Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MANAJEMEN MUTU

“Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB)”

Dosen Pengampu: Drs. I Wayan Redja, M.Chem., Apt

Disusun oleh :

Anggita Balqis F

2019000008

Kelas : A

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI APOTEKER
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA

2019
Pengertian dan Persyaratan GPP (Good Pharmacy Practice)

Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) atau Good Pharmacy


Practice adalah cara untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian yang baik secara
komprehensif berupa panduan yang berisi sejumlah standar bagi para Apoteker
dalam dalam menjalankan praktik profesinya di sarana pelayanan kefarmasian.
Adapun Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) menurut hendaknya
memenuhi persyaratan:

1. Apoteker mengutamakan seluruh aktifitasnya ditujukan bagi kesejahteraan


pasien.
2. lnti aktivltas apoteker adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya
untuk menjamin khasiat, kualitas dan keamanannya, penyediaan dan
pemberian informasi yang memadai dan saran untuk pasien dan pemantauan
terapi obat.
3. Seluruh aktifitas merupakan kesatuan bagian dari kontribusi apoteker yang
berupa promosi peresepan rasional dan ekonomis serta penggunaan obat
yang tepat.
4. Sasaran setiap unsur pelayanan terdefinisi dengan jelas, cocok bagi pasien,
terkomunikasi dengan efektif bagi semua pihak yang terlibat.
Untuk memenuhi persyaratan ini, diperlukan kondisi sebagai berikut:

1. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktek,


meskipunjuga disadari pentingnya faktor ekonomi.
2. Apoteker harus memiliki masukan cukup dan tepat dalam membuat
keputusantentang penggunaan obat. Suatu sistem haruslah memungkinkan
apotekermelaporkan kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan, kesalahan
medikasi dancacat dalam kualitas produk atau pendeteksian produk palsu.
Laporan ini jugatermasuk informasi tentang obat yang digunakan dan
disiapkan untuk pasien, tenaga kesehatan profesional, baik langsung
maupun melalui apoteker.
3. Menjalin hubungan profesional terus menerus dengan tenaga kesehatan
lainnya, yang harus dapat dilihat sebagai kerjasama terapeutik yang saling
percaya danmempercayaisebagai kolega dalam semua hal yang berkaitan
dengan terapiyang menggunakan obat (farmakoterapeutik).
4. Hubungan profesional diantara apoteker harus berupa hubungan kotegial
untuk menyempurnakan pelayanan farmasi dan bukan sebagai
pesaing/kompetitor.
5. Organisasi praktek kelompok dan manajer apotek harus ikut
bertanggungjawabuntuk pendefinisian, pengkajian, dan penyempurnaan
kualitas.
6. Apoteker harus hati-hati terhadap penyediaan dan pemberian informasi
medisesensial dan farmaseutik bagi setiap pasien. Perolehan informasi ini
akan lebihmudah jika pasien memilih menggunakan hanya satu apotek atau
jika tersediaprofil pengobatan pasien.
7. Apoteker harus tidak memihak, komprehensif, obyektif dan dapat
memberikaninformasi terkini tentang terapi dan penggunaan obat.
8. Apoteker dalam setiap prakteknya harus bertanggung jawab secara pribadi
untuk menjaga dan mengukur kompetensi pribadinya melalui praktek
profesionalnya.
9. Program pendidikan profesi harus membekali calon apoteker agar dapat
melaksanakan praktik maupun mengantisipasi perubahan praktik farmasi di
masa yang akan datang.
10. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) harus ditetapkan
dan dipatuhi oleh praktisi.
Ruang Lingkup GPP (Good Pharmacy Practic)

Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) meriputi empat aktivitas


utama, yaitu :

1. Aktivitas yang berhubungan dengan promosi kesehatan, pencegahan


penyakit dan pencapaian tujuan kesehatan, dengan kegiatan:
a. Penyuluhan kesehatan masyarakat
b. Berperan aktif dalam promosi kesehatan sesuai program pemerintah.
c. Menjamin mutu alat diagnostik dan alat kesehatan lainnya serta
memberi saran penggunaannya.
2. Aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan dan penggunaan
sediaanfarmasi dan alat kesehatan dalam pelayanan resep, dengan
kegiatan:
a. Penerimaan dan pemeriksaan kelengkapan resep.
b. Pengkajian resep, meliputi identifikasi, mencegah dan mengatasi
masalah terkait obat/ Drug Related Problem (DRP)
c. Penyiapan obat dan perbekalan farmasi lainnya, meliputi: pemilihan;
pengadaan (perencanaan, teknis pengadaan. penerimaan,
danpenyimpanan); pendistribusian, penghapusan dan pemusnahan,
pencatatandan pelaporan, jaminan mutu, serta monitoring dan
evaluasi.
d. Layanan lnformasi obat. meliputi: penyediaan area konseling khusus;
kelengkapan literatur: penjaminan mutu SDM; pembuatan prosedur
tetap danpendokumentasiannya.
e. Monitoring Terapi Obat meliputi: pembuatan protap monitoring;
evaluasiperkembangan terapi pasien.
f. Dokumentasi aktifitas profesional, meliputi: catatan pengobatan
pasien (Patient Medication Record/PMR), protap evaluasi diri (self
assesment) untuk jaminan mutu CPFB/GPP
3. Aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan dan penggunaan
sediaanfarmasi dan alat kesehatan dalam swamedikasi (self medication),
dengankegiatan:
a. Pengkajian masalah kesehatan pasien berdasarkan keluhan pasien,
meliputi siapa yang memiliki masalah; gejalanya apa; sudah berapa
lama; tindakanapa yang sudah dilakukan; obat apa yang sudah dan
sedang digunakan.
b. Pemilihan obat yang tepat (Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan Obat
Wajib Apotek)
c. Penentuan waktu merujuk pada lembaga kesehatan lain.
4. Aktivitas yang berhubungan dengan peningkatan penggunaan obat
yangrasional, dengan kegiatan:
a. Pengkajian Resep, meliputi: identifikasi, mencegah dan mengatasi
DRP
b. Komunikasi dan advokasi kepada dokter tentang resep pasien.
c. Penyebaran informasi obat.
d. Menjamin kerahasiaan data pasien.
e. Pencatatan kesalahan obat, produk cacat atau produk palsu.
f. Pencatatan danpelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
g. Evaluasi data penggunaan obat (Drug Use Study)
h. Penyusunan Formularium Bersama tenaga kesehatan lain

Pelaksanaan GPP (Good Pharmacy Practice)

Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) menurut dilaksanakan melalui


penataan:
1. Sistem Manajemen Mutu
2. Sumber Daya Manusia (SDM),
3. Sarana dan Prasarana,
4. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
5. Pelayanan Farmasi Klinik
6. Dokumentasi
7. Standar Prosedur Operasional

Pelanggaran GPP di Indonesia

Apotek merupakan salah satu jenis usaha dibidang perobatan yang sangat
memerlukan adanya sistem informasi pengolahan data untuk mempermudah dan
memperlancar kinerjanya. Sekarang ini, masih banyak penulisan / pencatatan data-
data (obat) pada apotek yang dilakukan secara konvensional. Cukup banyak apotek
yang masih memberdayakan tenaga manusia untuk mengolah data-data yang ada
demi memperlancar usahanya. Salah satunya adalah Apotek Jati Farma. Sistem
yang masih digunakan adalah sistem konvensional yaitu melakukan pencatatan,
baik itu transaksi penjualan ataupun pembelian barang ke dalam sebuah buku.
Karena sistem konvensional tersebut membuat kinerja apotek menjadi kurang
efektif dan efisien. Dan untuk proses kalkulasi penjualan obat yang hanya
menggunakan cara konvensional yaitu dengan alat penghitung kalkulator. Untuk
menghitung dan memproses data penjualan obat yang dilakukan secara
konvensional akan memakan banyak waktu dan tenaga, belum lagi kesalahan yang
rentan terjadi. Biasanya data-data yang masuk akan dicatat ke dalam sebuah buku,
pencatatan ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan selain membutuhkan
waktu juga sangat menguras tenaga. Selain itu penyusunan datadata pada apotek
yang ada juga akan terhambat dengan dilakukannya cara-cara pengelolaan yang
masih bersifat konvensional. Dalam pembuatan laporan apotek juga mengalami
kendala. Memerlukan waktu dan tenaga untuk mengolah laporan untuk data-data
yang masih berbentuk kertas sehingga laporan-laporan yang diperlukan tidak dapat
langsung disediakan.
Solusi Atas Pelanggaran GPP di Indonesia

Untuk dapat memperbaikinya maka harus ada perubahan pada pengelolaan


data dan dokumentasi sesuai standar yang diatur dalam pedoman GPP, dirancang
dan dibuat dengan teliti, agar dapat digunakan dengan mudah, benar dan efektif.

Anda mungkin juga menyukai