Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PRAKTIKUM FARMASI KLINIK DAN RUMAH SAKIT


KAJIAN PRAKTIK KEFARMASIAN APOTEKER DI RUMAH
SAKIT

Oleh kelompok B1/5 :


Hapsari Tika Permatawati
Hayatun Nufus
Hendra Sendana

1520303171
1520303172
1520303173

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan
pada fungsi farmasis yang bekerja langsungbersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi
klinikmerupakan suatau disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, dimana munculnya disiplin
ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya
kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan
komprehensif mengenai pengobatan.
Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang menekankan fungsi farmasis untuk
memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) kepada pasien. Bertujuan untuk
meningkatkan outcome pengobatan. Tenaga farmasi yang bekerja di Rumah Sakit dan
komunitas, harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang
berkualitas.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan
gawat darurat. Salah satu fungsi dari rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan
pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Standar Pelayanan Kefarmasian menurut PERMENKES RI NO 58 TH 2014. Standar
Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien.
Fungsi Pelayanan Farmasi di RS menurut

PERMENKES RI NO 58 TH 2014.

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;

f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);

KASUS X
Peningkatan jumlah kebutuhan obat, inovasi produksi misal, kompetisi dagang, inovasi
obat baru, dan berbagai penyakit baru memicu perkembangan perubahan mendasar konsep
meracik obat. Peran apoteker tidak hanya menjual obat tetapi lebih kepada menjamin
ketersediaan obat berkualitas yang cukup, aman, tepat dengan harga terjangkau serta informasi
yang memadai serta pemantauan dan evaluasi penggunaan.
Farmasi klinis di rumah sakit belum berjalan baik atau bahkan belum berjalan di sebagian
rumah sakit fokus utama pihak manajemen rumah sakit masih pada pelayanan kefarmasian
secara umum meliputi pelayanan resep, obat tersedia dan percepatan waktu tunggu. Padahal,
farmasi klinis bermanfaat untuk kepuasan pasien.
Masih banyak yang belum dilaksanakan dalam praktek kefarmasian antara lain
dokumentasi monitoring dan evaluasi, wawancara riwayat obat secara rutin, dokumentasi survey
kepuasan pasien, dispensing khusus, kunjungan secara rutin dan terdokumentasi, pemantauan
terapi obat dan monitoring efek samping obat secara rutin, kajian penggunaan obat, evaluasi
kepatuhan terhadap formularium pemantauan obat, evaluasi kepatuhan terhadap formularium
pemantauan obat dalam darah, konseling yang terjadwal dan rutin.
Penurunan angka kejadian kesalahan medis serius dari sebelumnya (29 per 1000 pasien
hari) di intensive care unit menjadi 6 per 1000 pasien hari dengan menempatkan apoteker
farmasi klinis unit base di bangsal, sedangkan apoteker paruh waktu di bagian umum tidak
menurunkan kejadian kesalahan. Apoteker paling mungkin melakukan intervensi pada drug
related problem, meskipun kadang usul intervensi pada kasus drug related problem

Apoteker yang bekerja di Rumah sakit bekerja terlalu banyak dan waktu tersita untk
mengurusi aspek administrasi rumah sakit, kemampuan apoteker untuk pekerjaan pelayanan
kefarmasian yang berhubungan dengan farmasi klinis dan drug safety kurang berkembang.

Pertanyaan:
1.

Jelaskan permasalahan dari kasus di atas.!


Program farmasi klinis masih ada yang belum berjalan sebagaimana mestinya atau
sedang diupayakan karena kendala kapasitas sumber daya manusia dan beban pekerjaan.
Peran Apoteker terlalu banyak dalam aspek administrasi rumah sakit, sedangkan dalam
pelayanan kefarmasian yang berhubungan dengan farmasi klinis dan drug safety kurang
berkembang.
Pelayanan lebih mengutamakan manajemen daripada pasien.

2. Berikan solusi yang tepat berdasarkan standar yang ada!


Berdasarkan PERMENKES RI NO 58 TH 2014 bahwa pelayanan kefarmasian tidak
hanya pada aspek manajerial (pemilihan; perencanaan kebutuhan; pengadaan; dll) tetapi
juga harus meliputi aspek fungsional (pengkajian dan pelayanan Resep; penelusuran
riwayat penggunaan Obat; rekonsiliasi Obat) pelayanan terhadap manajemen dan pasien
harus berjalan seimbang.
Menurut Permenkes RI No. 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Rumah Sakit. Pasal 4 Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional.

Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


sumber daya manusia; dan
sarana dan peralatan.
Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan uraian
tugas, fungsi, dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar
Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit.
Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
pimpinan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya kefarmasian dan pengorganisasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Menurut WHO ada empat unsur utama praktek kefarmasian yang baik (good pharmacy
practice) yang harus dilaksanakan, meliputi

Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit,

Pengadaan dan penggunaan sediaan farmasi,

Swamedikasi

Faktor pengaruh preskripsi dan penggunaan obat yang tiap unsur membutuhkan
standar nasional yang mencakup proses dan fasilitas.

3.

Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker tersebut agar solusi
yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandarkan!
a. Pelaksanaan fungsi farmasi klinis dan patient safety serta komunikasi, informasi dan
edukasi oleh apoteker membutuhkan peningkatan pengetahuan farmakoterapi dan

farmasi klinis. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan melalui ceramah interaktif,


diskusi kelompok ataupun studi kasus.
b. Apoteker juga jangan terlalu dibebani dengan fungsi administratif dan kuantitasnya
ditambah sesuai dengan beban kerja kefarmasian di rumah sakit.
c. Peningkatan SDM di bagian kefarmasian khususnya Apoteker, agar penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian berupa PIO dapat dijalankan maksimal.
d. Seorang apoteker harus menyediakan waktu untuk menjalankan fungsi & uraian
tugasnya berupa konseling sebagai seorang pemberi pelayanan farmasi klinik.
e. Dalam menjalankan praktek kefarmasiannya di Rumah Sakit Apoteker di tuntut
mempunyai pengetahuan mengenai farmasi klinis dan patient safety.
Konsep pelayanan kefarmasian dalam prakteknya bertanggung jawab terhadap terapi obat
yang diwujudkan pada pencapaian hasil positif bagi pasien. Adapun Proses pelayanan kefarmasian
dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu;
1. Penilaian (assessment): untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan kepada
pasien terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk mengidentifikasi setiap masalah
terapi obat yang muncul, atau memerlukan pencegahan dini.
2. Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a Care Plan): secara bersama sama,
pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk menyelesaikan dan mencegah masalah
terapi obat dan untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan ini didesain untuk:
a. Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul.
b. Mencapai tujuan terapi individual.
c. Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian.

3. Evaluasi: mencatat hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi
dan menilai kembali munculnya masalah baru.
Ketiga tahap proses ini terjadi secara terus-menerus bagi seorang pasien. Sedangkan untuk
Kegiatan farmasi klinik itu sendiri memiliki karakteristik, antara lain : berorientsi kepada pasien;
terlibat langsung dalam perawatan pasien; bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah
pengobatan dimulai atau memberikan informasi jika diperlukan; bersifat aktif, dengan memberikan
masukan kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya terkait dengan pengobatan pasien;
bertanggung jawab terhadap setiap saran yang diberikan; menjadi mitra sejajar dengan profesi
kesehatan lainnya (dokter, perawat dan tenga kesehatan lainnya).

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta merupakan salah satu rumah sakit yang memiliki
kebijakan mutu untuk memberikan layanan yang cepat, tepat, komunikatif dan terpadu sesuai
dengan standar mutu dalam farmasi klinik. Adapun indikator yang dapat dilihat bahwa rumah
sakit tersebut mulai dan mampu menjalankan farmasi kliniknya yaitu :
1. Mengurangi waktu tunggu pasien,
2. Instalasi farmasi yang terakses selama 24 jam dan 7 hari dalam seminggu melalui kemudahan
media komunikasi baik secara langsung, melalui telpon ataupun media elektronik,
3. Design sistem distribusi obat dan alat kesehatan dirancang untuk memastikan bahwa obat
maupun alat kesehatan siap tersedia saat diperlukan pasien, dalam kondisi rutin, emergency
maupun bencana.
4. Standar obat berupa Formularium Rumah Sakit Bethesda ditetapkan oleh perwakilan dokter
dan apoteker dari semua keahlian di rumah sakit dalam wadah Komite Farmasi Terapi setiap
tahun dengan kriteria sesuai standar WHO untuk menjamin pilihan obat berkualitas.
5. Apoteker yang mudah diakses baik di pelayanan rawat jalan, pelayanan gawat darurat,
pelayanan rawat inap maupun di kamar operasi dan ICU termasuk dalam kondisi bencana.

6. Konseling, informasi maupun konsultasi obat dilayani oleh apoteker yang telah mendapatkan
sertifikasi sesuai bidang keahliannya.
Di lain hal, sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum melakukan kegiatan pelayanan
farmasi seperti yang diharapkan, mengingat penyebab atau beberapa kendalanya antara lain
kemampuan tenaga farmasi dalam melakukan pelayanan kepada pasien, terbatasnya pengetahuan
manajemen rumah sakit akan fungsi farmasi rumah sakit, kebijakan manajemen rumah sakit yang
belum mengutamakan pelayanan farmasi klinik, terbatasnya pengetahuan pihak-pihak terkait tentang
pentingnya pelayanan farmasi rumah sakit. Akibat kondisi ini maka pelayanan farmasi rumah sakit
masih bersifat konvensional yang hanya berorientasi pada produk yaitu sebatas penyediaan dan
pendistribusian di beberapa rumah sakit di Indonesia.
Langkah awal untuk memperkenalkan farmasi klinik di rumah sakit dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
1. Pengenalan tenaga/anggota kefarmasian yang terlibat dalam pelayanan farmasi klinik sesuai
dengan kompetensinya masing-masing.
a. Apoteker harus memperkenalkan diri kepada pasien dan/atau keluarganya agar timbul
kepercayaan mereka terhadap profesi apoteker sehingga mereka dapat bersikap terbuka
dan kooperatif.
b. Apoteker berkomunikasi efektif secara aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait
penggunaan obat pasiennya. Respon dapat berupa keluhan yang disampaikan oleh pasien.
2. Mampu menyampaikan tujuan (visi-misi) serta manfaat pelaksanaan farmasi klinik di Rumah
Sakit.
3. Menetapkan SOP dan uraian tugas masing-masing setiap tenaga kefarmasian.

DAFTAR PUSTAKA

1. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


1197/MENKES/SK/X/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN FARMASI DI
RUMAH SAKIT
2. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN
2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

Anda mungkin juga menyukai