Dosen Pengampu :
Dr. apt. Ifmaily., M.Kes
PERINTIS PADANG
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan pada zaman sekarang ini merupakan hal yang amat sangat penting dalam
kehidupan manusia, karena untuk melakukan setiap aktifitas memerlukan kondisi fisik yang
sehat, sehingga setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis untuk
mencapai tujuan hidup yang diinginkannya. Upaya peningkatan kualitas dari tenaga
kesehatan sangat dibutuhkan agar tercapainya peningkatan pembangunan nasional
khususnya dibidang kesehatan, serta meningkatkan mutu sumber daya manusia yang dapat
melaksanakan kewajibannya dengan baik dan tercapai masyarakat yang sehat pula. Peran
masyarakat tidak lepas dari pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kefarmasian baik
dipuskesmas maupun diapotek terdekat. Hal ini didasarkan pada daerah pedesaan yang jauh
dari fasilitas kesehatan sehingga hanya mengandalkan apotek dan puskesmas sebagai sarana
kesehatan utama (Harlianti M. S, 2016).
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (PP No 51, 2009). Semakin pesatnya
perkembangan pelayanan apotek dan semakin tingginya tuntutan masyarakat, apoteker
dituntut untuk mampu memenuhi keinginan dan selera masyarakat yang terus berubah dan
meningkat dimana masyarakat tidak lagi hanya sekedar membeli obat namun berkeinginan
untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai obat yang diterima. Pada proses
pelayanan kefarmasian seorang apoteker harus mampu mengambil keputusan yang tepat
untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi akibat medication error serta mampu
mengatasi masalah terkait obat (drug related problems). Pekerjaan apoteker harus sesuai
dengan standar yang berlaku,yaitu sesuai standar pelayanan farmasi apotek yang diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.73 tahun 2016 yang meliputi sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, pelayanan resep (meliputi peracikan,penyerahan obat serta pemberian
informasi obat), konseling, memonitor penggunaan obat, edukasi, promosi kesehatan, dan
evaluasi terhadap pengobatan (antara lain dengan membuat catatan pengobatan pasien)
sehingga dapat menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Pekerjaan
apoteker juga berpengaruh terhadap pelayanan dipuskesmas termasuk kedalam Peraturan
Menteri Kesehatan No.74 tahun 2016 pasal 2 tentang pengaturan standar pelayanan
kefarmasian dipuskesmas bertujuan untuk (pratiwi, H 2017):
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety).
Dengan pasal diatas maka peran apoteker sangat diperlukan ditengah masyarakat
yang dapat diorientasikan dari puskesmas dan apotek sebagai wadah bagi masyarakat untuk
melakukan pelayanan informasi obat sehingga terhindarnya masalah ketidakrasionalan
penggunaan obat bagi pasien. Seiring dengan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan
kefarmasian maka sumber daya manusia khususnya apoteker harus ditingkatkan diera
globalisasi saat ini. Dengan kondisi ini, kebutuhan akan keterampilan yang beragam dari
tiap-tiap individu menjadi hal utama. Pekerjaan tidak hanya membutuhkan pendidikan dan
gelar saja, namun juga kecakapan, keterampilan, kepribadian serta mental yang dapat
menentukan kesuksesan seseorang dalam bekerja.
1. Membandingkan 3 definisi paling umum dari “pedesaan” yang digunakan oleh berbagai
instansi pemerintah
2. Menjelaskan demografi khas penduduk yang tinggal di daerah pedesaan di suatu negara
3. Meninjau tujuan dan prioritas orang sehat tahun 2010 dan orang sehat di perdesaan tahun
2010 (RHP2010)
4. Mengidentifikasi kesenjangan perawatan kesehatan yang terjadi antara daerah perkotaan
dan pedesaan
5. Menentukan perilaku tidak sehat dan faktor-faktor umum lainnya yang dapat
mengakibatkan kesehatan yang buruk bagi penduduk pedesaan
6. Menjelaskan tantangan perawatan kesehatan yang umum di masyarakat pedesaan dan
kuliah khusus di praktik farmasi pedesaan
7. Mengidentifikasi pendekatan pemberian layanan kesehatan alternatif untuk pelayanan
medis yang kurang terlayani di pedesaan
8. Menjelaskan proses telefarmasi untuk memberikan layanan farmasi ke masyarakat
pedesaan terpenci di Dakota dan Alaska
9. Diskusikan pentingnya mendidik dan melatih para profesional kesehatan untuk mengatasi
masalah kebutuhan perawatan kesehatan pada penduduk pedesaan tersebut
10. Identitas RHP2010 merupakan strategi dan intervensi berbasis masyarakat sedang
dilaksanakan untuk mengatasi kesenjangan dan masalah kesehatan masyarakat.
11. meningkatkan kualitas hidup masyarakat dari obat yang diterima di daerah pedesaan
khusus pelayanan kefarmasian diapotek dan puskesmas
12. meningkatkan distribusi sumber daya tenaga kesehatan khususnya profesi apoteker di
masyarakat pedesaan
13. meningkatkan pelayanan kefarmasian di daerah pedesaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan kefarmasian terus berkembang, tidak lagi terbatas hanya pada penyiapan obat
dan penyerahan obat pada pasien, tetapi perlu adanya interaks iantara tenaga kefarmasian dengan
pasien dan dengan profesional kesehatan lainnya. Apoteker bekerja dalam rangkaian variasi yang
lebar, dalam bentuk farmasi komunitas (retail dan pelayanan kesehatan),farmasi rumah
sakit(dalam berbagai bentuk dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar), industri farmasi
farmasi dan lingkungan akademis. Disamping itu apoteker juga terlibat administrasi pelayanan
kesehatan, penelitian, organisasi kesehatan internasional dan organisasi non pemerintah.
Obat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem kesehatan adalah domain
apoteker. Tanggung jawab apoteker terbentang sejak proses produksi sampai obat dikonsumsi.
Keluarnya PP 51 tahun 2009 bukanlah akhir tetapi lebih merupakan awal dari prosesreinventing
profesi apoteker di Indonesia. Berhasil atau tidaknya implementasi PP ini selain tergantung
padalaw enforcement juga dipengaruhi langsung oleh komitmen para apoteker untuk
melaksanakannya. Pekerjaan Kefarmasian diselenggarakan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dalam upaya pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Pekerjaan kefarmasian hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kefarmasian yang memiliki keahlain dan kewenangan yang berdasarkan pada
Standar Profesi dan paradigma Pelayanan Kefarmasian. Standar Profesi dan paradigma
Pelayanan Kefarmasian merupakan pedoman yang harus diikuti oleh tenaga kefarmasian dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian (Bhagawan, W.S, 2017).
Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri
atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Tenaga teknis kefarmasian
adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker. Tenaga kefarmasian melakukan praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan
kefarmasian, salah satunya puskesmas. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas),
antara lain disebutkan puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan (Dinkes)
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja.
Secara nasional standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di
satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja
dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau
RW). Puskesmas perawatan adalah puskesmas yang berdasarkan surat keputusan Bupati atau
Walikota menjalankan fungsi perawatan dan untuk menjalankan fungsinya diberikan tambahan
ruangan dan fasilitas rawat inap yang sekaligus merupakan pusat rujukan antara. Masing-masing
puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada kepala Dinkes
Kabupaten/Kota. Salah satu upaya kesehatan wajib yang harus diselenggarakan oleh setiap
puskesmas adalah upaya pengobatan, yang terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian di puskesmas belum berjalan, hasil ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya. Survei tentang persepsi tenaga kesehatan terhadap pelayanan kefarmasian di
puskesmas sesuai dengan PP No. 51 tahun 2009 telah dilakukan di empat Puskesmas di
Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan masih ada tenaga
kesehatan di puskesmas yang belum mengetahui tentang pelayanan kefarmasian (22,7%) dan
tentang peran apoteker di puskesmas (12,37%). Pelayanan obat di puskesmas yang disurvei
seluruhnya dilaksanakan oleh asisten apoteker (100%). Pendapat tenaga kesehatan tentang
pelayanan kefarmasian di puskesmas meliputi waktu yang dibutuhkan dalam melayani resep ≤
10 menit (78,3%), adanya etiket/label aturan pakai (100%), adanya informasi obat (92,7%), dan
adanya konseling atau tanya-jawab antara pasien dengan petugas pelayanan obat (87,6%). Secara
umum persepsi tenaga kesehatan di puskesmas terhadap pelayanan kefarmasian adalah baik,
yaitu 68,0% setuju dengan penempatan apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas.
C. Peran Apoteker.
2. konseling obat dilakukan terbatas mengingat ketersediaan waktu dan belum ada ruangan
3. visite pasien sudah dilakukan, baik dengan dokter maupun sendiri kepada pasien bersalin
rawat inap,
2. Usulan kebutuhan tenaga kesehatan oleh Dinkes Kabupaten/Kota belum didasarkan atas
kebutuhan riil organisasi dan perhitungan beban kerja sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan, sehingga formasi yang disetujui oleh BKN terbatas,
E. Contoh kasus sebagai akibat dari perlunya peran apoteker dalam penjelasan
penggunaan obat vitamin A sebagai pencegahan penyakit anemia bagi Ibu hamil dipuskesmas
area desa
Anemia pada kehamilan merupakan salah satu kelainan dalam kehamilan terutama di
negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 30% wanita
hamil mengalami anemia dan penyebabnya karena anemia defisiensi besi atau defisiensi asam
folat (1). Klasifikasi anemia menurut WHO adalah ringan (10-11,9gr%), sedang (7-9,9gr%0 dan
berat (< 7 gr%). Secara fisiologis anemia pada ibu hamil adalah karena terjadinya perubahan
volume plasma dimulai pada 6 minggu kehamilan, dimana sel darah merah tidak bertambah,
sehingga menyumbang penurunan fisologis konsentrasi Hb. Prevalensi anemia di setiap Negara
berbeda dengan kisaran 41,8%. Di Amerika prevalensi mulai terendah 5,5 % sedangkan di
Gambia prevalensi tertinggi mencapai 75%. Prevalensi anemia di Indonesia 37,1%. Kejadian
anemia bisa terjadi sebelum hamil atau terjadi saat kehamilan. Anemia dalam kehamilan
disebabkan karena defisiensi besi dan berhubungan dengan pola nutrisi yang rendah akan zat
besi.
Dampak dari anemia antara lain persalinan prematur, bayi berat lahir rendah, sedangkan
pada ibu anemia akan berdampak pada 20-40% terhadap kejadian kematian ibu seperti kegagalan
jantung, pre eklamsia, perdarahan postpartum dan infeksi postpartum. Penelitan Abuaouf (2015)
di dapatkan bahwa anemia berdampak terhadap ibu dan janin. Pada Janin akan menyebabkan
risiko infeksi perinatal, perkembangan janin terhambat/IUGR, BBLR. Sedangkan dampak
anemia pada ibu antara lain preeklamsia, perdarahan. Sosial ekonomi merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian anemia pada ibu. Kondisi sosial ekonomi memiliki
kaitan yang erat dengan masalah kesehatan. Kondisi sosial ekonomi yang rendah akan
berpengaruh terhadap penyediaan kecukupan mineral yang berfek pada kejadian anemia pada
ibu.
2. Tujuan Jurnal
3. Pembahasan
Berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa gambaran ibu hamil dengan anemia 49 (84,5%)
responden rentang usia tidak berisiko, 51 responden (88%) dengan pendidikan tinggi, 35 (60%)
responden dengan paritas multigravida, 33 (57%) responden dengan jarak kehamilan > 2 tahun,
54 (93%) tidak memiliki riwayat anemia sebelumnya. Prevalensi anemia di negara berkembang
antara 33-75% sedangkan di negara maju prevalensi anemia 15%. Perbedaan prevalensi anemia
tergantung di setiap negara. Pada prinsipnya ibu hamil membutuhkan 20 mg zat besi setiap
harinya. Banyak faktor yang berpengaruh salah satunya adalah jarak kehamilan. Dalam
penelitian ini didapatkan 33 (57%) responden dengan jarak kehamilan lebih dari 2 tahun.
Penelitian sebelumnya didapatkan umur, pendapatan, tidak berhubunagn dengan kejadian
anemia. Konsumsi buah 2-3 kali seminggu berhungan dengan penurunan kejdian anemia.
Kurangnya mikronutrien meningkatkan bioavaibility terhadap zat besi. Pemeriksaan kehamilan
secara dini dan pemeriksaan secara rutin selama kehamilan memberikan keuntungan pada ibu
untuk dapat meningkatkan kesehatan ibu dan janinnya.
Pada penelitian diatas terdapat presentasi umur dan pendidikan pada ibu hamil yang
mengalami anemia. Umur < 20 tahun merupakan usia berisiko untuk terjadinya anemia karena
pada usia tersebut organ reproduksi belum berfungsi dengan baik, selain itu pada usia tersebut
merupakan masa pertumbuhan, sehingga asupan gizi digunakan untuk tumbuh kembangnya.
Sedangkan pada pendidikan didapatkan bahwa pendidikan berhubungan dengan kejadian
anemia. Hal ini diperkirakan karena pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan ibu terutama
dalam hal menyiapkan makanan yang bernutrisi. Selain itu pendidikan berpengaruh terhadap
kesiapan dan pengetahuan dalam menjalani kehamilan dan persalinan.
Presentasi angka kejadian anemia ini seyognyanya dapat diatasi dengan peran apoteker
yang optimal di apotek ataupun puskesmas yang ada didaerah pedesaan karena pada saat pasien
berobat, apoteker bisa memberikan konsultasi atau pemberian pelayanan informasi obat
mengenai pentingnya mengonsumsi tablet penambah darah untuk mengurangi angka kejadian
resiko misalnya kematian pada bayi, berat badan yang kurang pada bayi, kematian pada ibu dan
lain-lain. Tentu ini menjadi perhatian pemerintah dan tenaga kesehatan untuk turut andil dalam
mencegah terjadinya factor resiko yang diakibatkan penyakit anemia pada ibu hamil.
Demografi
Menurut definisi Biro Sensus dan data sensus 2000, 59,l juta orang (21% dari populasi
A.S) dan 97% dari luas lahan di Amerika Serikat dianggap pedesaan. Dari populasi pedesaan,
kurang dari setengah (49%) tinggal di negara-negara nonmetro. Lebih banyak penduduk
pedesaan saat ini tinggal di daerah metro daripada di daerah non metro (30 juta : 29 juta).
Populasi di wilayah metropolitan dan non metropolitan meningkat masing-masing sebesar 14%
dan 10%, dari tahun 1990 hingga 2000. Meskipun ada kecenderungan selama bertahun-tahun
migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan di Amerika Serikat, jumlah penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan telah meningkat. terus tumbuh dan saat ini lebih besar dari yang
pernah ada. Dari 1990 hingga 2000, 70% dari populasi pedesaan A.S. meningkat dalam
populasi. Kepadatan populasi Amerika Serikat adalah 79,6 orang per mil persegi, dibandingkan
dengan 9,3 per mil persegi di Dakota utara dan 1,1 per mil persegi di Alaska. Di Dakota Utara,
68% dari 53 kabupaten adalah perbatasan (tidak lebih dari 6 orang per mil persegi),
dibandingkan dengan 25,1% dari kabupaten AS.
Kantor Manajemen dan Anggaran (KMA) atau The Office of Management and Budget
(OMB) mendefinisikan area dalam hal status metropolitan atau Metropolitan Statistics Area
(MSA). Penunjukan metropolitan (metro) atau non-metropolitan (nonmetro) ditentukan oleh
daerah. Peneliti ekonomi paling sering menggunakan area nonmetro dalam menilai populasi
pedesaan, pekerjaan, dan pendapatan. Wilayah metro didefinisikan sebagai satu atau lebih
kabupaten yang memiliki daerah perkotaan inti berpenduduk 50.000 atau lebih, termasuk dengan
kabupaten yang berdekatan secara sosial dan ekonomi terintegrasi dengan kabupaten inti kota,
yang diukur dengan jumlah orang yang bepergian ke tempat kerja. Semua daerah di luar wilayah
metro dianggap sebagai daerah non metro. Pada tahun 2000, KMA/OMB diganti dengan Core-
Based Statistical Areas (CBSAs). Secara umum, istilah "perkotaan" dan "pedesaan" sering
digunakan dengan istilah "metropolitan" dan "non metropolitan."
Tabel 17-2 Prioritas Kesehatan Pedesaan yang Diidentifikasi oleh Ahli Kesehatan Nasional dan
Negara.
Area Prioritas % Responden yang mengidentifikasi
area prioritas (n=44)
Akses keperawatan kesehatan 73
(termasuk satu atau lebih dari yang
berikut)
Akses ke layanan medis darurat 32
Akses ketenaga kesehatan 29
(umum)
Akses ke asuransi kesehatan 26
Kesehatan mental 49
Kesehatan mulut 41
Program pendidikan dan berbasis 29
masyarakat
Diabets 26
Pencegahan cedera dan kekerasan 26
Nutrisi dan kelebihan berat badan 21
Infrastruktur kesehatan masyarakat 21
Tembakau / rokok 21
Kesehatan ibu, bayi dan anak 18
Keselamatan dan kesehatan kerja 18
Kanker 15
Kesehatan lingkungan 15
Penyakit jantung dan stroke 15
Item diidentifikasi oleh setidaknya 15% responden dan ahli kesehatan pedesaan negara, termasuk
organisasi kesehatan pedesaan negara, lembaga kesehatan masyarakat pedesaan setempat, klinik
kesehatan pedesaan dan pusat kesehatan masyarakat, dan rumah sakit pedesaan.
Perawatan Primer
Pakar kesehatan pedesaan nasional dan negara bagian mendaftar akses ke tenaga
perawatan kesehatan, akses ke layanan kesehatan, dan akses ke perawatan primer sebagai
perhatian utama (Tabel 17-2). Akses tepat waktu ke perawatan primer adalah faktor penting
dalam menghindari rawat inap yang dapat dicegah. dan secara efektif mengelola perawatan
kondisi kesehatan kronis. Perekrutan dan retensi penyedia perawatan primer adalah fokus utama
dari petugas kesehatan pedesaan negara.
Meskipun 20-25% populasi A.S. (dan 75% dari daerah A.S.) berada di daerah pedesaan,
hanya sekitar 10% dari dokter praktik memberikan layanan ke daerah pedesaan.
Ketidakseimbangan dokter antara daerah perkotaan dan pedesaan sangat jelas berkenaan dengan
spesialis medis (Tabel 17-3). Pemerintah federal menunjuk daerah dengan kekurangan penyedia
layanan kesehatan medis, gigi, atau mental sebagai daerah kekurangan profesional kesehatan.
The Health Resources and services Administration (HRSA) / Administrasi Sumber Daya dan
Layanan Kesehatan menggunakan rasio satu dokter perawatan primer per 3500 populasi (3500:
1) dalam mendefinisikan area kekurangan perawatan medis primer. Pada 30 September 2008,
ada 6033 area dengan kekurangan dokter perawatan primer, 4043 dengan kekurangan perawatan
gigi, dan 3059 dengan perawatan kesehatan mental. Ada 64 juta orang yang tinggal di daerah
kekurangan dokter perawatan primer. Tambahan 16.336 praktisi dokter perawatan primer akan
diperlukan untuk mencapai rasio praktisi perawatan primer yang direkomendasikan HRSA 2000:
1. Sekitar 15% dari populasi orang dewasa di AS tidak memiliki tempat praktek dokter, klinik,
atau tempat lain yang dipilih atau disukai untuk menerima perawatan secara rutin.
Karena kurangnya dokter di banyak lokasi pedesaan, Penyedia perawatan primer non-
dokter / Nonphysician primary care providers (NPPCPs) diandalkan untuk layanan perawatan
primer. Karena NPPCPs dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan perawatan primer pada
pasien pedesaan dan tidak menuntut gaji tinggi dari seorang dokter, mereka adalah solusi yang
masuk akal dan terjangkau bagi banyak masyarakat pedesaan. Praktek NPPCPs sedikit lebih
banyak di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan (Tabel 17-4). Ketertarikan dalam
praktik perkotaan meningkat, mungkin karena pekerjaan yang lebih menarik, gaji yang lebih
tinggi, dan berkurangnya jam kerja dibandingkan di lokasi pedesaan. Masih harus ditentukan
apakah NPPCPs akan secara signifikan meningkatkan akses ke perawatan medis primer untuk
masyarakat pedesaan yang kurang terlayani atau jika seperti dokter, mereka akan terpikat pada
praktik khusus di lokasi perkotaan yang lebih besar.
Tabel 17-4 Jumlah penyedia perawatan primer non fisik per 100.000 orang
Penyedia non dokter Jumlah Perkotaan Pedesaan
Sidebar 17 - 2
Penemuan kapid, stabilisasi, dan perawatan darurat bagi para korban trauma sangat
penting untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian. R.Adams Cowley, seorang militer,
istilah waktu emas berdasarkan data Perang Dunia-1 menunjukkan bahwa jika para prajurit yang
menderita trauma pertempuran besar menerima perawatan shock yang memadai dalam 1 jam,
peluang mereka untuk bertahan hidup secara signifikan lebih tinggi (Table 17- 6). waktu emas /
golden hour adalah konsep yang diterima secara luas dalam layanan medis darurat, pentingnya
mengangkut korban trauma ke fasilitas medis secepat mungkin. Satu jam setelah cedera
traumatis mayor diyakini sering menentukan hidup atau mati korban trauma. 10 menit pertama
perawatan oleh teknisi medis darurat / Emergency medical technicians (EMTs) atau paramedis di
lokasi trauma juga sangat penting untuk kelangsungan hidup korban trauma. Tanpa stabilisasi
yang tepat dalam waktu itu, peluang pasien untuk bertahan hidup diyakini lebih rendah. Periode
waktu 10 menit ini, biasanya disebut sebagai platinum 10 adalah fokus utama EMT dan pelatihan
paramedis.
Merokok
Mengkonsumsi alkohol
Bunuh diri
Kanker
Meskipun tingkat kematian akibat kanker serupa antara daerah pedesaan dan perkotaan,
penduduk pedesaan beresiko lebih besar untuk diagnosis tertunda dan kanker yang lebih lanjut
pada diagnosis awal. Penduduk pedesaan cenderung memiliki lebih sedikit akses ke layanan
diagnostik, penyaringan, dan pencegahan kanker. Diagnosis yang terlambat sering membuat
pengobatan kurang efektif dan menyebabkan hasil yang lebih buruk.
Diabetes
Diabetes mellitus 2-5 kali lebih umum di Afrika Amerika, Hispanik, Amerika Indian atau
Alaska Pribumi, Kepulauan Pasifik, dan Asia daripada di populasi lain. Resiko diabetes tipe 2
semakin meningkat dengan bertambahnya usia hingga usia 70 dan sedikit lebih besar pada
wanita daripada pria. Hingga 25-50% penduduk lansia berisiko tinggi menderita diabetes.
Diabetes terkait erat dengan faktor-faktor risiko dan gaya hidup tidak sehat yang terjadi di daerah
pedesaan, termasuk obesitas, pola makan dan gizi yang buruk (asupan lemak dan karbohidrat
berlebihan), aktivitas fisik (kurang olahraga), dan penggunaan alkohol berat. Dengan populasi
pedesaan menjadi semakin meningkat, Program deteksi dan pencegahan diabetes sangat penting
di masyarakat pedesaan karena akses terbatas ke layanan perawatan kesehatan.
Obesitas
Karena perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat, obesitas lebih banyak terjadi di daerah
pedesaan daripada di perkotaan. Obesitas atau kelebihan berat badan adalah di antara 10
indikator kesehatan terkemuka (Tabel 17-8). Pada orang gemuk, risiko kematian adalah 1,5 kali
dan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner 2x lebih besar dari pada orang yang tidak
gemuk. Obesitas meningkatkan risiko hipertensi, stroke, penyakit jantung, penyakit kandung
empedu, dan berbagai jenis kanker. Berat badan berlebih juga dikaitkan dengan gangguan
psikologis, kesulitan hamil, menstruasi tidak teratur, intoleransi glukosa, diabetes tipe 2, dan
kolesterol tinggi. Semakin tinggi tingkat penyakit kronis pada penduduk pedesaan kemungkinan
terkait dengan semakin besar prevalensi obesitas di daerah pedesaan. Penyebab obesitas dan
berat badan berlebih di penduduk pedesaan termasuk asupan lemak dan kalori yang lebih tinggi,
kurangnya diet dan pendidikan gizi, akses terbatas ke ahli gizi dan spesialis gizi, kurang
olahraga, dan karena kurangnya fasilitas olahraga. Upaya untuk mencegah obesitas harus
ditujukan pada perubahan perilaku individu, pilihan makanan yang sehat (menurunkan konsumsi
lemak dan kalori), dan aktivitas fisik teratur.
Tabel 17-8 Healthy People 2010 : 10 indikator kesehatan
1. Aktifitas fisik
2. Kelebihan berat badan / Obesitas
3. Merokok
4. Penyalahgunaan obat- obatan
5. Perilaku seksual yang bertanggung jawab
6. Kesehatan mental
7. Cedera dan kekerasan
8. Kualitas lingkungan
9. Imunisasi
10. Akses ke perawatan kesehatan
Apoteker dibantu oleh asisten apoteker untuk menyiapkan resep sehingga apoteker
memiliki lebih banyak waktu untuk manajemen terapi obat dan melakukan konseling kepada
pasien.
Manajemen terapi obat dan manajemen penyakit tertentu memberikan peluang tambahan
untuk keterlibatan apoteker pedesaan dalam kesehatan masyarakat. Dimulai dengan manajemen
terapi pada pasien diabetes, sehingga menunjukkan pentingnya peran apoteker terhadap hasil
kesehatan pasien. Pada bulan Juli 2008, North Dakota memulai program di beberapa negara
untuk membayar apoteker yang mempraktikkan dan menyediakan layanan manajemen
pengobatan kepada pasien diabetes. Sebanyak 82 apotek yang dapat dikunjungi oleh pasien
secara teratur untuk meninjau terapi obat mereka, mengukur dan memantau kadar gula pasien.
Asosiasi Apoteker Dakota Utara akan segera mengimplementasikan program ini untuk
membantu pasien di masyarakat pedesaan untuk mengelola penyakit lain. Apoteker pedesaan
dapat menghabiskan waktu 20-30 menit dengan pasien diabetes jika tersedia teknisi farmasi yang
kompeten untuk menyiapkan obat sehingga apoteker dapat melakukan konseling dengan pasien.
Telefarmasi
Telefarmasi adalah suatu cara untuk memberikan perawatan farmasi kepada pasien
dilokasi terpencil dimana mereka mungkin tidak memiliki kontak fisik dengan apoteker.
Menyediakan layanan kepada masyarakat pedesaan terpencil yang kurang terlayani secara medis.
Ini telah digunakan untuk memulihkan, mempertahankan, dan membangun layanan farmasi di
komunitas pedesaan di mana akses ke apoteker dan layanan farmasi terbatas atau tidak ada.
Melalui penggunaan teknologi konferensi video telefarmasi dan kamera, seorang apoteker dapat
mengawasi proses dispensing obat dan konseling pasien. Apoteker melakukan pemeriksaan
pekerjaan yang dilakukan oleh Asisten apoteker, termasuk memverifikasi resep dokter, etiket
obat, bentuk sediaan dan melakukan tinjauan pemanfaatan obat, serta memberikan konseling
kepada pasien, jika perlu ke dokter atau perawat. Telefarmasi telah dievaluasi sebagai cara yang
aman dan hemat biaya dalam memberikan layanan farmasi kepada masyarakat pedesaan.
Telefarmasi telah terbukti dapat meningkatkan pendapatan apotek pedesaan.
Pengalaman Telefarmasi Dakota Utara Pada tahun 2000, dakota utara menjadi negara
bagian pertama yang mengeluarkan peraturan administratif yang mengizinkan apotek di daerah
pedesaan untuk beroperasi tanpa memerlukan seorang apoteker secara fisik hadir di lokasi. Pada
September 2008, 72 situs telefarmasi telah didirikan, 51 situs tersebut adalah apotek dan 21
adalah apotek di rumah sakit. Sekitar 40.000 warga pedesaan telah mendapatkan layanan
farmasi, proyek ini telah menghasilkan sekitar $ 12,5 juta dalam pengembangan ekonomi untuk
masyarakat pedesaan. Telefarmasi berkesempatan untuk meningkatkan atau mendapatkan rekam
medis elektronik dari pasien dalam jarak jauh.
Apotek atau apotek dirumah sakit terpencil ini dikelola oleh tenaga teknis kefarmasian
yang sudah terdaftar dan memiliki pengalaman kerja satu tahun atau lebih. TTK menyiapkan
resep sambil diawasi oleh apoteker melalui audio dan video (Gambar 17-1). Kamera dengan
resolusi tinggi di meja resep memungkinkan TTK untuk menunjukkan kepada apoteker resep
asli, label lengkap, obat-obatan yang diambil, dan label tambahan apa pun untuk dipasang
(Gambar 17-2). Setelah apoteker di pusat melakukan pemeriksaan akhir dan menyetujui resep,
pasien diundang ke ruang konseling dan apoteker memberikan konseling pengobatan wajib
melalui teknologi konferensi video (menggunakan televisi). monitor dan Polycom (Audio
berkualitas bagus), tujuan dari telefarmasi di North Dakota adalah untuk memastikan bahwa
apoteker memberikan konseling tentang penggunaan obat kepada pasien, sehingga tidak ada
pasien yang tidak mendapatkan informasi terkait obatnya.
Jaminan kualitas kebutuhan telepon diDakota utara sangat penting untuk menjamin
keselamatan pasien. Yang boleh bekerja di lokasi telefarmasi adalah tenaga teknis yang sudah
menyelesaikan program pelatihan yang diakui oleh masyarakat Amerika Serikat dan memiliki
sertifikat serta harus memiliki pengalaman kerja minimal l tahun. Selain itu, apoteker yang
bertanggung jawab harus mengunjungi apotek pedesaan setidaknya sebulan sekali untuk
memverifikasi bahwa semua pencatatan rekaman dan telefarmasi sudah terpenuhi. Beberapa
negara yang mengembangkan aturan telefarmasi baru baru ini membutuhkan kunjungan
mingguan oleh apoteker yang bertanggung jawab. Apoteker melakukan evaluasi pengobatan
pasien, melakukan peninjauan obat, memeriksa dosis yang tepat, pedoman pengobatan obat, dan
tes laboratorium dan kemudian menyetujui resep obat dan memberikan obat kepada pasien.
Wireless mobile telepharmacy cart (gambar 17-3) digunakan di rumah sakit terpencil
untuk memungkinkan perawat dan dokter di daerah perawatan pasien untuk memiliki 24-jam
akses ke apotek untuk melakukan konsultasi terkait terapi obat.
Karena populasi kecil dan sumber keuangan yang terbatas, posisi perawatan kesehatan
untuk desa-desa yang terisolasi tidak mudah dibenarkan. Untuk daerah yang memiliki penyedia
kesehatan, perekrutan dan retensi sulit, Kebanyakan klinik tidak memiliki dokter, Perawat
Praktisi, Asisten dokter, apoteker, dan penghapusan obat-obatan terlarang.
Program Telefarmasi Alaska Native medical center (ANMC)
Program telefarmasi ANMC dimulai pada tahun 2002 sebagai program untuk menilai
kelayakan karena menggunakan teknologi yang tersedia di Alaska. Perawatan untuk daerah
terpencil. Yang termasuk peralatan telefarmasi adalah alat videoconferencing, scanner kode bar,
dan terkait peripheral seperti pencetak, mesin fax, dan telepon. Model telefarmasi di Dakota
utara memiliki seorang teknisi apotek terdaftar yang mempersiapkan resep , membeli persediaan
obat di apotek resmi. Dokter, asisten dokter, atau perawat praktisi mengirimkan resep melalui
resep elektronik pada apoteker di Pusat Farmasi. Apoteker meninjau urutan obat dan profil obat
pasien, dan kemudian memeriksa reaksi obat yang merugikan, masalah ekskresi obat, dan alergi.
Setelah obat ditinjau dan disetujui oleh apoteker, apoteker secara elektronik memberikan resep
ke TTK untuk mengambilkan obat pasien dan mencetak label obat. Setelah itu pasien akan
melakukan konseling dengan apoteker, apoteker memberikan instruksi tentang penggunaan obat
yang tepat dan menjawab pertanyaan dari pasien. Jika terjadi masalah terkait obat maka pasien
harus kembali ke rumah sakit untuk ditindak lanjuti.
Perangkat pengeluaran obat otomatis terbuat dari baja berat dengan kaca depan anti
peluru. Mekanisme triple lock memungkinkan obat obat dapat disimpan di dalam. Perangkat
pengeluaran otomatis dapat menampung 120 obat yang dikemas berbeda. Obat-obatan dikemas
untuk rangkaian terapi yang khas, atau persediaan 30 hari untuk obat-obatan kronis. Wadah obat
disiapkan di apotek ANMC di Anchorage, Kode batang dua dimensi pada wadah obat
memungkinkan kode obat nasional, ukuran paket, nomor lot, dan tanggal kadaluwarsa untuk
diunggah ke aplikasi telefarmasi.
Setiap obat diberikan level kuantitas tinggi dan rendah. Ketika tingkat kuantitas rendah
tercapai, obat ditampilkan pada laporan pengisian yang dijalankan setiap hari oleh teknisi apotek
di apotek ANMC. Teknisi farmasi kemudian menyiapkan obat-obatan untuk pengisian kembali
perangkat pengeluaran otomatis dan mengirimkan obat-obatan ke klinik terpencil melalui
Layanan Pos A.S. Klinik biasanya menerima obat mereka dalam 2 atau 3 hari; namun,
keterlambatan lebih dari 3 minggu telah terjadi karena cuaca buruk atau peralatan yang tidak
dapat dioperasikan di bandara. Ketika obat diterima di klinik, staf memuat masing-masing obat
ke dalam perangkat pengeluaran otomatis, menggunakan pemindaian kode batang untuk
mencegah kesalahan pemuatan. Kegiatan-kegiatan tersebut masuk ke dalam aplikasi telefarmasi
secara real time. Teknisi farmasi memantau aktivitas pemuatan untuk memastikan bahwa hal itu
dilakukan dengan cepat dan akurat. Setiap perbedaan dalam jumlah pemuatan mudah
diidentifikasi dan diselidiki.
Dalam model telefarmasi ini, resep dan formulir kunjungan dikirim melalui faks ke
apoteker di ANMC. Apoteker melakukan tinjauan klinis prospektif dari resep, memastikan
kepatuhan terhadap ruang lingkup praktik pembantu kesehatan masyarakat, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah pengobatan, memasukkan resep ke dalam catatan medis elektronik, dan
mencetak label resep berkode bar ke klinik jarak jauh . Penyedia di klinik memindai kode batang
pada label resep menggunakan aplikasi telefarmasi, dan obat dilepaskan dari perangkat
pengeluaran otomatis. Sebagai verifikasi terakhir, kode batang pada wadah obat yang dirilis
dipindai. Selanjutnya, penyedia menempelkan label resep yang disetujui apoteker ke wadah obat.
Pasien ditawarkan kesempatan untuk berkonsultasi dengan apoteker menggunakan peralatan
konferensi video atau telepon.
Perangkat lunak telefarmasi memungkinkan berbagai laporan dihasilkan dan ditinjau oleh
apotek ANMC. Penarikan obat dapat ditanggapi dengan lebih efisien melalui aplikasi telefarmasi.
Laporan bulanan dijalankan untuk mengidentifikasi obat-obatan yang segera kadaluwarsa, dan
obat obat diganti terlebih dahulu. Laporan penggunaan memastikan tingkat persediaan sesuai.
Laporan lain memungkinkan peluang peningkatan kualitas diidentifikasi.
Jaringan telefarmasi ANMC akan diperluas untuk mencakup 30 lokasi desa terpencil pada
akhir 2009. Klinik terjauh berjarak lebih dari 1.200 mil dari apotek pusat di Anchorage, dan yang
terdekat berjarak 45 mil. Model telefarmasi dapat berhasil memperluas layanan farmasi ke
populasi yang jauh. Akses ke perawatan farmasi yang berkualitas ditingkatkan, perawatan pasien
meningkat, dan sumber daya digunakan lebih efisien.
Menyediakan program skrining kesehatan (mis., Untuk tekanan darah, kolesterol, glukosa,
kanker) dan vaksinasi influenza dan imunisasi lainnya di lokasi masyarakat dan di acara-
acara lokal.
Menjadi teknisi medis darurat (EMT) yang melayani penduduk pedesaan, dan membantu
dalam melatih orang lain.
Membantu masyarakat pedesaan dalam memperoleh dana hibah dari yayasan swasta dan
sumber negara bagian dan federal untuk mendukung upaya pendidikan kesehatan.
mempromosikan peranan apoteker dan apotek sebagai alternatif dari tempat perawatan
primer tradisional untuk orang dengan akses terbatas ke dokter atau pusat medis.
meninjau orang-orang Sehat Pedesaan 2010 (RHP2010) volume 1 sampai 3 untuk lebih
memahami prioritas dan masalah kesehatan pedesaan di Amerika Serikat.
Identifikasi, dari RHP2010, strategi dan intervensi berbasis masyarakat yang saat ini sedang
dilaksanakan untuk mengatasi kesenjangan dan masalah kesehatan pedesaan.
1. Kondisi di Indonesia
a. Pengaruh edukasi apoteker terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat terkait teknik
penggunaan obat
b. Masih melakukan sosialisasi gerakan masyarakat cerdas menggunakan obat di desa
c. Melakukan penyuluhan dan pengenalan peran profesi apoteker kepada siswa smp satu atap
desa
BAB III
KESIMPULAN
Ketersediaan tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang memadai sangat penting
bagi pembangunan kesehatan di daerah pedesaan untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan secara lebih baik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) (2009)
menyatakan bahwa tujuan pembangunan sektor kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang supaya terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk itu, distribusi tenaga kesehatan dan juga pengetahuan
generasi muda yang memadai dibutuhkan agar masyarakat di daerah dapat mengerti dan
menikmati pelayanan kesehatan yang lebih baik dengan akses yang relatif mudah. Dampak
positifnya adalah mereka menjadi lebih mungkin hidup di lingkungan masyarakat dengan
perilaku yang jauh lebih sehat, selain itu minat geerasi muda terhadap profesi tenaga keseatan
semakin meningkat. Terkait pentingnya tenaga kesehatan, salah satu unsur penting yang
berperan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah sumber daya manusia (SDM)
kesehatan. Selain itu, dalam SKN (Sitem Kesehatan Nasional) 2012, ada 6 subsistem yang
menentukan pencapaian derajat kesehatan secara nasional yaitu informasi kesehatan, sumber
daya tenaga kesehatan, upaya peningkatan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat,
ilmu pengetahuan bagi masyarakat termasuk kedalam tujuan untuk mengedukasi masyarakat
terkait penggunaan obat yang rasional, dan pengaturan hukum kesehatan mengenai penerapan
tenaga apoteker di daerah pedesaan. Ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan distribusi tenaga
kesehatan yang memadai sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan
nasional. SDM kesehatan adalah orang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan. Menurut
Adebayo dan Oladeji (2006, dalam Ademiluyi et al., 2009), SDM kesehatan terdiri dari dokter,
apoteker, perawat, bidan, ahli teknologi laboratorium, administrator, akuntan dan para pekerja
kesehatan lainnya. SDM kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang memadai perlu
distribusikan secara merata serta bermanfaat secara optimal dalam upaya menjamin
keterlaksanaan pembangunan kesehatan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Akan tetapi, generasi muda masih banyak yang belum memahami tentang
tenaga kesehatan dan profesi kesehatan. Profesi apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan
yang sangat penting dan tidak dapat dianggap remeh peranannya. Pemerintah mengatur profesi
apoteker ini dalam peraturan pemerintah NOMOR 51 TAHUN 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telahmengucapkan
sumpah jabatan Apoteker.
6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi,
dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Dari pembahasan ini diketahui bahwa peran
apoteker dimasyarakat pedesaan masih belum maksimal dikarenakan keterbatasan pengetahuan
masyarakat tentang fungsi dan tugas apoteker sehingga peran apoteker tergantikan oleh tenaga
kesehatan lain yang seyogyanya tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Harlianti, M.S, dkk. 2016. Pengaruh Kepuasan Terhadap Kemauan Membayar (Willingness To
Pay) Jasa Pelayanan Konseling Oleh Apoteker Di Apotek. Jurnal Ilmiah Farmasi. Jogjakarta.
Pratiwi, Hening, dkk. 2017. Pengaruh edukasi apoteker terhadap pengetahuan dan sikap
masyarakat terkait teknik penggunaan obat. Jurnal Ilmiah Farmasi. Universitas Jenderal
Soedirman.
Bhagawan, W.S. 2017. Penyuluhan Dan Pengenalan Peran Profesi Apoteker Kepada Siswa Smp
Satu Atap Desa Bocek Kecamatan Karangploso Malang. Skripsi. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
Tanziha, Ikeu. 2016. Faktor Risiko Anemia Ibu Hamil Di Indonesia. Jurnal Pangan Dan Gizi.
IPB.
Wahtini, Sri. 2020. Gambaran Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalasan.
Midwifery Journal. Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.