Anda di halaman 1dari 7

STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

KASUS NO.6

Dosen Pengampu :

Dr. apt. Samuel Budi Harsono, M.Si.

Disusun oleh:
Kelompok C1

Teta Hana Isshar 2220434893

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah

Upaya kesehatan adalah kegiatan memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan


untuk mewujudkan derajat kesehatan optimal bagi masyarakat. Rumah sakit merupakan salah
satu dari sarana kesehatan, merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien
(Kemenkes RI 2004). Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan perbekalan farmasi, termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi,mencegah, dan
menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akanpeningkatan mutu
Pelayanan Kefarmasian berbasis patient oriented dengan filosofi pharmaceutical care.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1197/Menkes/SK/X/2004 menjelaskan bahwa standar pelayanan farmasi rumah sakit
menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Upaya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan farmasi kepada


masyarakat antara lain pembentukan Panitia Farmasi dan Terapan (PFT), penyusunan
formularium rumah sakit, dan pengelolaan perbekalan farmasi yang baik. Pembentukan PFT
bermanfaat dalam pengembangan kebijakan penggunaan, seleksi, evaluasi obat dan standar
terapi. Penyusunan formularium rumah sakit menjadi acuan dalam pertimbangan terapetik
dan ekonomi dari penggunaan obat. Pengelolaan perbekalan farmasi harus dilaksanakan
secara multidisiplin, terkoordinir, dan menggunakan proses yang efektif unukmenjamin
kendali mutu dan kendali biaya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga
dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian yang diamanahkan
untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Hal ini tentunya menjadi tugas yang besar
bagi IFRS untuk melaksanakan semua kegiatan dan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan
untuk keperluan rumah sakit itu sendiri yang terdiri atas pelayanan paripurna mencakup
perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pengendalian mutudan distribusi.

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan


kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat (Depkes RI, 2006).

1. Klasifikasi Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.340/Menkes/Per/III/2010, rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan
kepemilikan, jenis pelayanan, dan kelas.
− Berdasarkan kepemilikan. Rumah sakit yang termasuk ke dalam jenis ini adalah
rumah sakit pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten), rumah sakit BUMN
(ABRI), dan rumah sakit yang modalnya dimiliki oleh swasta (BUMS) ataupun
Rumah Sakit milik luar negri (PMA).
− Berdasarkan Jenis Pelayanan. Yang termasuk ke dalam jenis ini adalah rumah sakit
umum, rumah sakit jiwa, dan rumah sakit khusus (misalnya rumah sakit jantung,
ibu dan anak, rumah sakit mata, dan lain-lain)
BAB II
STUDI KASUS

SOAL 6.

RSUD. “X” adalah salah satu rumah sakit yang berkembang. Dalam rangka terus meningkatkan
pendapatan RS maka dilakukan analisa terhadap kondisi Instalasi Farmasi. Hal ini karena
pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus merupakan revenue center
utama. Mengingat besarnya kontribusi Instalasi Farmasi dalam kelancaran pelayanan dan juga
merupakan instalasi yang memberikan pemasukan terbesar di RS.

RSUD. “X” ini adalah rumah sakit pemerintah dan sangat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan masyarakat apalagi dalam era BPJS, jumlah pasien baik rawat inap maupun
rawat jalan meningkat signifikan. Proses perencanaan dan pengadaan yang dilakukan oleh
apoteker RS berdasarkan Fornas dan Formularium RS. Ketersediaan item obat yang ada dalam
Fornas adalah 58,9% dan 89,7% terhadap Formularium RS.

Berdasarkan wawancara dengan kepala Instalasi Farmasi dan staf gudang farmasi, diperoleh
informasi bahwa belum ada perencanaan kebutuhan barang farmasi yang menjadi dasar
pengadaan barang. Selama ini, pengadaan obat rata-rata mingguan, sehingga sering terjadi
adanya pembelian obat tidak terencana yang harus disegerakan (cito) dan pembelian ke apotek
lain.

Pada bulan Maret 2009, pembelian cito mencapai 15% dan pembelian obat ke apotek luar pada
bulan Januari-Maret 2018 mencapai sebesar 27%. Hal ini tentu saja sangat merugikan RS baik
dari segi keuangan maupun pelayanan, waktu dispensing time untuk tunggal sebesar 25 menit
dan untuk racikan sebesar 65 menit, proporsi obat diserahkan benar sebesar 82%, rata-rata waktu
PIO yang dilakukan sebesar 5 menit dan waktu antrian pasien sebesar 45 menit. Setelah
dilakukan analisa kepuasan pasien yang dilakukan secara wawancara kepada pasien langsung
ternyata kepuasan pasien tidak terlalu tinggi (57,8%). Angka yang terendah ada pada faktor
pelayanan karena ketidaknyaman ruang tunggu di Instalasi Farmasi (30,3%), waktu tunggu yang
lama (14,7%), antrian pasien yang menumpuk di ruang tunggu Instalasi Farmasi (7,9%), dll.

Perhitungan stock obat juga masih bermasalah yaitu adanya ketidaksesuaian angka stok akhir
antara stok fisik dengan pencatatan yang dilakukan secara manual maupun secara sistem
komputer.
Sementara itu, masih ada juga dokter yang membuat resep di luar standarisasi yang telah
ditetapkan oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT). Angka kepatuhan dokter terhadap
Formularium RS adalah 74,3% Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya pembelian obat ke
apotek luar ataupun tidak terlayaninya resep terutama untuk pasien tunai karena ketidaktersediaan
obat.

Pertanyaan:

1. Jelaskan permasalahan dari kasus di atas!

2. Berikan solusi yang tepat berdasarkan standar yang ada!


3. Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker tersebut agar solusi

yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandartkan!

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

1. Jelaskan permasalahan dari kasus di atas!

Jawab:
Permasalahan kasus secara singkat:

1. Pengadaan obat secara mingguan tidak efektif


2. Waktu tunggu pasien untuk penebusan resep non racik terlalu lama, Waktu tunggu yang
lama (14,7%)
3. Dokter masih meresepkan obat diluar Formularium RS
4. Angka yang terendah ada pada faktor pelayanan karena ketidaknyaman ruang tunggu
di Instalasi Farmasi (30,3%)
5. Pembelian obat tidak terencana yang harus disegerakan (cito) dan pembelian ke apotek
6. Antrian pasien yang menumpuk di ruang tunggu Instalasi Farmasi (7,9%)

2. Berikan solusi yang tepat berdasarkan standar yang ada!

Jawab:

Solusi dari permasalahan:

1. Memperbaiki perencanaan dengan melihat metode konsumsi atau epidemiologi serta


memperhatikan safety stock agar tidak terjadi kekosongan obat.
2. Waktu tunggu resep racik 60 menit non racik 30 menit, untuk menghindari waktu
tunggu yang lama pada pelayanan resep sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap
penyebab terjadinya waktu tunggu lama, jika karena kekurangan SDM makan
sebaiknya TTK ditambah, namun jika waktu tunggu lama karena pasien memiliki skill
yang kurang, sebaiknya diberikan pelatihan pada TTK atau Apoteker agar lebih cepat
dalam melakukan pelayanan. Selain itu apoteker juga bisa memberikan usulan untuk
menambahan depo agar tidak terjadi penumpukan antrian pada pasien.
3. Diberikan pengarahan dan diskusi antara apoteker dan dokter mengenai perumusan
formularium dan pelaksanaan penggunaan dalam peresepan agar meresepkan obat-
obatan yang sesuai dengan formulariuum yang disepakati dan tidak meresepkan obat
diluar formularium.
4. Dan kepuasan pasien merupakan bagian dari peningkatan akreditasi rumah sakit dan
penilaian masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit, dengan itu kenyamanan pasien
harus lebih diutamakan walaupun status pasien tersebut BPJS.
5. Perencanaan harus diperbaharui baik berdasarkan metode konsumsi maupun
epidemiologi agar obat-obat dapat tersedia dan tidak terjadi kekosongan saat pasien
bpjs akan membutuhkan obat-obat tersebut. Agar tidak terjadi kekosongan obat
apoteker sebaiknya menyiapkan safety stock SS= (Penjualan maksimal harian X Lead
time maxsimum) – (penjualan harian rata rata X lead time rata rata).

3. Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker tersebut agar
solusi yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandartkan!

Jawab:

1. Update mengenai stock barang obat dan mengelompokkan obat berdasarkan kategori
fast moving dan slow moving.
2. Melakukan pelatihan pada karyawan sehingga dapat memperbaiki skill dan pengerjaan
lebih cepat apabila memungkinkan dapat menambah tenaga kerja lagi untuk
mempercepat pengerjaan.
3. Solusi sebagai apoteker pada pelaksanaan nya dalam pembuatan formularium rumah
sakit dibuat oleh komite dimana salahsatunya berdasarkan pada diskusi dan
pertimbangan dari para dokter rumah sakit. Sehingga apoteker sebaiknya membuat
diskusi antara apoteker dan dokter mengenai peresepan yang sesuai formularium agar
menghindari adanya stock kosong maupun ketidak tersediaan obat dan membuat
forum untuk menghimbau kepada dokter untuk tidak meresepkan obat selain dari
pada formularium. Dokter harusnya meresepkan obat sesuai formularium Rumah
Sakit agar tidak terjadi penumpukan obat di gudang. Melakukan komunikasi dengan
dokter mengenai formularium yang harus ditaati di rumah sakit.
4. Angka yang terendah ada pada faktor pelayanan karena ketidaknyaman ruang tunggu
di Instalasi Farmasi (30,3%) sehingga Jika perlu apoteker mengusulkan untuk
penambahan Depo Apotek. sehingga kepuasan pasien merupakan bagian dari
peningkatan akreditasi rumah sakit dan penilaian masyarakat terhadap pelayanan
rumah sakit, dengan itu kenyamanan pasien harus lebih diutamakan walaupun status
pasien tersebut BPJS.
5. Sebagai apoteker sebaiknya memperbaiki pengelolaan perbekalan farmasi terutama
pada bagian perencanaaan agar tidak terjadi kekosongan obat.
KESIMPULAN

1. Pengelolaan perbekalan farmasi di RSUD ‘’X’’ tidak berjalan dengan baik 2. Formularium
RSUD “X” tidak diketahui oleh dokter sehingga meresepkan obat yang tidak terdaftar di
formularium
3. Pelayanan kepada pasien tidak memuaskan pelanggan/pasien
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI., 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang


Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Kemenkes. 2016. Farmasi Rumah sakit dan Klinik. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan. Pusdik SDM Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah
Sakit di Indonesia Revisi 2. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai