KASUS NO.6
Dosen Pengampu :
Disusun oleh:
Kelompok C1
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga
dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian yang diamanahkan
untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Hal ini tentunya menjadi tugas yang besar
bagi IFRS untuk melaksanakan semua kegiatan dan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan
untuk keperluan rumah sakit itu sendiri yang terdiri atas pelayanan paripurna mencakup
perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pengendalian mutudan distribusi.
SOAL 6.
RSUD. “X” adalah salah satu rumah sakit yang berkembang. Dalam rangka terus meningkatkan
pendapatan RS maka dilakukan analisa terhadap kondisi Instalasi Farmasi. Hal ini karena
pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus merupakan revenue center
utama. Mengingat besarnya kontribusi Instalasi Farmasi dalam kelancaran pelayanan dan juga
merupakan instalasi yang memberikan pemasukan terbesar di RS.
RSUD. “X” ini adalah rumah sakit pemerintah dan sangat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan masyarakat apalagi dalam era BPJS, jumlah pasien baik rawat inap maupun
rawat jalan meningkat signifikan. Proses perencanaan dan pengadaan yang dilakukan oleh
apoteker RS berdasarkan Fornas dan Formularium RS. Ketersediaan item obat yang ada dalam
Fornas adalah 58,9% dan 89,7% terhadap Formularium RS.
Berdasarkan wawancara dengan kepala Instalasi Farmasi dan staf gudang farmasi, diperoleh
informasi bahwa belum ada perencanaan kebutuhan barang farmasi yang menjadi dasar
pengadaan barang. Selama ini, pengadaan obat rata-rata mingguan, sehingga sering terjadi
adanya pembelian obat tidak terencana yang harus disegerakan (cito) dan pembelian ke apotek
lain.
Pada bulan Maret 2009, pembelian cito mencapai 15% dan pembelian obat ke apotek luar pada
bulan Januari-Maret 2018 mencapai sebesar 27%. Hal ini tentu saja sangat merugikan RS baik
dari segi keuangan maupun pelayanan, waktu dispensing time untuk tunggal sebesar 25 menit
dan untuk racikan sebesar 65 menit, proporsi obat diserahkan benar sebesar 82%, rata-rata waktu
PIO yang dilakukan sebesar 5 menit dan waktu antrian pasien sebesar 45 menit. Setelah
dilakukan analisa kepuasan pasien yang dilakukan secara wawancara kepada pasien langsung
ternyata kepuasan pasien tidak terlalu tinggi (57,8%). Angka yang terendah ada pada faktor
pelayanan karena ketidaknyaman ruang tunggu di Instalasi Farmasi (30,3%), waktu tunggu yang
lama (14,7%), antrian pasien yang menumpuk di ruang tunggu Instalasi Farmasi (7,9%), dll.
Perhitungan stock obat juga masih bermasalah yaitu adanya ketidaksesuaian angka stok akhir
antara stok fisik dengan pencatatan yang dilakukan secara manual maupun secara sistem
komputer.
Sementara itu, masih ada juga dokter yang membuat resep di luar standarisasi yang telah
ditetapkan oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT). Angka kepatuhan dokter terhadap
Formularium RS adalah 74,3% Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya pembelian obat ke
apotek luar ataupun tidak terlayaninya resep terutama untuk pasien tunai karena ketidaktersediaan
obat.
Pertanyaan:
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Jawab:
Permasalahan kasus secara singkat:
Jawab:
3. Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker tersebut agar
solusi yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandartkan!
Jawab:
1. Update mengenai stock barang obat dan mengelompokkan obat berdasarkan kategori
fast moving dan slow moving.
2. Melakukan pelatihan pada karyawan sehingga dapat memperbaiki skill dan pengerjaan
lebih cepat apabila memungkinkan dapat menambah tenaga kerja lagi untuk
mempercepat pengerjaan.
3. Solusi sebagai apoteker pada pelaksanaan nya dalam pembuatan formularium rumah
sakit dibuat oleh komite dimana salahsatunya berdasarkan pada diskusi dan
pertimbangan dari para dokter rumah sakit. Sehingga apoteker sebaiknya membuat
diskusi antara apoteker dan dokter mengenai peresepan yang sesuai formularium agar
menghindari adanya stock kosong maupun ketidak tersediaan obat dan membuat
forum untuk menghimbau kepada dokter untuk tidak meresepkan obat selain dari
pada formularium. Dokter harusnya meresepkan obat sesuai formularium Rumah
Sakit agar tidak terjadi penumpukan obat di gudang. Melakukan komunikasi dengan
dokter mengenai formularium yang harus ditaati di rumah sakit.
4. Angka yang terendah ada pada faktor pelayanan karena ketidaknyaman ruang tunggu
di Instalasi Farmasi (30,3%) sehingga Jika perlu apoteker mengusulkan untuk
penambahan Depo Apotek. sehingga kepuasan pasien merupakan bagian dari
peningkatan akreditasi rumah sakit dan penilaian masyarakat terhadap pelayanan
rumah sakit, dengan itu kenyamanan pasien harus lebih diutamakan walaupun status
pasien tersebut BPJS.
5. Sebagai apoteker sebaiknya memperbaiki pengelolaan perbekalan farmasi terutama
pada bagian perencanaaan agar tidak terjadi kekosongan obat.
KESIMPULAN
1. Pengelolaan perbekalan farmasi di RSUD ‘’X’’ tidak berjalan dengan baik 2. Formularium
RSUD “X” tidak diketahui oleh dokter sehingga meresepkan obat yang tidak terdaftar di
formularium
3. Pelayanan kepada pasien tidak memuaskan pelanggan/pasien
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes. 2016. Farmasi Rumah sakit dan Klinik. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan. Pusdik SDM Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah
Sakit di Indonesia Revisi 2. Jakarta.