Anda di halaman 1dari 13

PROJECT

KEGIATAN PELAYANAN FARMASI KLINIS DI RUMAH SAKIT

OLEH:

KELOMPOK : II

Nama Kelompok : Ulial Azmi (1843700061)


Florensia Indriani (1843700079)
Nadhiful Tarissa (1843700170)
Mila Fathia (1843700221)
Siska Aprilia (1843700241)
Iga Ayu Tunjungsari (1843700242)
Tri Sutrisno (1843700250)
Vivi Permatasari (1843700251)
Athi Dina Nasikha (1843700253)

PROGRAM STUDI APOTEKER

FALKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

JAKARTA

2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus dapat di
wujudkan melalui pembangunan yang berkesenambungan. Pembangunan kesehatan
merupakan salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang optimal (Depkes RI, 1992).

Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia.
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu
farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian
(Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan.
Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk memaksimalkan efek terapi,
meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien.
Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang
layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah
sakit dan komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi
peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung
pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.

Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya
kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan

Rumah sakit mempunyai peranan yang penting untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Di Indonesia rumah sakit merupakan rujukan pelayanan kesehatan untuk
puskesmas terutama upaya penyembuhan dan pemulihan. Mutu pelayanan di rumah sakit
sangat dipengaruhui oleh kualitas dan jumlah tenaga kesehatan yang dimiliki rumah sakit
tersebut.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan


(Permenkes RI) No. 72 tahun 2016 tentang Standar PelayananKefarmasian di Rumah Sakit.
Permenkes ini menggantikan Standar PelayananFarmasi di Rumah Sakit tahun 2004. Tujuan
dari Permenkes RI No. 58 tahun 2014 adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan
kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada keselamatan pasien. Berdasarkan
permenkes tersebut, pelayanan farmasi klinik meliputi:

 Pengkajian dan Pelayanan Resep,


 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat,
 Rekonsiliasi Obat,
 Pelayanan Informasi Obat (PIO),
 Konseling,
 Visite,
 Pemantauan Terapi Obat (PTO),
 Monitoring Efek Samping Obat (MESO),
 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO),
 Dispensing Sediaan Steril, dan
 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).

Apoteker harus mengelola apotek secara tertib, teratur dan berorientasi bisnis. Tertib
artinya disiplin dalam mentaati peraturan perundangan dalam pelayanan obat, membuat
laporan narkotika, tidak membeli maupun menjual obat-obat yang tidak terdaftar,
memberikan informasi obat kepada pasien dan sebagainya. Teratur artinya pemasukan dan
pengeluaran uang dan obat dicatat dengan baik untuk evaluasi dan pembuatan laporan
keuangan. Berorientasi bisnis artinya tidak lepas dari usaha dagang, yaitu harus mendapatkan
keuntungan supaya usaha apotek bisa terus berkembang.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui kegiatan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit.
2. Untuk mengetahui kualitas pelayanan farmasi berdasarkan waktu penyelesaian resep
di rumah sakit.
3. Untuk mengetahui cara pelayanan informasi obat (PIO) yang efektif di pelayanan
farmasi klinik di rumahh sakit.

1.3 Manfaat
1. Memahami dan mengetahui kegiatan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit
2. Mengimplementasikan kegiatan waktu penyelesaian resep di rumah sakit.
3. Memberi informasi tentang pelayanan informasi obat (PIO) dalam pelayanan farmasi
klinik di rumahh sakit.
4. Menghasilkan sistem farmasi klinik di rumah sakit dengan tepat.

1.4 Metode Kegiatan.

i. Sampel ditentukan dengan cara random sampling dengan teknik accidental


sampling, dimana peneliti hanya mengambil data berdasarkan responden yang
datang pada saat dilakukan kegiatan secara langsung, karena pengambilan
sampel di instalasi farmasi dilakukan dengan waktu 8 jam per hari.
ii. Melakukan penyuluhan pada pasien Kegiatan-kegiatan dalam PIO meliputi:
menjawab pertanyaan pasien atau tenaga kesehatan lain; menerbitkan buletin,
leaflet, poster, ataupun newsletter; menyediakan informasi untuk Tim farmasi
dan Terapi terkait penyusunan Formularium RS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan
menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu
pelayanan kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada
pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit dinyatakan bahwa
rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia,
kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu, bermanfaat, aman, dan
terjangkau. Selanjutnya dinyatakan bahwa pelayanan sediaan farmasi di rumah sakit harus
mengikuti standar pelayanan kefarmasian yang selanjutnya diamanahkan untuk diatur dengan
peraturan menteri kesehatan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian juga
dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian yang diamanahkan
untuk diatur dengan peraturan menteri kesehatan. Berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut dan perkembangan konsep pelayanan kefarmasian, perlu
ditetapkan suatu standar pelayanan kefarmasian dengan peraturan menteri kesehatan,
sekaligus meninjau kembali Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004
tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit.

2.2 Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit

Sesuai dengan SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar


Pelayanan Rumah Sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada
pelayanan pasien penyediaan obat yang bermutu,termasuk pelayanan farmasi klinik yang
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap
semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut.

Pelayanan diselenggarakan dan diatur demi berlangsungnya pelayanan farmasi yang


efisien dan bermutu, berdasarkan fasilitas yang ada dan standar pelayanan keprofesian yang
universal Adanya bagan organisasi yang menggambarkan uraian tugas, fungsi, wewenang
dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan farmasi
yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit.

2.3 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik, meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep,
penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan
obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur
pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat
(medication error). Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat,
bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep.
Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat
jalan.

Persyaratan administrasi meliputi nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi
badan pasien, nama, nomor izin, alamat dan paraf dokter, tanggal resep, dan ruangan/unit asal
resep. Persyaratan farmasetik meliputi nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan
jumlah obat, stabilitas, dan aturan dan cara penggunaan. Persyaratan klinis meliputi
ketepatan indikasi, dosis, dan waktu penggunaan obat, duplikasi pengobatan, alergi dan
Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD), kontraindikasi, dan interaksi obat.

2. Penelusuran riwayat penggunaan obat


Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan,
riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan
penggunaan obat pasien. Kegiatan yang dilakukan meliputi penelusuran riwayat penggunaan
obat kepada pasien/keluarganya, dan melakukan penilaian terhadap pengaturan
penggunaan obat pasien. Informasi yang harus didapatkan yaitu nama obat, dosis,
bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat; reaksi
obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan kepatuhan terhadap
regimen penggunaan obat.

3. Rekonsiliasi obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat
yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari
satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar
dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tahapan proses rekonsiliasi
obat yaitu pengumpulan data obat yang sedang dan akan digunakan pasien; membandingkan
data obat yang pernah, sedang, dan akan digunakan; dan melakukan konfirmasi kepada
dokter jika menemukan ketidaksesuaian dokumentasi.

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar rumah sakit. Kegiatan PIO meliputi
menjawab pertanyaan, menerbitkan media informasi (bulletin, leaflet, poster, dan
newsletter), menyediakan informasi bagi TFT sehubugan dengan penyusunan formularium
rumah sakit, bekerja sama dengan tim penyuluhan kesehatan rumah sakit melakukan
penyuluhan, melakukan pendidikan berkelanjutan, dan melakukan penelitian. Faktor-
fator yang perlu diperhatikan dalam PIO adalah sumber daya manusia, tempat, dan
perlengkapan.
5. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat
dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien
rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas
inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian
konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap
apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-
effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien
(patient safety).

Kegiatan dalam konseling obat meliputi:


a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
b. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui
Three Prime Question.
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
pengunaan obat.
e. Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien.
f. Dokumentasi.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling obat:


a. Kriteria Pasien
 Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan
menyusui).
 Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-
lain).
 Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan
kortiksteroid dengan tappering down/off).
 Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin).
 Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi).
 Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
b. Sarana dan Peralatan.
 ruangan atau tempat konseling; dan
 alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).

6. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi
obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik atas
permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang biasa disebut dengan
pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan
visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi
pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah
meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat Yang Tidak
Dikehendaki (ROTD).

Kegiatan dalam PTO meliputi:


a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat
yang tidak dikehendaki (ROTD).
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat.
c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.

Tahapan PTO yaitu:


 Pengumpulan data pasien.
 Identifikasi masalah terkait obat.
 Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat.
 Pemantauan.
 Tindak lanjut.

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon
terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan obat yang
terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO yaitu
mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat, membandingkan pola
penggunaan obat pada periode waktu tertentu, memberikan masukan untuk perbaikan
penggunaan obat, dan menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.

10. Dispensing Sediaan Steril.

Dispensing sediaan steril harus dilakukan di instalasi farmasi rumah sakit dengan
teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi
petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan
pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan menjamin agar pasien menerima obat
sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; menjamin sterilitas dan stabilitas produk,
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya, dan menghindari terjadinya kesalahan
pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi pencampuran obat suntuk,
penyiapan nutrisi parenteral, dan penanganan sediaan sitostatik.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan
kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang
sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan untuk mengetahui
kadar obat dalam darah dan memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi:
a) Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat
dalam Darah (PKOD).
b) Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat
dalam Darah (PKOD).
c) Menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan memberikan
rekomendasi (Depkes RI. 2016).
BAB III
Hasil dan Pembahasan

3. 1 kegiatan pelayanan farmasi klinik di RS.

Pelayanan farmasi klinik di RS terdiri dari pengkajian dan pelayanan resep, pada
awalnya resep diterima oleh petugas ruangan masing-masing, kemudian dibaca dan dilakukan
pengkajian. Jika, obat yang diberikan lebih dari lima jenis obat maka dilakukan pengecekan
interaksi obat oleh apoteker. Setelah itu obat dikemas dan disiapkan. Obat dikemas
menggunakan plastik klip warna-warni. Setiap warna menunjukan waktu minum obat yang
berbeda. Diantaranya warna merah untuk diminum pagi hari, warna hijau untuk siang, warna
putih untuk siang dibawah pukul 18.00 wib sebelum makan dan setelah makan, lalu yang
terakhir warna biru untuk diminum di atas pukul 18.00 wib.

Resep juga harus ditulis ulang sebagai dokumentasi, tagihan, dan pengecekan apakah
ada obat yang harus ditambah dan diberhentikan sesuai perintah dokter. Jika, ditemukan resep
yang tidak lengkap dan tidak jelas maka akan dilakukan konfirmasi kembali kepada dokter
yang menuliskan resep. Setelah selesai disiapkan dan diperiksa oleh apoteker, obat kemudian
diberikan kepada pasien. Pada proses penyerahan obat dilakukan pula penjelasan terkait
dosis, penggunaan obat, indikasi, dan kontraindikasi oleh apoteker kepada pasien atau kepada
keluarga pasien yang mendampingi. Apoteker juga akan menanyakan dan mencatat jika ada
alergi obat atau reaksi dari efek samping obat kemudian mencocokan data penggunaan obat
yang sedang dan akan digunakan, jika ada ketidakcocokan maka akan dikonfirmasikan ke
dokter terlebih dahulu. Apoteker juga melakukan konseling obat yang merupakan aktivitas
pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat kepada pasien.

Kegiatan visite atau kunjungan ke pasien rawat inap juga dilakukan oleh apoteker
mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan lain karena apoteker juga mempunyai tanggung
jawab untuk memeriksa kondisi terapi obat setiap pasien diruangan. Apoteker juga memantau
terapi obat untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien.
Biasanya apoteker akan melihat riwayat atau catatan terapi obat pasien dan resep yang
diberikan dokter, dan memberikan pemantauan khusus pada pasien yang diberi obat lima
jenis atau lebih. Jika pada saat pemantauan terapi obat ditemukan adanya interaksi obat yang
berbahaya maka apoteker akan menghubungi dokter untuk melakukan tindakan berupa terapi
diberhentikan, terapi ditunda, atau dosis dikurangi.
Kegiatan monitoring efek samping obat juga dilakukan oleh apoteker untuk
mengidentifikasi apakah ada efek samping yang tidak diinginkan dari terapi, jika ada maka
apoteker akan mengkomunikasikan pada dokter untuk melakukan tindakan yaitu penghentian
permanen atau penghentian sementara terapi obat yang diberikan, dan sebagai laporan rutin
kepada badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) jika ditemukan efek samping yang
berbahaya. Untuk dispensing sediaan steril dilakukan di ruangan khusus dan dengan teknik
aseptik. Apoteker juga harus melakukan pemantauan kadar obat didalam darah pasien.

3.2 kualitas pelayanan farmasi berdasarkan waktu pemyelesaian resep di RS.

Pemenuhan kebutuhan pasien akan obat dan informasi serta memberikan pelayanan
yang memuaskan pada pasien rawat jalan adalah orientasi utama dalam pelayanan
kefarmasian. Faktor penting untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi pasien rawat
jalan adalah pendistribusian obat. Tujuan utama distribusi obat adalah tersedianya perbekalan
farmasi di unit-unit pelayanan tepat waktu, tepat jenis dan tepat jumlah (Permenkes, 2014).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan no 129 tahun 2008, standar minimal pelayanan rumah
sakit memiliki indikator waktu tunggu pelayanan farmasi untuk obat jadi yaitu ≤ 30 menit
dan pelayanan farmasi untuk obat racik yaitu ≤ 60 menit (Kepmenkes, 2008).

Dalam melakukan pelayanan, unit farmasi disetiap rumah sakit memiliki perencanaan,
pengadaan, pendistribusian dan evaluasi yang tentunya dilakukan guna meningkatkan mutu
dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit, memberikan pelayanan farmasi
yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi penggunaan obat, meningkatkan
kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang terkait dalam pelayanan farmasi,
serta melaksanakan kebijakan obat dirumah sakit dalam rangka meningkatkan penggunaan
obat secara rasional. Diera masyarakat sekarang kecepatan pelayanan sangat penting, proses
yang terlalu lama dan terbelit-belit akan membuat konsumen menjadi tidak betah dan tidak
puas.

3.3 Pelayanan informasi obat (PIO) yang efektif di RS.

WHO telah menetapkan 12 hal inti yang dapat mendukung penggunaan obat yang
rasional, diantaranya adalah mengembangkan pedoman klinis, memiliki komite obat dan
terapi di kabupaten dan rumah sakit, serta mendukung informasi obat-obatan yang dapat
dicari secara independen. Penyediaan informasi obat independen adalah PIO yang juga
dikenal sebagai pusat informasi obat atau layanan informasi obat. WHO mendukung layanan
informasi obat sebagai alat untuk menyebarkan PIO yang tidak bias sehingga dapat
mendukung penggunaan obat-obat yang rasional

PIO merupakan salah satu standart yang harus diterapkan guna meningkatkan
pelayanan kefarmasian yang terbaik. Pio mencakup beragam kegiatan, diantaranya menjawab
pertanyaan pasien atau tenaga kesehatan lain dengan cara menerbitkan bulletin, leaflet,
poster, ataupun newsletter, menyediakan informasi untuk tim farmasi dan terapi terkait
penyusunan formularium RS, melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan
rawat inap, melakukan pendidikan berkelanjutan untuk tenaga kefarmasian serta tenaga
kesehatan lainnya dan melakukan penelitian.

PIO yang dapat pula diterapkan di Indonesia guna memudahkan dokter, apoteker,
tenaga kesehatan lainnya dalam pencarian evidence-based medicine diantaranya dapat berupa
e-mail berupa informasi terbaru terkait penggunaan obat obatan dari Kemenkes RI atau badan
lainnya; up date terbaru dari Kemenkes RI atau Badan lainnya terkait obat yang dapat
dicantumkan di website; pengembangan software yang dapat memudahkan pencarian
informasi obat; jurnal-jurnal saintifik ataupun hasil pertanyaan dan jawaban PIO yang bisa
diakses dengan mudah; serta leaflet ataupun buletin yang secara rutin diterbitkan agar
memberikan PIO yang lebih mudah diakses oleh pasien ataupun konsumen.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan

1. Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di


Indonesia. Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu
suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan
asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk
meningkatkan outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah
untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya
pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut
semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian
yang berorientasi pada pasien.Berdasarkan permenkes No. 72 thn 2016, pelayanan
farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep 7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat 8. Monitoring Efek Samping Obat
3. Rekonsiliasi Obat 9. Evaluasi Penggunaan Obat
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO) 10. Dispensing Sediaan Steril
5. Konseling 11. PKOD
6. Visite

2. Waktu penyelesaian resep dokter pada pasien rawat jalan yang paling
memberikan jaminan kepuasan adalah kurang dari 13 menit berdasarkan variabel
Assurance dan didukung dengan hasil kuesioner yang dinyatakan dalam skor
tertinggi yang setuju bahwa waktu tunggu obat tidak lama pada variabel
Responsiveness. Semakin lama waktu menyelesaikan resep dokter akan menurunkan
tingkat kepuasan pasien. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu penambahan
jumlah tenaga apoteker dan perluasan ruangan Instalasi Farmasi agar kepuasan
pasien semakin meningkat.

3. PIO merupakan salah satu standar yang harus diterapkan guna meningkatkan
pelayanan kefarmasian yang terbaik memudahkan dokter, apoteker, tenaga
kesehatan lainnya dalam pencarian evidence-based medicine. PIO mencakup
beragam kegiatan, diantaranya menjawab pertanyaan pasien atau tenaga kesehatan
lain; menerbitkan buletin, leaflet, poster, ataupun newsletter; menyediakan informasi
untuk Tim farmasi dan Terapi terkait penyusunan Formularium RS.
DAFTAR PUSTAKA

Andriani, Susi dan Sunarto. 2009. “Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan dengan
Kepuasan Pasien Rawat Inap di Badan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Magelang”. JurnalKesehatan. Vol. 2, No 1. Hal 71-79

Amaranggana larasati, 2017. Pelayanan Informasi Obat yang Efektif dari Beberapa Negara
untuk Meningkatkan Pelayanan Farmasi Klinik, Jurnal UNPAD Vol 15 No. 1
Hal. 20- 26

Herjunianto, dkk. 2014. Faktor yang Mempengaruhi Cakupan Layanan Farmasi di Instalasi
Rawat Jalan Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol 28, No. 1. Hal 8-13
Republik Indonesia, “Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 Tetang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit,” PhD Propos., vol. 1, p. 24,
2016.

Rusdiana nita. 2015. kualitas pelayanan farmasi berdasarkan waktu penyelesaian resep di
rumah sakit. Jurnal Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah tigaraksa, Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai