Anda di halaman 1dari 27

PRAKTIKUM FARMASI PENULISAN RESEP RASIONAL

BLOK EMN

Oleh

AVICENNA MUHAMMAD ARCHIE


1818011085

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


menyebutkan bahwa “Penggunaan obat harus dilakukan secara rasional”.
Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan
sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai, dalam periode
waktu yang adequate dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
Alasan penggunaan obat rasional adalah untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi belanja obat yang merupakan salah satu upaya cost effective medical
interventions. Selain itu untuk mempermudah akses masyarakat memperoleh
obat dengan harga yang terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang
tidak tepat yang dapat membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan
pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan.

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan


karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau
oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197/Menkes/SK/X/2004,


rumah sakit memiliki tugas dalam melaksanakan upaya kesehatan yang
diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan. Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah
bagian dari rumah sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasi,
mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta
melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi
Rumah Sakit adalah satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan
bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan
dengan obat yang beredar dan digunakan di rumah sakit. Instalasi Farmasi
Rumah Sakit harus melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam
keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat.
Obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam pelayanan
kesehatan.Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, obat harus tersedia
dengan cukup, distribusi obat merata, dan mudah dijangkau.Tujuan yang
hendak dicapai untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yaitu
keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional. Penggunaan suatu obat
dapat berpengaruh terhadap kualitas pengobatan, pelayanan dan biaya
pengobatan. Penggunaan obat merupakan tahap akhir manajemen obat.
Penggunaan obat atau pelayanan obat merupakan proses kegiatan yang
mencakup aspek teknis dan non teknis yang dikerjakan mulai dari menerima
resep dokter hingga penyerahan obat kepada pasien. Dalam hal penggunaan
obat, langkah yang paling penting diperhatikan adalah diagnosis yang tepat,
sehingga menghasilkan suatu peresepan rasional, efektif, aman, dan ekonomis.

Obat adalah salah satu faktor penting dalam pelayanan kesehatan. Akan tetapi,
World Healh Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 50% dari
seluruh penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan, dan
penjualannya. Sekitar 50% lainnya tidak digunakan secara tepat oleh pasien.
Penggunaan obat yang tidak tepat akan menimbulkan banyak masalah.
Masalah-masalah tersebut diantaranya meliputi segi efektivitas, efek samping,
interaksi, ekonomi dan penyalahgunaan obat. Oleh karena itu, dalam
penggunaan obat diperlukan pertimbangan yang tepat agar penggunaannya
efektif dan efisien.

Salah satu bentuk jaminan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan adalah
perencanaan obat yang merujuk pada daftar obat esensial nasional (DOEN)
yang ditetapkan oleh pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi dan
pihak terkait lain. Pengembangan dan penerapan pedoman terapi yang merujuk
pada DOEN merupakan dasar penggunaan obat secara rasional. Penerapan
DOEN intinya bertujuan untuk meningkatkan keamanan, ketepatan, dan
kerasionalan penggunaan serta pengelolaan obat yang mengefektifkan biaya,
sehingga lebih memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Penerapan DOEN ini harus dilaksanakan secara konsisten
dan terus-menerus di semua unit pelayanan kesehatan yang dimulai dari sektor
pemerintah dan secara bertahap pada sektor swasta.

Penggunaan obat secara rasional merupakan kunci dalam pembangunan


pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang belum rasional selama ini
telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan dana masyarakat, efek
samping yang berupa resistensi, interaksi obat yang berbahaya yang
menurunkan mutu pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan. Untuk
meningkatkan kerasionalan penggunaan obat hingga mutu pelayanan kesehatan
pada masyarakat dapat optimal, maka perlu adanya upaya pengelolaan obat
secara terencana dan sistematis. WHO telah berupaya untuk meningkatkan
praktek penggunaan obat rasional sejak tahun 1985 melalui konferensi yang
diadakan di Narobi, berdasarkan komitmen itu WHO melalui International
Network for the Rational Use of Drug (INRUD) telah mengembangkan
indikator penggunaan obat terdiri dari indikator utama dan indikator tambahan
yang kemudian ditetapkan pada tahun 1993, sebagai metode dasar untuk
menilai penggunaan obat pada unit rawat jalan di fasilitas kesehatan berkaitan
dengan rasionalitas penggunaan obat di fasilitas kesehatan tersebut. Penilaian
penggunaan obat rasional ditinjau dari tiga indikator utama yaitu peresepan,
pelayanan pasien dan fasilitas kesehatan.4 Indikator ini dapat dipakai secara
cepat untuk menilai penggunan obat rasional di unit pelayanan,
membandingkan antar unit, atau menilai perubahan sesudah intervensi.
Indikator ini sudah diuji cobakan di 12 negara berkembang dan terbukti dapat
dipakai untuk tujuan pemantauan tersebut.

Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat pada hal yang tidak
diharapkan, yaitu penurunan kualitas terapi yang dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas, sumber daya yang tersia-sia yang dapat mengurangi
ketersediaan obat dan meningkatkan biaya pengobatan, resiko efek yang tidak
diinginkan mencetuskan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan serta resistensi
bakteri, dan dampak psikososial yang mengakibatkan ketergantungan pasien
terhadap obat yang tidak diperlukan.

Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam


pelayanan kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di
banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan
temuan telah menunjukkan bahwa penggunaan obat jauh dari keadaan optimal
dan rasional. Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam penggunaan obat pada
umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat,
penggunaan obat (khususnya adalah peresepan obat atau prescribing),
dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat
kecil atau tidak ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan
efek samping atau biayanya.

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari hari.
WHO memperkirakan lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia yang
diresepkan, dibuat dengan tidak rasional, tidak tepat persiapan, dan penyaluran
obat. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah utama di dunia.
Peresepan obat yang tidak rasional bisa dideskripsikan sebagai tidak tepat
secara medis dan tidak efektif dalam pembiayaan pengobatan. Penggunaan obat
yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak ekonomis saat ini telah
menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan, baik dinegara maju maupun
negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan
misalnya di rumah sakit, Puskesmas, praktek pribadi,maupun di masyarakat
luas.

Pada tahun 1993 peresepan di Indonesia masih dikategorikan tidak rasional


karena masih tingginya poli-farmasi (3,5 obat per pasien), penggunaan
antibiotik yang berlebihan (43,0%), serta penggunaan injeksi yang berlebihan
(1080%).5 Penggunaan obat rasional dapat diperbaiki mutunya antara lain
melalui upaya pengelolaan obat (managerial strategies) yang mencakup
perbaikan sistem suplai (proses seleksi dan pengadaan obat), kemudian sistem
peresepan dan dispensing obat. Kementerian Kesehatan RI belum memiliki
standar dalam penggunaan obat rasional di puskesmas, tetapi hanya memiliki
target berdasarkan indikator peresepan WHO, yaitu:
a. Rerata jumlah obat tiap pasien: 2,6.
b. Persentase obat generik yang diresepkan: 100%.
c. Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia: 20%.
d. Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik: 8%.
e. Persentase injeksi pada myalgia: 1%.
f. Persentase obat yang diresepkan dari DOEN: 100%.

Ketidaktepatan penggunaan obat di puskesmas dapat merugikan masyarakat.


Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota wajib menyediakan obat esensisal dengan
nama generik untuk kebutuhan puskesmas dan unit pelaksana teknis lainnya
sesuai kebutuhan. Salah satu UPT (unit pelaksana Teknis) Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota adalah instalasi farmasi (dulu bernama gudang farmasi
Kabupaten/Kota) yang berfungsi sebagai pengelola obat di Kabupaten/ Kota.
puskesmas sebagai salah satu lini terdepan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
Indonesia sudah seharusnya menerapkan penggunaan obat yang rasional sesuai
standar yang ada. Ketidaktepatan penggunaan obat pada tingkat puskesmas dapat
berakibat merugikan bagi kalangan luas masyarakat. Hal tersebut karena banyak
masyarakat kalangan menengah ke bawah yang merupakan mayoritas penduduk
Indonesia yang memilih pelayanan kesehatan di puskesmas.

Indikator utama penggunaan obat WHO 1993, digunakan untuk mengukur tiga
area umum yang berkaitan erat dengan tingkat rasionalitas penggunaan obat di
suatu fasilitas kesehatan, yaitu praktek peresepan oleh pemberi pelayanan
(providers) atau secara khusus dokter (prescibers); pelayanan pasien baik
konsultasi klinis maupun dispensing kefarmasian; ketersediaan fasilitas
kesehatan yang mendukung penggunaan obat secara rasional, sehingga dapat
dikatakan indikator utama penggunaan obat WHO 1993 terdiri dari indikator
peresepan; indikator pelayanan pasien; dan indikator fasilitas kesehatan.

Salah satu pemberian obat yang tidak rasional adalah pemberian polifarmasi atau
pemberian obat secara multipel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Aman (1999) di Denpasar, 58% pasien anak mendapatkan kortikosteroid oral
tanpa indikasi yang wajar, 90,4% pasien anak mendapatkan antibiotika,
sedangkan 31,9% pasien anak mendapatkan fenobarbital. Dari penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa penggunaan polifarmasi pada pasien anak masih tinggi
di Denpasar. Berdasarkan monitoring kebijakan obat nasional, seharusnya
ketersediaan dan penulisan obat esensial dan generik di rumah sakit adalah 100%.
Hasil observasi terhadap resep yang disalin dari rumah sakit, puskesmas, dan
apotek menunjukkan bahwa kisaran persentase obat generik yang diresepkan di
rumah sakit pemerintah sangat bervariasi yaitu berkisar antara 14,58-100%
dengan ratarata 55,38%. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban dokter menulis
resep obat generic atau penggunaan obat generic di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah belum sepenuhnya dilaksanakan.

Perhitungan rata-rata jumlah obat per lembar resep bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya kecenderungan polifarmasi dalam peresepan (WHO, 1993).
Perhitungan rata-rata jumlah obat didapat dari pembagian total obat yang
diresepkan dengan total lembar sampel (WHO, 1993). Karena resep racikan
masih banyak dipergunakan maka perhitungan jumlah obat didasarkan dengan
jumlah item obat yang diresepkan, bukan jumlah R/ dalam satu lembar resep. Hal
ini dikarenakan resep racikan pun harus diperhatikan kombinasinya, sehingga
tidak terjadi polifarmasi.

Rata-rata jumlah item obat per lembar resep terbaik menurut estimasi WHO
(1993) adalah 1,8 – 2,2 item per lembar resep. Hasil penelitian menunjukkan
rata-rata jumlah item obat per lembar resep adalah 3,2, melebihi estimasi terbaik
menurut WHO. Nilai tersebut menunjukkan adanya kecenderungan terjadi
polifarmasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan masih ditemukan banyak resep
yang memiliki jumlah obat lebih dari 2, bahkan hingga 8 obat per lembar resep.

Nilai rata-rata jumlah obat yang lebih tinggi dari estimasi WHO belum dapat
menunjukkan ada atau tidak penggunaan obat yang irrasional, karena dibutuhkan
penelitian lebih lanjut yang melihat dari diagnosa, efikasi, keamanan, kecocokan,
dan harga. Jumlah obat rata-rata yang digunakan cukup banyak, peresepan masih
bisa dikatakan rasional jika memang pasien memiliki indikasi yang
membutuhkan beberapa macam obat.

Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baik oleh
dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yang efektif
dan efisien. Salah satu indikator keberhasilanperesepan obat rasional di rumah
sakit antara lain persentase penggunaanantibiotik, persentase penggunaan obat
generik, dan persentase penggunaan obatesensial (ketaatan penggunaan
formularium) benar-benar diterapkan sesuai aturan(Anonim, 2006). Menetapkan
kriteria evaluasi penggunaan obat amat sangat penting, dan merupakan tanggung
jawab dari PFT. Evaluasi kriteria penggunaan obat menjelaskan tentang
penggunaan obat dengan benar dan mengamati berbagai macam komponen.
Komponen yang digunakan untuk menilai kriteria penggunaan obat adalah
indikasi obat yang tepat, obat yang tepat untuk kondisi klinik, dosis yang sesuai
dengan indikasi, ada tidaknya interaksi, langkah yang berkaitan dengan
pemberian obat, menginstruksikan penggunaan obat kepada pasien, keadaan
klinik dan laboratorium dari pasien.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai apa yang
berhubungan dengan peresepan rasional obat.

1.3 Tujuan Penelitian


Makalah ini di buat bertujuan untuk agar mahasiswa kedokteran mampu
memberikan obat dan menulis resep yang baik dan rasional yaitu tepat obat,
tepat dosis, tepat bentuk sediaan, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian,
dan tepat penderita sesuai dengan aturan yang berlaku.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa kedokteran dapat
memahami keterampilan khusus atau tata cara penulisan resep obat secara bijak
dan rasional (tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat frekwensi dan cara
pemberian, serta sesuai kondisi pasien), jelas, lengkap, dan dapat dibaca.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Rasional

Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72 Tahun 2016 tentang


standar pelayanan farmasi di rumah sakit, resep adalah permintaan tertulis dari
dokter atau dokter gigi, kepada apoteker baik dalam bentuk paper maupun
elektronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan
dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut
kaidah dan peraturan yang berlaku. Peresepan obat yang ditulis harus memenuhi
kriteria peresepan obat yang rasional atau penggunaan obat secara rasional
(Simatupang, 2012).

Dalam pelayanan kesehatan, obat memainkan peran yang sangat penting dalam
tercapainya kesehatan pasien, namun penggunaan obat yang rasional masih
menjadi masalah terbesar dalam tercapainya terapi yang efektif dan efisien.
Penggunaan obat yang rasional meliputi tepat dalam hal indikasi, tepat pasien,
tepat dosis, tepat obat dan tepat cara dan lama penggunaan. Akan tetapi dalam
laporan yang diterima oleh World Helath Organization (WHO) masih terdapat
penggunaan obat yang tidak rasional dimana terdapat lebih dari 50% dariseluruh
penggunaan obat-obatan tidak tepat dalamperesepan, penyiapan, ataupun
penjualannya, sedangkan 50% lainnya tidak digunakan secara tepat oleh pasien.
Selain itu, sekitar sepertiga dari penduduk dunia tidak memiliki akses obat
esensial. Hal ini terjadi karena polifarmasi, penggunaan obat non-esensial,
penggunaan antimikroba yang tidak tepat, penggunaan injeksi secara berlebihan,
penulisan resep yang tidak sesuai dengan pedoman klinis (WHO, 2002).
Ketidakrasionalan penggunaan obat juga berakibat pada pemborosan biaya
terutama resistensi antibiotik akibat penggunaan obat yang tidak rasional.
Kerugian yang dilaporkan menghabiskan biaya US $4-5 miliar pertahun di
Amerika Serikat dan €9 miliar di Eropa), akibat terjadinya reaksi obat yang
merugikan dan kesalahan pengobatan (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Modul obat rasional yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan tahun
2011, kriteria penggunaan obat yang rasional antara lain: (1) tepat diagnosis (2)
tepat indikasi penyakit, (3) tepat memilih obat, (4) tepat dosis, (5) tepat penilaian
kondisi pasien, (6) waspada terhadap efek samping, (7) efektif, aman, mutu
terjamin, harga terjangkau, tersedia setiap saat, (8) tepat tindak lanjut, (9) tepat
dispensing (penyerahan obat) (KEMENKES, 2011).

2.2 Peresepan Obat Rasional

Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan
kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan
menyerahkannya kepada pasien. Resep merupakan perwujudan akhir dari
kompetensi, pengetahuan dan keahlian dokter dalam menerapkan
pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Resep juga perwujudan
hubungan profesi antara dokter, apoteker dan pasien. Penulisan resep harus ditulis
dengan jelas sehingga dapat dibaca oleh petugas di apotek. Resep yang ditulis
dengan tidak jelas akan menimbulkan terjadinya kesalahan saat
peracikan/penyiapan obat dan penggunaan obat yang diresepkan. Standar
penulisan resep yang rasional terdiri dari inscriptio, praescriptio, signatura dan
subcriptio. Inscriptio meliputi nama dan alamat dokter, nama kota serta tanggal
penulisan resep. Untuk praescriptio terdiri atas nama dan dosis obat yang
diberikan serta jumlahnya, cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki.
Yang termasuk dalam signatura adalah aturan pakai, nama, umur dan berat badan
pasien. Sedangkan tanda tangan atau paraf dokter merupakan subscriptio, yang
menjadikan suatu resep tersebut otentik. Tiap resep dimulai dengan R/ dan
diakhiri dengan tanda penutup dan paraf atau tanda tangan dokter (Rahmatini,
2009).

Berdasar Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


1197/MENKES/SK/X/2004 resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter,
dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan
atau membuat, meracik serta menyerahkan obat kepada pasien.8 Penulis resep
adalah dokter, dokter gigi (terbatas pada pengobatan gigi dan mulut) dan dokter
hewan(terbatas pada pengobatan pada hewan/ pasien hanya hewan). Penerima
resep adalah apoteker pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat
digantikan Apoteker Pendamping/Apoteker Pengganti atau Asisten Apoteker
Kepala di bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek.
Resep yang benar ditulis secara jelas, dapat dibaca, lengkap dan memenuhi
peraturan perundangan serta kaidah yang berlaku (Amalia dkk, 2014).
Menurut Jas.A (2009) Jenis- jenis resep dibagi menjadi: (1) Resep standar (Resep
Officinalis/Pre Compounded) merupakan resep dengan komposisi yang telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya.
Resep standar menuliskan obat jadi (campuran dari zat aktif) yang dibuat oleh
pabrik farmasi dengan merk dagang dalam sediaan standar atau nama generik.
(2) Resep magistrales (Resep Polifarmasi/Compounded) adalah resep yang telah
dimodifikasi atau diformat oleh dokter yang menulis. Resep ini dapat berupa
campuran atau obat tunggal yang diencerkan dan dalam pelayanannya perlu
diracik terlebih dahulu.

Menurut Jas.A (2009) Penulisan resep adalah suatu wujud akhir kompetensi
dokter dalam pelayanan kesehatan yang secara komprehensif menerapkan ilmu
pengetahuan dan keahlian di bidang farmakologi dan teraupetik secara tepat,
aman dan rasional kepada pasien khususnya dan seluruh masyarakat pada
umumnya. Sebagian obat tidak dapat diberikan langsung kepada pasien atau
masyarakat melainkan harus melalui peresepan oleh dokter. Berdasarkan
keamanan penggunaannya, obat dibagi dalam dua golongan yaitu obat bebas
(OTC = Other of the counter) dan Ethical (obat narkotika, psikotropika dan keras),
dimana masyarakat harus menggunakan resep dokter untuk memperoleh obat
Ethical.

Menurut Jas.A (2009) Resep terdiri dari enam bagian, antara lain:
1. Inscriptio terdiri dari nama, alamat, dan nomor izin praktek (SIP) dokter,
tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota
provinsi. Format inscriptio suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda
dengan resep pada praktik pribadi.
2. Invocatio merupakan tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.
Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe” artinya
ambilah atau berikanlah. Berfungsi sebagai kata pembuka komunikasi antara
dokter penulis resep dengan apoteker di apotek.
3. Prescriptio/ordonatio terdiri dari nama obat yang diinginkan, bentuk sediaan
obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.
4. Signatura merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri
dari tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian. Penulisan signatura harus jelas untuk keamanan penggunaan obat
dan keberhasilan terapi.
5. Subscriptio merupakan tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang
berperan sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.
6. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien.

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari
pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Untuk menjamin pasien
mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode
waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau (Kemenkes RI, 2011)

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:


a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

b. Tepat Indikasi Penyakit


Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifi k. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini
hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

c. Tepat Pemilihan Obat


Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Contoh: Gejala
demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan infl amasi. Untuk
sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena
disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan
dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinfl amasi non steroid (misalnya
ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat proses
peradangan atau inflamasi.

d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar
terapi yang diharapkan.

e. Tepat Cara Pemberian


Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

f. Tepat Interval Waktu Pemberian


Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per
hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.
Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut
harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

g. Tepat lama pemberian


Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan
berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

h. Waspada terhadap efek samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping
sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin
tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

i. Tepat penilaian kondisi pasien


Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada
penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya
dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna.
Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan
pemberian obat.
- β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada
penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini
memberi efek bronkhospasme.
- Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada
penderita asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan
serangan asma.
- Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid,
aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-
hati, karena waktu paruh obatobat tersebut memanjang secara bermakna,
sehingga resiko efek toksiknya juga meningkat pada pemberian secara
berulang.
- Peresepan kuinolon (misalnya siprofl oksasin dan ofl oksasin), tetrasiklin,
doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari,
karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung.

j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar
obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di
bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi
oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)
dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan
telah menerapkan CPOB.

k. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi. Sebagai contoh:
- Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna
merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar
akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut
menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka
panjang.
- Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus
diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of
treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari
berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat
dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri
penyebab penyakit.

l. Tepat tindak lanjut (follow-up)


Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya
tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofi lin sering
memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu
ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam
penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua
perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi
kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan.

m. Tepat penyerahan obat (dispensing)


Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat
dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau
tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan
obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan
kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat,
agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan
obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.

n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan


minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
- Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
- Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
- Jenis sediaan obat terlalu beragam
- Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
- Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai
cara minum/menggunakan obat
- Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau
efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa
diberikan penjelasan terlebih dahulu (Kemenkes RI, 2011).
2.3 Penggunaan Obat Tidak Rasional

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan dosis, cara, dan
lama pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan
sebagian contoh dari ketidakrasionalan peresepan. Penggunaan suatu obat
dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh
pasien lebih besar dibanding manfaatnya. Dampak negatif di sini dapat
berupa: a. Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi
kuman), b. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau). Tujuan identifikasi
masalah penggunaan obat yang tidak rasional adalah untuk mengetahui
masalah-masalah yang terjadi dan penyebabnya dalam penggunaan obat yang
tidak rasional (Kemenkes RI, 2011).

Ciri-ciri penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai


berikut:
a. Peresepan berlebih (overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
penyakit yang bersangkutan. Contoh :
- Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan
oleh virus)
- Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan.
- Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk
pengobatan penyakit tersebut.
- Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya
efek yang tidak diinginkan seperti: (1) Interaksi, (2) Efek Samping, (3)
Intoksikasi.

b. Peresepan kurang (underprescribing)


Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik
dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat
yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori
ini. Contoh :
- Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
- Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
- Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare
c. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang
sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
Contoh:
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:
- Amoksisilin,
- Parasetamol,
- Gliseril guaiakolat,
- Deksametason,
- CTM, dan
- Luminal.

d. Peresepan salah (incorrect prescribing)


Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang
sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan
kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi
yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya.
Contoh :
- Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin & ofl
oksasin) untuk anak.
- Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol
yang lebih aman

Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang


tidak rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak
disadari oleh para klinisi. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi
selalu mengatakan bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap
dokter berhak menentukan jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya.
Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan alasan ilmiah
yang dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang tidak rasional
(Kemenkes RI, 2011).

Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari-hari:


a. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh:
Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak padahal
intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.

b. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit..


Contoh:
Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.

c. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.


Contoh:
- Cara pemberian yang tidak tepat, misalnya pemberian ampisilin sesudah
makan, padahal seharusnya diberikan saat perut kosong atau di antara
dua makan.
- Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yang benar adalah
diberikan 1 kaplet tiap 8 jam.

d. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara


obat lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh:
Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit
tenggorok atau sakit menelan.padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih
aman dan efficacious.

e. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu
yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh:
Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relatif mahal
padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga
lebih murah tersedia.

f. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan


keamanannya.
Contoh:
Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari karena
umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang
justru dapat merugikan pasien.

g. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau


persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh:
Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa yang
selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi
jika datang dengan keluhan yang sama (Kemenkes RI, 2011)
BAB III
KASUS

3.1 Diabetes Melitus

Ny. Lily usia 35 tahun dengan berat badan 89 kg dan tinggi badan 163 cm
dengan lingkar perut 97 cm datang ke Rumah Sakit UNILA dengan keluhan
sering lapar, sering kencing, sering minum dan terdapat luka di kaki yang
tidak sembuh-sembuh. Ayah Ny. Lily mengidap penyakit DM dan harus
mengonsumsi obat insulin. Saat dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu,
hasilnya 233 mg/dl, dan saat dilakukan pemeriksaan kreatin didapatkan kadar
kreatin yang tinggi. Bagaimana penulisan resep obat rasional Ny. Lily selama
4 hari?

3.2 Hipertiroid

Paisal usia 38 tahun dengan berat badan 47 kg dan TB 155 cm datang ke Rumah
Sakit UNILA dengan keluhan adanya pembesaran pada daerah leher, selain itu
pasien mengalami diare selama 2 hari belakangan ini, dan kehilangan berat
badan dalam 1 bulan terakhir. Pada pemeriksaan didapatkan suhu tubuh Paisal
38,8 oC, kedua tangan pasien tremor. Saat dilakukan pemeriksaan menelan,
pembesaran pada leher ikut bergerak. Tuliskan penulisan resep obat rasional
paisal selama 3 hari!

3.2 Defisiensi Vitamin C

Tn Athallah usia 45 tahun datang ke Rumah Sakit UNILA dengan keluhan gusi
bengkak dan berdarah dan mengalami sariawan 2 minggu belakangan ini, Tn
Athallah merasa letih dan lelah setiap saat, dan mengalami nyeri pada tungkai
saat beraktivitas. Tn Athallah jarang memakan sayur dan buah-buahan.
Bagaimana penulisan resep obat rasional untuk Tn Athallah selama 5 hari?
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Resep Rasional Diabetes Melitus

dr. Avicenna M. Archie


1818011085

RS. UNILA

Bandar Lampung, 5 September 2019

R/ Metformin Tab 500 mg No. XII


S 3 d.d. tab p.c.

Pro : Ny. Lily


Umur : 35 Tahun
Alamat : Rajabasa
Pembahasan Resep

Resep diatas sudah sesuai dengan format resep yang terdiri atas Inscriptio,
Invocatio, Prescriptio, Signatura, Subscriptio, dan Pro. Dan resep di atas
termasuk ke dalam resep rasional karena

1. Tepat obat dimana menggunakan metformin sebagai obat untuk


mengatasi DM pada pasien yang tidak memiliki kreatin yang tinggi
pada tubuhnya.
2. Tepat Dosis karena dosis maksimal metformin adalah 1500mg/hari
3. Tepat BSO berbentuk Tablet mudah dibawa kemana-mana dan tidak
menyulitkan pasien jika berpergian
4. Tepat waktu pemberian, pemberian metformin diminum segera setelah
makan
5. Tepat Pasien, Pasien DM dikontrol dengan metformin terlebih dahulu
6. Tepat cara pemberian, dalam resep pemberian obat dilakukan secara
oral
4.2 Resep Rasional Hipertiroid

dr. Avicenna M. Archie


1818011085

RS. UNILA

Bandar Lampung, 5 September 2019

R/ Prophythiouracil Tab 50 mg No. XVIII


S 3 d.d. tab 2 p.c.

Pro : Paisal
Umur : 38 Tahun
Alamat : Kuningan
Pembahasan Resep

Resep diatas sudah sesuai dengan format resep yang terdiri atas Inscriptio,
Invocatio, Prescriptio, Signatura, Subscriptio, dan Pro. Resep di atas
termasuk ke dalam resep rasional karena

1. Tepat obat dimana prophylthiouracil (PTU) dapat mengobati tiroid yang


overaktif, Cara kerjanya dengan menghentikan kelenjar tiroid
memproduksi terlalu banyak hormon tiroid
2. Tepat Dosis, karena dosis maksimalnya adalah 300mg/hari dan
diberikan 3x sehari 100mg.
3. Tepat BSO, berbentuk Tablet mudah dibawa kemana-mana dan tidak
menyulitkan pasien jika berpergian
4. Tepat waktu pemberian, pemberian metformin diminum segera setelah
makan
5. Tepat Pasien, Pasien hipertiroid diberikan obat PTU agar kelenjar tiroid
tidak memproduksi hormon tiroid
6. Tepat cara pemberian, dalam resep pemberian obat dilakukan secara
oral
4.3 Resep Rasional Defisiensi Vitamin C

dr. Avicenna M. Archie


1818011085

RS. UNILA

Bandar Lampung, 3 September 2019

R/ Vicee 500 Tab 500 mg No. V


S d.d. tab p.c.

Pro : Athallah
Umur : 45 Tahun
Alamat : Waykanan
Pembahasan

Resep diatas sudah sesuai dengan format resep yang terdiri atas Inscriptio,
Invocatio, Prescriptio, Signatura, Subscriptio, dan Pro. Resep di atas
termasuk ke dalam resep rasional karena

1. Tepat obat, pasien mengalami defisiensi vitamin c dengan pemberian


obat dengan kandungan vitamin c akan mengatasi defisiensi tersebut
2. Tepat Dosis, vice 500 memiliki kandungan 250mg vitamin c, konsumsi
harian vitamin c maksimal adalah 1000mg dengan mengedukasi pasien
untuk memakan sayur dan buah khususnya yang mengandung vitamin
c membantu memenuhi kebutuhan pasien.
3. Tepat BSO, dengan bentuk tablet mudah dibawa-bawa
4. Tepat waktu pemberian, dalam resep ditulis sesudah makan
5. Tepat pasien, pasien dengan defisiensi vitamin C
6. Tepat cara pemberian, dalam resep ditulis oral
Daftar Pustaka

Amalia, D.T., Sukohar, A. 2014. Rational Drug Prescription Writing. JUKE, 4(7):
23-24.

Citra Kartika, D.P.S. 2011. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau Dari
Indikator Peresepan Menurut World Health Organization (WHO) di Seluruh
Puskesmas Kecamatan Kota Depok Pada Tahun 2010. FMIPA UI.

Habibah, N. 2017. Analisis Rasionalitas Peresepan Obat di Apotek Rumah Sakit X


Pada Bulan Maret Tahun 2016. FK Universitas Yarsi.

Ihsan, S. et al. 2017. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan ObatDitinjau dari Indikator


Peresepan MenurutWorld Health Organization(WHO) di Seluruh
Puskesmas Kota Kendari Tahun 2016. E-ISSN, 5(1): 402.

Kardela, W., Andrajati, R., Supardi, S. 2014. Perbandingan Penggunaan Obat


Rasional Berdasarkan Indikator WHO di Puskesmas Kecamatan antara
Kota Depok dan Jakarta Selatan. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 4(2): 92.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Penggunaan Obat Rasional.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Direktur
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 2011.

Pratiwi, A.A., Sinuraya, R.K. 2014. Analisis Peresepan Obat Anak Usia 2–5 Tahun
di Kota Bandung Tahun 2012. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 3(1): 19.

Rahmatini. 2009. Agar Penulisan Resep Tetap Up To Date. Majalah Kedokteran


Andalas, 33(2): 103.

Yuliastuti, F., Purnomo, A., Sudjaswadi. 2013. Analisis Penggunaan Obat Pada
Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Yogyakarta
Periode April 2009. Media Farmasi, 10(2): 106.

Anda mungkin juga menyukai