BLOK EMN
Oleh
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Obat adalah salah satu faktor penting dalam pelayanan kesehatan. Akan tetapi,
World Healh Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 50% dari
seluruh penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan, dan
penjualannya. Sekitar 50% lainnya tidak digunakan secara tepat oleh pasien.
Penggunaan obat yang tidak tepat akan menimbulkan banyak masalah.
Masalah-masalah tersebut diantaranya meliputi segi efektivitas, efek samping,
interaksi, ekonomi dan penyalahgunaan obat. Oleh karena itu, dalam
penggunaan obat diperlukan pertimbangan yang tepat agar penggunaannya
efektif dan efisien.
Salah satu bentuk jaminan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan adalah
perencanaan obat yang merujuk pada daftar obat esensial nasional (DOEN)
yang ditetapkan oleh pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi dan
pihak terkait lain. Pengembangan dan penerapan pedoman terapi yang merujuk
pada DOEN merupakan dasar penggunaan obat secara rasional. Penerapan
DOEN intinya bertujuan untuk meningkatkan keamanan, ketepatan, dan
kerasionalan penggunaan serta pengelolaan obat yang mengefektifkan biaya,
sehingga lebih memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Penerapan DOEN ini harus dilaksanakan secara konsisten
dan terus-menerus di semua unit pelayanan kesehatan yang dimulai dari sektor
pemerintah dan secara bertahap pada sektor swasta.
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat pada hal yang tidak
diharapkan, yaitu penurunan kualitas terapi yang dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas, sumber daya yang tersia-sia yang dapat mengurangi
ketersediaan obat dan meningkatkan biaya pengobatan, resiko efek yang tidak
diinginkan mencetuskan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan serta resistensi
bakteri, dan dampak psikososial yang mengakibatkan ketergantungan pasien
terhadap obat yang tidak diperlukan.
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari hari.
WHO memperkirakan lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia yang
diresepkan, dibuat dengan tidak rasional, tidak tepat persiapan, dan penyaluran
obat. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah utama di dunia.
Peresepan obat yang tidak rasional bisa dideskripsikan sebagai tidak tepat
secara medis dan tidak efektif dalam pembiayaan pengobatan. Penggunaan obat
yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak ekonomis saat ini telah
menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan, baik dinegara maju maupun
negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan
misalnya di rumah sakit, Puskesmas, praktek pribadi,maupun di masyarakat
luas.
Indikator utama penggunaan obat WHO 1993, digunakan untuk mengukur tiga
area umum yang berkaitan erat dengan tingkat rasionalitas penggunaan obat di
suatu fasilitas kesehatan, yaitu praktek peresepan oleh pemberi pelayanan
(providers) atau secara khusus dokter (prescibers); pelayanan pasien baik
konsultasi klinis maupun dispensing kefarmasian; ketersediaan fasilitas
kesehatan yang mendukung penggunaan obat secara rasional, sehingga dapat
dikatakan indikator utama penggunaan obat WHO 1993 terdiri dari indikator
peresepan; indikator pelayanan pasien; dan indikator fasilitas kesehatan.
Salah satu pemberian obat yang tidak rasional adalah pemberian polifarmasi atau
pemberian obat secara multipel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Aman (1999) di Denpasar, 58% pasien anak mendapatkan kortikosteroid oral
tanpa indikasi yang wajar, 90,4% pasien anak mendapatkan antibiotika,
sedangkan 31,9% pasien anak mendapatkan fenobarbital. Dari penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa penggunaan polifarmasi pada pasien anak masih tinggi
di Denpasar. Berdasarkan monitoring kebijakan obat nasional, seharusnya
ketersediaan dan penulisan obat esensial dan generik di rumah sakit adalah 100%.
Hasil observasi terhadap resep yang disalin dari rumah sakit, puskesmas, dan
apotek menunjukkan bahwa kisaran persentase obat generik yang diresepkan di
rumah sakit pemerintah sangat bervariasi yaitu berkisar antara 14,58-100%
dengan ratarata 55,38%. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban dokter menulis
resep obat generic atau penggunaan obat generic di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah belum sepenuhnya dilaksanakan.
Perhitungan rata-rata jumlah obat per lembar resep bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya kecenderungan polifarmasi dalam peresepan (WHO, 1993).
Perhitungan rata-rata jumlah obat didapat dari pembagian total obat yang
diresepkan dengan total lembar sampel (WHO, 1993). Karena resep racikan
masih banyak dipergunakan maka perhitungan jumlah obat didasarkan dengan
jumlah item obat yang diresepkan, bukan jumlah R/ dalam satu lembar resep. Hal
ini dikarenakan resep racikan pun harus diperhatikan kombinasinya, sehingga
tidak terjadi polifarmasi.
Rata-rata jumlah item obat per lembar resep terbaik menurut estimasi WHO
(1993) adalah 1,8 – 2,2 item per lembar resep. Hasil penelitian menunjukkan
rata-rata jumlah item obat per lembar resep adalah 3,2, melebihi estimasi terbaik
menurut WHO. Nilai tersebut menunjukkan adanya kecenderungan terjadi
polifarmasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan masih ditemukan banyak resep
yang memiliki jumlah obat lebih dari 2, bahkan hingga 8 obat per lembar resep.
Nilai rata-rata jumlah obat yang lebih tinggi dari estimasi WHO belum dapat
menunjukkan ada atau tidak penggunaan obat yang irrasional, karena dibutuhkan
penelitian lebih lanjut yang melihat dari diagnosa, efikasi, keamanan, kecocokan,
dan harga. Jumlah obat rata-rata yang digunakan cukup banyak, peresepan masih
bisa dikatakan rasional jika memang pasien memiliki indikasi yang
membutuhkan beberapa macam obat.
Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baik oleh
dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yang efektif
dan efisien. Salah satu indikator keberhasilanperesepan obat rasional di rumah
sakit antara lain persentase penggunaanantibiotik, persentase penggunaan obat
generik, dan persentase penggunaan obatesensial (ketaatan penggunaan
formularium) benar-benar diterapkan sesuai aturan(Anonim, 2006). Menetapkan
kriteria evaluasi penggunaan obat amat sangat penting, dan merupakan tanggung
jawab dari PFT. Evaluasi kriteria penggunaan obat menjelaskan tentang
penggunaan obat dengan benar dan mengamati berbagai macam komponen.
Komponen yang digunakan untuk menilai kriteria penggunaan obat adalah
indikasi obat yang tepat, obat yang tepat untuk kondisi klinik, dosis yang sesuai
dengan indikasi, ada tidaknya interaksi, langkah yang berkaitan dengan
pemberian obat, menginstruksikan penggunaan obat kepada pasien, keadaan
klinik dan laboratorium dari pasien.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai apa yang
berhubungan dengan peresepan rasional obat.
Dalam pelayanan kesehatan, obat memainkan peran yang sangat penting dalam
tercapainya kesehatan pasien, namun penggunaan obat yang rasional masih
menjadi masalah terbesar dalam tercapainya terapi yang efektif dan efisien.
Penggunaan obat yang rasional meliputi tepat dalam hal indikasi, tepat pasien,
tepat dosis, tepat obat dan tepat cara dan lama penggunaan. Akan tetapi dalam
laporan yang diterima oleh World Helath Organization (WHO) masih terdapat
penggunaan obat yang tidak rasional dimana terdapat lebih dari 50% dariseluruh
penggunaan obat-obatan tidak tepat dalamperesepan, penyiapan, ataupun
penjualannya, sedangkan 50% lainnya tidak digunakan secara tepat oleh pasien.
Selain itu, sekitar sepertiga dari penduduk dunia tidak memiliki akses obat
esensial. Hal ini terjadi karena polifarmasi, penggunaan obat non-esensial,
penggunaan antimikroba yang tidak tepat, penggunaan injeksi secara berlebihan,
penulisan resep yang tidak sesuai dengan pedoman klinis (WHO, 2002).
Ketidakrasionalan penggunaan obat juga berakibat pada pemborosan biaya
terutama resistensi antibiotik akibat penggunaan obat yang tidak rasional.
Kerugian yang dilaporkan menghabiskan biaya US $4-5 miliar pertahun di
Amerika Serikat dan €9 miliar di Eropa), akibat terjadinya reaksi obat yang
merugikan dan kesalahan pengobatan (Kemenkes RI, 2011).
Menurut Modul obat rasional yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan tahun
2011, kriteria penggunaan obat yang rasional antara lain: (1) tepat diagnosis (2)
tepat indikasi penyakit, (3) tepat memilih obat, (4) tepat dosis, (5) tepat penilaian
kondisi pasien, (6) waspada terhadap efek samping, (7) efektif, aman, mutu
terjamin, harga terjangkau, tersedia setiap saat, (8) tepat tindak lanjut, (9) tepat
dispensing (penyerahan obat) (KEMENKES, 2011).
Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan
kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan
menyerahkannya kepada pasien. Resep merupakan perwujudan akhir dari
kompetensi, pengetahuan dan keahlian dokter dalam menerapkan
pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Resep juga perwujudan
hubungan profesi antara dokter, apoteker dan pasien. Penulisan resep harus ditulis
dengan jelas sehingga dapat dibaca oleh petugas di apotek. Resep yang ditulis
dengan tidak jelas akan menimbulkan terjadinya kesalahan saat
peracikan/penyiapan obat dan penggunaan obat yang diresepkan. Standar
penulisan resep yang rasional terdiri dari inscriptio, praescriptio, signatura dan
subcriptio. Inscriptio meliputi nama dan alamat dokter, nama kota serta tanggal
penulisan resep. Untuk praescriptio terdiri atas nama dan dosis obat yang
diberikan serta jumlahnya, cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki.
Yang termasuk dalam signatura adalah aturan pakai, nama, umur dan berat badan
pasien. Sedangkan tanda tangan atau paraf dokter merupakan subscriptio, yang
menjadikan suatu resep tersebut otentik. Tiap resep dimulai dengan R/ dan
diakhiri dengan tanda penutup dan paraf atau tanda tangan dokter (Rahmatini,
2009).
Menurut Jas.A (2009) Penulisan resep adalah suatu wujud akhir kompetensi
dokter dalam pelayanan kesehatan yang secara komprehensif menerapkan ilmu
pengetahuan dan keahlian di bidang farmakologi dan teraupetik secara tepat,
aman dan rasional kepada pasien khususnya dan seluruh masyarakat pada
umumnya. Sebagian obat tidak dapat diberikan langsung kepada pasien atau
masyarakat melainkan harus melalui peresepan oleh dokter. Berdasarkan
keamanan penggunaannya, obat dibagi dalam dua golongan yaitu obat bebas
(OTC = Other of the counter) dan Ethical (obat narkotika, psikotropika dan keras),
dimana masyarakat harus menggunakan resep dokter untuk memperoleh obat
Ethical.
Menurut Jas.A (2009) Resep terdiri dari enam bagian, antara lain:
1. Inscriptio terdiri dari nama, alamat, dan nomor izin praktek (SIP) dokter,
tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota
provinsi. Format inscriptio suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda
dengan resep pada praktik pribadi.
2. Invocatio merupakan tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.
Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe” artinya
ambilah atau berikanlah. Berfungsi sebagai kata pembuka komunikasi antara
dokter penulis resep dengan apoteker di apotek.
3. Prescriptio/ordonatio terdiri dari nama obat yang diinginkan, bentuk sediaan
obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.
4. Signatura merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri
dari tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian. Penulisan signatura harus jelas untuk keamanan penggunaan obat
dan keberhasilan terapi.
5. Subscriptio merupakan tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang
berperan sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.
6. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien.
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari
pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Untuk menjamin pasien
mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode
waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau (Kemenkes RI, 2011)
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar
terapi yang diharapkan.
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar
obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di
bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi
oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)
dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan
telah menerapkan CPOB.
k. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi. Sebagai contoh:
- Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna
merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar
akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut
menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka
panjang.
- Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus
diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of
treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari
berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat
dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri
penyebab penyakit.
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan dosis, cara, dan
lama pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan
sebagian contoh dari ketidakrasionalan peresepan. Penggunaan suatu obat
dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh
pasien lebih besar dibanding manfaatnya. Dampak negatif di sini dapat
berupa: a. Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi
kuman), b. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau). Tujuan identifikasi
masalah penggunaan obat yang tidak rasional adalah untuk mengetahui
masalah-masalah yang terjadi dan penyebabnya dalam penggunaan obat yang
tidak rasional (Kemenkes RI, 2011).
e. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu
yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh:
Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relatif mahal
padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga
lebih murah tersedia.
Ny. Lily usia 35 tahun dengan berat badan 89 kg dan tinggi badan 163 cm
dengan lingkar perut 97 cm datang ke Rumah Sakit UNILA dengan keluhan
sering lapar, sering kencing, sering minum dan terdapat luka di kaki yang
tidak sembuh-sembuh. Ayah Ny. Lily mengidap penyakit DM dan harus
mengonsumsi obat insulin. Saat dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu,
hasilnya 233 mg/dl, dan saat dilakukan pemeriksaan kreatin didapatkan kadar
kreatin yang tinggi. Bagaimana penulisan resep obat rasional Ny. Lily selama
4 hari?
3.2 Hipertiroid
Paisal usia 38 tahun dengan berat badan 47 kg dan TB 155 cm datang ke Rumah
Sakit UNILA dengan keluhan adanya pembesaran pada daerah leher, selain itu
pasien mengalami diare selama 2 hari belakangan ini, dan kehilangan berat
badan dalam 1 bulan terakhir. Pada pemeriksaan didapatkan suhu tubuh Paisal
38,8 oC, kedua tangan pasien tremor. Saat dilakukan pemeriksaan menelan,
pembesaran pada leher ikut bergerak. Tuliskan penulisan resep obat rasional
paisal selama 3 hari!
Tn Athallah usia 45 tahun datang ke Rumah Sakit UNILA dengan keluhan gusi
bengkak dan berdarah dan mengalami sariawan 2 minggu belakangan ini, Tn
Athallah merasa letih dan lelah setiap saat, dan mengalami nyeri pada tungkai
saat beraktivitas. Tn Athallah jarang memakan sayur dan buah-buahan.
Bagaimana penulisan resep obat rasional untuk Tn Athallah selama 5 hari?
BAB IV
PEMBAHASAN
RS. UNILA
Resep diatas sudah sesuai dengan format resep yang terdiri atas Inscriptio,
Invocatio, Prescriptio, Signatura, Subscriptio, dan Pro. Dan resep di atas
termasuk ke dalam resep rasional karena
RS. UNILA
Pro : Paisal
Umur : 38 Tahun
Alamat : Kuningan
Pembahasan Resep
Resep diatas sudah sesuai dengan format resep yang terdiri atas Inscriptio,
Invocatio, Prescriptio, Signatura, Subscriptio, dan Pro. Resep di atas
termasuk ke dalam resep rasional karena
RS. UNILA
Pro : Athallah
Umur : 45 Tahun
Alamat : Waykanan
Pembahasan
Resep diatas sudah sesuai dengan format resep yang terdiri atas Inscriptio,
Invocatio, Prescriptio, Signatura, Subscriptio, dan Pro. Resep di atas
termasuk ke dalam resep rasional karena
Amalia, D.T., Sukohar, A. 2014. Rational Drug Prescription Writing. JUKE, 4(7):
23-24.
Citra Kartika, D.P.S. 2011. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau Dari
Indikator Peresepan Menurut World Health Organization (WHO) di Seluruh
Puskesmas Kecamatan Kota Depok Pada Tahun 2010. FMIPA UI.
Pratiwi, A.A., Sinuraya, R.K. 2014. Analisis Peresepan Obat Anak Usia 2–5 Tahun
di Kota Bandung Tahun 2012. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 3(1): 19.
Yuliastuti, F., Purnomo, A., Sudjaswadi. 2013. Analisis Penggunaan Obat Pada
Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Yogyakarta
Periode April 2009. Media Farmasi, 10(2): 106.