daerah pedesaan di mana pemilik toko
farmasi ingin pensiun dan menjual toko mereka.

Tindakan untuk Perubahan Hari Ini


Banyak daerah pedesaan sangat kekurangan akses ke program berbasis masyarakat yang
berfokus pada promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan intervensi. Seringkali apoteker
adalah sumber informasi dan pendidikan kesehatan yang paling mudah diakses. Apoteker
memiliki peluang besar untuk terlibat dalam pendidikan kesehatan masyarakat di daerah
pedesaan.
 Mencari tempat berkumpulnya komunitas pedesaan (sekolah, pengusaha, rumah sakit,
fasilitas tempat tinggal, gereja, pertemuan pengintai, pusat komunitas, layanan penyuluhan
pertanian) untuk menyediakan promosi kesehatan dan program pendidikan pencegahan
penyakit.

 Menyediakan program skrining kesehatan (mis., Untuk tekanan darah, kolesterol, glukosa,
kanker) dan vaksinasi influenza dan imunisasi lainnya di lokasi masyarakat dan di acara-
acara lokal.

 Menjadi teknisi medis darurat (EMT) yang melayani penduduk pedesaan, dan membantu
dalam melatih orang lain.

 Memberikan pendidikan tentang topik-topik yang tidak mudah diakses di masyarakat


pedesaan: asuransi kesehatan, nutrisi dan diet, kebugaran dan olahraga fisik, gaya hidup
sehat, faktor risiko kesehatan, penggunaan sabuk pengaman, penyalahgunaan alkohol dan
zat, penghentian merokok, kesehatan mulut, kesehatan mental, dan kesehatan bayi dan anak.

 Membantu masyarakat pedesaan dalam memperoleh dana hibah dari yayasan swasta dan
sumber negara bagian dan federal untuk mendukung upaya pendidikan kesehatan.

 Memanfaatkan teknologi baru, seperti konferensi video telehealth, untuk memberikan


program pendidikan kesehatan berbasis masyarakat kepada masyarakat pedesaan terpencil di
negara bagian, wilayah, atau negara Anda.
 Menyediakan manajemen penyakit dan program pemantauan terapi obat kepada pasien dan
dokter mereka untuk mengatasi penyakit kronis, stroke, obesitas, merokok, dan alkohol serta
penyalahgunaan obat-obatan lainnya.

 mempromosikan peranan apoteker dan apotek sebagai alternatif dari tempat perawatan
primer tradisional untuk orang dengan akses terbatas ke dokter atau pusat medis.

 meninjau orang-orang Sehat Pedesaan 2010 (RHP2010) volume 1 sampai 3 untuk lebih
memahami prioritas dan masalah kesehatan pedesaan di Amerika Serikat.

 Identifikasi, dari RHP2010, strategi dan intervensi berbasis masyarakat yang saat ini sedang
dilaksanakan untuk mengatasi kesenjangan dan masalah kesehatan pedesaan.

1. Kondisi di Indonesia

a. Pengaruh edukasi apoteker terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat terkait teknik
penggunaan obat
b. Masih melakukan sosialisasi gerakan masyarakat cerdas menggunakan obat di desa
c. Melakukan penyuluhan dan pengenalan peran profesi apoteker kepada siswa smp satu atap
desa
BAB III

KESIMPULAN

Ketersediaan tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang memadai sangat penting
bagi pembangunan kesehatan di daerah pedesaan untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan secara lebih baik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) (2009)
menyatakan bahwa tujuan pembangunan sektor kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang supaya terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk itu, distribusi tenaga kesehatan dan juga pengetahuan
generasi muda yang memadai dibutuhkan agar masyarakat di daerah dapat mengerti dan
menikmati pelayanan kesehatan yang lebih baik dengan akses yang relatif mudah. Dampak
positifnya adalah mereka menjadi lebih mungkin hidup di lingkungan masyarakat dengan
perilaku yang jauh lebih sehat, selain itu minat geerasi muda terhadap profesi tenaga keseatan
semakin meningkat. Terkait pentingnya tenaga kesehatan, salah satu unsur penting yang
berperan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah sumber daya manusia (SDM)
kesehatan. Selain itu, dalam SKN (Sitem Kesehatan Nasional) 2012, ada 6 subsistem yang
menentukan pencapaian derajat kesehatan secara nasional yaitu informasi kesehatan, sumber
daya tenaga kesehatan, upaya peningkatan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat,
ilmu pengetahuan bagi masyarakat termasuk kedalam tujuan untuk mengedukasi masyarakat
terkait penggunaan obat yang rasional, dan pengaturan hukum kesehatan mengenai penerapan
tenaga apoteker di daerah pedesaan. Ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan distribusi tenaga
kesehatan yang memadai sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan
nasional. SDM kesehatan adalah orang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan. Menurut
Adebayo dan Oladeji (2006, dalam Ademiluyi et al., 2009), SDM kesehatan terdiri dari dokter,
apoteker, perawat, bidan, ahli teknologi laboratorium, administrator, akuntan dan para pekerja
kesehatan lainnya. SDM kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang memadai perlu
distribusikan secara merata serta bermanfaat secara optimal dalam upaya menjamin
keterlaksanaan pembangunan kesehatan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Akan tetapi, generasi muda masih banyak yang belum memahami tentang
tenaga kesehatan dan profesi kesehatan. Profesi apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan
yang sangat penting dan tidak dapat dianggap remeh peranannya. Pemerintah mengatur profesi
apoteker ini dalam peraturan pemerintah NOMOR 51 TAHUN 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,


pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional.

2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.

3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telahmengucapkan
sumpah jabatan Apoteker.

6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi,
dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Dari pembahasan ini diketahui bahwa peran
apoteker dimasyarakat pedesaan masih belum maksimal dikarenakan keterbatasan pengetahuan
masyarakat tentang fungsi dan tugas apoteker sehingga peran apoteker tergantikan oleh tenaga
kesehatan lain yang seyogyanya tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Harlianti, M.S, dkk. 2016. Pengaruh Kepuasan Terhadap Kemauan Membayar (Willingness To
Pay) Jasa Pelayanan Konseling Oleh Apoteker Di Apotek. Jurnal Ilmiah Farmasi. Jogjakarta.

Pratiwi, Hening, dkk. 2017. Pengaruh edukasi apoteker terhadap pengetahuan dan sikap
masyarakat terkait teknik penggunaan obat. Jurnal Ilmiah Farmasi. Universitas Jenderal
Soedirman.

Bhagawan, W.S. 2017. Penyuluhan Dan Pengenalan Peran Profesi Apoteker Kepada Siswa Smp
Satu Atap Desa Bocek Kecamatan Karangploso Malang. Skripsi. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang

Tanziha, Ikeu. 2016. Faktor Risiko Anemia Ibu Hamil Di Indonesia. Jurnal Pangan Dan Gizi.
IPB.

Wahtini, Sri. 2020. Gambaran Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalasan.
Midwifery Journal. Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai